PENELITIAN INTERNAL TINJAUAN YURIDIS TER

PENELITIAN INTERNAL TINJAUAN YURIDIS TERHADAP BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK DARI APBNAPBD DI INDONESIA BIDANG KEGIATAN: PENELITIAN

  Diusulkan Oleh: Pandu Dewanata

  Haidar Naila Syifa Arnita Fauzi Budi W Azizah Nur Hanifah

PADJADJARAN LAW RESEARCH AND DEBATE SOCIETY FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2015

KATA PENGANTAR

  Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME, karena dengan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP

BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK DARI APBNAPBD DI

  INDONESIA”. Meskipun terdapat banyak hambatan dalam proses pengerjaannya, tapi kami dapat menyelesaikan penelitian ini tepat pada waktunya.

  Tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam seluruh proses penyusunan artikel ilmiah ini. Ucapan terima kasih kami haturkan kepada dosen pembimbing kami Ibu Lailani, S.H., M.H. yang telah memberikan koreksi- koreksi sehingga penelitian ini lebih baik. Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman- teman mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, senior kami di Padjajaran Law Research and Debate Society (PLEADS) yang telah memberikan banyak masukan.

  Semoga penelitian ini dapat berguna bagi para pihak yang bersangkutan, terutama para pemerhati hukum. Penelitian ini tentu saja masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan saran dan masukan agar penelitian ini bisa menjadi lebih baik lagi.

  Bandung, September 2015

  Tim Penulis

ABSTRAK

  Penelitian ini dilatar belakangi oleh pemberian bantuan keuangan kepada partai politik dari APBNAPBD berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 jo Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Apabila ditelusuri secara historis, bantuan keuangan kepada partai politik dimulai pada masa Orde Baru. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui alasan pemberian bantuan keuangan kepada partai politik dikaitkan dengan paradigma pengaturan partai politik.

  Penelitian ini dilakukan berdasarkan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis

  normatif dengan spesifikasi penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Penelitian ini membandingkan maksud dari diberikannya bantuan keuangan kepada partai politik dari masa ke masa dan tetap dipertahankannya bantuan keuangan kepada partai politik pada Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.

  Kata Kunci : Bantuan Keuangan, Partai Politik

DAFTAR ISI

  Kata Pengantar

  Daftar Isi

  Latar Belakang

  Identifikasi Masalah

  Luaran Penelitian

  Tinjauan Pustaka

  Jaminan Kebebasan Berserikat

  Fungsi Partai Politik

  Partai Politik sebagai Badan Hukum Publik

  Paradigma Pengaturan Partai Politik

  BAB 3

  Metode Penelitian

  Spesifikasi Penelitian

  Tahapan Penelitian

  Analisis Data

  Lokasi Penelitian

  Sejarah Hukum Bantuan Keuangan kepada Partai Politik di Indonesia

  Pemberian Bantuan Keuangan kepada Partai Politik dalam Hukum Positif

  Bantuan Keuangan kepada Partai Politik bukan Bentuk Intervensi

  DAFTAR PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

  Dalam negara demokrasi partai politik memiliki posisi dan peranan yang sangat penting untuk menjaga agar sistem demokrasi berjalan dengan baik. Partai politik memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga

  negara. 1 Partai politik merupakan sarana bagi warga negara untuk turut serta atau berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara. 2 Sehingga partai politik dalam negara

  demokrasi berperan sebagai jembatan antara pemerintah dan masyarakat.

  Partai politik lahir di negara-negara Eropa Barat sejalan dengan meluasnya gagasan kedaulatan rakyat. Rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka partai politik lahir secara spontan dan berkembang menjadi

  penghubung antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di pihak lain. 3 Pada awal perkembangannya, pada akhir abad ke-18 di negara-negara Eropa Barat, kegiatan politik

  dipusatkan pada kelompok-kelompok politik dalam parlemen. 4 Dengan meluasnya hak pilih, kelompok-kelompok politik di parlemen memerlukan dukungan dari berbagai golongan

  masyarakat dan pada akhirnya kegiatan politik juga berkembang di luar parlemen.

  Partai politik merupakan salah satu dari bentuk pelembagaan sebagai wujud ekspresi ide-ide, pikiran-pikiran, pandangan-pandangan, dan keyakinan bebas dalam masyarakat

  demokratis. 5 Partai politik sangat berperan dalam memperjuangkan nilai dan kepentingan (values and interests) dari konstituen yang diwakilinya untuk menentukan kebijakan negara.

  Menurut Yves Meny dan Andrew Knapp, “a democratic system without political parties or

  1 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 52,

  2 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm. 397. 3 Ibid, hlm. 397-398. 4 Ibid, hlm. 398. 5 Jimly Asshiddiqie, Op. Cit, hlm. 53.

  with a single party is impossible or at any rate hard to imagine”. 6 Akan sangat sulit menjalankan sistem demokrasi jika tidak terdapat atau hanya terdapat satu partai politik,

  karena aspirasi masyarakat tidak akan tersampaikan kepada pemerintah dan menimbulkan partisipasi masyarakat yang rendah.

  Partai politik tidak lahir dalam sistem demokrasi tanpa fungsi yang melekat. Menurut Miriam Budiardjo terdapat empat fungsi partai politik, antara lain : 7 (i) sarana komunikasi

  politik, (ii) sarana sosialisasi politik, (iii) sarana rekrutmen politik, (iv) sarana pengatur konflik. Keempat fungsi tersebut saling berkaitan satu sama lain dan harus dilaksanakan oleh partai politik. Untuk menjamin dilaksanakannya keempat fungsi tersebut terdapat pengaturan mengenai partai politik dari internal dan eksternal. Secara internal partai politik memiliki ADART tersendiri, sementara secara eksternal partai politik diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Undang-Undang Partai Politik sendiri mengatur tentang pembentukan partai politik, keuangan partai politik, pendidikan politik, dan sebagainya.

  Apabila melihat fungsi partai politik, maka peran dari partai politik dalam sistem demokrasi sangat penting, sehingga perlu dikembangkan dalam rangka mendorong penguatan demokrasi dan penyelenggaraan negara yang lebih baik. Menurut Veri Junaidi, terdapat dua aspek yang menjadi kunci pengembangan partai politik, yakni pendanaan partai (political

  party financing) dan pengadaan SDM partai yang berkualitas (political party recruitment). 8

  Kondisi partai politik pada saat ini menunjukkan adanya permasalahan pada bidang pendanaan (financing). Akibat dari permasalahan tersebut partai politik pada saat ini dinilai terlalu mengambil kebijakan politik yang cenderung pragmatis dan mengejar kekuasaan,

  6 Ibid, hlm. 55. 7 Miriam Budiardjo, Op. Cit, hlm. 407-409.

  8 Veri Junaidi, Anomali Pendanaan dan Rekrutmen Politik di Indonesia, Jurnal Konstitusi Pusako FH Universitas Andalas Volume I Nomor I, Jakarta, Sekretariat Jendeal MK RI, 2012, hlm. 52.

  partai kemudian meninggalkan proses pengkaderan yang baik dan tertata. 9 Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan partai (terutama di daerah) mengusung calon anggota legislatif

  maupun calon kepala daerah yang dapat membayar mahar kepada partai politik. Mahar tersebut digunakan oleh partai politik untuk mendanai biaya operasional partai politik. Apabila calon kepala daerah atau calon anggota legislatif tidak dapat membayar mahar, dapat dipastikan tidak dapat bersaing dalam pemilihan umum.

  Bulan Juli tahun 2015, masyarakat dikejutkan dengan berita mengenai persyaratan mahar politik bagi calon bupati Simalungun, Sumatera Utara dan Manggarai, NTT. 10 Calon

  tersebut harus mengurungkan niatnya untuk maju dalam pemilu karena tidak sanggup membayar mahar yang diminta oleh partai yang akan mengusung. Menurut Ray Rangkuti, peneliti Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), menyatakan bahwa seorang calon kepala daerah harus memberikan mahar sebesar Rp 500 juta sampai dengan Rp 4 miliar untuk

  menjadi diusung oleh sebuah partai politik. 11 Fakta-fakta tersebut menjadi cerminan bahwa partai politik masih mengandalkan mahar politik dari calon kepala daerah untuk membiayai

  partai, karena mahar politik berjumlah besar sehingga memberikan dampak yang signifikan terhadap keuangan partai politik.

  Dalam Undang-Undang Partai Politik disebutkan tiga jenis pendapatan partai politik, yaitu: (1) iuran anggota; (2) sumbangan yang sah menurut hukum ; (3) bantuan keuangan dari

  APBNAPBD. 12 Artinya partai politik dapat memanfaatkan sumber dana selain mahar politik yang diberikan oleh calon kepala daerahlegislatif yang termasuk pada sumbangan yang sah

  menurut hukum. Partai politik dapat memanfaatkan iuran anggota dan bantuan keuangan dari APBNAPBD yang diberikan setiap tahun.

  9 Ibid. 10 http:news.metrotvnews.comread201507291518982-calon-kepala-daerah-gagal-maju-

  karena-tak-sanggup-bayar-mahar, diakses pada 3 Oktober 2015.

  11 http:news.merahputih.compolitik20150807parpol-patok-mahar-rp500-juta-rp4-miliar-pada- calon-kepala-daerah22343, diakses pada 4 Oktober 2015.

  12 Lihat Pasal 34 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008.

  Bantuan keuangan dari APBNAPBD terhadap partai politik, selanjutnya akan disebut sebagai bantuan keuangan kepada partai politik, menarik untuk dikaji. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2012 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik, bantuan keuangan partai politik digunakan sebagai dana penunjang kegiatan pendidikan politik dan

  operasional sekretariat partai politik. 13 Bantuan Keuangan diberikan berdasarkan perolehan jumlah suara partai yang memperoleh kursi di DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD

  KabupatenKota. Besaran bantuan keuangan kepada partai politik yang diberikan dari APBN berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2012 sebesar Rp.108suara, sedangkan besaran bantuan keuangan kepada partai politik yang diberikan dari APBD bergantung pada kemampuan masing-masing daerah. Penghitungan dari bantuan keuangan kepada partai politik didapat dari perkalian besaran bantuan keuangan dengan perolehan suara yang didapat partai politik, hasil dari perkalian tersebut akan diberikan kepada partai politik. Nantinya partai politik akan membuat laporan pertanggungjawaban mengenai bantuan keuangan kepada pemerintah.

  Bantuan keuangan partai politik dapat dimaknai sebagai usaha untuk mendorong penguatan demokrasi dan penyelenggaraan negara yang lebih baik, namun tidak sedikit pula yang memaknai bantuan keuangan partai politik sebagai intervensi negara dalam pengelolaan partai politik.

  Berdasarkan latar belakang diatas, penulis terdorong untuk menganalisis dan mengkaji lebih dalam mengenai pendidikan politik yang diselenggarakan oleh partai politik yang hasilnya akan dituangkan ke dalam penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis terhadap Bantuan Keuangan Partai Politik dari APBNAPBD di Indonesia”.

  13 Lihat Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2012 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik.

B. Identifikasi Masalah

  Masalah yang diidentifikasi berdasarkan latar belakang di atas antara lain :

  1. Bagaimana sejarah hukum mengenai bantuan keuangan kepada partai politik di

  Indonesia ?

  2. Mengapa pemerintah tetap memberikan bantuan keuangan kepada partai politik

  dalam hukum positif ?

  3. Apakah bantuan keuangan partai politik merupakan bentuk intervensi pemerintah

  terhadap partai politik ?

C. Luaran Penelitian

  Luaran dari Penelitian ini adalah artikel ilmiah yang diterbitkan pada jurnal Padjadjaran Law Review.

D. Manfaat

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi teoritis maupun praktikal. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi dapat menjadi bahan bacaan spesifik mengenai hukum ketatanegaraan di Indonesia. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan menjadi acuan bagi mahasiswa, akademisi, maupun masyarakat secara umum dalam mengkaji bantuan keuangan kepada partai politik.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

A. Jaminan Kebebasan Berserikat

  Instrumen hak asasi manusia yang secara umum menjadi sumber rujukan standar kebebasan berserikat, berkumpul, dan berorganisasi ini adalah Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Artikel 20 (1) UDHR menyebutkan, “Everyone has the right to freedom of peaceful assembly and association.” Lebih lanjut dalam sub-title (2) ditegaskan, “No one may be compelled to

  belong to an association.” 14 ICCPR mengatur lebih lanjut pengakuan dan perlindungan atas “the right of peaceful assembly” di dalam artikel 21, sedangkan “freedom of association”

  dijamin dalam artikel 22. Artikel 22 (1) ICCPR menentukan :

  “Everyone shall have the right to freedom of association with others, including the right to form and join trade unions for the protection of his interests.” 15

  Undang-Undang Dasar 1945 memberikan jaminan yang sangat tegas dalam Pasal 28E ayat (3) bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Menurut Jimly Asshiddiqie, ketentuan Pasal 28E ayat (3) sangat

  tegas apabila dibandingkan dengan Pasal 28. 16 Ketentuan Pasal 28 UUD 1945 bukan rumusan hak asasi manusia seperti umumnya dipahami, karena jaminan yang terkandung baru akan

  ada setelah ditetapkan dengan undang-undang. 17 Menurut J.G. Steenbeek, yang kemudian dikutip oleh Sri Soemantri dalam buku “Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi”,

  jaminan terhadap hak asasi manusia adalah hal pokok yang ada pada undang-undang dasar. 18

  14 United Nations, Universal Declaration of Human Rights (UDHR), tahun 1948. 15 United Nations, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), tahun 1966.

  16 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, Op. Cit, hlm. 8.

  17 Ibid. 18 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 60.

  Adanya jaminan konstitusional itu memang tidak menghilangkan keperluan akan pengaturan lebih lanjut pelaksanaan hak-hak itu dengan undang-undang seperti yang

  dimaksud oleh Pasal 28 UUD 1945. 19 Harus dilihat juga dalam pelaksanaan adanya rumusan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi :

  “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

  Namun, dalam rangka pengaturan lebih lanjut dan pembatasan dalam undang-undang, harus diingat bahwa hak atas kemerdekaan berserikat dan berkumpul terkait erat dengan hak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani. Karena kemerdekaan berserikat merupakan salah satu bentuk ekspresi pendapat dan aspirasi atas ide-ide yang disalurkan dengan cara bekerjasama

  dengan orang lain yang juga memiliki aspirasi yang sama. 20

  Hak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani diatur dan dijamin dengan tegas dalam Pasal 28E ayat (2). Ketentuan pasal ini dianggap sangat fundamental, sehingga digolongkan dalam kelompok hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apaun seperti

  yang ditentukan oleh Pasal 28I ayat (1). 21 Menurut pasal ini hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Karena itu, menurut Jimly

  Asshiddiqie, pengaturan lebih lanjut menurut Pasal 28 dan pembatasan menurut Pasal 28J, tidak boleh bersifat mengurangi kebebasan atas hak berserikat. 22

  19 Loc. Cit, hlm. 10. 20 Ibid, hlm. 11. 21 Ibid, hlm. 12. 22 Ibid.

  Pengaturan lebih lanjut dan pembatasan yang dimaksudkan harus benar-benar didasarkan atas suatu reasonable ground (alasan rasional yang masuk akal), 23 menurut Sam

  Issacharoff, negara demokratis tidak hanya memiliki hak, tetapi juga tugas untuk menjamin dan melindungi prinsip-prinsip demokrasi konstitusional. 24 Hak atas kebebasan berserikat

  memiliki batasan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis demi keamanan nasional dan keselamatan publik, untuk mencegah kejahatan, serta untuk melindungi kesehatan dan moral,

  serta untuk menjamin hak dan kebebasan orang lain. 25 Selain itu, pembatasan juga dimaksudkan untuk melindungi kepentingan nasional, seperti integrasi dan kedaulatan

  negara. 26 Pembatasan tersebut harus ditafsirkan secara ketat yang meliputi; pembatasan harus diatur dalam aturan hukum; harus dilakukan semata-mata untuk mencapai tujuan dalam

  masyarakat demokratis; dan harus memang benar-benar dibutuhkan dan bersifat proporsional sesuai dengan kebutuhan sosial. 27 Sehingga negara dapat melarang atau membubarkan suatu

  organisasi massa, partai politik, yang bertentangan dengan tujuan dasar dan tatanan konstitusional negara.

B. Fungsi Partai Politik

  Menurut Miriam Budiardjo, partai politik memiliki empat fungsi, diantaranya meliputi 28 : (i) sarana komunikasi politik, (ii) sosialisasi politik (political socialization), (iii)

  sarana rekruitmen politik (political recruitment), dan (iv) pengatur konflik (conflict management). Dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi partai politik itu mencakup fungsi (i) mobilisasi dan integrasi, (ii) sarana pembentukan pengaruh terhadap

  23 Ibid. 24 Ibid.

  25 Muchamad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik: Pengaturan dan Praktik Pembubaran Partai Politik dalam Pergulatan Republik, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hlm. 300.

  26 Ibid. 27 Ibid. 28 Miriam Budiardjo, Op. Cit, hlm. 407-409.

  perilaku memilih (voting patterns), (iii) sarana rekruitmen politik, dn (iv) sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan. 29

  Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait satu dengan lainnya. Sebagai sarana komunikasi politik, partai berperan sangat penting dalam upaya mengartikulasikan kepentingan atau “political interest”yang terdapat atau kadang-kadang yang tersembunyi

  dalam masyarakat. 30 Berbagai kepentingan itu diserap oleh partai politik menjadi ide-ide, visi, dan kebijakan-kebijakan politik yang bersangkutan. Ide-ide dan kebijakan atau aspirasi

  tersebut kemudian diadvokasikan sehingga dapat diharapkan mempengaruhi atau bahkan menjadi materi kebijakan kenegaraan yang resmi.

  Terkait dengan komunikasi politik, partai politik juga berperan penting dalam melakukan sosialisasi politik (political socialization). 31 Ide, visi, dan kebijakan strategis yang

  menjadi pilihan partai politik dimasyarakatkan kepada konstituen untuk mendapatkan ‘feedback’ berupa dukungan dari masyarakat luas. 32 Terkait dengan sosialisasi politik, partai

  juga berperan sangat penting dalam rangka pendidikan politik. Partai menjadi struktur antara atau ‘intermediate structure’ yang harus memainkan peran dalam membumikan cita-cita

  kenegaraan dalam kesadaran kolektif masyarakat warga negara. 33

  Fungsi ketiga partai politik adalah sarana rekruitmen partai politik (political recruitment). Partai dibentuk memang dimaksudkan untuk menjadi kendaraan yang sah untuk

  menyeleksi kader-kader pemimpin negara pada jenjang-jenjang dan posisi-posisi tertentu. 34 Tentu tidak semua jabatan dapat diisi oleh peranan partai politik sebagai sarana rekruitmen

  politik. Jabatan-jabatan professional di bidang kepegawai-negerian, dan lain-lain yang tidak

  29 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi Op. Cit, hlm. 59.

  30 Ibid. 31 Ibid. hlm 60. 32 Ibid. 33 Ibid. 34 Ibid.

  bersifat politik tidak boleh melibatkan peran partai politik. Partai hanya boleh terlibat dalam pengisian jabatan-jabatan yang bersifat politik dan karena itu memerlukan pengangkatan

  pejabatnya melalui prosedur politik. 35

  Jabatan dibedakan antara jabatan negara dengan jabatan pegawai negeri. 36 Yang menduduki jabatan negara disebut sebagai pejabat negara. Untuk pengisian jabatan atau

  rekruitmen pejabat negarakenegaraan, baik langsung maupun tidak langsung, partai politik dapat berperan. Dalam hal ini lah, fungsi partai politik dalam rangka rekruitmen partai politik

  dianggap penting. 37 Sedangkan untuk pengisian jabatan pegawai negeri partai sudah seharusnya dilarang untuk terlibat dan melibatkan diri, karena jabatan pegawai negeri

  merupakan jenjang karier kepegawaian.

  Fungsi keempat adalah pengatur dan pengelola konflik yang terjadi dalam masyarakat. Partai berperan sebagai sarana agregasi kepentingan yang menyalurkan ragam kepentingan yang berbeda-beda itu melalui saluran kelembagaan politik partai. Dalam kategori Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi pengelola konflik dapat dikaitkan dengan fungsi integrasi partai politik. Partai mengagregasikan dan mengintegrasikan beragam kepentingan itu dengan cara menyalurkan dengan sebaik-baiknya untuk mempengaruhi

  kebijakan-kebijakan politik kenegaraan. 38

C. Partai Politik sebagai Badan Hukum Publik

  Partai politik merupakan sarana bagi warga negara untuk turut serta atau berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara. 39 Partai politik adalah asosiasi warga negara

  dan dapat berstatus sebagai badan hukum. Artinya partai adalah penyandang hak dan

  35 Ibid. hlm 61. 36 Ibid. 37 Ibid. hlm 62. 38 Ibid. hlm 63. 39 Miriam Budiardjo, Op. Cit, hlm. 397.

  kewajiban dalam hubungan-hubungan hukum. Status partai politik sebagai badan hukum sangat penting dalam hubungan dengan kedudukan partai politik sebagai subjek hukum. 40

  Setiap badan hukum yang dapat dikatakan bertanggungjawab secara hukum harus memiliki empat unsur pokok, yaitu : 41

  1. Harta kekayaan yang terpisah dari kekayaan subjek hukum yang lain;

  2. Mempunyai tujuan ideal tertentu yang tidak bertentangan dengan peraturan

  perundang-undangan;

  3. Mempunyai kepentingan sendiri dalam lalu lintas hukum;

  4. Ada organisasi kepengurusannya yang bersifat teratur menurut peraturan

  perundang-undangan yang berlaku dan peraturan internalnya sendiri.

  Keempat unsur diatas dapat dimaknai sebagai persyaratan materiil dari badan hukum. Dalam praktik sebuah organisasi belum dapat diakui sah sebagai badan hukum jika belum terdaftar sebagai badan hukum, walaupun sudah memenuhi persyaratan materiil. Sehingga untuk diakui sah sebagai badan hukum diperlukan syarat formil, yakni pendaftaran kepada menteri yang berwenang dan disahkan oleh menteri tersebut.

  Secara umum badan hukum dibedakan menjadi dua, yaitu badan hukum publik dan badan hukum privat. C.S.T. Kansil mengartikan badan hukum publik sebagai badan hukum yang didirikan menyangkut kepentingan publik, sementara badan hukum privat didirikan

  menyangkut kepentingan pribadi atau sekelompok orang di dalam badan hukum itu. 42 Badan hukum publik merupakan badan-badan negara dan merupakan lembaga yang dibentuk oleh

  penguasa berdasarkan perundang-undangan yang dijalankan secara fungsional oleh

  40 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, Op. Cit, hlm. 69.

  41 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Setjen dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006, hlm. 69.

  42 C.S.T. Kansil dan Cristine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Badan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002, hlm. 10-13.

  pemerintah atau badan pengurus yang diberikan tugas untuk itu. Kansil menyebut Bank Indonesia, bank-bank negara, dan perusahaan BUMN sebagai contoh badan hukum publik. Sementara badan hukum privat merupakan badan swasta yang didirikan oleh pribadi atau sekelompok orang untuk tujuan tertentu seperti mencari keutungan, sosial, ilmu pengetahuan, politik, olahraga, dan lainnya. Oleh karena itu, Kansil menggolongkan partai politik sebagai badan hukum privat, bukan badan hukum publik.

  Namun pandangan tersebut tidak disetujui oleh Jimly Asshiddiqie, yang mengatakan bahwa letak perbedaan badan hukum publik dan badan hukum privat tidak dapat dilihat dari segi subjek hukum yang membentuknya saja, tetapi harus melihat pula aspek-aspek lain yang

  terkait dengan sifat kegiatan, tujuan yang hendak dicapai dan lain sebagainya. 43

  Jika kita menggunakan pandangan yang digunakan C.S.T. Kansil maka partai politik adalah badan hukum privat, karena partai politik didirikan oleh sekelompok warga negara berdasarkan kesamaan kepentingan dari kelompok tersebut. Namun pandangan tersebut nampaknya tidak sesuai dengan kondisi partai dalam konstelasi politik pada saat ini. Menurut Veri Junaidi terdapat tiga aspek yang melandasi peletakkan partai sebagai badan hukum

  publik, diantaranya : 44

  1. Peran publik yang besar dalam pembangunan organisasi partai politik.

  2. Dalam pengelolaan organisasi tunduk pada ketentuan hukum publik.

  3. Peran partai politik yang besar dalam kehidupan bernegara. Pertama, publik memiliki peran besar dalam pembangunan organisasi partai politik,

  peran itu dapat dilihat dari sumber pemasukan partai yang berasal dari publik baik berupa iuran anggota, APBN APBD, sumbangan individu dan badan hukum. Begitu juga dengan kader yang direkrut partai, melibatkan elemen warga negara, professional dan banyak

  43 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, Op. Cit, hlm. 77-78.

  44 Veri Junaidi, Anomali Pendanaan dan Rekrutmen Politik di Indonesia, Op. Cit, hlm. 51.

  kelompok masyarakat. Partai juga memperoleh kuasa dalam pemilihan umum yang berupa suara dukungan untuk mengisi jabatan politik tertentu, bahkan dari dukungan itu partai memperoleh mandat untuk mengurus negara. Kedua, partai dalam pengelolaan organisasi tunduk pada ketentuanhukumpublik, yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Bahkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik secara tegas mengklasifikasikan partai politik sebagai institusi publik. Ketiga, paling penting kehadiran partai politik adalah perannya yang begitu besar dalam setiap lini kehidupan bernegara. Kewenangan penyelenggaraan negara, pengangkatan pejabat publik, hingga pembuatan kebijakan publik.

  Bahkan secara tidak langsung partai telah menempatkan dirinya sebagai badan hukum publik. Hal ini tercermin dari tujuan dan fungsi partai yang dicantumkan dalam ADART

  masing-masing partai politik. 45 Sebagai contoh dalam menjalankan fungsinya sebagai sarana komunikasi politik, secara umum partai-partai di Indonesia dalam ADART masing-masing

  bertujuan untuk memperjuangkan aspirasi maupun kepentingan rakyat dalam berbagai bidang. Dengan demikian pendirian partai politik ditujukan untuk mewakili kepentingan- kepentingan masyarakatpublik dalam berbagai bidang.

  Partai politik memang didirikan untuk tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingan politik yang bukan bersifat perdata. 46 Walaupun berstatus sebagai badan hukum publik partai

  politik dapat terlibat dalam hubungan hukum perdata, misalnya jual beli tanah, sewa menyewa benda-benda bergerak, dan sebagainya. Dengan demikian kriteria utama yang menentukan suatu badan hukum publik atau privat terletak pada kepentingan yang diwakili badan hukum yang bersangkutan yang tercermin dalam tujuan dan kepentingan para pendiri badan hukum.

  45 Diolah dari berbagai ADART partai politik di Indonesia. 46 Jimly Asshiddiqie, Loc. Cit, hlm. 84.

D. Paradigma Pengaturan Partai Politik

  Pengaturan masalah partai politik merupakan salah satu upaya konstitusionalisasi demokrasi politik (the constitutionalization of democratic politics) dan menjadi obyek kajian

  hukum tata negara yang relatif baru. 47 Persily dan Cain mengemukakan beberapa paradigma yang mempengaruhi bagaimana pengaturan partai politik dilakukan. Paradigma tersebut

  adalah managerial, libertarian, progressive, political markets, dan pluralist. 48

  Paradigma managerial menempatkan partai politik sebagai instrumen negara guna menjaga stabilitas politik dan merajut partisipasi politik. 49 Kekuasaan sepenuhnya untuk

  mengatur partai politik baik dalam bentuk mengintervensi struktur internal partai ataupun memberikan otonomi berada di tangan negara. Kebebasan berserikat dalam partai politik

  hanya sedikit mendapatkan perhatian. Terdapat dua kelemahan dari paradigma managerial, 50 pertama, pendekatan managerial berpotensi mengutamakan elemen pejabat yang dipilih dari

  suatu partai dari pada elemen lain partai tersebut. Kedua, pendekatan ini menimbulkan kemungkinan partai yang memerintah akan menghalangi partai kompetitor untuk mengorganisasikan diri dan memperoleh kekuasaan. Dari penjelasan tersebut paradigma managerial berpotensi menimbulkan pemerintahan yang otoriter.

  Paradigma yang bertolak-belakang dengan managerial adalah paradigma libertarian. Bagi paradigma ini, partai politik adalah suatu spesies dari organisasi privat kelompok kepentingan yang harus diberikan hak berserikat, privasi, kebebasan berpendapat, dan bebas

  dari diskriminasi negara. 51 Peran dan kekuasaan publik partai politik adalah efek tidak terencana dari aktivitas privatnya sehingga tidak tepat untuk tunduk pada aturan negara. 52

  47 Muchamad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik (Analisis Pengaturan Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959-2004), Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 77.

  48 Ibid. 49 Ibid. 50 Ibid, hlm. 78. 51 Ibid. 52 Ibid.

  Kelemahan utama dari paradigma ini adalah tidak mempertimbangkan tingkat heterogenitas partai politik. 53 Demi mencapai kompetisi yang berimbang, tentu tidak dapat disamakan

  perlakuan terhadap partai yang sedang memerintah dengan partai yang tidak berkuasa, antara partai besar dan partai kecil. 54

  Paradigma progressive melihat partai sebagai kekuatan yang merusak (obstructive forces) bagi realisasi kehendak umum (general will) para pemilih. 55 Paradigma ini cenderung

  menggunakan peraturan negara untuk menghilangkan otonomi partai dan membuat partai tidak relevan dalam proses pemilihan umum. Sebagai contoh pada masa Orde Lama partai politik dianggap sebagai penyebab konflik horizontal di dalam masyarakat, bahkan Presiden

  Soekarno dalam pidatonya mengemukakan gagasan untuk mengubur partai politik. 56 Partai dapat menghalangi demokrasi dengan mengalihkan pemilihan menjadi kompetisi semu di

  mana the true kingmaker memutuskan pemenangnya di balik pintu yang tertutup. Paradigma ini tidak mengakui peran esensial partai politik dalam demokrasi. Paradigma ini tidak mengakui bahwa walaupun dalam kondisi yang lemah, partai politik masih berfungsi sebagai alat identifikasi pemilih atas calon-calon yang akan dipilih, sebagai perumusan tujuan dan

  kebijakan, serta menciptakan pertanggungjawaban kolektif pejabat-pejabat yang dipilih. 57

  Bagi penganut paradigma political markets, tujuan utama partai politik adalah memberikan pilihan kepada konsumen dalam pemilihan umum. 58 Hal itu dilakukan dengan

  menghilangkan kompetisi partisan di mana terdapat invisible hand. Pasar politik tersebut akan rusak jika pejabat yang sedang berkuasa (incumbent officeholder) menggunakan posisi dominannya untuk menempatkan hambatan hukum guna menghilangkan kelompok yang

  53 Ibid, hlm. 79. 54 Ibid. 55 Ibid. 56 Lihat Ibid, hlm. 141. 57 Ibid, hlm. 80. 58 Ibid.

  akan menggantikan posisinya. 59 Demi terciptanya kompetisi, maka semakin banyak partai semakin baik bagi pasar politik. Titik tekan political markets adalah pada partai sebagai suatu

  sistem yang berujung pada para pemilih sebagai konsumen. 60 Suksesnya suatu sistem politik ditentukan oleh kemampuannya untuk memuaskan sebanyak mungkin pemilih dengan cara

  memberikan pilihan-pilihan yang paling sesuai dengan masing-masing konsumsi suara politik. 61 Kepentingan negara dan peran pengadilan dalam sistem kepartaian adalah untuk

  mengkonstruksikan aturan yang memaksimalisasi kompetisi di antara partai-partai. 62 Hal itu akan tercapai apabila aktor-aktor yang relevan saling berkompetisi dengan membuat

  produknya (yaitu platform, janji kebijakan, dan calon) lebih efisien dan populer.

  Bertitik tolak dari pentingnya kelompok-kelompok yang terorganisasi dalam proses politik, muncul paradigma pluralis yang memandang bahwa dunia politik adalah kompetisi

  kelompok-kelompok, bargaining, pembentukan koalisi, dan bahkan jual beli suara. 63 Menurut pandangan ini, demokrasi bukan merupakan “pemerintahan oleh rakyat” dan bahkan

  bukan “pemerintahan oleh mayoritas”, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai pemerintahan minoritas (minority rule) baik dalam bentuk kelompok rasial ataupun regional. 64

  Oleh karena itu, partai politik menurut pandangan pluralis harus lebih luas dan merupakan koalisi kelompok kepentingan yang terdesentralisasi dari pada sesuatu yang

  bersifat ideologis dan mapan. 65 Hal itu merupakan acuan bagi partai politik untuk dapat mengagregasikan dan menggabungkan kecenderungan kelompok-kelompok baik secara

  politik, ekonomi, maupun etnis dari seluruh wilayah negara. 66 Partai yang terlalu ideologis akan gagal memenuhi kecenderungan pemilih yang luas. Jika wakil rakyat tidak dapat

  59 Ibid. 60 Ibid, hlm. 80-81. 61 Ibid. 62 Ibid. 63 Ibid. 64 Ibid. 65 Ibid. 66 Ibid, hlm. 81-82.

  menyesuaikan dengan kebutuhan konstituennya dan harus mengikuti garis partai, maka partai tersebut akan gagal mendapatkan suara pemilih. 67

  Muchamad Ali Safa’at menyatakan bahwa lima paradigma tersebut dapat mengklasifikasikan ketentuan terkait dengan partai politik. 68 Kategori pertama adalah

  hubungan antara negara dengan partai politik dalam hubungannya dengan rakyat sebagai pemilih, yaitu bagaimanakah negara memposisikan organisasi partai politik apakah lebih sebagai instrumen negara, atau sebaliknya sebagai instrumen rakyat. Kedua adalah pengakuan dan pemberian peran terhadap partai politik. Ketiga adalah sifat organisasi partai politik, apakah lebih merupakan organisasi publik atau organisasi privat. Keempat, adalah arah sistem kepartaian. Sedangkan kelima adalah tingkat kemandirian partai politik dari intervensi negara.

  67 Ibid. 68 Ibid.

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan

  Penelitian ini dilakukan berdasarkan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif, yakni yang dilakukan dengan cara mangkaji berbagai literatur yang sifatnya tidak terbatas oleh waktu dan tempat, dan dilakukan dengan cara mengkaji berbagai literatur baik yang berupa buku-buku, hasil penelitian sebelumnya maupun peraturan perundang-undangan baik

  cetak maupun online yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. 69 Penelitian dilakukan untuk mengetahui tinjauan yuridis terhadap bantuan keuangan kepada partai politik dari

  APBNAPBD.

3.2 Spesifikasi Penelitian

  Spesifikasi penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis fakta-fakta mengenai keadaan objek yang diteliti secara sistematis, faktual, dan akurat dengan teori-teori hukum positif yang

  menyangkut permasalahan yang diteliti. 70 Dalam penelitian ini penulis akan menggambarkan permasalahan dalam pelaksanaan pendidikan politik oleh partai politik. Kemudian,

  permasalahan tersebut dianalisis berdasarkan kerangka Hukum Tata Negara, khususnya hubungan suprastruktur politik-infrastruktur politik.

3.3 Tahapan Penelitian

  Proses penelitian sendiri akan dilaksanakan melalui tiga tahapan yaitu:

  1. Tahap Persiapan

  69 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, hlm.52 70 Maria S.W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta,

  1989, hlm. 6.

  Rapat tim, pencarian data awal dan penyusunan proposal. Dari tahap persiapan ini akan diperoleh luaran berupa proposal penelitian.

  2. Tahap Pelaksanaan

  Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data yang berupa:

  1) Bahan hukum primer, yaitu bahan yang sifatnya mengikat masalah-masalah yang

  akan diteliti berupa peraturan perundang-undangan, 71 yaitu Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang No.2 Tahun 2008 jo Undang-

  Undang No.2 Tahun 2011 tentang Partai Politik; Peraturan Pemerintah No.5 Tahun 2009 jo Peraturan Pemerintah No.83 Tahun 2012 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik; Dan peraturan perundang-undangan lainnya yang relevan.

  2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang diperoleh dari buku-buku mengenai

  ketentuan hukum yang erat kaitannya dengan sumber hukum primer dan dapat menunjang dalam menganalisis dan memahami bahan hukum primer, 72 seperti

  rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya hukum dan seterusnya; 73 serta pendapat para ahli, khususnya mengenai pendanaan partai politik

  (non-hukum) yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer di atas.

  71 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1983, hlm. 24-25. 72 Ibid, hlm.25.

  73 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 2006, hlm. 13.

  3) bahan hukum tersier seperti ensiklopedia dan kamus yang berkaitan dengan

  masalah-masalah yang akan dibahas. 74 Dan memberikan penjelasan terhadap istilah- istilah dalam bahan hukum primer dan sekunder.

  3. Tahap Akhir

  Tahap akhir penelitian ini berupa penyusunan laporan. Dengan luaran Artikel Ilmiah yang akan dimuat dalam Padjadjaran Law Review.

3.4 Analisis Data

  Data penelitian akan dianalisis secara kualitatif, yaitu analisis kualitatif dilakukan terhadap data-data yang telah dikumpulkan dilakukan dengan cara mendeskripsikan data yang terkait dengan objek penelitian, menganalisis data objek penelitian dan menafsirkan data untuk penarikan kesimpulan dan perumusan saran.

3.5. Lokasi Penelitian

  Penelitian akan dilakukan, khususnya di :

  a) Perpustakaan Hukum Mochtar Kusumaatmadja Fakultas Hukum Universitas

  Padjadjaran,Bandung

  b) Dan tempat lain yang memungkinkan.

  74 Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2004, hlm.

BAB 4 PEMBAHASAN

A. Sejarah Hukum Bantuan Keuangan kepada Partai Politik di Indonesia

  Partai politik lahir di Indonesia bersamaan dengan tumbuhnya gerakan kebangsaan yang menandai era kebangkitan nasional. Walaupun pada awalnya tidak secara tegas menamakan diri sebagai partai politik, namun memiliki program-program dan aktivitas politik. Partai-partai yang ada dan berkembang sebelum kemerdekaan tersebut pada umumnya dapat dikategorikan sebagai partai yang bersifat ideologis (weltanschauungs

  partie). 75 Partai-partai tersebut memiliki fungsi dan program utama untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia.

  Pasca kemerdekaan, tidak terdapat ketentuan konstitusi yang secara khusus mengatur partai politik. Ketentuan yang terkait adalah Pasal 28 yang menyatakan “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya

  ditetapkan dengan undang-undang.” 76 Ketentuan tersebut memberikan jaminan kepada warga negara untuk berserikat dan berkumpul, artinya warga negara dijamin oleh negara

  untuk membentuk partai politik. Ada pendapat yang menyatakan bahwa ketentuan tersebut belum memberikan jaminan konstitusional, karena jaminan tersebut akan ada setelah

  ditetapkan dengan undang-undang. 77 Jaminan untuk mendirikan partai politik baru ada setelah dikeluarkannya Maklumat Pemerintah 3 November 1945. Pembentukan partai politik

  berdasarkan Maklumat 3 Nopember 1945 adalah untuk “memperkoeat perdjoeangan kita mempertahankan kemerdekaan dan mendjamin keamanan masjarakat”. Dari ketentuan tersebut, partai politik diletakkan sebagai instrumen negara untuk mempertahankan

  kemerdekaan. 78 Maklumat tersebut tidak mengatur secara rinci pengaturan mengenai

  75 Muchamad Ali Safa’at, Disertasi, Op. Cit, hlm. 119. 76 Lihat Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945.

  77 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Buana Ilmu Populer, Jakarta, 2007, hlm. 769-777.

  78 Muchamad Ali Safa’at, Disertasi, Op. Cit, hlm. 129.

  pendanaan partai politik, karena maklumat tersebut hanya berisi jaminan dari pemerintah kepada warga negara untuk mendirikan partai politik.

  Partai-partai yang berkembang pada awal kemerdekaan hingga masa Demokrasi Terpimpin pada umumnya merupakan kelanjutan dari partai yang telah ada sebelum kemerdekaan. Hingga akhir dari masa Demokrasi Terpimpin sendiri tidak terdapat undang- undang yang secara khusus mengatur partai politik dan pendanaannya. Pendanaan partai politik pada masa itu bertumpu pada iuran anggota partai politik. Karena partai-partai yang berkembang pada umumnya adalah partai massa, meskipun terdapat partai yang dapat dikategorikan sebagai partai kader dengan orientasi utamanya adalah mempengaruhi kebijakan (policy-seeking party), dan menduduki jabatan dalam pemerintahan (office-seeking

  party). 79 Partai massa adalah partai yang mengutamakan jumlah anggota dengan ikatan yang longgar. 80 Menurut Maurice Duverger, partai massa terbentuk secara eksternal dan memobilisasi segmen pemilih yang luas. 81 Dengan merekrut sebanyak-banyaknya anggota,

  partai politik pada masa itu dapat mendanai secara mandiri.

  Undang-Undang yang mengatur partai politik secara spesifik baru ada pada Era Orde Baru, yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Undang-Undang Partai Golongan Karya dibentuk berdasarkan TAP MPR Nomor XXIIMPRS1966 tentang Kepartaian, Keormasan, dan Kekaryaan, tujuan dibentuknya

  undang-undang kepartaian adalah untuk menyederhanakan partai politik. 82 Selain itu di dalam konsiderans disebutkan perlunya mengatur penggolongan masyarakat dalam partai

  politik, ormas, dan golongan karya agar dapat menjadi alat demokrasi yang sehat. 83

  79 Ibid, hlm. 136. 80 Ibid, hlm. 60.

  81 Andre Krouwel, Model-Model Partai, dalam Richard Katz dan William Crotty, Handbook Partai Politik, Nusamedia, Bandung, 2014, hlm. 409-441.

  82 Lihat Pasal 1 TAP MPR Nomor XXIIMPRS1996. 83 Lihat bagian menimbang pada huruf d.

  Undang-Undang Partai Golongan Karya mengatur partai politik mulai dari keanggotaan dan kepengurusan, larangan dan pengawasan, sampai dengan keuangan. Pada Pasal 11 Undang-Undang Partai Golongan Karya, sumber dana partai politik diperoleh dari iuran anggota, sumbangan yang tidak mengikat, usaha lain yang sah, dan bantuan dari

  negarapemerintah. 84 Partai politik pada era Orde Baru mendapatkan bantuan keuangan dari pemerintah, agar partai-partai politik dapat menjamin terpeliharanya persatuan dan kesatuan

  bangsa, stabilitas nasional serta terlaksananya percepatan pembangunan. Paradigma yang digunakan pada masa Orde Baru adalah paradigma managerial. Paradigma managerial menempatkan partai politik sebagai instrumen negara guna menjaga stabilitas politik dan

  merajut partisipasi politik. 85 Partai politik bukan institusi yang independen, karena negara memiliki kekuasaan sepenuhnya untuk mengatur partai politik baik dalam bentuk

  mengintervensi struktur internal partai ataupun memberikan otonomi.

  Bantuan keuangan dari pemerintah pada masa itu dapat dimaknai sebagai pembenar bagi pemerintah untuk melakukan kontrol terhadap partai politik. Karena pemerintah pada masa Orde Baru menempatkan partai politik sebagai instrumen negara untuk menjaga stabilitas politik dan merajut partisipasi politik, sehingga tidak dikenal istilah partai oposisi pada masa Orde Baru. Selain itu partai politik hanya diperbolehkan untuk menerima sumbangan tidak mengikat, yang berarti pemberi sumbangan tidak boleh memiliki kepentingan terhadap partai politik. Kepentingan politik yang ada dalam sebuah partai politik pada masa itu adalah kepentingan negara dan kepentingan kader partai politik yang tidak boleh bertentangan dengan kepentingan negara.

  Undang-Undang Partai Politik yang berlaku pada masa Orde Baru dicabut pada masa pemerintahan Presiden Habibie, karena penempatan partai sebagai instrumen negara dan

  84 Lihat Pasal 11 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya 85 Muchamad Ali Safa’at, Disertasi, Op. Cit, hlm. 77.

  penyederhanaan partai tidak dapat mengikuti perkembangan demokrasi di Indonesia pada masa Reformasi. Untuk menjawab tuntutan masyarakat, pemerintah dan DPR membuat undang-undang partai politik yang baru, yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Partai politik tetap mendapat bantuan keuangan dari negara dari APBN berdasarkan perolehan suara

  dalam pemilu sebelumnya. 86 Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2001 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik, disebutkan bahwa jumlah bantuan keuangan yang

  diberikan disesuaikan dengan kondisi keuangan pemerintah dan pemerintah daerah. 87 Dengan demikian bantuan keuangan kepada partai politik tidak terdapat besaran yang tetap dan

  berubah-ubah setiap tahun.

  Paradigma yang menguat pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 adalah political markets. Partai politik lebih ditempatkan sebagai bentuk kebebasan berserikat yang diakui dan diperlukan di alam demokrasi. Kebebasan tersebut menempatkan partai politik pada awalnya sebagai organisasi privat individu walaupun aktivitas dan

  tujuannya bersifat publik. 88 Adanya kebebasan tersebut juga mengarah pada sistem multi partai serta pengakuan kemandirian partai politik sesuai dengan tujuan dan aspirasi politik

  yang berbeda-beda agar dapat menawarkan pilihan politik kepada masyarakat. 89

  Karena tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan perubahan ketatanegaraan, 90 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 dicabut dan digantikan dengan

  Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002. Partai politik tetap mendapat bantuan keuangan dari negara dari APBN berdasarkan perolehan kursi dalam pemilu sebelumnya. 91 Besaran bantuan

  keuangan kepada partai politik di tingkat pusat untuk setiap kursi ditetapkan sebesar Rp.

  86 Lihat Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. 87 Lihat Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2001. 88 Lihat bagian menimbang pada huruf c. 89 Muchamad Ali Safa’at, Disertasi, Op. Cit, hlm. 299. 90 Lihat bagian menimbang pada huruf f Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. 91 Lihat Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002.

  21.000.000,- (dua puluh satu juta rupiah) per tahun. 92 Sedangkan besaran bantuan keuangan kepada partai politik di tingkat provinsi dan kabupatenkota tidak melebihi besaran bantuan

  keuangan yang diberikan oleh pemerintah pusat. 93

  Paradigma yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 adalah paradigma libertarian, political markets, managerial, dan progressive. Paradigma libertarian dalam perkembangannya diimbangi dengan paradigma managerial, yang memberikan persyaratan lebih ketat untuk pendirian partai politik yang diarahkan untuk membentuk sistem multi partai sederhana. Namun demikian kebebasan pembentukan partai politik tetap dijamin, bahkan dapat dibentuk partai politik lokal berdasarkan Undang-Undang Nomor 21

  Tahun 2001 95 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 , sehingga unsur paradigma political markets masih tetap ada. Di sisi lain pada periode tersebut juga mulai terlihat unsur-

  unsur paradigma progressive berupa pengaturan yang lebih komprehensif untuk memastikan berjalannya demokrasi hingga pada tataran internal partai politik. 96 Unsur paradigma

  progressive juga dapat dilihat dari reformasi demokrasi dengan menerapkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, pemilihan anggota DPD dari calon perseorangan, dan dibukanya kesempatan bagi calon perseorangan untuk mengikuti

  pemilihan kepala daerah. 97