AKAD JUAL BELI Oleh doc
i
AKAD JUAL BELI
Oleh :
Annisaa Prima Astuti
NPM.120.633.9254
Mata Kuliah :
USHUL FIQIH DAN FIQIH MUAMALAH
Dosen:
Dra. MUNIFAH SYARWANI, M Si
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI KAJIAN TIMUR TENGAH DAN ISLAM
JAKARTA
2013
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................. ……..i
DAFTAR ISI ......................................... .......................................... ii
BAB I.
PENDAHULUAN .................................................................................…1
BAB II. LANDASAN TEORI................................................................................ 2
2.1. Definisi Akad Jual Beli........................................................................... 2
2.2. Hukum, Rukun dan Syarat Jual Beli....................................................... 2
2.3. Hukum Jual Beli Secara Kredit (Mengangsur)........................................ 9
BAB III. PEMBAHASAN ................................................................................ 11
NPM:1206339254
Universitas Indonesia
ii
3.1. Murabahah ....................................................... ............................... .....…..11
3.1.1.Definisi Jual-Beli Murabahah…………………...…………...…....….11
3.1.2. Dasar Hukum/Landasan Syariah……………………………………..12
3.1.3 Syarat-syarat Ba’i Al-Murabahah………………………………….. 12
3.1.4 Ketentuan umum murabahah dalam bank syariah……………...……13
3.1.5 Gambaran umum Murabahah secara teknis……………………..…..13
3.1.6. Langkah proses Murabahah KPP ………………………..……...…...15
3.1.7. Tujuan Murabahah kepada Pemesan Pembelian (KPP)………...……17
3.1.8. Beberapa Ketentuan umum dalam murabahah KKP…………..…….17
3.2 . Bai’ As Salam………………………………………………………......…..20
3.2.1. Pengertian………………………………………………………..….20
3.2.2. Landasan Syariah……………………………………………………20
3.2.3. Rukun Bai’ As Salam………………………………………………..21
3.2.4. Syarat Bai’ As Salam………………………………………………..21
3.2.5. Landasan Hukum Negara……………………………………......…..23
3.2.6. Bai As Salam Paralel…………………………………………....…...24
3.2.7. Perbedaan dengan Ijon………………………………………..……...25
3.2.8. Aplikasi dalam Perbankan Syariah,,……………………………...…. 25
3.2.9. Skim Bai’ As Salam…………………………………………….…....26
3.3. Bai’al Istishna………………………………………………….........….…..27
3.3.1. Pengertian……………………………………………………..…..…27
3.3.2. Landasan Syariah……………………………………………………27
3.3.3. Landasan Hukum Negara………………………………………......28
3.3.4. Bai’ Al Istishna Paralel…………………………………………..…29
3.3.5. Perbedaan Bai’ As Salam dengan Bai’ Al Istishna…………….......30
3.3.6. Aplikasi dalam Perbankan Syariah………………………………....31
3.3.7. Skim Bai’ Al Istishna……………………………………………….31
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………….32
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………....……33
NPM:1206339254
Universitas Indonesia
iii
NPM:1206339254
Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
Krisis moneter yang menerjang Indonesia pada tahun 1998 dan 2008 telah
menghancurkan sektor perbankan nasional. Beberapa bank yang tidak mampu
bertahan segera dilikuidasi. Kondisi saat itu benar-benar memperlihatkan
lemahnya sistem perbankan nasional. Namun, tidak semua mengalami ‘gangguan’
akibat krisis moneter di Indonesia. Bank Syariah yang tidak menggunakan sistem
riba dalam pengelolaannya, ternyata tidak terpengaruh oleh krisis moneter. Sejak
saat itu, perhatian pelaku bisnis perbankan tertuju kepada sistem perbankan
syariah. Bank syariah dianggap sebagai alternatif dalam perbankan nasional
dengan skim-skim bebas ribanya.
Di antara beberapa skim yang diterapkan oleh bank syariah adalah skim
bagi hasil dan skim jual beli yang tidak berdasarkan pada bunga (interest)
sehingga tidak terkena dampak krisis moneter. Skim bagi hasil di antaranya
dengan skim mudharabah dan musyarakah. Sedangkan skim jual beli yang
diterapkan secara populer di Indonesia adalah skim murabahah, bai’ as salam dan
bai’ al istishna.
Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan skim jual beli? Skim jual beli
apakah yang diterapkan di perbankan syariah? Bagaimana penerapannya?
Kendala apa saja yang dihadapi oleh bank syariah dalam menerapkan skim jual
beli? Makalah ini akan mencoba menjawab beberapa pertanyaan tersebut dengan
merujuk kepada kepustakaan yang ada.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Definisi Jual Beli
Pengertian Jual-Beli Al-Bay'[u] (jual) secara bahasa berarti pertukaran
(mubâdalah); lawan katanya adalah asy-syarâ' (beli). Al-Bay'[u] adalah kata
jadian (mashdar) dari kata kerja bâ'a, yaitu menukar barang dengan barang
(mubâdalah mâl bi mâl). Dengan ungkapan lain, dalam sebagian literatur, ia
berarti mempertemukan atau menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain
(muqâbalah syay'[in] bi syay[in]) atau memberi ganti dan mengambil barang
yang telah diberi ganti (daf'u iwadh wa akhdu ma 'uwwidha 'anhu).
Salah satu dari kata ini dapat digunakan untuk menyebut lainnya. Akan
tetapi, jika disebut al-bay'[u] maka segera terlintas dalam benak menurut
kebiasaan ('urf) bahwa yang dimaksud adalah menawarkan barang dagangan
(bâdzil as-sil'ah).
2.2. Hukum, Rukun dan Syarat Jual-Beli
Adapun secara terminologi (istilah), jual-beli (al-bay'[u]) berarti menukar
barang dengan barang lain untuk saling memiliki dengan adanya kerelaan dari
pihak pembeli dan penjual.
Status hukum jual-beli adalah mubah menurut al-Quran “... Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”...(QS al-Baqarah [2]: 275); dan
sebagaimana “... kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama suka di antara kalian...”QS an-Nisa' [4]: 29) dan As-Sunnah, antara lain
dalam sabda Rasul saw. berikut: “Dua orang yang berjual-beli boleh memilih
(untuk meneruskan jual-beli atau tidak) selama mereka belum berpisah” (HR alBukhari dan Muslim).
Para fuqaha berbeda pendapat tentang batasan rukun dan hal lain pada
akad; apakah ia terbatas pada sighat (kalimat transaksi, ijab dan qabul) atau
kumpulan dari sighat dan 'âqidayn (pembeli dan penjual) serta ma'qûd alayh atau
mahal al-'aqd (barang yang dijual dan harganya). Para ulama (yakni para ulama
Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah) sepakat bahwa ini semua adalah rukun dari
jual-beli. Walhasil, rukun jual-beli yang disepakati oleh para ulama ada 5 perkara,
yaitu:
1.
Penjual. Hendaknya ia pemilik sah dari barang yang dijualnya atau orang
yang mendapat izin menjual dan berakal sehat, bukan orang yang terkena
larangan mengelola harta.
2.
Pembeli. Hendaknya ia termasuk orang yang diperbolehkan menggunakan
hartanya, bukan orang boros, dan bukan pula anak kecil yang tidak mendapat
izin mengelola harta. “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang
yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu)
yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan...” (QS An-Nisa' [4]: 5).
3.
Barang yang dijual dan harganya. Hendaknya barang yang dijualbelikan
termasuk barang yang diperbolehkan, suci, dapat diserahterimakan kepada
pembelinya dan kondisinya diberitahukan kepada pembelinya, meski hanya
gambarannya saja. Sebagian ulama menambahkan, barang yang dijual harus
ada ketika terjadi transaksi (akad).
4.
Kalimat yang menunjukkan transaksi jual-beli, yakni kalimat ijab dan qabul.
Contoh: pembeli berkata, "Jualah barang itu kepadaku." Penjualnya berkata,
"Aku menjual barang ini kepadamu." Bisa juga dengan sikap mengisyaratkan
kalimat transaksi. Misalnya, pembeli berkata, "Juallah pakaian ini kepadaku."
Kemudian penjual memberikan pakaian tersebut kepadanya. Termasuk dalam
bentuk ungkapan ijab/qabul adalah dengan menggunakan tulisan. Adapun
jual-beli dengan tindakan tanpa ada ungkapan-seperti seseorang membeli
barang kemudian menyerahkan harganya; seperti jual-beli roti, koran,
perangko, dan sebagainya-maka faktanya ada dua: (a) Jika harga barang
tersebut di pasaran telah diketahui tidak ada tawar-menawar maka tindakan
tersebut menunjukkan ijab-qabul dan masuk dalam kategori jual-beli yang
oleh fuqaha dinamakan bay' al- mu'âthah; (b) Jika harga barang tersebut
memerlukan tawar-menawar kedua belah pihak maka bentuk jual-beli di atas
tidak sah. Dengan demikian, setiap ijab-qabul adalah setiap ungkapan, isyarat,
ataupun tindakan yang menunjukkan secara qath'i (tegas) adanya ijab-qabul
tanpa mengandung unsur perselisihan.
5.
Ada keridhaan di antara kedua belah pihak. Ini berdasarkan sabda Rasul saw.:
“Jual-beli itu dianggap sah karena adanya keridhaan” (HR Ibn Hibban dan
Ibn Majah).
Terdapat persyaratan jual-beli yang dianggap sah apabila persyaratan yang
ditentukan dalam rukun jual-beli telah terpenuhi maka jual beli tersebut dianggap
sah. Sah pula hukumnya mensyaratkan adanya manfaat tertentu dalam jual-beli.
Contoh: penjual binatang ternak disyaratkan untuk mengantarkan binatang
ternaknya ke tempat tertentu, atau tinggal di rumah yang dibeli selama sebulan;
pembeli mensyaratkan bahwa kain yang akan dibelinya telah dijahit; atau pembeli
kayu bakar menyaratkan bahwa kayu yang dia beli sudah dibelah. Sebab, terdapat
riwayat bahwa Jabir ra. pernah menjual seekor unta kepada Rasul saw., lalu ia
mensyaratkan agar ia boleh menaiki unta yang telah dijualnya tersebut hingga di
tempat tujuan.
Sedangkan persyaratan jual-beli dianggap tidak sah apabila sebagai
berikut:
1.
Mengumpulkan 2 akad dalam satu transaksi jual-beli. Contoh: pembeli
mengatakan, "Saya jual budak ini kepada Anda seharga 1000 dinar, dengan
syarat, Anda harus menjual rumah Anda kepada saya seharga sekian."
Artinya, "Jika Anda menetapkan milik Anda menjadi milik saya, saya pun
akan menetapkan milik saya menjadi milik Anda." Ini berdasarkan riwayat
Ibn Abbas ra. yang menyatakan:
Nabi saw. telah melarang dua pembelian dalam satu pembelian. (HR
Ibn Hibban, at-Tirmidzi, al-Baihaqi, dan Malik). Dalam riwayat lain Ibn
Mas'ud ra. menuturkan: Rasul saw. telah melarang dua akad dalam satu akad.
(HR ath- Thabrani).
2.
Mensyaratkan sesuatu yang merusak asal hukum jual-beli. Contoh: seorang
penjual binatang ternak mensyaratkan kepada pembelinya untuk tidak
menjual kembali ternaknya atau tidak menjualnya kepada si fulan A, atau
tidak menghadiahkan kepada si fulan B; atau penjualnya mensyaratkan
kepada pembeli supaya dipinjami atau dijual kepadanya suatu barang. Ini
berdasarkan sabda Nabi saw:
Tidak halal menyatukan pinjaman dengan penjualan, menyatukan dua
syarat dalam satu akad jual-beli, dan menjual barang yang bukan milikmu.
(HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, ad-Daruqutni, dan al-Hakim).
3.
Persyaratan batil yang akadnya dianggap sah, namun syarat tersebut dianggap
batal. Contoh: penjual mensyaratkan agar tidak dirugikan saat menjual
kepada pembeli atau penjual mensyaratkan kepemilikan budak yang dijualnya
kepadanya. Persyaratan dalam kedua contoh di atas dikategorikan batal,
sedangkan jual-belinya dianggap sah. Ini berdasarkan sabda Rasul saw.:
Siapa saja yang mensyaratkan suatu syarat yang tidak terdapat dalam
Kitab Allah (al-Quran) maka persyaratannnya batil, meskipun seratus syarat.
(HR al-Bukhari, Ibn Hibban, Ibn Majah, ad-Daruqutni, an-Nasa'i).
Terdapat pula beberapa macam Jual-Beli yang dilarang oleh Rasulullah
saw, yaitu yang di dalamnya terdapat unsur penipuan, yang menjadikan pelakunya
memakan harta orang lain dengan cara yang batil; juga yang melahirkan
kedengkian, perselisihan, dan permusuhan di antara umat Islam secara khusus dan
umat manusia secara umum. Di antaranya adalah:
1.
Jual-beli barang yang belum diterima. Tidak boleh seorang Muslim membeli
barang, kemudian menjualnya, sebelum ia menerimanya dari penjual. Ini
berdasarkan Hadis Rasul saw.:
Jika kamu membeli sesuatu, janganlah kamu menjualnya sebelum kamu
menerimanya terlebih dulu. (HR Ibn Hibban).
2.
Jual-beli barang yang sudah dibeli oleh seorang Muslim. Tidak boleh seorang
Muslim membeli suatu barang yang telah dibeli oleh saudaranya sesama
Muslim. Contoh: seseorang membeli suatu barang dengan harga 5 ribu
rupiah, lalu seorang Muslim berkata kepada penjualnya, "Kembalikan uang
itu kepada pemiliknya, pasti akan saya beli barang itu dari Anda seharga 6
ribu rupiah." Ini berdasarkan Hadis Rasul saw.:
Janganlah sebagian di antara kalian membeli barang yang telah dibeli oleh
sebagian orang Islam lainnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Hadis ini berisi larangan yang tegas bahwa seseorang tidak boleh membeli
barang yang sudah dibeli saudaranya.
3.
Jual beli dengan sistem najasy. Tidak boleh seorang Muslim menawar suatu
barang tanpa bermaksud untuk membelinya, tetapi dimaksudkan supaya para
pembeli tertarik untuk ikut membeli dan menawar dengan harga yang lebih
tinggi; baik itu merupakan hasil persengkongkolan dengan sahabatnya atau
tidak. Ini berdasarkan riwayat dari Ibn Umar ra.:
Rasul saw. telah melarang jual-beli dengan sistem najasy. (HR al-Bukhari).
4.
Jual-beli barang haram dan barang najis. Tidak boleh seorang Muslim
menjual barang haram dan barang najis serta barang yang membawa pada
sesuatu yang diharamkan. Contoh: tidak boleh memperjualbelikan minuman
keras, daging babi, bangkai, narkoba, atau anggur kepada seseorang untuk
dijadikan minuman keras; atau memperjualbelikan patung dan barang yang
haram dibuat seperti gambar bernyawa yang dilukis oleh tangan (seperti
manusia dan hewan). Ini berdasarkan Hadis Rasul saw.:
Sesungguhnya Allah Swt. dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual
minuman keras, bangkai, daging babi, dan patung berhala. (HR al-Bukhari
dan Muslim).
5.
Jual-beli yang di dalamnya terdapat unsur penipuan. Contoh: menjual ikan
yang masih berada di kolam, bulu domba yang masih melekat di punggung
domba, menjual janin binatang yang masih ada dalam perut induknya,
menjual air susu yang masih berada dalam ambingnya; menjual buah-buahan
yang belum matang; menjual barang yang tidak boleh dilihat atau diperiksa;
menjual barang tanpa menjelaskan sifat, jenis, dan beratnya jika barangnya
tidak ada pada si penjual. Ini berdasarkan sabda Rasul saw.: Janganlah kalian
membeli ikan yang masih ada dalam air karena hal itu mengandung unsur
penipuan. (HR Ahmad dan ath-Thabrani).
Dalam riwayat lain Ibn Umar ra. menuturkan: Rasul saw. telah
melarang untuk menjual kurma kecuali ia dapat dimakan, atau bulu domba
yang masih melekat di punggung domba, atau air susu yang masih berada
dalam kambingnya, atau samin (mentega) yang masih berupa air susu. (HR
al-Baihaqi dan ad-Daruqutni). Dalam riwayat yang lain lagi juga disebutkan:
Rasul saw. telah melarang menjual buah-buahan sehingga matang. (HR alBukhari dan Muslim).
Para ulama sepakat untuk melarang jual-beli barang yang tidak ada. Ini
adalah syarat in'iqâd menurut para ulama Hanafiyah. Termasuk jual-beli
barang yang tidak ada adalah menjual buah yang belum matang seperti di
singgung dalam hadis di atas.
6.
Jual-beli dua barang dalam satu transaksi. Tidak boleh seorang Muslim
melakukan jual-beli dua barang dalam satu transaksi. Sebab, di dalamnya
mengandung unsur kesamaran yang dapat menyakiti atau merugikan orang
lain dan memakan hartanya dengan cara yang tidak benar. Contoh: seseorang
berkata, "Aku menjual rumah ini kepada Anda dengan harga sekian, dengan
syarat, Anda harus menjualnya kembali kepada saya dengan harga sekian."
Ini berdasarkan riwayat bahwa Rasul saw. telah melarang menjual dua barang
dalam satu akad. (HR Ahmad dan at-Tirmidzi).
7.
Jual-beli barang yang tidak dimiliki atau belum sempurna kepemilikannya;
termasuk dalam hal ini adalah barang yang tidak bisa diserahkan. Adapun
barang yang tidak disyaratkan sempurna kepemilikannya adalah barang yang
tidak ditimbang, ditakar, dan dihitung seperti rumah, dll. Contoh: seorang
pedagang kecil menawarkan barang yang tidak dia miliki kepada pembeli.
Ketika pembeli tersebut menyepakati harganya, lalu penjual tersebut pergi ke
pembeli lain untuk membeli barang yang dibeli tersebut, maka hukumnya
haram; demikian pula orang yang mengimpor barang dari negara lain dan
melakukan penjualan barang tersebut sebelum tiba di negerinya. Walhasil,
tidak boleh seorang Muslim menjual barang yang tidak ada padanya atau
yang belum dimilikinya, karena hal itu dapat menyakitkan pembeli ketika
barang yang dibelinya ternyata tidak ada. Ini berdasarkan riwayat dari Rasul
saw.: Janganlah kamu menjual suatu barang yang tidak ada padamu. (HR Abu
Dawud, an-Nasa'i, Ibn Majah, dan at-Tirmidzi). Dalam riwayat lain
disebutkan, bahwa Rasul saw. telah melarang menjual suatu barang sebelum
ia menerimanya. (HR al-Bukhari).
8.
Jual-beli dengan sistem 'Aynah. Tidak boleh seorang Muslim menjual suatu
barang hingga batas waktu tertentu, kemudian ia membeli lagi barang tersebut
dari sang pembeli dengan harga yang lebih murah ketika dibeli secara kredit.
Dalam fiqh muamalah terdapat beberapa bentuk transaksi jual beli,
Wahbah al-Zuhayli membagi transaksi jual beli dari sudut tukar menukar barang
menjadi 5 jenis yaitu:
1.
Akad Musawamah: akad jual beli secara tawar menawar tanpa mengetahui
harga pembelian pertama;
2.
Akad Murabahah: transaksi jual beli dengan harga pembelian pertama
ditambah keuntungan sesuai kesepakatan;
3.
Akad Tawliyyah: transaksi jual beli dengan harga pembelian pertama tanpa
ditambah keuntungan;
4.
Akad Isytirak: transaksi seperti tawliyyah tetapi yang dijual hanya sebagian
barang dengan sebagian harganya;
5.
Akad Wadhiyyah: transaksi jual beli dengan harga pembelian pertama
dikurangi dengan jumlah tertentu.
Transaksi jual – beli dapat dikategorikan sebagai Natural Certainty
Contracts, merupakan kontrak/akad dalam bisnis yang memberikan kepastian
pembayaran, baik dari segi jumlah maupun waktunya. Cash flow-nya bisa
diprediksi dengan relatif pasti, karena sudah disepakati oleh kedua belah pihak
yang bertransaksi di awal akad. Kontrak-kontrak ini secara menawarkan return
yang tetap dan pasti. Yang termasuk dalam Natural Certainty Contracts adalah:
1.
Bai’ naqdan adalah jual beli biasa yang dilakukan secara tunai. Dalam
jual beli ini bahwa baik uang maupun barang diserahkan di muka pada saat
yang bersamaan, yakni di awal transaksi (tunai).
2.
Bai’ muajjal adalah jual beli dengan cara cicilan. Pada jenis ini barang
diserahkan di awal periode, sedangkan uang dapat diserahkan pada periode
selanjutnya. Pembayaran ini dapat dilakukan secara cicilan selama periode
hutang, atau dapat juga dilakukan secara sekaligus di akhir periode.
3.
Murabahah adalah jual beli dimana besarnya keuntungan secara terbuka
dapat diketahui oleh penjual dan pembeli.
4.
Salam adalah akad jual beli barang dengan cara pemesanan dan
pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu.
5.
Istisna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang
tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara
pemesan (Pembeli, Mustashni’) dan penjual (Pembuat, shani’).
Sedangkan 3 (tiga) akad terakhir (Murabahah, Salam, dan Isthisna)
merupakan akad tijarah dimana bertujuan untuk keuntungan (profit oriented).
2.3. Hukum Jual-Beli Secara Kredit (Mengangsur)
Berkaitan dengan jual-beli kredit (mengangsur) ini, Syaikh an-Nabhani
menyatakan bahwa pemilik barang berhak menjual barang yang dimilikinya
sesuai dengan harga yang diinginkannya atau tidak menjual barangnya pada harga
yang tidak ia inginkan. Oleh karena itu, ia berhak menjual barangnya dengan dua
harga: apakah dengan harga tunai atau dengan harga kredit yang dibayar sekaligus
pada waktu yang disepakati ataupun dengan cara diangsur. Demikian pula
pembeli, ia berhak menawar harga di antara kedua bentuk tersebut, apakah secara
tunai atau secara kredit. Pendapat ini didasarkan pada hadis Rasulullah saw. (yang
artinya): Sesungguhnya jual beli itu berdasarkan kerelaan. (HR Ahmad dan Ibnu
Majah).
Namun, setelah salah satu harga disepakati, maka harga yang berlaku
hanya satu. Sebagai contoh, jika seorang pembeli mengatakan, "Saya menjual
barang ini dengan harga Rp 50.000 secara tunai dan Rp. 60.000 secara kredit."
Lalu pembeli mengatakan, "Saya memilih harga tunai," atau, "Saya menerima
harga kredit." Jual-beli semacam ini sah.
Menurut Syaikh an-Nabhani, tidak ada larangan menjual dengan dua
harga terhadap satu barang. Sebab, kebolehan jual-beli sebagaimana yang
ditunjukkan al-Quran (QS al-Baqarah [2]: 257) datang dalam bentuk yang umum.
Artinya, seluruh bentuk jual-beli halal kecuali jika terdapat pengecualian, seperti
larangan jual-beli gharar (penipuan). Beliau juga mengutip perkataan sejumlah
fuqaha seperti Thawus, al-Hakam, dan Hammad yang berkata, "Tidak mengapa
seseorang berkata, 'Saya menjual kepadamu dengan tunai sekian dan dengan
kredit (nasi'ah) sekian'. Jual-beli seperti ini tidak termasuk ke dalam larangan jualbeli dua akad dalam satu akad. Sebab, akadnya tetap satu, hanya penawaran
harganya yang berbeda, antara tunai dan kredit, dan pembeli juga hanya diberikan
pilihan satu, apakah membayar secara tunai atau secara kredit.
Yang terlarang dalam jual-beli kredit adalah ketika pembeli diharuskan
menambah harga pada saat ada keterlambatan pembayaran dari waktu yang telah
ditentukan (yang dalam masyarakat kita sering disebut dengan 'denda
keterlambatan'). Demikian juga jika si pembeli meminta penundaan pembayaran
dan penjual merestuinya, dengan catatan, ia harus menambah harganya. Bentuk
inilah yang dilarang dalam Islam karena dapat terkategori ke dalam riba nâsi'ah
yang secara tegas telah diharamkan dalam Islam.
Hakikat riba nâsi'ah adalah ketika seseorang memiliki utang kepada orang
lain hingga batas waktu tertentu lalu ketika jatuh tempo, orang itu berkata,
"Apakah kamu akan membayarnya atau akan menambahi utangmu." Jika ia tidak
mampu membayarnya, niscaya utangnya akan ditambah dan ditangguhkan hingga
batas waktu yang telah ditentukan. Dengan begitu, jumlah utangnya akan terus
bertambah seiring dengan penambahan batas waktu pembayarannya. Jika hal ini
terjadi maka harga yang berlaku adalah harga yang pertama karena selebihnya
adalah riba.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Jual-Beli/Ba’I al-Murabahah
3.1.1. Definisi Jual-Beli Murabahah
Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu ( )الررببححyang
berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan). Sedangkan dalam definisi para
ulama terdahulu adalah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang
disepakati. Hakekatnya adalah menjual barang dengan harga (modal) nya yang
diketahui kedua belah transaktor (penjual dan pembeli) dengan keuntungan yang
diketahui keduanya.
Misalnya
pedagang
eceran
membeli
handphone
dengan
harga
Rp.3.000.000,- kemudian ia menambahkan keuntungan sebesar Rp.500.000,- , ia
menjual kepada pembeli dengan harga Rp.3.500.000,-. Pada umumnya Pedagang
eceran tidak akan memesan dari grosir sebelum ada pesanan dari calon pembeli
dan mereka sudah menyepakati tentang lama pembiayaan, besar keuntungan yang
akan diambil pedagang eceran, serta besarnya angsuran kalau memang akan
dibayar secara angsuran.
Dalam bai' al murabahah, penjual harus memberitahu harga produk yang
dia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.
Murabahah dapat dilakukan untuk pembelian dengan sistem pemesanan. Dalam
al-Umm, Imam Syafi’i menamai transaksi ini dengan istilah al-amir bi al-syira.
Dalam hal ini calon pembeli atau pemesan dapan memesan kepada sesorang
(sebut saja pembeli) untuk
membelikan suatu barang tertentu yang
diinginkannya. Kedua belah pihak membuat kesepakatan mengenai barang
tersebut serta kemungkinan harga asal pembelian yang masih sanggup ditanggung
pemesan. Setelah itu, kedua belah pihak juga harus menyepakati beberapa
keuntungan atau tambahan yang harus dibayar pemesan. Jual beli kedua belah
pihak dilakukan setelah barang tersebut beada di tangan pemesan. Ba’I almurabahah dapat dilakukan untuk pembelian secara lang sung atau melalui
pemesanan atau biasa disebut Murabahah Kepada Pemesan Pembelian (KKP).
Dalam akad murabahah, apabila bank syariah mendapat diskon pembelian
dari pemasok, harga perolehan/pembelian adalah harga setelah didiskon. Diskon
adalah hak nasabah. Namun, bila diskon dari pemasok diberikan setelah akad
murabahah, pembagian diskon antara bank syariah dengan nasabah didasarkan
pada ketentuan-ketentuan yang sudah tercantum pada akad.
Jika
nasabah
dalam
transaksi
murabahah
melakukan
pelunasan
pembayaran tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang disepakati, bank syariah
boleh memberikan potongan dari kewajiban pembayaran tersebut, dengan syarat
tidak diperjanjikan dalam akad, yang besarnya diserahkan pada kebijakan dan
pertimbangan bank syariah
3.1.2. Dasar Hukum/Landasan Syariah
a.
Al-Qur’an
QS. Al-Baqarah [2] : 275
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
b.
Hadits Riwayat Ibn Majah
Dari Suhaib al-Rumi r.a, bahwa Rasulullah Saw, bersabda : “Tiga hal yang
didalamnya terdapat keberkatan : jual beli secara tangguh, muqaradhan
(mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan
rumah, bukan untuk dijual” (HR. Ibn Majah)
3.1.3.
Syarat-syarat Ba’i Al-Murabahah:
a.
Bank Islam memberitahu biaya modal kepada nasabah.
b.
Kontrak pertama harus sah.
c.
Kontrak harus bebas dari riba.
d.
Bank Islam harus menjelaskan setiap cacat yang terjadi sesudah pembelian
dan harus membuka semua hal yang berhubungan dengan cacat.
e.
Bank Islam harus membuka semua ukuran yang berlaku bagi harga
pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
f.
Jika syarat dalam 1, 4 atau 5 tidak dipenuhi, pembeli memiliki pilihan:
1.
melanjutkan pembelian seperti apa adanya.
2.
kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan.
3.
membatalkan kontrak.
3.1.4 Ketentuan umum murabahah dalam bank syariah
a.
Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba
b.
Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah Islam
c.
Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah
disepakati kualifikasinya.
d.
Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan
pembelian ini harus sah dan bebas riba.
e.
Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian,
misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
f.
Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan
harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus
memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya
yang diperlukan.
g.
Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada
jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
h.
Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut,
pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
i.
Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari
pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara
prinsip menjadi milik bank.
3.1.5 Gambaran umum Murabahah secara teknis adalah sebagai berikut adalah:
1.
Bank melaksanakan realisai permintaan orang yang bertransaksi dengannya
dengan dasar pihak pertama (Bank) membeli yang diminta pihak kedua
(nasabah) dengan dana yang dibayarkan bank –secara penuh atau sebagiandan itu dibarengi dengan keterikatan pemohon untuk membeli yang ia pesan
tersebut dengan keuntungan yang disepakati didepan (diawal transaksi).
2.
Lembaga keuangan bersepakat dengan nasabah agar lembaga keuangan
melakukan pembelian barang baik yang bergerak (dapat dipindah) atau tidak.
Kemudian nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut
setelah itu dan lembaga keuangan itupun terikat untuk menjualnya
kepadanya. Hal itu dengan harga didepan atau dibelakang dan ditentukan
nisbat tambahan (profit) padanya atas harga pembeliaun dimuka.
3.
Orang yang ingin membeli barang mengajukan permohonan kepada lembaga
keuangan, karena ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar kontan
nilai barang tersebut dan karena penjual (pemilik barang) tidak menjualnya
secara tempo. Kemudian lembaga keuangan membelinya dengan kontan dan
menjualnya kepada nasabah (pemohon) dengan tempo yang lebih tinggi.
4.
Pelaku Murabahah dapat terdiri dari 3 (tiga) pihak yaitu: penjual, pembeli dan
bank dengan tinjauan sebagai pedagang perantara antara penjual pertama
(pemilik barang) dan pembeli. Bank tidak membeli barang tersebut disini
kecuali setelah pembeli menentukan keinginannya dan adanya janji memberi
dimuka.
Dari definisi diatas dan praktek yang ada di lingkungan lembaga keuangan syariat
didunia dapat disimpulkan ada tiga bentuk:
1. Pelaksanaan janji yang mengikat dengan kesepakatan antara dua pihak sebelum
lembaga keuangan menerima barang dan menjadi miliknya dengan
menyebutkan nilai keuntungannya dimuka. Hal itu dengan datangnya nasabah
kepada lembaga keuangan memohon darinya untuk membeli barang tertentu
dengan sifat tertentu. Keduanya bersepakat dengan ketentuan lembaga
keuangan terikat untuk membelikan barang dan nasabah terikat untuk
membelinya dari lembaga keuangan tersebut. Lembaga keuangan terikat harus
menjualnya kepada nasabah dengan nilai harga yang telah disepakati keduanya
baik nilai ukuran, tempo dan keuntungannya.
2. Pelaksanaan janji (al-Muwaa’adah) tidak mengikat pada kedua belah pihak.
Hal itu dengan ketentuan nasabah yang ingin membeli barang tertentu, lalu
pergi ke lembaga keuangan dan terjadi antara keduanya perjanjian dari nasabah
untuk membeli dan dari lembaga keuangan untuk membelinya. Janji ini tidak
dianggap kesepakatan sebagaimana juga janji tersebut tidak mengikat pada
kedua belah pihak. Bentuk gambaran ini bisa dibagi dalam dua keadaan:
a. Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan
dimuka.
b. Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai
keuntungan yang akan diberikannya.
3.
Pelaksanaan janji mengikat lembaga keuangan tanpa nasabah. Inilah yang
diamalkan di bank Faishol al-Islami di Sudan. Hal itu dengan ketentuan akad
transaksi mengikat bank dan tidak mengikat nasabah sehingga nasabah
memiliki
hak
Khiyar
(memilih)
apabila
melihat
barangnya
untuk
menyempurnakan transaksi atau menggagalkannya.
3.1.6. Langkah proses Murabahah KPP bentuk ini
Mu’amalah jual beli murabahah KPP melalui beberapa langkah tahapan,
diantara yang terpenting adalah:
1. Pengajuan permohonan nasabah untuk pembiayaan pembelian barang.
a.
Penentuan pihak yang berjanji untuk membeli barang yang diinginkan
dengan sifat-sifat yang jelas.
b.
Penentuan pihak yang berjanji untuk membeli tentang lembaga tertentu
dalam pembelian barang tersebut.
2. Lembaga keuangan mempelajari formulir atau proposal yang diajukan
nasabah.
3. Lembaga keuangan mempelajari barang yang diinginkan.
4. Mengadakan kesepakatan janji pembelian barang.
a. Mengadakan perjanjian yang mengikat.
b. Membayar sejumlah jaminan untuk
menunjukkan
kesungguhan
pelaksanaan janji.
c. Penentuan nisbat keuntungan dalam masa janji.
d. Lembaga keuangan mengambil jaminan dari nasabah ada masa janji ini.
5. Lembaga keuangan mengadakan transaksi dengan penjual barang (pemilik
pertama).
6. Penyerahan dan kepemilikan barang oleh lembaga keuangan.
7. Transaksi lembaga keuangan dengan nasabah.
a.
Penentuan harga barang.
b.
Penentuan biaya pengeluaran yang memungkinkan untuk dimasukkan
kedalam harga.
e.
f.
g.
Penentuan nisbat keuntungan (profit).
Penentuan syarat-syarat pembayaran.
Penentuan jaminan-jaminan yang dituntut.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa jual beli murabahah KPP ini
terdiri dari:
1.
Ada tiga pihak yang terkait yaitu:
a.
Pemohon atau pemesan barang dan ia adalah pembeli barang dari
lembaga keuangan.
b.
Penjual barang kepada lembaga keuangan.
c.
Lembaga keuangan yang memberi barang sekaligus penjual barang
kepada pemohon atau pemesan barang.
2.
Ada dua akad transaksi yaitu:
a. Akad dari penjual barang kepada lembaga keuangan.
b. Akad dari lembaga keuangan kepada pihak yang minta dibelikan
(pemohon).
3.
Ada tiga janji yaitu:
a.
Janji dari lembaga keuangan untuk membeli barang.
b.
Janji mengikat dari lembaga keuangan untuk membali barang untuk
pemohon.
c. Janji mengikat dari pemohon (nasabah) untuk membeli barang tersebut
dari lembaga keuangan.
Dari sini jelaslah bahwa jual beli murabahah KPP ini adalah jenis akad
berganda (al-’Uquud al-Murakkabah) yang tersusun dari dua akad, tiga janji dan
ada tiga pihak. Setelah meneliti muamalah ini dan langkah prosesnya akan tampak
jelas ada padanya dua akad transaksi dalam satu akad transaksi, namun kedua
akad transaksi ini tidak sempurna prosesnya dalam satu waktu dari sisi
kesempurnaan akadnya, karena keduanya adalah dua akad yang tidak diikat oleh
satu akad. Bisa saja disimpulkan bahwa dua akad tersebut saling terkait dengan
satu sebab yaitu janji yang mengikat dari kedua belah pihak yaitu lembaga
keuangan dengan nasabahnya.
Berdasarkan hal ini maka jual beli ini menyerupai pensyaratan akad dalam
satu transaksi dari sisi yang mengikat sehingga dapat dinyatakan dengan
uangkapan: Belkan untuk saya barang dan saya akan berikan untung kamu dengan
sekian.
Hal ini karena barang pada akad pertama tidak dimiliki oleh lembaga
keuangan, namun akan dibeli dengan dasar janji mengikat untuk membelinya.
Dengan melihat kepada muamalah ini dari seluruh tahapannya dan kewajibankewajiban yang ada padanya jelaslah bahwa ini adalah Mu’amalah Murakkabah
secara umum dan juga secara khusus dalam tinjauan kewajiban yang ada dalam
muamalah ini. Berbeda dengan Murabahah yang tidak terdapat janji yang
mengikat (Ghairu al-Mulzaam) yang merupakan akad yang tidak saling terikat,
sehingga jelas hukumnya berbeda.
3.1.7 Tujuan Murabahah kepada Pemesan Pembelian (KPP)
Alasan jual beli murabahah KPP tampaknya berakar pada dua alasan berikut :
a. Mencari pengalaman
Satu pihak yang berkontrak (pemesan pembelian/Nasabah) memihak pihak lain
(pembeli) untuk membeli sebuah aset. Nasabah berjanji untuk ganti membeli aset
tersebut dan memberinya keuntungan. Nasabah memilih sistem pembelian ini
yang biasanya dilakukan secara kredit, lebih karena ingin mencari informasi
dibanding alasan kebutuhan yang mendesak terhadap aset tersebut.
b. Mencari pembiayaan.
Dalam operasi perbankan syariah, motif pemenuhan pengadaan aset dan modal
kerja merupakan alasan utama yang mendorong datang ke bank. Pada gilirannya,
pembiayaan yang diberikan akan membantu memperlancar arus kas (cash flow)
yang bersangkutan.
3.1.8. Beberapa Ketentuan umum dalam murabahah KKP,
a. Jaminan
Pada dasarnya, jaminan bukanlah satu rukun atau syarat yang mutlak dipenuhi
dalam ba’i al-murabahah, demikian juga dalam murabahah KPP. Jaminan tersebut
untuk menjaga agar pemesan/Nasabah tidak main-main dengan pesanan. Bank
sebagai penyedia pembiayaan dapat minta Nasabah suatu jaminan (rahn) untuk
dipegangnya. Dalam teknis operasionalnya, barang-barang yang dipesan dapat
menjadi salah satu jaminan yang bisa diterima untuk pembayaran utang.
b. Utang dalam murabahah KPP
Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi murabahah KPP tidak
ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan Nasabah kepada pihak ketiga
atas barang barang tersebut. Apakah nasabah menjual kembali barang tersebut
dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban menyelesaikan utangnya
kepada Bank.
c. Penundaan Pembayaran oleh Nasabah Mampu
Seorang Nasabah yang mempunyai kemampuan ekonomis dilarang menunda
penyelesaian utangnya. Bila nasabah menunda penyelesaian tersebut, Bank dapat
mengambil tindakan hukum untuk mengambil kembali uang dan mengklaim
kerugian financial yang terjadi akibat penundaan.
Rasul SAW pernah mengingatkan penghutang yang mampu tetapi lalai dalam
salah satu haditsnya,
“yang melalaikan pembayaran utang (padahal ia mampu) maka dapat dikenakan
sanksi dan dicemarkan nama baiknya (black-list)”
Jika terjadi sengketa antara Bank Syariah dengan Nasabah telah diatur melalui
Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI), suatu lembaga yang didirikan
bersama antara kejaksaan agung RI dengan MUI.
d. Jika Nasabah yang berhutang dianggap pailit dan gagal menyelesaikan
hutangnya karena benar-benar tidak mampu secara ekonomi dan bukan karena
lalai sedangkan ia mampu, nasabah harus harus mampu menunda tagihan utang
sampai menjadi sanggup kembali. Hal ini Allah menjelaskan dalam Al-Baqarah :
280, “dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, berilah tangguh sampai dia
berkelapangan”.
e. Aplikasi dalam perbankan
Murabahah KPP umumnya dapat diterapkan pada produk pembiayaan untuk
pembelian barng-barang investasi, baik domesti maupun luar negeri. Seperti
melalui letter of credit (L/C) skema ini paling banyak digunakan karena sederhana
dan tidak terlalu asing bagi yang sudah baiasa bertransaksi dengan dunia
perbankan pada umumnya.
f. Manfaat ba’i Al-Murabahah,
Sifat murabahah yang praktis menjadikan akad ini sering dipakai bank syariah dan
Nasabah. Diantara manfaatnya adalah salah satu-satunya adalah adanya
keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari bank dengan harga jual
kepada Nasabah. Selain itu, sistem ba’i murabahah juga sangat sederhana dalam
administrasinya di bank syariah.
Selain manfaat, murabahah juga mempunyai beberapa risiko, antara lain :
1.
Default atau kelalaian, Nasabah sengaja tidak membayar angsuran.
2. Fluktuasi harga komparatif. Ini dapat terjadi jika harga barang di pasar naik
setelah bank membelikannya untuk Nasabah. Bank tidak bisa mengubah
harga jual beli tersebut.
3.
Penolakan Nasabah, barang yang dikirim bisa ditolak oleh Nasabah karena
berbagai alasan, yaitu rusak dalam perjalanan sehingga Nasabah tidak mau
menerima
oleh
Karena
itu
sebaiknya
dilindungi
dengan
asuransi.
Kemungkinan lain karena barang yang diminta tidak sesuai dengan
spesifikasi yang dipesan, bila bank telah menandatangani kontrak pembelian
dengan penjual barang tersebut sudah menjadi milik Bank, dengan demikian
Bank mempunyai risiko untuk menjualnya kepada pihak lain dengan harga
yang lebih murah.
4.
Dijual, karena ba’i al-murabahah bersifat jual beli dengan hutang, maka
ketika kontrak ditandatangani, barang itu menjadi milik nasabah. Nasabah
bebas melakukan apapaun terhadap barang tersebut termasuk menjualnya.
Jika terjadi demikian, risiko untuk default akan besar.
3.2. BAI’ AS SALAM
3.2.1. Pengertian
Selain Murabahah, akad lain yang dapat digunakan dalam perbankan
syariah adalah akad Bai’ As Salam. Menurut Sayyid Sabiq 1, As Salam
diartikan juga As Salaf (pendahuluan), yaitu penjualan sesuatu dengan
kriteria tertentu (yang masih berada) dalam tanggungan dengan pembayaran
disegerakan.
Secara sederhana, Bai’ As Salam dapat diartikan pembelian barang
yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di
muka.2 Dari pengertian tersebut, diketahui bahwa terdapat syarat bahwa
pembeli harus melakukan terlebih dahulu pembayaran secara tunai di muka
(advance payment), sehingga yang biasanya menjadi obyek atas transaksi ini
adalah produk-produk hasil pertanian.
3.2.2. Landasan Syariah
Terdapat beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits yang menjadi dasar
transaksi Bai’ As Salam, yaitu:
1. Al Qur’an:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak
secara
tunai
untuk
waktu
yang
ditentukan,
hendaklah
kamu
menuliskannya…” (QS. Al Baqarah [2]: 282)
Dalam kaitan ayat tersebut, Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat
tersebut dengan transaksi Bai’ As Salam. Hal ini tampak jelas dari
ungkapan Beliau, “Saya bersaksi bahwa salaf (salam) yang dijamin untuk
jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan
diizinkan-Nya.” Ia lalu membaca ayat tersebut di atas.
2. Al Hadits
“Rasulullah saw. datang ke Madinah dimana penduduknya melakukan
salaf (salam) dalam buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua, dan
tiga tahun. Beliau berkata, ‘Barang siapa yang melakukan salaf
(salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan
1
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah: Jilid 12. Kuala Lumpur: Victory Agencie, 2001.
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press,
2001. Cet. Ke-9. Hal. 108.
2
timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui.’”
(HR. Bukhari dan Muslim)
“Dari Shuhaib ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Tiga hal yang di
dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah
(mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk
keperluan rumah, bukan untuk dijual.’” (HR. Ibnu Majah)
3.2.3. Rukun Bai’ As Salam
Dalam pelaksanaannya,menurut Syafi’I Antonio yang mengutip dari
Wahbah Az Zuhaily3, terdapat beberapa Rukun yang harus dipenuhi ketika
akan melakukan transaksi Bai’ As Salam, di antaranya:
1.
2.
3.
4.
Pembeli (Muslam),
Penjual (Muslam ‘Alaih)
Modal
Barang atau obyek transaksi (Muslam Fiihi)
5. Ucapan (Sighat)
3.2.4. Syarat Bai’ As Salam
Selain Rukun juga terdapat Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam
transaksi dengan menggunakan Bai’ As Salam, yaitu:
1. Syarat bagi Modal Transaksi
a. Modal harus diketahui
Barang yang akan ditawarkan harus diketahui jenis, kualitas dan
jumlahnya. Hukum awal mengenai pembayaran adalah bahwa ia harus
dalam bentuk uang tunai.
b. Penerimaan pembayaran Salam
Jumhur ulama mengharuskan pembayaran Salam dilakukan pada saat
transaksi awal. Hal tersebut dimaksudkan agar pembayaran yang
diberikan oleh Pembeli tidak dijadikan sebagai utang Penjual. Lebih
khusus lagi, pembayaran Salam tidak dapat dalam bentuk pembebasan
utang yang harus dibayar Penjual. Hal ini dalam rangka mencegah
praktik Riba melalui mekanisme Salam.
3
Ibid. Hal. 109
2. Syarat bagi Obyek Transaksi
Beberapa syarat bagi Obyek Transaksi As Salam adalah:
i.
Harus spesifik dan dapat diakui sebagai utang.
ii.
Harus dapat diidentifikasikan secara jelas untuk mengurangi
kesalahan akibat kurangnya pengetahuan tentang macam barang
tersebut (misalnya, beras atau kain), tentang klasifikasi kualitas
(misalnya, KW 1, KW 2 atau ex-export), serta mengenai jumlahnya.
iii.
Penyerahan barang dilakukan di kemudian hari.
iv.
Sebagian besar ulama mensyaratkan penyerahan barang harus
ditunda pada suatu waktu kemudian, namun mazhab Syafi’i
membolehkan penyerahan segera.
v.
Bolehnya menentukan tanggal waktu penyerahan di masa yang akan
datang.
vi.
Tempat penyerahan harus ditentukan oleh Penjual dan Pembeli
berdasarkan kesepakatan.
vii.
Jumhur ulama melarang penggantian Obyek Transaksi dengan
barang lainnya karena meskipun belum diserahkan, barang tersebut
bukanlah milik Penjual melainkan telah menjadi milik Pembeli.
Kecuali, bila diganti dengan barang yang memiliki spesifikasi dan
kualitas yang sama, meskipun sumbernya berbeda, para ulama
membolehkan. Hal demikian tidak dianggap sebagai jual beli,
melainkan penyerahan unit yang lain untuk barang yang sama.
3.2.5. Landasan Hukum Negara
Seperti produk perbankan syariah lainnya, Bai’ As Salam telah
mendapat peraturan secara intrinsik dalam Undang-undang (UU) Nomor 10
tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, yakni pada ketentuan umum tentang Prinsip Syariah. Sedangkan
dalam tataran teknis diatur dalam ketentuan Pasal 36 huruf b poin ketiga
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum
yang Melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarkan Prinsip Syariah, yang
intinya menyatakan bahwa bank wajib menerapkan prinsip syariah dan
prinsip kehati-hatian dalam kegiatan usahanya yang meliputi penyaluran dana
melalui prinsip jual beli berdasarkan akad Salam.
Di samping itu, Salam juga telah diatur dalam Fatwa Dewan Syariah
Nasional (DSN) Nomor 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam.
Adapun ketentuan tentang jual beli Salam adalah sebagai berikut:
a. Ketentuan tentang Pembayaran
i. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang,
barang atau manfaat.
ii. Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati.
iii. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
b. Ketentuan tentang Barang
Barang yang menjadi obyek Salam hatus memenuhi persyaratan sebagai
berikut, yaitu:
i.
Jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang,
ii.
Harus dapat dijelaskan spesifikasinya,
iii.
Penyerahannya dilakukan kemudian,
iv.
Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan
kesepakatan,
v.
vi.
Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya, dan
Tidak boleh menukar barang kecuali dengan barang sejenis sesuai
kesepakatan.
c. Ketentuan tentang Salam Paralel
i. Akad kedua terpisah dari akad pertama, dan
ii. Akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah.
d. Penyerahan Barang sebelum atau pada waktunya
i. Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan
kualitas dan jumlah yang telah disepakati,
ii. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang tinggi,
Penjual tidak boleh meminta tambahan harga,
iii. Jika Penjual menyerahkan barang dengan kualitas
yang lebih
rendah, dan Pembeli rela menerimanya, maka Pembeli tidak boleh
menuntut pengurangan harga (diskon),
iv. Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang
disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan
kesepakatan, dan Penjual tidak boleh menuntut tambahan harga,
v. Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu
penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan Pembeli tidak rela
menerimanya,
maka
Pembeli
memiliki
dua
pilihan,
yaitu:
Membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya atau menunggu
sampai barang tersedia,
vi. Pada dasarnya, pembatalan kontrak Salam boleh dilakukan, selama
tidak merugikan kedua belah pihak,
vii. Jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka
persoalannya diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
3.2.6. Bai As Salam Paralel
Apabila terdapat dua ransaksi Bai’ As Salam antara bank dan nasabah,
dan antara bank dan pemasok (supplier) atau pihak ketiga lainnya secara
simultan, maka menurut Syafi’i Antonio, yang mengutip Accounting and
Auditing Organization for Islamic Financial Institution (AAOIFI), merupakan
Salam Paralel.4
Beberapa ulama kontemporer, termasuk Majelis Ulama Indonesia
(MUI) melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS), membolehkan adanya
praktek Salam Paralel, namun memberi catatan bahwa apabila perdagangan
dan transaksi tersebut dilakukan secara terus-menerus diduga akan menjurus
kepada Riba.
3.2.7. Perbedaan dengan Ijon
Sebagian orang menyamakan antara Bai’ As Salam dengan praktek
Ijon, padahal terdapat hal yang sangat mendasar yang menjadi perbedaan di
antara keduanya, yaitu:
4
Ibid. Hal. 110.
1. Dalam praktek Ijon tidak ditentukan secara spesifik dan jelas atas barang
yang diperjualbelikan, tidak juga dilakukan pengukuran terhadap barang
tersebut. Sedangkan dalam Bai’ As Salam dijelaskan spesifikasi baik dari
ukuran dan jumlah serta jangka waktu seperti dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas di atas.
2. Dalam praktek Ijon, besarnya harganya sangat bergantung kepada
Pembeli dimana terkadang Penjual tidak memiliki hak dalam
menentukan. Dalam Bai’ As Salam, dituntut adanya keridhoan dari
seluruh pihak. Hal ini sesuai dengan prinsip muamalah dalam syari’ah,
yaitu ‘An taraadhim minkum (suka sama suka).
Untuk memastikan praktek Bai’ As Salam secara benar, maka diperlukan
peran pemerintah dalam melakukan fungsi pengawasan dan penegakkan
hukum.
3.2.8. Aplikasi dalam Perbankan Syariah
Pada prinsipnya, Bai’ As Salam sangat cocok untuk digunakan dalam
pembiayaan kepada petani dengan jangka waktu yang relative pendek, yaitu
2-6 bulan. Karena yang diperjual-belikan adalah hasil produk pertanian,
seperti padi, jagung, buah-buahan dan sayur-sayuran, dimana bank syariah
tidak akan melakukan persediaan (inventory), maka dilakukanlah transaksi
kedua antara Bank Syariah dengan Bulog atau pedagang pasar induk.
Disinilah kemudian timbul transaksi Salam Paralel.
Bai’ As Salam juga dapat dipraktekkan pada pembiayaan pelaku industri,
seperti produk garmen dimana bank memberikan pembiayaan pada saat
penandatanganan kontrak untuk kemudian bank mencarikan pembeli bagi
produk garmen tersebut yang kemudian menimbulkan Salam Paralel.
Sayangnya, dalam perkembangan Bank Syariah di Indonesia saat ini,
Bai’ As Salam menjadi produk yang tidak terlalu diminati karena adanya
risiko yang cukup besar yang akan dihadapi oleh Bank Syariah. Orientasi
perbankan syariah di Indonesia saat ini yang masih mengedepankan besarnya
laba bagi perusahaan menjadi kendalanya, sehingga bank lebih cenderung
memilih pembiayaan pada sektor bisnis yang relatif aman. Di sisi lain,
banyaknya Debitur yang tidak amanah pada saat telah diberikan pembiayaan
Bai’ As Salam, seperti tidak mengerjakan dengan profesional dan serius atas
pertanian atau industri yang telah dibiayai sehingga diperoleh hasil yang tidak
sesuai atau ketidaktepatan dalam waktu penyerahan, menjadi kendala lainnya.
3.2.9. Skim Bai’ As Salam
Gambar berikut akan menunjukkan Skim dari Bai’ As Salam:
Gambar I.1. Skim Bai’ As Salam
3.3. BAI’ AL ISTISHNA
3.3.1. Pengertian
Dalam fatwa DSN-MUI yang dikutip oleh Adiwarman Karim, yang
dimaksud Bai’ Al Istishna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan
pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang
disepakati antara Pemesan (Pembeli, Mustashni’) dan Penjual (Pembuat,
Shani’).5 Persyaratan yang disepakati di dalamnya termasuk sistem
pembayaran, apakah dibayar di muka, melalui cicilan atau ditangguhkan
sampai waktu saat barang yang dipesan selesai dibuat.
5
Karim, Adiwarman Azwar. Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2006. Cet. Ke-3. Hal
AKAD JUAL BELI
Oleh :
Annisaa Prima Astuti
NPM.120.633.9254
Mata Kuliah :
USHUL FIQIH DAN FIQIH MUAMALAH
Dosen:
Dra. MUNIFAH SYARWANI, M Si
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI KAJIAN TIMUR TENGAH DAN ISLAM
JAKARTA
2013
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................. ……..i
DAFTAR ISI ......................................... .......................................... ii
BAB I.
PENDAHULUAN .................................................................................…1
BAB II. LANDASAN TEORI................................................................................ 2
2.1. Definisi Akad Jual Beli........................................................................... 2
2.2. Hukum, Rukun dan Syarat Jual Beli....................................................... 2
2.3. Hukum Jual Beli Secara Kredit (Mengangsur)........................................ 9
BAB III. PEMBAHASAN ................................................................................ 11
NPM:1206339254
Universitas Indonesia
ii
3.1. Murabahah ....................................................... ............................... .....…..11
3.1.1.Definisi Jual-Beli Murabahah…………………...…………...…....….11
3.1.2. Dasar Hukum/Landasan Syariah……………………………………..12
3.1.3 Syarat-syarat Ba’i Al-Murabahah………………………………….. 12
3.1.4 Ketentuan umum murabahah dalam bank syariah……………...……13
3.1.5 Gambaran umum Murabahah secara teknis……………………..…..13
3.1.6. Langkah proses Murabahah KPP ………………………..……...…...15
3.1.7. Tujuan Murabahah kepada Pemesan Pembelian (KPP)………...……17
3.1.8. Beberapa Ketentuan umum dalam murabahah KKP…………..…….17
3.2 . Bai’ As Salam………………………………………………………......…..20
3.2.1. Pengertian………………………………………………………..….20
3.2.2. Landasan Syariah……………………………………………………20
3.2.3. Rukun Bai’ As Salam………………………………………………..21
3.2.4. Syarat Bai’ As Salam………………………………………………..21
3.2.5. Landasan Hukum Negara……………………………………......…..23
3.2.6. Bai As Salam Paralel…………………………………………....…...24
3.2.7. Perbedaan dengan Ijon………………………………………..……...25
3.2.8. Aplikasi dalam Perbankan Syariah,,……………………………...…. 25
3.2.9. Skim Bai’ As Salam…………………………………………….…....26
3.3. Bai’al Istishna………………………………………………….........….…..27
3.3.1. Pengertian……………………………………………………..…..…27
3.3.2. Landasan Syariah……………………………………………………27
3.3.3. Landasan Hukum Negara………………………………………......28
3.3.4. Bai’ Al Istishna Paralel…………………………………………..…29
3.3.5. Perbedaan Bai’ As Salam dengan Bai’ Al Istishna…………….......30
3.3.6. Aplikasi dalam Perbankan Syariah………………………………....31
3.3.7. Skim Bai’ Al Istishna……………………………………………….31
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………….32
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………....……33
NPM:1206339254
Universitas Indonesia
iii
NPM:1206339254
Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
Krisis moneter yang menerjang Indonesia pada tahun 1998 dan 2008 telah
menghancurkan sektor perbankan nasional. Beberapa bank yang tidak mampu
bertahan segera dilikuidasi. Kondisi saat itu benar-benar memperlihatkan
lemahnya sistem perbankan nasional. Namun, tidak semua mengalami ‘gangguan’
akibat krisis moneter di Indonesia. Bank Syariah yang tidak menggunakan sistem
riba dalam pengelolaannya, ternyata tidak terpengaruh oleh krisis moneter. Sejak
saat itu, perhatian pelaku bisnis perbankan tertuju kepada sistem perbankan
syariah. Bank syariah dianggap sebagai alternatif dalam perbankan nasional
dengan skim-skim bebas ribanya.
Di antara beberapa skim yang diterapkan oleh bank syariah adalah skim
bagi hasil dan skim jual beli yang tidak berdasarkan pada bunga (interest)
sehingga tidak terkena dampak krisis moneter. Skim bagi hasil di antaranya
dengan skim mudharabah dan musyarakah. Sedangkan skim jual beli yang
diterapkan secara populer di Indonesia adalah skim murabahah, bai’ as salam dan
bai’ al istishna.
Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan skim jual beli? Skim jual beli
apakah yang diterapkan di perbankan syariah? Bagaimana penerapannya?
Kendala apa saja yang dihadapi oleh bank syariah dalam menerapkan skim jual
beli? Makalah ini akan mencoba menjawab beberapa pertanyaan tersebut dengan
merujuk kepada kepustakaan yang ada.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Definisi Jual Beli
Pengertian Jual-Beli Al-Bay'[u] (jual) secara bahasa berarti pertukaran
(mubâdalah); lawan katanya adalah asy-syarâ' (beli). Al-Bay'[u] adalah kata
jadian (mashdar) dari kata kerja bâ'a, yaitu menukar barang dengan barang
(mubâdalah mâl bi mâl). Dengan ungkapan lain, dalam sebagian literatur, ia
berarti mempertemukan atau menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain
(muqâbalah syay'[in] bi syay[in]) atau memberi ganti dan mengambil barang
yang telah diberi ganti (daf'u iwadh wa akhdu ma 'uwwidha 'anhu).
Salah satu dari kata ini dapat digunakan untuk menyebut lainnya. Akan
tetapi, jika disebut al-bay'[u] maka segera terlintas dalam benak menurut
kebiasaan ('urf) bahwa yang dimaksud adalah menawarkan barang dagangan
(bâdzil as-sil'ah).
2.2. Hukum, Rukun dan Syarat Jual-Beli
Adapun secara terminologi (istilah), jual-beli (al-bay'[u]) berarti menukar
barang dengan barang lain untuk saling memiliki dengan adanya kerelaan dari
pihak pembeli dan penjual.
Status hukum jual-beli adalah mubah menurut al-Quran “... Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”...(QS al-Baqarah [2]: 275); dan
sebagaimana “... kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama suka di antara kalian...”QS an-Nisa' [4]: 29) dan As-Sunnah, antara lain
dalam sabda Rasul saw. berikut: “Dua orang yang berjual-beli boleh memilih
(untuk meneruskan jual-beli atau tidak) selama mereka belum berpisah” (HR alBukhari dan Muslim).
Para fuqaha berbeda pendapat tentang batasan rukun dan hal lain pada
akad; apakah ia terbatas pada sighat (kalimat transaksi, ijab dan qabul) atau
kumpulan dari sighat dan 'âqidayn (pembeli dan penjual) serta ma'qûd alayh atau
mahal al-'aqd (barang yang dijual dan harganya). Para ulama (yakni para ulama
Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah) sepakat bahwa ini semua adalah rukun dari
jual-beli. Walhasil, rukun jual-beli yang disepakati oleh para ulama ada 5 perkara,
yaitu:
1.
Penjual. Hendaknya ia pemilik sah dari barang yang dijualnya atau orang
yang mendapat izin menjual dan berakal sehat, bukan orang yang terkena
larangan mengelola harta.
2.
Pembeli. Hendaknya ia termasuk orang yang diperbolehkan menggunakan
hartanya, bukan orang boros, dan bukan pula anak kecil yang tidak mendapat
izin mengelola harta. “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang
yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu)
yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan...” (QS An-Nisa' [4]: 5).
3.
Barang yang dijual dan harganya. Hendaknya barang yang dijualbelikan
termasuk barang yang diperbolehkan, suci, dapat diserahterimakan kepada
pembelinya dan kondisinya diberitahukan kepada pembelinya, meski hanya
gambarannya saja. Sebagian ulama menambahkan, barang yang dijual harus
ada ketika terjadi transaksi (akad).
4.
Kalimat yang menunjukkan transaksi jual-beli, yakni kalimat ijab dan qabul.
Contoh: pembeli berkata, "Jualah barang itu kepadaku." Penjualnya berkata,
"Aku menjual barang ini kepadamu." Bisa juga dengan sikap mengisyaratkan
kalimat transaksi. Misalnya, pembeli berkata, "Juallah pakaian ini kepadaku."
Kemudian penjual memberikan pakaian tersebut kepadanya. Termasuk dalam
bentuk ungkapan ijab/qabul adalah dengan menggunakan tulisan. Adapun
jual-beli dengan tindakan tanpa ada ungkapan-seperti seseorang membeli
barang kemudian menyerahkan harganya; seperti jual-beli roti, koran,
perangko, dan sebagainya-maka faktanya ada dua: (a) Jika harga barang
tersebut di pasaran telah diketahui tidak ada tawar-menawar maka tindakan
tersebut menunjukkan ijab-qabul dan masuk dalam kategori jual-beli yang
oleh fuqaha dinamakan bay' al- mu'âthah; (b) Jika harga barang tersebut
memerlukan tawar-menawar kedua belah pihak maka bentuk jual-beli di atas
tidak sah. Dengan demikian, setiap ijab-qabul adalah setiap ungkapan, isyarat,
ataupun tindakan yang menunjukkan secara qath'i (tegas) adanya ijab-qabul
tanpa mengandung unsur perselisihan.
5.
Ada keridhaan di antara kedua belah pihak. Ini berdasarkan sabda Rasul saw.:
“Jual-beli itu dianggap sah karena adanya keridhaan” (HR Ibn Hibban dan
Ibn Majah).
Terdapat persyaratan jual-beli yang dianggap sah apabila persyaratan yang
ditentukan dalam rukun jual-beli telah terpenuhi maka jual beli tersebut dianggap
sah. Sah pula hukumnya mensyaratkan adanya manfaat tertentu dalam jual-beli.
Contoh: penjual binatang ternak disyaratkan untuk mengantarkan binatang
ternaknya ke tempat tertentu, atau tinggal di rumah yang dibeli selama sebulan;
pembeli mensyaratkan bahwa kain yang akan dibelinya telah dijahit; atau pembeli
kayu bakar menyaratkan bahwa kayu yang dia beli sudah dibelah. Sebab, terdapat
riwayat bahwa Jabir ra. pernah menjual seekor unta kepada Rasul saw., lalu ia
mensyaratkan agar ia boleh menaiki unta yang telah dijualnya tersebut hingga di
tempat tujuan.
Sedangkan persyaratan jual-beli dianggap tidak sah apabila sebagai
berikut:
1.
Mengumpulkan 2 akad dalam satu transaksi jual-beli. Contoh: pembeli
mengatakan, "Saya jual budak ini kepada Anda seharga 1000 dinar, dengan
syarat, Anda harus menjual rumah Anda kepada saya seharga sekian."
Artinya, "Jika Anda menetapkan milik Anda menjadi milik saya, saya pun
akan menetapkan milik saya menjadi milik Anda." Ini berdasarkan riwayat
Ibn Abbas ra. yang menyatakan:
Nabi saw. telah melarang dua pembelian dalam satu pembelian. (HR
Ibn Hibban, at-Tirmidzi, al-Baihaqi, dan Malik). Dalam riwayat lain Ibn
Mas'ud ra. menuturkan: Rasul saw. telah melarang dua akad dalam satu akad.
(HR ath- Thabrani).
2.
Mensyaratkan sesuatu yang merusak asal hukum jual-beli. Contoh: seorang
penjual binatang ternak mensyaratkan kepada pembelinya untuk tidak
menjual kembali ternaknya atau tidak menjualnya kepada si fulan A, atau
tidak menghadiahkan kepada si fulan B; atau penjualnya mensyaratkan
kepada pembeli supaya dipinjami atau dijual kepadanya suatu barang. Ini
berdasarkan sabda Nabi saw:
Tidak halal menyatukan pinjaman dengan penjualan, menyatukan dua
syarat dalam satu akad jual-beli, dan menjual barang yang bukan milikmu.
(HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, ad-Daruqutni, dan al-Hakim).
3.
Persyaratan batil yang akadnya dianggap sah, namun syarat tersebut dianggap
batal. Contoh: penjual mensyaratkan agar tidak dirugikan saat menjual
kepada pembeli atau penjual mensyaratkan kepemilikan budak yang dijualnya
kepadanya. Persyaratan dalam kedua contoh di atas dikategorikan batal,
sedangkan jual-belinya dianggap sah. Ini berdasarkan sabda Rasul saw.:
Siapa saja yang mensyaratkan suatu syarat yang tidak terdapat dalam
Kitab Allah (al-Quran) maka persyaratannnya batil, meskipun seratus syarat.
(HR al-Bukhari, Ibn Hibban, Ibn Majah, ad-Daruqutni, an-Nasa'i).
Terdapat pula beberapa macam Jual-Beli yang dilarang oleh Rasulullah
saw, yaitu yang di dalamnya terdapat unsur penipuan, yang menjadikan pelakunya
memakan harta orang lain dengan cara yang batil; juga yang melahirkan
kedengkian, perselisihan, dan permusuhan di antara umat Islam secara khusus dan
umat manusia secara umum. Di antaranya adalah:
1.
Jual-beli barang yang belum diterima. Tidak boleh seorang Muslim membeli
barang, kemudian menjualnya, sebelum ia menerimanya dari penjual. Ini
berdasarkan Hadis Rasul saw.:
Jika kamu membeli sesuatu, janganlah kamu menjualnya sebelum kamu
menerimanya terlebih dulu. (HR Ibn Hibban).
2.
Jual-beli barang yang sudah dibeli oleh seorang Muslim. Tidak boleh seorang
Muslim membeli suatu barang yang telah dibeli oleh saudaranya sesama
Muslim. Contoh: seseorang membeli suatu barang dengan harga 5 ribu
rupiah, lalu seorang Muslim berkata kepada penjualnya, "Kembalikan uang
itu kepada pemiliknya, pasti akan saya beli barang itu dari Anda seharga 6
ribu rupiah." Ini berdasarkan Hadis Rasul saw.:
Janganlah sebagian di antara kalian membeli barang yang telah dibeli oleh
sebagian orang Islam lainnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Hadis ini berisi larangan yang tegas bahwa seseorang tidak boleh membeli
barang yang sudah dibeli saudaranya.
3.
Jual beli dengan sistem najasy. Tidak boleh seorang Muslim menawar suatu
barang tanpa bermaksud untuk membelinya, tetapi dimaksudkan supaya para
pembeli tertarik untuk ikut membeli dan menawar dengan harga yang lebih
tinggi; baik itu merupakan hasil persengkongkolan dengan sahabatnya atau
tidak. Ini berdasarkan riwayat dari Ibn Umar ra.:
Rasul saw. telah melarang jual-beli dengan sistem najasy. (HR al-Bukhari).
4.
Jual-beli barang haram dan barang najis. Tidak boleh seorang Muslim
menjual barang haram dan barang najis serta barang yang membawa pada
sesuatu yang diharamkan. Contoh: tidak boleh memperjualbelikan minuman
keras, daging babi, bangkai, narkoba, atau anggur kepada seseorang untuk
dijadikan minuman keras; atau memperjualbelikan patung dan barang yang
haram dibuat seperti gambar bernyawa yang dilukis oleh tangan (seperti
manusia dan hewan). Ini berdasarkan Hadis Rasul saw.:
Sesungguhnya Allah Swt. dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual
minuman keras, bangkai, daging babi, dan patung berhala. (HR al-Bukhari
dan Muslim).
5.
Jual-beli yang di dalamnya terdapat unsur penipuan. Contoh: menjual ikan
yang masih berada di kolam, bulu domba yang masih melekat di punggung
domba, menjual janin binatang yang masih ada dalam perut induknya,
menjual air susu yang masih berada dalam ambingnya; menjual buah-buahan
yang belum matang; menjual barang yang tidak boleh dilihat atau diperiksa;
menjual barang tanpa menjelaskan sifat, jenis, dan beratnya jika barangnya
tidak ada pada si penjual. Ini berdasarkan sabda Rasul saw.: Janganlah kalian
membeli ikan yang masih ada dalam air karena hal itu mengandung unsur
penipuan. (HR Ahmad dan ath-Thabrani).
Dalam riwayat lain Ibn Umar ra. menuturkan: Rasul saw. telah
melarang untuk menjual kurma kecuali ia dapat dimakan, atau bulu domba
yang masih melekat di punggung domba, atau air susu yang masih berada
dalam kambingnya, atau samin (mentega) yang masih berupa air susu. (HR
al-Baihaqi dan ad-Daruqutni). Dalam riwayat yang lain lagi juga disebutkan:
Rasul saw. telah melarang menjual buah-buahan sehingga matang. (HR alBukhari dan Muslim).
Para ulama sepakat untuk melarang jual-beli barang yang tidak ada. Ini
adalah syarat in'iqâd menurut para ulama Hanafiyah. Termasuk jual-beli
barang yang tidak ada adalah menjual buah yang belum matang seperti di
singgung dalam hadis di atas.
6.
Jual-beli dua barang dalam satu transaksi. Tidak boleh seorang Muslim
melakukan jual-beli dua barang dalam satu transaksi. Sebab, di dalamnya
mengandung unsur kesamaran yang dapat menyakiti atau merugikan orang
lain dan memakan hartanya dengan cara yang tidak benar. Contoh: seseorang
berkata, "Aku menjual rumah ini kepada Anda dengan harga sekian, dengan
syarat, Anda harus menjualnya kembali kepada saya dengan harga sekian."
Ini berdasarkan riwayat bahwa Rasul saw. telah melarang menjual dua barang
dalam satu akad. (HR Ahmad dan at-Tirmidzi).
7.
Jual-beli barang yang tidak dimiliki atau belum sempurna kepemilikannya;
termasuk dalam hal ini adalah barang yang tidak bisa diserahkan. Adapun
barang yang tidak disyaratkan sempurna kepemilikannya adalah barang yang
tidak ditimbang, ditakar, dan dihitung seperti rumah, dll. Contoh: seorang
pedagang kecil menawarkan barang yang tidak dia miliki kepada pembeli.
Ketika pembeli tersebut menyepakati harganya, lalu penjual tersebut pergi ke
pembeli lain untuk membeli barang yang dibeli tersebut, maka hukumnya
haram; demikian pula orang yang mengimpor barang dari negara lain dan
melakukan penjualan barang tersebut sebelum tiba di negerinya. Walhasil,
tidak boleh seorang Muslim menjual barang yang tidak ada padanya atau
yang belum dimilikinya, karena hal itu dapat menyakitkan pembeli ketika
barang yang dibelinya ternyata tidak ada. Ini berdasarkan riwayat dari Rasul
saw.: Janganlah kamu menjual suatu barang yang tidak ada padamu. (HR Abu
Dawud, an-Nasa'i, Ibn Majah, dan at-Tirmidzi). Dalam riwayat lain
disebutkan, bahwa Rasul saw. telah melarang menjual suatu barang sebelum
ia menerimanya. (HR al-Bukhari).
8.
Jual-beli dengan sistem 'Aynah. Tidak boleh seorang Muslim menjual suatu
barang hingga batas waktu tertentu, kemudian ia membeli lagi barang tersebut
dari sang pembeli dengan harga yang lebih murah ketika dibeli secara kredit.
Dalam fiqh muamalah terdapat beberapa bentuk transaksi jual beli,
Wahbah al-Zuhayli membagi transaksi jual beli dari sudut tukar menukar barang
menjadi 5 jenis yaitu:
1.
Akad Musawamah: akad jual beli secara tawar menawar tanpa mengetahui
harga pembelian pertama;
2.
Akad Murabahah: transaksi jual beli dengan harga pembelian pertama
ditambah keuntungan sesuai kesepakatan;
3.
Akad Tawliyyah: transaksi jual beli dengan harga pembelian pertama tanpa
ditambah keuntungan;
4.
Akad Isytirak: transaksi seperti tawliyyah tetapi yang dijual hanya sebagian
barang dengan sebagian harganya;
5.
Akad Wadhiyyah: transaksi jual beli dengan harga pembelian pertama
dikurangi dengan jumlah tertentu.
Transaksi jual – beli dapat dikategorikan sebagai Natural Certainty
Contracts, merupakan kontrak/akad dalam bisnis yang memberikan kepastian
pembayaran, baik dari segi jumlah maupun waktunya. Cash flow-nya bisa
diprediksi dengan relatif pasti, karena sudah disepakati oleh kedua belah pihak
yang bertransaksi di awal akad. Kontrak-kontrak ini secara menawarkan return
yang tetap dan pasti. Yang termasuk dalam Natural Certainty Contracts adalah:
1.
Bai’ naqdan adalah jual beli biasa yang dilakukan secara tunai. Dalam
jual beli ini bahwa baik uang maupun barang diserahkan di muka pada saat
yang bersamaan, yakni di awal transaksi (tunai).
2.
Bai’ muajjal adalah jual beli dengan cara cicilan. Pada jenis ini barang
diserahkan di awal periode, sedangkan uang dapat diserahkan pada periode
selanjutnya. Pembayaran ini dapat dilakukan secara cicilan selama periode
hutang, atau dapat juga dilakukan secara sekaligus di akhir periode.
3.
Murabahah adalah jual beli dimana besarnya keuntungan secara terbuka
dapat diketahui oleh penjual dan pembeli.
4.
Salam adalah akad jual beli barang dengan cara pemesanan dan
pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu.
5.
Istisna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang
tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara
pemesan (Pembeli, Mustashni’) dan penjual (Pembuat, shani’).
Sedangkan 3 (tiga) akad terakhir (Murabahah, Salam, dan Isthisna)
merupakan akad tijarah dimana bertujuan untuk keuntungan (profit oriented).
2.3. Hukum Jual-Beli Secara Kredit (Mengangsur)
Berkaitan dengan jual-beli kredit (mengangsur) ini, Syaikh an-Nabhani
menyatakan bahwa pemilik barang berhak menjual barang yang dimilikinya
sesuai dengan harga yang diinginkannya atau tidak menjual barangnya pada harga
yang tidak ia inginkan. Oleh karena itu, ia berhak menjual barangnya dengan dua
harga: apakah dengan harga tunai atau dengan harga kredit yang dibayar sekaligus
pada waktu yang disepakati ataupun dengan cara diangsur. Demikian pula
pembeli, ia berhak menawar harga di antara kedua bentuk tersebut, apakah secara
tunai atau secara kredit. Pendapat ini didasarkan pada hadis Rasulullah saw. (yang
artinya): Sesungguhnya jual beli itu berdasarkan kerelaan. (HR Ahmad dan Ibnu
Majah).
Namun, setelah salah satu harga disepakati, maka harga yang berlaku
hanya satu. Sebagai contoh, jika seorang pembeli mengatakan, "Saya menjual
barang ini dengan harga Rp 50.000 secara tunai dan Rp. 60.000 secara kredit."
Lalu pembeli mengatakan, "Saya memilih harga tunai," atau, "Saya menerima
harga kredit." Jual-beli semacam ini sah.
Menurut Syaikh an-Nabhani, tidak ada larangan menjual dengan dua
harga terhadap satu barang. Sebab, kebolehan jual-beli sebagaimana yang
ditunjukkan al-Quran (QS al-Baqarah [2]: 257) datang dalam bentuk yang umum.
Artinya, seluruh bentuk jual-beli halal kecuali jika terdapat pengecualian, seperti
larangan jual-beli gharar (penipuan). Beliau juga mengutip perkataan sejumlah
fuqaha seperti Thawus, al-Hakam, dan Hammad yang berkata, "Tidak mengapa
seseorang berkata, 'Saya menjual kepadamu dengan tunai sekian dan dengan
kredit (nasi'ah) sekian'. Jual-beli seperti ini tidak termasuk ke dalam larangan jualbeli dua akad dalam satu akad. Sebab, akadnya tetap satu, hanya penawaran
harganya yang berbeda, antara tunai dan kredit, dan pembeli juga hanya diberikan
pilihan satu, apakah membayar secara tunai atau secara kredit.
Yang terlarang dalam jual-beli kredit adalah ketika pembeli diharuskan
menambah harga pada saat ada keterlambatan pembayaran dari waktu yang telah
ditentukan (yang dalam masyarakat kita sering disebut dengan 'denda
keterlambatan'). Demikian juga jika si pembeli meminta penundaan pembayaran
dan penjual merestuinya, dengan catatan, ia harus menambah harganya. Bentuk
inilah yang dilarang dalam Islam karena dapat terkategori ke dalam riba nâsi'ah
yang secara tegas telah diharamkan dalam Islam.
Hakikat riba nâsi'ah adalah ketika seseorang memiliki utang kepada orang
lain hingga batas waktu tertentu lalu ketika jatuh tempo, orang itu berkata,
"Apakah kamu akan membayarnya atau akan menambahi utangmu." Jika ia tidak
mampu membayarnya, niscaya utangnya akan ditambah dan ditangguhkan hingga
batas waktu yang telah ditentukan. Dengan begitu, jumlah utangnya akan terus
bertambah seiring dengan penambahan batas waktu pembayarannya. Jika hal ini
terjadi maka harga yang berlaku adalah harga yang pertama karena selebihnya
adalah riba.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Jual-Beli/Ba’I al-Murabahah
3.1.1. Definisi Jual-Beli Murabahah
Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu ( )الررببححyang
berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan). Sedangkan dalam definisi para
ulama terdahulu adalah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang
disepakati. Hakekatnya adalah menjual barang dengan harga (modal) nya yang
diketahui kedua belah transaktor (penjual dan pembeli) dengan keuntungan yang
diketahui keduanya.
Misalnya
pedagang
eceran
membeli
handphone
dengan
harga
Rp.3.000.000,- kemudian ia menambahkan keuntungan sebesar Rp.500.000,- , ia
menjual kepada pembeli dengan harga Rp.3.500.000,-. Pada umumnya Pedagang
eceran tidak akan memesan dari grosir sebelum ada pesanan dari calon pembeli
dan mereka sudah menyepakati tentang lama pembiayaan, besar keuntungan yang
akan diambil pedagang eceran, serta besarnya angsuran kalau memang akan
dibayar secara angsuran.
Dalam bai' al murabahah, penjual harus memberitahu harga produk yang
dia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.
Murabahah dapat dilakukan untuk pembelian dengan sistem pemesanan. Dalam
al-Umm, Imam Syafi’i menamai transaksi ini dengan istilah al-amir bi al-syira.
Dalam hal ini calon pembeli atau pemesan dapan memesan kepada sesorang
(sebut saja pembeli) untuk
membelikan suatu barang tertentu yang
diinginkannya. Kedua belah pihak membuat kesepakatan mengenai barang
tersebut serta kemungkinan harga asal pembelian yang masih sanggup ditanggung
pemesan. Setelah itu, kedua belah pihak juga harus menyepakati beberapa
keuntungan atau tambahan yang harus dibayar pemesan. Jual beli kedua belah
pihak dilakukan setelah barang tersebut beada di tangan pemesan. Ba’I almurabahah dapat dilakukan untuk pembelian secara lang sung atau melalui
pemesanan atau biasa disebut Murabahah Kepada Pemesan Pembelian (KKP).
Dalam akad murabahah, apabila bank syariah mendapat diskon pembelian
dari pemasok, harga perolehan/pembelian adalah harga setelah didiskon. Diskon
adalah hak nasabah. Namun, bila diskon dari pemasok diberikan setelah akad
murabahah, pembagian diskon antara bank syariah dengan nasabah didasarkan
pada ketentuan-ketentuan yang sudah tercantum pada akad.
Jika
nasabah
dalam
transaksi
murabahah
melakukan
pelunasan
pembayaran tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang disepakati, bank syariah
boleh memberikan potongan dari kewajiban pembayaran tersebut, dengan syarat
tidak diperjanjikan dalam akad, yang besarnya diserahkan pada kebijakan dan
pertimbangan bank syariah
3.1.2. Dasar Hukum/Landasan Syariah
a.
Al-Qur’an
QS. Al-Baqarah [2] : 275
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
b.
Hadits Riwayat Ibn Majah
Dari Suhaib al-Rumi r.a, bahwa Rasulullah Saw, bersabda : “Tiga hal yang
didalamnya terdapat keberkatan : jual beli secara tangguh, muqaradhan
(mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan
rumah, bukan untuk dijual” (HR. Ibn Majah)
3.1.3.
Syarat-syarat Ba’i Al-Murabahah:
a.
Bank Islam memberitahu biaya modal kepada nasabah.
b.
Kontrak pertama harus sah.
c.
Kontrak harus bebas dari riba.
d.
Bank Islam harus menjelaskan setiap cacat yang terjadi sesudah pembelian
dan harus membuka semua hal yang berhubungan dengan cacat.
e.
Bank Islam harus membuka semua ukuran yang berlaku bagi harga
pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
f.
Jika syarat dalam 1, 4 atau 5 tidak dipenuhi, pembeli memiliki pilihan:
1.
melanjutkan pembelian seperti apa adanya.
2.
kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan.
3.
membatalkan kontrak.
3.1.4 Ketentuan umum murabahah dalam bank syariah
a.
Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba
b.
Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah Islam
c.
Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah
disepakati kualifikasinya.
d.
Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan
pembelian ini harus sah dan bebas riba.
e.
Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian,
misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
f.
Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan
harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus
memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya
yang diperlukan.
g.
Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada
jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
h.
Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut,
pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
i.
Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari
pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara
prinsip menjadi milik bank.
3.1.5 Gambaran umum Murabahah secara teknis adalah sebagai berikut adalah:
1.
Bank melaksanakan realisai permintaan orang yang bertransaksi dengannya
dengan dasar pihak pertama (Bank) membeli yang diminta pihak kedua
(nasabah) dengan dana yang dibayarkan bank –secara penuh atau sebagiandan itu dibarengi dengan keterikatan pemohon untuk membeli yang ia pesan
tersebut dengan keuntungan yang disepakati didepan (diawal transaksi).
2.
Lembaga keuangan bersepakat dengan nasabah agar lembaga keuangan
melakukan pembelian barang baik yang bergerak (dapat dipindah) atau tidak.
Kemudian nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut
setelah itu dan lembaga keuangan itupun terikat untuk menjualnya
kepadanya. Hal itu dengan harga didepan atau dibelakang dan ditentukan
nisbat tambahan (profit) padanya atas harga pembeliaun dimuka.
3.
Orang yang ingin membeli barang mengajukan permohonan kepada lembaga
keuangan, karena ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar kontan
nilai barang tersebut dan karena penjual (pemilik barang) tidak menjualnya
secara tempo. Kemudian lembaga keuangan membelinya dengan kontan dan
menjualnya kepada nasabah (pemohon) dengan tempo yang lebih tinggi.
4.
Pelaku Murabahah dapat terdiri dari 3 (tiga) pihak yaitu: penjual, pembeli dan
bank dengan tinjauan sebagai pedagang perantara antara penjual pertama
(pemilik barang) dan pembeli. Bank tidak membeli barang tersebut disini
kecuali setelah pembeli menentukan keinginannya dan adanya janji memberi
dimuka.
Dari definisi diatas dan praktek yang ada di lingkungan lembaga keuangan syariat
didunia dapat disimpulkan ada tiga bentuk:
1. Pelaksanaan janji yang mengikat dengan kesepakatan antara dua pihak sebelum
lembaga keuangan menerima barang dan menjadi miliknya dengan
menyebutkan nilai keuntungannya dimuka. Hal itu dengan datangnya nasabah
kepada lembaga keuangan memohon darinya untuk membeli barang tertentu
dengan sifat tertentu. Keduanya bersepakat dengan ketentuan lembaga
keuangan terikat untuk membelikan barang dan nasabah terikat untuk
membelinya dari lembaga keuangan tersebut. Lembaga keuangan terikat harus
menjualnya kepada nasabah dengan nilai harga yang telah disepakati keduanya
baik nilai ukuran, tempo dan keuntungannya.
2. Pelaksanaan janji (al-Muwaa’adah) tidak mengikat pada kedua belah pihak.
Hal itu dengan ketentuan nasabah yang ingin membeli barang tertentu, lalu
pergi ke lembaga keuangan dan terjadi antara keduanya perjanjian dari nasabah
untuk membeli dan dari lembaga keuangan untuk membelinya. Janji ini tidak
dianggap kesepakatan sebagaimana juga janji tersebut tidak mengikat pada
kedua belah pihak. Bentuk gambaran ini bisa dibagi dalam dua keadaan:
a. Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan
dimuka.
b. Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai
keuntungan yang akan diberikannya.
3.
Pelaksanaan janji mengikat lembaga keuangan tanpa nasabah. Inilah yang
diamalkan di bank Faishol al-Islami di Sudan. Hal itu dengan ketentuan akad
transaksi mengikat bank dan tidak mengikat nasabah sehingga nasabah
memiliki
hak
Khiyar
(memilih)
apabila
melihat
barangnya
untuk
menyempurnakan transaksi atau menggagalkannya.
3.1.6. Langkah proses Murabahah KPP bentuk ini
Mu’amalah jual beli murabahah KPP melalui beberapa langkah tahapan,
diantara yang terpenting adalah:
1. Pengajuan permohonan nasabah untuk pembiayaan pembelian barang.
a.
Penentuan pihak yang berjanji untuk membeli barang yang diinginkan
dengan sifat-sifat yang jelas.
b.
Penentuan pihak yang berjanji untuk membeli tentang lembaga tertentu
dalam pembelian barang tersebut.
2. Lembaga keuangan mempelajari formulir atau proposal yang diajukan
nasabah.
3. Lembaga keuangan mempelajari barang yang diinginkan.
4. Mengadakan kesepakatan janji pembelian barang.
a. Mengadakan perjanjian yang mengikat.
b. Membayar sejumlah jaminan untuk
menunjukkan
kesungguhan
pelaksanaan janji.
c. Penentuan nisbat keuntungan dalam masa janji.
d. Lembaga keuangan mengambil jaminan dari nasabah ada masa janji ini.
5. Lembaga keuangan mengadakan transaksi dengan penjual barang (pemilik
pertama).
6. Penyerahan dan kepemilikan barang oleh lembaga keuangan.
7. Transaksi lembaga keuangan dengan nasabah.
a.
Penentuan harga barang.
b.
Penentuan biaya pengeluaran yang memungkinkan untuk dimasukkan
kedalam harga.
e.
f.
g.
Penentuan nisbat keuntungan (profit).
Penentuan syarat-syarat pembayaran.
Penentuan jaminan-jaminan yang dituntut.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa jual beli murabahah KPP ini
terdiri dari:
1.
Ada tiga pihak yang terkait yaitu:
a.
Pemohon atau pemesan barang dan ia adalah pembeli barang dari
lembaga keuangan.
b.
Penjual barang kepada lembaga keuangan.
c.
Lembaga keuangan yang memberi barang sekaligus penjual barang
kepada pemohon atau pemesan barang.
2.
Ada dua akad transaksi yaitu:
a. Akad dari penjual barang kepada lembaga keuangan.
b. Akad dari lembaga keuangan kepada pihak yang minta dibelikan
(pemohon).
3.
Ada tiga janji yaitu:
a.
Janji dari lembaga keuangan untuk membeli barang.
b.
Janji mengikat dari lembaga keuangan untuk membali barang untuk
pemohon.
c. Janji mengikat dari pemohon (nasabah) untuk membeli barang tersebut
dari lembaga keuangan.
Dari sini jelaslah bahwa jual beli murabahah KPP ini adalah jenis akad
berganda (al-’Uquud al-Murakkabah) yang tersusun dari dua akad, tiga janji dan
ada tiga pihak. Setelah meneliti muamalah ini dan langkah prosesnya akan tampak
jelas ada padanya dua akad transaksi dalam satu akad transaksi, namun kedua
akad transaksi ini tidak sempurna prosesnya dalam satu waktu dari sisi
kesempurnaan akadnya, karena keduanya adalah dua akad yang tidak diikat oleh
satu akad. Bisa saja disimpulkan bahwa dua akad tersebut saling terkait dengan
satu sebab yaitu janji yang mengikat dari kedua belah pihak yaitu lembaga
keuangan dengan nasabahnya.
Berdasarkan hal ini maka jual beli ini menyerupai pensyaratan akad dalam
satu transaksi dari sisi yang mengikat sehingga dapat dinyatakan dengan
uangkapan: Belkan untuk saya barang dan saya akan berikan untung kamu dengan
sekian.
Hal ini karena barang pada akad pertama tidak dimiliki oleh lembaga
keuangan, namun akan dibeli dengan dasar janji mengikat untuk membelinya.
Dengan melihat kepada muamalah ini dari seluruh tahapannya dan kewajibankewajiban yang ada padanya jelaslah bahwa ini adalah Mu’amalah Murakkabah
secara umum dan juga secara khusus dalam tinjauan kewajiban yang ada dalam
muamalah ini. Berbeda dengan Murabahah yang tidak terdapat janji yang
mengikat (Ghairu al-Mulzaam) yang merupakan akad yang tidak saling terikat,
sehingga jelas hukumnya berbeda.
3.1.7 Tujuan Murabahah kepada Pemesan Pembelian (KPP)
Alasan jual beli murabahah KPP tampaknya berakar pada dua alasan berikut :
a. Mencari pengalaman
Satu pihak yang berkontrak (pemesan pembelian/Nasabah) memihak pihak lain
(pembeli) untuk membeli sebuah aset. Nasabah berjanji untuk ganti membeli aset
tersebut dan memberinya keuntungan. Nasabah memilih sistem pembelian ini
yang biasanya dilakukan secara kredit, lebih karena ingin mencari informasi
dibanding alasan kebutuhan yang mendesak terhadap aset tersebut.
b. Mencari pembiayaan.
Dalam operasi perbankan syariah, motif pemenuhan pengadaan aset dan modal
kerja merupakan alasan utama yang mendorong datang ke bank. Pada gilirannya,
pembiayaan yang diberikan akan membantu memperlancar arus kas (cash flow)
yang bersangkutan.
3.1.8. Beberapa Ketentuan umum dalam murabahah KKP,
a. Jaminan
Pada dasarnya, jaminan bukanlah satu rukun atau syarat yang mutlak dipenuhi
dalam ba’i al-murabahah, demikian juga dalam murabahah KPP. Jaminan tersebut
untuk menjaga agar pemesan/Nasabah tidak main-main dengan pesanan. Bank
sebagai penyedia pembiayaan dapat minta Nasabah suatu jaminan (rahn) untuk
dipegangnya. Dalam teknis operasionalnya, barang-barang yang dipesan dapat
menjadi salah satu jaminan yang bisa diterima untuk pembayaran utang.
b. Utang dalam murabahah KPP
Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi murabahah KPP tidak
ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan Nasabah kepada pihak ketiga
atas barang barang tersebut. Apakah nasabah menjual kembali barang tersebut
dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban menyelesaikan utangnya
kepada Bank.
c. Penundaan Pembayaran oleh Nasabah Mampu
Seorang Nasabah yang mempunyai kemampuan ekonomis dilarang menunda
penyelesaian utangnya. Bila nasabah menunda penyelesaian tersebut, Bank dapat
mengambil tindakan hukum untuk mengambil kembali uang dan mengklaim
kerugian financial yang terjadi akibat penundaan.
Rasul SAW pernah mengingatkan penghutang yang mampu tetapi lalai dalam
salah satu haditsnya,
“yang melalaikan pembayaran utang (padahal ia mampu) maka dapat dikenakan
sanksi dan dicemarkan nama baiknya (black-list)”
Jika terjadi sengketa antara Bank Syariah dengan Nasabah telah diatur melalui
Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI), suatu lembaga yang didirikan
bersama antara kejaksaan agung RI dengan MUI.
d. Jika Nasabah yang berhutang dianggap pailit dan gagal menyelesaikan
hutangnya karena benar-benar tidak mampu secara ekonomi dan bukan karena
lalai sedangkan ia mampu, nasabah harus harus mampu menunda tagihan utang
sampai menjadi sanggup kembali. Hal ini Allah menjelaskan dalam Al-Baqarah :
280, “dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, berilah tangguh sampai dia
berkelapangan”.
e. Aplikasi dalam perbankan
Murabahah KPP umumnya dapat diterapkan pada produk pembiayaan untuk
pembelian barng-barang investasi, baik domesti maupun luar negeri. Seperti
melalui letter of credit (L/C) skema ini paling banyak digunakan karena sederhana
dan tidak terlalu asing bagi yang sudah baiasa bertransaksi dengan dunia
perbankan pada umumnya.
f. Manfaat ba’i Al-Murabahah,
Sifat murabahah yang praktis menjadikan akad ini sering dipakai bank syariah dan
Nasabah. Diantara manfaatnya adalah salah satu-satunya adalah adanya
keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari bank dengan harga jual
kepada Nasabah. Selain itu, sistem ba’i murabahah juga sangat sederhana dalam
administrasinya di bank syariah.
Selain manfaat, murabahah juga mempunyai beberapa risiko, antara lain :
1.
Default atau kelalaian, Nasabah sengaja tidak membayar angsuran.
2. Fluktuasi harga komparatif. Ini dapat terjadi jika harga barang di pasar naik
setelah bank membelikannya untuk Nasabah. Bank tidak bisa mengubah
harga jual beli tersebut.
3.
Penolakan Nasabah, barang yang dikirim bisa ditolak oleh Nasabah karena
berbagai alasan, yaitu rusak dalam perjalanan sehingga Nasabah tidak mau
menerima
oleh
Karena
itu
sebaiknya
dilindungi
dengan
asuransi.
Kemungkinan lain karena barang yang diminta tidak sesuai dengan
spesifikasi yang dipesan, bila bank telah menandatangani kontrak pembelian
dengan penjual barang tersebut sudah menjadi milik Bank, dengan demikian
Bank mempunyai risiko untuk menjualnya kepada pihak lain dengan harga
yang lebih murah.
4.
Dijual, karena ba’i al-murabahah bersifat jual beli dengan hutang, maka
ketika kontrak ditandatangani, barang itu menjadi milik nasabah. Nasabah
bebas melakukan apapaun terhadap barang tersebut termasuk menjualnya.
Jika terjadi demikian, risiko untuk default akan besar.
3.2. BAI’ AS SALAM
3.2.1. Pengertian
Selain Murabahah, akad lain yang dapat digunakan dalam perbankan
syariah adalah akad Bai’ As Salam. Menurut Sayyid Sabiq 1, As Salam
diartikan juga As Salaf (pendahuluan), yaitu penjualan sesuatu dengan
kriteria tertentu (yang masih berada) dalam tanggungan dengan pembayaran
disegerakan.
Secara sederhana, Bai’ As Salam dapat diartikan pembelian barang
yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di
muka.2 Dari pengertian tersebut, diketahui bahwa terdapat syarat bahwa
pembeli harus melakukan terlebih dahulu pembayaran secara tunai di muka
(advance payment), sehingga yang biasanya menjadi obyek atas transaksi ini
adalah produk-produk hasil pertanian.
3.2.2. Landasan Syariah
Terdapat beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits yang menjadi dasar
transaksi Bai’ As Salam, yaitu:
1. Al Qur’an:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak
secara
tunai
untuk
waktu
yang
ditentukan,
hendaklah
kamu
menuliskannya…” (QS. Al Baqarah [2]: 282)
Dalam kaitan ayat tersebut, Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat
tersebut dengan transaksi Bai’ As Salam. Hal ini tampak jelas dari
ungkapan Beliau, “Saya bersaksi bahwa salaf (salam) yang dijamin untuk
jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan
diizinkan-Nya.” Ia lalu membaca ayat tersebut di atas.
2. Al Hadits
“Rasulullah saw. datang ke Madinah dimana penduduknya melakukan
salaf (salam) dalam buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua, dan
tiga tahun. Beliau berkata, ‘Barang siapa yang melakukan salaf
(salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan
1
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah: Jilid 12. Kuala Lumpur: Victory Agencie, 2001.
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press,
2001. Cet. Ke-9. Hal. 108.
2
timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui.’”
(HR. Bukhari dan Muslim)
“Dari Shuhaib ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Tiga hal yang di
dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah
(mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk
keperluan rumah, bukan untuk dijual.’” (HR. Ibnu Majah)
3.2.3. Rukun Bai’ As Salam
Dalam pelaksanaannya,menurut Syafi’I Antonio yang mengutip dari
Wahbah Az Zuhaily3, terdapat beberapa Rukun yang harus dipenuhi ketika
akan melakukan transaksi Bai’ As Salam, di antaranya:
1.
2.
3.
4.
Pembeli (Muslam),
Penjual (Muslam ‘Alaih)
Modal
Barang atau obyek transaksi (Muslam Fiihi)
5. Ucapan (Sighat)
3.2.4. Syarat Bai’ As Salam
Selain Rukun juga terdapat Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam
transaksi dengan menggunakan Bai’ As Salam, yaitu:
1. Syarat bagi Modal Transaksi
a. Modal harus diketahui
Barang yang akan ditawarkan harus diketahui jenis, kualitas dan
jumlahnya. Hukum awal mengenai pembayaran adalah bahwa ia harus
dalam bentuk uang tunai.
b. Penerimaan pembayaran Salam
Jumhur ulama mengharuskan pembayaran Salam dilakukan pada saat
transaksi awal. Hal tersebut dimaksudkan agar pembayaran yang
diberikan oleh Pembeli tidak dijadikan sebagai utang Penjual. Lebih
khusus lagi, pembayaran Salam tidak dapat dalam bentuk pembebasan
utang yang harus dibayar Penjual. Hal ini dalam rangka mencegah
praktik Riba melalui mekanisme Salam.
3
Ibid. Hal. 109
2. Syarat bagi Obyek Transaksi
Beberapa syarat bagi Obyek Transaksi As Salam adalah:
i.
Harus spesifik dan dapat diakui sebagai utang.
ii.
Harus dapat diidentifikasikan secara jelas untuk mengurangi
kesalahan akibat kurangnya pengetahuan tentang macam barang
tersebut (misalnya, beras atau kain), tentang klasifikasi kualitas
(misalnya, KW 1, KW 2 atau ex-export), serta mengenai jumlahnya.
iii.
Penyerahan barang dilakukan di kemudian hari.
iv.
Sebagian besar ulama mensyaratkan penyerahan barang harus
ditunda pada suatu waktu kemudian, namun mazhab Syafi’i
membolehkan penyerahan segera.
v.
Bolehnya menentukan tanggal waktu penyerahan di masa yang akan
datang.
vi.
Tempat penyerahan harus ditentukan oleh Penjual dan Pembeli
berdasarkan kesepakatan.
vii.
Jumhur ulama melarang penggantian Obyek Transaksi dengan
barang lainnya karena meskipun belum diserahkan, barang tersebut
bukanlah milik Penjual melainkan telah menjadi milik Pembeli.
Kecuali, bila diganti dengan barang yang memiliki spesifikasi dan
kualitas yang sama, meskipun sumbernya berbeda, para ulama
membolehkan. Hal demikian tidak dianggap sebagai jual beli,
melainkan penyerahan unit yang lain untuk barang yang sama.
3.2.5. Landasan Hukum Negara
Seperti produk perbankan syariah lainnya, Bai’ As Salam telah
mendapat peraturan secara intrinsik dalam Undang-undang (UU) Nomor 10
tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, yakni pada ketentuan umum tentang Prinsip Syariah. Sedangkan
dalam tataran teknis diatur dalam ketentuan Pasal 36 huruf b poin ketiga
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum
yang Melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarkan Prinsip Syariah, yang
intinya menyatakan bahwa bank wajib menerapkan prinsip syariah dan
prinsip kehati-hatian dalam kegiatan usahanya yang meliputi penyaluran dana
melalui prinsip jual beli berdasarkan akad Salam.
Di samping itu, Salam juga telah diatur dalam Fatwa Dewan Syariah
Nasional (DSN) Nomor 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam.
Adapun ketentuan tentang jual beli Salam adalah sebagai berikut:
a. Ketentuan tentang Pembayaran
i. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang,
barang atau manfaat.
ii. Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati.
iii. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
b. Ketentuan tentang Barang
Barang yang menjadi obyek Salam hatus memenuhi persyaratan sebagai
berikut, yaitu:
i.
Jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang,
ii.
Harus dapat dijelaskan spesifikasinya,
iii.
Penyerahannya dilakukan kemudian,
iv.
Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan
kesepakatan,
v.
vi.
Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya, dan
Tidak boleh menukar barang kecuali dengan barang sejenis sesuai
kesepakatan.
c. Ketentuan tentang Salam Paralel
i. Akad kedua terpisah dari akad pertama, dan
ii. Akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah.
d. Penyerahan Barang sebelum atau pada waktunya
i. Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan
kualitas dan jumlah yang telah disepakati,
ii. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang tinggi,
Penjual tidak boleh meminta tambahan harga,
iii. Jika Penjual menyerahkan barang dengan kualitas
yang lebih
rendah, dan Pembeli rela menerimanya, maka Pembeli tidak boleh
menuntut pengurangan harga (diskon),
iv. Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang
disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan
kesepakatan, dan Penjual tidak boleh menuntut tambahan harga,
v. Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu
penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan Pembeli tidak rela
menerimanya,
maka
Pembeli
memiliki
dua
pilihan,
yaitu:
Membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya atau menunggu
sampai barang tersedia,
vi. Pada dasarnya, pembatalan kontrak Salam boleh dilakukan, selama
tidak merugikan kedua belah pihak,
vii. Jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka
persoalannya diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
3.2.6. Bai As Salam Paralel
Apabila terdapat dua ransaksi Bai’ As Salam antara bank dan nasabah,
dan antara bank dan pemasok (supplier) atau pihak ketiga lainnya secara
simultan, maka menurut Syafi’i Antonio, yang mengutip Accounting and
Auditing Organization for Islamic Financial Institution (AAOIFI), merupakan
Salam Paralel.4
Beberapa ulama kontemporer, termasuk Majelis Ulama Indonesia
(MUI) melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS), membolehkan adanya
praktek Salam Paralel, namun memberi catatan bahwa apabila perdagangan
dan transaksi tersebut dilakukan secara terus-menerus diduga akan menjurus
kepada Riba.
3.2.7. Perbedaan dengan Ijon
Sebagian orang menyamakan antara Bai’ As Salam dengan praktek
Ijon, padahal terdapat hal yang sangat mendasar yang menjadi perbedaan di
antara keduanya, yaitu:
4
Ibid. Hal. 110.
1. Dalam praktek Ijon tidak ditentukan secara spesifik dan jelas atas barang
yang diperjualbelikan, tidak juga dilakukan pengukuran terhadap barang
tersebut. Sedangkan dalam Bai’ As Salam dijelaskan spesifikasi baik dari
ukuran dan jumlah serta jangka waktu seperti dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas di atas.
2. Dalam praktek Ijon, besarnya harganya sangat bergantung kepada
Pembeli dimana terkadang Penjual tidak memiliki hak dalam
menentukan. Dalam Bai’ As Salam, dituntut adanya keridhoan dari
seluruh pihak. Hal ini sesuai dengan prinsip muamalah dalam syari’ah,
yaitu ‘An taraadhim minkum (suka sama suka).
Untuk memastikan praktek Bai’ As Salam secara benar, maka diperlukan
peran pemerintah dalam melakukan fungsi pengawasan dan penegakkan
hukum.
3.2.8. Aplikasi dalam Perbankan Syariah
Pada prinsipnya, Bai’ As Salam sangat cocok untuk digunakan dalam
pembiayaan kepada petani dengan jangka waktu yang relative pendek, yaitu
2-6 bulan. Karena yang diperjual-belikan adalah hasil produk pertanian,
seperti padi, jagung, buah-buahan dan sayur-sayuran, dimana bank syariah
tidak akan melakukan persediaan (inventory), maka dilakukanlah transaksi
kedua antara Bank Syariah dengan Bulog atau pedagang pasar induk.
Disinilah kemudian timbul transaksi Salam Paralel.
Bai’ As Salam juga dapat dipraktekkan pada pembiayaan pelaku industri,
seperti produk garmen dimana bank memberikan pembiayaan pada saat
penandatanganan kontrak untuk kemudian bank mencarikan pembeli bagi
produk garmen tersebut yang kemudian menimbulkan Salam Paralel.
Sayangnya, dalam perkembangan Bank Syariah di Indonesia saat ini,
Bai’ As Salam menjadi produk yang tidak terlalu diminati karena adanya
risiko yang cukup besar yang akan dihadapi oleh Bank Syariah. Orientasi
perbankan syariah di Indonesia saat ini yang masih mengedepankan besarnya
laba bagi perusahaan menjadi kendalanya, sehingga bank lebih cenderung
memilih pembiayaan pada sektor bisnis yang relatif aman. Di sisi lain,
banyaknya Debitur yang tidak amanah pada saat telah diberikan pembiayaan
Bai’ As Salam, seperti tidak mengerjakan dengan profesional dan serius atas
pertanian atau industri yang telah dibiayai sehingga diperoleh hasil yang tidak
sesuai atau ketidaktepatan dalam waktu penyerahan, menjadi kendala lainnya.
3.2.9. Skim Bai’ As Salam
Gambar berikut akan menunjukkan Skim dari Bai’ As Salam:
Gambar I.1. Skim Bai’ As Salam
3.3. BAI’ AL ISTISHNA
3.3.1. Pengertian
Dalam fatwa DSN-MUI yang dikutip oleh Adiwarman Karim, yang
dimaksud Bai’ Al Istishna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan
pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang
disepakati antara Pemesan (Pembeli, Mustashni’) dan Penjual (Pembuat,
Shani’).5 Persyaratan yang disepakati di dalamnya termasuk sistem
pembayaran, apakah dibayar di muka, melalui cicilan atau ditangguhkan
sampai waktu saat barang yang dipesan selesai dibuat.
5
Karim, Adiwarman Azwar. Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2006. Cet. Ke-3. Hal