Analisis Cost Effectiveness Penggunaan Antidiabetes Berdasarkan Paket Ina-Cbgs Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe I Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus

Diabetes melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit kronik yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme seperti karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin ini dapat disebabkan oleh gangguan produksi insulin oleh sel-sel beta yang terdapat pada pulau langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).

2.1.1 Klasifikasi Diabetes Melitus

Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi 2 tipe utama yaitu "Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) disebut juga DM tipe 1 dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM)yang disebut juga DM tipe 2.Disamping dua tipe utama DM tersebut, WHO juga menyebutkan kelompok diabetes lainnya yaitu Diabetes Impaired GlucoseTolerance (IGT)dan Gestational Diabetes Melitus (GDM) (WHO, 1999).

a. Diabetes Melitus Tipe 1

Diabetes melitus tipe 1 terjadi akibat adanya reaksi autoimun yang mengakibatkan sel-sel β pada pulau langerhans menjadi rusak. Pada pulau langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu sel β, sel α dan sel σ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-sel α memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel σ memproduksi hormon somastatin. Namun serangan autoimun secara


(2)

selektif menghancurkan sel-sel β. Destruksi dari sel-sel β pada pulau langerhans kelenjar pankreas langsung mengakibatkan defesiensi sekresi insulin. Defesiensi insulin inilah yang menyebabkan gangguan metabolisme pada DM tipe 1 (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

b. Diabetes Melitus Tipe 2

Penderita DM tipe 2 umumnya lebih banyak jika dibandingkan dengan penderita DM tipe 1. Diabetes melitus tipe 2biasanya terjadi pada orang dewasa tetapi tidak menutup kemungkinan terjadi pada remaja. Diabetes Melitus tipe 2 terjadi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal, keadaan ini disebut resistensi insulin. Selain resistensi insulin, dapat juga terjadi gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Tetapi tidak terjadi pengrusakan sel-sel β pada pulau langerhans secara autoimun sebagaimana terjadi pada DM tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat sementara, tidak mutlak (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

c. Diabetes Melitus Gestasional

Diabetes melitus gestasional adalah diabetes yang terjadi selama masa kehamilan, dan biasanya berlangsung sementara. Keadaan ini dapat terjadi karena pembentukan hormon pada ibu hamil yang menyebabkan resistensi insulin. Pada masa kehamilan, janin yang sedang berkembang menggunakan glukosa dan asam amino dari tubuh ibu. Penggunaan ini menyebabkan hormon-hormon seperti plasenta, laktogen, esterogen, progesteron dan kortisol meningkat. Pengingkatan hormon-hormon ini dapat memberikan pengaruh pada insulin yang dapat menyebabkan masalah dalam mengendalikan gula darah (Tandra, 2008).


(3)

2.1.2 Etiologi Diabetes Melitus

Etiologi dan faktor-faktor yang menyebabkan DM adalah sebagai berikut: a. Diabetes Melitus Tipe 1

Proporsi DM tipe 1 umumnya kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita DM. Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel β pada pulau langerhans oleh reaksi autoimun. Namun ada pula yang disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya Cocksakie, Rubella, CMVirus dan Herpes. Autoantibodi yang dihubungkan dengan DM tipe 1, adalah Islet Cell Cytoplasmic Antibodies (ICCA). Islet Cell Cytoplasmic Antibodiesmerupakan autoantibodi utama yang ditemukan pada penderita DM Tipe 1. Hampir 90% penderita DM tipe 1 memiliki ICCA di dalam darahnya. Di dalam tubuh non-diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu, keberadaan ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat untuk DM tipe 1 (ADA, 2012).

b. Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes melitus tipe 2 merupakan diabetes yang lebih umum dan lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM tipe 2 dapat mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes,umumnya dengan usia di atas 45 tahun namun dapat juga terjadi pada kalangan remaja dan anak-anak. Etiologi DM tipe 2 disebabkan oleh beberapa faktor yang belum sepenuhnya terungkap dengan jelas. Faktor genetik, pengaruh lingkungan, obesitas atau kegemukan, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan merupakan faktor yang cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2 (ADA, 2012).


(4)

c. Diabetes Melitus Gestasional

Diabetes Melitus Gestasional (GDM) adalah diabetes yang timbul selama masa kehamilan akibat intoleransi terhadap glukosa, dan biasanya berlangsung hanya sementara. Sekitar 4-5% wanita hamil diketahui menderita GDM, dan umumnya terdeteksi setelah trimester kedua (ADA, 2012).

2.1.3 Faktor Risiko Diabetes Melitus

Terdapat beberapa faktor risiko terjadinya DM antara lain sebagai berikut: a. Riwayat : diabetes dalam keluarga, diabetes gestasional, melahirkan bayi

dengan berat badan >4 kg dan kista ovarium. b. Obesitas (>120% berat badan ideal).

c. Umur : 20-59 tahun (8,7%) dan 65 tahun (18%). d. Hipertensi (>140/90mmHg).

e. Kadar lipid darah tinggi (>250mg/dl).

f. Faktor-faktor lain seperti kurang olah raga dan pola makan rendah serat. (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

2.1.4 Gejala Klinik Diabetes Melitus

Gejala klinik yang umum dirasakan oleh penderita DM adalahpoliuria (sering berkemih),polidipsia (sering haus) dan polifagia (banyak makan). Keluhan lainnya seperti penglihatan kabur, gerak tubuh terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, berat badan menurun, cepat merasa lelah (fatigue), pruritus (gatal-gatal pada kulit), lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, hipertensi, hiperlipidemia, obesitas. Awalnya pada penderita DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan hampir tidak ada, dikarenakan DM Tipe 2 seringkali muncul tanpa


(5)

diketahui, dan penanganan baru dimulai beberapa tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi, seperti komplikasi pembuluh darah dan syaraf) (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

2.1.5 Diagnosis Diabetes Melitus

Menurut ADA, diagnosis DM dapat ditegakkan apabila KGD melebihi nilai yang telah ditetapkan. Kriteria penegakkan diagnosis DM dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1Kriteria Penegakan Diagnosis Diabetes Melitus

No. Kriteria Diagnosis Glukosa Plasma Puasa

Glukosa Plasma 2 Jam Setelah Makan

1 Normal <100 mg/dL <140 mg/dL

2 Pra-diabetes 100–125 mg/dL -

3 IFG atau IGT - 140–199 mg/dL

4 Diabetes >126 mg/dL >200 mg/dL

Impaired Fasting Glucose (IFG) adalah keadaan dimana kadar glukosa darah puasa seseorang sekitar 100-125 mg/dl (kadar glukosa darah puasa normal: <100 mg/dl). Impaired Glucose Tolerance (IGT)adalah keadaan dimana kadar glukosa darah seseorang pada uji toleransi glukosa berada di atas normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikatagorikan ke dalam kondisi diabetes. Diagnosa IGTditetapkan apabila kadar glukosa darah seseorang 2 jam setelah mengkonsumsi 75 gram glukosa per oral berada diantara 140-199 mg/dl (Soegondo, 1995).


(6)

Diabetes melitus yang tidak terkontrol dengan baik dalam penangannnya dapat menimbulkan komplikasi baik akut maupun kronis. Berikut ini beberapa komplikasi yang sering terjadi pada penderita DM:

a. Hiperglikemia

Hiperglikemia adalah keadaan meningkatnya KGDmelebihi nilai normal. Dalam keadaan normal, gula darah berkisar anatara 70-100 mg/dl. Keadaan ini dapat disebabkan oleh stress, infeksi, dan konsumsi obat-obatan tertentu. Hiperglikemia ditandai dengan poliuria, polidipsia, polifagia, kelelahan yang parah (fatigue), dan pandangan kabur (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005). b. Komplikasi Makrovaskular

Tiga jenis komplikasi makrovaskular yang umum terajdi pada DM adalah penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh darah perifer, oleh sebab penderita diabetes sebaiknya selalu menjaga tekanan darahnya tidak lebih dari 130/80 mm Hg (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005). c. Komplikasi Mikrovaskular

Komplikasi mikrovaskular yang dapat terjadi pada penderita DM antara lain retinopati, nefropati, dan neuropati. Hal ini dikarenakan terjadi penyumbatan pada pembuluh darahyang diakibatkan oleh kadar glukosa yang tinggi (hiperglikemia)(Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

2.1.7 Terapi Diabetes Melitus

Terapi DM mempunyai tujuan akhir untuk menurunkanmorbiditas dan mortalitas denagn cara menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam keadaan normal dan mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi


(7)

diabetes.Pada dasarnya ada dua terapi dalam DM,yang pertama terapi tanpa obat dan yang kedua terapi dengan obat.

2.1.7.1 Terapi Non Farmakologi

Dalam penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus dilakukan adalah terapi tanpa obat berupa pengaturan diet dan olahraga.

a. Pengaturan Diet

Diet merupakan salah satu penanganan pada penderita DM. Diet yang dianjurkan adalah makan dengan komposisi yang seimbang antara karbohidrat, protein dan lemak. Proporsi diet yang seimbang dan baikterdiri dari karbohidrat (60-70%), protein (10-15%) dan lemak (20-25%) (Bina Farmasi dan Alkes, 2005). b. Olah Raga

Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah agar tetap normal. Prinsipnya tidak perlu berolah raga berat, namun ringan dan dilakukan secara teratur. Olahraga yang disarankan bersifat CRIPE (Continuous,Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training). Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama 30-40 menit per hari (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

2.1.7.2 Terapi Farmakologi

Apabila dengan langkah pertama tujuan belumtercapai, maka dapat dikombinasikan dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik oral, atau kombinasi keduanya.


(8)

Terapi insulin merupakan keharusan bagi penderita DM tipe 1, karena sel-sel β pada pulau langerhans kelenjar pankreas tidak dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM tipe 1 harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berlangsung normal (Soegondo, 1995).Berdasarkan mula dan lama kerjanya insulin dapat dibedakan menjadi:

1. Insulin Kerja Cepat(rapid acting)

Insulin biasanya mempunyai kecenderungan membentuk agregat dalam bentukdimer dan heksamer yang akan memperlambat absorpsi dan lama kerjanya. Insulin lispro, aspart, dan glulisine tidak membentuk agregatdimer maupun heksamer, sehingga dapat digunakan sebagai insulinkerja cepat. Insulin monomer ini berupa larutan yang jernih, mempunyaimula kerja yang cepat (5-15 menit), puncak kerja 30-90 menit danlama kerja berkisar 3-5 jam.Contoh: Actrapid, Aprida, Novorapid.

2. Insulin Kerja Pendek (short acting)

Insulin jenis ini tersedia dalam bentuk larutan jernih, dikenal sebagai insulin reguler. Biasanya digunakan untuk mengatasi keadaan akut seperti ketoasidosis, penderita baru, dan tindakan bedah. Digunakan juga sebagai pengobatan bolus (15-20 menit) sebelum makan, atau kombinasi dengan insulin kerja menengah pada regimen 2 kali sehari. Contoh: Humulin R.

3. Insulin Kerja Menengah (intermediate acting)

Insulin jenis ini tersedia dalam bentuk suspensi sehingga terlihat keruh.Insulin ini dikenal dengan neutral protamine hagedorn Insulin (NPH). Mengingat lama kerjanya 12 – 24 jam, maka lebih sesuai bila digunakan dalam


(9)

regimen dua kali sehari dan sebelum tidur pada regimen basal-bolus. Contoh:Humulin N.

4. Insulin Kerja Panjang (long acting)

Insulin kerja panjang (ultralente, glargine dan detemir ) mempunyai masa kerja lebih dari 24 jam, sehingga dapat digunakan dalam regimen basalbolus. Insulin jenis ini mempunyai profi l kerja yang lebih terduga dengan variasi harian yang lebih stabil dibandingkan insulin NPH. Sediaan insulin ini bekerja dengan cara mengurangi daya larutnya di dalam jaringan dan menghambat reabsorpsinya ke dalam darah pada saat diinjeksikan. Contohnya: Lantus, Levemir dan Monotard (Soegondo, 1995)

5. Insulin Kerja Campuran

Sediaan insulin campuran terdiri dari kombinasi insulin kerja cepat dan menengah, atau kerja pendek dan menengan. Sediaan kombinasi 30/70 artinyaterdiri dari 30% insulin kerja cepat atau pendek, dan 70% insulin kerja menengah.Sediaan insulin ini lama kerjanya dapat divariasikan dengan mencampurkan beberapa macam insulin. Contohnya: Novomix, Mixtard 30 HM(Tjay dan Rahardja, 2002).Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.1 di bawah ini


(10)

Gambar 2.1 Kurva Onset dan Lama Kerja Insulin

b. Hipoglikemik Oral

Obat hipoglikemikoral (OHO) umumnya digunakan untuk menangani pasien DM tipe 2.Berdasarkan mekanisme kerjanya, OHO dapatdibagi menjadi: 1. Golongan Sulfonilurea

Obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea merupakan obat pilihan (drug of choice) untuk penderita DMtipe 2 dengan syarat penderita tidak mengalami ketoasidosis, oleh karena itu sebaiknya tidak diberikan pada penderita dengan gangguan hati, ginjal dan tiroid. Obat golongan sulfonilurea bekerja dengan merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas, oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel β pada pulau langerhans masih dapat berproduksi. Penurunan KGD yang terjadi setelah pemberian senyawa-senyawa sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

2. Golongan Meglitinida dan Turunan Fenilalanin

Obat hipoglikemik oral golongan meglitinida dan fenilalaninmerupakan OHO generasi baru yang cara kerjanya sama seperti golongan sulfonilurea. Kedua


(11)

golongan senyawa OHO ini bekerja meningkatkan sintesis dan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Umumnya senyawa OHO golongan meglitinida dan turunan fenilalanin ini dipakai dalam bentuk kombinasi dengan obat-obat antidiabetes oral lainnya (Soegondo, 1995).

3. Golongan Biguanida

Obat hipoglikemik oral golongan biguanida bekerja langsung pada hatidengan cara menurunkan produksi glukosa hati. Senyawa-senyawa golongan biguanida tidak merangsang sekresi insulin. Senyawa biguanida yang masih dipakai sebagai OHO adalah metformin. Metformin masih banyak dipakai di beberapa negara termasuk Indonesia, karena frekuensi terjadinya asidosis laktat cukup kecilapabila dosis yang diberikan tidak melebihi 1.700 mg/hari serta penderita tidak mengalamigangguan fungsi hati dan ginjal (Soegondo, 1995). 4. Golongan Tiazolidindion (TZD)

Senyawa golongan TZD bekerja dengan cara meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin dengan jalan berikatan dengan PPARγ (peroxisome proliferator activated receptor-gamma) di otot, jaringan lemak dan hati.Hal inilah yang menyebabkan resistensi insulin menurun. Senyawa-senyawa TZD juga menurunkan kecepatan glikoneogenesis, sehingga glukosa dalam tubuh kadarnya menurun (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

5. Golongan α-Glukosidase Inhibitor

Golongan α-glukosidase inhibitorbekerja dengan cara menghambat enzim alfa glukosidase yang terdapat pada dinding usus halus. Enzim-enzim α -glukosidase (maltase, isomaltase, glukomaltase dan sukrase) berfungsi untuk menghidrolisis oligosakarida. Inhibisi kerja enzim ini secara efektif dapat


(12)

menurunkan metabolisme karbohidrat kompleks dan absorbsinya, sehingga dapat mengurangi peningkatan kadar glukosa post prandial pada penderita diabetes. Senyawa α-glukosidase inhibitor juga menghambat enzim α-amilase pankreas yang bekerja menghidrolisis polisakarida (Soegondo, 1995).

Untulk lebih jelasnya mengenai golongan antidiabetes, mekanisme kerja antidiabtes dan contoh antidiabetes yang umum digunakan pada masing-masing golongan dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Terapi Umum Yang Digunakan Pada DM Tipe 2

2.2 Farmakoekonomi

2.2.1 Defenisi Farmakoekonimi

Farmakoekonomi adalah ilmu yang mengukur biaya dan hasil yang diperoleh dihubungkan dengan penggunaan obat dalam perawatan kesehatan (Orion, 1997). Farmakoekonomi juga didefenisikan sebagai deskripsi dan analisis dari biaya terapi dalam suatu sistem pelayanan kesehatan, tentang proses identifikasi, mengukur, membandingkan biaya, resiko dan keuntungan dari suatu program pelayanan terapi (Vogenberg, 2001)


(13)

2.2.2 Tujuan dan Manfaat Farmakoekonomi

Tujuan farmakoekonomi adalah membandingkan obat yang berbeda untuk pengobatan pada kondisi yang sama. Selain itu juga dapat membandingkan pengobatan yang berbeda pada kondisi yang berbeda (Vogenberg, 2001). Dimana hasilnya bisa dijadikan informasi yang dapat membantu para pembuat kebijakan dalam menentukan pilihan atas alternatif-alternatif pengobatan agar pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan ekonomis. Informasi farmakoekonomi saat ini dianggap sama pentingnya dengan informasi khasiat dan keamanan obat dalam menentukan pilihan obat mana yang akan digunakan. (Trisna, 2010).

Farmakoekonomi diperlukan karena sumber daya yang terbatas dan bagaimana memberikan obat yang efektif dengan dana yang tersedia, pengalokasian sumber daya secara efisien, kebutuhan pasien dimana dari sudut pandang pasien adalah biaya yang seminimal mungkin (Vogenberg, 2001). Dengan keterbatasan sumber daya, maka sudah sepantasnya farmakoekonomi dimanfaatkan dalam membantu membuat keputusan (Trisna, 2010).

2.2.3 Metode Farmakoekonomi

Pada kajian farmakoekonomi dikenal empat metode analisis, empat metode analisis ini bukan hanya mempertimbangkan efektivitas, keamanan, dan kualitas obat yang dibandingkan, tetapi juga aspek ekonominya. Karena aspek ekonomi atau unit moneter menjadi prinsip dasar kajian farmakoekonomi, hasil kajian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan masukan untuk menetapkan penggunaan yang paling efisien dari sumber daya kesehatan yang terbatas jumlahnya. Metode farmakoekonomi dapat dilihat pada Tabel 2.2.


(14)

Tabel 2.2Metode Analisis dalam Kajian Farmakoekonomi

No Metode analisis Karakteristik analisis 1 Analisis Minimalisasi

Biaya (AMiB)

Efek dua intervensi sama (atau setara), valuasi/biaya dalam rupiah.

2 Analisis Efektivitas Biaya (AEB)

Efek dari satu intervensilebih tinggi, hasil pengobatan diukur dalam unit alamiah /indikator kesehatan, biaya dalam rupiah. 3 Analisis Utilitas Biaya

(AUB)

Efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil pengobatan dalam qualityadjusted life years (QALY), valuasi/ biaya dalam rupiah. 4 Analisis Manfaat Biaya

(AMB)

Efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil pengobatan dinyatakan dalam rupiah, valuasi /biaya dalam rupiah.

a. Analisis Minimalisasi Biaya (AMiB)

Metode AMiB digunakan untuk membandingkan dua intervensi kesehatan yang telah dibuktikan memiliki efek yang sama, serupa, atau setara. Jika dua terapi atau dua (jenis, merek) obat setara secara klinis, yang perlu dibandingkan hanya biaya untuk melakukan intervensi. Sesuai prinsip efisiensi ekonomi, jenis atau merek obat yang menjanjikan nilai terbaik adalah yang membutuhkan biaya paling kecil per periode terapi yang harus dikeluarkan untuk mencapai efek yang diharapkan (Newby dan Hill, 2003). Contoh dari AMiB adalah terapi dengan menggunakan antibiotika generik dan paten yang hasil terapinya sama, maka pemilihan obat difokuskan pada obat yang biaya per harinya lebih murah (Vogenberg, 2001).

b. Analisis Efektivitas Biaya (AEB)

Metode AEB digunakan untuk menilai dan memilih program terbaik bila terdapat beberapa program yang berbeda dengan tujuan yang sama. Kriteria penilaian program yang akan dipilih adalah berdasarkan total biaya dari masing-masing alternatif program sehingga program yang mempunyai total biaya terendahlah yang akan dipilih oleh para analis/pengambil keputusan


(15)

(Tjiptoherijanto, 1994). Pada AEB, hasil pengobatan tidak diukur dalam unit moneter, melainkan didefinisikan dan diukur dalam unit alamiah, baik yang secara langsung menunjukkan efek suatu terapi atau obat (misalnya, penurunan kadar low density lipoprotein (LDL) mg/dL, penurunan tekanan darah diastolik dalam mmHg) maupun hasil selanjutnya dari efek terapi tersebut (misalnya, jumlah kematian atau serangan jantung yang dapat dicegah, radang tukak lambung yang tersembuhkan) (Newby dan Hill, 2003).

Sebagai contoh, untuk mengobati pasien hipertensi dengan dua obat yang berbeda, obat A dan obat B. Obat A mengurangi tekanan darah rata-rata dengan 20 mm/hg dan obat B menurunkan tekanan darah rata-rata 40 mm/hg. Jika kedua obat harganya sama, maka obat B akan menjadi pilihan yang lebih baik untuk mengobati hipertensi (Manan, 2011).

c. Analisis Utilitas Biaya (AUB)

Metode AUB digunakan untuk membandingkan biaya terhadap program kesehatan yang diterima dan dihubungkan dengan peningkatan kesehatan selama perawatan. DalamAUB, peningkatan kesehatan diukur dalam bentuk penyesuaian kualitas hidup atau quality adjusted life years(QALYs) dan hasilnya ditunjukkan dengan biaya per penyesuaian kualitas hidup. Data kualitas dan kuantitas hidup dapat dikonversi ke dalam nilai QALYs. Sebagai contoh jika pasien dinyatakan benar-benar sehat, nilai QALYs dinyatakan dengan angka 1 (satu). Keuntungan dari analisis ini dapat ditujukan untuk mengetahui kualitas hidup sedangkan kekurangan analisis ini bergantung pada tingkat kesehatan pasien (Orion, 1997). d. Analisis Manfaat Biaya (AMB)


(16)

Metode AMB digunakan untuk mengukur biaya dan manfaat suatu intervensi dengan ukuran moneter dan pengaruhnya terhadap hasil perawatan kesehatan. Dapat digunakan untuk membandingkan perlakuan yang berbeda untuk kondisi yang berbeda (Vogenberg, 2001). Contoh dari AMB adalah membandingkan program penggunaan vaksin dengan program perawatan suatu penyakit. Pengukuran dapat dilakukan dengan menghitung jumlah episode penyakit yang dapat dicegah, kemudian dibandingkan dengan biaya. Semakintinggi nilai manfaat biaya, maka semakin menguntungkan (Trisna, 2010). 2.2.4 Biaya Pelayanan Kesehatan

Biaya pelayanan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi 5kategori yaitu: a. Biaya Langsung Medis (Direct Medical Cost)

Biaya langsung medis adalah biaya yang dikeluarkan oleh pasien terkait dengan jasa pelayanan medis, yang digunakan untuk mencegah atau mendeteksi suatu penyakit seperti kunjungan pasien, obat-obat yang diresepkan, lama perawatan. Kategori biaya-biaya langsung medis antara lain pengobatan, pelayanan untuk mengobati efek samping, pelayanan pencegahan dan penanganan (Orion, 1997; Vogenberg, 2001).

b. Biaya Langsung Nonmedis (Direct Nonmedical Cost)

Biaya langsung nonmedis adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang tidak terkait langsung dengan pelayanan medis, seperti transportasi pasien ke rumah sakit, makanan, jasa pelayanan lainnya yang diberikan pihak rumah sakit (Vogenberg, 2001).


(17)

Biaya tidak langsung adalah sejumlah biaya yang terkait dengan hilangnya produktivitas akibat menderita suatu penyakit, termasuk biaya transportasi, biaya hilangnya produktivitas, biaya pendamping (anggota keluarga yang menemani pasien) (Bootman et al., 2005).

d. Biaya Tak Terwujud (Intangible Cost)

Biaya tak terwujud adalah biaya-biaya yang sulit diukur dalam unit moneter, namun sering kali terlihat dalam pengukuran kualitas hidup, misalnya rasa sakit dan rasa cemas yang diderita pasien dan/atau keluarganya (Berger et al., 2003).

2.3 Indonesian Case Based Groups (INA-CBGs)

Indonesian Case Base Groups (INA-CBGs) merupakan suatu sistem pengelompokkan pasien berdasarkan kemiripan karakteristik klinis dan sumber daya yang digunakan, dimana sistem ini dinilai mampu mengestimasi untuk menyediakan pelayanan kesehatan di rumah sakit sesuai dengan kondisi pasien secara efektif dan efisien.Dalam implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah diatur pola pembayaran kepada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan adalah menggunakan Paket INA-CBGs. Paket INA-CBGs ini berbentuk paket yang mencakup seluruh komponen biaya rumah sakit(PerMenkes, 2014).

Dalam INA-CBGs dikenal suatu sistem pengkodean kasus yaitucasemix. Sistem casemix pertama kali dikembangkan di Indonesia pada tahun 2006 dengan nama Indonesian Diagnosis Related Groups (INA-DRGs). Implementasi pembayaran dengan sistem INA-DRGs dimulai pada tanggal 1 September 2008 pada 15 rumah sakit pemerintah, dan pada tanggal 1 Januari 2009 diperluas pada


(18)

seluruh rumah sakit yang bekerja sama untuk program Jamkesmas (PerMenkes, 2014).

Pada tanggal 31 September 2010 dilakukan perubahan nomenklatur dari INA-DRGsmenjadi INA-CBGs. Hal ini dikarenkan, sistem ini akan menghindari penggunaan teknologi canggih secara berlebihan, pemberian obat yang tidak perlu,sehingga dapat memberikan keadilan dan transparasi baik bagi pemberi dan pengguna jasa pelayanan kesehatan. Aplikasi INA-CBGs membuat Paket pelayanan kesehatan menjadi lebih objektif karena berdasarkan biaya sebenarnya, dan membuat pemberi pelayanan kesehatan (PKK) terutama dokter menjadi lebih sadar biaya (PerMenkes, 2014).

Dengan demikian, sejak bulan Oktober 2010 sampai Desember 2013, pembayaran kepada PPK lanjutan dalam Jamkesmas menggunakan INA-CBGs. Sejak diimplementasikannya sistem casemix di Indonesia telah dihasilkan 3 kali perubahan Paket, yaitu Paket INA-DRGstahun 2008, Paket INA-CBGs tahun 2013 dan Paket INA-CBGs tahun 2014 (PerMenkes, 2014).

2.3.1 Struktur Kode INA-CBGs

Dasar pengelompokan dalam INA-CBGs menggunakan sistem kodifikasi dari diagnosis akhir dan prosedur yang menjadi output pelayanan. Pengelompokan menggunakan sistem teknologi informasi berupa aplikasi INA-CBG sehingga dihasilkan 1.077 group/klompok kasus yang terdiri dari 789 kelompok kasus rawat inap dan 288 kelompok kasus rawat jalan. Setiap group dilambangkan dengan kode kombinasi alfabet dan numerik yang dapat dilihat pada Gambar 2.3.


(19)

Gambar 2.3Struktur Kode INA-CBGs Keterangan :

1. Digit ke-1 merupakan Casemix Main Groups (CMG ) 2. Digit ke-2 merupakan tipe kasus.

3. Digit ke-3 merupakan spesifik Case-Based Groups (CBG).

4. Digit ke-4 berupa angka romawi yang menggambarkan tingkat keparahan. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 7 dan Lampiran 8 (PerMenkes, 2014). 2.3.2PaketRegionalisasi INA-CBGs

Paket INA-CBGs yang digunakan dalam program JKN berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2014. Dimana pada Paket INA-CBGs dilakukan regionaliasai untuk wilayah-wilayah seluruh Indonesia. Regionalisasi dalam Paket INA-CBGs dimaksudkan untuk mengakomodir perbedaan biaya distribusi obat dan alat kesehatan. Regionalisasi dapat dilihat pada Gambar 2.4.


(20)

Gambar 2.4Daftar Regionalisasi Paket INA-CBGs

Dasar penentuan regionalisasi ini adalah dengan menggunakan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari Badan Pusat Statistik (BPS), sehingga didapatkan 5 kelompok regional. Kesepakatan mengenai pembagian regional dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan dengan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI). Dalam regionalisasi Paket INA-CBGs, untuk wilayah Sumatera Utara termasuk kedalam regionalisai tingkat 3(PerMenkes, 2014).

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan desain cross-sectional dan menggunakan pendekatan retrospektif.Data yang dikumpulkan adalah catatan/rekam medis dari pasien DM yang dirawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan peroide Januari 2014-Juni 2014.


(1)

(Tjiptoherijanto, 1994). Pada AEB, hasil pengobatan tidak diukur dalam unit moneter, melainkan didefinisikan dan diukur dalam unit alamiah, baik yang secara langsung menunjukkan efek suatu terapi atau obat (misalnya, penurunan kadar low density lipoprotein (LDL) mg/dL, penurunan tekanan darah diastolik dalam mmHg) maupun hasil selanjutnya dari efek terapi tersebut (misalnya, jumlah kematian atau serangan jantung yang dapat dicegah, radang tukak lambung yang tersembuhkan) (Newby dan Hill, 2003).

Sebagai contoh, untuk mengobati pasien hipertensi dengan dua obat yang berbeda, obat A dan obat B. Obat A mengurangi tekanan darah rata-rata dengan 20 mm/hg dan obat B menurunkan tekanan darah rata-rata 40 mm/hg. Jika kedua obat harganya sama, maka obat B akan menjadi pilihan yang lebih baik untuk mengobati hipertensi (Manan, 2011).

c. Analisis Utilitas Biaya (AUB)

Metode AUB digunakan untuk membandingkan biaya terhadap program kesehatan yang diterima dan dihubungkan dengan peningkatan kesehatan selama perawatan. DalamAUB, peningkatan kesehatan diukur dalam bentuk penyesuaian kualitas hidup atau quality adjusted life years(QALYs) dan hasilnya ditunjukkan dengan biaya per penyesuaian kualitas hidup. Data kualitas dan kuantitas hidup dapat dikonversi ke dalam nilai QALYs. Sebagai contoh jika pasien dinyatakan benar-benar sehat, nilai QALYs dinyatakan dengan angka 1 (satu). Keuntungan dari analisis ini dapat ditujukan untuk mengetahui kualitas hidup sedangkan kekurangan analisis ini bergantung pada tingkat kesehatan pasien (Orion, 1997). d. Analisis Manfaat Biaya (AMB)


(2)

Metode AMB digunakan untuk mengukur biaya dan manfaat suatu intervensi dengan ukuran moneter dan pengaruhnya terhadap hasil perawatan kesehatan. Dapat digunakan untuk membandingkan perlakuan yang berbeda untuk kondisi yang berbeda (Vogenberg, 2001). Contoh dari AMB adalah membandingkan program penggunaan vaksin dengan program perawatan suatu penyakit. Pengukuran dapat dilakukan dengan menghitung jumlah episode penyakit yang dapat dicegah, kemudian dibandingkan dengan biaya. Semakintinggi nilai manfaat biaya, maka semakin menguntungkan (Trisna, 2010). 2.2.4 Biaya Pelayanan Kesehatan

Biaya pelayanan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi 5kategori yaitu: a. Biaya Langsung Medis (Direct Medical Cost)

Biaya langsung medis adalah biaya yang dikeluarkan oleh pasien terkait dengan jasa pelayanan medis, yang digunakan untuk mencegah atau mendeteksi suatu penyakit seperti kunjungan pasien, obat-obat yang diresepkan, lama perawatan. Kategori biaya-biaya langsung medis antara lain pengobatan, pelayanan untuk mengobati efek samping, pelayanan pencegahan dan penanganan (Orion, 1997; Vogenberg, 2001).

b. Biaya Langsung Nonmedis (Direct Nonmedical Cost)

Biaya langsung nonmedis adalah biaya yang dikeluarkan pasien yang tidak terkait langsung dengan pelayanan medis, seperti transportasi pasien ke rumah sakit, makanan, jasa pelayanan lainnya yang diberikan pihak rumah sakit (Vogenberg, 2001).


(3)

Biaya tidak langsung adalah sejumlah biaya yang terkait dengan hilangnya produktivitas akibat menderita suatu penyakit, termasuk biaya transportasi, biaya hilangnya produktivitas, biaya pendamping (anggota keluarga yang menemani pasien) (Bootman et al., 2005).

d. Biaya Tak Terwujud (Intangible Cost)

Biaya tak terwujud adalah biaya-biaya yang sulit diukur dalam unit moneter, namun sering kali terlihat dalam pengukuran kualitas hidup, misalnya rasa sakit dan rasa cemas yang diderita pasien dan/atau keluarganya (Berger et al., 2003).

2.3 Indonesian Case Based Groups (INA-CBGs)

Indonesian Case Base Groups (INA-CBGs) merupakan suatu sistem pengelompokkan pasien berdasarkan kemiripan karakteristik klinis dan sumber daya yang digunakan, dimana sistem ini dinilai mampu mengestimasi untuk menyediakan pelayanan kesehatan di rumah sakit sesuai dengan kondisi pasien secara efektif dan efisien.Dalam implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah diatur pola pembayaran kepada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan adalah menggunakan Paket INA-CBGs. Paket INA-CBGs ini berbentuk paket yang mencakup seluruh komponen biaya rumah sakit(PerMenkes, 2014).

Dalam INA-CBGs dikenal suatu sistem pengkodean kasus yaitucasemix. Sistem casemix pertama kali dikembangkan di Indonesia pada tahun 2006 dengan nama Indonesian Diagnosis Related Groups (INA-DRGs). Implementasi pembayaran dengan sistem INA-DRGs dimulai pada tanggal 1 September 2008 pada 15 rumah sakit pemerintah, dan pada tanggal 1 Januari 2009 diperluas pada


(4)

seluruh rumah sakit yang bekerja sama untuk program Jamkesmas (PerMenkes, 2014).

Pada tanggal 31 September 2010 dilakukan perubahan nomenklatur dari INA-DRGsmenjadi INA-CBGs. Hal ini dikarenkan, sistem ini akan menghindari penggunaan teknologi canggih secara berlebihan, pemberian obat yang tidak perlu,sehingga dapat memberikan keadilan dan transparasi baik bagi pemberi dan pengguna jasa pelayanan kesehatan. Aplikasi INA-CBGs membuat Paket pelayanan kesehatan menjadi lebih objektif karena berdasarkan biaya sebenarnya, dan membuat pemberi pelayanan kesehatan (PKK) terutama dokter menjadi lebih sadar biaya (PerMenkes, 2014).

Dengan demikian, sejak bulan Oktober 2010 sampai Desember 2013, pembayaran kepada PPK lanjutan dalam Jamkesmas menggunakan INA-CBGs. Sejak diimplementasikannya sistem casemix di Indonesia telah dihasilkan 3 kali perubahan Paket, yaitu Paket INA-DRGstahun 2008, Paket INA-CBGs tahun 2013 dan Paket INA-CBGs tahun 2014 (PerMenkes, 2014).

2.3.1 Struktur Kode INA-CBGs

Dasar pengelompokan dalam INA-CBGs menggunakan sistem kodifikasi dari diagnosis akhir dan prosedur yang menjadi output pelayanan. Pengelompokan menggunakan sistem teknologi informasi berupa aplikasi INA-CBG sehingga dihasilkan 1.077 group/klompok kasus yang terdiri dari 789 kelompok kasus rawat inap dan 288 kelompok kasus rawat jalan. Setiap group dilambangkan dengan kode kombinasi alfabet dan numerik yang dapat dilihat pada Gambar 2.3.


(5)

Gambar 2.3Struktur Kode INA-CBGs Keterangan :

1. Digit ke-1 merupakan Casemix Main Groups (CMG ) 2. Digit ke-2 merupakan tipe kasus.

3. Digit ke-3 merupakan spesifik Case-Based Groups (CBG).

4. Digit ke-4 berupa angka romawi yang menggambarkan tingkat keparahan. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 7 dan Lampiran 8 (PerMenkes, 2014). 2.3.2PaketRegionalisasi INA-CBGs

Paket INA-CBGs yang digunakan dalam program JKN berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2014. Dimana pada Paket INA-CBGs dilakukan regionaliasai untuk wilayah-wilayah seluruh Indonesia. Regionalisasi dalam Paket INA-CBGs dimaksudkan untuk mengakomodir perbedaan biaya distribusi obat dan alat kesehatan. Regionalisasi dapat dilihat pada Gambar 2.4.


(6)

Gambar 2.4Daftar Regionalisasi Paket INA-CBGs

Dasar penentuan regionalisasi ini adalah dengan menggunakan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari Badan Pusat Statistik (BPS), sehingga didapatkan 5 kelompok regional. Kesepakatan mengenai pembagian regional dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan dengan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI). Dalam regionalisasi Paket INA-CBGs, untuk wilayah Sumatera Utara termasuk kedalam regionalisai tingkat 3(PerMenkes, 2014).

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan desain cross-sectional dan menggunakan pendekatan retrospektif.Data yang dikumpulkan adalah catatan/rekam medis dari pasien DM yang dirawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan peroide Januari 2014-Juni 2014.


Dokumen yang terkait

Analisis Cost Effectiveness Penggunaan Antidiabetes Berdasarkan Paket Ina-Cbgs Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe I Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

13 93 79

Analisis Efektivitas Biaya Penggunaan Antidiabetes Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Rawat Jalan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

4 54 72

Analisis Cost Effectiveness Penggunaan Antidiabetes Berdasarkan Paket Ina-Cbgs Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe I Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 13

Analisis Cost Effectiveness Penggunaan Antidiabetes Berdasarkan Paket Ina-Cbgs Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe I Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 2

Analisis Cost Effectiveness Penggunaan Antidiabetes Berdasarkan Paket Ina-Cbgs Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe I Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 7

Analisis Cost Effectiveness Penggunaan Antidiabetes Berdasarkan Paket Ina-Cbgs Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe I Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 2 3

Analisis Cost Effectiveness Penggunaan Antidiabetes Berdasarkan Paket Ina-Cbgs Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe I Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 9

Analisis Efektivitas Biaya Penggunaan Antidiabetes Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Rawat Jalan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 2

Analisis Efektivitas Biaya Penggunaan Antidiabetes Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Rawat Jalan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 5

Analisis Efektivitas Biaya Penggunaan Antidiabetes Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Rawat Jalan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 15