Uji Toksisitas Ekstrak Benalu Kopi (Loranthus ferrugineus Roxb.) dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)

7

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan Benalu Kopi (Loranthus Ferrugineus Roxb.)
2.1.1

Deskripsi Tumbuhan

Benalu kopi (Loranthus Ferrugineus Roxb.) merupakan jenis tumbuhan yang
hidupnya tidak memerlukan media tanah. Ia hidup sebagai parasit, melekat pada
sel inang, dan menghisap nutrisi yang dimilikinya sehingga menyebabkan
kematian pada sel inang tersebut. Adanya klorofil menyebabkan tanaman benalu
memiliki kemampuan melakukan proses fotosintesis. Akan tetapi, tanaman ini
tidak mampu mengambil air dan unsur hara secara langsung dari tanah yang
menjadikannya sebagai tanaman parasit (Pitojo,1996)
Bentuk dari benalu kopi yaitu akar berbentuk ramping, menjalar pada
inangnya dan berwarna kusam. Batang tumbuhan panjang tegak berwarna hijau
kusam. Daun bentuk lonjong kecil – kecil yang memiliki warna hijau tua sedikit
kasar permukaannya. Terdapat biji kecil – kecil disela – sela tangkai daun dan

batang, biji berbentuk kecil seperti isi pensil, memiliki sungut pendek. Habitus
dari tumbuhan ini sangat besar, cukup besar. (Pitojo,1996). Tumbuhan benalu
kopi dapat dilihat pada gambar 2.1 sebagai berikut :

Gambar 2.1 Tumbuhan Benalu Kopi (HerbariumMedanense,2015)

Universitas Sumatera Utara

9

2.1.2 Kandungan Senyawa Kimia Tumbuhan
Kandungan kimia yang terdapat dalam benalu adalah flavonoid, tanin, asam
amino, karbohidrat, alkaloid, dan saponin (Anonim,1996). Berdasarkan berbagai
penelitian, senyawa dalam benalu yang diduga memiliki aktivitas antikanker
adalah flavonoid, yaitu kuersetin yang bersifat inhibitor terhadap enzim DNA
topoisomerase sel kanker (Anonim,1996). Berdasarkan berbagai penelitian yang
ada senyawa flavonoid pada benalu yang berperan dalam melawan kanker adalah
kuersetin. Kuersetin memiliki aktivitas antioksidan yang dimungkinkan oleh
komponen fenoliknya yang sangat reaktif. Kuersetin akan mengikat radikal bebas
sehingga dapat mengurangi reaktifitas radikal bebas tersebut, (Purnomo, 2000).


2.1.3 Sistematika Tumbuhan
Sistematika

tumbuhan

Benalu

Kopi

(Loranthus

Ferrugineus

Roxb.)

hasilidentifikasi tumbuhan di laboratorium Herbarium Medanense, Universitas
Sumatera Utara, adalah sebagai berikut :
Kingdom


: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Class

: Dicotyledoneae

Ordo

: Santalales

Famili

: Loranthaceae

Genus


: Loranthus

Spesies

:Loranthus Ferrugineus Roxb.

Nama lokal

: Benalu Kopi ( Herbarium Medanense, 2015)

2.1.4 Khasiat Tumbuhan
Benalu kopi adalah salah satu tanaman parasit yang biasa digunakan dalam
pengobatan

tradisional.

Sebagai

tanaman


parasit

benalu

tidak

banyak

dimanfaatkan, hal ini berkaitan dengan sifat parasit benalu yang dapat merusak

Universitas Sumatera Utara

10

tanaman inangnya,sementara sebagai salah satu tanaman obat, benalu mempunyai
peranan yang penting. Secara tradisional benalu digunakan antara lain sebagai
obat batuk, amandel, campak, diabetes dan kanker (Pitojo,1996).

2.1.5


Perkembangbiakan Tumbuhan

2.1.5.1 Organ Perkembangbiakan Benalu
Tumbuhan benalu dapat berkembangbiak dengan cara generative dan
vegetative. Pada kebanyakan spesies benalu, cara utama untuk
perkembangbiakannya melalui cara generative, sedangkan bagi beberapa
spesies benalu melalui cara generatif dan vegetative yang saling
melengkapi. Organ perkembangbiakan generative berupa biji dan organ
perkembangbiakan vegetative yaitu haustoria.
2.1.5.2 Pertumbuhan Benalu
Pertumbuhan benalu tidak secepat tanaman yang hidup dan mengambil
makanan langsung dari tanah. Pertumbuhan benalu tersebut sangat
dipengaruhi oleh ketersediaan hara yang dapat dimanfaatkan benalu dari
tanaman yang dihinggapinya.
Pertumbuhan benalu mengeluarkan haustoria, menjalar kebagian lain
tanaman inang, mengadakan penetrasi kejaringan, dan menghisap hara
garam mineral, serta air dari tanaman inang. Benalu memiliki hijau daun
sehingga dapat berasimilasi membentuk karbohidrat untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, benalu termasuk kedalam kategori
tumbuhan hemiparasit. Beberapa hal yang mempengaruhi pertumbuhan

benalu sebagai berikut :
a. Spesies Benalu
Perilaku pertumbuhan benalu berbeda – beda, ada yang tumbuhnya
kuat, ada yang membentuk percabangan banyak, ada yang membentuk
habitus kecil, dan lain – lain. Spesies benalu yang pertumbuhannya
kuat antara lain Dendrophthoe. Benalu yang berhabitus kecil antara
lain viscum.

Universitas Sumatera Utara

11

Perilaku perakarannya pun bermacam – macam. Pada spesies Viscum,
tidak membentuk haustoria diluar tanaman inang sedangkan pada
Dendrophthoe menunjukkan cirri bahwa jaringan tanaman sempat
berpijaknya benalu mengalami pertumbuhan abnormal yang dikenal
dengan istilah hipertrofi. Pertumbuhan semacam itu juga terjadi pada
tempat – tempat haustoria menetrasi tanaman. Apabila benalu hidup
lama ditanaman inang, maka akan terbentuk tonjolan tak beraturan dan
kadang – kadang berupa bangunan yang mempunyai nilai artistic.

b. Jenis Tanaman Inang
Walau benalu dapat hidup menumpang pada tanaman berkayu
golongan dikotil, tetapi tidak semua tanaman tersebut terserang benalu.
Ada kelompok tanaman yang seolah – olah disukai benalu dan ada
kelompok tanaman yang tidak disukai oleh benalu. Pada tanaman
berdaun lebar atau yang berkulit lunak, benalu cenderung tumbuh lebih
subur.
c. Letak atau Posisi Benalu
Benalu sering tumbuh dibatang, cabang atau di ranting tanaman.
Adapun letak benalu bermacam-macam, ada yang di bagian tengah,
atas atau samping tanama. Letak benalu tersebut cenderung
mempengaruhi arah pertumbuhan benalu. Benalu yang berada di
bagian tengah pohon biasanya cenderung tumbuh kearah bawah
sehingga ranting-ranting benalu keliatan terkulai. Benalu yang berada
di bagian atas, akan cenderung tumbuh ke atas, kearah sinar, dan
membentuk cabang serta ranting yang kuat.
d. Iklim
Iklim

makro


maupun

iklim

mikro,

selain

mempengaruhi

perkecambahan biji benalu, juga mempengaruhi pertumbuhan benalu.
Di daerah yang mempunyai musim hujan dan musim kemarau jelas,
memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan benalu. Di
musim hujan,tanaman inang dan tumbuhan benalu sama-sama tumbuh
subur. Sedangkan di musim kemarau, beberapa tanaman inang
terpengaruh oleh suhu udara dan kebutuhan air sehingga benalu pun

Universitas Sumatera Utara


12

bereaksi untuk mengatasi keadaan tersebut. Pada waktu tanaman inang
gugur daunya, benalu akan mengikuti cara tersebut sehingga
penguapan air terbatas. Pengaruh musim kemarau panjang sering
menyebabkan benalu yang tumbuh di dekat batang lebih kuat
mengatasi situasi yang tidak menguntungkan tersebut. Pada daerahdaerah yang bulan keringnya sedikit, serta di daerah yang lembab
pertumbuhan benalu lebih baik daripada di daerah kering.
e. Hubungan antara inang dan benalu
Hubungan antara tumbuhan benalu dengan tanaman inangnya telah
lama dipertanyakan oleh ahli botani, apakah hubungan tersebut seperti
okulasi pada tanaman. Docters Van Leeuwen (1945) dalam tulisannya
tentang benalu di jawa, pernah menyinggung kemungkinan adanya
hubungan timbal balik, seperti hubungan okulasi pada benalu
dendrophthoe magna yang hidup di atas Quereus pseudomoliveca yang
hampir semua tajuknya didominasi oleh benalu tersebut. Pada
peristiwa autoparasit atau hiperparasit yang pendukungnya sama-sama
benalu diduga keras hubungannya seperti okulasi(Pitojo,1996).

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan yang dapat larut sehingga dapat
terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Sampel yang
diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak
dapat larut seperti serat, protein dan lain – lain. Senyawa aktif yang terdapat
dalam berbagai sampel dapat digolongkan kedalam golongan minyak atsiri,
alkaloid, flavonoid dan lain – lain.
Prosedur ekstraksi yang digunakan bertujuan untuk mendapatkan senyawa
yang diinginkan dan untuk menghilangkan komponen yang tidak diinginkan dari
tanaman menggunakan pelarut

yang selektif. Tanaman yang diekstrak

mengandung campuran kompleks dari metabolit seperti alkaloida, glikosida,
terpenoid, flavonoid.

Universitas Sumatera Utara

13

Metode ekstraksi dengan maserasi adalah proses pengekstrakkan sampel
dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokkan atau
pengadukan pada temperature ruangan. Maserasi kinetic berarti dilakukan
pengadukkan yang kontinu (terus – menerus). Remaserasi berarti dilakukan
pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama
dan seterusnya (Depkes, 2000).

2.3 Senyawa Metabolit Sekunder
Senyawa metabolit pada makhluk hidup dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu,
senyawa metabolit primer dan senyawa metabolit sekunder. Senyawa metabolit
primer didefinisikan sebgai produk akhir dalam proses metabolisme makhluk
hidup yang fungsinya sangat esensial bagi kelangsungan hidup organisme
tersebut, serta terbentuk secara intraseluler. Contohnya, protein, lemak,
karbohidrat

dan

DNA.

Sedangkan

senyawa

metabolit

sekunder

dapat

didefenisikan sebagai suatu produk metabolic yang dihasilkan oleh proses
metabolisme sekunder makhluk hidup, dimana produk tersebut bukan merupakan
kebutuhan pokok untuk hidup dan tumbuh, serta terbentuk secara ekstraseluler.
Metabolit sekunder banyak bermanfaat bagi manusia, dan makhluk hidup lain
karena banyak diantaranya bersifat sebagai obat, vitamin, pigmen (Pratiwi, 2008)
Skrining fitokimia merupakan uji kualitatif kandungan kimia dalam suatu
tumbuhan untuk mengetahui golongan senyawa metabolit sekunder yang
terkandung di dalam tumbuhan tersebut. Senyawa metabolit sekunder yang
memiliki khasiat untuk kesehatan diantaranya, alkaloid, flavonoid, terpenoid,
tannin, dan saponin.

2.3.1 Flavonoid
Flavonoid adalah senyawa yang terdiri dari 15 atom karbon. Flavonoid umumnya
terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida. Gugusan gula bersenyawa pada satu
atau lebih gugus hidroksil fenolik. Flavonoid terdapat pada seluruh bagian
tumbuhan termasuk pada buah, tepung sari dan akar. Flavonoid dapat bekerja
sebagai diuretik dan sebagai antioksidan pada lemak (Sirait, 2000). Sejumlah

Universitas Sumatera Utara

14

flavonoid mempunyai rasa pahit hingga dapat menolak sejenis ulat tertentu
(Sastrohamidjojo, 1996). Pemeriksaan senyawa flavonoid dapat dilakukan dengan
menambahkan larutan besi (III) klorida 1% dalam air atau etanol yang
menimbulkan warna hijau, merah ungu, ataupun hitam kuat (Mailandari, 2012).

2.3.2 Alkaloid
Alkaloid adalah metabolit basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen
yang biasanya dalam gabungan berbentuk siklik.. Alkaloid umumnya memiliki
sifat padatan kristal, sedikit alkaloid berbentuk amorf, dan sebagian ada yang cair,
bersifat basa, berasa pahit, kebanyakkan alkaloid tidak berwarna. Pada umumnya
basa bebas alkaloid hanya larut dalam pelarut organik, tetapi ada beberapa yang
dapat larut dalam air (Sastrohamijdojo, 1996). Alkaloid dapat dideteksi dengan
menggunakan pereaksi Dragendorf, Mayer, dan Bouchardat (Mailandari,2012).

2.3.3 Saponin
Pembentukkan busa sewaktu mengesktraksi tumbuhan atau pada saat memekatkan
ekstrak tumbuhan merupakan bukti adanya saponin. Uji saponin yang sederhana
adalah mengocok ekstrak alcohol – air dari tumbuhan dalam tabung reaksi dan
diperhatikan apakah terbentuk busa tahan lama pada permukaan cairan. Saponin
juga dapat diperiksa dalam ekstrak kasar berdasarkan kemampuannya
menghemolisis sel darah (Harborne, 1996).

2.3.4 Terpenoid
Terpenoid adalah suatau senyawa yang tersusun atas isoprene dan kerangka
karbonnya dibangun oleh penyambungan dua atau lebih satuan C5. Terpenoid
terdiri atas beberapa macam senyawa seperti monoterpene dan seskuiterpen yang
mudah menguap, diterpen yang sukar menguap dan yang tidak menguap
triterpene dan sterol. Secara umum senyawa ini larut dalam lemak dn terdpat
dalam sitoplasma sel tumbuhan. Biasanya senyawa ini diidentifikasi dengan
pereaksi Liberman-Bouchard (anhidrat asetat-asam sulfat) yang memberikan
warna hijau kehitaman sampai biru (Mailandri,2012).

Universitas Sumatera Utara

15

2.4 Toksitologi
Toksitologi adalah pengetahuan tentang efek racun dari obat terhadap tubuh dan
sebetulnya termasuk pula dalam kelompok farmakodinamika, karena efek
terapeutis obat berhubungan erat dengan efek toksisnya (Tjay, 2002). Toksikologi
merupakan ilmu yang lebih tua dari Farmakologi. Disiplin ini mempelajari sifatsifat racun zat kimia terhadap makhluk hidup dan lingkungan. Sedikitnya 50.000
zat kimia kini digunakan oleh manusia dan karena tidak dapat dihindarkan, maka
kita harus sadar tentang bahayanya (Ganiswarna, 1995).
Setiap obat dalam dosis yang cukup tinggi dapat mengakibatkan efek
toksik. Pada umumnya, hebatnya reaksi toksis berhubungan langusng dengan
tingginya dosis, bila dosis diturunkan, efek toksis dapat dikurangi pula
(Tjay, 2002).
Setiap zat kimia pada dasarnya bersifat racun dan terjadinya keracunan
ditentukan oleh dosis dan cara pemberian. Paracelcus pada tahun 1564 telah
meletakkan dasar penilaian toksikologis dengan mengatakan bahwa dosis
menentukan apakah suatu zat kimia adalah racun (dosis sola facit venenum).
Sekarang dikenal banyak faktor yang menentukan apakah suatu zat kimia bersifat
racun, namun dosis tepat merupakan faktor utama yang terpenting. Untuk setiap
zat kimia, termasuk air, dapat ditentukan dosis kecil yang tidak berefek sama
sekali, atau suatu dosis besar sekali yang dapat menimbulkan keracunan dan
kematian. Untuk zat kimia dengan efek terapi, maka dosis yang kuat dapat
menimbulkan efek farmakoterapeutik (Ganiswarna, 1995).
Sintesis zat kimia yang diperkirakan berjumlah 1000 per tahun,
menyebabkan toksikologi tidak hanya meliputi sifat-sifat racun, tetapi lebih
penting lagi mempelajari keamanan setiap zat kimia yang dapat masuk ke dalam
tubuh. Zat-zat kimia itu disebut xenobiotik (xeno = asing). Setiap zat kimia baru
harus diteliti sifat-sifat toksiknya sebelum diperbolehkan penggunaannya secara
luas (Ganiswarna, 1995).

Universitas Sumatera Utara

16

Salah satu metode untuk menguji bahan-bahan yang bersifat sitotoksik
adalah dengan uji toksisitas terhadap larva udang dari Artemia Salina Leach
(Brine ShrimpLethality Test). Metode ini sering digunakan untuk praskrining
terhadap senyawa aktif yang terkandung di dalam ekstrak tanaman karena murah,
cepat, mudah (tidak perlu kondisi aseptis) dan dapat dipercaya (Meyer, et all.,
1982).

2.5 Brine Shrimp Lethality Test
Penelitian fitokimia saat ini lebih ditekankan pada penelitian untuk mendapatkan
senyawa bioaktif. Uji hayati yang digunakan untuk tujuan ini sebaiknya
sederhana, cepat, ekonomis, dan memiliki korelasi statistik yang valid dengan
bioaktivitasnya yang diinginkan (Anderson, 1991).
Salah satu uji aktivitas yang mudah, murah, cepat dan akurat yaitu dengan
menggunakan larva Artemia Salina Leach dikenal dengan istilah Brine Shrimp
Lethality Test (BSLT). Uji mortalitas larva udang merupakan salah satu metode
uji bioaktivitas pada penelitian senyawa bahan alam. Penggunaan larva udang
untuk kepentingan studi bioaktivitas sudah dilakukan sejak tahun 1956 dan sejak
saat itu telah banyak dilakukan pada studi lingkungan, toksisitas, dan penapisan
senyawa bioaktif dari jaringan tanaman. Uji ini merupakan uji pendahuluan untuk
mengamati aktivitas farmakologi suatu senyawa. Adapun penerapan untuk system
bioaktivitas dengan menggunakan larva udang tersebut antara lain, untuk
mengetahui residu pestisida, anastetik local, senyawa turuna morpin, mikotoksin,
karsinogenitas suatu senyawa dan polutan untuk air laut serta sebagai alternative
metode yang murah untuk uji toksisitas (Hamburger dan Hostettman, 1991)
Senyawa aktif yang memiliki daya bioaktifitas tinggi diketahui
berdasarkan nilai Lethal Concentration 50% (LC50), yaitu suatu nilai yang
menunjukkan konsentrasi zat toksik yang dapat menyebabkan kematian hewan uji
sampai 50%. Data mortalitas yang diperoleh kemudian diolah dengan analisis
probit yang dirumuskan oleh Finney (1971) untuk menentukan nilai LC50 pada
derajat kepercayaan 95%. Senyawa kimia memiliki potensi bioaktif jika
mempunyai nilai LC50 kurang dari 1000 µg/ml ( Meyer et al., 1982 )

Universitas Sumatera Utara

17

2.5.1 Larva Artemia Salina Leach
2.5.1.1 Sistematika
Artemia salina merupakan bangsa udang-udangan yang diklasifikasikan sebagai
berikut:
Phylum

:Arthropoda

Classes

:Crustaceae

Subclasses

:Branchiopoda

Ordo

:Anostraca

Familia

:Artemid

Genus

:Artemia (Mudjiman, 1992).

2.5.1.2 Tahap penetasan dan Morfologi.
Nama Artemia diberikan untuk pertama kali oleh Schlosscer yang menemukannya
di suatu danau asin pada tahun 1755. Kemudian oleh Linnaeus (1758)
melengkapkan jasad renik ini menjadi Artemia salina. Keistimewaan Artemia
sebagai plankton adalah memiliki toleransi (kemampuan beradaptasi) pada kisaran
kadar garam yang sangat tinggi dimana tidak ada satupun organisme lain yang
mampu bertahan hidup ternyata Artemia mampu mentolerirnya (Djarijah, 1995).
Artemia salina dijual-belikan dalam bentuk telur istirahat yang disebut
dengan kista. Kista ini apabila dilihat dengan mata telanjang berbentuk bulatanbulatan kecil berwarna kecoklatan dengan diameter berkisar antara 200-350
mikron. Kista yang berkualitas baik akan menetas sekitar 18-24 jam apabila
diinkubasikan dalam bentuk dalam air bersalinitas 5-70/mil (Mudjiman,1992).
Artemia salina yang baru menetas disebut nauplius. Nauplius berwarna
orange berbentuk bulat lonjong dengan panjang sekitar 400 mikrometer, lebar 170
mikron dan beratnya 0,002 mg. Ukuran-ukuran tersebut sangat bervariasi
tergantung strainnya. Nauplius mempunyai sepasang antenulla dan sepasang
antena. Selain itu, di antara antenulla terdapat bintik mata yang disebut dengan
ocellus (Mudjiman, 1992).
Artemia salina dewasa biasanya berukuran panjang 8-10 mm yang
ditandai dengan adanya tangkai mata yang jelas terlihat pada kedua sisi bagian
kepala, antenna sebagai alat sensori, saluran pencernaan yang terlihat jelas, dan

Universitas Sumatera Utara

18

sebelas pasang thorakopoda. Pada Artemia jantan, antena berubah menjadi alat
penjepit (maskular gasper). Sedangkan pada Artemia betina antenna mengalami
penyusutan, sepasang indung telur atau ovarium terhadap di kedua sisi saluran
pencernaan, di belakang thorakopoda. Telur yang sudah matang disalurkan ke
uterus (Mudjiman, 1992). Bentuk dari larva Artemia Salina Leach dapat dilihat
pada gambar 2.2 berikut ini :

Gambar 2.2 Artemia Salina Leach
2.5.1.3. Siklus Hidup
Artemia salina banyak ditemukan di danau-danau yang kadar garamnya sangat
tinggi sehingga disebut brine shrimp. Toleransi terhadap kadar garam sangat
menakjubkan, bahwa pada siklus hidupnya memerlukan kadar garam yang tinggi
agar dapat menghasilkan kista. Kadar garam yang diperlukan agar Artemia salina
tersebut dapat menghasilkan kista bervariasi tergantung strain, pada umumnya
membutuhkan kadar garam di atas 100/ml (Mudjiman, 1992).
Keasaman air (pH) juga mempengaruhi kehidupan Artemia salina. Seperti
halnya hewan-hewan yang hidup di air laut, Artemia salina juga membutuhkan pH
air yang sedikit basa bersifat untuk kehidupannya. Agar Artemia salina dapat
tumbuh dengan baik maka pH air yang digunakan untuk budidaya berkisar antara
7,5-8,5 (Mudjiman, 1992).
Artemia salina bersifat pemakan segala atau omnivora. Artemia salina
mengambil pakan dari media hidupnya terus menerus sambil berenang.
Pengambilan makanan dibantu dengan antena II pada nauplius (Mudjiman, 1992).
Menurut cara reproduksinya, Artemia salina dibagi menjadi dua, yaitu
Artemia yang bersifat biseksual dan Artemia yang bersifat partenogonik. Artemia

Universitas Sumatera Utara

19

biseksual berkembangbiak secara seksual, yaitu didahului dengan perkawinan
antara jantan dan betina. Sedangkan Artemia salina partenogonik berkembang
biak secara partenogenesis, yaitu betina menghasilkan telur atau nauplius tanpa
adanya pembuahan (Mudjiman, 1992).
Siklus hidup Artemia salina cukup unik, baik jenis biseksual maupun
partenogenesis. Perkembangannya dapat secara ovovivar maupun ovipar
tergantung kondisi lingkungan terutama salinitas. Pada salinitas tinggi akan
dihasilkan kista yang keluar dari induk betina sehingga disebut dengan
perkembangbiakan secara ovipar. Sedangkan pada salinitas rendah tidak akan
menghasilkan kista akan tetapi langsung menetas dan dikeluarkan sudah dalam
bentuk nauplius sehingga disebut dengan perkembangbiakan secara ovovipar
(Mudjiman, 1992).
Ada 3 tahapan proses penetesan Artemia ini yaitu tahap hidrasi, tahap
pecah cangkang, dan tahap pengeluaran. Tahap hidrasi terjadi penyerapan air
sehingga kista yang diawetkan dalam bentuk kering tersebut akan menjadi bulat
dan aktif bermetabolisme. Tahap selanjutnya adalah tahap pecah cangkang yang
disusul tahap pengeluaran yang terjadi beberapa saat sebelum nauplius keluar dari
cangkang (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).
Secara alami makanan Artemia terdiri dari detritus bahan organik (sisa
jasad hidup yang hancur), ganggang, bakteri dan cendawan. Dalam pemeliharaan
makanan yang diberikan adalah katul padi, tepung beras, tepung kedelai atau ragi
(Mudjiman, 1992). Secara keseluruhan siklus hidup larva Artemia Salina Leach
dapat dilihat pada gambar 2.3 berikut ini :

Gambar 2.3 Perkembang biakan Artemia salina (Tamaru dkk., 2004 )

Universitas Sumatera Utara

20

Uji BSLT dengan menggunakan larva udang Artemia salina dilakukan dengan
menetaskan telur – telur tersebut dalam air laut yang dibantu dengan aerasi. Telur
Artemia salina akan menetas sempurna menjadi larva dalam waktu 24 jam. Larva
Artemia salina yang baik digunakan untuk uji BSLT adalah yang berumur 48 jam
sebab jika lebih dari 48 jam dikhawatirkan kematian Artemia salina bukAn
disebabkan toksisitas ekstrak melainkan oleh terbatasnya persediaan makanan
(Meyer et al., 1982). Kista ini berbentuk bulatan – bulatan kecil bewarna kelabu
kecoklatan dengan diameter berkisar 200 – 300µm. Kista yang berkualitas baik,
apabila diinkubasi dalam air dengan kadar garam 5 – 70 permil akan menetas
sekitar 18 – 24 jam. Artemia salina yang baru menetas disebut nauplius, bewarna
orange, berbentuk bulat lonjong dengan panjang sekitar 400 mikron, lebar 170
mikron dan berat 0,002mg. Nauplius berangsur – angsur mengalami
perkembangan dengan 15 kali pergantian kulit hingga dewasa. Pada setiap
pergantian kulit disebut instar (Mudjiman,1998).
Keunggulan penggunan larva udang Artemia salina untuk uji BSLTini
adalah sifatnya yang peka terhadap bahan uji, waktu siklus hidup yang lebih
cepat, mudah dibiakkan dan harganya murah. Sifat peka Artemia salina
kemungkinan disebabkan oleh keadaan membran kulitnya yang sangat tipis
sehingga

memungkinkan

terjadinya

difusi

zat

dari

lingkungan

yang

mempengaruhi metabolisme dalam tubuhnya. Artemia salina ditemukan hampir
pada seluruh permukaan perairan dibumi yang memiliki kisaran salinitas 10 –
20g/l, hal inilah yang menyebabkannya mudah dibiakkan. Larva yang baru saja
menetas berbentuk bulat lonjong dan berwarna kemerah – merahan dengan
panjang 400 µm dengan berat 15µg. Anggota badannya terdiri dari sepasang
sungut kecil (anteluena atau antenna) dan sepasang sungut besar (anten atau
antenna II). Di bagian depan diantara kedua sungut kecil tersebut terdapat bintik
merah yang berfungsi sebagai mata (oselus). Di belakang sungut besarnya
terdapat sepasang mandibula (rahang) yang kecil, sedangkan dibagian perut
(ventral) sebelah depan terdapat labrum (Mudjiman,1988).

Universitas Sumatera Utara

21

2.5.2 Lethal Consentration -50 ( LC50)
Uji toksisitas merupakan uji hayati yang berguna untuk menentukan tingkat
toksisitas dari suatu zat atau bahan pencemar. Suatu senyawa kimia dikatakan
bersifat racun akut jika senyawa tersebut dapat menimbulkan efek racun dalam
jangka waktu singkat, dalam hal ini 24 jam. Sedangkan jika senyawa tersebut baru
menimbulkan efek dalam jangka waktu yang panjang, disebut racun kronis
(karena kontak yang berulang – ulang walaupun dalam jumlah yang sedikit)
(Harmita, 2009)
LC50 ( Median Lethal Concentration) yaitu konsentrasi yang menyebabkan
kematian sebanyak 50% dari organisme uji yang dapat diestimasi dengan grafik
dan perhitungan pada suatu waktu pengamatan tertentu, untuk beberapa penelitian
LC50 24 jam, LC50 48 jam , LC50 96 jam sampai waktu hidup hewan uji
(Dhahiyat dan Djuangsih, 1997)
Selanjutnya pengujian efek toksik dihitung dengan analisa probit yaitu
menghitung mortalitas dengan cara : akumulasi mati dibagi jumlah akumulasi
hidup dan mati (total) dikali 100%. Grafik dibuat dengan log konsentrasi sebagai
sumbu x terhadap mortalitas sebagai sumbu y. Nilai LC50 merupakan konsentrasi
dimana zat menyebabkan kematian 50% yang diperoleh dengan memakai
persamaan regresi linier y = a + bx. Suatu zat dikatakan aktif atau toksik bilai nilai
LC50 < 1000 µg/ml untuk ekstrak dan < 30 µg/ml untuk suatu senyawa.
Tingkat toksisitas suatu ekstrak dapat diklasifikasikan berdasarkan LC50, yaitu
kategori sangat tinggi / highly toxic bila mampu membunuh 50% larva pada
konsentrasi 1-10 µg/ml, sedang / medium toxic pada konsentrasi 10 -100 µg/ml,
dan rendah / low toxic pada konsentrasi 100 – 1000 µg/ml (Meyer, et al., 1982).

Universitas Sumatera Utara