Marga Sebagai Kekuatan Politik

BAB I
PENDAHULUAN

I. 1. Latar Belakang
Indonesia memang telah memiliki banyak suku, budaya, bahasa yang
berbeda-beda yang hidup sampai ke dalam tatanan ruang sistem pemerintahan
terendah yaitu di tingkat desa. Desa merupakan satuan pemerintahan terendah atau
terkecil di dalam republik ini, adalah sejatinya memiliki kadar politik tersendiri,
memiliki karakteristik sendiri serta menjadi tempat bergaungnya “the real
politics”.
Sistem kekerabatan muncul di tengah-tengah masyarakat

karena

menyangkut hukum antar satu sama lain dalam pergaulan hidup.Dalam tradisi
Batak, yang menjadi kesatuan adat adalah ikatan sedarah yang disebut dengan
marga. Suku bangsa Batak terbagi ke dalam enam kategori atau puak, yaitu Batak
Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak
Mandailing. Masing-masing puak memiliki ciri khas nama marganya. Marga ini
berfungsi sebagai tanda adanya tali persaudaraan di antara mereka. Satu puak bisa
memiliki banyak marga. 1

0F

Suku Batak Toba identik dengan Marga.Marga diturunkan secara turuntemurun kepada generasinya. Marga hanya akan diberikan atau diturunkan kepada
anak laki-laki mereka, sedangkan untuk anak perempuan pada suku Batak Toba
dianggap sebagai boru sehingga mereka tidak menurunkan marga secara garis
keturunan ayah. Marga hanya diturunkan oleh anak laki-laki mereka. Hal ini
1

http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/942/sistem-kekerabatan-suku-batak.
tanggal 05 November 2014, pukul 19.57 Wib.

Diakses pada

Universitas Sumatera Utara

disebabkan bahwa anak perempuan bagi orang Batak bila sudah menikah anak
perempuan mereka, maka anak perempuan mereka akan menjadi keluarga pihak
laki-laki dan akan membawa marga dari suaminya. Walaupun dia (perempuan)
hanya boru, ia memiliki pengaruh dalam keluarganya maupun keluarga suaminya.
Hal ini akan menimbulkan sistem kekerabatan yang semakin luas, sehingga marga

bagi orang Batak Toba sangatlah berpengaruh dan tidak akan terlepas dari sistem
kekerabatan mereka.
Penelitian ini secara garis besar akan menjelaskan Marga sebagai
kekuatan politik yang digunakan oleh etnis Batak Toba dalam kompetisi calon
pemilihan kepala desa. Sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba masih
sangat kuat.Adanya istilah Dalihan Na Tolu dalam suku Batak Toba yang
meliputi hula-hula, dongan tubu dan boru yang artinya Tungku yang tiga
batunya.Dalihan Na Tolu yang pada saat ini masih dipegang teguh oleh
masyarakat Batak Toba yang merupakan cerminan dalam interaksi.Sistem
kekerabatan pada masyarakat Batak Toba bukan hanya pada garis keturunan yang
berhubungan sedarah ayah atau ibu.
Sebagai contoh dalam penelitian ini salah satu calon kepala desa Laumil,
Kecamatan Tigalingga, Kabupaten Dairi yang bermarga Sianturi bukan hanya
memiliki hubungan kerabat dengan marga sianturi yang lainnya, meskipun dia
tidak memiliki hubungan darah dengan ayahnya atau saudara kandung ayah,
namun memiliki cakupan yang luas karena setiap marga merupakan keturunan
dari kelompok besar. Dalam kelompok besar tersebut memiliki beberapa marga
yang saling berkaitan dan memiliki hubungan kekerabatan.

Universitas Sumatera Utara


Kekerabatan pada masyarakat Batak Toba melalui perkawinan maka
kekerabatan mereka akan semakin luas. Hal ini disebabkan perkawinan hanya
dapat dilakukan dengan marga lain. Aturan adat Batak, semarga berarti satu darah
walaupun secara genealogis mungkin tidak dapat dijelaskan hubungan satu
dengan yang lainnya, jadi dengan kata lain kawin dengan satu marga disebut
sumbang (incest) dan yang melanggar akan diberi sanksi hukum dan sanksi sosial.
Hal inilah yang memungkinkan sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba
sangat luas bahkan bukan hanya pada saat satu marga ataupun satu kelompok
marga besar namun diluar kelompok marga besar dapat terjalin.
Banyak kita mendengar seseorang menggunakan marganya sebagai satu
pengaruh terhadap orang lain karena marga memiliki suatu pengaruh yang sangat
kuat akibat dari dengan adanya sistem kekerabatan. Pengaruh marga sering sekali
dijadikan suatu kekuatan perpolitikan di Indonesia.Sehingga banyak yang
menyatakan marganya walaupun tanpa ada hubungan darah secara garis keturunan
Batak Toba yaitu Patrilineal.Saat ini, marga dapat dimiliki seseorang karena
dimaksudkan sebagai gelar kehormatan belaka.Marga dijadikan sebagai sarana
dalam pendekatan terhadap suku Batak Toba.Bagi suku Batak Toba, marga
memiliki nilai yang sangat tinggi di dalam masyarakat dibandingkan dengan harta
kekayaan.Tanpa marga maka seseorang tersebut tidak memiliki nilai kedudukan

dalam sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba.
Perlu kiranya disinggung disini sepintas, bahwa sesudah negara kita
Indonesia merdeka ada saja di kalangan masyarakat Batak Toba memberi marga
kepada tokoh-tokoh masyarakat yang bukan suku Batak Toba.Status sosial sangat

Universitas Sumatera Utara

ditentukan oleh marga. Didalam hubungan sosial orang Batak Toba, marga
merupakan dasar untuk menentukan partuturan, hubungan persaudaraan, baik
untuk kalangan semarga maupun dengan orang-orang dari marga yang lain.
Kapan mulai terdapat struktur marga di kalangan orang Batak Toba, tidak
diketahui dengan pasti.Hanya dikatakan bahwa marga sudah ada sejak adanya
orang Batak Toba.
Peresmian marga diadakan dalam upacara adat, marga-marga yang telah
diberikan itu tentu dimaksudkan sebagai gelar kehormatan saja karena ada yang
menerimanya di pihak lain, sedangkan hubungan darah masih tetap merupakan
syarat mutlak dalam upacara adat pemberian marga.Meskipun dimaksudkan
sebagai kehormatan belaka, namun menurut prinsip adat Batak Toba yang tidak
bisa ditawar-tawar tidak boleh diberi marga kepada pria bukan orang Batak Toba
yang istrinya juga bukan orang Batak Toba.Sebabnya ialah biar bagaimanapun

setiap pria Batak Toba mewariskan marga secara turun-temurun.Mengenai marga
seorang Batak Toba tidak menjadi masalah bahwa ibunya bukan wanita Batak
Toba, misalnya marga orang itu Sianturi dan kalau perlu dapat membuktikannya
berdasarkan silsilah mulai dari Siraja Batak.
Kesimpulan ialah marga sebagai gelar kehormatan dapat diberikan hanya
kepada sang istri bukan wanita Batak, yang suaminya juga bukan orang Batak,
karena wanita tidak mewariskan marga, jadi yang dihibahkan itu paling lama
seumur hidup. Marga dijadikan politisasi dalam memperoleh kekuasaan,
perhatian, simpati dan kedekatan demi memperoleh suara pemilihan yang cukup
besar. Dalam setiap pemilihan seperti ini memang sering terjadi pendekatan-

Universitas Sumatera Utara

pendekatan setiap calon yang mendaftarkan diri mereka sebagai calon kepala desa
bahkan sampai kepada sebagai calon anggota legislatif maupun eksekutif di
tingkat nasional yang akan menimbulkan simpati dari masyarakat.
Secara tidak langusng marga sendiri memiliki unsur politik sejak dulu.
Namun bukan dimanfaatkan sebagai upaya seseorang untuk mendapatkan
kekuasaan dengan cara penambalan marga. Hal ini terkait pada sistem
kekerabatan yang dianut bagi suku Batak, marga akan diturunkan atau diwariskan

secara turun-temurun pada anak laki-laki dan perempuan. Suku Batak memiliki
suatu sistem yang mengikat mereka yang disebut dengan Dalihan Na Tolu yang
mana sama besarnya dan panjangnya, sehingga bila dibalik tetap sama dan saling
menopang. Inilah yang membuat sistem kekerabatan suku Batak sangat kuat
dengan adanya marga sebagai ikatan kekeluargaan.
Kekuatan perpolitikan bila kita jabarkan atau gambarkan memiliki garis
koordinasi yang saling menghilangkan satu sama lain yang akan memiliki suatu
kekuatan yang kuat. Bila dilihat dari prinsip sistem kekerabatan masyarakat
Batak, terutama Batak Toba memiliki tiga kekuatan yang memiliki kekuatan yang
sama besar, yang saling menopang satu sama lain. Kekuatan sistem kekerabatan
ini akan membentuk suatu paramida segitiga. Secara etimologi paramida memiliki
garis yang sama panjang. Sehingga bila kita balik-balikan paramida tersebut akan
selalu berbentuk segitiga yang sama. Seperti halnya kekuatan politik tidak terlepas
dari adanya dukungan dari orang yang memberi pengaruh terhadap politik
tersebut.Dalam perpolitikan yang sering terjadi di Indonesia merupakan politik
tradisional sehingga untuk mendapat kekuatan dan kekuasaan dari dukungannya

Universitas Sumatera Utara

maka peran agama, suku dan golongan merupakan kekuatan yang cukup besar

dalam memberi kesempatan kekuatan dalam membangun suatu kekuatan dalam
politik.
Dalam keterkaitan marga ada dua faktor yang besar dan sering terjadi yang
sekarang ini, hal inilah yang akan menjadi tulisan menarik adanya perubahan
marga menjadi kekuatan politik. Dua faktor ini kemungkinan adalah diberi dan
diminta, dari kedua hal itulah akan muncul masalah. Bila kita berbicara antara
kedua pihak yang akan memberikan keuntungan atau kontribusi bagi kedua pihak
antara si pemberi dan si penerima.
Marga yang merupakan salah satu jembatan dalam sistem kekerabatan
bagi suku Batak Toba, akan menimbulkan kekuatan dan pengaruh bagi mereka.
Sehingga

banyak

pihak-pihak

yang

ingin


membesarkan pengaruh dan

kekuasaannya di daerah Batak Toba (Sumatera Utara) maka mereka akan
mengadakan hubungan sehingga bagi pihak yang memiliki marga yang sama akan
lebih mudah dalam pemberian pengaruh.

Ketertarikan peneliti akan masalah

marga sebagai kekuatan politik karena pada dasarnya marga, mereka turunkan
melalui garis keturunan ayah yang secara turun-temurun dan akan diteruskan oleh
anak laki-laki mereka. Namun pada saat ini marga digunakan sebagai kekuatan
politik untuk mendapatkan kekuasaan dengan menjadi bagian dari komunitas
tersebut.Banyak diantara kita tidak memahami pasti mengapa seseorang itu mau
menggunakan marga tertentu untuk dirinya.Bahkan banyak masyarakat Batak
Toba tidak memahaminya hal ini dapat dijadikan sebagai pengaruh kekuatan
politik.

Universitas Sumatera Utara

Memahami Indonesia sebagai negara yang menjalankan sistem demokrasi

secara prosedural, Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) merupakan salah satu
perwujudan dari kedaulatan setiap masyarakat. Masyarakat menjadi pihak yang
menentukan dalam proses politik dengan memberikan suara mereka secara
langsung. Adanya pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur
dan adil, secara tidak langsung rakyat memiliki otoritas dan posisi yang sangat
diutamakan untuk dapat melakukan pertukaran pemerintahan dengan jalan damai
berdasarkan peraturan yang telah disepakati. 2 Rakyat merupakan elemen penting
1F

dalam melakukan pergantian kepemimpinan nasional sampai ke tingkat daerah
terendah (desa). Oleh karena itu, perlu adanya mekanisme yang jelas dalam
mengatur kekuasaan rakyat ini.
Pemilihan kepala desa telah menjadi salah satu wadah yang bertujuan
untuk memberikan kesempatan pada masyarakat untuk menentukan siapa yang
akan mewakili mereka dan memimpin mereka dalam lembaga eksekutif (kepala
desa). Pemilihan kepala desa juga wadah untuk menjaring orang-orang yang
benar-benar bisa dan mampu untuk masuk ke dalam lingkaran elit politik, baik itu
di tingkat daerah maupun di tingkat nasional.
Desa, menurut definisi Universal, adalah sebuah aglomerasi permukiman
di area perdesaan (rural). Di indonesia, istilah desa adalah pembagian wilayah

administratif di indonesia di bawah kecamatan, yang dipimpin oleh kepala desa.
Menurut undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sama
2

Rozidateno P.Hanida.Bentuk Komunikasi Politik Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Terhadap Konstituen di Daerah Pemilihannya. Jurnal Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas,
Padang. Hal 1.

Universitas Sumatera Utara

halnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2005 dinyatakan bahwa
desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3
2F

Desa bukanlah bawahan kecamatan, karena kecamatan merupakan bagian
dari perangkat daerah kabupaten atau kota, dan desa bukan merupakan bagian dari
perangkat daerah. Berbeda dengan kelurahan, desa memiliki hak mengatur

wilayahnya lebih luas. Namun, dalam perkembangannya sebuah desa dapat
ditingkatkan statusnya menjadi kelurahan. Desa dibentuk atas prakarsa
masyarakat dengan memperhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial budaya
masyarakat setempat. Pembentukan desa dapat berupa penggabungan beberapa
desa, atau bagian desa yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi
dua desa atau lebih, ataupun pembentukan desa di luar desa yang telah ada.
Selanjutnya, banyak pandangan bahwa sekarang otonomi asli desa itu
sudah hilang. Sebab, semua urusan pemerintahan sudah menjadi milik Negara,
tidak ada satupun urusan pemerintahan yang luput dari pengaturan Negara. Bagi
banyak kalangan menyampaikan dan menuntut agar pemberian (desentralisasi)
otonomi kepada desa dari Negara yakni pembagian kewenangan dan keuangan
yang lebih. Di satu sisi penegasan posisi dan kewenangan desa selalu dibayangi
kesulitan tentang budaya, struktur politik lokal, tradisi dan pengalaman lokal yang
begitu beragam. Doktrin-doktrin NKRI selalu muncul sebagai pembatas dan
3

Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daeerah, dan Peraturan Pemerintah
Nomor 57 Tahun 2005.

Universitas Sumatera Utara

penghalang atas berkembangnya ide-ide otonomi lokal yang lebih luas, termasuk
otonomi desa.
Secara historis desa merupakan embrio bagi terbentuknya masyarakat
politik dan pemerintahan di Indonesia. Jauh sebelum Negara-bangsa modern ini
terbentuk, entitas sosial sejenis desa atau masyarakat adat lain sebagainya, telah
menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi sangat penting. Mereka ini
merupakan institusi yang otonom tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri
mengakar kuat., serta relatif mandiri dari campur tangan entitas kekuasaan dari
luar. Pada pemilihan kepala desa di Desa Laumil pada tanggal 31 Agustus 2012
yang lalu telah dilaksanakan pemilihan kepala desa. Dimana ada 2 calon yang
bertarung di pemilihan kepala desa tersebut yaitu Cahayo Efrata Batubara dan
Laurensus Sianturi. Hasilnya Cahayo Efrata Batubara memperoleh 566 suara dan
Laurensus Sianturi memperoleh 701 suara. Laurensus Sianturi kemudian pada 5
september 2012 resmi dilantik menjadi Kepala Desa Laumil, Kecamatan
Tigalingga, Kabupaten Dairi periode 2012-2018.
Dengan demikian, peneliti mengkonsepkannya dalam sebuah judul
penelitian, yaitu “Marga Sebagai Kekuatan Politik (Studi Kasus: Dukungan
Marga Terhadap Calon Kepala Desa Laumil, Kecamatan Tigalingga, Kabupaten
Dairi Tahun 2012).”
I. 2. Rumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan penjelasan dan penjabaran dari identifikasi
masalah dan pembatasan, atau dengan kata lain, perumusan masalah merupakan
pernyataan lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti
didasarkan atas identifikasi masalah.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan penjelasan di atas dan berangkat dari latar belakang masalah,
peneliti mencoba merumuskan permasalahan yaitu “Bagaimana tingkat efektivitas
marga sebagai kekuatan politik oleh calon dalam pemilihan Kepala Desa Laumil,
Kecamatan Tigalingga, Kabupaten Dairi Tahun 2012 ?”.
I. 3. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah adalah usaha untuk menetapkan masalah dalam
batasan penelitian yang termasuk kedalam masalah penelitian dan faktor mana
saja yang tidak termasuk kedalam ruang penelitian tersebut. Maka untuk
memperjelas

dan

membatasi

ruang

lingkup

penelitian

dengan

tujuan

menghasilkan uraian yang sistematis diperlukan adanya batasan masalah. Adapun
pembatasan masalah yang akan diteliti oleh penulis yaitu :
1. Memfokuskan penelitian di wilayah Desa Laumil, Kecamatan Tigalingga,
Kabupaten Dairi pada periode pemerintahan tahun 2012.
2. Hanya mengkaji tentang marga suku Batak Toba sebagai kekuatan politik
dengan studi kasus: Dukungan Marga Terhadap Calon Kepala Desa.
I. 4. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam tulisan penelitian ini adalah
mendeskripsikan marga menjadi kekuatan politik oleh calon kepala desa di Desa
Laumil, Kecamatan Tigalingga, Kabupaten Dairi Tahun 2012.
I. 5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang berarti bagi
peneliti, pengembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat, diantaranya;

Universitas Sumatera Utara

1. Bagi Peneliti, untuk meningkatkan pengetahuan serta kemampuan
khususnya dalam penelitian, sehingga mampu mengungkapkan
permasalahan yang diteliti.
2. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini diharapkan
dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, diantaranya
mengenai berbagai aspek tentang studi kekuatan politik, khususnya
dalam seni untuk memperoleh kekuasaan dan menjalankannya
berdasarkan konstitusional yang berlaku.
3. Bagi masyarakat umum, diharapkan dapat memperkuat sistem
kekerabatan bagi masyarakat, sehingga marga bukan sebagai pemecah
tetapi

wadah

kekuatan

pemersatu

masyarakat.

Meningkatkan

partisipasi dan peran serta dalam melakukan kontrol terhadap
penyelenggaraan pemerintahan desa. Serta diharapkan hasil penelitian
ini dapat memberikan kontribusi pemikiran secara konseptual,
khususnya kepada pemerintahan desa yang berorientasi kepada
peningkatan mutu sumber daya masyarakat.
I. 6. Kerangka Teori
Ketika menyusun sebuah tulisan ilmiah, maka kerangka teori merupakan
bagian yang sangat penting, karena didalam kerangka teori akan dimuat teoriteori yang relevan dalam menjelaskan permasalahan yang sedang diteliti.
Kerangka teori ini akan sebagai landasan berpikir atau titik tolak dalam penelitian.
Oleh sebab itu perlu disusun yang namanya kerangka teori yang memuat pokok-

Universitas Sumatera Utara

pokok pikiran yang menggambarkan diri dari sudut mana masalah penelitian itu
akan ditelaah 4.
3F

Teori merupakan seperangkat preposisi yang terintegrasi secara sintaksis
(yang mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis atau dengan
lainnya dengan data dasar yang dapat diamati) dan berfungsi sebagai wahana
untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati 5.
4F

Berikut ini akan dijabarkan beberapa teori yang dapat digunakan dalam
penelitian ini;
I. 6. 1. Teori Perilaku Pemilih
Studi tentang perilaku memilih merupakan studi mengenai alasan dan
faktor yang menyebabkan seseorang memilih suatu partai atau kandidat yang ikut
dalam kontestasi politik. Perilaku memilih baik sebagai konstituen maupun
masyarakat umum di sini dipahami sebagai bagian dari konsep partisipasi politik
rakyat dalam sistem perpolitikan yang cenderung demokratis. Menurut Firmanzah
(Efriza,2012:480) secara garis besar, pemilih diartikan sebagai semua pihak yang
menjadi tujuan utama para kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar
mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan yang
bersangkutan. Pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat
yang merasa diwakili oleh suatu idiologi tertentu yang kemudian dimanifestasikan
dalam institusi politik seperti parpol. 6
5F

4

Nawawi, H, 1995. Metode penelitian bidang social,Yogyakarta:Gadjah Mada University Pers.
Hal:39-40
5
Boleong, 2002.Metode Penelitian Kualitatif. Bandung:PT Remaja Rosdakarya.Hal:16
6
Faried, Cahyono, 2004, Pemilu 2004 Transisi Demokrasi dan Kekerasan, Yogyakarta:CSPS
Hal.45.

Universitas Sumatera Utara

Secara teoritis, perilaku pemilih dapat diurai dalam tiga pendekatan utama,
masing-masing pendekatan sosiologi, psikologi, dan pilihan rasional. Pendekatan
sosiologi, pendekatan ini lahir dari buah penelitian Sosiolog, Paul F. Lazersfeld
dan rekan sekerjanya Bernard Berelson dan Hazel Gaudet dari Columbia
University. Karenanya model ini juga disebut Mazhab Columbia (Columbia
School).
Menurut teori ini, setiap manusia terikat didalam berbagai lingkaran sosial,
setiap manusia terikat di dalam berbagai lingkaran sosial, contohnya keluarga,
lingkaran rekan-rekan, tempat kerja dsb. Lazeersfeld menerapkan cara pikir ini
kepada pemilih. Seorang pemilih hidup dalam konteks tertentu : status
ekonominya,

agamanya,

tempat

tinggalnya,

pekerjaannya

dan

usianya

mendefinisikan lingkaran sosial yang mempengaruhi keputusan sang pemilih.
Setiap lingkaran sosial memiliki normanya sendiri, kepatuhan terhadap normanorma tersebut menghasilkan integrasi. 7
6F

Namun konteks ini turut mengkontrol prilaku individu dengan cara
memberikan tekanan agar sang individu menyesuaikan diri, sebab pada dasarnya
setiap orang ingin hidup dengan tentram, tanpa bersitegang dengan lingkungan
sosialnya.
Saiful Mujani, R. William Liddle dan Kuskridho Ambardi dalam bukunya
Kuasa Rakyat (2012), menjelaskan bahwa faktor agama menjadi hal yang
dipercaya sangat berpengaruh dalam konteks pendekatan sosiologis.

7

Firmanzah, 2008, Mengelola Partai Politik, Komunikasi dan Positioning ideologi
politik di era Demokrasi, Jakarta : yayasan Obor. Hal.67.

Universitas Sumatera Utara

Selain pendekatan Sosiologis, pendekatan Psikologis juga bisa digunakan
dalam menganalisa perilaku pemilih dalam pemilihan kepala desa. Meski begitu,
pendekatan ini tidak dominan dibanding pendekatan Sosiologis.
Dalam bukunya, Dieter Roth (2012) menjelaskan bahwa pendekatan sosial
psikologis

berusaha

untuk

menerangkan

faktor-faktor

apa

saja

yang

mempengaruhi keputusan pemilu jangka pendek atau keputusan yang diambil
dalam waktu yang singkat. Hal ini berusaha dijelaskan melalui trias determinan,
yakni identifikasi partai, orientasi kandidat dan orientasi isu/utama. Inti dasar
pemikiran ini dituangkan dalam bentuk sebuah variabel yakni identifikasi partai
(party identification).
Dalam pendekatan yang sama, Saiful Mujani, R. William Liddle dan
Kuskridho Ambardi dalam bukunya Kuasa Rakyat (2012) menjelaskan bahwa
seorang warga berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilpres bukan saja karena
kondisinya lebih baik secara sosial ekonomi, atau karena berada dalam jaringan
sosial, akan tetapi karena ia tertarik dengan politik, punya perasaan dekat dengna
partai tertentu (identitas partai), punya cukup informasi untuk menentukan
pilihan, merasa suaranya berarti, serta percaya bahwa pilihannya dapat ikut
memperbaiki keadaan (political efficacy).
Namun kritik terhadap dua pendekatan di atas, muncul kemudian dengan
asumsi pemilih bukan wayang yang tidak memiliki kehendak bebas dari kemauan
dalangnya oleh Anthony Downs dalam Economic Theory of Democracy (1957).
Artinya, peristiwa-peristiwa politik tertentu dapat mengubah preferensi pilihan
seseorang.

Universitas Sumatera Utara

Dalam pendekatan pilihan rasional ini, dipaparkan dua orientasi yang
menjadi daya tarik pemilih, yaitu orientasi isu dan kandidat. Orientasi isu berpusat
pada pertanyaan; apa yang seharusnya dan sebaiknya dilakukan untuk
memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat? Dan orientasi
kandidat mengacu pada sikap seseorang terhadap pribadi kandidat tanpa
mempedulikan label partainya. Di sinilah para pemilih menentukan pilihannya
berdasarkan pertimbangan rasional.
Namun terkadang pula para pemilih rasional yang bisa dikatakan sebagai
free rider tidak peduli terhadap pemilihan umum , hal ini rasional secara ekonomi.
Sebab utamanya adalah usaha yang diperlukan untuk mendapatkan informasi
politik tidak sebanding dengan imbalannya (Anthony Downs: An Economic
Theory of Democracy). Apa arti satu suara dalam pemilihan dengan seratus juta
suara. Kemungkinan satu suara tersebut untuk mempengaruhi hasil pemilihan
sangatlah kecil. 8
7F

Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa pemilih menggunakan hak
suaranya tanpa harapan yang rasional untuk mengubah hasil. Yang dia dapatkan
adalah imbalan emosional. Mungkin kebanggaan karena dengan memilih dia
menjalankan tugasnya sebagai warga negara. Atau perasaan bahagia karena sudah
berusaha membantu rakayat miskin dengan program yang dipilihnya. Apakah
program tersebut terlaksana atau tidak sangat kecil hubungannya dengan suara
pemilih tersebut. Dan resiko (baik atau buruk) yang ditanggung oleh si pemilih
atas pilihannya biasanya sangat kecil. Mencari informasi politik itu mahal dan

8

Ibid,Meriam Budiardjo.,Hal.17.

Universitas Sumatera Utara

perlu usaha besar. Karena itu pemilih cenderung tidak melakukannya. Ini adalah
apa yang disebut oleh Gordon Tullock (Public Choice Theory) sebagai rational
ignorance. Pemilih sebenarnya tidak selalu rasional dalam menyalurkan suaranya.
Mereka tidak mempunyai pemahaman yang benar terhadap berbagai topik
(terutama ekonomi) yang sering diusung oleh kandidat. 9
8F

Usaha untuk menambah pemahaman tentang kandidat memerlukan waktu
dan juga pemikiran, bahkan terkadang biaya. Sementara keputusan yang
berdasarkan emosi bisa dibilang gratis. Ini salah satu sebab hasil Pemilu tidak
selalu mewakili kepentingan rasional pemilih. Sebab lain adalah karena sistem
suara terbanyak tidak selalu bisa mewakili kepentingan sosial yang merupakan
agregasi dari berbagai kepentingan individu.
Prof. Miriam Budiarjo (2008;136) mendefinisikan prilaku pemilih sebagai
kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam
kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pemimpin negara dan secara
langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public
policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam
pemilihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan (contacting)
atau (lobbying) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi
anggota partai atau salah satu gerakan sosial dengan direct actionnya, dan
sebagainya. Perilaku memilih bisa dikategorikan ke dalam tiga besaran, yaitu:
1. Perilaku Memilih Rasional Perilaku memilih ini, notabane
disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari internal pemilih.
9

Burton, Graeme , 2012, Media dan Budaya Populer, Jakarta : Jalasutr, Hal,12.

Universitas Sumatera Utara

Sehingga pemilih, disini berkedudukan sebagai makhluk yang
independen, memiliki hak bebas untuk menentukan memilih partai
atau kandidat mana pun. Dan sebagian besar mereka berasal dari
internal pemilih sendiri, hasil berpikir dan penilaian terhadap
objek politik tertentu.
2. Perilaku Memilih Emosional, Sementara untuk perilaku memilih
ini, lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari
lingkungan. Seperti factor sosiologis, struktursosial, ekologi
maupun sosiopsikologi.
3. Perilaku pemilih dan partisipasi politik menurut Samuel P.
Hutington dan Joan Nelson merupakan dua hal tidak dapat
dipisahkan Partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai
bentuk. Salah satu wujud dari partisipasi politik ialah kegiatan
pemilihan yang mencakup suara, sumbangan- sumbangan untuk
kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi
seorang calon atau setiap tindakan yang bertujuan untuk
mempengaruhi hasil proses pemilihan. 10
9F

Sementara itu menurut Surbakti perilaku pemilih adalah aktifitas
pemberian suara oleh individu yang berkaiatan erat dengan kegiatan pengambilan
keputusan untuk memilih dan tidak memilih didalam suatu pemilu maka voters
akan memilih atau mendukung kandidat tertentu.
Ada tiga teori besar yang menjelaskan mengapa seseorang tidak memilih
ditinjau dari sudut pemilih ini adalah sebagai berikut : Pertama, teori sosiologis.
Seseorang tidak ikut dalam pemilihan dijelaskan sebagai akibat dari latar belakang
sosiologis tertentu, seperti agama, pendidikan, pekerjaan, ras dan sebagainya.
Faktor jenis pekerjaan juga dinilai bisa mempengaruhi keputusan orang ikut
pemilihan atau tidak. Kedua, teori psikologis. Keputusan seseorang untuk ikut
memilih atau tidak ditentukan oleh kedekatan dengan partai atau kandidat yang
maju dalam pemilihan. Makin dekat seseorang dengan partai atau kandidat
tertentu makin besar kemungkinan seseorang terlibat dalam pemilihan.

10

Ibid.,Meriam Budiarjo.,Hal.13.

Universitas Sumatera Utara

Ketiga, teori sosial ekonomi. Teori ini menyatakan keputusan untuk
memilih atau tidak dilandasi oleh pertimbangan rasional, seperti ketidakpercayaan
dengan

pemilihan

yang

bisa

membawa

perubahan

lebih

baik.

Atau

ketidakpercayaan masalah akan bisa diselesaikan jika pemimpin baru terpilih, dan
sebagainya. Pemilih yang tidak percaya dengan pemilihan akan menciptakan
keadaan lebih baik, cenderung untuk tidak ikut memilih.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perilaku pemilih. Misalnya saja
isu-isu dan kebijakan politik, tetapi pula sekelompok orang yang memilih
kandidat karena dianggap representasi dari agama atau keyakinannya, sementara
kelompok lainnya memilih kandidat politik tertentu karena dianggap representasi
dari kelas sosialnya bahkan ada juga kelompok yang memilih sebagai ekspresi
dari sikap loyal pada ketokohan figur tertentu. Sehingga yang paling mendasar
dalam mempengaruhi perilaku pemilih antara lain pengaruh elit, identifikasi
kepartaian sistem sosial,media massa dan aliran politik. 11
10F

1.

Pendekatan Sosiologis
Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan

pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup
signifikan dalam menentukan perilaku pemilih. Pengelompokan sosial ini
misalnya berdasarkan umur (tua-muda), jenis kelamin (laki-laki dan perempuan),
agama dan semacamnya, dianggap mempunyai peranan cukup menentukan dalam
membentuk perilaku pemilih.

11

Wiryanto,2007,Teori Komunikasi Massa,Jakarta : PT Grasind, Hal.23.

Universitas Sumatera Utara

Untuk itu, pemahaman terhadap pengelompokan sosial baik secara formal
seperti keangggotaan seseorang didalam organisasi keagamaan, organisasi profesi,
kelompok-kelompok okupasi dan sebagainya, maupun kelompok informal seperti
keluarga, pertemanan, ataupun kelompok-kelompok kecil lainnya. Ini merupakan
sesuatu yang vital dalam memahami perilaku politik, karena kelompok-kelompok
ini mempunyai peranan besar dalam bentuk sikap, persepsi dan orientasi
seseorang. Jadi bisa dikatakan bahwa keangotaan seseorang kepada kelompokkelempok soisal tertentu dapat mempengaruhi seseorang didalam menentukan
pilihnaya pada saat pemilu.
Hal ini tidak terlepas dari seringnya anggota kelompok, organisasi profesi
dan kelompok okupasi berinteraksi satu sama lain sehingga timbulnya pemikiranpemikiran untuk mendukung salah satu dari caleg yang mengikuti pemilu.
Pemilih cenderung untuk memilih partai agama tertentu yang sesuai
dengan agama yang dianut. Di Indonesia faktor agama masih dianggap penting
untuk sebahagian besar masyarakat. Dikutip Sulhardi (April 2008), Misalnya
seorang muslim cenderung untuk memilih partai yang berbasis Islam dan
sebaliknya seorang non-muslim cenderung untuk memilih partai non-muslim. 12
11F

2.

Pendekatan psikologis
Psikologi adalah ilmu sifat, dimana fungsi-fungsi dan fenomena pikiran

manusia dipelajari. Setiap tingkah laku dan aktivitas masyarakat dipengaruhi oleh
akal individu. Sedangkan ilmu politik mempelajari aspek tingkah laku masyarakat
umum sehingga ilmu politik berhubungan sangat dekat dengan psikologi.

12

Ibid.,Wiryanto.,Hal.45.

Universitas Sumatera Utara

Pendekatan ini muncul merupakan reaksi atas ketidakpuasan mereka
terhadap pendekatan sosiologis. Secara metodologis, pendekatan sosiologis
dianggap sulit diukur, seperti bagaimana mengukur secara tepat sejumlah
indikator kelas sosial, tingkat pendidikan, agama, dan sebagainya. Pendekatan ini
menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi terutama konsep sikap dan
sosialisasi untuk memperjelaskan perilaku pemilih. Disini para pemilih
menentukan pilihannya karena pengaruh kekuatan psikologis yang berkembang
dalam dirinya sebagai produk dari proses sosialisasi, artinya sikap seseorang
merupakan refleksi dari kepribadian dan merupakan variabel yang menentukan
dalam mempengaruhi perilaku politiknya.
3.

Pendekatan Pilihan Rasional
Dua pendekatan terdahulu secara implisit atau eksplisit menempatkan

pemilih pada waktu dan ruang kosong. Dimana pendekatan tersebut beranggapan
bahwa perilaku pemilih bukanlah keputusan yang dibuat pada saat menjelang atau
ketika berada dibalik suara, tetapi sudah ditentukan jauh sebelumnya, bahkan jauh
sebelum kampanye dimulai.
Karakteristik sosiologis, latar belakang keluarga, pembelahan kultural,
identifikasi partai melalui proses sosialisasi,pengalaman hidup, merupakan
variabel yang secara sendiri-sendiri mempengaruhi perilaku politik seseorang. Ini
berarti variabel lain menentukan atau ikut menentukan dalam mempengaruhi
perilaku pemilih. Ada faktor situasional yang ikut mempengaruhi pilihan politik
seseorang. Dengan begitu para pemilih bukan hanya pasif tetapi juga aktif, bukan

Universitas Sumatera Utara

hanya terbelenggu oleh karakteristik sosiologis tetapi bebas untuk bertindak.
Faktor situasional ini bisa berupa isu-isu politik pada kandidat yang dicalonkan.
Perilaku pemilih tidak harus tetap atau sama, karena karakteristik
sosiologis dan identifikasi partai dapat berubah-ubah sesuai waktu dan peristiwaperistiwa politik tertentu. Dengan begitu, isu-isu politik menjadi pertimbangan
yang penting dimana para pemilih akan menentukan pilihan berdasarkan penilaian
terhadap isu-isu politik dan kandidat yang diajukan. Artinya para pemilih
(masyarakat)

dapat

menentukan

pilihannya

berdasarkan

pertimbangan-

pertimbangan rasional.
Pendekatan pilihan rasional mencoba menjelaskan bahwa kegiatan
memilih sebagai kalkulasi untung dan rugi yang di pertimbangkan tidak hanya
“ongkos” memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang di
harapkan, tetapi juga perbedaan dari alternatif berupa pilihan yang ada.
Pertimbangan ini digunakan pemilih dan kandidat yang hendak mencalonkan diri
untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau pejabat pemerintah. Bagi pemilih,
pertimbangan untung dan rugi digunakan untuk membuat keputusan tentang partai
atau kandidat yang dipilih, terutama untuk membuat keputusan apakah ikut
memilih atau tidak ikut memillih. 13
12F

I.6.2. Teori Kekuatan Politik
Miriam Budiarjo Mengatakan bahwa yang diartikan dengan kekuatankekuatan politik adalah bisa masuk dalam pengertian Individual maupun dalam
pengertian kelembagaan. Dalam pengertian yang bersifat individual, kekuatan13

Nimmo, Dan ,2006, Komunikasi Politik, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hal.13.

Universitas Sumatera Utara

kekuatan politik tidak lain adalah aktor-aktor politik atau orang-orang yang
memainkan peranan dalam kehidupan politik. Orang-orang ini terdiri dari pribadipribadi yang hendak mempengaruhi proses pengambilam keputusan politik. Dan
secara kelembagaan di sini kekuatan politik sebagai lembaga atau organisasi
ataupun bentuk lain yang melembaga dan bertujuan untuk mempengaruhi proses
pengambilan keputusan dalam sistem politik. 14
13 F

Baktiar Efffendi Mengemukakan bahwa kekuatan - kekuatan politik
adalah segala sesuatu yang berperan dan berpengaruh serta terlibat secara aktif di
dalam dunia politik. Beliau juga membagi kekuatan politik menjadi 2 sub bagian
besar, yakni kekuatan politik formal dan kekuatan politik non-formal. 15
14F

2. Jenis Kekuatan Politik
Dalam suatu partisipasi politik, sering dikaitkan dan diukur dengan
berdasar hasil pemilihan umum, perlu diperhatikan bahwa ada bentuk partisipasi
lain, yaitu melalui suatu kelompok atau individu tertentu ataupun melalui media
massa sebagai saran komunikasi politik. Partisipasi ini tentunya memerlukan
adanya kekuatan untuk menghubungkannya dengan pemerintah atau sebaliknya.
Kekuatan kekuatan inilah yang akan kita bahas.
2. 1 Kelompok Kepentingan
Kelompok kepentingan (Interest Group) adalah setiap organisasi yang
berusaha

mempengaruhi

kebijaksanaan

pemerintah,

tanpa

berkehendak

memperoleh jabatan publik. Kecuali dalam keadaan luar biasa, kelompok
kepentingan tidak berusaha menguasai pengelolaan pemerintah secara langsung.
14
15

Miriam Budiardjo. Dasar-dasar Ilmu Politik.Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1998, hlm 58.
Ibid., Miriam Budiardjo.,Hal.78.

Universitas Sumatera Utara

Sekalipun

mungkin pemimpin-pemimpin

kedudukan-kedudukan

politik

berdasarkan

atau

anggotanya

pemilihan

memenangkan

umum,

kelompok

kepentingan itu sendiri tidak dipandang sebagai organisasi yang menguasai
pemerintah. 16
15F

Pada kajian historisnya, Kelompok-kelompok kepentingan muncul
pertama kali pada abad ke 19. Organisasi ini berbeda dengan partai politik,
mereka tidak memperjuangkan kursi dalam parlemen, mereka lebih memfokuskan
diri pada masalah-masalah tertentu saja. Meski tidak cukup mudah untuk
membedakannya, karena partai politik antara lain juga memiliki kepentingan atas
kebijakan pemerintah.
Secara sederhana, Gabriel A. Almond, misalnya, membedakan dua hal ini:
kelompok kepentingan adalah setiap organisasi yang berusaha mempengaruhi
kebijakan pemerintah tanpa, pada waktu yang sama, berkehendak memperoleh
jabatan publik. Sebaliknya, partai politik benar-benar bertujuan untuk menguasai
jabatan-jabatan publik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tujuan
kelompok kepentingan bukan untuk meraih kekuasaan, sementara partai politik
untuk meraih kekuasaan.
Dasar dari kelompok ini adalah “protes”. Mereka sangat kritis terhadap
cara-cara berpolitik dari para politisi dan pejabat, dan merasa terasingkan dari
masyarakat. Mereka menginginkan desentralisasi pemerintah, partisipasi dalam
peningkatan swadaya masyarakat, terutama masyarakat lokal. Kelompok-

16

A. Rahman H.I, Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu, 2007, hlm 85.

Universitas Sumatera Utara

kelompok ini sering berinteraksi dengan badan eksekutif, dengan tetap
memperhatikan kedudukan otonomnya terhadap negara (sering di sebut NGO). 17
16F

Cara kerja kelompok ini sebanyak mungkin tanpa tekanan atau paksaan,
tetapi melalui lobbying serta networking yang intensif tetapi persuasif. Akan
tetapi jika cara ini kurang berhasil, mereka tidak segan-segan bertindak lebih
keras dengan mengadakan tindakan langsung seperti demonstrasi besar-besaran,
pendudukan dan pemogokan, yang kadang-kadang berakhir dengan kekerasan.
Beberapa hal penting lain yang secara signifikasi dapat mempengaruhi
hasil akhir kegiatan kelompok kepentingan ialah Dari sisi internal organisasi,
seperti; lingkungan keanggotaan, loyalitas anggota (menjadi anggota dari berbagai
organisasi atau tidak), lingkup kegiatan, dan derajat ke dalam kegiatan. Dari segi
cara an sarana yang digunakan untuk memperjuangkan tuntutan, dapat
ilihat,seperti: sifat teknik-teknik yang digunakan untuk mencapai tujuan
kelompok, bentuk tuntutan yang diajukan (terinci jelas atau umum dan kabur).
Dari segi eksternal organisasi, hal-hal seperti: derajat kesesuaian dan
ketaatan tujuan dan kegiatan kelompok dengan norma-norma dan kebiasaan
budaya politik yang berlaku, derajat kelembagaan kegiatan dan prosedur yang
diikuti kelompok telah mengikuti pola yang ada atau berubah-ruba, dan derajat
kemampuan

kelompok

memelihara

akses

komunikasi

langsung

dengan

pemerintah yang hendak dipengaruhi,akan sangat mempengaruhi keberhasilan
atau hasil, akhir dari pada pencapaian tujuan kelompok kepentingan. 18
17F

17

Leo Agustino. Pilkada Dan Dinamika Politk Lokal. (Yogyakarta:Penerbit Pustaka Pelajar,2008)
hlm 17.
18
Leo Agustino.,Op.,Cit.,Hal.108.

Universitas Sumatera Utara

Namun yang tak dapat ditinggalkan begitu saja ialah artikulasi
kepentingan dalam konteks perjuangan kelompok kepentingan dalam rangka
menjembatani kepentingan-kepentingan warga. Oleh karena itu, warga Negara
atau setidak-tidaknya wakil dari suatu kelompok harus berjuang mengangkat
kepentingan dan tuntutan kelompoknya, agar dapat dimasukan kedalam agenda
kebijakan Negara.
Setiap individu memiliki tujuan panggilan hidup yang berbeda-beda,
begitu halnya dalam suatu kelompok, kelompok yangg satu beda dengan yang
lainnya, kelompok itu terbentuk karena adanya kesamaan antara anggotanya.
Sehingga Kelompok-kelompok ini terbagi-bagi menjadi jenis yang lebih
sederhana seperti yang dikemukakan oleh. Gabriel A. Almond dan Bingham G.
Powell yakni membagi kelompok kepentingan dalam empat kategori yaitu : (1)
kelompok anonim, (2) kelompok nun-asosiasional, (3) kelompok institusional, (4)
kelompok asosiasional.. Keseluruhan kelompok itu bergerak dalam fokus
tuntutannya

masing-masing

terhadap

kebijakan

pemerintah

untuk

memperjuangkan tuntuntan yang sama yakni kesetaraan. 19
18F

I.6.3. Partisipasi Politik
Partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Partisipasi
merupakan taraf partisipasi politik warga masyarakat dalam kegiatan-kegiatan
politik baik yang bersifat aktif maupun pasif dan bersifat langsung maupun yang
bersifat tidak langsung guna mempengaruhi kebijakan pemerintah. Wahyudi
Kumorotomo mengatakan, Partisipasi adalah berbagai corak tindakan massa
19

C. Wright Mills dalam Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia:Konsolidasi Demokrasi Pasca
Orde Baru, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hlm. 243

Universitas Sumatera Utara

maupun individual yang memperlihatkan adanya hubungan timbal balik antara
pemerintah dan warganya. 20
19 F

Lebih jauh dia mengingatkan bahwa secara umum corak partisipasi warga
negara dibedakan menjadi empat macam, yaitu : pertama, partisipasi dalam
pemilihan

(electoral

participation),

kedua,

partisipasi

kelompok

(group

participation), ketiga, kontak antara warga negara dengan warga pemerintah
(citizen government contacting) dan keempat, partisipasi warga negara secara
langsung.
Menurut Samuel P. Hutington dan Joan Nelson dalam No Easy Choice,
Political participation in developing: Partisipasi adalah kegiatan warga yang
bertindak

sebagai pribadi-pribadi,

yang dimaksud untuk

mempengaruhi

pembuatan keputusan oleh pemerintah, partisipasi bisa bersifat pribadi-pribadi
atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau
dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif. 21 Sedangkan,
20F

Ramlan Surbakti mendefinisikan, partisipasi politik adalah kegiatan warga negara
biasa dalam mempengaruhi pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan
dalam ikut menentukan pemimpin pemerintah. 22
21F

Dengan demikian, pengertian Hutington dan Nelson dibatasi beberapa hal,
yaitu: pertama, Hutington dan Nelson mengartikan partisipasi politik hanyalah
mencakup kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap. Dalam hal ini, mereka tidak
memasukkan komponen-komponen subjektif seperti pengetahuan tentang politik,
20

Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, Jakarta : Rajawali Press, 1999, hal. 112.
Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, No Easy Choice : Political Participation In
Developing Countries Cambridge, mass : Harvard University Press 1997, Hal. 3, dalam Miriam
Budiarjo.
22
Arifin Rahmat, Sistem Politik Indonesia, Surabaya :Penerbit SIC, 1998, hal. 128.

21

Universitas Sumatera Utara

keefektifan politik, tetapi yang lebih ditekankan adalah bagaimana berbagai sikap
dan perasaan tersebut berkaitan dengan bentuk tindakan politik. Kedua, yang
dimaksud dengan partisipasi politik adalah warga negara biasa, bukan pejabatpejabatpemerintah. Hal ini didasarkan pada pejabat-pejabat yang mempunyai
pekerjaan professional di bidang itu, padahal justru kajian ini pada warga negar
biasa. Ketiga, kegiatan politik adalah kegiatan yang dimaksud untuk
mempengaruhi keputusan pemerintah. Kegiatan yang dimaksudkan misalnya
membujuk atau menekan pejabat pemerintah untuk bertindak dengan cara-cara
tertentu untuk menggagalkan keputusan, bahkan dengan cara mengubah aspekaspek sistem politik. Dengan itu protes-protes, demonstrasi, kekerasan bahkan
bentuk kekerasan pembrontak untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dapat
disebut sebagai partisipasi politik. Keempat, partisipasi juga mencakup semua
kegiatan yang mempengaruhi pemerintah, terlepas tindakan itu efektif atau tidak,
berhasil atau gagal. Kelima, partisipasi politik dilakukan langsung atau tidak
langsung, artinya langsung oleh pelakunya sendiri tanpa menggunakan perantara,
tetapi ada pula yang tidak langsung melalui orang-orang yang dianggap dapat
menyalurkan ke pemerintah.
Perilaku politik seseorang dapat dilihat dari bentuk partisipasi politik yang
dilakukannya. Bentuk partisipasi politik dilihat dari segi kegiatan dibagi menjadi
dua, yaitu:
a. Partisipasi aktif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi masukan

dan keluaran suatu sistem politik. Misalnya, kegiatan warga negara
mengajukan usul mengenai suatu kebijakana umum, mengajukan alternatif

Universitas Sumatera Utara

kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan
kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan, membayar
pajak, dan ikut srta dalam kegiatan pemilihan pimpinan pemerintahan.
b. Partisipasi pasif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi keluaran

suatu sistem politik. Misalnya, kegiatan mentaati peraturan/perintah,
menerima, dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan pemerintah. 23
22F

Selain kedua bentuk partisipasi diatas tetapi ada sekelompok orang yang
menganggap masyarakat dan sistem politik yang ada dinilai telah menyinggung
dari apa yang dicita-citakan sehingga tidak ikut serta dalam politik. Orang-orang
yang tidak ikut dalam politik mendapat beberapa julukan, seperti apatis, sinisme,
alienasi, dan anomie.
1. Apatis (masa bodoh) dapat diartikan sebagai tidak punya minat atau tidak
punya perhatian terhadap orang lain, situasi, atau gejala-gejala.
2. Sinisme menurut Agger diartikan sebagai “kecurigaan yang busuk dari
manusia”, dalam hal ini dia melihat bahwa politik adalah urusan yang
kotor, tidak dapat dipercaya, dan menganggap partisipasi politik dalam
bentuk apa pun sia-sia dan tidak ada hasilnya.
3. Alienasi menurut Lane sebagai perasaan keterasingan seseorang dari
politik dan pemerintahan masyarakat dan kecenderungan berpikir
mengenai pemerintahan dan politik bangsa yang dilakukan oleh orang lain
untuk oranng lain tidak adil.

23

Sudijono, Sastroadmojo, Perilaku Politik, IKIP Semarang Press, 1995, hal. 74 .

Universitas Sumatera Utara

4. Anomie, yang oleh Lane diungkapkan sebagai suatu perasaan kehidupan
nilai dan ketiadaan awal dengan kondisi seorang individu mengalami
perasaan ketidakefektifan dan bahwa para penguasa bersikap tidak peduli
yang mengakibatkan devaluasi dari tujuan-tujuan dan hilangnya urgensi
untuk bertindak. 24
23F

Menurut Rosenberg ada 3 alasan mengapa orang enggan sekali berpartisipasi
politik: 25
24F

Pertama bahwa individu memandang aktivitas politik merupakan ancaman
terhadap beberapa aspek kehidupannya. Ia beranggapan bahwa mengikuti
kegiatan politik dapat merusak hubungan sosial, dengan lawannya dan dengan
pekerjaannya karena kedekatannya dengan partai-partai politik tertentu. Kedua,
bahwa konsekuensi yang ditanggung dari suatu aktivitas politik mereka sebagai
pekerjaan sia-sia. Mungkin disini individu merasa adanya jurang pemisah antara
cita-citanya dengan realitas politik. Karena jurang pemisah begitu besarnya
sehingga dianggap tiada lagi aktifitas politik yang kiranya dapat menjembatani.
Ketiga, beranggapan bahwa memacu diri untuk tidak terlibat atau sebagai
perangsang politik adalah sebagai faktor yang sangat penting untuk mendorong
aktifitas politik. Maka dengan tidak adanya perangsang politik yang sedemikian,
hal itu membuat atau mendorong kearah perasaan yang semakin besar bagi
dorongan apati. Disini individu merasa bahwa kegiatan bidang politik diterima
sebagai yang bersifat pribadi sekali daripada sifat politiknya. Dan dalam
hubungan ini, individu merasa bahwa kegiatan-kegiatan politik tidak dirasakan
24
25

Michael Rush dan Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta : PT Rajawali, 1989, hal. 131.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

secara langsung menyajikan kepuasan yang relative kecil. Dengan demikian
partisipasi politik diterima sebagai suatu hal yang sama sekali tidak dapat
dianggap sebagai suatu yang dapat memenuhi kebutuhan pribadi dan kebutuhan
material individu itu.
I. 6. 4. Teori Kekuasaan
Kekuasaan adalah konsep di dalam ilmu politik yang paling banyak
dibahas dan dipermasalahkan. Bahkan ada banyak orang awam menganggap
bahwa politik adalah kekuasaan itu sendiri. Hal tersebut tidak mengherankan oleh
karena Machiavelli, seorang pemikir filsafat politik dari Florenze, Italia, pernah
mengatakan bahwa, Politik adalah sejumlah sarana yang dibutuhkan untuk
mendapat

kekuasaan,

mempertahankan

kekuasaan,

yang

memanfaatkan

kekuasaan untuk mencapai kegunaan yang maksimal.dan bahkan kekuasaan
dipandang sebagai gejala yang selalu terdapat (atau serba hadir) dalam proses
politik. 26
25F

Dalam ilmu politik terdapat sejumlah konsep yang berkaitan erat dengan
konsep kekuasaan (power), misalnya seperti influence (pengaruh), kemampuan
untuk mempengaruhi orang lain agar orang tersebut mau mengubah sikap dan
perilakunya secara sukarela; force, penggunaan tekanan non fisik guna bertindak
sesuai dengan kehendak yang memerintah, seperti menimbulkan rasa takut
ataupun membatasi pemenuhan kebutuhanj biologis, (makan dan minum)
terhadap pihak lain; persuasion (persuasi), yakni kekuasaan yang bersinggungan
dengan kemampuan pemberi-perintah dalam meyakinkan orang lain dengan
argumentasi logis-rasional untuk melakukan sesuatu; manipulation (manipulasi),
26

Leo Agustino, 2007. Perihal Ilmu Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu hal. 70.

Universitas Sumatera Utara

penggunaan pengaruh, dimana orang yang dipengaruh tidak menyadari bahwa
tingkah lakunya sebenanrnya sedang mematuhi keinginan pemegang kekuasaan,
coercion atau coercive, peragaan kekuasaan atau ancaman paksaan yang
dilakukan oleh seseorang atau kelompok (biasanya menyertakan tindakan
fisik/kekerasan) terhadap pihak lain agar bersikap dan berprilaku sesuai dengan
kehendak pihak pemilik kekuasaan, termasuk sikap dan perilaku yang
bertentangan dengan kehendak yang dipengaruhi; authority (kewenangan), atau
dalam bahasa Max Weber sebagai otoritas legal-formal, dimana seseorang
memiliki kekuasaan oleh karena legalitas yang melekat pada dirinya. 27
26F

Ada pemahaman yang komprehensif yang termasuk dalam sumber
kekuasaan yaitu, Sarana Paksaan Fisik, Kekayaan dan Harta Benda (Ekonomi),
Jabatan, Keahlian, Informasi, Status Sosial, Popularitaspribadi, dan Massa yang
terorganisasi. Kerja paksa, senjata, dan aparat yang menggunakan senjata
merupakan sejumlah contoh sarana paksaan fisik. Uang, tanah, emas merupakan
contoh sumber kekayaan harta benda. Penggunaan kekua