Perbandingan Kadar C, N, P, dan K Dalam Kandungan Pupuk Kompos dari Limbah Sayuran Sawi dengan Menggunakan Bakteri EM4, Tanah Gambut, dan Tanpa Starter

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Unsur-Unsur Hara Penyusun Tanaman

Limbah sayuran adalah bagian dari sayuran atau sayuran yang sudah tidak dapat digunakan atau dibuang. Limbah pasar yang mudah untuk dikomposkan adalah limbah sayuran. Karena limbah sayuran memiliki kadar air yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan limbah buah-buahan. Hasil penelitian para ahli telah menunjukkan bahwa tanaman itu terdiri dari air 90% dan bahan kering (dry matter) 10%. Bahan kering terdiri dari bahan-bahan organik dan anorganik, terdiri dari:

- Karbon sekitar 47% - Hidrogen sekitar 7% - Oksigen sekitar 44% - Nitrogen sekitar 0,2% - 2%

Unsur hara makro terdiri dari karbon, oksigen, dan hidrogen, nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, magnesium, dan sulfur. Sedangkan unsur hara mikro yaitu besi, mangan, tembaga, seng, molibdenum, dan khlor. (Kuswandi, 1993)

Fosfor (P) merupakan salah satu unsur hara makro yang dibutuhkan oleh tanaman. Fosfor di dalam tanah berperan penting bagi tanaman dan proses metabolisme sel. Namun kandungan P di dalam tanah lebih rendah dibandingkan dengan unsur hara makro lainnya, seperti Nitrogen (N), Kalium (K), dan Kalsium (Ca). Hal ini disebabkan oleh tingginya retensi terhadap unsur P, sehingga konsentrasi P di dalam tanah berkurang. (Leiwakabessy et al., 2003)

2.1.1. Sumber Nitrogen

Sumber utama nitrogen adalah nitrogen bebas (N2) di atas atmosfer, yang


(2)

nitrogen yang tersimpan dalam tubuh jasad. Nitrogen sangat jarang ditemui menjadi komponen oleh karena sifatnya yang mudah larut air. Nitrogen atmosfir (N2) memasuki tanah melalui perantaraan jasad renik penambat-N, hujan, dan

kilat. Jasad renik penambat akan mengubah bentuk N2 menjadi senyawa N-asam

amino dan N-protein. Jika jasad renik itu mati, bakteri pembusuk melepaskan asam amino dari protein, dan bakteri amonifikasi melepaskan amonium dari gugus amino, yang selanjutnya akan larut dalam tanah dan dapat diserap oleh tanaman dan sisa amonium akan diubah menjadi nitrit, kemudian menjadi nitrat oleh bakteri nitrifikasi, dan dapat langsung diserap tanaman. Nitrat dan nitrit yang tidak termanfaatkan sebagian akan lenyap di dalam air dan sebagian mengalami denitrifikasi menjadi gas N2 dan N2O akan memasuki sistem atmosfir kembali.

(Poerwowidodo, 1992).

2.1.2. Sumber Fosfor

Sumber dan cadangan fosfor (P) alam adalah kerak bumi yang kandungannya mencapai 0,12 % P, dalam bentuk batuan fosfat, endapan guano, dan endapan fosil tulang. fosfor alam memasuki sistem tanah melalui penghancuran dan peruraian yang lambat oleh karena daya larutnya yang rendah. Sebagian besar senyawa P dalam tanah berbentuk senyawa organik. Bahan organik tanah cenderung meningkatkan ketersediaan P. Asam nukleat merupakan sumber P dari kelompok senyawa organik. Komponen organik tanah yang mengandung P antara lain: asam nukleat, fosfolida, fosfoprotein, dan fosfat metabolik. (Poerwowidodo, 1992).

2.1.3. Sumber Kalium

Takaran bahan potasium atau kalium (K) menempatkannya pada urutan ke-7 di antara penyusun kerak bumi. Kalium pada umumnya cukup banyak ditemui dalam tanah, namun kisaran kandungan K-total pada umumnya berada dalam pelikan tanah liat dan pelikan yang mengandung K. Kalium atau potasium di serap perakaran tanaman dalam bentuk K+. mekanisme penyerapan K mencakup: aliran


(3)

masa, konveksi, difusi, dan serapan langsung dari permukaan tanah. Laju pengambilan K banyak diatur oleh kepekatan K dalam larutan tanah yang mengelilingi permukaan akar. Kebutuhan K dan pola pengambilan K tergantung pada jenis tanaman dan tingkat tanaman. Adanya saling tindak positif antara kalium dan nitrogen pada keharaan tanaman. Keberadaan K yang meningkat, meningkatkan keberadaan nitrogen dalam tanaman. (Poerwowidodo, 1992)

Fungsi unsur makro Nitrogen, Fosfat, dan Kalium antara lain: 1. Nitrogen

Secara umum fungsi Nitrogen adalah :

a. Merangsang pertumbuhan akar, batang, dan daun.

b. Membuat daun lebih tampak hijau, karena Nitrogen meningkatkan butir-butir hijau daun.

c. Memperbanyak anakan.

d. Meningkatkan mutu dan jumlah hasil. 2. Fosfat

Fungsi unsur Fosfat adalah:

a. Memperpanjang akar sehingga batang kuat. b. Mempercepat pemasakan buah.

c. Memperbaiki mutu dan jumlah hasil. 3. Kalium

Fungsi Kalium :

a. Memperbaiki pertumbuhan tanaman. b. Meningkatkan ketahanan serangan hama. c. Memperbaiki mutu hasil.

(Nugroho, 2010)

2.2. Pemupukan

Pupuk adalah setiap bahan organik atau anorganik, alam atau buatan, mengandung satu atau lebih unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan normal tanaman yang dapat diberikan kepada tanah untuk tanaman. Pupuk alam atau pupuk organik diperoleh dari alam tanpa melalui proses industri atau dibuat oleh


(4)

pabrik-pabrik pupuk. Pada umumnya pupuk ini bersifat organik karena tediri dari senyawa-senyawa organik. Meskipun demikian ada juga pupuk alam yang berbentuk senyawa anorganik misalnya Fosfat alam. Pupuk alam dibedakan menjadi pupuk alam organik dan pupuk alam anorganik. Pupuk alam organik berperan dalam hal perbaikan sifat-sifat fisik tanah, sedangkan pupuk alam anorganik berperan dalam penambahan hara tanah. Pupuk organik mempunyai keunggulan dan kelemahan. Beberapa keunggulan dari pupuk organik adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan kandungan bahan organik dalam tanah 2. Memperbaiki struktur tanah

3. Meningkatkan kemampuan tanah menyimpan air (water holding capacity) 4. Meningkatkan aktivitas kehidupan biologi tanah

5. Meningkatkan kapasitas tukar kation tanah

6. Mengurangi fiksasi fosfat oleh Al dan Fe pada tanah masam dan 7. Meningkatkan ketersediaan hara di dalam tanah

Beberapa kelemahan dari pupuk alam (organik) adalah sebagai berikut: 1. Kandungan haranya rendah

2. Relatif sulit memperolehnya dalam jumlah banyak

3. Tidak dapat diaplikasikan secara langsung ke dalam tanah, tetapi harus melalui suatu proses dekomposisi

4. Pengangkutan dan aplikasinya mahal karena dibutuhkan dalam jumlah banyak.

Jenis-jenis pupuk organik yaitu pupuk kandang, pupuk hijau, pupuk kompos, guano, tepung tulang, night soil, tepung ikan, dan tepung darah. (Sutedjo, 2002)

2.2.1. Kompos

Pupuk kompos merupakan hasil akhir dari dekomposisi atau fermentasi dari tumpukan sampah-sampah organik yang berasal dari tumbuhan atau tanaman


(5)

ataupun yang berasal dari hewan. Ada beberapa alasan pentingnya pembuatan kompos, antara lain:

1. Untuk memenuhi keperluan bahan organik yang cukup akibat aktivitas atau kegiatan pertanian maka pemakaian pupuk kandang dan memperolehnya dalam jumlah yang cukup banyak cukup sulit, selain itu penanaman pupuk hijau selalu kurang berhasil.

2. Petani agak enggan atau merasa keberatan bila harus mengorbankan tanahnya untuk tidak ditanami tanaman utama yang dapat memberikan hasil

3. Sumber bahan organik untuk dibuat kompos seperti sampah-sampah kota dan limbah pertanian.

Beberapa kegunaan kompos adalah:

 Memperbaharui struktur tanah

 Memperkuat daya ikat agregat (zat hara) tanah pesisir

 Meningkatkan daya tahan dan daya serap air

 Memperbaharui drainase dan pori-pori dalam tanah

 Menambah dan mengaktifkan unsur hara. (Nugroho, 2010)

Bahan organik dari sampah-sampah kota dan limbah pertanian dalam jumlah yang banyak tidak dapat digunakan langsung sebagai pupuk tetapi harus terlebih dahulu didekomposisikan sehingga melapuk dengan tingkat C/N yang rendah (10-12). (Sutedjo, 2002)

2.2.2. Pengolahan Limbah Organik untuk Kompos

Pengomposan merupakan praktek tertua untuk menyiapkan pupuk organik yang selanjutnya dikembangkan menjadi kunci teknologi daur ulang limbah pemukiman dan perkotaan. Pengomposan diartikan sebagai proses biologi oleh kegiatan mikroorganisme dalam menguraikan bahan organik menjadi bahan semacam humus.


(6)

1. Proses pengomposan

Kompos dibuat dari bahan organik yang berasal dari macam-macam sumber. Dengan demikian kompos merupakan sumber bahan organik dari nutrisi tanaman. Kemungkinan bahan dasar kompos mengandung selulosa 15-60%, hemiselulosa 10-30%, lignin 5-30%, protein 5-40%, bahan mineral 3-5%, disamping itu terdapat bahan larut air panas dan dingin (gula, asam amino, urea, garam amonium) sebanyak 2-30% dan 1-5% lemak yang larut eter dan alkohol. Komponen organik ini mengalami proses dekomposisi dibawah kondisi mesofilik dan termofilik. Pengomposan dengan metode timbunan di permukaan tanah akan memakan waktu 3-4 bulan.

2. Proses Mikrobiologis

Konversi biologi bahan organik dilaksanakan oleh bermacam-macam organisme heterotropik seperti bakteri, fungi, Actinomycetes, dan protozoa. Organisme tersebut mewakili flora dan fauna.

Selama proses pengomposan berlangsung, perubahan secara kualitatif dan kuantitatif, terjadi pada tahap awal akibat perubahan lingkungan beberapa spesies flora menjadi aktif dan berkembang dalam waktu yang relatif singkat, dan kemudian hilang untuk memberikan kesempatan kepada jenis lain untuk berkembang. Pada minggu kedua dan ketiga, kelompok yang berperan aktif pada proses pengomposan dapat diidentifikasi yakni: bakteri amonifikasi, bakteri proteolitik, bakteri pektonilitik, dan bakteri penambat nitrogen. Mulai hari ketujuh kelompok mikroba meningkat dan setelah hari keempat belas terjadi penurunan jumlah kelompok. Kemudian terjadi kenaikan populasi kembali selama minggu keempat. Mikroorganisme yang berperan adalah mikroorganisme selulopatik, lignolitik, dan fungi. (Sutanto, R.2002)

Pembuatan kompos adalah dengan menumpukkan bahan-bahan organik dan membiarkannya terurai menjadi bahan-bahan yang mempunya nisbah C/N yang rendah (telah melapuk). Beberapa alasan pengomposan bahan organik antara lain:

1. Kita tidak selalu mempunyai pupuk kandang atau bahan-bahan organik lain pada saat kita memerlukannya. Seringkali kita harus membiarkannya sampai tiba saat yang tepat untuk menggunakannya. Jadi pembuatan


(7)

pupuk kompos merupakan cara penyimpanan bahan organik sebelum dipergunakan sebagai pupuk.

2. Struktur bahan organik sangat kasar dan daya ikatnya terhadap air kecil. Bila bahan ini langsung dibenamkan ke dalam tanah akan terjadi persaingan unsur N atau bakteri pengurai N dan tanaman yang tumbuh di atasnya. Selain itu tanah akan terdispersi. Hal ini mungkin baik pada tanah yang mengadung liat tinggi, tapi tidak demikian pada tanah-tanah berpasir.

3. Bila tanah cukup mengandung udara dan air, peruraian bahan organik akan berlangsung cepat. Akibatnya jumlah CO2 di dalam tanah akan meningkat

dengan cepat, dan hal ini dapat mengganggu pertumbuhan tanaman.

4. Pada pembuatan kompos biji-biji gulma, benih, hama dan penyakit bisa mati karena panas.

5. Seringkali dilakukan pembakaran bahan organik sebagai usaha mempercepat proses mineralisasi. Dengan cara ini tidak akan diperoleh penambahan humus dan N ke dalam tanah, karena habis terbakar. Oleh karena itu diperlukan pembuatan kompos.

Bahan organik tidak dapat langsung digunakan atau dimanfaatkan oleh tanaman karena perbandingan C/N dalam bahan baku tersebut relative tinggi atau tidak sama denga C/N tanah. Nilai C/N tanah sekitar 10-12. Apabila bahan organik mempunyai kandungan C/N mendekati atau sama dengan C/N tanah maka bahan tersebut dapat digunakan atau diserap tanaman. Prinsip pengomposan adalah menurunkan C/N rasio bahan organik sehingga sama dengan tanah. (Lingga, 2002)

2.3.Starter Kompos

2.3.1. Effective Microorganism 4 (EM4)

Effective mikroorganism 4 merupakan kultur campuran dari mikroorganisme yang menguntungkan yang bermanfaat bagi kesuburan tanah maupun pertumbuhan dan produksi tanaman, serta ramah lingkungan. Mikroorganisme yang akan ditambahkan akan membantu memperbaiki kondisi biologi tanah dan dapat


(8)

membantu penyerapan unsur hara. EM4 mengandung mikroorganisme fermentasi dan sintetik yang terdiri dari bakteri asam laktat (lactobacillus sp.), bakteri fotosintetik (Rhodopseudomonas sp.), Actinomycetes sp., Streptomyces sp., dan ragi (yeast).

Efek EM4 bagi tanaman tidak terjadi secara langsung. Penggunaan EM4 akan lebih efisien bila terlebih dahulu ditambahkan bahan organik yang berupa pupuk organik ke dalam tanah. EM4 akan mempercepat fermentasi bahan organik sehingga unsur hara yang terkandung akan cepat terserap dan tersedia bagi tanaman. Selain bermanfaat bagi peningkatan kesuburan tanah dan tanaman, EM4 juga sangat efektif digunakan sebagai pestisida hayati yang bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan tanaman, EM4 juga bermanfaat untuk sektor perikanan dan peternakan. (Marsono, 2005)

Fungsi Effective Microorganism 4 (EM4) 1. Bakteri Fotosintetik

Bakteri ini merupakan bakteri bebas yang dapat mensintesis senyawa nitrogen, gula, dan substansi bioaktif lainnya. Hasil metabolit yang diproduksi dapat diserap secara langsung oleh tanaman dan tersedia sebagai sumber substrat untuk perkembangbiakan yang menguntungkan. 2. Lactobacillus sp.

Bakteri yang memproduksi asam laktat sebagai hasil penguraian gula dan karbohidrat lain yang bekerja sama dengan bakteri fotosintesis dan ragi. Asam laktat ini merupakan bahan sterilisasi yang kuat dapat menekan mikroorganisme berbahaya dan dapat menguraikan bahan organik dengan cepat.

3. Streptomyces sp.

Streptomyces sp. mengeluarkan enzim streptomisin yang bersifat racun terhadap hama dan penyakit yang merugikan.

4. Ragi/Yeast

Ragi memproduksi substansi yang berguna bagi tanaman dengan cara fermentasi. Substansi bioaktif yang dihasilkan oleh ragi berguna untuk pertumbuhan sel. Ragi ini juga berperan dalam perkembangbiakan atau pembelahan mikroorganisme.


(9)

5. Actinomycetes

Actinomycetes merupakan mikroorganisme peralihan antara bakteri dan jamur yang mengambil asam amino dan zat serupa yang diproduksi bakteri fotosintesis dan mengubahnya menjadi antibiotik untuk mengendalikan patogen, menekan jamur dan bakteri berbahaya dengan cara menghancurkan kitin yaitu zat esensial untuk pertumbuhannya. Actinomycetes juga dapat menciptakan kondisi yang baik bagi perkembangan mikroorganisme lain. (Yovita. 2005)

2.3.2. Tanah Gambut

Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara Negara tropis yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan, dan Papua (BB Litbang SDLP, 2008). Lahan gambut di Riau memiliki luas sekitar 45% dari total wilayah yang ada (Darajat, 2006). Tanah gambut memiliki beberapa fungsi strategis, seperti fungsi hidrologis, sebagai penambat (sequester) karbon dan biodiversitas yang penting untuk kenyamanan lingkungan dan kehidupan satwa. (Bellamy, 1955)

Kisaran nilai total populasi mikroba tanah gambut Riau dapat dilihat pada Tabel 1. Secara umum total populasi bakteri lebih tinggi jika dibandingkan dengan total populasi jamur dan Actinomycetes. Menurut penelitian Nainggolan (2010) total bakteri lebih mendominasi dari total populasi jamur dan Actinomycetes di Cagar Biosfer.

Tabel 1. Kisaran nilai mikroba tanah gambut dari delapan lokasi pengambilan sampel di Teluk Meranti, Riau

Kelompok Mikroba Kisaran Nilai Populasi Mikroba (CFU/g tanah)

Bakteri Oligotrof 0,5x105-1,4x105

Bakteri Kopiotrof 0,6x105-1,8x105

Jamur 0,4x105-1,0x105


(10)

Berdasarkan kebutuhan nutrisi, bakteri dibedakan menjadi dua kelompok yaitu, bakteri kopiotrof yang mampu hidup pada kondisi yang miskin nutrisi. (Langer et al., 2004)

Menurut (Noor, M. 2001) Jumlah mikroorganisme dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti keasaman tanah. Jumlah total mikrobia dalam tanah digunakan sebagai indeks kesuburan tanah tanpa mempertimbangkan hal-hal lain, karena pada tanah subur jumlah mikrobianya tinggi. Populasi yang menggambarkan adanya suplai makanan atau energi yang cukup ditambah temperatur yang sesuai, ketersediaan air yang cukup, dan kondisi ekologi yang lain yang mendukung. Namun demikian dua jenis tanah yang mempunyai produktivitas yang berbeda, karena pada tanah yang satu kandungan unsur hara makro dan mikro yang ada hanya cukup menunjang kehidupan mikrobia. Oleh karena itu, jumlah mikrobia tanah harus dipertimbangkan sebagai penciri (deskriptif) dan tidak digunakan sebagai indeks kesuburan tanah semata. (Hanafiah, 2005)

Warna tanah merupakan indikator sifat kimia tanah. Tanah yang berwarna gelap berarti banyak mengandung bahan organik tanah atau belum mengalami pelindian (leaching) hara secara intensif, sehingga relative subur. (Poerwowidodo, 2005)

Mikroorganisme perombak bahan organik terdiri dari jamur dan bakteri.Pada kondisi aerob, mikroorganisme perombak bahan organik dalam kondisi anaerob sebagian besar adalah bakteri. Macam mikroorganisme yang berperan dalam perombakan bahan organik antara lain atas Trichoderma, Fomes, Armillaria, Achromobacter, Nocardia, Streptomyces, sedang perombak secara anaerob antara lain terdiri atas Clostridium, dan Mechanococcus. (Mukhlis, 2007)

Faktor yang Mempengaruhi Pengomposan 1. Rasio C/N

Kecepatan dekomposisi bahan organik ditujukan oleh perubahan rasio C/N. Selama proses demineralisasi, rasio C/N bahan-bahan yang mengandung N akan berkurang menurut waktu. Kecepatan kehilangan C akan lebih besar daripada N sehingga diperoleh rasio C/N yang lebih rendah (10-20). Apabila rasio C/N sudah


(11)

mencapai angka tersebut, artinya proses dekomposisi sudah mencapai tingkat akhir kompos sudah matang.

2. Suhu pengomposan

Faktor suhu sangat berpengaruh terhadap pengomposan. Suhu optimum bagi pengomposan adalah 40-60 oC. Jika suhu pengomposan menjadi 40oC, aktivitas mikroorganisme mesofil akan digantikan oleh mikroorganisme termofil. Jika suhu mencapai 60 oC, fungi akan berhenti bekerja dan proses perombakan dilanjutkan oleh Actinomycetes serta strain bakteri pembentuk spora.

3. Tingkat Keasaman (pH)

Salah satu faktor bagi pertumbuhan mikroorganisme yaitu terlibat dalam proses pengomposan adalah tingkat keasaman. Karena itu, pengaturan pH selama proses pengomposan perlu dilakukan. Pada awal pengomposan, reaksi cenderung agak asam karena bahan organik yang dirombak menghasilkan asam-asam organik sederhana. Namun pH akan mulai naik sejalan dengan waktu pengomposan dan akhirnya akan stabil pada pH sekitar netral.

4. Jenis Mikroorganisme yang terlibat

Proses pengomposan bila dipercepat dengan menambahkan starter atau aktivator yang kandungannya berupa mikroorganisme (kultur bakteri), enzim, dan asam humat. Mikroorganisme yang ada di dalam bahan kompos sehingga cepat berkembang. Akibatnya, mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan semakin banyak dalam proses dekomposisi akan semakin cepat.

5. Aerasi

Aerasi yang baik sangat dibutuhkan agar proses dekomposisi (pengomposan) bahan organik berjalan lancar. Pada umumnya pengaturan aerasi dilakukan dengan cara membalik-balikkan tumpukan bahan kompos secara teratur.

6. Kelembapan

Kelembapan optimum untuk proses pengomposan secara aerobik 50-60% setelah bahan organik dicampur. Selama proses pengomposan berlangsung, kelembapan dalam tumpukan kompos harus terus dikontrol.


(12)

7. Ukuran bahan baku

Ukuran bahan baku kompos akan mempengaruhi kecepatan proses pengomposan. Semakin kecil ukuran bahan proses pengomposan akan semakin cepat berlangsung. (Simamora S. 2006)

2.4. Penetapan Kadar Karbon, Nitrogen, Fosfor, dan Kalium 2.4.1. Penetapan Karbon dengan metode Gravimetri

Penetapan Karbon dapat dilakukan dengan penetapan kadar abu. Dimana kadar abu/sisa pijar ditetapkan dengan cara pengabuan pada suhu 550-600 oC, sehingga bahan organik menjadi CO2 dan logam menjadi oksida logamnya. Bobot bahan

yang hilang merupakan bahan organik yang dapat dikonversi menjadi kadar karbon setelah dikalikan faktor 0,58. (Eviati, 2009)

2.4.2. Penentuan Nitrogen dengan metode Kjeldahl

Metode Kjeldahl digunakan untuk menentukan jumlah N organik dan N ammonia bebas. Metode ini pada umumnya hanya dilakukan pada sampel yang diduga mengandung zat organik seperti air buangan industri, air buangan penduduk serta sungai yang tercemar. Zat organik yang mengandung N diubah menjadi amonia, nitrogen amonia akan menjadi amonium sulfat setelah pemanasan sampel didalam larutan sulfat. Zat organik tersebut berubah menjadi CO2 dan H2O serta

melepaskan ammonia yang di dalam suasana asam kuat terikat menjadi amonium sulfat. Kemudian tambahan basa NaOH akan melepaskan NH4 sekaligus

mengubahnya menjadi NH4OH. Seluruh amonia yang berasal dari zat organik

tersebut, air buangan juga mengandung amonia bebas dan amonia tersebut ikut tersuling bersama NH3 yang dilepaskan oleh zat organik dan semuanya disebut N-Kjeldahl. Jadi N-Kjeldahl adalah N organik dan N amonia bebas. Setelah keluar dari alat pendingin, NH3 tersebut diserap dengan larutan asam borat

H3BO3. (Harjadi, 1930)

2.4.3. Penetapan Kadar Fosfor

Kadar posfor dapat ditetapkan dalam bentuk fosfor total sebagai P2O5, yaitu

ditentukan secara spektrofotometri, ortofosfat yang terlarut direaksikan dengan ammonium molibdovanadat membentuk senyawa kompleks molibdovanadat asam


(13)

sulfat yang berwarna kuning. Intensitas warna yang terbentuk diukur pada panjang gelombang 400 nm. (SNI 2803, 2010).

2.4.4.Penetapan Kadar Kalium

Kadar kalium dapat ditetapkan dengan berdasarkan adanya serapan/absorpsi cahaya ultra violet atau visible oleh atom-atom suatu unsur dalam keadaan dasar yang berada dalam nyala api. Dimana kalium akan menyerap cahaya pada panjang gelombang 766,5 nm. (SNI 2803, 2010).

2.5. Prinsip Analisa 2.5.1. Metode Gravimetri

Penetapan Karbon dapat dilakukan dengan penetapan kadar abu. Dimana kadar abu/sisa pijar ditetapkan dengan cara pengabuan pada suhu 550-600 oC, sehingga bahan organik menjadi CO2 dan logam menjadi oksida logamnya. Bobot bahan

yang hilang merupakan bahan organik yang dapat dikonversi menjadi kadar karbon setelah dikalikan faktor 0,58. (Eviati, 2009)

2.5.2. Metode Kjeldahl

Metode Kjeldahl Prinsip metode Kjeldahl adalah mula–mula bahan didekstruksi dengan asam sulfat pekat menggunakan katalis selenium oksiklorida atau butiran Zn. Ammonia yang terjadi ditampung dan dititrasi dengan bantuan indikator. Metode Kjeldahl pada umumnya dapat dibedakan atas dua cara, yaitu cara makro dan semimikro. Cara makro–Kjeldahl digunakan untuk sampel yang sukar dihomogenisasi dan besarnya 1–3 gram, sedangkan semimikro–Kjeldahl dirancang untuk sampel yang berukuran kecil, yaitu kurang dari 300 mg dari bahan yang homogen. (Maria Bintang, 2010).

2.5.3. Spektrofotometri UV-Visible

Prinsip kerja spektrofotometer UV-Vis adalah dimana sinar/cahaya dilewatkan melewati sebuah wadah (kuvet) yang berisi larutan, dimana akan menghasilkan spektrum. Alat ini menggunakan hukum Lambert Beer sebagai acuan (Ewing, 1975). Panjang gelombang untuk sinar ultraviolet antara 200-400 nm sedangkan panjang gelombang untuk sinar tampak/visible antara 400-750 nm.


(14)

Spektrofotometri serapan adalah pengukuran serapan radiasi elektromagnetik panjang gelombang tertentu yang sempit, mendekati monokromatik, yang diserap zat. Spektrofotometer pada dasarnya terdiri atas sumber sinar monokromator, tempat sel untuk zat yang diperiksa, detektor, penguat arus dan alat ukur atau pencatat. (Rohman, 2007).

2.5.4. Analisa Spektrofotometri Serapan Atom

Prinsip penentuan metode ini didasarkan pada penyerapan energi radiasi oleh atom-atom netral pada keadaan dasar, dengan panjang gelombang tertentu yang menyebabkan tereksitasinya dalam berbagai tingkat energi. Keadaan eksitasi ini tidak stabil dan kembali ke tingkat dasar dengan melepaskan sebagian atau seluruh energi eksitasinya dalam bentuk radiasi. Sumber radiasi tersebut lampu katoda berongga.

Instrumentasi Spektrofotometer Serapan Atom

A B C D E F Gambar 1.1. Sistematis Ringkas dari Alat SSA A : Lampu katoda berongga

B : Chopper C : Tungku

D : Monokromator E : Detektor


(1)

5. Actinomycetes

Actinomycetes merupakan mikroorganisme peralihan antara bakteri dan jamur yang mengambil asam amino dan zat serupa yang diproduksi bakteri fotosintesis dan mengubahnya menjadi antibiotik untuk mengendalikan patogen, menekan jamur dan bakteri berbahaya dengan cara menghancurkan kitin yaitu zat esensial untuk pertumbuhannya. Actinomycetes juga dapat menciptakan kondisi yang baik bagi perkembangan mikroorganisme lain. (Yovita. 2005)

2.3.2. Tanah Gambut

Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara Negara tropis yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan, dan Papua (BB Litbang SDLP, 2008). Lahan gambut di Riau memiliki luas sekitar 45% dari total wilayah yang ada (Darajat, 2006). Tanah gambut memiliki beberapa fungsi strategis, seperti fungsi hidrologis, sebagai penambat (sequester) karbon dan biodiversitas yang penting untuk kenyamanan lingkungan dan kehidupan satwa. (Bellamy, 1955)

Kisaran nilai total populasi mikroba tanah gambut Riau dapat dilihat pada Tabel 1. Secara umum total populasi bakteri lebih tinggi jika dibandingkan dengan total populasi jamur dan Actinomycetes. Menurut penelitian Nainggolan (2010) total bakteri lebih mendominasi dari total populasi jamur dan Actinomycetes di Cagar Biosfer.

Tabel 1. Kisaran nilai mikroba tanah gambut dari delapan lokasi pengambilan sampel di Teluk Meranti, Riau

Kelompok Mikroba Kisaran Nilai Populasi Mikroba (CFU/g tanah)

Bakteri Oligotrof 0,5x105-1,4x105 Bakteri Kopiotrof 0,6x105-1,8x105

Jamur 0,4x105-1,0x105


(2)

Berdasarkan kebutuhan nutrisi, bakteri dibedakan menjadi dua kelompok yaitu, bakteri kopiotrof yang mampu hidup pada kondisi yang miskin nutrisi. (Langer et al., 2004)

Menurut (Noor, M. 2001) Jumlah mikroorganisme dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti keasaman tanah. Jumlah total mikrobia dalam tanah digunakan sebagai indeks kesuburan tanah tanpa mempertimbangkan hal-hal lain, karena pada tanah subur jumlah mikrobianya tinggi. Populasi yang menggambarkan adanya suplai makanan atau energi yang cukup ditambah temperatur yang sesuai, ketersediaan air yang cukup, dan kondisi ekologi yang lain yang mendukung. Namun demikian dua jenis tanah yang mempunyai produktivitas yang berbeda, karena pada tanah yang satu kandungan unsur hara makro dan mikro yang ada hanya cukup menunjang kehidupan mikrobia. Oleh karena itu, jumlah mikrobia tanah harus dipertimbangkan sebagai penciri (deskriptif) dan tidak digunakan sebagai indeks kesuburan tanah semata. (Hanafiah, 2005)

Warna tanah merupakan indikator sifat kimia tanah. Tanah yang berwarna gelap berarti banyak mengandung bahan organik tanah atau belum mengalami pelindian (leaching) hara secara intensif, sehingga relative subur. (Poerwowidodo, 2005)

Mikroorganisme perombak bahan organik terdiri dari jamur dan bakteri.Pada kondisi aerob, mikroorganisme perombak bahan organik dalam kondisi anaerob sebagian besar adalah bakteri. Macam mikroorganisme yang berperan dalam perombakan bahan organik antara lain atas Trichoderma, Fomes, Armillaria, Achromobacter, Nocardia, Streptomyces, sedang perombak secara anaerob antara lain terdiri atas Clostridium, dan Mechanococcus. (Mukhlis, 2007)

Faktor yang Mempengaruhi Pengomposan 1. Rasio C/N

Kecepatan dekomposisi bahan organik ditujukan oleh perubahan rasio C/N. Selama proses demineralisasi, rasio C/N bahan-bahan yang mengandung N akan berkurang menurut waktu. Kecepatan kehilangan C akan lebih besar daripada N sehingga diperoleh rasio C/N yang lebih rendah (10-20). Apabila rasio C/N sudah


(3)

mencapai angka tersebut, artinya proses dekomposisi sudah mencapai tingkat akhir kompos sudah matang.

2. Suhu pengomposan

Faktor suhu sangat berpengaruh terhadap pengomposan. Suhu optimum bagi pengomposan adalah 40-60 oC. Jika suhu pengomposan menjadi 40oC, aktivitas mikroorganisme mesofil akan digantikan oleh mikroorganisme termofil. Jika suhu mencapai 60 oC, fungi akan berhenti bekerja dan proses perombakan dilanjutkan oleh Actinomycetes serta strain bakteri pembentuk spora.

3. Tingkat Keasaman (pH)

Salah satu faktor bagi pertumbuhan mikroorganisme yaitu terlibat dalam proses pengomposan adalah tingkat keasaman. Karena itu, pengaturan pH selama proses pengomposan perlu dilakukan. Pada awal pengomposan, reaksi cenderung agak asam karena bahan organik yang dirombak menghasilkan asam-asam organik sederhana. Namun pH akan mulai naik sejalan dengan waktu pengomposan dan akhirnya akan stabil pada pH sekitar netral.

4. Jenis Mikroorganisme yang terlibat

Proses pengomposan bila dipercepat dengan menambahkan starter atau aktivator yang kandungannya berupa mikroorganisme (kultur bakteri), enzim, dan asam humat. Mikroorganisme yang ada di dalam bahan kompos sehingga cepat berkembang. Akibatnya, mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan semakin banyak dalam proses dekomposisi akan semakin cepat.

5. Aerasi

Aerasi yang baik sangat dibutuhkan agar proses dekomposisi (pengomposan) bahan organik berjalan lancar. Pada umumnya pengaturan aerasi dilakukan dengan cara membalik-balikkan tumpukan bahan kompos secara teratur.

6. Kelembapan

Kelembapan optimum untuk proses pengomposan secara aerobik 50-60% setelah bahan organik dicampur. Selama proses pengomposan berlangsung, kelembapan dalam tumpukan kompos harus terus dikontrol.


(4)

7. Ukuran bahan baku

Ukuran bahan baku kompos akan mempengaruhi kecepatan proses pengomposan. Semakin kecil ukuran bahan proses pengomposan akan semakin cepat berlangsung. (Simamora S. 2006)

2.4. Penetapan Kadar Karbon, Nitrogen, Fosfor, dan Kalium 2.4.1. Penetapan Karbon dengan metode Gravimetri

Penetapan Karbon dapat dilakukan dengan penetapan kadar abu. Dimana kadar abu/sisa pijar ditetapkan dengan cara pengabuan pada suhu 550-600 oC, sehingga bahan organik menjadi CO2 dan logam menjadi oksida logamnya. Bobot bahan yang hilang merupakan bahan organik yang dapat dikonversi menjadi kadar karbon setelah dikalikan faktor 0,58. (Eviati, 2009)

2.4.2. Penentuan Nitrogen dengan metode Kjeldahl

Metode Kjeldahl digunakan untuk menentukan jumlah N organik dan N ammonia bebas. Metode ini pada umumnya hanya dilakukan pada sampel yang diduga mengandung zat organik seperti air buangan industri, air buangan penduduk serta sungai yang tercemar. Zat organik yang mengandung N diubah menjadi amonia, nitrogen amonia akan menjadi amonium sulfat setelah pemanasan sampel didalam larutan sulfat. Zat organik tersebut berubah menjadi CO2 dan H2O serta melepaskan ammonia yang di dalam suasana asam kuat terikat menjadi amonium sulfat. Kemudian tambahan basa NaOH akan melepaskan NH4 sekaligus mengubahnya menjadi NH4OH. Seluruh amonia yang berasal dari zat organik tersebut, air buangan juga mengandung amonia bebas dan amonia tersebut ikut tersuling bersama NH3 yang dilepaskan oleh zat organik dan semuanya disebut N-Kjeldahl. Jadi N-Kjeldahl adalah N organik dan N amonia bebas. Setelah keluar dari alat pendingin, NH3 tersebut diserap dengan larutan asam borat H3BO3. (Harjadi, 1930)

2.4.3. Penetapan Kadar Fosfor

Kadar posfor dapat ditetapkan dalam bentuk fosfor total sebagai P2O5, yaitu ditentukan secara spektrofotometri, ortofosfat yang terlarut direaksikan dengan ammonium molibdovanadat membentuk senyawa kompleks molibdovanadat asam


(5)

sulfat yang berwarna kuning. Intensitas warna yang terbentuk diukur pada panjang gelombang 400 nm. (SNI 2803, 2010).

2.4.4.Penetapan Kadar Kalium

Kadar kalium dapat ditetapkan dengan berdasarkan adanya serapan/absorpsi cahaya ultra violet atau visible oleh atom-atom suatu unsur dalam keadaan dasar yang berada dalam nyala api. Dimana kalium akan menyerap cahaya pada panjang gelombang 766,5 nm. (SNI 2803, 2010).

2.5. Prinsip Analisa 2.5.1. Metode Gravimetri

Penetapan Karbon dapat dilakukan dengan penetapan kadar abu. Dimana kadar abu/sisa pijar ditetapkan dengan cara pengabuan pada suhu 550-600 oC, sehingga bahan organik menjadi CO2 dan logam menjadi oksida logamnya. Bobot bahan yang hilang merupakan bahan organik yang dapat dikonversi menjadi kadar karbon setelah dikalikan faktor 0,58. (Eviati, 2009)

2.5.2. Metode Kjeldahl

Metode Kjeldahl Prinsip metode Kjeldahl adalah mula–mula bahan didekstruksi dengan asam sulfat pekat menggunakan katalis selenium oksiklorida atau butiran Zn. Ammonia yang terjadi ditampung dan dititrasi dengan bantuan indikator. Metode Kjeldahl pada umumnya dapat dibedakan atas dua cara, yaitu cara makro dan semimikro. Cara makro–Kjeldahl digunakan untuk sampel yang sukar dihomogenisasi dan besarnya 1–3 gram, sedangkan semimikro–Kjeldahl dirancang untuk sampel yang berukuran kecil, yaitu kurang dari 300 mg dari bahan yang homogen. (Maria Bintang, 2010).

2.5.3. Spektrofotometri UV-Visible

Prinsip kerja spektrofotometer UV-Vis adalah dimana sinar/cahaya dilewatkan melewati sebuah wadah (kuvet) yang berisi larutan, dimana akan menghasilkan spektrum. Alat ini menggunakan hukum Lambert Beer sebagai acuan (Ewing, 1975). Panjang gelombang untuk sinar ultraviolet antara 200-400 nm sedangkan panjang gelombang untuk sinar tampak/visible antara 400-750 nm.


(6)

Spektrofotometri serapan adalah pengukuran serapan radiasi elektromagnetik panjang gelombang tertentu yang sempit, mendekati monokromatik, yang diserap zat. Spektrofotometer pada dasarnya terdiri atas sumber sinar monokromator, tempat sel untuk zat yang diperiksa, detektor, penguat arus dan alat ukur atau pencatat. (Rohman, 2007).

2.5.4. Analisa Spektrofotometri Serapan Atom

Prinsip penentuan metode ini didasarkan pada penyerapan energi radiasi oleh atom-atom netral pada keadaan dasar, dengan panjang gelombang tertentu yang menyebabkan tereksitasinya dalam berbagai tingkat energi. Keadaan eksitasi ini tidak stabil dan kembali ke tingkat dasar dengan melepaskan sebagian atau seluruh energi eksitasinya dalam bentuk radiasi. Sumber radiasi tersebut lampu katoda berongga.

Instrumentasi Spektrofotometer Serapan Atom

A B C D E F

Gambar 1.1. Sistematis Ringkas dari Alat SSA A : Lampu katoda berongga

B : Chopper C : Tungku

D : Monokromator E : Detektor


Dokumen yang terkait

Pengaruh Waktu Fermentasi Terhadap Kandungan N, P dan K dari Limbah Pembuatan Minuman Teh Sosro dengan Penambahan Effective Microorganisme (EM4)

1 51 85

Studi Perbandingan Kandungan C, N, C/N, P, Dan K Di Dalam Kompos Kembang Bulan (Tithoni diversifolia Dan Daun Nippon (Euphatorium odoratum L.) Dengan Variasi Waktu Pengomposan

2 51 99

Perbandingan Kadar C, N, P, dan K Dalam Kandungan Pupuk Kompos dari Limbah Sayuran Sawi dengan Menggunakan Bakteri EM4, Tanah Gambut, dan Tanpa Starter

3 39 62

Perbandingan Kadar C, N, P, dan K Dalam Kandungan Pupuk Kompos dari Limbah Sayuran Sawi dengan Menggunakan Bakteri EM4, Tanah Gambut, dan Tanpa Starter

0 2 62

PEMBUATAN PUPUK ORGANIK CAIR DARI LIMBAH ORGANIK DENGAN AKTIVATOR EM4 DAN ANALISIS N P K PADA PUPUK CAIR ORGANIK.

2 13 19

Perbandingan Kadar C, N, P, dan K Dalam Kandungan Pupuk Kompos dari Limbah Sayuran Sawi dengan Menggunakan Bakteri EM4, Tanah Gambut, dan Tanpa Starter

0 0 9

Perbandingan Kadar C, N, P, dan K Dalam Kandungan Pupuk Kompos dari Limbah Sayuran Sawi dengan Menggunakan Bakteri EM4, Tanah Gambut, dan Tanpa Starter

0 0 2

Perbandingan Kadar C, N, P, dan K Dalam Kandungan Pupuk Kompos dari Limbah Sayuran Sawi dengan Menggunakan Bakteri EM4, Tanah Gambut, dan Tanpa Starter

0 0 4

Perbandingan Kadar C, N, P, dan K Dalam Kandungan Pupuk Kompos dari Limbah Sayuran Sawi dengan Menggunakan Bakteri EM4, Tanah Gambut, dan Tanpa Starter

0 0 2

Perbandingan Kadar C, N, P, dan K Dalam Kandungan Pupuk Kompos dari Limbah Sayuran Sawi dengan Menggunakan Bakteri EM4, Tanah Gambut, dan Tanpa Starter

0 0 12