Unsur Persamaan Pada Pokoknya Dalam Perkara Pembatalan Merek Terdaftar (Studi Kasus Merek PT. Krakatau Steel Dan Merek PT. Perwira Adhitama Sejati)

29

BAB II
STATUS MEREK TERDAFTAR LEBIH DAHULU YANG MEMILIKI
PERSAMAAN PADA POKOKNYA DENGAN MEREK LAIN
A. Pengertian Merek
Pengertian merek yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 1 UU Merek tidak
mendefenisikan merek sebagai HKI.41 Pasal 1 angka 1 UU Merek menentukan:
“Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka,
susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya
pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa”.
Berdasarkan pengertian merek pada Pasal 1 angka 1 UU Merek tersebut
menggambarkan bahwa merek dapat dibagi dua kategori yaitu merek barang dan
merek jasa. Pembagian merek tersebut juga ditemukan dalam Pasal 2 UU Merek yang
menentukan bahwa merek sebagaimana diatur dalam UU Merek ini adalah meliputi
merek dagang dan merek jasa, tetapi Pasal 2 UU Merek menggunakan istilah merek
dagang untuk merek barang.
Merek

dagang


adalah

merek

yang

digunakan

pada

barang

yang

diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan
hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.42 Ini berarti merek
dagang maupun merek barang adalah sama saja mengandung pengertian yang sama

41


Erma Wahyuni, T. Saiful Bahari, dan Hessel Nogi S. Tangkilisan, Kebijakan dan
Manajemen Hukum Merek, Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia-YPAPI, Yogyakarta,
tanpa tahun, hal. 75.
42
Pasal 1 angka 2 UU Merek.

29

30

yaitu merek barang. Contoh Merek dagang antara lain: Aqua, SONY, NOKIA, LG,
Sosro, dan lain-lain.
Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh
seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk
membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.43 Contoh merek jasa antara lain:
Restoran KFC, Mc Donalds, Hotel Aston, Hotel Hyatt, Matahari Dept Store,
Ramayana Dept Store, Carrefour, Garuda Indonesia, dan lain-lain.
Merek barang dan merek jasa sama-sama dapat diperdagangkan, kalau merek
barang untuk menyatakan merek terhadap barang-barang yang diperdagangkan,
sedangkan merek jasa adalah menyangkut jasa-jasa yang diperdagangkan,

sebagaimana pada contoh-contoh merek di atas.
Selain merek dagang dan jasa dalam satu pengertian secara terpisah, ada pula
yang disebut dengan merek kolektif yaitu merek yang digunakan pada barang
dan/atau jasa dalam satu pengertian secara bersamaan dengan karakteristik yang sama
yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama
untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya.44
Merek kolektif pada dasarnya dapat berupa merek barang, merek jasa atau
merek barang dan/atau jasa. Suatu merek dapat dijadikan sebagai merek kolektif
apabila memenuhi persyaratan, dimana produk barang dan/atau jasa yang diberikan
merek tersebut memiliki karakteristik yang sama. Untuk mendapatkan hak eksklusif

43
44

Pasal 1 angka 3 UU Merek.
Pasal 1 angka 4 UU Merek.

31

atas merek barang atau merek jasa serta merek kolektif dapat diperoleh melalui

proses dan prosedur pendaftaran.
Fungsi merek terdaftar adalah untuk membedakan suatu produk barang atau
jasa yang diperdagangkan sekaligus mengisyaratkan asal-usul suatu produk. 45 Merek
terdaftar juga berfungsi untuk mencegah terjadinya praktik persaingan usaha tidak
sehat. Tentang siapa pihak yang pertama kali mendaftarkan merek tersebut (sistim
konstitutif) bukan dilihat dari siapa yang menggunakan atau memakai merek tersebut
(deklaratif). Merek harus memiliki unsur-unsur daya pembeda, bukan milik umum,
dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum serat ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.46
Produk barang dan jasa dapat dibedakan asal mulanya, kualitasnya serta
keterjaminan bahwa produk itu original. Kadang kala yang membuat harga sebuah
produk menjadi mahal bukan produknya, tetapi mereknya. Itulah pentingnya merek,
dapat memberikan kepuasan bagi pembeli. Merek hanya sebagai benda immateril
yang tidak dapat memberikan kepuasan apapun secara fisik melainkan barang/jasa
dari merek itulah yang dapat memberikan kepuasan.47
B. Daftar Kelas-Kelas Merek Barang dan Jasa
Berdasarkan Pasal 8 ayat (3) UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (UU
Merek) mengenai kelas-kelas barang dan jasa diatur dalam Peraturan Pemerintah,

45


Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Alumni, Bandung 2005,

46

Ibid., hal. 51.
Erma Wahyuni, T. Saiful Bahari, dan Hessel Nogi S. Tangkilisan, Op. cit., hal. 74-75.

hal. 50.
47

32

namun hingga kini setelah UU Merek ini diundangkan belum ada Peraturan
Pemerintah yang baru mengatur tentang kelas-kelas barang dan jasa. Oleh sebab itu
untuk kelas-kelas barang dan jasa masih tetap berpedoman pada PP Nomor 24 Tahun
1993 Tentang Kelas Barang atau Jasa Bagi Pendaftaran Merek Presiden Republik
Indonesia.48
PP Nomor 24 Tahun 1993 ini merupakan amanat dari Pasal 8 UU Nomor 19
Tahun 1992 Tentang Merek yang hingga kini tetap menjadi pedoman dalam

menentukan kelas-kelas barang dan jasa.49 Berikut ini daftar kelas-kelas barang dan
jasa menurut PP Nomor 24 Tahun 1993 adalah:
1.

Daftar Kelas Barang
Daftar kelas barang terdiri dari 34 kelas yaitu dari kelas 1 s/d kelas 34 terkait

dengan kelas barang. Untuk lebih jelasnya berikut ini terdapat daftar kelas barang
mulai dari kelas 1 s/d kelas 34 adalah:
a. Kelas 1. Bahan kimia yang dipakai dalam industri, ilmu pengetahuan dan
fotografi, maupun dalam pertanian, perkebunan, dan kehutanan; damar tiruan
yang tidak diolah, plastik yang tidak diolah; pupuk; komposisi bahan
pemadam api, sediaan pelunak dan pematri; zat-zat kimia untuk mengawetkan
makanan; zat-zat penyamaki perekat yang dipakai dalam industri.
b. Kelas 2. Cat-cat, pernis-pernis; lak-lak; bahan pencegah karat dan kelapukan
kayu; bahan pewarna; pembetsa/pengering; bahan mentah. damar alam; logam
dalam bentuk lembaran dan bubuk untuk para pelukis, penata dekor, pencetak
dan seniman.
c. Kelas 3. Sediaan pemutih dan zat-zat lainnya untuk mencuci; sediaan untuk
membersihkan, mengkilatkan, membuang lemak dan menggosok; sabun-


48

https://www.dgip.go.id/merek/referensi-hukum, diakses tanggal 15 April 2015, daftar
perundang-undangan merek berjudul “Referensi Hukum Merek” diakses dari website Direktorat
Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (DJHKI).
49
Ibid.

33

sabun; wangi-wangi, minyak-minyak sari; kosmetik, losion rambut; bahanbahan pemelihara gigi.
d. Kelas 4. Minyak-minyak dan lemak-lemak untuk industri; bahan pelumas;
komposisi zat untuk menyerap, membasahi dan mengikat debu; bahan bakar
(termasuk larutan hasil penyulingan untuk motor) dan bahan-bahan
penerangan; lilin-lilin, sumbu-sumbu.
e. Kelas 5. Sediaan hasil farmasi, ilmu kehewanan dan saniter; bahan-bahan
untuk berpantang makan/diet yang disesuaikan untuk pemakaian medis,
makanan bayi; plester-plester, bahan-bahan pembalut; bahan-bahan untuk
menambal gigi, bahan pembuat gigi palsu; pembasmi kuman; sediaan untuk

membasmi binatang perusak, jamur, tumbuh-tumbuhan.
f. Kelas 6. Logam-logam biasa dan campurannya; bahan bangunan dari logarn;
bangunan-bangunan dari logam yang dapat diangkut; bahan-bahan dari logam
untuk jalan kereta api; kabel dan kawat-kawat dari logam biasa bukan untuk
listrik; barang-barang besi, benda-benda kecil dari logam besi; pipa-pipa dan
tabung-tabung dari logam; lemari-lemari besii barang-barang dari besi biasa
yang tidak termasuk dalarn kelas-kelas lain; bijih-bijih.
g. Kelas 7. Mesin-mesin dan mesin-mesin perkakas; motor-motor dan mesinmesin (kecuali untuk kendaraan darat); kopeling mesin dan komponen
transmisi (kecuali untuk kendaraan darat); perkakas pertanian; mesin menetas
untuk telur.
h. Kelas 8. Alat-alat dan perkakas tangan (dijalalnkan dengan tangan); alat-alat
pemotong; pedang-pedang; pisau silet.
i. Kelas 9. Aparat dan instrumen ilmu pengetahuan, pelayaran, geodesi, listrik,
fotografi, sinematografi, optik, timbang, ukur, sinyal, pemeriksaan
(pengawasan) , penyelamatan dan pendidikan; aparat untuk merekam,
mengirim atau mereproduksi suara atau gambar; pembawa data magnetik,
disk perekam; mesin-mesin otomat dan mekanisme untuk aparat yang bekerja
dengan memasukkan kepingan logam ke dalamnya; mesin kas, mesin hitung,
peralatan pengolah data dan kornputer; aparat pemadam kebakaran.
j. Kelas 10. Aparat dan instrumen pembedahan, pengobatan, kedokteran,

kedokteran gigi dan kedokteran hewan, anggota badan, mata dan gigi palsu;
benda-benda ortopedik; bahan-bahan untuk penjahitan luka bedah.
k. Kelas 11. Aparat untuk keperluan penerangan, pemanasan, penghasilan uap,
pemasakan, pendingihan,pengeringan, penyegaran udara, penyediaan air dan
kebersihan.
l. Kelas 12. Kendaraan-kendaraan; udara atau air, aparat untuk bergerak di
darat.
m. Kelas 13. Senjata-senjata api; amunisi-amunisi dan proyektil-proyektil; bahan
peledak; kembang api; petasan.
n. Kelas 14. Logam-logam mulia serta campuran-campurannya dan benda-benda
yang dibuat dari logam mulia atau yang disalut dengan bahan itu, yang tidak

34

termasuk dalarn kelas-kelas lainnya; per- hiasan, batu-batu mulia; jam-jam
dan instrumen peng.ukur waktu.
o. Kelas 15. Alat-alat musik.
p. Kelas 16. Kertas, karton dan barang-barang yang terbuat dari bahan-bahan ini,
yang tidak termasuk kelas-kelas lain; barang-barang cetakan; bahan-bahan
untuk menjilid buku; potret-potret; alat tulis-menulis perekat untuk keperluan

alat tulis-menulis atau rumah tangga alat-alat kesenian kwas untuk cat mesin
tik dan keperluan kantor (kecuali perabot kantor); bahan pendidikan dan
pengajaran (kecuali aparat-aparat); bahan-bahan plastik untuk pembungkus
(yang tidak termasuk kelas-kelas lain), kartu-kartu main; huruf-huruf cetak;
klise-klise.
q. Kelas 17. Karet, getah-perca, getah, asbes, mika dan barang- barang terbuat
dari bahan-bahan ini dan tidak termasuk kelas- kelas lain; plastik-plastik yang
sudah berbentuk untuk digunakan dalam pembuatan barang; bahan-bahan
untuk membungkus, merapatkan dan menyekat; pipa-pipa lentur, bukan dari
logam.
r. Kelas 18. Kulit dan kulit imitasi, dan barang-barang terbuat dari bahan-bahan
ini dan tidak termasuk dalam kelas-kelas lain; kulit-kulit halus binatang, kulit
mentah; koper-koper dan tas-tas untuk tamasya; payung-payung hujan,
payung-payung matahari dan tongkat-tongkat; cambuk-cambuk, pelana dan
peralatan kuda dari kulit.
s. Kelas 19. Bahan-bahan bangunan (bukan logam) ; pipa-pipa kaku bukan dari
logam untuk bangunan; aspal, pek, bitumen; bangunan-bangunan yang dapat
dipindah-pindah bukan dari logam; monumen- monumen, bukan dari logam.
t. Kelas 20. Perabot-perabot rumah, cermin-cermin,. bingkat gambar; bendabenda (yang tidak termasuk dalam kelas-kelas lain) dari kayu, gabus, rumput,
buluh, rotan, tanduk, tulang, gading, balein, kulit kerang, amber,kulit mutiara,

tanah liat magnesium dan bahan-bahan penggantinya, atau dari plastik.
u. Kelas 21. Perkakas dan wadah-wadah untuk rumah tangga atau dapur (bukan
dari logam mulia atau yang dilapisi logam mulia) sisir-sisir dan bunga-bunga
karang; sikat-sikat (kecuali kwas-kwas); bahan pembuat sikat; benda-benda
untuk membersihkan; wol; baja; kaca yang belum atau setengah dikerjakan
(kecuali kaca yang dipakai dalam bangunan} ; gelas-gelas, porselin dan pecah
belah dari tembikar yang tidak termasuk dalam kelas-kelas lain.
v. Kelas 22. Tambang, tali, jala-jala, tenda-tenda, tirai, kain terpal, layar-layar,
sak-sak dan kantong-kantong (yang tidak termasuk dalam kelas-kelas lain);
bahan-bahan pelapis dan pengisi bantal (kecuali dari karet atau plastik) ; seratserat kasar untuk pertenunan.
w. Kelas 23. Benang-benang untuk tekstil.
x. Kelas 24. Tekstil dan barang-barang tekstil, yang tidak termasuk dalam kelaskelas lain; tilam-tilam tempat tidur dan meja.
y. Kelas 25. Pakaian, alas kaki, tutup kepala.

35

z. Kelas 26. Renda-renda dan sulaman-sulaman, pita-pita dan jalinan-jalinan dari
pita; kancing-Kancing kail dan mata kait, jarum-jarum pentul dan jarumjarum; bunga-bunga buatan.
aa. Kelas 27. Karpet-karpet, permadani, keset Wmbahan anyaman untuk pembuat
keset, linoleum dan bahan-bahan lain untuk penutup ubin; hiasan-hiasan
gantung dinding (bukan dari tekstil).
bb. Kelas 28. Mainan-mainan; alat-alat senam dan olah-raqa yang tidak termasuk
kelas-kelas lain; hiasan pohon natal.
cc. Kelas 29. Daging, ikan, unggas dan binatang buruan, saripati dagingi buahbuahan dan sayuran yang diawetkan, dikeringkan dan dimasaki agar-agar;
selai-selai; saus dari buah-buahan; telur, susu dan hasil-hasil produksi susu;
minyak-minyak dan lemak-lemak yang dapat dimakan.
dd. Kelas 30. Kopi, teh, kakao, gula, beras, topioka, sagu, kopi buatan; tepung dan
sediaan-sediaan terbuat dari gandum; roti, kue-kue dan kembang-kembang
gula, es konsumsi; madu, air gula; ragi I bubuk pengembang roti/kue; garam,
moster; cuka I saus-saus (bumbu-bumbu) i rempah-rempah, es, kecap, tauco,
trasi, petis, -krupuk, emping.
ee. Kelas 31. Hasil-hasil produksi pertanian, perkebunan, kehutanan dan jenisjenis gandum yang tidak termasuk dalam kelas-kelas lain; binatang-binatang
hidup; buah-buahan dan sayuran segar; benih-benih; tanaman dan bungabunga alami; makanan hewan; mout.
ff. Kelas 32. Bir dan jenis-jenis bir; air mineral dan air soda dan minuman bukan
alkohol lainnya; minuman-minuman dari buah dan perasan buah; sirop-sirop
dan sediaan-sediaan lain untuk membuat minuman.
gg. Kelas 33. Minum-minuman keras (kecuali bir).
hh. Kelas 34. Tembakau, barang-barang keperluan perokok; korek api.
Daftar kelas barang untuk kelas 6 sebagaimana yang dipermasalahkan dalam
penelitian ini adalah kelompok merek-merek untuk barang-barang jenis logam-logam
biasa dan campurannya; bahan bangunan dari logarn; bangunan-bangunan dari logam
yang dapat diangkut; bahan-bahan dari logam untuk jalan kereta api; kabel dan
kawat-kawat dari logam biasa bukan untuk listrik; barang-barang besi, benda-benda
kecil dari logam besi; pipa-pipa dan tabung-tabung dari logam; lemari-lemari besii
barang-barang dari besi biasa yang tidak termasuk dalarn kelas-kelas lain; bijih-bijih.

36

2. Daftar Kelas Jasa
Selanjutnya berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 1993 Tentang Kelas Barang
atau Jasa Bagi Pendaftaran Merek, juga telah ditetapkan daftar kelas jasa yang terdiri
dari 8 (delapan) kelas yaitu:
a. Kelas 35. Periklanan yaitu: manajemen usaha; administrasi usaha; fungsifungsi kantor.
b. Kelas 36. Asuransi yaitu: urusan keuangan; urusan moneter; urusan tanaha
dan bangunan.
c. Kelas 37. Pembangunan gedung; perbaikan; jasa-jasa pemasangan.
d. Kelas 38. Telekomunikasi.
e. Kelas 39. Angkutan yaitu: pengemasan dan penyimpanan barang-barang;
pengaturan perjalanan.
f. Kelas 40. Perawatan bahan-bahan.
g. Kelas 41. Pendidikan yaitu; pemberian pelatihan; hiburan; kegiatan olah-raga
dan kebudayaan.
h. Kelas 42. Penyediaan makanan dan minuman, akomodasi sementara,
perawatan medis, kesehatan dan kecantikan; jasa-jasa pelayanan kedokteran
hewan dan pertanian; jasa-jasa pelayanan hukum; penelitian ilmiah dan
industri; pembuatan program komputer; jasa-jasa yang tidak dapat
dimasukkan dalam kelas-kelas lain.
Perolehan kelas daftar barang maupun jasa tersebut dapat diperoleh pada saat
pendaftaran merek di Direktorat Merek DJHKI Kementerian Hukum dan HAM
Republik Indonesia. Pada prinsipnya, suatu permintaan pendaftaran bagi suatu barang
atau jasa tertentu hanya dapat diajukan untuk satu kelas barang atau jasa. Berdasarkan
penjelasan dari PP Nomor 24 Tahun 1993 ini dalam satu kelas terdapat satu atau lebih
jenis barang atau jasa, tetapi dalam hal dibutuhkan pendaftaran untuk lebih dari satu
kelas, maka terhadap setiap kelas yang d1inginkan harus diajukan permintaan secara
terpisah. Disamping itu, dalam setiap permintaan pendaftaran harus disebutkan jenis
atau jenis-jenis barang atau jasa diinginkan dalam kelas yang bersangkutan.

37

C. Itikad Baik Dalam Pendaftaran Merek
UU Merek tidak memberikan batasan pengertian dan penjelasan mengenai
itikad baik. Dirujuk pada beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung telah
mempertimbangkan mengenai batasan itikad baik tersebut bahwa dalam putusan
No.1269 L/Pdt/1984 tanggal 15 Januari 1986,50 putusan No.220 PK/Perd/1981
tanggal 16 Desember 198651 dan putusan No.1272 K/Pdt/1984 tanggal 15 Januari
1987,52 Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemilik merek yang beritikad tidak
baik karena telah menggunakan merek yang terbukti sama pada pokoknya atau sama
pada keseluruhannya dengan merek pihak lawannya.53
Meskipun yurisprudensi-yurisprudensi tersebut didasarkan pada UndangUndang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan,
namun

masih

dapat

dipergunakan

sebagai

bahan

perbandingan

dengan

diberlakukannya Undang-Undang Merek 2001 (UU Merek). Oleh karena itu,
walaupun dalam UU Merek tidak dijelaskan tentang pemilik merek yang beritikad
baik tetapi dengan merujuk kepada yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut, maka
beritikad baik dimaksud tidaklah berbeda dengan kalimat yaitu “pemilik merek
memiliki merek yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau pada
keseluruhannya dengan merek orang lain”.

50

Mahkamah Agung RI, Yurisprudensi Indonesia, Ichtiar Baru-Van Hoeven, Jakarta, 1989,
hal. 19 dan hal. 20.
51
Ibid., hal. 104.
52
Ibid.
53
Gatot Supramono, Pendaftaran Merek Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1992, Djambatan, Jakarta, 1996, hal. 26.

38

Pengertian beritikad baik tidak boleh bertentangan dengan syarat-syarat
sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 6 UU Merek. Perbuatan beritikad tidak
baik merupakan pelanggaran Pasal 6 UU Merek sekaligus sebagai tindakan curang
untuk membonceng merek yang sudah terkenal atau sesuatu yang sudah banyak
dikenal masyarakat luas, sehingga dengan menggunakan merek yang demikian, suatu
produk ikut menjadi dikenal di masyarakat. Perbuatan demikian, tidak sesuai dengan
etika intelektual yang telah diatur dengan undang-undang, karena suatu hasil karya
orang lain tidak boleh ditiru begitu saja, melainkan harus melalui izin pemiliknya.54
Persyaratan itikad baik berarti bahwa untuk dapat didaftarkan, sebuah merek
harus digunakan atau dimaksudkan untuk digunakan dalam perdagangan barang
dan/atau jasa sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (2) huruf a UU Merek yang
berbunyi “Merek tidak digunakan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dalam
perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir,
kecuali apabila ada alasan yang dapat diterima oleh Direktorat Jenderal”.
Merek tidak dapat didaftar dan harus ditolak sebagaimana ditentukan dakam
Pasal 4 UU Merek yang berbunyi “Merek tidak dapat didaftar atas dasar Permohonan
yang diajukan oleh Pemohon yang beritikad tidak baik”. Sebuah merek diajukan di
Indonesia oleh seseorang yang tidak bermaksud memakai merek tersebut dan
bertujuan untuk menghalangi pihak lain masuk ke pasar lokal, atau menghambat
pesaing memperluas jaringan bisnisnya, menurut Tim Lindsey, merek tersebut tidak
dapat didaftarkan di Indonesia.55

54

RR. Putri Ayu Priamsari, Op. cit., hal. 115.

55

Tim Lindsey, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Alumni, Bandung, 2006, hal. 141.

39

Pendaftaran merek dilakukan dengan itikad baik untuk menggunakannya pun
harus dengan itikad baik. Masalah itikad baik tersebut juga akan timbul jika
seseorang telah memakai suatu merek dalam periode sebelumnya, jika seseorang itu
dapat membuktikan bahwa dirinya sudah menggunakan mereknya walaupun belum
didaftarkannya, maka usaha pendaftaran merek tersebut oleh orang lain dapat dicegah
berdasarkan prinsip “itikad tidak baik”.56
Merek harus didaftar dengan itikad baik. Artinya jika seseorang mencoba
mendaftarkan sebuah merek yang disadarinya sebagai merek milik orang lain atau
serupa dengan milik orang lain, maka merek tersebut tidak dapat didaftarkan.
Masalah itikad tidak baik akan timbul jika seseorang telah memakai suatu merek
dalam periode sebelumnya. Hal ini berarti bahwa jika seseorang itu dapat
membuktikan bahwa dirinya sudah menggunakan merek tersebut, maka usaha
mendaftarkan merek oleh orang lain dapat dicegah dengan mendasarkan kepada
“itikad tidak baik”.57
Pengusaha yang beritikad tidak baik dalam hal persaingan tidak jujur
berwujud penggunaan upaya-upaya untuk mempergunakan merek dengan meniru
merek terkenal yang sudah ada sehingga merek atas barang atau jasa yang diproduksi
secara pokoknya sama dengan merek atas barang atau jasa yang sudah terkenal
(untuk barang atau jasa sejenis) dengan maksud menimbulkan kesan kepada khalayak

56
57

Ibid., hal. 142.
Ibid.

40

ramai, seakan-akan barang atau jasa yang diproduksinya itu sama dengan produksi
barang atau jasa yang sudah terkenal.58
Itikad tidak baik adalah suatu sikap batin yang dengan sengaja melakukan
peniruan terhadap merek pihak lain dengan cara melanggar ketentuan dalam undangundang merek yang seharusnya menjunjung tinggi prinsip itikad baik vide Pasal 4,
yang menyebutkan bahwa: “Merek tidak dapat didaftarkan atas dasar permohonan
yang diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik”. Itikad tidak baik lawan dari
itikad baik dimana itikad tidak baik pada intinya adalah “pemilik merek memiliki
merek yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau pada keseluruhannya
dengan merek orang lain”.59
Ketentuan Pasal 4 tersebut dapat dinyatakan bahwa dalam UU Merek,
meskipun menganut sistem konstitutif, tetapi tetap asasnya melindungi pemilik merek
yang beritikad baik. Hanya permintaan yang diajukan oleh pemilik merek yang
beritikad baik saja yang dapat diterima untuk didaftarkan. Dengan demikian aspek
perlindungan hukum tetap diberikan kepada mereka yang beritikad baik dan terhadap
pihak lain yang beritikad tidak baik yang sengaja meniru atau tidak jujur
mendaftarkan mereknya, dapat dibatalkan oleh Direktorat Merek HKI. 60
Tindakan pihak lain yang beritikad tidak baik dalam pendaftaran merek
bertentangan dengan syarat-syarat yang ditetapkan Pasal 6 ayat (1) UU Merek.
Perbuatan beritikad tidak baik yang merupakan pelanggaran Pasal 6 ayat (1) UU
58

OK. Saidin (I), Op. cit., hal. 357.
Ibid., hal. 368.
60
Ibid.
59

41

Merek sebenarnya merupakan tindakan curang untuk membonceng merek yang sudah
terkenal atau sesuatu yang sudah banyak dikenal masyarakat luas, sehingga dengan
menggunakan merek yang demikian, suatu produk ikut menjadi dikenal di
masyarakat. Sudah tentu perbuatan ini tidak sesuai dengan etika intelektual yang telah
diatur dengan Undang-Undang. Suatu hasil karya orang lain tidak dapat ditiru begitu
saja, tetapi terlebih dahulu harus dengan izin pemiliknya.
Persaingan usaha dalam dunia bisnis adalah hal yang wajar dan baik, sebab
dapat mendorong pengusaha untuk menambah hasil produksi, mempertinggi
mutu/kualitas barang. Apabila persaingan menimbulkan keadaan, dimana pengusaha
yang satu berusaha menjatuhkan pengusaha yang lain untuk keuntungannya sendiri
tanpa mengindahkan kerugian yang diderita oleh pihak lain, maka inilah titik awal
dari keburukan suatu kompetitif yang menjurus pada pelanggaran hukum yang
disebut dengan persaingan usaha tidak sehat.61
Suatu merek diajukan pendaftarannya di Indonesia oleh seseorang atau suatu
badan hukum yang bertujuan untuk menghalangi pihak lain masuk ke pasar lokal,
atau menghambat pesaing dengan memperluas jaringan bisnisnya, maka merek
tersebut tidak dapat didaftarkan di Indonesia.62 Larangan ini untuk mencegah jangan
sampai orang atau pihak tertentu melakukan pendaftaran berbagai jenis barang dalam
suatu merek dengan itikad tidak baik agar orang lain tidak dapat menggunakan merek
tersebut atau dengan cara-cara curang membatasi perdagangan barang dan/atau jasa.

61
62

Ibid., hal. 356.
Tim Lindsey, Op. cit., hal. 140-141.

42

D. Unsur Persamaan Pada Pokoknya atau Keseluruhannya
Tujuan diadakannya merek adalah sebagai tanda pembeda antara produk yang
satu dengan produk lain yang diproduksi oleh perusahaan yang berbeda.63 Unsur
persamaan pada pokoknya atau keseluruhanya sering kali menjadi titik persengketaan
dalam hal kepemilikan suatu merek, selalu yang dipersoalkan adalah adanya
persamaan (identik) antara merek yang satu dengan merek yang lain. Kedua unsur ini
dapat menjadi titik perkara baik secara hukum perdata maupun hukum pidana.
Unsur-unsur yang sering mendapat perhatian dalam acara pembuktian pada
kasus tindak pidana pemalsuan merek adalah masalah pembuktian persamaan pada
pokoknya atau keseluruhannya dengan merek milik pihak lain yang sudah terdaftar
lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis, baik mempunyai persamaan
pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal maupun
membuktikan persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasigeografis yang sudah dikenal.64
Pengaturan mengenai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya terdapat
di dalam Pasal 6 ayat (1) UU Merek. Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU Merek,
permohonan pendaftaran merek harus ditolak oleh Dirjen HKI apabila merek
tersebut:

63

Julius Rizaldi, Op. Cit., hal. 1.
Alimuddin Sinurat (II), “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Merek
Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek”, USU Law Journal,
Vol.2.No.2 (September-2014), hal. 18 (hal. 12-25).
64

43

1. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek
milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa
yang sejenis.
2. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek
yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis.
3. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasigeografis yang sudah dikenal.
Pasal 6 UU Merek menggunakan istilah “persamaan pada pokoknya” atau
“keseluruhannya”. Kalimat persamaan pada pokoknya berarti

mengandung

persamaan yang paling menonjol.65 Persamaan pada pokoknya dijelaskan dalam
penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Merek terkait dengan kemiripan yang
disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dan
merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai
bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun
persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut.66
Parameter untuk mengatakan merek yang satu memiliki persamaan pada
pokoknya dengan merek yang lain adalah adanya unsur-unsur yang menonjol. Unsur
yang menonjol dalam hal ini dapat pula dipahami maksudnya adalah unsur yang
paling pokok dan yang paling utama dari merek.67 Persamaan pada pokoknya
menurut OK Saidin diproduksi secara pokoknya sama dengan merek barang dan/atau
jasa yang sudah terkenal (sejenis).68
Unsur yang menonjol dalam merek dapat dilihat dari kesan yang ditimbulkan
yaitu dapat berupa: persamaan mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan
65

Ibid.
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Merek.
67
Ibid.
68
OK. Saidin (I), Op. cit., hal. 357.
66

44

atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat
dalam merek-merek tersebut.69 Persamaan pada pokoknya berarti antara merek yang
satu dengan merek yang lain masih terdapat perbedaan tipis namun unsur pokoknya
tetap tidak bisa dibedakan sama sekali.
Pemakaian merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dapat
menimbulkan kebingungan yang nyata atau menyesatkan masyarakat konsumen,
seolah-olah merek tersebut berasal dari sumber atau produsen yang sama.70 Sehingga
dengan demikian menimbulkan kerugian bagi pemilik merek yang sudah terdaftar
lebih dahulu atau menimbulkan kerugian bagi pemilik merek terkenal.
Contoh perkara pemakaian merek yang mengandung persamaan pada
pokoknya adalah perkara antara Laboratoire Cosmetique De Lecouse sebagai pemilik
merek G.M. Collin yang sudah terdaftar di Denmark, Australia, Perancis, Inggris,
Singapura, Brazil, Cina, Cyprus, Colombia, dan Hongkong, melawan PT. Universe
Lion yang mendaftarkan mereknya “COLLIN”. Meskipun pemegang merek G.M.
Collin dikalahkan atas dasar sulitnya penentuan tentang merek terkenal namun secara
substansi merek tersebut memiliki persamaan pada pokoknya baik pada huruf
maupun bunyi.71
Contoh lain tentang perkara pemakaian merek yang mengandung persamaan
pada pokoknya juga terdapat dalam sengketa antara PT. Lautan Luas Tbk, sebagai
pemakai pertama dari merek dagang “Lautan Luas” dengan logo “TLT” dengan

69

Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Merek.
Charles Yeremia Far-Far, Tinjauan Yuridis Pembatalan Merek Dagang Terdaftar Terkait
Prinsip Itikad Baik (Good Faith) Dalam Sistem Pendaftaran Merek (Studi Putusan Nomor 356
K/Pdt.Sus-HaKI/2013), Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2014, hal. 16.
71
OK. Saidin (I), Op. cit., hal. 361. Perkara ini diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
melalui Putusan Nomor: 08/Merek/2001/PN. Niaga Jkt. Pst.
70

45

lukisan “Matahari Terbit” melawan Utaya Yososudarmo yang mendaftarkan merek
“SUNSEA BRAND” dengan menggunakan logo “LTL” dan lukisan “Matahari
Terbit”. Pengadilan memutuskan kedua merek tersebut memiliki persamaan pada
pokoknya untuk keduanya menggunakan barang jenis kelas I. Tergugat dinyatakan
beritikad tidak baik dan karena itu merek milik tergugat dibatalkan.72
Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 217 K/Sip/1972 Tanggal 30
Oktober 1972 dalam perkara merek YKK menyatakan dalam hal persamaan pada
pokoknya, suatu merek mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek lain,
jika bentuk atau susunannya atau bunyinya, dan bagi masyarakat telah menimbulkan
kesan, persamaan menurut putusan ini tidak perlu harus 100% sama.
Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 025 K/N/Haki/2006
menyatakan bahwa merek GAPPA memiliki persamaan pada pokoknya dengan
merek GAP. Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 044K/N/Haki/2004
Tanggal 24 Maret 2004 menyatakan merek NOKIA dan NOKIIA memiliki
persamaan pada pokoknya.
Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 738 K/Pdt.Sus/2011
Tanggal 5 Januari 2012 menyatakan merek Elastyn dan merek Pelastin mempunyai
persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya. Yurisprudensi Putusan Mahkamah
Agung Nomor 114 K/Pdt/1989 Tanggal 17 Desember 1994 menyatakan merek Asiamark & Logo memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek Hallmark & Logo.

72

Ibid. Perkara ini diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Putusan Nomor:
01/Merek/2001/PN. Niaga Jkt. Pst.

46

Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 352 K/Sip/1975 tanggal 2
Januari 1982 juga menyatakan merek Miwon & Logo memiliki persamaan pada
pokoknya dengan merek Ajinomoto & Logo, khususnya pada gambar mangkoknya.
Dengan demikian dari contoh-contoh dan yurisprudensi tersebut di atas dapat
diajdikan sebagai pedoman untuk menentukan mana merek yang memenuhi unsur
persamaan pada pokoknya dengan merek lain yang sudah terdaftar lebih dahulu.
Sedangkan dalam hal persamaan pada keseluruhannya mengandung sinonim
sama, atau identik, atau persis, dan dengan kata lain “tidak memiliki daya beda”.
Penafsiran demikian dapat dimengerti bahwa unsur persamaan pada keseluruhannya
sama sekali tidak memiliki daya pembeda antara merek yang satu dengan merek yang
lain.73 Persamaan pada keseluruhannya berarti seluruh elemennya sama tanpa
terkecuali.74
Dalam hal persamaan pada keseluruhannya untuk jenis barang berupa sabun
yang diproduksi dengan merek “Lux” milik A yang lebih dahulu terdaftar dan tercatat
di dalam DUM Dirjen HKI, kemudian merek “Lux” milik B diajukan pendaftarannya
setelah dua tahun berikutnya, maka merek “Lux” milik si B tadi harus ditolak oleh
Dirjen HKI, karena merek si A dan si B jelas adalah sama, identik, persis, dan tidak
memiliki daya pembeda sama sekali.
Parameter yang digunakan untuk membedakan dalam hal ini adalah bahwa
merek “Lux” milik si B memenuhi unsur persamaan pada keseluruhannya dengan

73
74

Alimuddin Sinurat (II), Loc. cit.
Charles Yeremia Far-Far, Op. cit., hal. 8.

47

merek terdaftar lebih dahulu yaitu merek “Lux” milik si A. Bila Dirjen HKI tetap
menerima permohonan pendaftaran merek “Lux” milik si B, maka dalam hal ini
sesungguhnya Dirjen HKI telah melakukan pelanggaran, namun dalam UU Merek
tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai sanksi yang dapat dikenakan kepada
Dirjen HKI dalam kasus seperti ini.
Contoh lain tentang perkara merek yang mengandung persamaan pada
keseluruhannya adalah terjadi antara Morgan S.A. sebagai pemilik merek dagang
“MORGAN” (kelas barang 25) sebagai penggugat melawan Fong Sui Pau yang
mendaftarkan dan menggunakan merek dagang “MORGAN” (kelas barang 14) dan
Dirjen HKI yang telah menerima pendaftaran merek tersebut. Pengadilan menyatakan
merek “MORGAN” milik Morgan S.A. merupakan merek terkenal (well known
mark), sehingga pengadilan membatalkan merek “MORGAN” yang didaftarkan oleh
Fong Sui Pau.75
Contoh kasus merek yang juga mengandung persamaan pada keseluruhannya
adalah antara PT. Brother Industries Ltd, melawan PT. Multijaya Girimas atas
penggunaan merek yang sama yaitu sama-sama menggunakan merek “Brother” untuk
jenis barang yang sama. Meskipun gugatan penggugat ditolak oleh karena kekeliruan
pada pemberian kuasa (surat kuasa tidak tegas menunjuk untuk kepentingan apa),

75

Oka Saidin (I), Op. cit., hal. 360. Perkara ini diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
melalui Putusan Nomor: 09/Merek/2001/PN. Niaga Jkt. Pst.

48

namun perkara ini menunjukkan tentang penggunaan merek yang memiliki
persamaan pada keseluruhannya.76
Parameter yang menjadi rujukan pengadilan dari contoh-contoh di atas
tersimpul dalam memutus sengketa merek yang mengandung persamaan pada
pokoknya atau keseluruhannya yaitu tentang merek terkenal. Ketentuan dalam Pasal 6
ayat (1) UU Merek mengandung tiga parameter yang penting harus diketahui
terutama bagi Dirjen HKI adalah 1) merek lain tersebut sudah terdaftar lebih dahulu,
2) merek lain tersebut sudah terkenal, dan 3) merek lain tersebut memiliki indikasi
geografis yang sudah dikenal. Dari ketiga-tiga poin penting ini yang menjadi
persoalan adalah poin kedua, apakah merek terkenal yang dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) huruf b ini sudah terdaftar atau belum? Pertanyaan ini muncul sehubungan
dengan ketentuan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b tidak menyebutkan apakah merek
terkenal tersebut sudah terdaftar lebih dahulu atau belum terdaftar.
Merek terkenal yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b bila sudah
terdaftar lebih dahulu, berarti ketentuan ini sejalan (harmonis) dengan Pasal 6 ayat (1)
huruf a, artinya tidak ada masalah dalam ketentuan ini. Tetapi bila merek terkenal
yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b belum terdaftar lebih dahulu,
melainkan hanya diukur dari keterkenalannya saja tanpa pendaftaran, tentu akan
menimbulkan permasalahan, karena tidak sejalan dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a
yang menentukan harus terdaftar lebih dahulu.

76

Ibid. Perkara ini diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Putusan Nomor:
05/Merek/2001/PN. Niaga Jkt. Pst.

49

Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf b UU Merek menjelaskan merek terkenal
secara rinci sebagai berikut:
Penolakan permohonan yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhan dengan merek terkenal untuk barang dan/atau jasa yang sejenis
dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai
merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan. Di samping itu,
diperhatikan pula reputasi merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang
gencar dan besar-besaran, investasi di beberapa negara di dunia yang
dilakukan oleh pemiliknya, dan disertai bukti pendaftaran merek tersebut di
beberapa negara. Apabila hal-hal di atas belum dianggap cukup, Pengadilan
Niaga dapat memerintahkan lembaga yang bersifat mandiri untuk melakukan
survei guna memperoleh kesimpulan mengenai terkenal atau tidaknya Merek
yang menjadi dasar penolakan.
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf b ini juga tidak terdapat penjelasan tentang
merek terkenal tersebut apakah sudah terdaftar atau belum. Kalau merek tersebut
sudah terdaftar dan kemudian terkenal tidak menjadi soal dalam konteks ini. Namun
yang menjadi soal adalah merek tersebut lebih dahulu terkenal daripada terdaftarnya
atau sekalipun mereknya sudah terdaftar tetapi tidak terkenal. Apa yang menjadi
parameter untuk menolak merek demikian.
Ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a pada prinsipnya pendaftaran merek
mengandung sifat konstitutif (mengakui pendaftar yang pertama kalinya), namun bila
bersandarkan pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan ayat (2) junto Pasal 37 ayat (2) UU
Merek, sifat konstitutif dari pendaftaran merek bersifat relatif (tidak konsisten) karena
parameternya dilihat dari keterkenalan merek tersebut. Unsur keterkenalan berarti
bersifat deklaratif. UU Merek tidak bersifat mutlak mengandung konstitutif. Sifat
konstitutif dalam UU Merek tidak memenuhi asas kepastian hukum dalam
memberikan perlindungan hukum terhadap merek terdaftar lebih dahulu.

50

Mengukur suatu merek terkenal baik barang dan/atau jasa yang sejenis
menurut Pasal 6 ayat (1) huruf b UU Merek hanya dilakukan dengan memperhatikan
pengetahuan umum masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha yang
bersangkutan, reputasinya, karena promosi yang gencar dan besar-besaran, karena
investasi di beberapa negara di dunia, dan disertai bukti pendaftaran merek di
beberapa negara, serta hasil survei atas perintah Ketua Pengadilan Niaga. 77
Ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf b dan penjelasannya, hanya menyebutkan
syarat bukti pendaftaran merek di beberapa negara saja, masalahnya adalah
bagaimana dengan merek lokal yang tidak terdaftar di beberapa negara bila dikaitkan
dengan Pasal 6 ayat (1) huruf b UU Merek? Tentu akan menjadi masalah karena
Pasal 6 ayat (1) huruf b ini tidak menentukan dengan tegas dan jelas bahwa merek
terkenal tersebut adalah merek yang sudah terdaftar lebih dahulu.
Persoalan demikian bisa saja muncul bila ada suatu merek yang tidak terdaftar
dalam DUM Dirjen HKI tetapi merek tersebut sudah terkenal lebih dahulu. Ketika
muncul suatu persoalan seperti ini, maka dapat dipastikan bahwa UU Merek tidak
mampu mengakomodasi penyelesaian sengketa merek demikian. Sehingga cara satusatunya yang ditempuh adalah menarik kasus tersebut kepada pendaftaran mereknya,
padahal dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b UU Merek tidak mengatur demikian.
Mengukur persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) UU Merek harus dilihat dari barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan itu harus sejenis. Bila barang dan/atau jasa yang
77

Ibid., hal. 355.

51

diperdagangkan itu berbeda jenisnya dan menggunakan merek yang sama, maka
berdasarkan analisis terhadap Pasal 6 ayat (1) UU Merek ini pendaftarannya harus
ditolak oleh Dirjen HKI. Parameter yang harus diperhatikan adalah keterkenalan dari
salah satu dari dua merek tersebut atau melihat siapa yang lebih dahulu mereknya
terdaftar dalam DUM.
Pasal 28 UU Merek mengenai masa berlakunya pendaftaran merek hanya
berlaku selama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang kembali untuk jangka
waktu yang sama yaitu perpanjangan dengan jangka waktu 10 (sepuluh) tahun
kedepannya (vide: Pasal 35 UU Merek). Pada saat perpanjangan jangka waktu
perlindungan merek juga harus diperhatikan masalah persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan merek yang lain yang sudah terkenal.
Perpanjangan untuk jangka waktu perlindungan merek, sesuai Pasal 37 ayat
(2) tidak berlaku sifat konstitutif, karena ketentuan ini hanya melihat dari sisi
keterkenalannya saja bukan dari sisi pendaftar yang lebih dahulu mendaftar. Pasal 37
ayat (2) UU Merek menentukan “Permohonan perpanjangan ditolak oleh Direktorat
Jenderal, apabila merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan merek terkenal milik orang lain, dengan memperhatikan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dan ayat (2)”.
Pasal 37 ayat (2) UU Merek junto Pasal 6 ayat (1) huruf b dan ayat (2) ini
mengatur tentang merek terkenal. Sedangkan untuk merek yang hanya mengandalkan
pendaftarannya saja atau karena lebih dahulu terdaftar daripada merek lain kurang
dapat memberikan perlindungan hukum bagi pemiliknya, sebab merek yang demikian

52

akan terevaluasi berdasarkan Pasal 37 ayat (1) yang menentukan Dirjen HKI harus
menolak permohonan perpanjangan apabila telah habis jangka waktu sebelum
perpanjangan (Pasal 35), merek yang bersangkutan tidak lagi digunakan pada barang
atau jasa sebagaimana disebut dalam Sertifikat Merek dan barang atau jasa tersebut
tidak lagi diproduksi dan tidak lagi diperdagangkan (Pasal 36).
E. Status Merek Yang Didaftarkan Yang Memiliki Persamaan Pada Pokoknya
Dengan Merek Yang Sudah Terdaftar Lebih Dahulu
Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 28 UU Merek dapat digunakan untuk
menganalisis status merek yang terdaftar lebih dahulu (first to file) yang memiliki
persamaan pada pokoknya dengan merek lain. Pasal ini mengandung ketentuan
bahwa: “Merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10
(sepuluh) tahun sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu perlindungan itu dapat
diperpanjang”. Berangkat dari ketentuan ini jelas sekali menentukan status hukum
merek yang terdaftar lebih dahulu harus diakui legalitasnya.
Konsekuansi dari Pasal 28 UU Merek berarti setiap kali ada pendaftaran
merek yang didaftarkan di kemudian hari oleh pihak lain yang memenuhi unsur
persamaan pada pokoknya ataupun keseluruhannya dengan merek yang terdaftar
lebih dahulu harus ditolak oleh Dirjen HKI. Penolakan ini bertujuan untuk menjamin
perlindungan hukum terhadap status kepemilikan merek yang terdaftar lebih dahulu.
Pemegang hak atas merek akan memiliki hak eksklusif untuk jangka waktu
selama 10 (sepuluh) tahun dengan menggunakan sendiri mereknya atau memberikan

53

izin (lisensi) kepada pihak lain untuk menggunakannya jika merek tersebut sudah
terdaftar pada DUM sesuai Pasal 3 UU Merek.
Pendaftar merek yang pertama kali lah yang lebih dahulu mendapat suatu
kepastian hukum bahwa dialah yang berhak atas merek tersebut. Sebaliknya bagi
pihak lain yang mencoba akan mempergunakan merek yang sama (identik) atau
memiliki unsur persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk baran/jasa
sejenis, harus ditolak oleh Dirjen HKI.78
Status merek yang terdaftar lebih dahulu harus diakui secara hukum (asas
legalitas) dan pengakuan itu sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap merek
selama 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal penerimaan, kecuali jangka waktu 10 tahun
tersebut sudah habis dan tidak diperpanjang kembali. Bila diperhatikan ketentuan
pasal-pasal dalam UU Merek tidak ada ketentuan dengan tegas yang menentukan
bagaimana status merek yang tidak diperpanjang kembali oleh pemiliknya.
Pasal 36 UU Merek menentukan permohonan perpanjangan disetujui apabila:
1) merek yang bersangkutan masih digunakan pada barang atau jasa sebagaimana
disebut dalam Sertifikat Merek; dan 2) barang atau jasa tersebut masih diproduksi dan
diperdagangkan. Selanjutnya Pasal 37 ayat (1) UU Merek menentukan permohonan
perpanjangan harus ditolak oleh Dirjen HKI apabila permohonan tersebut tidak
memenuhi ketentuan Pasal 35 dan Pasal 36. Masalahnya adalah bagaimana status
merek jika merek yang bersangkutan sudah habis masanya 10 (sepuluh) tahun dan
pemiliknya sama sekali tidak mengajukan permohonan perpanjangan.
78

Siti Marwiyah, Op. cit., hal. 42.

54

Status merek yang demikian tentu akan menimbulkan persoalan ketika
pemiliknya tidak memperpanjang kembali masa berlaku mereknya. UU Merek tidak
mengatur hal demikian secara tegas, ketentuan Pasal 36 UU Merek hanya mengatur
bagi pemilik yang mengajukan permohonan perpanjangan saja. Tetapi untuk
memahami ketentuan Pasal 36 UU Merek bisa dilakukan interpretasi berdasarkan
argumentum a contrario, sehingga merek yang tidak diajukan perpanjangan masa
berlakunya karena sudah habis, dianggap tidak berlaku lagi dan Dirjen HKI harus
menghapus merek tersebut dari DUM.
Ada kalanya suatu peristiwa tidak secara khusus diatur dalam undang-undang,
tetapi kebalikan dari peristiwa tersebut ternyata diatur dalam undang-undang.
Bagaimanakah menemukan hukumnya? Cara menemukan hukumnya adalah dengan
cara pertimbangan, jika undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa
tertentu, maka peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan untuk peristiwa di
luarnya berlaku kebalikannya. Metode ini disebut metode argumentum a contrario
atau penafsiran undang-undang dengan cara sebaliknya dari peristiwa kongkrit yang
dihadapi dengan peristiwa yang ada di dalam undang-undang.79
Interpretasi hukum merupakan penjelasan terhadap setiap istilah baik yang
terdapat di dalam undang-undang maupun masih samar-samar (ganda) yang tidak
jelas untuk kemudian dijelaskan melalui metode-metode penafsiran sehingga menjadi
jelas dan terang mengenai maksud norma yang terkandung di dalam undang-undang

79

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar
Grafika, Jakarta, 2010, hal. 81.

55

tersebut.80 Ketentuan pasal-pasal dalam undang-undang merek harus pula ditafsirkan
agar menjadi jelas dan terang mengenai maksud norma yang terkandung di dalam
undang-undang tersebut.
Kembali difokuskan pada status hukum merek yang sudah terdaftar lebih
dahulu. Bila hanya melihat kepada ketentuan Pasal 28 UU Merek, maka perlindungan
hukum merek yang diberikan baik kepada merek asing atau lokal, terkenal atau tidak
terkenal hanya diberikan kepada merek yang terdaftar. Oleh karena itu, bagi siapapun
yang berupaya menggunakan merek identik dengan merek yang sudah terdaftar lebih
dahulu harus ditolak.81
Bila diperhatikan secara teliti pasal-pasal yang mengatur tentang Jangka
Waktu Perlindungan Merek Terdaftar dalam Pasal 35 s/d Pasal 38 UU Merek,
tergambar bahwa tidak ada jaminan perlindungan hukum bagi pemilik merek yang
terdaftar lebih dahulu untuk selalu memiliki status hukum atas mereknya, walaupun
pemiliknya sudah mengajukan perpanjangan jangka waktu.
UU Merek seolah mendidik para pelaku usaha agar selalu berkompetisi secara
sehat dengan memperhatikan popularitas, ketenaran dan keterkenalan suatu merek
dalam tingkat pengetahuan umum masyarakat serta dari sisi ekonomi menjadi ukuran
bagi perpanjangan pendaftaran merek bagi Dirjen HKI. Norma tersebut sangat jelas
sekali terkandung di dalam Pasal 35 s/d Pasal 38 UU Merek. Dirjen HKI
80

Yudha Bahkti Adhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung, 2008,

hal. 19.
81

Suteki, “Pemberdayaan Peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Dalam Proses
Perlindungan Hukum di Bidang Merek Terkenal”, Jurnal Media Hukum, Volume V Nomor 1, JanuariMaret 2005, hal. 8.

56

diperintahkan undang-undang untuk memeriksa apaka merek tersebut masih
digunakan untuk produksi barang atau tidak.
Maksud pembuat undang-undang memerintahkan kepada Dirjen HKI untuk
melakukan pemeriksaan atas penggunaan merek sesuai dengan Sertifikat Merek,
dalam ketentuan ini secara tidak tersirat membuka peluang untuk menghapus merek
dari DUM. Sesungguhnya tidak ada masalah dalam konteks ini. Tetapi yang menjadi
masalah adalah ketika merek terdaftar tersebut identik dengan merek lain, maka
dalam hal ini yang tergambar secara eksplisit di dalam undang-undang adalah diukur
dengan popularitas merek.
Pasal 28 UU Merek menentukan merek terdaftar mendapat perlindungan
hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal penerimaan, dan jangka
waktu perlindungan itu diperpanjang kembali untuk jangka waktu yang sama oleh
pemiliknya sesuai Pasal 35 ayat (1) UU Merek, berpotensi menimbulkan masalah
yaitu bagaimana bila pada saat perpanjangan jangka waktu tersebut, ada pihak lain
yang juga memperpanjang jangka waktu mereknya pada saat yang bersamaan?
Pasal 28 junto Pasal 35 ayat (1) UU Merek berpotensi menjadi mandul alias
tidak mampu memberikan perlindungan hukum terhadap merek terdaftar lebih
dahulu. Argumentasi yuridis ini didasarkan pada Pasal 37 ayat (2) UU Merek.
Ketentuan yang terkandung di dalam Pasal 37 ayat (2) UU Merek adalah:
“Permohonan perpanjangan ditolak oleh Direktorat Jenderal, apabila merek tersebut
mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terkenal

57

milik orang lain, dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf b dan ayat (2)”.
Contoh dua orang pendaftar merek yang memiliki persamaan pada pokoknya
tetapi mereka sama-sama belum mengetahui ada unsur persamaan tersebut. Merek si
A didaftar lebih dahulu daripada merek si B, dan keduanya memiliki konfigurasi
unsur persamaan pada pokoknya, dimana merek si A menggunakan GK (Gunung
Kelud) digunakan untuk merek barang berupa kopi, sedangkan merek si B
menggunakan GKKD (Gunung Kelud Kopi Darat) juga digunakan untuk merek
barang berupa kopi.
Muncul sengketa yang mempersoalkan “ada persamaan pada pokoknya yaitu
huruf GK” pada saat perpanjangan jangka waktu untuk kedua merek. Ketentuan Pasal
37 ayat (2) UU Merek menjadi dasar bagi Dirjen HKI untuk menyatakan merek
GKKD milik si B diterima permohonan perpanjangannya sedangkan merek GK milik
si A harus dibatalkan, padahal merek si A lebih dahulu didaftarkan.
Pertimbangan Dirjen HKI yang menerima merek milik si B karena selama ini
si B melakukan ekspansi dan promosi besar-besaran hingga menjadi terkenal di
masyarakat sedangkan merek si A biasa-biasa saja sehingga tidak begitu terkenal di
masyarakat. Dari contoh logika tersebut dapat disimpulkan bahwa sekalipun si A
lebih dahulu terdaftar pada Dirjen HKI, tidak memberikan jaminan akan status
hukum mereknya, sebab bila ada merek lain yang lebih terkenal dari merek si A,
maka merek si A harus dibatalkan atau dapat dibatalkan.

58

Ketentuan lain yang mendukung argumentasi ini adalah kaitan antara Pasal 6
ayat (1) huruf b dan Pasal 6 ayat (2). Bila dipahami dari kedua pasal ini, terkandung
dua makna, pertama, permohonan pendaftaran harus ditolak oleh Dirjen HKI apabila
mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang
sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis; atau kedua,
permohonan itu harus ditolak oleh Dirjen HKI apabila mempunyai persamaan pada
pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain
untuk barang/jasa yang tidak sejenis.82
Merek barang/jasa yang sejenis maupun yang tidak sejenis dapat ditolak oleh
Dirjen HKI bila meme

Dokumen yang terkait

Persemaan merek cardinal dengan cadinar (Analisis Putusan MA No. 892 K/Pdt.Sus/2012 dalam Kasus PT. Multi Garmenjaya dengan PT. Gisha Cahaya Mandiri)

9 46 100

Unsur Persamaan Pada Pokoknya Dalam Perkara Pembatalan Merek Terdaftar (Studi Kasus Merek PT. Krakatau Steel Dan Merek PT. Perwira Adhitama Sejati)

0 0 13

Unsur Persamaan Pada Pokoknya Dalam Perkara Pembatalan Merek Terdaftar (Studi Kasus Merek PT. Krakatau Steel Dan Merek PT. Perwira Adhitama Sejati)

0 1 2

Unsur Persamaan Pada Pokoknya Dalam Perkara Pembatalan Merek Terdaftar (Studi Kasus Merek PT. Krakatau Steel Dan Merek PT. Perwira Adhitama Sejati)

0 0 28

Unsur Persamaan Pada Pokoknya Dalam Perkara Pembatalan Merek Terdaftar (Studi Kasus Merek PT. Krakatau Steel Dan Merek PT. Perwira Adhitama Sejati)

0 0 7

Larangan Pendaftaran Merek yang Sama Pada Pokoknya Dengan Merek Terdaftar (Studi Terhadap Beberapa Putusan Mahkamah Agung)

1 1 13

Larangan Pendaftaran Merek yang Sama Pada Pokoknya Dengan Merek Terdaftar (Studi Terhadap Beberapa Putusan Mahkamah Agung)

0 0 3

Larangan Pendaftaran Merek yang Sama Pada Pokoknya Dengan Merek Terdaftar (Studi Terhadap Beberapa Putusan Mahkamah Agung)

0 0 24

MPLEMENTASI KRITERIA PERSAMAAN PADA POKOKNYA DALAM KASUS GUGATAN PEMBATALAN MEREK - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 3

PEMBATALAN HAK MEREK KARENA ADANYA PERSAMAAN PADA POKOKNYA DAN PERSAMAAN DENGAN MEREK TERKENAL Oleh: Anggo Doyoharjo dan Puspaningrum Dosen Fakultas Hukum UNISRI ABSTRAK - PEMBATALAN HAK MEREK KARENA ADANYA PERSAMAAN PADA POKOKNYA DAN PERSAMAAN DENGAN MER

1 1 14