Marga Sebagai Kekuatan Politik (Studi Kasus Penabalan Marga Silaban Dalam Politik di Desa Silaban Dolok Margu Kecamatan Lintognihuta Kabupatan Humbang Hasudutan)

(1)

MARGA SEBAGAI KEKUATAN POLITIK

(Studi Penabalan Marga Silaban Desa Silaban Dalam Politik di Dolok Margu Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasudutan)

Skripsi

Diajukan Guna Memenuhi Salah Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Dalam Bidang Antropologi

Oleh :

Tony Fery Sanjaya Manurung 050905015

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN Nama : Tony Fery Sanjaya Manurung

Nim : 050905015 Departemen : Antropologi

Judul : MARGA SEBAGAI KEKUATAN POLITIK

(Studi Kasus Penabalan Marga Silaban Dalam Politik di Desa Silaban Dolok Margu Kecamatan Lintognihuta Kabupatan Humbang Hasudutan).

Medan, Desember 2010 Pembimbing Skripsi A.n. Ketua Departemen

Sekretaris

(Drs. Irfan Simatupang, M.Si)

NIP. 196411041991031002 NIP. 196411041991031002 (Drs. Irfan Simatupang, M.Si)

DEKAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(Prof. Dr. Badarudin, M.Si) NIP. 19680525 199203 1 002


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Pengesahan

Nama : Tony Fery Sanjaya Manurung Nim : 050905015

Departemen : Antropologi

Judul : Marga Sebagai Kekuatan Politik

(Studi Kasus Penabalan Marga Silaban Dalam Politik di Desa SilabanDolok Margu Kecamatan Lintognihuta Kabupatan` Humbang Hasudutan).

Pada ujian komperhensif/meja hijau yang di laksanakan pada: Hari :

Tanggal : Pukul : Tempat :

Tim Penguji

Ketua Penguji : Drs. Irfan Simatupang, M.Si

Penguji I : Dra. Mariana Makmur, MA


(4)

PERSEMBAHANKU

Tak terbatas kuasa-Mu, Tuhan, Smuanya dapat Kau lakukan

Apa yang kelihatan mustahil bagiku, Itu sangat mungkin bagi-Mu

Disaat ku tak berdaya , Kuasa-Mu yang sempurna

Ketika ku percaya, Mujizat itu nyata

Bukan karna kekuatan , Namun Roh-Mu ya Tuhan

Ketika ku berdoa, Mujizat itu nyata

Harta Tiada Kumiliki

Untuk Dapat Kuberikan Kepada Orangtua, saudara-saudara Ku

Hanya Doaku Pada Semuanya

Semoga Tuhan Yesus Kristus Memberkati Dan Menganugerahkan

Kebahagiaan Kepada Kita Semua/Khususnya buat orang tua

tercinta.

Amin

Semuanya ini Kupersembahkan

Sebagai Tanda Bukti Dan Terima Kasih

Kepada Yang Tercinta :

TONY FERY SANYA MANURUNG

Bapak

: H. Manurung

Ibu

: M. Br. Butar-Butar

Kakak-kakakku

: Duma Rafika Megawai.M, AMK &

Tince Lenny Rosidawati. M,.S.Pd

”Diberkatilah Orang yang mengandalkan Tuhan yang menaruh

Harapannya Pada Tuhan ( Yeremia 17 : 7)”.


(5)

SYALO

ABSTRAK

Tony Fery Sanjaya Manurung, 2010. Judul skripsi: Marga Sebagai Kekuatan Politik. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 75 halaman, 1 lampiran, 2 gambar, 2 bagan dan 1 peta.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan marga merupakan unsur politik Batak dalam sistem Dalihan Na Tolu. Marga yang asal-muasalnya merupakan nama seseorang yang kemudian dijadikan nama belakang setelah nama depan yang dibuat agar mereka dapat saling mengerti asal mereka dari keturunan siapa sehingga dapat menjaga perkawinan satu keturuinan (marga) yang dianggap sangat tabu dilakukan yang masih memiliki hubungan darah. Dalihan Na Tolu pada sistem kekerabatan Batak Toba yang sangat erat masih tetap dipertahankan sampai saat ini dengan menjaga larangan-larangan marga dalam perkawinan satu marga. Marga yang merupakan jembatan dalam sistem kekerabatan Batak Toba akan menimbulkan hubungan timbak-balik dan saling mempengaruhi.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian lapangan (field research). Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan keturunan marga Silaban di Desa Silaban Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasudutan, sedangkan sampelnya, penulis mengambil sesuai dengan kebutuhan penelitian dan untuk memilih informan dilakukan secara purposive sampling kepada orang-orang yang mampu memberikan informasi. Dari hasil penelitian dapat dikemukakan bahwa latar belakang pemberian marga diakibatkan karena adanya maksud untuk mendekatkan diri pada suatu masyarakat tertentu untuk memperoleh kekuasaan dan pengaruh dengan menjalin hubungan emosional. Marga bagi suku Batak Toba marga merupakan memiliki hubungan ikatan emosional yang tinggi walaupun mereka tidak saudara kandung se-ayah dan se-ibu namun memiliki satu keturunan nenek moyang dan mempunyai Dalihan Na Tolu yang kuat antara hula-hula, dongan tubu dan boru.

Pemberian marga dijadikan kepentingan politik dan kekuasaan untuk mencapai hal yang diinginkannya. Tanpa disadari marga memiliki pengaruh cukup kuat dalam mendekatkan diri pada golongan tertentu. Hal ini ditandai banyaknya pejabat yang diberikan marga pada saat dirinya mencalonkan atau dicalonkan menjadi penguasa daerah maupun pada pejabat atau penguasa daerah yang telah menjabat dengan alasan menunjukkan kedekatan emosional terhadap suku atau golongan yang ada daerahnya.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjtakan kepada Tuhan Yang Maha pengasih atas rahmatNya dan KasihNya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Marga Sebagai Kekuatan Politik. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Antropologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan untuk mengatasi hambatan maupun kendala yang di hadapi, tentu tak lepas dari banyak peran dan bantuan semua pihak, yang sangat berarti bagi penulis Doa dan perhatian tulus dari orang tua tercinta Ayahanda H.Manurung dan Ibunda M. Br Butar-butar serta kedua kakak saya yang selalu setia memberikan bimbingan dan motivasi sangat membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Dalam kesempatan ini penulis tak lupa menyampaikan ucapan terima kasih kepada mereka yang terhormat.

1. Bapak Prof. Dr. Badarudin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Zulkifli B Lubis, M.A., selaku Ketua Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

3. Bapak Drs. Zulkifli, M.A, selaku Dosen Wali yang telah banyak membimbing penulis selama perkuliahan.

4. Bapak Drs. Irfan Simatupang. M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan memberikan kontribusi teoritis dan metodologi serta bekal ilmu dalam penulisan skripsi ini, penulis juga


(7)

mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya atas seluruh kebijakan, bimbingan ketulusan dan kesediaan dalam penulisan skripsi ini hingga selesai dengan waktu yang cukup lama.

5. Ibu Dra. Mariana Makmur, M.A dan Juga Bapak Drs. Lister Berutu, M.A. Selaku dosen penguji skripsi, terima kasih atas saran dan bimbingannya sampai selesainya skripsi ini.

6. Seluruh Dosen Antropologi, Bang Yance, Nurman, Mas Agustrisno, Kak Rityha, Sri alem, Ibu Sabariah dan semua dosen Antropologi yang tidak saya sebutkan satu persatu.

7. Seluruh staf pengawai Departemen Antropologi dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (kak Nur dan Sopi).

8. Bapak Drs. Maruhum Sihombing, selaku Camat di Kecamatan Lintongnihuta yang telah memberikan kemudahan dalam penelitian ini. 9. Bapak Marganda Silaban, selaku Kepala Desa Dolok Margu di Kecamatan

Lintongnihuta tempat penulis mengadakan penelitian.

10.Kepada Amangboru H. Silaban dan Namboru N. Hutasoit, terima kasih atas tempat yang disediakan kepada penulis selama melakukan penelitian di Desa Dolok Margu.

11.Khusus kepada bapak H. Manurung dan mama M. Br. Butar-butar tercinta, terima kasih atas kesabaran dan rasa cinta yang sebesar-besarnya saya persembahkan untuk kedua orangtua saya yang senantiasa mendidik dan mengajarkan arti sebuah kehidupan untuk menjadi pria yang dewasa dan juga kedua kakak saya kakak Ika AMK dan lae saya Simorangkir dan kakak Leny S,pd yang sayang sayangi terimakasih atas motivasi dalam


(8)

menyelesaikan skripsi ini. Kedua keponakan saya yang ganteng dan cantik.

12.Kepada Bapak uda dan inang uda, Bapak tua dan mak tua Yuni, Bapak tua (+) dan mak tua Obrin, Amangboru (+) dan namboru Gomgom, Amangboru dan namboru andrie, Amangboru dan namboru Dores.

Tulang dan nangtulang arta, Tulang dan nangtulang naomi, Mak tua Surabaya dan Medan, Tante siantar dan uda (+), Inang uda dan uda Asido. 13.Kepada orang yang spesial Eska Sri Carolina Sinaga skripsi ini saya

persembahkan buat kamu.

14.Seluruh kerabat Antropologi khususnya Uda Lugo Manroe S.Sos dan stambuk 2005 yang cool banget, Eva Manroe S.Sos (neh ito saya), Minartina Saragih S.Sos, Erna, Naomi Aritonang, Sri Ulina S.Sos, Kartika S.Sos, Charisya, Hery Manroe (apara saya), Hery Sianturi, Bambang, Daniel Sitorus, Christon S.Sos, Remaja, Syhaferi, Fery Laiya, Tasvin, Andrie, Fauzi. Adek-adek saya di Antropologi Sari Manroe, Berty Manroe, Marda, Berkat Gulo, Marboy, Ramses dan Rico.

15.Seluruh rekan-rekan di Resimen Mahasiswa Universitas Sumatera Utara Kader Perintis (Satmenwa USU/KP) terutaman kepada Wadan saya Wesly Hutasoit (cepat selesaikan gelar sarjananya), satu angkatan saya NBP 2006 sukses selalu, seluruh staf saya Kaurpam. Kaurdiklat, Kaurminlog, Kaursus, Dankilap dan Dankima serta Kaprov I dan II. Seluruh anggota saya Menwa USU Danton I, II, Dankes, Dantonbek dan Dantri. Mangihut, saut dan personil yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu namanya tetap semangat.


(9)

Ingat ”menwa bukan terlatih tapi berlatih, bukan perintah tapi tanggung jawab dan menwa bukan sok idealis tapi didikasi dan semangat”.

”Anda berpikir kami sudah berbuat, Widya Castrena Dharma Sidhha”.

16.Semua Pihak yang turut membantu kelancaran penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi inidapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang membaca dan dapat memperluas pemikiran di masa yang akan datang.

Medan, Nopember 201 Penulis


(10)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN PERSETUJUAN

HALAMAN PENGESAHAN

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR BAGAN ... ix

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah. ... 8

1.3 Lokasi Penelitian ... 8

1.4 Tujuan dan Manfaat Masalah ... 9

1.4.1 Tujuan ... 9

1.4.2 Manfaat ... 9

1.5 Tinjauan Pustaka ... 10

1.5.1 Pengertian marga ... 10

1.5.2 Fungsi dan tujuan marga ... 12

1.5.3 Pengertian Budaya Politik ... 13

1.5.4 Makna Budaya Poltik ... 14

1.6 Metode Penelitan ... 22

1.6.1 Tipe dan Pendekatan Penelitian ... 22

1.6.2 Teknik Pengumpulan Data ... 22

1.6.3 Teknik Observasi ... 23

1.6.4 Wawancara ... 23

1.6.5 Studi Kepustakaan... 24

1.7 Teknik Analisa Data ... 25

BAB II. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1 Sejarah Singkat Desa Dolok Margu ... 26

2.2 Letak Geografis ... 27

2.3 Komposisi Penduduk ... 28

2.3.1 Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin ... 28

2.3.2 Menurut Kelompok Umur/Usia ... 30

2.3.3 Menurut Tingkat Pendidikan ... 30

2.3.4 Menurut Mata Pencaharian Penduduk ... 32


(11)

2.4 Sarana dan Fasilitas ... 34

2.4.1 Sarana Kesehatan ... 34

2.4.2 Sarana Pendidikan... 36

2.4.3 Sarana Ibadan ... 37

2.4.4 Sarana dan Prasarana ... 38

2.5 Sistem Organisasi Sosial... ... 38

2.6 Struktur Pemerintahan Desa dan Perangkat Desa ... 40

2.7 Pejabat Pemerintahan dan Perangkat Desa ... 41

BAB III. MARGA SEBAGAI KEHORMATAN STATUS SOSIAL 3.1 Sisilah Marga Silaban ... 42

3.2 Penabalan Marga ... 46

3.2.1 Konflik Penabalan Marga... 47

3.2.2 Hak dan Kewajiban Marga ... 48

3.2.3 Kontribusi Yang Diberikan Dalam Penabalan marga ... 49

3.2.4 Pelimpahan Marga ... 50

3.3 Upacara Penabalan Marga ... 52

3.4 Pandangan Terhadap Penabalan Marga ... 53

3.4.1 Pandangan Sesama Marga Silaban ... 54

3.4.2 Pandangan Masyarakat ... 55

BAB IV. PENABALAN MARGA DALAM POLITIK 4.1 Gelar Kehormatan Marga Dalam Proses Politik ... 57

4.2 Strategi Kampanye Politik Tradisional ... 58

4.2.1 Perolehan Suara ... 60

4.2.2 Pengaruh Marga Pada Politik ... 62

4.3 Fungsi dan Tujuan Penabalan Marga ... 63

4.4 Konflik Penabalan Marga ... 66

4.4.1 Dua Marga Yang Dimiliki ... 68

4.4.2 Pengaruh Marga Pada Politik ... 69

4.5 Perjanjian Politik ... 71

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 73

5.2 Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR ISTILAH LAMPIRAN

1. Surat Penelitian 2. Daftar Informan 3. Peta Lokasi Penelitian


(12)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1 : Luas Lahan Menurut Penggunaannya ... 28

2. Tabel 2 : Jumlah Penduduk Berdasarkan ... 29

3. Tabel 3 : Menurut Kelompok Umur/Usia... 30

4. Tabel 4 : Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ... 31

5. Tabel 5 : Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharia ... 32

6. Tabel 6 : Jenis Sarana Kesehatan Masyarakat Desa Dolok Margu Tahun 2007 ... 35

7. Tabel 7 : Sarana Ibadah ... 37


(13)

DAFTAR BAGAN

1. Bagan 1 : Srtuktur Pemerintahan Desa dan Perangkag Desa ... 40 2. Bagan 2 : Pejabat Pemerintahan dan Perangkat Desa ... 41


(14)

SYALO

ABSTRAK

Tony Fery Sanjaya Manurung, 2010. Judul skripsi: Marga Sebagai Kekuatan Politik. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 75 halaman, 1 lampiran, 2 gambar, 2 bagan dan 1 peta.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan marga merupakan unsur politik Batak dalam sistem Dalihan Na Tolu. Marga yang asal-muasalnya merupakan nama seseorang yang kemudian dijadikan nama belakang setelah nama depan yang dibuat agar mereka dapat saling mengerti asal mereka dari keturunan siapa sehingga dapat menjaga perkawinan satu keturuinan (marga) yang dianggap sangat tabu dilakukan yang masih memiliki hubungan darah. Dalihan Na Tolu pada sistem kekerabatan Batak Toba yang sangat erat masih tetap dipertahankan sampai saat ini dengan menjaga larangan-larangan marga dalam perkawinan satu marga. Marga yang merupakan jembatan dalam sistem kekerabatan Batak Toba akan menimbulkan hubungan timbak-balik dan saling mempengaruhi.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian lapangan (field research). Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan keturunan marga Silaban di Desa Silaban Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasudutan, sedangkan sampelnya, penulis mengambil sesuai dengan kebutuhan penelitian dan untuk memilih informan dilakukan secara purposive sampling kepada orang-orang yang mampu memberikan informasi. Dari hasil penelitian dapat dikemukakan bahwa latar belakang pemberian marga diakibatkan karena adanya maksud untuk mendekatkan diri pada suatu masyarakat tertentu untuk memperoleh kekuasaan dan pengaruh dengan menjalin hubungan emosional. Marga bagi suku Batak Toba marga merupakan memiliki hubungan ikatan emosional yang tinggi walaupun mereka tidak saudara kandung se-ayah dan se-ibu namun memiliki satu keturunan nenek moyang dan mempunyai Dalihan Na Tolu yang kuat antara hula-hula, dongan tubu dan boru.

Pemberian marga dijadikan kepentingan politik dan kekuasaan untuk mencapai hal yang diinginkannya. Tanpa disadari marga memiliki pengaruh cukup kuat dalam mendekatkan diri pada golongan tertentu. Hal ini ditandai banyaknya pejabat yang diberikan marga pada saat dirinya mencalonkan atau dicalonkan menjadi penguasa daerah maupun pada pejabat atau penguasa daerah yang telah menjabat dengan alasan menunjukkan kedekatan emosional terhadap suku atau golongan yang ada daerahnya.


(15)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba masih sangat kuat dengan adanya Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu yang meliputi hula-hula,

dongan tubu dan boru yang artinya Tungku yang tiga batunya. Dalihan Na Tolu

yang pada saat ini masih dipegang teguh oleh masyarakat Batak Toba yang merupakan cerminan dalam interaksi. Sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba bukan hanya pada garis keturunan yang berhubungan sedarah ayah atau ibu. Sebagai contoh saya yang bermarga Manurung bukan hanya memiliki hubungan kerabat dengan marga Manurung yang lainnya, meskipun dia tidak memiliki hubungan darah dengan ayahnya atau saudara kadung ayah, namun memiliki cakupan yang luas karena setiap marga merupakan keturunan dari kelompok besar. Dalam kelompok besar tersebut memiliki beberapa marga yang saling berkaitan dan memiliki hubungan kekerabatan.

Kekerabatan pada masyarakat Batak Toba melalui perkawinan maka kekerabatan mereka akan semakin luas. Hal ini disebabkan perkawinan hanya dapat dilakukan dengan marga lain (ekogami marga). Aturan adat Batak, semarga berarti satu darah walaupun secara genealogis mungkin tidak dapat dijelaskan hubungan satu dengan yang lainnya, jadi dengan kata lain kawin dengan satu marga disebut sumbang (incest) dan yang melanggar akan diberi sanksi hukum dan sanksi sosial (Lister Berutu dan Tanduk Berutu, 2006:4). Hal inilah yang memungkinkan sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba sangat luas


(16)

bahkan bukan hanya pada saat satu marga ataupun satu kelompok marga besar namun diluar kelompok marga besar dapat terjalin.

Banyak kita mendengar seseorang menggunakan marganya sebagai satu pengaruh terhadap orang lain karena marga memiliki suatu pengaruh yang sangat dengan adanya sistem kekerabatan yang dihubungkan dengan Dalihan Na Tolu. Pengaruh marga sering sekali dijadikan suatu kekuatan perpolitikan di Indonesia. Sehingga banyak yang menyatakan marganya walaupun tanpa ada hubungan darah secara garis keturunan Batak Toba yaitu Patrilineal. Saat ini, marga dapat dimiliki seseorang karena dimaksudkan sebagai gelar kehormatan belaka. Marga dijadikan sebagai sarana dalam pendekatan terhadap suku Batak Toba. Bagi suku Batak Toba, marga memiliki nilai yang sangat tinggi di dalam masyarakat dibandingkan dengan harta kekayaan. Tanpa marga maka seseorang tersebut tidak memiliki nilai kedudukan dalam sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba yang dikaitkan dengan Dalihan Na Tolu.

Perlu kiranya disinggung disini sepintas, bahwa sesudah negara kita merdeka ada saja di kalangan masyarakat Batak Toba memberi marga kepada tokoh-tokoh masyarakat yang bukan suku Batak Toba. Status sosial sangat ditentukan oleh marga. Didalam hubungan sosial orang Batak Toba, marga merupakan dasar untuk menentukan partuturan, hubungan persaudaraan, baik untuk kalangan semarga maupun dengan orang-orang dari marga yang lain. Kapan mulai terdapat struktur marga di kalangan orang Batak Toba, tidak diketahui dengan pasti. Hanya dikatakan bahwa marga sudah ada sejak adanya orang Batak Toba. Bahkan menurut cerita asli rakyat Batak Toba, debata mulajadi sendiri yang menetapkannya (Hutagalung dalam buku Bungaran. 2006:80).


(17)

Untuk peresmiannya marga diadakan upacara adat, marga-marga yang telah diberikan itu tentu dimaksudkan sebagai gelar kehormatan saja karena ada yang menerimanya di pihak lain, sedang hubungan darah masih tetap merupakan syarat mutlak sebagaimana telah kita lihat dalam upacara adat mamboruhon dan

mamampe marga.

Meskipun dimaksudkan sebagai kehormatan belaka, namun menurut prinsip adat Batak Toba yang tidak bisa ditawar-tawar tidak boleh diberi marga kepada pria bukan orang Batak Toba yang istrinya juga bukan orang Batak Toba. Sebabnya ialah biar bagaimanapun setiap pria Batak Toba mewariskan marganya secara turun-temurun. Mengenai marga seorang Batak Toba tidak menjadi soal bahwa ibunya bukan wanita Batak Toba, misalnya marga orang itu Silaban dan kalau perlu dapat membuktikannya berdasarkan sisilah mulai dari Siraja Batak.

Kesimpulan ialah marga sebagai gelar kehormatan dapat diberikan hanya kepada sang istri bukan wanita Batak, yang suaminya juga bukan orang Batak, karena wanita tidak mewariskan marga, jadi yang dihibahkan itu paling lama seumur hidup. Pemberian marga sebagai gelar kehormatan semacam ini dialami sendiri oleh banyak orang istri Edward Bruner dalam suatu upacara adat ”diulosi

gabe boru Simanjuntak”1 di desa Tampahan dekat kota Balige di Kabupaten Tobasa yang dulunya pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara pada tahun 1957. Ahli Antropologi tersebut bersama istrinya tinggal selama kira-kira dua tahun di desa dari marga Simanjuntak tadi untuk mengadakan penelitian ilmiah tentang


(18)

orang Batak dan karena ramahya sudah disapa oleh penduduk dengan istilah lae2 dan ito3

Dalam hal nyonya Bruner ini, yang sudah bisa berbahasa Batak Toba, maka Simanjuntak misalnya, salah seorang pengetua adat disana, menjadi ito baginya. Pada tahun 1971 datang lagi keluarga tersebut untuk mebat

sebelum upacara tersebut.

Marga itu hanya gelar kehormatan belaka, karena dalam surat-surat resmi yang mengandung perbuatan hukum tentu saja tidak tecantum boru Simanjuntak. Nyonya Bruner dijadikan boru Simanjuntak oleh para pengetua adat di desa itu. Memang menurut tatakrama Batak Setiap wanita yang bukan kerabat disapa demi sopan satu dengan istilah ito oleh kaum pria yang sebaya umurnya seolah-olah se-ayah dengan wanita itu, atau dengan istilah namboru oleh orang lain. Tujuan dari upacara adat tadi ialah menambah akrab pergaulan seolah-olah kerabat dekat dan supaya jelas siapa menyapa dia serta suaminya (amangboru) dan lain sebagainya.

4

Penabalan marga Silaban yang diberikan pada Syamsul Arifin di Kecamatan Babalan, Pangkalan Brandan menunjukkan besarnya keinginan masyarakat dalam proses penabalan marga Syamsul Arifin dan Syamsul Arifin juga mengaspresiasikan keinginan masyarakat yang Syamsul Arifin adalah sebagai figur kepala daerah Kabupaten Langkat. Namun penabalan tersebut menjadi suatu kontroversi yang menyebutkan bahwa penabalan marga ini sebagai alat kekuatan politik Syamsul Arifin dalam proses kampanye pemilihannya

ke desa Tampahan. Istri Bruner sudah disapa oleh para penghuni desa ini dengan ”Nia Riana” menurut tata cara Batak, karena anaknya yang sulung, seorang wanita bernama Riana.

2

Lae sapaan untuk memanggil terhadap sesama laki-laki.

3


(19)

sebagai calon Gubernur Sumatera Utara. Hal ini diperkuat karena penabalan marga Syamsul Arifin juga terjadi di tanah Karo oleh suku Batak Karo yang ditabalkan sebagai marga sembiring. Penabalan marga yang hampir sama waktunya dengan pencalonan Syamsul Arifin sebagai calon Gubernur Sumatera Utara dengan menabalkan dua marga pada dirinya yang merupakan marga yang cukup besar kumpulannya di setiap suku masing-masing sehingga adanya daya tarik pada daerah marga yang memiliki marga tersebut atau tanah kelahiran marga tersebut. Marga dijadikan politisasi dalam memperoleh kekuasaan, perhatian, simpati dan kedekatan demi memperoleh suaru pemilihan yang cukup besar. Dalam setiap pemilihan seperti ini memang sering terjadi pendekatan-pendekatan setiap calon yang mendaftarkan diri mereka sebagai calon gubernur yang akan menimbulkan simpati dari masyarakat.

Secara tidak langusng marga sendiri memiliki unsur politik sejak dulu. Namun bukan dimanfaatkan sebagai upaya seseorang untuk mendapatkan kekuasaan dengan cara penabalan marga. Hal ini terkait pada sistem kekerabatan yang dianut bagi suku Batak, marga akan diturunkan atau diwariskan secara turun-temurun pada anak laki-laki dan perempuan. Suku Batak memiliki suatu sistem yang mengikat mereka yang disebut dengan Dalihan Na Tolu yang mana sama besarnya dan panjangnya, sehingga bila dibalik tetap sama dan saling menopang. Inilah yang membuat sistem kekerabatan suku Batak sangat kuat dengan adanya marga sebagai ikatan kekeluargaan.

Kekuatan perpolitikan bila kita jabarkan atau gambarkan memiliki garis koordinasi yang saling menghilangkan satu sama lain yang akan memiliki suatu kekuatan yang kuat. Bila dilihat dari prinsip sistem kekerabatan masyarakat


(20)

Batak, terutama Batak Toba memiliki tiga kekuatan yang memiliki kekuatan yang sama besar, yang saling menopang satu sama lain. Kekuatan sistem kekerabatan ini akan membentuk suatu paramida segitiga.

Secara etimologi paramida memiliki garis yang sama panjang. Sehingga bila kita balik-balikan paramida tersebut akan selalu berbentuk segitiga yang sama. Seperti halnya kekuatan politik tidak terlepas dari adanya dukungan dari orang yang memberi pengaruh terhadap politik tersebut. Dalam perpolitikan yang sering terjadi di Indonesia merupakan politik tradisional sehingga untuk mendapat kekuatan dan kekuasaan dari dukungannya maka peran agama, suku dan golongan merupakan kekuatan yang cukup besar dalam memberi kesempatan kekuatan dalam membangun suatu kekuatan dalam politik.

Dalam pemberian marga ada dua faktor yang besar dan sering terjadi yang sekarang ini, hal inilah yang akan menjadi tulisan menarik adanya perubahan marga menjadi kekuatan politik. Dua faktor ini kemungkinan adalah diberi dan diminta, dari kedua hal itulah akan muncul masalah. Bila kita berbicara antara kedua pihak yang akan memberikan keuntungan atau kontribusi bagi kedua pihak antara si pemberi dan si penerima.

Batak Toba identik dengan marga. Marga diturunkan secara turun-temurun kepada generasinya. Marganya hanya akan diberikan atau diturunkan kepada anak laki-laki mereka, sedangkan untuk anak perempuan pada suku Batak Toba dianggap sebagai boru sehingga mereka tidak menurunkan marga secara garis keturunan ayah. Marga hanya diturunkan oleh anak laki-laki mereka. Hal ini disebabkan bahwa anak perempuan bagi orang Batak bila sudah menikah anak perempuan mereka, maka anak perempuan mereka akan menjadi keluarga pihak


(21)

laki-laki dan akan membawa marga dari suaminya. Walaupun dia hanya boru, ia memiliki pengaruh dalam keluarganya mampu keluarga suaminya. Hal ini akan menimbulkan sistem kekerabatan yang semakin luas, sehingga marga bagi orang Batak Toba sangatlah berpengaruh dan tidak akan terlepas dari sistem kekerabatan mereka.

Marga yang merupakan salah satu jembatan dalam sistem kekerabatan bagi suku Batak Toba, sehingga akan menimbulkan kekuatan dan pengaruh bagi mereka. Sehingga banyak pihak-pihak yang ingin membesarkan pengaruh dan kekuasaanya di daerah Batak Toba (Sumatera Utara) maka mereka akan mengadakan hubungan sehingga bagi pihak yang mendapatkan marga lebih mudah dalam pemberian pengaruh.

Hal ini dapat kita perjelas dengan pengertian dari ilmu politik menurut Roger H. Soltau adalah ilmu yang mempelajari negara, tujuan-tujuan negara dan lembaga yang akan melaksanakan tujuan-tujuan itu serta hubungan antara negara dengan warganya serta dengan negara-negara lain. Maka dari hal inilah partai politik merupakan organisasi atau golongan yang berusaha untuk memperoleh dan menggunakan kekuasaan (Prof. Miriam Budiarjo).

Peneliti tertarik akan masalah marga sebagai kekuatan politik karena pada dasarnya marga mereka turunkan melalui garis keturunan ayah yang secara turun-temurun dan akan diteruskan oleh anak laki-laki mereka. Namun pada saat ini marga digunakan sebagai kekuatan politik untuk mendapatkan kekuasaan dengan menjadi bagian dari komunitas tersebut. Banyak diantara kita tidak memahami pasti mengapa seseorang itu mau menggunakan marga tertentu untuk dirinya.


(22)

Bahkan banyak masyarakat Batak Toba tidak memahaminya hal ini dapat dijadikan sebagai pengaruh kekuatan politik.

1.2Rumusan Masalah

Dalam masalah yang hendak penulis jelas dalam tulisan ini akan menguraikan sebuah rumusan masalah mengenai Marga Sebagai Kekuatan

Politik yang merupakan sebagai kunci utama dalam tujuan penulisan skripsi ini,

hingga dapat di selesaikan dengan baik. Adapun rumusan masalah yang hendak dipaparkan dalam skripsi ini:

1) Bagaimana pemberian marga sebagai gelar kehormatan berpengaruh pada sistem Dalihan Na Tolu?

2) Bagaimana gelar kehormatan yang telah diberikan dapat digunakan dalam proses politik?

1.3Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat dimana penelitian dilaksanakan. Lokasi penelitian sangat penting dalam setiap penelitian karena dari lokasi inilah seorang peneliti dapat memperoleh data yang diperlukan. Jadi sebelum penelitian dilaksanakan terlebih dahulu ditetapkan lokasi penelitian.

Berdasarkan masalah di atas lokasi penelitian ini adalah di Desa Dolok

Margu yang menjadi pemekaran dua desa, yang dulunya di desa ini adalah Desa

Silaban yang berada di Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasudutan, Propinsi Sumatera Utara.


(23)

Adapun pemilihan lokasi penelitian di Desa Dolok Margu Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasudutan adalah karena dilokasi inilah pada umumnya tempat perkumpulan kelompok marga Silaban dan di huni keturunanya selama bertahun-tahun dan didesa inilah pemberian marga Silaban dilaksanakan.

1.4Tujuan dan Manfaat Masalah 1.4.1 Tujuan

Adapun tujuan masalah yang hendak dipaparkan oleh penulis dalam skripsi ini merupakan hal untuk dapat memberikan gambaran yang umum bagi yang akan membaca tulisan ini. Karena hubungan sistem kekerabatan pada orang Batak Toba pada umumnya tidak terlepas dari marga.

Adapun tujuan masalah yang hendak dipaparkan, yaitu:

1. Perubahan arti marga Batak yang sering di indentifikasikan sebagai politisasi kekuatan dalam memperoleh kekuasaan politik.

2. Dapat memberikan refrensi baru dan bacaan yang membantu pembaca dalam pemahaman tentang segi politiknya marga.

3. Marga bukan sebagai kekuatan politik yang dapat digunakan oleh seseorang yang hanya memperoleh keuntungan saja.

1.4.2 Manfaat

Ada beberapa yang menjadi manfaat masalah yang dapat dipaparkan dalam penelitian skripsi ini, sebagai berikut:

1. Memberikan pemahaman bagi pembaca terutama pada orang Batak bahwa marga pada saat ini banyak digunakan sebagai wadah kekuatan untuk memperoleh kekuasaan.


(24)

2. Dapat memperkuat sistem kekerabatan bagi masyarakat Batak yang ada, sehingga marga bukan sebagai pemecah tetapi wadah kekuatan mereka. 3. Menjadi bacaan yang menarik bagi pembaca mengenai marga yang

sekarang ini cenderung indentik dalam politik.

1.5Tinjauan Pustaka

1.5.1 Pengertian Marga

Marga adalah nama persekutuan orang-orang bersaudara, seketurunan menurut garis ayah, yang mempunyai tanah sebagai milik bersama di tanah asal atau tanah leluhur. Misalnya Mangihut Silaban. Mangihut adalah nama kecil atau nama pribadi dan Silaban ialah nama warisan yang telah diterimanya sejak Mangihut masih dalam kandungan ibunya, nama kesatuan atau persekutuan keluarga besar yaitu Silaban (Rajamarpodang, 1992:93).

Marga ”nama keluarga/kerabat” yaitu nama yang diberikan kepada seseorang dengan otomatis berdasarkan kekerabatan yang uniliear atau garis keturunan genealogis secara patrilineal dari satu nenek moyang. Pada mulanya, marga berasal dari nama pribadi seseorang nenek moyang. Pada keturunannya kemudian menggunakan nama ini sebagai nama keluarga (marga) untuk menandakan bahwa mereka keturunan dari satu nenek moyang yang sama.

Semua orang Batak Toba membubuhkan nama marga bapaknya di belakang nama kecilnya. Marga adalah kelompok kekerabatan yang meliputi orang-orang yang mempunyai kakek bersama atau yang percaya bahwa mereka adalah keturunan dari seorang kakek bersama menurut perhitungan garis patrilineal (kebapaan). Anggota dari satu marga dilarang kawin karena marga


(25)

adalah kelompok yang eksogam. Jadi semua orang yang semarga adalah orang yang berkerabat dan dengan orang lain marganya dapat dapat juga dicarikaiatan kekerabatan, karena mungkin saja dia mempunyai hubungan kekerabatan dengan bibi, paman atau saudara lain, melalui hubungan perkawinan. Orang luar atau bukan kerabat, yang mula-mula dipersepsikan sebgai suatu golongan besar yang tidak dibeda-bedakan, sehubungan dengan pengalaman-pengalaman pergaulan sosial, hubungan pekerjaan dan hal-hal lain yang dapat dianggap sebagai salah satu indikator dari derajat kemodrenan-lambat laun mengalami penghalusan dan satuan besar yang tadinya kabur itu disadari oleh orang Batak Toba sebagai golongan-golongan yang berbeda-beda (T.O.Ihromi).

Menurut Raja Marpodang Gultom marga adalah nama persekutuan orang-orang bersaudara, seketurunan menurut garis ayah, yang mempunyai tanah sebagai milik bersama ditanah asal atau tanah leluhur. Misalnya Mangihut Silaban. Mangihut adalah nama kecil atau nama pribadi dan Silaban ialah nama warisan yang telah diterimanya sejak mangihut masih dalam kandungan Ibunya, nama kesatuan atau persekutuan keluarga besar yaitu Silaban (Raja Marpodang, 1992:93).

Marga atau nama keluarga adalah bagian nama yang merupakan pertanda dari keluarga mana ia berasal. Marga lazim ada di banyak kebudayaan di dunia. Nama marga pada kebudayaan Barat dan kebudayaan-kebudayaan yang terpengaruh budaya barat (yang lebih menonjolkan individu) umumnya terletak di belakang, oleh karena itu diesbut pula nama belakang. Kebalikannya, budaya Tionghoa dan Asia Timur lainnya menaruh nama marga di depan karena yang ditonjolkan adalah keluarga, individu di nomorduakan setelah keluarga.


(26)

Orang Batak mempunyai nama marga/keluarga yang biasanya dicantumkan di-akhir namanya. Nama marga ini diperoleh dari garis keturunan ayah (patrilinear) yang selanjutnya akan diteruskan kepada keturunannya secara terus-menerus. Menurut kepercayaan masyarakat Batak Toba, Induk Marga Batak dimulai dari Si Raja Batak yang diyakini sebagai asal mula orang Batak. Si Raja Batak mempunyai 2 (dua) orang putra yakni Guru Tatean Bulan dan Si Raja Isumbaon. Guru Tatean Bulan sendiri mempunyai 4 (empat) orang putra yakni Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja dan Malau Raja. Sementara Si Raja Isumbaon mempunyai 3 (tiga) orang putra yakni Tuan Sorimangaraja, Si Raja Asiasi dan Sangkar Somalidang.

1.5.2 Fungsi dan Tujuan Marga

Menurut Koentjaranigrat (1981 : 122) bahwa fungsi marga bagi orang Batak adalah untuk mengatur perkawinan. Fungsi ini dijalankan dengan adat eksogami marga dengan adat yang sampai sekarang yang masih dipegang teguh oleh marga Batak. Orang batak mengenal marga dengan arti satu asal keturunan, satu nenek moyang, sabutuha yang artinya satu perut asal. Jadi, marga merupakan suatu kesatuan kelompok yang mempunyai garis keturunan yang sama berdasarkan nenek moyang yang sama sehubungan dengan cerita mitos (Joustra, 1910:185-186 dalam buku Bungaran).

Status sosial sangat ditentukan oleh marga. Di dalam hubungan sosial orang Batak, marga merupakan dasar untuk menentukan partuturan, hubungan persaudaraan, baik untuk kalangan semarga maupun dengan orang-orang dari marga yang lain. Kapan mulai terdapat struktur marga di kalangan orang Batak,


(27)

tidak diketahui dengan pasti. Hanya dikatakan bahwa marga sudah ada sejak adanya orang Batak. Bahkan menurut ceritanya asli rakyat Batak, debata mulajadi sendiri yang menetapkannya (Hutagalung, 1963:17 dalam buku Bungaran).

Fungsi lain dari marga yaitu menentukan kedudukan seseorang di dalam pergaulan masyarakat yang teratur menurut pola dasar pergaulan yang dinamakan

dalihan na tolu. Dengan mengetahui marga seseorang, maka setiap orang Batak

otomatis lebih mudah untuk mengetahui hubungan sosial di antara mereka. Dasarnya yaitu dengan mengingat marga ibu, nenek, istri atau istri kakak maupun adiknya, maupun adik atau kakak ayah. Marga menentukan kedudukan sosialnya dan kedudukan sosial orang lain di dalam jaringan hubungan sosial adat maupun kehidupan sehari-hari.

Tujuan marga ialah membina kekompakan serta solidaritas sesama anggota semarga sebagai anggota keturunan dari satu leluhur. Walaupun keturunan satu leluhur pada suatu ketika mungkin akan terbagi atas cabang-cabang marga, akibat perkembangan jumlah keturunannya, namun sebagi keluarga besar, marga-marga cabang tersebut selalu mengingat kesatuannya dalam pokok marganya. Dengan adanya keutuhan marga maka kehidupan sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu akan tetap lestari.

1.5.3 Pengertian Budaya Politik

Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya. Seperti juga di


(28)

Indonesia, menurut Benedict R. O'G Anderson kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite dengan kelompok massa.

Budaya politik adalah pola tingkah-laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistim politik. Budaya politik merupakan aspek yang sangat signifikan dalam sistim politik. Setiap masyarakat memiliki latar belakang budaya tertentu. Budaya ini tentunya akan mempengaruhi pola perilakunya, termasuk di dalamnya adalah dalam pola perilaku berpolitik. Seperti halnya budaya politik Jawa, Sunda, Batak, Padang, Bugis, Manado dan Bali masing-masing memiliki cirinya sendiri.

Budaya politik mempengaruhi sistem politik karena budaya politik terbawa ke dalam pembentukan struktur dan proses kegiatan politik masyarakat maupun pemerintahan. Karena yang dimaksud dengan sistim politik adalah interelasi antara manusia yang menyangkut soal kekuasaan, aturan dan wewenang.

Menurut Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr. budaya politik berisikan sikap, keyakinan, nilai dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan pola-pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dari populasi. Hal ini juga dipertegas oleh Alan R. Ball yang mendefenisikan budaya politik adalah suatu susunan yang terdiri dari sikap, kepercayaan, emosi dan nilai-nilai masyarakat yang berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik.

1.5.4 Makna Budaya Politik

Budaya politik adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.


(29)

Sebenarnya istilah budaya politik tertentu melekat pada setiap masyarakat yang terdiri atas sejumlah individu yang hidup, baik dalam sistem politik tradisional maupun modern. Sebagaimana konsep kebudayaan terdapat pada setiap masyarakat, baik yang disebut tradisional maupun modern.

Pengetahuan mengenai budaya politik ini dalam kenyataannya sering diberi arti sebagai peradaban politik yang disamakan dengan prestasi dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini terlihat pula dari lingkup budaya politik itu, meliputi pula orientasi individu, yang diperoleh dari pengetahuannya yang luas maupun sempit: orientasinya yang dipengaruhi oleh perasaan keterlibatan, keterlekatan ataupun penolakan: orientasinya yang bersifat menilai terhadap objek dan peristiwa politik. Mengenai pengetahuan pengenalan tersebut, dinilai lebih bersifat sebagai peradaban dari pada sebagai kebudayaan.

Oleh karena itu, budaya politik merupakan persepsi manusia, pola sikapnya terhadap berbagai masalah politik dan peristiwa politik terbawa pula ke dalam pembentukan struktur dan proses kegiatan politik masyarakat maupun pemerintah. Oleh karena itu, sistem politik itu sendiri adalah hubungan manusia yang menyangkut masalah kekuasaan, aturan dan wewenang.

Hakikat budaya politik adalah suatu masyarakat terdiri dari system kepercayaan yang bersifat empiris, simbol-simbol yang ekspesif dan sejumlah nilai yang membatasi tindakan-tindakan politik. Kebudayaan politik selalu menyediakan arah dan orientasi bagi politik. Sudah tentu kebudayaan politik merupakan salah satu aspek kehidupan politik secara keseluruhan. Jika orang ingin mendapatkan gambaran dan ciri politik suatu bangsa secara utuh bulat, orang tersebut harus pula melakukan penelaahan terhadap sisinya yang lain. Atas


(30)

dasar alasan yang telah dipertimbangkan secara matang maka hal ini memusatkan perhatian terhadap beberapa aspek kebudayaan, yaitu sebagai berikut.

1. Sistem politik adalah merupakan jaringan yang kompleks antara budaya politk dan aspek-aspek politik serta kebudayaan lain yang sifatnya formal. Oleh sebab itu, dengan mengabaikan hal tersebut, sangat sulit untuk mendapatkan gambaran tegas tentang system politik. 2. Budaya politik adalah merupakan salah satu sistem politik yang

sifatnya sangat signifikan sekali.

Lebih jauh lagi mari kita lihat hubungan antara budaya politik dan perilaku politik. Perilaku politik adalah suatu telahan mengenai tindakan manusia dalam situasi politik. Situasi politik sangat luas cakupannya, antara lain : pengertian respons emosional berupa dukungan maupun simpati kepada pemerintah, respon terhadap perundang-undangan dan lain-lain. Jadi, dengan demikian perilaku para pemilih atau pemberi suara dalam pemilihan umum, misalnya, karena dapat menggambarkan sikap mereka terhadap pemerintah, merupakan salah satu telahan tentang prilaku politik. Tindakan dan perilaku politik individu sangat ditentukan oleh pola orientasi umum yang tampak secara jelas sebagai pencerminan budaya politik. Sedikit atau banyak seorang individu terkait pada nilai kebudayaan tempat ia hidup.

Parsudi Suparlan mengatakan pada pengantarnya dalam buku Antropologi Politik karangan Georges Balandier (hal: 65-66), salah satu tujuan antropologi politik itu adalah sebagai usaha untuk mendefenisikan secara lebih jelas dan mengetahui secara lebih baik mengenai bidang politik, maka dalam bab ini


(31)

Balandier ingin menjelaskan bagaimana peran kekerabatan dalam posisi politik kekuasaan, dengan mengasumsikan studi-studi kasus di berbagai beberapa ahli-ahli yang telah memberikan pendapat dan hasil pengamatannya, tentunya sebagai salah satu cara untuk menjelaskan apa sebenarnya politik itu.

Politik merupakan hal yang sangat fundamental bagi setiap manusia yang hidup secara kelompok, mereka pasti ada pemimpin, ada yang superior, yang biasanya memiliki kriteria kebudayaan masing-masing. Dalam masyarakat kebudayaan di dunia ini para ahli mengatakan ada tiga jenis sistem kekerabatan yang dianut masyarakat yakni Partilineal, matrilineal dan unilineal. Dalam Balandier hanya memfokuskan teorinya untuk membahas politik kekuasaan yang menganut prinsip keturunan dari satu pihak saja, baik patrilineal atau matrilineal.

MG.Simth memiliki teoritis yang sistematis, hubungan-hubungan eksternal dari sebuah garis keturunan itu, terutama adalah hubungan-hubungan politik, apakah secara langsung (dalam kasus peperangan atau penipuan) atau secara tak secara langsung (melalui pertukaran matrimonial, upacara, dll). Sedangkan hubungan internalnya terutama adalah hubungan-hubungan administratif, berlandaskan kepada kewenagan, atas hirarki yang memberinya aransemen tepat bagi hubungan-hubungan sosial.

Teori tentang kekerabatan dan kekuasaan ini menjelaskan kepada kita tentang bagaimana masyarakat tradisional memakai sifat-sifat yang emosional dalam kepemimpinan dalam kelompok mereka. Namun, banyak hal yang menurut saya akan terjadi ketimpangan kasus yang didominasi oleh satu prinsip kekerabatan tunggal yaitu patrilineal. Sehingga masalah kekerabatan dan kekuasaan sangat berperan.


(32)

Menurut pendapat George Orwell bahwa “dijaman ini tidak mungkin

orang bisa lepas dari politik. Semua masalah adalah selalu masalah politik”

(1945:154). Politik adalah masalah kekuasaan, yaitu kekuasaan untuk membuat keputusan, mengendalikan sumber daya, mengendalikan perilaku orang lain dan sering kali juga mengendalikan nilai-nilai yang dianut orang lain. Bahwa keputusan-keputusan biasa yang dibuat dalam kehidupan sehari-hari pun bisa dipandang dari sudut politik.

Kekuasaan adalah sebuah konsep asbtrak, tapi sangat berpengaruh terhadap kehidupan kita. Moore dan Hendry (1982:127) mendefinisikannya sebagai kekuatan dalam masyarakat yang membuat tindakan terjadi, sehingga dengan menelitinya kita bisa mengenali siapa yang mengendalikan apa dan demi kepentingan siapa.

Salah satu cara untuk memahami cara kerja dari kekuasaan dalam masyarakat adalah dengan melihat pada dunia politik. Dalam sebuah demokrasi, kita sebagai warga memberikan hak kepada para politikus untuk membuat hukum atas nama kita, dan jika kita melanggar hukum itu, maka masyarakat mendapatkan hak untuk menghukum kita. “kekuasaan politik” mengendalikan banyak aspek dalam kehidupan kita seperti berapa besarnya pajak yang kita bayar, bagaimana kondisi dari layanan kesehatan masyarakat dan pendidikan yang bisa kita dapatkan, seberapa cepat kita boleh mengendarai mobil, jenis obat apa yang boleh dan tidak boleh kita gunakan serta banyak bidang dan jenis kegiatan lainnya.

Dalam hal ada sebuah kutipan dari Jurnal Antropologi Sumatera Pilkada tulisan Tumpak Manurung. Upaya dan strategis yang dilaksanakan oleh masing-masing Pasangan Calon hampir sama antara lain melalui Partai Politik,


(33)

membentuk Tim Sukses, Tim Kampaye dan Posko-posko, melaksanakan silaturahmi terhadap tokoh, mengunjungi dan memberikan bantuan kepada masyarakat, menghadirkan tokoh pada saat kampanye, penyebaran brosur, spanduk, selebaran dan baliho serta mempererat hubungan komunikasi kekeluargaan/kekerabatan serta ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemenangan atau kekalahan pasangan calon antara lain figur pasangan calon di mata masyarakat, upaya dan strategi yang dilaksanakan oleh pasangan calon dan pengaruh dukungan dari berbagai pihak.

Dalam pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Kabupaten Pakpak Bharat ada 3 pasangan calon, yang menjadi pemenang adalah Calon Nomor Urut 1, dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kemenangan pasangan calon tersebut adalah karena ada hubungan marga, kekeluargaan kekerabatan terhadap pasangan calon, terarah dan sesuai upaya dan strategi pasangan calon dilaksanakan dengan jujur, ihklas, tidak mengharapkan balas jasa, penuh pengabdian dan berbuat sesuai dengan keadaaan dan kondisi masyarakat setempat dan didukung oleh berbagai pihak.

Dari hasil peneltian dapat digambarkan, bahwa Pemilih dalam menentukan pemilihannya lebih cenderung kepada Pasangan Calon yang dan ada hubungan etnis, kekerabatan, famili, marga dan dearah asal (bona pasogit).

Ketiga pasangan calon adalah asli etnis Pakpak dari Sauk Simsim, tetapi berlainan lebbuh (Tanah Ulayat). Kelompok marga sesuai dengan lebbuhnya, mempererat hubungan kekerabatan untuk bersatu mendukung pasangan calon dari wilayahnya, dengan melaksanakan pertemuan-pertemuan dalam rangka mempererat kekeluargaan/kekerabatan disponsori oleh pasangan calon.


(34)

Upaya kultural adalah usaha yang berhubungan dengan kebudayaan. Secara khusus penulis melaksanakan wawancara mendalam kepada informan (tokoh masyarakat, tokoh adat/budaya, tokoh agama) untuk mengetahui upaya kultural yang dilaksanakan oleh pasangan calon nomor urut 1, sebagai pemenang dalam pilkada di Kabupaten Pakpak Bharat. Dalam hasil pilkada. Kesehari-harian dalam memilih dan menentukan tim sukses yang dapat dipercaya dan kesetiannya merupakan dasar pemikiran dasar pasangan calon nomor urut 1. Dari daftar tim sukses yang dibentuk oleh pasangan calon nomor urut 1 dapat dilihat dan hubungan marga, keluarga/kekerabatan, diantaranya marga Berutu, Tumanggor, Banurae, Barasa, Bonag Manalu, Manik, Cibro dan Padang.

Tim sukses dari kelompok pendukung yang dibentuk oleh pasangan calon nomor urut 1, sesuai dengan pengamatan penulis dan solid mendukung calonnya tanpa mengharapkan imbalan dari pasangan calon. Adanya hubungan marga yang mempererat mereka menjadikan modal dalam mengsosialisasikan calon yang mereka pilih tanpa mengutamakan imbalan jasa yang berbentuk materi. Hal ini disebabkan eratnya hubungan marga/keluarga/kekerabatan.

Menurut E.B Taylor dalam bukunya yang berjudul Primitive Culture mengemukakan tentang pengertian kebudayaan sebagai suatu pengertian yang menyeluruh dan kompleks yang tercakup dalam pengetahuan (knowledge), kepercayaan, seni, hukum, moral, adat-istiadat, kapabilitas dan kebiasaan-kebiasaan lainnya yang dimiliki seseorang sebagai sesuatu masyarakat (Alfian, 1985 : 154). Pengertian ini timbul dari pemahaman tentang kebudayaan sebagai sistem atau serangkaian nilai yang mendasari atau melandasi pola orientasi, sikap dan tingkah laku anggota masyarakat di dalam berbagai bidang atau segi


(35)

kehidupannya sehari-hari. Kebudayaan dalam hal ini adalah sistem nilai memberikan kepada seseorang suatu cara memandang dan menilai apa yang nyata dan tidak agar dapat memilih mana yang benar atau salah. Artinya, kebudayaan membentuk perpepsi seseorang tentang sekitarnya termasuk dunia sehingga hal ini melahirkan pola orientasi, sikap dan perilaku politik.

Senada dengan ini, Spradley (1997 : 5) berpendapat bahwa kebudayaan harus dipahami sebagai suatu sistem pengetahuan yang diperoleh dan digunakan orang untuk menafsirkan (menginterpertasikan) pengalaman dan melahirkan perilaku. Kebudayaan sebagai sistem pengetahuan dan gagasan yang dimiliki suatu masyarakat merupakan kekuatan yang tidak tampak, yang mampu menggiring dan mengarahkan manusia pendukung kebudayaan itu untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan pengetahuan dan gagasan yang menjadi milik masyarakat tersebut baik di bidang ekonomi, sosial, politik dan sebagainya.

Pada setiap masyarakat di dunia melakukan tindakan-tindakan politik. Hal tersebut dilakukan karena menurut Balandier (1996) yang mengutip pendapat Frued bahwa politik merupakan alat pemersatu dari masyarakat yang heterogen dan berbeda-beda, ketidakmerataan stratifikasi sosial dan sistem kelas-kelas sosial yang dibangun diantara individu dan kelompok. Dalam Antropologi Politik Swarzt, Turner dan Tuden mengatakan bahwa politik merupakan proses pengambilan keputusan dan mempengaruhi kepentingan umum (publik) serta pembagian dan penggunaan kekuasaan oleh yang bersangkutan (Balandier, 1996). Jadi dengan singkat dapat dikatakan bahwa politik merupakan persaingan kekuasaaan dan cara-cara untuk mencapai dan menggunakan kekuasaan.


(36)

Kebudayaan tidak diperoleh manusia dengan begitu saja tetapi melalui proses belajar yang berlangsung tanpa henti sejak manusia dilahirkan sampai dengan ajal menjemputnya (Koentjaraningrat, 1997 : 57). Proses belajar dalam konteks kebudayaan bukan hanya dalam bentuk proses pengertian mengenai pengetahuan yang diperoleh manusia melalui pewarisan dalam keluarga, lewat sistem pendidikan formal di sekolah atau lembaga pendidikan formal lainnya tetapi juga, diperoleh melalui proses belajar dari berinteraksi dengan lingkungan alam dan sosialnya.

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Tipe dan Pendekatan Penelitian

Metode penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang bersifat deskritif, yang bermaksud menggambarkan secara terperinci mengenai sistem kekerabatan pada etnis masyarakat Batak Toba dikhususkan kepada marga sebagai kekuatan politik. Penelitian ini memfokuskan bagaimana marga dapat memberi pengaruh terhadap orang lain yang ada dilingkungan sekitarnya.

Pendekatan penelitian yang digunakan peneliti adalah pendekatan kualitatif. Dalam pendekatan kualitatif cara-cara hidup, cara-cara pandang ataupun ungkapan-ungkapan emosi dalam menanggapi marga yang dijadikan suatu wadah untuk memperoleh kekuatan politik.

1.6.2. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dan digunakan dalam penelitian, maka dilakukan penelitian lapangan sebagai upaya untuk memperoleh data promosi. Selain itu, diperlukan juga penelitian dari berbagai sumber


(37)

kepustakaan sebagai upaya untuk memperoleh data sekunder. Adapun data yang merupakan sebagai data awal adalah dari adanya dokumen dan studi Pustaka tentang bahan-bahan cetakan yang berhubungan atau informasi dari media cetak, untuk dapat memperkuat data yang akan dikumpulkan

a. Teknik Observasi

Metode observasi yang dipakai ialah non partisipasi. Observasi non partisipasi merupakan suatu cara yang dilakukan peneliti yakni melihat langsung ke lapangan. Dalam hal ini peneliti bertindak sebagai orang luar yang melihat gejala yang diamati tersebut dengan menggunakan kacamata atau refrensi dengan standard tertentu.

Metode observasi atau pengamatan dilakukan guna mengetahui situasi dalam konteks ruang, memahami lingkungan dan nilai keadaan yang terlihat dan tersurat dan waktu pada daerah penelitian. Menurut penulis, data yang diperoleh dari hasil wawancara saja tidaklah cukup untuk menjelaskan fenomena yang terjadi. Oleh karena itu, diperlukan suatu aktifitas dengan langsung mendatangi tempat penelitian sambil melakukan pengamatan. Pengamatan akan dilakukan pada setiap kegiatan atau peristiwa yang dianggap perlu atau berhubungan dengan tujuan penelitian.

b. Wawancara

 Wawancara mendalam

Dalam metode wawancara mendalam atau depth interview kepada beberapa orang informan yang sesuai dengan tujuan penelitian.

Informan pangkal adalah orang yang mempunyai penegtahuan luas mengenai berbagai masalah yang ada dalam suatu komunitas atau masyarakat.


(38)

Informan pokok atau kunci adalah orang mempunyai keahlian mengenai suatu masalah yang ada dalam masyarakat tersebut dan yang menjadi perhatian penelitian kita. Informan disini adalah “tokoh adat, tokoh politik, tokoh masyarakat dan tokoh agama”, sebagai informan utama dan informan kunci. Hal ini dilakukan agar memberikan pertanyaan peneliti tidak lari dari jalur permasalahannya. Tokoh adat adalah mereka yang mengetahui secara lebih jelas akan bagaimana seluk beluk dalam sistem kekerabatan pada masyarakat batak yang ada di Sumatera Utara khususnya di desa Dolok Margu, Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasudutan. Wawancara mendalam ini dilakukan dengan mendatangi beberapa orang tokoh adat yang dianggap mempunyai pengetahuan yang pasti dan lebih lengkap tentang sejarah dan fungsi marga itu yang sebenarnya.

 Wawancara Bebas

Dalam wawancara bebas, merupakan informan biasa yang merupakan masyarakat yang ada di daerah yang akan diteliti oleh peneliti mengenai marga bagi mereka pada saat ini.

Informan biasa adalah orang yang memberikan informan mengenai sesuatu masalah sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya, tapi bukan ahlinya.

c. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan sebagai teknik pengumpul data selanjutnya, dimaksudkan peneliti untuk mencari dan mengumpulkan data dari beberapa buku dan hasil penelitian para ahli yang berhubungan dengan masalah peneltian guna lebih menambah pengertian dan wawasan peneliti demi kesempurnaan akhir


(39)

penelitian ini. Dan adanya tambahan data yang merupakan sebagai dokumen tentang bahan-bahan cetak sebagai data kepustakaan.

d. Dokumentasi

Dokumentasi adalah catatan, karangan, atau gambaran seseorang secara tertulis tindakan, pengalaman dan kepercayaannya. Maksud mengumpulkan dokumen pribadi ialah untuk memperoleh kejadian nyata tentang situasi dan arti berbagai faktor di sekitar subjek penelitian.

1.7Teknik Analisa Data

Menurut Patton (1980:268) dalam buku Mallong bahwa analisa data adalah proses yang mengatur urutan data, mengorganisasinya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Sehingga data yang dikerjakan bermanfaat sedemikian rupa hingga berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dalam penelitian (Koentjaraningrat, 1996:269).

Seperti yang telah penulis tuturkan sebelumnya dalam penelitian ini penulis berusaha untuk bersikap objektif terhadap data yang diperoleh di lapangan. Data ini diperlukan sebagaimana adanya, tidak dikurangi atau tambah atau dirubah, sehingga tidak mempengaruhi keaslian data-data tersebut. Data-data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan tersebut akan diteliti kembali atau di edit ulang, pada akhirnya kegiatan ini bertujuan untuk memeriksa kembali kelengkapan hasil wawancara. Langkah selanjutnya data-data ini akan dianalisa secara kualitatif. Keseluruhan data yang diperoleh dari observasi, wawancara, sumber kepustakaan dan dokumentasi yang telah ditentukan disusun berdasarkan kategori-kategori yang sesuai dengan tujuan penelitian.


(40)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1 Sejarah Singkat Desa Dolok Margu

Desa Dolok Margu merupakan salah satu bagian dari wilayah kecamatan Lintongnihuta. Mengenai nama desa Dolok Margu, menurut hasil wawancara dengan raja adat Opung Kuwir Silaban, nama desa ini berasal dari nama nenek moyang Silaban. Setelah mengalami transformasi, desa Silaban disempurnakan lagi menjadi 2 (dua) desa yaitu desa Dolok Margu dan desa Siponjot, yang digunakan sebagai nama untuk mengindentifikasi satu kelompok masyarakat dan suatu kawasan tertentu yang merupakan wilayah kehidupan masyarakat yang bersangkutan di kecamatan Lintongnihuta, karena desa ini juga begitu luas wilayahnya maka dibagi 2 wilayah desa.

Dengan keadaan demikian itu, nama dari desa Dolok Margu mengandung dua pengertian secara konseptual. Satu pengertian atau konsep teritorial dan satu lagi pengertian atau konsep sosio-kultural. Sebagai konsep teritorial, dolok margu merupakan nama dari sebuah desa yang memiliki batasan-batasan wilayah yang jelas, sementara sebagai konsep sosio-kultural, dolok margu menunjukkan nama bagian dari marga silaban dari suatu kelompok masyarakat dan kebudayaan yang memiliki suatu ciri khas.

Mengenai kapan dan siapa pendiri desa Dolok Margu, data-datanya sangat minim dan hanya dari cerita-cerita tokoh adat desa. Sedangkan yang pertama kali menyebutkan istilah Dolok Margu kurang jelas, karena tidak adanya data-data tertulis, hanya dari mulut ke mulut dikatakan bahwa pendiri desa ini adalah Datu


(41)

Dira(sitio) anak dari Borsak Junjungan Silaban yang berasal dari Hatuguan (samosir). Semula tempat permukiman diawali dengan merantaunya beberapa orang dari keturunan Borsak Junjungan Silaban yaitu Datu Bira dan Datu Mangambit dan Datu Guluan, yang bermukim di tipang (Bakkara) kemudian bergeser ke suatu tempat yang cukup jauh kemudian berkumpul kembali beberapa orang tang lama kelamaan tumbuh dan berkembang secara alamiah menjadi suatu desa dengan kriteria tertentu untuk dapat menjadi sebuah desa. Akhirnya berkembang menjadi wilayah yang banyak ditempati oleh marga silaban sehingga menjadi Desa Silaban, namun sekarang telah ramai marga-marga lain.

2.2 Letak Geografis

Desa Dolok Margu dengan luas wilayah desa 1.261, 77 Ha. Secara goegrafis yang terletak di Kecamatan Lintongnihuta berada pada 20130 - 20200 Lintang Utara, 98047- 98057, dengan batas-batas sebagai berikut:

Dengan batas-batas wilayah desa sebagai berikut:

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Sileang Kecamatan Dolok Sanggul. b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sitio II.

c. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Pakat Dolok Kecamatan Dolok Sanggul.

d. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Siponjot.

Secara administrasi keseluruhan, Kecamatan Lintongnihuta yang terdiri dari 22 desa dengan luas wilayah 18.126,03 Ha. Kecamatan Lintongnihuta pada awalnya terdiri dari 39 desa yang kemudian di persempit menjadi 26 desa hingga pernah penyatuan desa menjadi 12 desa. Namun Kecamatan Lintongnihuta dibagi


(42)

kembali menjadi 22 desa yang masing-masing desa di bawah koordinasi oleh seorang Kepala Desa (Kades).

Tabel 1

Luas Lahan Menurut Penggunaanya

No. Luas Lahan Menurut Penggunaan Luas Lahan (Ha) 1. Pekarangan Bangunan Halaman 114, 77

2. Tegal/Ladang/Huma 152

3. Padang Rumput 131

4. Kopi 169

5. Kolam Tebat Empang 1

6. Tanah Tidak Diusahai 283

7. Tahan Untuk Kayu – Kayu 115

8. Rawa – Rawa -

9. Lain – Lain 181

10. Sawah 115

TOTAL 1.261, 77

Sumber : Kantor Camat Tahun 2008

2.3 Komposisi Penduduk

2.3.1. Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin

Komposisi penduduk menurut jenis kelamin adalah untuk mengetahui perbandingan antara perempuan dan laki-laki. Jumlah penduduk total masyarakat Desa Dolok Margu adalah 1270 jiwa. Untuk mengetahui jumlah penduduk laki-laki dan perempuan yang mendiami wilayah ini, maka terlebih dahulu dilakukan


(43)

pengelompokan penduduk berdasarkan jenis kelamin. Dari hasil penelitian bahwa jumlah penduduk perempuan lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk laki-laki.

Tabel 2

Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

No. Jenis Kelamin Total Persentase (%)

1. Laki – laki 653 52%

2. Perempuan 617 48%

JUMLAH TOTAL 1.270 100%

Sumber : Kantor Camat Tahun 2008

Dari tabel 2, memperlihatkan bahwa kelompok terbesar adalah jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 653 jiwa dan jumlah perempuan adalah 617 jiwa dengan total jumlah 1.270 jiwa.

Dari tabel 2, memperlihatkan bahwa kelompok terbesar adalah jenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 653 jiwa dan jumlah jenis kelamin perempuan adalah 617 jiwa. Banyaknya jumlah laki-laki yang hampir sebanding dengan jumlah perempuan diakibatkan adanya beberapa faktor yaitu anak laki-laki banyak merantau di luar daerahnya, setelah lama diperantauan tidak pernah lagi kembali ke kampung halamannya dan menetap ditempat perantauan.


(44)

2.3.2. Menurut Kelompok Umur/Usia Tabel 3

No Deretan Usia/Tahun Jumlah /Orang Persentase (%)

1. 0 – 10 273 21,5

2. 11 – 20 241 19

3. 21 – 30 156 12,3

4. 31 – 40 249 19,6

5. 41 – 50 267 21

6. 50 > 84 6,6

TOTAL JUMLAH 1.270 100%

Sumber : Kantor Camat Tahun 2008

Dari tabel diatas, terdapat enam golongan umur, mulai dari 0-50 tahun ke atas. Keenam deretan usia tersebut menunjukkan bahwa usia 0 tahun sampai pada usia 10 tahun adalah jumlah terbesar di desa Dolok Margu. Diikuti oleh usia 41-50 tahun sebanyak 21%. Jumlah penduduk paling kecil adalah pada usia diatas 41-50, orang sekitar 6,6% sangat sedikit dibandingkan golongan umur yang lain. Hal ini menggambarkan tingkat pertumbuhan penduduk di desa Dolok Margu cukup tinggi.

2.3.3. Menurut Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan sebagai indikator kesejahteraan nilai sosial budaya masyarakat ditandai dengan kemampuan penduduk untuk bisa baca tulis. Selanjutnya kemajuan suatu bangsa turut ditentukan oleh besar jumlah penduduk yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang diterima melalui


(45)

pendidikan formal dan non-formal. Untuk lebih jelas dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 4

Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase

1. Belum Sekolah 152 12,0%

2. Belum Tamat SD 109 8,6%

3. SD 291 22,91%

4. SLTP 140 11,0%

5. SLTA 123 9,7%

6. D-I 72 5,7%

7. D-III 140 11,0%

8. S-1 243 19.1%

Jumlah 1.270 100%

Sumber : Kantor Camat Tahun 2008

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa keadaan penduduk Desa Dolok Margu dapat dilihat dari tingkat pendidikan tergolong rendah. Hal ini ditandai dengan mendominasikan jumlah penduduk yang berpendidikan Sekolah Dasar (SD). Umumnya penduduk yang berpendidikan SD adalah para orang tua usia 40 tahun keatas. Jadi mereka yang berusia 40 tahun pada masa dahulu memilki pandangan yang masih rendah, tentang arti pentingnya pendidikan sekolah. Baru mereka setelah menjadi orang tua dan sadar tentang petingnya pendidikan sekolah bagi anak-anak mereka minimal tamat SLTA/Sederajat. Sementara ada kurang lebih 243 orang yang berpendidikan perguruan tinggi,


(46)

mereka ini banyak yang menjadi pegawai negeri/swasta, aparat keamanan dan tidak sedikit pula diantara mereka adalah pengusaha.

2.3.4. Menurut Mata Pencaharian Penduduk

Kehidupan masyarakat di Dolok Margu bersifat agraris, sehingga pertanian merupakan sumber utama penghasilan bagi masyarakat, tetapi hanya sedikit di antara penduduk menekuni pekerjaan lain sebagai mata pencaharian utama. Ada yang bekerja sebagai pegawai negeri, buruh tani, pedagang, supir angkot, dan pekerjaan lainnya. Walaupun bekerja sebagai pegawai negeri atau sawasta biasanya sepulang dari bekerja mereka pergi ke ladang karena umumnya memiliki tanah pertanian yang dijadikan sumber penghasilan tambahan.

Tabel 5

Komposisi penduduk Menurut Mata Pencaharian

No. Jenis Mata Pencaharian Jumlah Keluarga Persentase (%)

1. Petani 146 56,5

2. Jasa angkutan 52 20

3. Pedagang 26 10

4. Pegawai Negeri Sipil 18 7

5. Peternak 16 6,5

JUMLAH TOTAL 258 100%


(47)

Desa Dolok Margu adalah suatu daerah yang sangat kaya dengan potensi alam. Lahan pertanian baik lahan kering dan lahan basah yang sangat subur, menjadikan masyarakatnya berprofesi sebagai petani. Hasil pertanian dari perladangan dan persawahan cukup memuaskan, sehingga mampu untuk memenuhi kebutuhan di rumah bahkan untuk dijual. Hal itu terlihat dari tabel diatas, jumlah penduduk dengan mata pencaharian bertani berada pada angka tertinggi 48,5%. Sementara jumlah penduduk yang berprofesi sebagai jasa angkutan, pedagang, pegawai negeri sipil, dan peternak berada pada angka yang sangat rendah dibandingkan petani. Apabila ditotalitaskan dari seluruh mata pencaharian selain bertani hanya mencapai 43,5%.

2.3.5. Menurut Agama/Kepercayaan

Pada penjelasan ini, jumlah penduduk berdasarkan agama/kepercayaan tidak ada tabel seperti pada sebelumnya. Hal itu dikarenakan masyarakat desa Dolok Margu adalah masyarakat homogen termasuk agamanya. Seperti yang dijelaskan pada Bab sebelumnya, masyarakat desa Dolok Margu yang hampir berpendudukan satu keturunan nenek moyang yang sama yang berpindah tempat, hanya menganut satu agama saja yaitu Kristen Protestan 100%. Terbukti juga melalui bangunan ibadah yang ada, penulis hanya mendapati satu unit bangunan Gereja HKBP Dolok Margu dan satu Gereja Protestan yang lain . Sementara bangunan ibadah untuk agama yang lain tidak ada ditemui. Singkatnya jumlah penduduk desa Dolok Margu sebanyak 1.270 jiwa seluruhnya menganut agama Kristen Protestan. Karena memang nenek moyang mereka yang banyak


(48)

berdomisili atau tinggal dan menghuni desa Dolok Margu sehingga banyak yang menganut agama Kristen Protestan.

2.4. Sarana/Fasilitas

2.4.1. Sarana Kesehatan

Kesehatan merupakan salah satu faktor penting dalam menjalani aktivitas kehidupan sehari-hari. Faktor kesehatan juga menentukan kualitas masyarakat dalam kesadaran akan kebersihan, kemauan dan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat.

Perkembangan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, serta mutu dan kemudahan pelayanan kesehatan yang harus semakin terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat dan meningkatkan gizi dan pembudidayaan sikap hidup bersih dan sehat didukung dengan perumahan dan pemukiman yang banyak.

Untuk itu perlu adanya pelayanan kesehatan bagi masyarakat, peningkatan mutu dan pemerataan pelayanan kesehatan, terutama bagi yang kurang mampu dan terpencil. Pada kenyataannya, hal itu belum tercapai di desa Dolok Margu. Karena, di desa ini sarana kesehatan masih sangat jarang dan terbatas jumlahnya. Di desa Dolok Margu tersedia beberapa sarana kesehatan untuk keperluan masyarakat dalam bidang kesehatan dan pengobatan seperti Puskesmas Pembantu, Posyandu, BKIA, Polindes, dan Poskesdes.


(49)

Tabel 6

Jenis Sarana Kesehatan Masyarakat Desa Dolok Margu Tahun 2007

No. Sarana Kesehatan Jumlah

1. Rumah Sakit -

2. Puskesmas -

3. Pukesmas Pembantu 1

4. Posyandu 2

5. PBU -

6. BKIA 1

7. Polindes 1

8. Poskesdes 1

JUMLAH 6

Sumber : Kantor Camat Tahun 2008

. Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa sarana kesehatan di Desa Dolok Margu tersedia dua unit sarana bangunan kesehatan untuk keperluan pelayanan masyarakat dalam bidang kesehatan dan pengobatan seperti Puskesmas pembantu dan Posyandu. Sarana kesehatan inilah yang melayani kesehatan masyarakat dengan jumlah 1.270 jiwa yang masih belum merata. Banyaknya Posyandu dibandingkan dengan Puskesmas berguna untuk mempermudah dalam pemberian layanan kepada masyarakat yang membutuhkan. Kegiatan Posyandu diadakan sedikitnya satu bulan sekali yaitu dengan memeriksa kesehatan anak, melihat perkembangan dan pertumbuhan serta pemberian imunisasi.


(50)

2.4.2. Sarana Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu jalan dalam meningkatkan kedudukan dan status seseorang, yang dalam hal ini haruslah ditunjang dengan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai. Data yang diperoleh dari kantor Camat dan hasil survei pengamatan langsung ke lapangan, di Desa Dolok Margu tidak adanya sarana pendidikan. Sehingga penduduk setempat sekolah keluar dari lingkungan desa mereka, hal ini tidak terlepas desa yang saling berdekatan dan adanya beberpa kali pengabungan beberapa desa dari terbentuknya Desa Dolok Margu di struktur pemerintahan Kecamatan Lintongnihuta sehingga tidak adanya sarana bangunan Sekolah Dasar (SD). Namun untuk jejang lanjutan SMP Negeri ada dua sekolah yang terletak di jantung pusat kecamatan Lintongnihuta yang saling berhadapan kedua sekolah SMP Negeri ini dengan kantor Kecamatan.

Tinggi rendahnya tingkat pendidikan masyarakat salah satunya dipengaruhi fasilitas pendidikan yang ada di daerah tertentu. Untuk menuntut ilmu pengetahuan ke tingkat pendidikan SLTA /Sederajat anak-anak dari desa ini harus keluar dari wilayah desanya. Sarana pendidikan tingkat SLTA/Sederajat hanya ada di Kota Dolok Sanggul sebagai Ibukota Kabupaten Humbang Hasundutan.

Sarana ataupun fasilitas yang kurang memadai ini tidak membuat arti pentingnya sekolah bagi penduduk setempat. Adanya kesadaran dan pentingnya pendidikan yang dipahami oleh orang tua bagi anak mereka. Ini dapat kita lihat di tabel 3 diatas sudah banyaknya lulusan sarjana dari Desa Dolok Margu yang menunjukkan adanya peningkatan pendidikan dari orang tua mereka.


(51)

2.4.3. Sarana Ibadah

Seperti halnya dengan sarana kesehatan yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa sarana ibadah juga jumlahnya masih sangat terbatas. Adapun sarana ibadah di Desa Dolok Margu hanya ada Gereja HKBP Dolok Margu sebagai tempat beribadah umat Kristen. Sarana yang lain selain Gereja HKBP ada satu Gereja Protestan selain Gereja HKBP dan untuk pembangunan rumah ibadah yang lain belum juga adanya perencanaan pembangunan. Hal ini semakin menguatkan bahwa penduduk Desa Dolok Margu mayoritas beragama Kristen Protestan. Bilamana ada orang lain diluar agama tersebut ingin beribadah, maka harus pergi jauh lagi ke Kota Dolok Sanggul. Misalnya saja Islam untuk menemukan Mesjid yang ada di kota.

Tabel 7 Sarana Ibadah

No. Sarana Bangunan Ibadah Jumlah Persentase (%)

1. Gereja HKBP 1 50%

2. Gereja Kristen Protestan 1 50%

Jumlah 2 100%

Sumber: Kantor Camat Tahun 2008.

Bila dilihat dari tabel 7 diatas, terlihat tidak adanya sarana ibadah selain sarana Gereja. Hal ini menunjukkan masih homogennya penduduk Desa Dolok Margu. Jumlah sarana ibadah Gereja cukup sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduk yang beragama Kristen Protestan.


(52)

2.4.4. Sarana dan Prasarana

Transportasi merupakan salah satu faktor yang menentukan bagi perkembangan suatu wilayah. Jenis transportasi yang dimaksudkan adalah transportasi yang dimaksud adalah transportasi darat yang dapat memperlancar jenis aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat baik petani, pedagang, pegawai negeri sipil, pengusaha, peternak, anak-anak sekolah dan lainnya. Di Desa Dolok Margu sarana transportasi ini cukup memadai dan lancar karena di dukung oleh prasarana yang cukup baik pula. Hal ini didukung oleh transportasi lintas bukan transportasi daerah setempat yang lintasannya cukup jauh antara Dolok Sanggul ke Medan.

Beberapa jenis sarana transportasi juga sudah ada di kecamatan ini, seperti angkutan umum, Bus umum, Becak, Truck, Sepeda Motor, Mobil pribadi dan lainnya. Sarana transportasi kecamatan juga sarana transportasi Desa Dolok Margu.

2.5. Sistem Organisasi Sosial

Berbicara mengenai masyarakat, maka dalam masyarakat tersebut mendapat struktur berupa sistem sosial yang mengatur dan sebagai wadah bagi setiap anggota masyarakat untuk melakukan interaksi sosial. Melalui organisasi sosial dan kerja sama antar kesatuan-kesatuan masyarakat akan dapat terbina dengan baik.

Masyarakat Batak Toba secara kekerabatan menarik garis keturunan dari pihak Ayah (Patrilineal). Struktur sosial Batak Toba diatur dalam Dalihan Na


(53)

Sabutuha (saudara kandung), dan Boru (anak perempuan). Yang menempati

kelas-kelas paling tinggi adalah Hula-hula, kemudian antara boru dan dongan sabutuha memiliki kedudukan hampir sama. Struktur sosial tersebut bukan sebagai bentuk penguasaan melainkan sistem mengatur kekerabatan antar masyarakat sehingga tetap seimbang, dan setiap orang akan mengerti masing-masing kedudukan dalam adat.

Tertib pertalian Patrilineal menguasai seluruh hukum adat, hak milik/warisan dan upacara pemujuaan. Satu marga tidak diperbolehkan untuk menggantikan marganya, karena satu marga itulah sebagai teman untuk menjalankan atau menerima adat, harus seperasaan dalam segala hal. Seperti kesatuan kekerabatan yang dijelaskan diatas, organisasi juga terdapat di Desa Dolok Margu antara lain organisasi keagamaan, organisasi kepemudaan, Naposo Bulung (pemuda-pemudi Gereja) dan Karang Taruna.


(54)

2.6. Struktur Pemerintahan Desa Dan Perangkat Desa

Keterangan :

: garis komando

: garis koordinasi

KAUR PEMERINT

AHAN

KAUR PEMBANGU

NAN

KAUR UMUM

KADUS I KADUS II KADUS III

KEPALA

DESA

BPD


(55)

2.7. Pejabat Pemerintahan dan Perangkat Desa

Kepala Desa : Marganda Silaban Sekdes : Jahoras Silaban Kaur Pemerintahan : Jahoras Silaban Kaur Pembangunan : Hotman Silaban Kaur Umum : Jongga Silaban Kadus I : Darto Silaban Kadus II : Mangerat Silaban Kadus III : Posman Silaban Kadus IV : Sitiopan Silaban

BPD

Ketua : Parsudin Silaban Wakil : Sarmado Silaban Sekretaris : Horibin Hutasoit Anggota : Ganda Silaban

Salom Silaban Sahat Silaban


(56)

BAB III

MARGA SEBAGAI KEHORMATAN STATUS SOSIAL

3.1 Sisilah Marga Silaban

Sisilah adalah tarombo (family tree) untuk menelusuri garis keturunan

seseorang. Pada masyarakat Batak, Tarombo sangat penting untuk melihat struktur kekerabatan dalam satu marga. Batak sebagai sistem patrilineal, tarombo mengikuti garis keturunan laki-laki. Biasanya, nama anak perempuan tidak terlihat dalam Tarombo. Dalam Tarombo, diberi penomoran untuk mengetahui tingkatan struktur kekerabatan. Penomoran dilakukan untuk mengetahui tingkatan generasi. Masing-masing marga mempunyai Tarombo sendiri-sendiri.

Sisilah atau tarombo merupakan cara orang batak menyimpan daftar silsilah marga mereka masing-masing dan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai "orang Batak kesasar" (nalilu). Orang Batak khususnya lelaki diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klen atau marga.

Marga Silaban mempunyai Tarombo yang bisa diurut ke masing-masing keturunan marga, hingga ke tingkat individu. Sayang tidak semua individu dapat menelusuri Tarombo nya secara akurat. Nenek moyang marga Silaban bernama Borsak Junjungan, ia adalah orang pertama yang bermarga Silaban. Borsak Junjungan Silaban inilah yang menjadi cikal bakal keturunan marga-marga silaban yang kita kenal. Ditinjau dari peta silsilah (tarombo), Marga Silaban


(57)

pertama kali disandang oleh Borsak Jungjungan yang merupakan putra pertama dari Toga Sihombing.

Gambar I: TAROMBO NI SILABAN MARTIANG OMAS DARI TOGA SIHOMBING

BORSAK SIMORANGKIR BORSAK MANGATASI BORSAK BIMBINGAN

LUMBAN TORUAN NABABAN HUTA SOIT

SILABAN Sitio Siponjot TOGA SIHOMBING Br. Lontung BORSAK JUNJUNGAN Br. Lontung OMPU RATUS Br. Situmorang OMPU R. DIOMA OMA Br. Sinaga Ratus

DATU BIRA Br. Sinaga

DATU MANGAMBIT Br. Sianturi Br, Nainggolan Br. Manurung Br. Simanjuntak

/ Parpadanan tu Ht. Barat Sosunggulon SAKKAR TOBA Br. Pasaribu MARTIANG OMAS Br.

Tambunan SAMPULU TUAN Br. Siregar

DATU GULUAN

Br. Simbolon

Keterangan :

Sumber Data : Andryanus Silaban Wiraswasta Dolok Sanggul Perempuan Laki-laki Garis Perkawinan Garis Keturuanan Garis Sejajar


(58)

Karena ada beberapa pendapat tentang urutan Borsak Junjungan Silaban (anak dari Toga Sihombing), sampai ke tingkatan Datu Bira dan adik-adiknya, maka penomoran Tarombo Silaban, umumnya dimulai dari tingkatan Datu Bira, Datu Mangambe dan Datu Guluan. Dari Borsak Junjungan, anaknya satu, cucunya satu dan seterusnya sampai ke Ompu Raja Oma-Oma yang punya anak tiga, Datu Bira, Datu Mangambe dan Datu Guluan.

Jadi Silaban mempunyai 3 orang anak dengan nomor Tarombo-1 adalah Datu Bira (Silaban Sitio), Datu Mangambe (Silaban Siponjot) dan Datu Guluan.

Sebagaimana orang-orang Batak lainnya, maka para marga Silaban ini pun hidup tersebar di berbagai tempat baik di kampung halaman (bona pasogit) maupun didaerah perantauan (luat sileban). Di bona pasogit sendiri, terdapat beberapa area atau kampung (huta) yang mayoritas penduduknya adalah marga Silaban, walaupun sudah banyak marga-marga yang lain berdomisili di kampung Silaban sekarang ini.

Huta tersebut antara lain adalah (semuanya terletak di kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatra Utara) :

1. Silaban - Dolok Sanggul 2. Tipang - Bakkara

3. Bonan Dolok - Sijama Polang 4. Sijabat

5. Pangratusan - Parmonangan 6. Sitapean - Lintongnihuta


(59)

Gambar II:

Garis Keturunan Silaban (Datu Bira) Dari Borsak Junjungan

BORSAK JUNJUNGAN SILABAN

OP RATUS

OP R. DIOMA OMA

DATU BIRA DATU MANGAMBIT DATU GULUAN

SAKKAR TOBA

MARTIANG OMAS TUAN SAMPOLU

BATU SAHALANA Gr. SONTUNGGUON OP PARLUHUTAN OP DUMIA

OP SOMANARAM Gr. SOTADINGON

OR. NAPATANG OR. NASANGGAM

OR. NATANGKANG Gr. MANGULOAN

OP HATIARAN OP SOHAHUAON OP BONA TANDUK

OP MARBUJOGO OP SOTARBUHAR OP PARIAHA

DATU RAMANG OP MARSUBA OP PASSEMBAT

A. MARSUBA OP SABUNGAN O TOGA BARITA OP TALHAS OP MARDOSIR OP TARAPANG

O. SIRGURANGSANG OP. HALISUNG OP. JORNGOM OP. JUGIA OP. PANGALAK OP. BINAHAR

AMANTUA NALIM O. MARJANGGUT OP. JAHA

HOLING BISMAR

ALBINUS

PASU DIHON JOHARLES JOSEP BARINGIN AZIZ PETRUS

ANDRYANUS

CHARLY ANTONIUS TOMY ANDREAS ELIAS PIKAL

PALTIRAJA SAHALARAJA PATIARAJA 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 15 14 16 17


(60)

3.2 Penabalan Marga

Syamsul Arifin yang sekarang kita kenal merupakan Kepala Daerah Sumatera Utara, yang memenangkan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) Sumatera Utara pada tahun 2008 sebagai Gubernur Sumatera Utara untuk periode 2008-2013. Sebelum menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara Syamsul Arifin merupakan Bupati Langkat.

Pada dasarnya Syamsul Arifin bukan suku Batak Toba, namun Syamsul di tabalkan sebagai marga Silaban. Pada saat Syamsul Arifin masih remaja, Syamsul Arifin sering bermain ke rumah tetangganya yang bersuku Batak Toba bermarga Silaban. Marga Silaban ini merupakan seorang polisi yang bekerja di Pangkalan Berandan, keluarga Silaban memiliki satu anak laki-laki yang seumur dengan Syamsul Arifin. Kedekatan dan persahabatan Syamsul Arifin dengan anak marga keluarga Silaban ini membuat Syamsul Arifin dianggap sebagai keluarga oleh keluarga Silaban.

Semasa remaja, Syamsul Arifin dikenal sebagai pemuda yang rajin, baik dan rajin beribadah. Keramahan Syamsul Arifin inilah disukai oleh masyarakat di daerah tempat tinggal Syamsul. Syamsul Arifin hidup dalam suasana keluarga yang cukup sederhana, kesederhanaan ini membuat Syamsul dikenal dengan remaja yang rajin. Hubungan Syamsul Arifin terhadap keluarga Pak Silaban sangat dekat sehingga Syamsul Arifin sering bermain ke rumah Pak Silaban.

Ketika Pak Silaban kehilangan anak laki satu-satunya, silaban mengangkat Syamsul Arifin menjadi marga silaban di keluarga mereka. Kedekatan dan keramahan Syamsul Arifin pada anak dan keluarga silaban, sehingga silaban beranggapan bahwa Syamsul Arifin adalah anak mereka. Beberapa tahun


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Di wilayah Indonesia terdapat beberapa suku bangsa yang mempunyai Kebudayaan dan saling mempengaruhi, Kebudayaan Indonesia yang asli tumbuh dan berkembang di berbagai pulau, yang terpisah-pisah sehingga terdapat perbedaan yang khas.Salah satu perbedaan itu terdapat pada sistem sosial kemasyarakatannya. Demikian halnya bangsa Batak sistem kekerabatannya memiliki ciri khas yang berbeda dengan suku-suku bangsa lain.

Dalam lingkungan suku bangsa Batak, sistem kemasyarakatannya di atur dalam sistem kekerabatan yang berlandaskan organisasi sosial marga, marga merupakan dasar untuk menentukan partuturan, hubungan persaudaraan, baik untuk kalangan semarga maupun di marga-marga lain. Sistem kekerabatan yang diatur dalam Dalihan Na Tolu akan tetap dilaksanakan agar tidak terjadi konflik hubungan kekerabatan. Dengan adanya, hubungan kekerabatan terjalin teratur satu marga atau keluarga, menunjukkan tali pengikat untuk mempersatukan antara seseorang dengan orang lain, mengikat rasa persaudaraan dan kekerabatan dalam kelompok etnis Batak.

Marga adalah garis keuturnan yang menandakan asal mereka yang cikal-bakalnya dari nama yang kemudian diikutkan menjadi nama setelah nama depan mereka. Dengan adanya proses perkawinan maka sistem kekerabatan semakin berkembang dan terbagi-bagi menjadi sub kecil marga, sehingga tidak melupakan sistem kekerabatan dari Dalihan Na Tolu. Marga juga merupakan nama


(2)

persekutuan dari orang-orang bersaudara(sedarah), seketurunan menurut garis bapak yang mempunyai tanah sebagai milik bersama di tanah asal atau tanah leluhurnya, sehingga dengan adanya marga hubungan kekerabatan menjadi jelas dan setidak tidaknya dapat memperkecil terjadinya perkawinan satu marga, yang sangat di larang di dalam budaya batak.

Dengan perkembangan jaman marga berkembang dengan banyaknya sub-sub marga kecil dengan melalui proses perkawinan. Marga-marga kecil inipun tersebar keseluruh daerah sehingga dengan cepat berkembang dan tanpa disadari marga Batak Toba hampir mendominasi pengaruh daerah dimana mereka berdomisili. Hal ini sesuai pepatah Batak yang sering mereka gunakan pada saat mereka merantau ke daerah luar asal tanah kelahiran mereka yaitu membentuk suatu perkampungan Batak sesuai dengan kampung halaman mereka.

Perkembangan inilah yang sering dijadikan seseorang maupun sekelompok orang yang menggunakan sistem kekerabatan Batak melalui marga yang dianggap memiliki pengaruh dan kekuasaan pada daerah yang hendak didekati. Mereka menggunakan marga sebagai cara untuk mendekatkan diri pada masyarakat agar memdapatkan simpati mereka dengan menjalin hubungan emosinal terlebih dahulu sehingga adanya hubungan kedekatan yang dapat dianggap sebagai saudara kandung tanpa adanya hubungan darah. Banyak juga marga ditabalkan pada pejabat yang sudah menjabat pada daerah tertentu didaerah Batak Toba pada umumnya, dengan maksud menjalin kedekatan dan hubungan emosional terhadap daerah yang dipimpinnya, namun dengan janji-janji yang dapat menyenangkan masyarakat daerahnya sehingga penabalan marga terjadi.


(3)

Toba dengan Batak Karo, yang ditabalkan kepada Syamsul Arifin yang pada waktu itu menjabat sebagai Bupati Langkat yang sedang mencalonkan dirinya dalam pemilihan Gubernur Sumatera Utara untuk periode 2008-2013.

Perubahan arti dari marga itupun perubahan menjadi kegiatan politisasi oleh seseorang atau sekelompok tertentu yang tidak memahami pengaruh marga marga bagi mereka yang diberikan. Marga memang memiliki pengaruh politik yang cukup kuat dalam kehidupan masyarakat Batak Toba dan Batak secara keseluruhan karena dengan memiliki marga dan memahami bahasa batak maka akan sangat dihormati oleh orang Batak. Bagi orang Batak yang menentukan mereka sebagai Raja Adat dan Tokoh Adat haruslah memiliki marga agar dapat diatur dalam sistem Dalihan Na Tolu yaitu hula-hula, dongan tubu dan boru. Inilah yang dijadikan seseorang dalam menggunakan marga untuk mendapatkan kekuasaan secara hubungan emosional melihat bangsa Indonesia merupakan bangsa timur yang memiliki ciri khas kesukuan, keagamaan, adat-istiadat yang secara tradisional.

5.2 Saran

1. Dapat memberikan gambaran bahwa marga merupakan unsur yang

mempunyai pengaruh yang kuat dalam politik suku Batak.

2. Marga bagi bukan hanya sebagai sarana untuk seseorang atau sekelompok

orang yang menggnakan marga hanya untuk kepentingan kekuasaan.

3. Dapat menjaga arti marga tanpa adanya unsur-unsur politik yang dapat


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Balandier, Georges

1986 Antropologi Politik. CV. Rajawali, Jakarta.

Fasya, Kemal, Teuku

2006 Kata dan Luka Kebudayaan. USU Press, Medan. Indonesia.

Gultom Rajamarpodang, DJ

1992 Dalihan Na Tolu, Nilai Budaya Suku Batak. Cv. Armanda,

Medan. Ihromi, T.O

1993 Antropologi Hukum Sebuah Bunga. Yayasan Obor

Indonesia, Jakarta.

2006 Pokok-pokok Antropologi Budaya. Yayasan Obor

Indonesia, Jakarta.

Koentjaraningrat.

1980 Sejarah Teori Antropologi I. Penerbit Inuversitas Sumatera

Utara, Jakarta. Manurung, Tumpak

2006 Jurnal Antropologi Sumatera tentang Upaya Kultur Dalam

Langsung di Kabupaten Pakpak Bharat.Unimed. Medan. Maloeng, Lexy J.MA

1991 Metode Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosda Karya.

Bandung. Siahaan, Nalom, Drs

1982 Adat Dalihan Na Tolu. Prima Anugerah. Medan.

Simanjuntak, Antonius, Bungaran, Prof

2006 Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba Hingga

1945. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Situmorang, Sitor

1983 Asosiasi Klan Batak Toba di Jakarta, Bukan Marga Tapi

Lahir Dari Tradisi Bermarga. Prisma, XII, No. 9, Jakarta. Vergouwen, C.J

1986 Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Pustaka Azet,


(5)

2007 Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Sumber Tambahan:

Modul Pelatihan Metode Penelitian Kualitatif Kompilasi oleh Zulkifli B.Lubis staf Pengajar Antropologi Fisip USU

Menulis Proposal Penelitian Kualitatif Kompilasi oleh Zulkifli B.Lubis staf Pengajar Antropologi Fisip USU

Dokumen dari surat kabar/media cetak


(6)

Lampiran I

TAROMBO NI SILABAN SIAN SIRAJA BATAK

OMPU TUAN DOLI RAJA ISUMBAON

TN. SORI MANGARAJA

SORBA DI JULU SORBA DI JAE SORBA DI BANUA

Dt. parngongo Dt. pejel (Br. Biding laut)

Nai Suanon

(Br. Pasaribu) (Br. Sibasopaet)

(Br. Pasaribu)

NAI AMBATON NAI RASAON

SIBAGOT NIPOHAN SIPAETTUA SILALAHI SABUNGAN RAJA OLOAN R. HUTA LIMA RAJA SUMBA SIRAJA SOBU NAIPOSPOS

TOGA SIHOMBING TOGA SIHOMBING

(Br. Lontung) (Br. Lontung)

R. HASIBUAN

GR. MANJALO GR. MANGALOKSA GR. HINOMBAAN

RAJA NAMBARAT PANGGABEAN HUTA GALING HUTA TORUAN

HB. HAPOLTAHAN HB. SOSUNGULON RB. POHAN

(Br. Natumanggi ( paranju ) partali)

Hasibuan Toba Hasibuan Sipirok

I II III IV V V VI VI VII VIII IX

2 1 3

(Br. Sibasopaet) RAJA BATAK Keterangan : Perempuan Laki-laki Garis Perkawinan Garis Keturuanan Garis Sejajar