Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kenakalan Remaja di SMA Swasta Ar-Rahman Medan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pola Asuh
2.1.1
Pengertian Pola Asuh
Menurut Brooks (2008), pola asuh diartikan sebagai suatu serangkaian
aksi dan interaksi yang dilakukan oleh orang tua dalam membantu perkembangan
anak baik aspek fisik, psikologis, dan sosial.Kenny & Kenny (1991) dalam Fini,
(2008), menyatakan bahwa pola asuh merupakan segala sesuatu yang dilakukan
orang tua untuk membentuk perilaku anak-anak mereka meliputi semua
peringatan dan aturan, pengajaran dan perencanaan, contoh dan kasih sayang serta
pujian dan hukuman.
Brook (2008) juga mengatakan bahwa pola asuh adalah memilki tujuan
untuk menjamin kesehatan fisik dan kehidupan anakmempersiapkan anak agar
menjadi orang dewasa yang dapat memenuhi kebutuhan finansialnya sendiri dan
mendukung atau mendorong perilaku sosial dan personal yang positif. Martin dan
Colbert (1997) menjelaskan bahwa pola asuh sebagai proses yang biasanya
melibatkan orang dewasa dalam proses melahirkan, melindungi, dan mengarahkan
anak.
2.1.2
Jenis Pola Asuh
Diana Baumind dalam Santrock (2007), menekankan empat gaya
pengasuhan orang tua yang berkaitan dengan berbagai aspek yang berbeda dari
perilaku remaja yaitu, otoritarian, otoratif, mengabaikan dan memanjakan.
7
Universitas Sumatera Utara
8
a. Pengasuhan orang tua Otoritarian (authoritarian parenting)
Pengasuhan orang tua otoritarian (authoritarian parenting) adalah gaya
yang bersifat menghukum dan membatasi di mana orang tua sangat berusaha agar
remaja mengikuti pengarahan yang diberikan dan menghormati pekerjaan dan
usaha-usaha yang telah dilakukan orang tua. Orang tua otoritarian menetapkan
batasan-batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja dan kurang memberikan
peluang kepada mereka untuk berdialog secara verbal. Sebagai contoh, orang tua
otoritarian mungkin akan berkata, “Lakukan menurut perintahku atau tidak sama
sekali”. Tidak ada diskusi!”. Pengasuhan tersebut berkaitan dengan perilaku
remaja yang tidak kompeten. Remaja yang dibesarkan oleh orang tua yang
otoritarian
sering
kali
cemas
terhadap
perbandingan
sosial,
kurang
memperlihatkan inisiatif, dan memiliki ketrampilan komunikasi yang buruk.
b. Pengasuhan Orang Tua Otoritatif (authoritative parenting)
Pengasuhan orang tua otoritatif adalah gaya pengasuhan yang mendorong
remaja agar mandiri namun masih membatasi dan mengendalikan aksi-aksi
mereka. Orang tua dengan gaya pengasuhan ini memberikan kesempatan kepada
anak-anaknya untuk berdialog secara verbal. Disamping itu orang tua juga
bersikap hangat dan mengasuh. Sebagai contoh, seorang ayah otoritatif akan
merangkul remajanya dengan hangat dan berkata,”Kamu tahu bahwa kamu
seharusnya tidak melakukan hal itu. Sekarang mari kita bicarakan bagaimana
caranya agar kelak kamu mampu menangani situasi semacam itu dengan lebih
baik”. Pengasuhan orang tua yang bersifat otoritatif berkaitan dengan prilaku
Universitas Sumatera Utara
9
remaja yang kompeten secara sosial. Para remaja dari orang tua otoritatif biasanya
mandiri dan memiliki tanggung jawab sosial.
c. Pengasuhan Orang Tua Melalaikan (neglectful parenting)
Pengasuhan orang tua yang bergaya melalaikan adalah gaya dimana orang
tua tidak terlihat dalam kehidupan remaja. Orang tua yang lalai tidak dapat
menjawab pertanyaan “Sekarang sudah jam 10 malam. Di mana remaja mu?”
pengasuhan orang tua yang bersifat lalai berkaitan dengan perilaku remaja yang
tidak kompeten secara sosial, khususnya kurangnya pengendalian diri. Remaja
memiliki kebutuhan yang kuat untuk memperoleh perhatian orang tuanya; remaja
yang dilalaikan orangtuanya merasa bahwa hal-hal lain dalam kehidupan orang
tuanya lebih penting dari dirinya. Remaja yang orang tuanya lalai biasanya tidak
kompeten secara sosial; memperlihatkan pengendalian diri yang buruk dan tidak
menyikapi kebebasan diri dengan baik. Konsep yang berkaitan erat dengan
pengasuhan orang tua yang lalai adalah kurangnya pengawasan orang tua. Dalam
sebuah studi yang dilakukan baru-baru ini, pengawasan orang tua terhadap remaja
berkaitan dengan nilai yang lebih tinggi, aktivitas seksual dan depresi yang lebih
rendah.
d. Pengasuhan Orang Tua Memanjakan (indulgent parenting)
Pengasuhan orang tua yang memanjakan adalah suatu gaya pengasuhan
dimana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan remajanya namun hanya sedikit
memberikan tuntutan atau kendali terhadap mereka. Orang tua yang memanjakan
membiarkan remajanya melakukan apa pun yang mereka inginkan. Akibatnya,
remaja tersebut tidak pernah belajar untuk mengendalikan prilakunya sendiri dan
Universitas Sumatera Utara
10
selalu berharap agar kemauannya diikuti. Beberapa orang tua secara sengaja
mengasuh remajanya melaui cara ini karena mereka memiliki keyakinan keliru
bahwa kombinasi dari keterlibatan yang hangat dan sedikitnya pembatasan akan
mengahasilkan remaja yang percaya diri dan kreatif. Meskipun demikian,
pengasuhan orang tua yang memanjakan berkaitan dengan rendahnya kompetensi
sosial remaja, khususnya menyangkut pengendalian diri.
Menurut Baumrind, (1991 dalam Papalia, 2009) mengemukakan bahwa
pola asuh dari orang tua sangat mempengaruhi kepribadian dan perilaku remaja.
Ada tiga pola asuh orang tua, yaitu:
a. Otoritarian atau Otoriter
Adalah pola asuh yang menekankan kepatuhan dan kontrol. Orang tua
berusaha membuat remaja mematuhi set standar perilaku dan menghukum mereka
secara tegas jika melanggarnya. Orang tua bertindak semena-mena, tanpa dapat
dikontrol oleh remaja. Mereka lebih mengambil jarak dan kurang hangat di
bandingkan orang tua yang lain. Anak remajanya seolah-olah menjadi “robot”,
sehingga anak kurang inisiatif, merasa takut, tidak percaya diri, pencemas, rendah
diri, minder dalam pergaulan; tetapi disisi lain anak bisa memberontak, nakal, atau
melarikan diri dari kenyataan. Dari segi positifnya, anak yang dididik dalam pola
asuh ini, cenderung akan menjadi disiplin yakni mentaati peraturan. Akan tetapi
bisa jadi, anak hanya mau menunjukkan kedisiplinan di hadapan orangtua,
padahal dalam hatinya berbicara lain, sehingga ketika di belakang orang tua, anak
bersikap dan bertindak lain. Hal itu tujuannya semata hanya untuk menyenangkan
hati orang tua. Jadi anak cenderung memiliki kedisiplinan dan kepatuhan semu.
Universitas Sumatera Utara
11
b. Permisif
Sifat pola asuh ini, children centered yakni segala aturan dan ketetapan
keluarga ditangan anak. Orang tua hanya membuat sedikit permintaan dan
membiarkan anak memonitor aktivitas mereka sendiri. Orang tua hangat, tidak
mengontrol, dan menuntut. Apa yang dilakukan oleh anak diperbolehkan orang
tua. Orang tua menuruti segala kemauan anak. Anak cenderung bertindak semenamena, tanpa pengawasan orang tua. Anak bebas melakukan apa saja yang
diinginkan. Dari sisi negarif, anak kurang disiplin dengan aturan-aturan sosial
yang berlaku. Bila anak mampu menggunakan kebebasan tersebut secara
bertanggung jawab, maka anak akan menjadi seorang yang madiri, kreatif,
inisiatif, dan mampu mewujudkan aktualisasinya.
c. Otoritatif atau Demokratis
Pola asuh yang menggabungkan penghargaan terhadap individualitas
anak tetapi juga menekankan batasan-batasan sosial. Orang tua percaya akan
kemampuan mereka dalam memandu anak, tetapi juga menghargai keputusan
mandiri, minat, pendapat, dan kepribadian anak. Kedudukan orang tua dan anak
sejajar. Suatu keputusan diambil bersama dengan mempertimbangkan kedua belah
pihak. Orang tua menyayangi dan menerima, tetapi juga meminta perilaku yang
baik, tegas dalam menetapkan standar dan berkenan untuk menetapkan hukuman
yang terbatas dan adil jika dibutuhkan dalam konteks hubungan yang hangat dan
mendukung. Anak diberi kebebasan yang bertanggung jawab, artinya apa yang
dilakukan oleh anak tetap harus dibawah pengawasan orang tua dan dapat
dipertanggungjawabkan secara moral.
Universitas Sumatera Utara
12
Orang tua dan anak tidak dapat berbuat semena-mena.Anakdiberi
kepercayaan dan dilatih untukmempertanggungjawabkan
segala tindakannya.
Akibat positif dari pola asuh ini, anak menjadi seorang individu yang
mempercayai orang lain, bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakannya, tidak
munafik, dan jujur. Namun akibat negatif, anak akan cenderung merongrong
kewibawaan otoritas orang tua, kalau segala sesuatu harus dipertimbangkan antara
anak-orang tua.
Menurut Wong (2008), tipe pola asuh orang tua dibedakan menjadi 3, yaitu:
a. Otoriter atau Diktator
Orang tua mencoba untuk mengontrol perilaku dan sikap anak melalui
perintah yang tidak boleh dibantah. Mereka menetapkan aturan dan regulasi atau
standar perilaku yang dituntut untuk diikuti secara kaku dan tidak boleh
dipertanyakan. Mereka menilai dan memberi penghargaan atas kepatuhan absolut,
sikap mematuhi kata-kata mereka, dan menghormati prinsip dan kepercayaan
keluarga tanpa kegagalan. Mereka menghukum secara paksa setiap perilaku yang
berlawanan dengan standar orang tua. Otoritas orang tua dilakukan dengan
penjelasan yang sedikit dan keterlibatan anak yang sedikit dalam mengambil
keputusan. Hukuman tidak selalu berupa hukuman fisik tetapi mungkin berupa
penarikan diri dari rasa cinta dan pengakuan. Latihan yang hati-hati sering kali
mengakibatkan perilaku menurut secara kaku pada anak, yang cendrung untuk
menjadi sensitif, pemalu, menyadari diri sendiri, cepat lelah dan tunduk. Mereka
cendrung menjadi sopan, setia, jujur, dan dapat diandalkan tetapi mudah
dikontrol. Perilaku-perilaku ini lebih khas terlihat ketika pengguna kekuasaan
Universitas Sumatera Utara
13
diktator orang tua disertai dengan supervisi ketat dan tingkat kasih sayang yang
masuk akal. Jika tidak, pengggunaan kekuasaan diktator lebih cendrung untuk
dihubungkan dengan perilaku menentang dan antisosial.
b. Permisif atau Laissez-Faire
Orang tua memiliki sedikit kontrol atau tidak sama sekali atas tindakan
anak-anak mereka. Orang tua yang bermaksud baik ini kadang-kadang bingung
antara sikap permisif dan pemberian izin. Mereka menghindari untuk
memaksakan standar perilaku mereka dan mengizinkan anak mereka untuk
mengatur aktivitas mereka sendiri sebanyak mungkin. Orang tua ini menganggap
diri mereka sendiri sebagai sumber untuk anak, bukan merupakan model peran.
Jika peraturan memang ada, orang tua menjelaskan alasan yang mendasarinya,
mendukung pendapat anak, dan berkonsultasi dengan mereka dalam proses
pembuatan keputusan.Mereka memberlakukan kebebasan dalam bertindak,
disiplin yang inkonsisten, tidak menetapkan batasan-batasan yang masuk akal,
dan tidak mencegah anak yang merusak rutinitas dirumah. Orang tua jarang
menghukum anak, karena sebagian besar perilaku dianggap dapat diterima.
c. Otoritatif atau Demokratik
Orang tua mengkombinasikan praktik mengasuh anak dari dua gaya yang
ekstrim. Mereka mengarahkan perilaku dan sikap anak dengan menekankan
alasan peraturan dan secara negatif menguatkan penyimpangan. Mereka
menghormati individualitas dari setiap anak dan mengizinkan mereka untuk
menyuarakan keberatannya terhadap standar atau peraturan keluarga. Kontrol
orang tua kuat dan konsiten tetapi disertai dengan dukungan, pengertian, dan
Universitas Sumatera Utara
14
keamanan. Kontrol difokuskan pada masalah, tidak pada penarikan rasa cinta atau
takut pada hukuman. Orang tua membantu “pengarahan diri pribadi” suatu
kesadaran mengatur perilaku berdasarkan perasaan bersalah atau malu untuk
melakukan hal yang salah, bukan karena takut tertangkap atau takut dihukum.
Standar realistis orang tua dan harapan yang masuk akal menghasilkan anak
dengan harga diri tinggi, dan sangat interaktif dengan anak lain.
Menurut Hurlock (1999 dalam Risa, 2012), membagi bentuk pola asuh
orang tua menjadi tiga macam yaitu:
a. Pola Asuh Otoriter
Pola asuh ini cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti,
biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Orang tua tipe ini cenderung
memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang
dikatakan orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Orang
tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dan dalam komunikasi biasanya
bersifat satu arah. Orang tua tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya
untuk mengerti mengenai anaknya.
b. Pola Asuh Demokratis
Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan
anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola
asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya berdasarkan rasio atau
pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap
kemampuan anak, tidak berharap berlebihan yang melampui kemampuan anak.
Orang tua tipe ini memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan
melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.
Universitas Sumatera Utara
15
c. Pola Asuh Permisif
Pola asuh ini memberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan
kesempatan kepada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang
cukup darinya. Orang tua cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak
apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan
oleh mereka. Namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga sering
kali disukai anak.
Dalam penelitian ini, teori yang diajukan sebagai landasan peneliti pada
variabel pola asuh adalah teori dari Hurlock (1999).
2.1.3
Ciri-ciri Pola Asuh
Hurlock (1999 dalam Fini, 2008) mengemukakan ciri-ciri pola asuh, yaitu:
a. Pola asuh otoriter mempunyai ciri:
1. Anak harus tunduk dan patuh pada kehendak orang tua
2. Pengontrolan orang tua pada tingkah laku anak sangat ketat hampir
tidak pernah memberi pujian
3. Sering memberikan hukuman fisik jika terjadi kegagalan
memenuhi standar yang telah ditetapkan orang tua
4. Pengendalian tingkah laku melalui kontrol eksternal
b. Pola asuh demokratis mempunyai ciri:
1. Anak diberi kesempatan untuk mandiri dan mengembangkan
kontrol internal
2. Anak diakui sebagai pribadi oleh orang tua dan turut dilibatkan
dalam pengambilan keputusan
Universitas Sumatera Utara
16
3. Menetapkan peraturan serta mengatur kehidupan anak.
c. Pola asuh permisif mempunyai ciri:
1.
Kontrol orang tua kurang
2.
Bersifat longgar atau bebas
3.
Anak kurang dibimbing dalam mengatur dirinya
4.
Hampir tidak menggunakan hukuman
5.
Anak diijinkan membuat keputusan sendiri dan dapat berbuat
sekehendaknya sendiri.
2.1.4
Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh menurut Edward
(2006 dalam Refi, 2014) adalah:
a. Pendidikan orang tua
Pendidikan dan pengalaman orang tua dalam perawatan anak akan
mempengaruhi persiapan mereka menjalankan pengasuhan. Ada beberapa cara
yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran
pengasuhan antara lain: terlibat aktif dalam setiap pendidikan anak, mengamati
segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya
menyediakan waktu untuk anak-anak dan menilai perkembangan fungsi keluarga
dan kepercayaan anak.
b. Lingkungan
Lingkungan
banyak
mempengaruhi
perkembangan
anak,
maka
tidakmustahil jika lingkungan juga ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan
yang diberikan orang tua terhadap anaknya.
Universitas Sumatera Utara
17
c. Budaya
Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat
dalam mengasuh anak, kebiasaan-kebiasaan masyarakat disekitarnya dalam
mengasuh anak. Karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam mendidik
anak kearah kematangan. Orang tua mengharapkan kelak anaknya dapat diterima
dimasyarakat dengan baik, oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat
dalam mengasuh anak juga mempengaruhi setiap orang tua dalammemberikan
pola asuh terhadap anaknya.
2.2 Remaja
2.2.1
Pengertian Remaja
Masa remaja merupakan masa transisi perkembangan individu dari masa
kanak-kanak menuju masa dewasa, dimana pada masa tersebut terjadi
perkembangan perubahan yang sangat pesat baik fisik, psikologis dan sosial
(Potter & Perry, 2005). Masa remaja terdiri dari atas tiga subfase yang jelas yaitu
masa remaja awal (usia 11 sampai 14 tahun), masa remaja pertengahan (usia 15
sampai 17 tahun), dan masa remaja akhir (usia 18 sampai 20 tahun) (Winkelstein
& Schwartz, 2009)
2.2.2
Ciri-Ciri Masa Remaja
Menurut Hurlock (1999)dalamRisa (2012) seperti halnya dengan semua
periode yang penting selama rentang kehidupan, masa remaja mempunyai ciri-ciri
tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri
tersebut adalah :
Universitas Sumatera Utara
18
a. Masa remjaa sebagai periode yang penting.
Dianggap periode yang penting karena akibatnya langsung terhadap sikap
dan perilaku, dan karena akibat-akibat jangka panjang. Pada periode remaja, baik
akibat langsung maupun akibat jangka panjang tetap penting. Ada periode yang
penting karena akibat fisik dan ada lagi karena akibat psikologis. Awal masa
remaja, perkembangan fisik yang cepat dan perkembangan mental yang cepat,
sehingga mengakibatkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk
sikap, nilai, dan minat baru.
b. Masa remaja sebagai periode peralihan.
Peralihan berarti tidak terputus atau berubah dari yang telah terjadi
sebelumnya, melainkan lebih-lebih sebuah peralihan dari satu tahap ke tahap
perkembangan berikutnya. Artinya, apa yang telah terjadi sebelumnya akan
meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan datang.
Perubahan fisik yang terjadi sebelum tahap awal masa remaja mempengaruhi
tingkat perilaku individu dan mengakibatkan diadakannya penilaian kembali
penyesuaian nilai-nilai yang telah tergeser.
c. Masa remaja sebagai periode perubahan.
Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar
dengan tingkat perubahan fisik.
Ada empat perubahan yang hampir bersifat universal, yaitu :
1. Meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan
fisik dan psikologis yang terjadi. Karena perubahan emosi biasanya terjadi
Universitas Sumatera Utara
19
lebih cepat selama masa awal remaja, maka meningginya masa emosi
lebih menonjol pada masa periode akhir.
2. Perubahan tubuh, minat, dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial
menimbulkan masalah baru. Bagi remaja muda, masalah baru yang timbul
tampaknya lebih banyak dan lebih sulit di selesaikan dibandingkan
masalah yang dihadapi sebelumnya. Remaja akan tetap merasa ditimbuni
masalah, sampai ia sendiri menyelesaikannya menurut kepuasannya.
3.
Perubahan minat dan pola perilaku mengakibatkan perubahan nilainilaiyang dianggap penting pada masa kanak-kanak, sekarang setelah
hampir dewasa tidak penting lagi.
4. Sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan.
Mereka menginginkan dan menuntut kebebasan tetapi mareka sering takut
bertanggung jawab akan akibatnya dan meragukan kemampuan mareka
untuk dapat mengatasi tanggung jawab tersebut.
d. Masa remaja sebagai usia bermasalah.
Masalah remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak
laki-laki maupun anak perempuan. Terdapat dua alasan kesulitan. Pertama
sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak sebagian diselesaikan oleh orang tua
dan guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam
mengatasi masalah. Kedua, karena remaja merasa mandiri, sehingga mareka ingin
mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru-guru.
Universitas Sumatera Utara
20
e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri.
Awal masa remaja diperlihatkan dengan penyesuaian diri dengan
kelompok masih tetap penting bagi anak laki-laki dan anak perempuan. Lambat
laun mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama
seperti temannya dalam segala hal.
Salah satu cara untuk mencoba mengangkat diri sendiri sebagai individu adalah
dengan menggunakan simbol status dalam menggunakan mobil, pakaian, dan
barang-barang mewah lain yang mudah terlihat. Remaja menarik perhatian pada
diri sendiri dan agar dipandang sebagai individu, sementara pada saat yang sama
ia mempertahankan identitas dirinya terhadap kelompok sebaya.
f. Masa remaja sebagi usia yang menimbulkan ketakutan.
Anggapan Stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak
rapi, yang tidak dapat dipercaya, dan cenderung merusak dan berperilaku
merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi
kehidupan remaja muda takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik
terhadap perilaku remaja normal. stereotip berfungsi sebagai cermin yang
ditegakkan masyarakat bagi remaja yang menggambarkan citra diri remaja sendiri
yang lambat laun dianggapnya sebagai gambaran yang asli dan remaja
membentuk perilakunya sesuai gambaran ini. Dengan menerima stereotip tersebut
dan adanya keyakinan bahwa orang dewasa mempunyai pandangan yang buruk
tentang remaja, membuat peralihan ke masa dewasa menjadi sulit.
Universitas Sumatera Utara
21
g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistis.
Remaja cenderung melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana
yang diinginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam hal cita-cita.
Semakin tidak realistiknya cita-cita semakin menjadi marah. Remaja akan sakit
hari dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau dia tidak
berhasil mencapai tujuan yang ditetapkanya sendiri. Menjelang berakhirnya masa
remaja, pada umunya baik anak laki-laki maupun anak perempuan sering
terganggu oleh idealisme yang berlebihan bahwa mereka segera harus melepaskan
kehidupan mereka yang bebas bila telah mencapai status orang dewasa.
h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa.
Semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja mulai memusatkan
diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok,
minum minuman keras, menggunakan oabt-obatan, dan terlibat dalam perbuatan
seks. Mereka menganggap bahwa perilaku tersebut akan memberikan citra yang
mereka inginkan.
2.3 Tugas Perkembangan Remaja
2.3.1
Pengertian Tugas Perkembangan
Menurut Havighurst (Agustiani, 2009), pengertian tugas perkembangan
adalah tugas yang muncul pada saat atau sekitar satu periode tertentu dari
kehidupan individu, yang jika berhasil akan menimbulkan rasa bahagia dan
membawa kearah keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya, akan
Universitas Sumatera Utara
22
tetapi bila gagal akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam
menghadapi tugas-tugas berikutnya.
Tugas Perkembangan adalah setiap tahapan perkembangan manusia yang
berasal dari harapan masyarakat yang harus dipenuhi oleh individu. Keberhasilan
atau kegagalan dalam melaksanakan tugas perkembangan pada periode usia
tertentu akan mempengaruhi berhasil atau tidaknya seseorang dalam menjalankan
tugas perkembangan pada usia selanjutnya. Pada usia remaja terdapat pula tugastugas perkembangan tertentu yang harus dipenuhi oleh individu. Pada akhir
remaja diharapkan tugas-tugas tersebut telah terpenuhi sehingga individu siap
memasuki masa dewasa dengan peran-peran dan tugas-tugas barunya sebagai
orang dewasa (Agustiani, 2009).
2.4 Kenakalan Remaja
2.4.1
Pengertian Kenakalan remaja
Kenakalan biasa disebut dengan istilah Juvenile berasal dari bahasa Latin
juvenilis, yang artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda,
sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan delinquent berasal dari bahasa
latin “delinquere” yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas
artinya menjadi jahat, nakal, anti sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut,
pengacau peneror, durjana dan lain sebagainya. Juveniledelinquency atau
kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anakanak muda,
merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang
disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka mengembangkan
Universitas Sumatera Utara
23
bentuk perilaku yang menyimpang. Istilah kenakalan remaja mengacu pada suatu
rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima sosial sampai
pelanggaran status hingga tindak kriminal(Kartono, 2003).
2.4.2
Bentuk-Bentuk Kenakalan Remaja
Menurut Kartono (2003), bentuk-bentuk perilaku kenakalan remaja dibagimenjadi
empat, yaitu :
a. Kenakalan terisolir (Delinkuensi terisolir)
Kelompok ini merupakan jumlah terbesar dari remaja nakal. Pada
umumnya mereka tidak menderita kerusakan psikologis. Perbuatan nakal mereka
didorong oleh faktor-faktor berikut :
1) Keinginan meniru dan ingin konform dengan gangnya, jadi tidak ada
motivasi, kecemasan atau konflik batin yang tidak dapat diselesaikan.
2) Mereka kebanyakan berasal dari daerah kota yang transisional sifatnya
yang memiliki subkultur kriminal. Sejak kecil remaja melihat adanya
gang-gang kriminal, sampai kemudian dia ikut bergabung. Remaja
merasa diterima, mendapatkan kedudukan hebat, pengakuan dan
prestise tertentu.
3) Pada umumnya remaja berasal dari keluarga berantakan, tidak
harmonis, dan mengalami banyak frustasi. Sebagai jalan keluarnya,
remaja memuaskan semua kebutuhan dasarnya di tengah lingkungan
kriminal. Gang remaja nakal memberikan alternatif hidup yang
menyenangkan.
Universitas Sumatera Utara
24
4) Remaja dibesarkan dalam keluarga tanpa atau sedikit sekali
mendapatkan supervisi dan latihan kedisiplinan yang teratur, sebagai
akibatnya dia tidak sanggup menginternalisasikan norma hidup
normal. Ringkasnya, delinkuen terisolasi itu mereaksi terhadap tekanan
dari lingkungan sosial, mereka mencari panutan dan rasa aman dari
kelompok gangnya, namun pada usia dewasa, mayoritas remaja nakal
ini meninggalkan perilaku kriminalnya, paling sedikit 60% dari mereka
menghentikan perilakunyapada usia 21-23 tahun. Hal ini disebabkan
oleh proses pendewasaan dirinya sehingga remaja menyadari adanya
tanggung jawab sebagai orang dewasa yang mulai memasuki peran
sosial yang baru.
b. Kenakalan neurotik (Delinkuensi neurotik)
Pada umumnya, remaja nakal tipe ini menderita gangguan kejiwaan yang
cukup serius, antara lain berupa kecemasan, merasa selalu tidak aman, merasa
bersalah dan berdosa dan lain sebagainya. Ciri - ciri perilakunya adalah :
1) Perilaku nakalnya bersumber dari sebab-sebab psikologis yang sangat
dalam, dan bukan hanya berupa adaptasi pasif menerima norma dan
nilai subkultur gang yang kriminal itu saja.
2) Perilaku kriminal mereka merupakan ekspresi dari konflik batin yang
belum terselesaikan, karena perilaku jahat mereka merupakan alat
pelepas ketakutan, kecemasan dan kebingungan batinnya.
Universitas Sumatera Utara
25
3) Biasanya remaja ini melakukan kejahatan seorang diri, dan
mempraktekkan jenis kejahatan tertentu, misalnya suka memperkosa
kemudian membunuh korbannya, kriminal dan sekaligus neurotik.
4) Remaja nakal ini banyak yang berasal dari kalangan menengah, namun
pada umumnya keluarga mereka mengalami banyak ketegangan
emosional yang parah, dan orangtuanya biasanya juga neurotik atau
psikotik.
5) Remaja memiliki ego yang lemah, dan cenderung mengisolir diri dari
lingkungan.
6) Motif kejahatannya berbeda-beda.
7) Perilakunya menunjukkan kualitas kompulsif (paksaan).
c. Kenakalan psikotik (Delinkuensi psikopatik)
Delinkuensi psikopatik ini sedikit jumlahnya, akan tetapi dilihat dari
kepentingan umum dan segi keamanan, mereka merupakan oknum criminal yang
paling berbahaya. Ciri tingkah laku mereka adalah :
1) Hampir seluruh remaja delinkuen psikopatik ini berasal dan dibesarkan
dalam lingkungan keluarga yang ekstrim, brutal, diliputi banyak
pertikaian keluarga, berdisiplin keras namun tidak konsisten, dan
orangtuanya selalu menyia-nyiakan mereka, sehingga mereka tidak
mempunyai kapasitas untuk menumbuhkan afeksi dan tidak mampu
menjalin hubungan emosional yang akrab dan baik dengan orang lain.
2) Mereka tidak mampu menyadari arti bersalah, berdosa, atau melakukan
pelanggaran.
Universitas Sumatera Utara
26
3) Bentuk kejahatannya majemuk, tergantung pada suasana hatinya yang
kacau dan tidak dapat diduga. Mereka pada umumnya sangat agresif
dan impulsif, biasanya mereka residivis yang berulang kali keluar
masuk penjara, dan sulit sekali diperbaiki.
4) Mereka selalu gagal dalam menyadari dan menginternalisasikan
norma-norma sosial yang umum berlaku, juga tidak peduli terhadap
norma subkultur gangnya sendiri.
5) Kebanyakan dari mereka juga menderita gangguan neurologis,
sehingga mengurangi kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri.
6) Psikopat merupakan bentuk kekalutan mental dengan karakteristik
sebagai berikut: tidak memiliki pengorganisasian dan integrasi diri,
orangnya tidak pernah bertanggung jawab secara moral, selalu
mempunyai konflik dengan norma sosial dan hukum. Mereka sangat
egoistis, anti sosial dan selalu menentang apa dan siapapun. Sikapnya
kasar, kurang ajar dan sadis terhadap siapapun tanpa sebab.
d. Kenakalan defek moral (Delinkuensi defek moral)
Defek (defect, defectus) artinya rusak, tidak lengkap, salah, cedera, cacat,
kurang. Delinkuensi defek moral mempunyai ciri-ciri: selalu melakukan tindakan
anti sosial, walaupun pada dirinya tidak terdapat penyimpangan, namun ada
disfungsi pada inteligensiny.
Kelemahan para remaja delinkuen tipe ini adalah mereka tidak mampu
mengenal dan memahami tingkah lakunya yang jahat, juga tidak mampu
mengendalikan dan mengaturnya, mereka selalu ingin melakukan perbuatan
Universitas Sumatera Utara
27
kekerasan, penyerangan dan kejahatan, rasa kemanusiaannya sangat terganggu,
sikapnya sangat dingin tanpa afeksi jadi ada kemiskinan afektif dan sterilitas
emosional.
Terdapat kelemahan pada dorongan instinktif yang primer, sehingga
pembentukan super egonya sangat lemah. Impulsnya tetap pada taraf primitif
sehingga sukar dikontrol dan dikendalikan. Mereka merasa cepat puas dengan
prestasinya, namun perbuatan mereka sering disertai agresivitas yang meledak.
Remaja yang defek moralnya biasanya menjadi penjahat yang sukar diperbaiki.
Mereka adalah para residivis yang melakukan kejahatan karena didorong oleh
naluri rendah, impuls dankebiasaan primitif, di antara para penjahat residivis
remaja, kurang lebih 80 % mengalami kerusakan psikis, berupa disposisi dan
perkembangan mental yang salah, jadi mereka menderita defek mental. Hanya
kurang dari 20 % yang menjadi penjahat disebabkan oleh faktor sosial atau
lingkungan sekitar.
Jensen (dalam Sarwono, 2002) membagi kenakalan remaja menjadi empat
bentuk yaitu:
a. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain:
perkelahian, tawuran perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lainlain.
b. Kenakalan yang meninbulkan korban materi: perusakan, pencurian,
pencopetan, pemerasan dan lain- lain.
Universitas Sumatera Utara
28
c. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang
lain: pelacuran, penyalahgunaan obat, prilaku merokok, hubungan seks
bebas.
d. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak
sebagai pelajar dengan cara membolos, minggat dari rumah, membantah
perintah.
Hurlock (1973) dalam Sarwono (2002) berpendapat bahwa kenakalan yang
dilakukan remaja terbagi dalam empat bentuk, yaitu:
a. Perilaku yang menyakiti diri sendiri dan orang lain: perkelahian,
tawuran dan lain-lain.
b. Perilaku yang membahayakan hak milik orang lain: merampas,
mencuri, dan mencopet.
c. Perilaku yang tidak terkendali: perilaku yang tidak mematuhi
orangtua dan guru seperti membolos, mengendarai kendaran dengan
tanpa surat izin, dan kabur dari rumah.
d. Perilaku yang membahayakan diri sendiri dan orang lain: seperti
mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, memperkosa dan
menggunakan senjata tajam.
Dari beberapa bentuk kenakalan pada remaja dapat disimpulkan bahwa
semuanya menimbulkan dampak negatif yang tidak baik bagi dirinya sendiri dan
orang lain, serta lingkungan sekitarnya. Adapun bentuk-bentuk kenakalan remaja
yang diambil pada penelitian ini adalah pendapat Jersen dalam Sarwono (2002).
Universitas Sumatera Utara
29
2.4.3
Karaketeristik Remaja Nakal
Menurut Kartono (2003), remaja nakal itu mempunyai karakteristik
umumyang sangat berbeda dengan remaja tidak nakal. Perbedaan itu mencakup :
a. Perbedaan struktur intelektual
Pada umumnya inteligensi mereka tidak berbeda dengan inteligensi
remajayang normal, namun jelas terdapat fungsi- fungsi kognitif khusus yang
berbeda biasanya remaja nakal ini mendapatkan nilai lebih tinggi untuk tugastugas prestasi daripada nilai untuk ketrampilan verbal (tes Wechsler). Mereka
kurang toleran terhadap hal-hal yang ambigius biasanya mereka kurang mampu
memperhitungkan tingkah laku orang lain bahkan tidak menghargai pribadi lain
dan menganggap orang lain sebagai cerminan dari diri sendiri.
b. Perbedaan fisik dan psikis
Remaja yang nakal ini lebih “idiot secara moral” dan memiliki perbedaan
cirri yang jasmaniah sejak lahir jika dibandingkan dengan remaja normal. Bentuk
tubuh mereka lebih kekar, berotot, kuat, dan pada umumnya bersikap lebih
agresif. Hasil penelitian juga menunjukkan ditemukannya fungsi fisiologis dan
neurologis yang khas pada remaja nakal ini, yaitu: mereka kurang bereaksi
terhadap stimulus kesakitan dan menunjukkan ketidakmatangan jasmaniah atau
anomali perkembangan tertentu.
c. Ciri karakteristik individual
Remaja
yang
nakal
ini
mempunyai
sifat
kepribadian
khusus
yangmenyimpang, seperti :
Universitas Sumatera Utara
30
1) Rata-rata remaja nakal ini hanya berorientasi pada masa sekarang,
bersenang-senang dan puas pada hari ini tanpa memikirkan masa
depan.
2) Kebanyakan dari mereka terganggu secara emosional.
3) Mereka kurang bersosialisasi dengan masyarakat normal, sehingga
tidak
mampu
mengenal
norma-norma
kesusilaan,
dan
tidak
bertanggung jawab secara sosial.
4) Mereka senang menceburkan diri dalam kegiatan tanpa berpikir yang
merangsang rasa kejantanan, walaupun mereka menyadari besarnya
risikodan bahaya yang terkandung di dalamnya.
5) Pada umumnya mereka sangat impulsif dan suka tantangan dan
bahaya.
6) Hati nurani tidak atau kurang lancar fungsinya.
7) Kurang memiliki disiplin diri dan kontrol diri sehingga mereka
menjadi liar dan jahat.
2.4.4
Faktor yang Mempengaruhi Kenakalan Remaja
Faktor-faktor kenakalan remaja menurut Santrock, (2007) lebih rinci
dijelaskan sebagai berikut :
a. Identitas
Menurut teori perkembangan yang dikemukakan oleh Erikson (dalam
Santrock, 2007) masa remaja ada pada tahap di mana krisis identitas versus difusi
identitas harus di atasi. Perubahan biologis dan sosial memungkinkan terjadinya
dua bentuk integrasi terjadi pada kepribadian remaja:
Universitas Sumatera Utara
31
1. Terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya dan
2. Tercapainya
identitas
peran,
kurang
lebih
dengan
cara
menggabungkanmotivasi, nilai-nilai, kemampuan dan gaya yang
dimiliki remaja dengan peran yang dituntut dari remaja.Erikson percaya
bahwa delinkuensi pada remaja terutama ditandai dengan kegagalan
remaja untuk mencapai integrasi yang kedua, yang melibatkan aspekaspek peran identitas. Ia mengatakan bahwa remaja yang memiliki masa
balita, masa kanak-kanak atau masa remaja yang membatasi mereka dari
berbagai peranan sosial yang dapat diterima atau yang membuat mereka
merasa tidak mampu memenuhi tuntutan yang dibebankan pada mereka,
mungkin akan memiliki perkembangan identitas yang negatif. Beberapa
dari remaja ini mungkin akan mengambil bagian dalam tindak
kenakalan, oleh karena itu bagi Erikson, kenakalan adalah suatu upaya
untuk membentuk suatu identitas, walaupun identitas tersebut negatif.
b. Kontrol diri
Kenakalan remaja juga dapat digambarkan sebagai kegagalan untuk
mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Beberapa anak
gagal dalam mengembangkan kontrol diri yang esensial yang sudah dimiliki orang
lain selama proses pertumbuhan. Kebanyakan remaja telah mempelajari
perbedaan antara tingkah laku yang dapat diterima dan tingkah laku yang tidak
dapat diterima, namun remaja yang melakukan kenakalan tidak mengenali hal ini.
Mereka mungkin gagal membedakan tingkah laku yang dapat diterima dan yang
tidak dapat diterima, atau mungkin mereka sebenarnya sudah mengetahui
Universitas Sumatera Utara
32
perbedaan antara keduanya namun gagal mengembangkan kontrol yang memadai
dalam menggunakan perbedaan itu untuk membimbing tingkah laku mereka.
Hasil penelitian yang dilakukan baru-baru ini dalamSantrock (2007)
menunjukkan bahwa ternyata kontrol diri mempunyai peranan penting dalam
kenakalan remaja. Pola asuh orangtua yang efektif di masa kanak-kanak
(penerapan strategi yang konsisten, berpusat pada anak dan tidak aversif)
berhubungan dengan dicapainya pengaturan diri oleh anak. Selanjutnya, dengan
memiliki ketrampilan ini sebagai atribut internal akan berpengaruh pada
menurunnya tingkat kenakalan remaja.
c. Usia
Munculnya tingkah laku anti sosial di usia dini berhubungan dengan
penyerangan serius nantinya di masa remaja, namun demikian tidak semua anak
yang bertingkah laku seperti ini nantinya akan menjadi pelaku kenakalan, seperti
hasil penelitian dari McCord (dalam Kartono, 2003) yang menunjukkan bahwa
pada usia dewasa, mayoritas remaja nakal tipe terisolir meninggalkan tingkah laku
kriminalnya. Paling sedikit 60 % dari mereka menghentikan perbuatannya pada
usia 21 sampai 23 tahun.
d. Jenis kelamin
Remaja laki- laki lebih banyak melakukan tingkah laku anti sosial daripada
perempuan. Menurut catatan kepolisian Kartono (2003) pada umumnya jumlah
remaja laki- laki yang melakukan kejahatan dalam kelompok gang diperkirakan
50 kali lipat daripada gang remaja perempuan.
Universitas Sumatera Utara
33
e. Harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai di sekolah
Remaja yang menjadi pelaku kenakalan seringkali memiliki harapan yang
rendah terhadap pendidikan di sekolah. Mereka merasa bahwa sekolah tidak
begitu bermanfaat untuk kehidupannya sehingga biasanya nilai-nilai mereka
terhadap sekolah cenderung rendah. Mereka tidak mempunyai motivasi untuk
sekolah. Riset yang dilakukan oleh Janet Chang dan Thao N. Lee (2005)
mengenai pengaruh orangtua, kenakalan teman sebaya, dan sikap sekolah
terhadap prestasi akademik siswa di Cina, Kamboja, Laos, dan remaja Vietnam
menunjukkan bahwa faktor yang berkenaan dengan orangtua secara umum tidak
mendukung banyak, sedangkan sikap sekolah ternyata dapat menjembatani
hubungan antara kenakalan teman sebaya dan prestasi akademik.
f. Proses keluarga
Faktor keluarga sangat berpengaruh terhadap timbulnya kenakalan remaja.
Kurangnya dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orangtua terhadap
aktivitas anak, kurangnya penerapan disiplin yang efektif, kurangnya kasih sayang
orangtua dapat menjadi pemicu timbulnya kenakalan remaja. Penelitian yang
dilakukan oleh Gerald Patterson dan rekan-rekannya (dalam Santrock, 2007)
menunjukkan bahwa pengawasan orangtua yang tidak memadai terhadap
keberadaan remaja dan penerapan disiplin yang tidak efektif dan tidak sesua i
merupakan faktor keluarga yang penting dalam menentukan munculnya kenakalan
remaja. Perselisihan dalam keluarga atau stress yang dialami keluarga juga
berhubungan dengan kenakalan. Faktor genetik juga termasuk pemicu timbulnya
kenakalan remaja, meskipun persentasenya tidak begitu besar.
Universitas Sumatera Utara
34
g. Pengaruh teman sebaya
Memiliki teman-teman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan
risiko remaja untuk menjadi nakal. Pada sebuah penelitian Santrock (1996)
terhadap 500 pelaku kenakalan dan 500 remaja yang tidak melakukan kenakalan
di Boston, ditemukan persentase kenakalan yang lebih tinggi pada remaja yang
memiliki hubungan reguler dengan teman sebaya yang melakukan kenakalan.
h. Kelas sosial ekonomi
Ada kecenderungan bahwa pelaku kenakalan lebih banyak berasal dari
kelas sosial ekonomi yang lebih rendah dengan perbandingan jumlah remaja nakal
di antara daerah perkampungan miskin yang rawan dengan daerah yang memiliki
banyak privilege diperkirakan 50 : 1 (Kartono, 2003). Hal ini disebabkan
kurangnya kesempatan remaja dari kelas sosial rendah untuk mengembangkan
ketrampilan yang diterima oleh masyarakat. Mereka mungkin saja merasa bahwa
mereka akan mendapatkan perhatian dan status dengan cara melakukan tindakan
anti sosial. Menjadi “tangguh” dan “maskulin” adalah contoh status yang tinggi
bagi remaja dari kelas sosial yang lebih rendah, dan status seperti ini sering
ditentukan oleh keberhasilan remaja dalam melakukan kenakalan dan berhasil
meloloskan diri setelah melakukan kenakalan.
i. Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal
Komunitas juga dapat berperan serta dalam memunculkan kenakalan
remaja. Masyarakat dengan tingkat kriminalitas tinggi memungkinkan remaja
mengamati berbagai model yang melakukan aktivitas kriminal dan memperoleh
hasil atau penghargaan atas aktivitas kriminal mereka. Masyarakat seperti ini
Universitas Sumatera Utara
35
sering ditandai dengan kemiskinan, pengangguran, dan perasaan tersisih dari
kaum kelas menengah. Kualitas sekolah, pendanaan pendidikan, dan aktivitas
lingkungan yang terorganisir adalah faktor- faktor lain dalam masyarakat yang
juga berhubungan dengan kenakalan remaja.
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pola Asuh
2.1.1
Pengertian Pola Asuh
Menurut Brooks (2008), pola asuh diartikan sebagai suatu serangkaian
aksi dan interaksi yang dilakukan oleh orang tua dalam membantu perkembangan
anak baik aspek fisik, psikologis, dan sosial.Kenny & Kenny (1991) dalam Fini,
(2008), menyatakan bahwa pola asuh merupakan segala sesuatu yang dilakukan
orang tua untuk membentuk perilaku anak-anak mereka meliputi semua
peringatan dan aturan, pengajaran dan perencanaan, contoh dan kasih sayang serta
pujian dan hukuman.
Brook (2008) juga mengatakan bahwa pola asuh adalah memilki tujuan
untuk menjamin kesehatan fisik dan kehidupan anakmempersiapkan anak agar
menjadi orang dewasa yang dapat memenuhi kebutuhan finansialnya sendiri dan
mendukung atau mendorong perilaku sosial dan personal yang positif. Martin dan
Colbert (1997) menjelaskan bahwa pola asuh sebagai proses yang biasanya
melibatkan orang dewasa dalam proses melahirkan, melindungi, dan mengarahkan
anak.
2.1.2
Jenis Pola Asuh
Diana Baumind dalam Santrock (2007), menekankan empat gaya
pengasuhan orang tua yang berkaitan dengan berbagai aspek yang berbeda dari
perilaku remaja yaitu, otoritarian, otoratif, mengabaikan dan memanjakan.
7
Universitas Sumatera Utara
8
a. Pengasuhan orang tua Otoritarian (authoritarian parenting)
Pengasuhan orang tua otoritarian (authoritarian parenting) adalah gaya
yang bersifat menghukum dan membatasi di mana orang tua sangat berusaha agar
remaja mengikuti pengarahan yang diberikan dan menghormati pekerjaan dan
usaha-usaha yang telah dilakukan orang tua. Orang tua otoritarian menetapkan
batasan-batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja dan kurang memberikan
peluang kepada mereka untuk berdialog secara verbal. Sebagai contoh, orang tua
otoritarian mungkin akan berkata, “Lakukan menurut perintahku atau tidak sama
sekali”. Tidak ada diskusi!”. Pengasuhan tersebut berkaitan dengan perilaku
remaja yang tidak kompeten. Remaja yang dibesarkan oleh orang tua yang
otoritarian
sering
kali
cemas
terhadap
perbandingan
sosial,
kurang
memperlihatkan inisiatif, dan memiliki ketrampilan komunikasi yang buruk.
b. Pengasuhan Orang Tua Otoritatif (authoritative parenting)
Pengasuhan orang tua otoritatif adalah gaya pengasuhan yang mendorong
remaja agar mandiri namun masih membatasi dan mengendalikan aksi-aksi
mereka. Orang tua dengan gaya pengasuhan ini memberikan kesempatan kepada
anak-anaknya untuk berdialog secara verbal. Disamping itu orang tua juga
bersikap hangat dan mengasuh. Sebagai contoh, seorang ayah otoritatif akan
merangkul remajanya dengan hangat dan berkata,”Kamu tahu bahwa kamu
seharusnya tidak melakukan hal itu. Sekarang mari kita bicarakan bagaimana
caranya agar kelak kamu mampu menangani situasi semacam itu dengan lebih
baik”. Pengasuhan orang tua yang bersifat otoritatif berkaitan dengan prilaku
Universitas Sumatera Utara
9
remaja yang kompeten secara sosial. Para remaja dari orang tua otoritatif biasanya
mandiri dan memiliki tanggung jawab sosial.
c. Pengasuhan Orang Tua Melalaikan (neglectful parenting)
Pengasuhan orang tua yang bergaya melalaikan adalah gaya dimana orang
tua tidak terlihat dalam kehidupan remaja. Orang tua yang lalai tidak dapat
menjawab pertanyaan “Sekarang sudah jam 10 malam. Di mana remaja mu?”
pengasuhan orang tua yang bersifat lalai berkaitan dengan perilaku remaja yang
tidak kompeten secara sosial, khususnya kurangnya pengendalian diri. Remaja
memiliki kebutuhan yang kuat untuk memperoleh perhatian orang tuanya; remaja
yang dilalaikan orangtuanya merasa bahwa hal-hal lain dalam kehidupan orang
tuanya lebih penting dari dirinya. Remaja yang orang tuanya lalai biasanya tidak
kompeten secara sosial; memperlihatkan pengendalian diri yang buruk dan tidak
menyikapi kebebasan diri dengan baik. Konsep yang berkaitan erat dengan
pengasuhan orang tua yang lalai adalah kurangnya pengawasan orang tua. Dalam
sebuah studi yang dilakukan baru-baru ini, pengawasan orang tua terhadap remaja
berkaitan dengan nilai yang lebih tinggi, aktivitas seksual dan depresi yang lebih
rendah.
d. Pengasuhan Orang Tua Memanjakan (indulgent parenting)
Pengasuhan orang tua yang memanjakan adalah suatu gaya pengasuhan
dimana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan remajanya namun hanya sedikit
memberikan tuntutan atau kendali terhadap mereka. Orang tua yang memanjakan
membiarkan remajanya melakukan apa pun yang mereka inginkan. Akibatnya,
remaja tersebut tidak pernah belajar untuk mengendalikan prilakunya sendiri dan
Universitas Sumatera Utara
10
selalu berharap agar kemauannya diikuti. Beberapa orang tua secara sengaja
mengasuh remajanya melaui cara ini karena mereka memiliki keyakinan keliru
bahwa kombinasi dari keterlibatan yang hangat dan sedikitnya pembatasan akan
mengahasilkan remaja yang percaya diri dan kreatif. Meskipun demikian,
pengasuhan orang tua yang memanjakan berkaitan dengan rendahnya kompetensi
sosial remaja, khususnya menyangkut pengendalian diri.
Menurut Baumrind, (1991 dalam Papalia, 2009) mengemukakan bahwa
pola asuh dari orang tua sangat mempengaruhi kepribadian dan perilaku remaja.
Ada tiga pola asuh orang tua, yaitu:
a. Otoritarian atau Otoriter
Adalah pola asuh yang menekankan kepatuhan dan kontrol. Orang tua
berusaha membuat remaja mematuhi set standar perilaku dan menghukum mereka
secara tegas jika melanggarnya. Orang tua bertindak semena-mena, tanpa dapat
dikontrol oleh remaja. Mereka lebih mengambil jarak dan kurang hangat di
bandingkan orang tua yang lain. Anak remajanya seolah-olah menjadi “robot”,
sehingga anak kurang inisiatif, merasa takut, tidak percaya diri, pencemas, rendah
diri, minder dalam pergaulan; tetapi disisi lain anak bisa memberontak, nakal, atau
melarikan diri dari kenyataan. Dari segi positifnya, anak yang dididik dalam pola
asuh ini, cenderung akan menjadi disiplin yakni mentaati peraturan. Akan tetapi
bisa jadi, anak hanya mau menunjukkan kedisiplinan di hadapan orangtua,
padahal dalam hatinya berbicara lain, sehingga ketika di belakang orang tua, anak
bersikap dan bertindak lain. Hal itu tujuannya semata hanya untuk menyenangkan
hati orang tua. Jadi anak cenderung memiliki kedisiplinan dan kepatuhan semu.
Universitas Sumatera Utara
11
b. Permisif
Sifat pola asuh ini, children centered yakni segala aturan dan ketetapan
keluarga ditangan anak. Orang tua hanya membuat sedikit permintaan dan
membiarkan anak memonitor aktivitas mereka sendiri. Orang tua hangat, tidak
mengontrol, dan menuntut. Apa yang dilakukan oleh anak diperbolehkan orang
tua. Orang tua menuruti segala kemauan anak. Anak cenderung bertindak semenamena, tanpa pengawasan orang tua. Anak bebas melakukan apa saja yang
diinginkan. Dari sisi negarif, anak kurang disiplin dengan aturan-aturan sosial
yang berlaku. Bila anak mampu menggunakan kebebasan tersebut secara
bertanggung jawab, maka anak akan menjadi seorang yang madiri, kreatif,
inisiatif, dan mampu mewujudkan aktualisasinya.
c. Otoritatif atau Demokratis
Pola asuh yang menggabungkan penghargaan terhadap individualitas
anak tetapi juga menekankan batasan-batasan sosial. Orang tua percaya akan
kemampuan mereka dalam memandu anak, tetapi juga menghargai keputusan
mandiri, minat, pendapat, dan kepribadian anak. Kedudukan orang tua dan anak
sejajar. Suatu keputusan diambil bersama dengan mempertimbangkan kedua belah
pihak. Orang tua menyayangi dan menerima, tetapi juga meminta perilaku yang
baik, tegas dalam menetapkan standar dan berkenan untuk menetapkan hukuman
yang terbatas dan adil jika dibutuhkan dalam konteks hubungan yang hangat dan
mendukung. Anak diberi kebebasan yang bertanggung jawab, artinya apa yang
dilakukan oleh anak tetap harus dibawah pengawasan orang tua dan dapat
dipertanggungjawabkan secara moral.
Universitas Sumatera Utara
12
Orang tua dan anak tidak dapat berbuat semena-mena.Anakdiberi
kepercayaan dan dilatih untukmempertanggungjawabkan
segala tindakannya.
Akibat positif dari pola asuh ini, anak menjadi seorang individu yang
mempercayai orang lain, bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakannya, tidak
munafik, dan jujur. Namun akibat negatif, anak akan cenderung merongrong
kewibawaan otoritas orang tua, kalau segala sesuatu harus dipertimbangkan antara
anak-orang tua.
Menurut Wong (2008), tipe pola asuh orang tua dibedakan menjadi 3, yaitu:
a. Otoriter atau Diktator
Orang tua mencoba untuk mengontrol perilaku dan sikap anak melalui
perintah yang tidak boleh dibantah. Mereka menetapkan aturan dan regulasi atau
standar perilaku yang dituntut untuk diikuti secara kaku dan tidak boleh
dipertanyakan. Mereka menilai dan memberi penghargaan atas kepatuhan absolut,
sikap mematuhi kata-kata mereka, dan menghormati prinsip dan kepercayaan
keluarga tanpa kegagalan. Mereka menghukum secara paksa setiap perilaku yang
berlawanan dengan standar orang tua. Otoritas orang tua dilakukan dengan
penjelasan yang sedikit dan keterlibatan anak yang sedikit dalam mengambil
keputusan. Hukuman tidak selalu berupa hukuman fisik tetapi mungkin berupa
penarikan diri dari rasa cinta dan pengakuan. Latihan yang hati-hati sering kali
mengakibatkan perilaku menurut secara kaku pada anak, yang cendrung untuk
menjadi sensitif, pemalu, menyadari diri sendiri, cepat lelah dan tunduk. Mereka
cendrung menjadi sopan, setia, jujur, dan dapat diandalkan tetapi mudah
dikontrol. Perilaku-perilaku ini lebih khas terlihat ketika pengguna kekuasaan
Universitas Sumatera Utara
13
diktator orang tua disertai dengan supervisi ketat dan tingkat kasih sayang yang
masuk akal. Jika tidak, pengggunaan kekuasaan diktator lebih cendrung untuk
dihubungkan dengan perilaku menentang dan antisosial.
b. Permisif atau Laissez-Faire
Orang tua memiliki sedikit kontrol atau tidak sama sekali atas tindakan
anak-anak mereka. Orang tua yang bermaksud baik ini kadang-kadang bingung
antara sikap permisif dan pemberian izin. Mereka menghindari untuk
memaksakan standar perilaku mereka dan mengizinkan anak mereka untuk
mengatur aktivitas mereka sendiri sebanyak mungkin. Orang tua ini menganggap
diri mereka sendiri sebagai sumber untuk anak, bukan merupakan model peran.
Jika peraturan memang ada, orang tua menjelaskan alasan yang mendasarinya,
mendukung pendapat anak, dan berkonsultasi dengan mereka dalam proses
pembuatan keputusan.Mereka memberlakukan kebebasan dalam bertindak,
disiplin yang inkonsisten, tidak menetapkan batasan-batasan yang masuk akal,
dan tidak mencegah anak yang merusak rutinitas dirumah. Orang tua jarang
menghukum anak, karena sebagian besar perilaku dianggap dapat diterima.
c. Otoritatif atau Demokratik
Orang tua mengkombinasikan praktik mengasuh anak dari dua gaya yang
ekstrim. Mereka mengarahkan perilaku dan sikap anak dengan menekankan
alasan peraturan dan secara negatif menguatkan penyimpangan. Mereka
menghormati individualitas dari setiap anak dan mengizinkan mereka untuk
menyuarakan keberatannya terhadap standar atau peraturan keluarga. Kontrol
orang tua kuat dan konsiten tetapi disertai dengan dukungan, pengertian, dan
Universitas Sumatera Utara
14
keamanan. Kontrol difokuskan pada masalah, tidak pada penarikan rasa cinta atau
takut pada hukuman. Orang tua membantu “pengarahan diri pribadi” suatu
kesadaran mengatur perilaku berdasarkan perasaan bersalah atau malu untuk
melakukan hal yang salah, bukan karena takut tertangkap atau takut dihukum.
Standar realistis orang tua dan harapan yang masuk akal menghasilkan anak
dengan harga diri tinggi, dan sangat interaktif dengan anak lain.
Menurut Hurlock (1999 dalam Risa, 2012), membagi bentuk pola asuh
orang tua menjadi tiga macam yaitu:
a. Pola Asuh Otoriter
Pola asuh ini cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti,
biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Orang tua tipe ini cenderung
memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang
dikatakan orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Orang
tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dan dalam komunikasi biasanya
bersifat satu arah. Orang tua tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya
untuk mengerti mengenai anaknya.
b. Pola Asuh Demokratis
Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan
anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola
asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya berdasarkan rasio atau
pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap
kemampuan anak, tidak berharap berlebihan yang melampui kemampuan anak.
Orang tua tipe ini memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan
melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.
Universitas Sumatera Utara
15
c. Pola Asuh Permisif
Pola asuh ini memberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan
kesempatan kepada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang
cukup darinya. Orang tua cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak
apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan
oleh mereka. Namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga sering
kali disukai anak.
Dalam penelitian ini, teori yang diajukan sebagai landasan peneliti pada
variabel pola asuh adalah teori dari Hurlock (1999).
2.1.3
Ciri-ciri Pola Asuh
Hurlock (1999 dalam Fini, 2008) mengemukakan ciri-ciri pola asuh, yaitu:
a. Pola asuh otoriter mempunyai ciri:
1. Anak harus tunduk dan patuh pada kehendak orang tua
2. Pengontrolan orang tua pada tingkah laku anak sangat ketat hampir
tidak pernah memberi pujian
3. Sering memberikan hukuman fisik jika terjadi kegagalan
memenuhi standar yang telah ditetapkan orang tua
4. Pengendalian tingkah laku melalui kontrol eksternal
b. Pola asuh demokratis mempunyai ciri:
1. Anak diberi kesempatan untuk mandiri dan mengembangkan
kontrol internal
2. Anak diakui sebagai pribadi oleh orang tua dan turut dilibatkan
dalam pengambilan keputusan
Universitas Sumatera Utara
16
3. Menetapkan peraturan serta mengatur kehidupan anak.
c. Pola asuh permisif mempunyai ciri:
1.
Kontrol orang tua kurang
2.
Bersifat longgar atau bebas
3.
Anak kurang dibimbing dalam mengatur dirinya
4.
Hampir tidak menggunakan hukuman
5.
Anak diijinkan membuat keputusan sendiri dan dapat berbuat
sekehendaknya sendiri.
2.1.4
Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh menurut Edward
(2006 dalam Refi, 2014) adalah:
a. Pendidikan orang tua
Pendidikan dan pengalaman orang tua dalam perawatan anak akan
mempengaruhi persiapan mereka menjalankan pengasuhan. Ada beberapa cara
yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran
pengasuhan antara lain: terlibat aktif dalam setiap pendidikan anak, mengamati
segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya
menyediakan waktu untuk anak-anak dan menilai perkembangan fungsi keluarga
dan kepercayaan anak.
b. Lingkungan
Lingkungan
banyak
mempengaruhi
perkembangan
anak,
maka
tidakmustahil jika lingkungan juga ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan
yang diberikan orang tua terhadap anaknya.
Universitas Sumatera Utara
17
c. Budaya
Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat
dalam mengasuh anak, kebiasaan-kebiasaan masyarakat disekitarnya dalam
mengasuh anak. Karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam mendidik
anak kearah kematangan. Orang tua mengharapkan kelak anaknya dapat diterima
dimasyarakat dengan baik, oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat
dalam mengasuh anak juga mempengaruhi setiap orang tua dalammemberikan
pola asuh terhadap anaknya.
2.2 Remaja
2.2.1
Pengertian Remaja
Masa remaja merupakan masa transisi perkembangan individu dari masa
kanak-kanak menuju masa dewasa, dimana pada masa tersebut terjadi
perkembangan perubahan yang sangat pesat baik fisik, psikologis dan sosial
(Potter & Perry, 2005). Masa remaja terdiri dari atas tiga subfase yang jelas yaitu
masa remaja awal (usia 11 sampai 14 tahun), masa remaja pertengahan (usia 15
sampai 17 tahun), dan masa remaja akhir (usia 18 sampai 20 tahun) (Winkelstein
& Schwartz, 2009)
2.2.2
Ciri-Ciri Masa Remaja
Menurut Hurlock (1999)dalamRisa (2012) seperti halnya dengan semua
periode yang penting selama rentang kehidupan, masa remaja mempunyai ciri-ciri
tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri
tersebut adalah :
Universitas Sumatera Utara
18
a. Masa remjaa sebagai periode yang penting.
Dianggap periode yang penting karena akibatnya langsung terhadap sikap
dan perilaku, dan karena akibat-akibat jangka panjang. Pada periode remaja, baik
akibat langsung maupun akibat jangka panjang tetap penting. Ada periode yang
penting karena akibat fisik dan ada lagi karena akibat psikologis. Awal masa
remaja, perkembangan fisik yang cepat dan perkembangan mental yang cepat,
sehingga mengakibatkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk
sikap, nilai, dan minat baru.
b. Masa remaja sebagai periode peralihan.
Peralihan berarti tidak terputus atau berubah dari yang telah terjadi
sebelumnya, melainkan lebih-lebih sebuah peralihan dari satu tahap ke tahap
perkembangan berikutnya. Artinya, apa yang telah terjadi sebelumnya akan
meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan datang.
Perubahan fisik yang terjadi sebelum tahap awal masa remaja mempengaruhi
tingkat perilaku individu dan mengakibatkan diadakannya penilaian kembali
penyesuaian nilai-nilai yang telah tergeser.
c. Masa remaja sebagai periode perubahan.
Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar
dengan tingkat perubahan fisik.
Ada empat perubahan yang hampir bersifat universal, yaitu :
1. Meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan
fisik dan psikologis yang terjadi. Karena perubahan emosi biasanya terjadi
Universitas Sumatera Utara
19
lebih cepat selama masa awal remaja, maka meningginya masa emosi
lebih menonjol pada masa periode akhir.
2. Perubahan tubuh, minat, dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial
menimbulkan masalah baru. Bagi remaja muda, masalah baru yang timbul
tampaknya lebih banyak dan lebih sulit di selesaikan dibandingkan
masalah yang dihadapi sebelumnya. Remaja akan tetap merasa ditimbuni
masalah, sampai ia sendiri menyelesaikannya menurut kepuasannya.
3.
Perubahan minat dan pola perilaku mengakibatkan perubahan nilainilaiyang dianggap penting pada masa kanak-kanak, sekarang setelah
hampir dewasa tidak penting lagi.
4. Sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan.
Mereka menginginkan dan menuntut kebebasan tetapi mareka sering takut
bertanggung jawab akan akibatnya dan meragukan kemampuan mareka
untuk dapat mengatasi tanggung jawab tersebut.
d. Masa remaja sebagai usia bermasalah.
Masalah remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak
laki-laki maupun anak perempuan. Terdapat dua alasan kesulitan. Pertama
sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak sebagian diselesaikan oleh orang tua
dan guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam
mengatasi masalah. Kedua, karena remaja merasa mandiri, sehingga mareka ingin
mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru-guru.
Universitas Sumatera Utara
20
e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri.
Awal masa remaja diperlihatkan dengan penyesuaian diri dengan
kelompok masih tetap penting bagi anak laki-laki dan anak perempuan. Lambat
laun mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama
seperti temannya dalam segala hal.
Salah satu cara untuk mencoba mengangkat diri sendiri sebagai individu adalah
dengan menggunakan simbol status dalam menggunakan mobil, pakaian, dan
barang-barang mewah lain yang mudah terlihat. Remaja menarik perhatian pada
diri sendiri dan agar dipandang sebagai individu, sementara pada saat yang sama
ia mempertahankan identitas dirinya terhadap kelompok sebaya.
f. Masa remaja sebagi usia yang menimbulkan ketakutan.
Anggapan Stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak
rapi, yang tidak dapat dipercaya, dan cenderung merusak dan berperilaku
merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi
kehidupan remaja muda takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik
terhadap perilaku remaja normal. stereotip berfungsi sebagai cermin yang
ditegakkan masyarakat bagi remaja yang menggambarkan citra diri remaja sendiri
yang lambat laun dianggapnya sebagai gambaran yang asli dan remaja
membentuk perilakunya sesuai gambaran ini. Dengan menerima stereotip tersebut
dan adanya keyakinan bahwa orang dewasa mempunyai pandangan yang buruk
tentang remaja, membuat peralihan ke masa dewasa menjadi sulit.
Universitas Sumatera Utara
21
g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistis.
Remaja cenderung melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana
yang diinginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam hal cita-cita.
Semakin tidak realistiknya cita-cita semakin menjadi marah. Remaja akan sakit
hari dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau dia tidak
berhasil mencapai tujuan yang ditetapkanya sendiri. Menjelang berakhirnya masa
remaja, pada umunya baik anak laki-laki maupun anak perempuan sering
terganggu oleh idealisme yang berlebihan bahwa mereka segera harus melepaskan
kehidupan mereka yang bebas bila telah mencapai status orang dewasa.
h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa.
Semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja mulai memusatkan
diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok,
minum minuman keras, menggunakan oabt-obatan, dan terlibat dalam perbuatan
seks. Mereka menganggap bahwa perilaku tersebut akan memberikan citra yang
mereka inginkan.
2.3 Tugas Perkembangan Remaja
2.3.1
Pengertian Tugas Perkembangan
Menurut Havighurst (Agustiani, 2009), pengertian tugas perkembangan
adalah tugas yang muncul pada saat atau sekitar satu periode tertentu dari
kehidupan individu, yang jika berhasil akan menimbulkan rasa bahagia dan
membawa kearah keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya, akan
Universitas Sumatera Utara
22
tetapi bila gagal akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam
menghadapi tugas-tugas berikutnya.
Tugas Perkembangan adalah setiap tahapan perkembangan manusia yang
berasal dari harapan masyarakat yang harus dipenuhi oleh individu. Keberhasilan
atau kegagalan dalam melaksanakan tugas perkembangan pada periode usia
tertentu akan mempengaruhi berhasil atau tidaknya seseorang dalam menjalankan
tugas perkembangan pada usia selanjutnya. Pada usia remaja terdapat pula tugastugas perkembangan tertentu yang harus dipenuhi oleh individu. Pada akhir
remaja diharapkan tugas-tugas tersebut telah terpenuhi sehingga individu siap
memasuki masa dewasa dengan peran-peran dan tugas-tugas barunya sebagai
orang dewasa (Agustiani, 2009).
2.4 Kenakalan Remaja
2.4.1
Pengertian Kenakalan remaja
Kenakalan biasa disebut dengan istilah Juvenile berasal dari bahasa Latin
juvenilis, yang artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda,
sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan delinquent berasal dari bahasa
latin “delinquere” yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas
artinya menjadi jahat, nakal, anti sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut,
pengacau peneror, durjana dan lain sebagainya. Juveniledelinquency atau
kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anakanak muda,
merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang
disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka mengembangkan
Universitas Sumatera Utara
23
bentuk perilaku yang menyimpang. Istilah kenakalan remaja mengacu pada suatu
rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima sosial sampai
pelanggaran status hingga tindak kriminal(Kartono, 2003).
2.4.2
Bentuk-Bentuk Kenakalan Remaja
Menurut Kartono (2003), bentuk-bentuk perilaku kenakalan remaja dibagimenjadi
empat, yaitu :
a. Kenakalan terisolir (Delinkuensi terisolir)
Kelompok ini merupakan jumlah terbesar dari remaja nakal. Pada
umumnya mereka tidak menderita kerusakan psikologis. Perbuatan nakal mereka
didorong oleh faktor-faktor berikut :
1) Keinginan meniru dan ingin konform dengan gangnya, jadi tidak ada
motivasi, kecemasan atau konflik batin yang tidak dapat diselesaikan.
2) Mereka kebanyakan berasal dari daerah kota yang transisional sifatnya
yang memiliki subkultur kriminal. Sejak kecil remaja melihat adanya
gang-gang kriminal, sampai kemudian dia ikut bergabung. Remaja
merasa diterima, mendapatkan kedudukan hebat, pengakuan dan
prestise tertentu.
3) Pada umumnya remaja berasal dari keluarga berantakan, tidak
harmonis, dan mengalami banyak frustasi. Sebagai jalan keluarnya,
remaja memuaskan semua kebutuhan dasarnya di tengah lingkungan
kriminal. Gang remaja nakal memberikan alternatif hidup yang
menyenangkan.
Universitas Sumatera Utara
24
4) Remaja dibesarkan dalam keluarga tanpa atau sedikit sekali
mendapatkan supervisi dan latihan kedisiplinan yang teratur, sebagai
akibatnya dia tidak sanggup menginternalisasikan norma hidup
normal. Ringkasnya, delinkuen terisolasi itu mereaksi terhadap tekanan
dari lingkungan sosial, mereka mencari panutan dan rasa aman dari
kelompok gangnya, namun pada usia dewasa, mayoritas remaja nakal
ini meninggalkan perilaku kriminalnya, paling sedikit 60% dari mereka
menghentikan perilakunyapada usia 21-23 tahun. Hal ini disebabkan
oleh proses pendewasaan dirinya sehingga remaja menyadari adanya
tanggung jawab sebagai orang dewasa yang mulai memasuki peran
sosial yang baru.
b. Kenakalan neurotik (Delinkuensi neurotik)
Pada umumnya, remaja nakal tipe ini menderita gangguan kejiwaan yang
cukup serius, antara lain berupa kecemasan, merasa selalu tidak aman, merasa
bersalah dan berdosa dan lain sebagainya. Ciri - ciri perilakunya adalah :
1) Perilaku nakalnya bersumber dari sebab-sebab psikologis yang sangat
dalam, dan bukan hanya berupa adaptasi pasif menerima norma dan
nilai subkultur gang yang kriminal itu saja.
2) Perilaku kriminal mereka merupakan ekspresi dari konflik batin yang
belum terselesaikan, karena perilaku jahat mereka merupakan alat
pelepas ketakutan, kecemasan dan kebingungan batinnya.
Universitas Sumatera Utara
25
3) Biasanya remaja ini melakukan kejahatan seorang diri, dan
mempraktekkan jenis kejahatan tertentu, misalnya suka memperkosa
kemudian membunuh korbannya, kriminal dan sekaligus neurotik.
4) Remaja nakal ini banyak yang berasal dari kalangan menengah, namun
pada umumnya keluarga mereka mengalami banyak ketegangan
emosional yang parah, dan orangtuanya biasanya juga neurotik atau
psikotik.
5) Remaja memiliki ego yang lemah, dan cenderung mengisolir diri dari
lingkungan.
6) Motif kejahatannya berbeda-beda.
7) Perilakunya menunjukkan kualitas kompulsif (paksaan).
c. Kenakalan psikotik (Delinkuensi psikopatik)
Delinkuensi psikopatik ini sedikit jumlahnya, akan tetapi dilihat dari
kepentingan umum dan segi keamanan, mereka merupakan oknum criminal yang
paling berbahaya. Ciri tingkah laku mereka adalah :
1) Hampir seluruh remaja delinkuen psikopatik ini berasal dan dibesarkan
dalam lingkungan keluarga yang ekstrim, brutal, diliputi banyak
pertikaian keluarga, berdisiplin keras namun tidak konsisten, dan
orangtuanya selalu menyia-nyiakan mereka, sehingga mereka tidak
mempunyai kapasitas untuk menumbuhkan afeksi dan tidak mampu
menjalin hubungan emosional yang akrab dan baik dengan orang lain.
2) Mereka tidak mampu menyadari arti bersalah, berdosa, atau melakukan
pelanggaran.
Universitas Sumatera Utara
26
3) Bentuk kejahatannya majemuk, tergantung pada suasana hatinya yang
kacau dan tidak dapat diduga. Mereka pada umumnya sangat agresif
dan impulsif, biasanya mereka residivis yang berulang kali keluar
masuk penjara, dan sulit sekali diperbaiki.
4) Mereka selalu gagal dalam menyadari dan menginternalisasikan
norma-norma sosial yang umum berlaku, juga tidak peduli terhadap
norma subkultur gangnya sendiri.
5) Kebanyakan dari mereka juga menderita gangguan neurologis,
sehingga mengurangi kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri.
6) Psikopat merupakan bentuk kekalutan mental dengan karakteristik
sebagai berikut: tidak memiliki pengorganisasian dan integrasi diri,
orangnya tidak pernah bertanggung jawab secara moral, selalu
mempunyai konflik dengan norma sosial dan hukum. Mereka sangat
egoistis, anti sosial dan selalu menentang apa dan siapapun. Sikapnya
kasar, kurang ajar dan sadis terhadap siapapun tanpa sebab.
d. Kenakalan defek moral (Delinkuensi defek moral)
Defek (defect, defectus) artinya rusak, tidak lengkap, salah, cedera, cacat,
kurang. Delinkuensi defek moral mempunyai ciri-ciri: selalu melakukan tindakan
anti sosial, walaupun pada dirinya tidak terdapat penyimpangan, namun ada
disfungsi pada inteligensiny.
Kelemahan para remaja delinkuen tipe ini adalah mereka tidak mampu
mengenal dan memahami tingkah lakunya yang jahat, juga tidak mampu
mengendalikan dan mengaturnya, mereka selalu ingin melakukan perbuatan
Universitas Sumatera Utara
27
kekerasan, penyerangan dan kejahatan, rasa kemanusiaannya sangat terganggu,
sikapnya sangat dingin tanpa afeksi jadi ada kemiskinan afektif dan sterilitas
emosional.
Terdapat kelemahan pada dorongan instinktif yang primer, sehingga
pembentukan super egonya sangat lemah. Impulsnya tetap pada taraf primitif
sehingga sukar dikontrol dan dikendalikan. Mereka merasa cepat puas dengan
prestasinya, namun perbuatan mereka sering disertai agresivitas yang meledak.
Remaja yang defek moralnya biasanya menjadi penjahat yang sukar diperbaiki.
Mereka adalah para residivis yang melakukan kejahatan karena didorong oleh
naluri rendah, impuls dankebiasaan primitif, di antara para penjahat residivis
remaja, kurang lebih 80 % mengalami kerusakan psikis, berupa disposisi dan
perkembangan mental yang salah, jadi mereka menderita defek mental. Hanya
kurang dari 20 % yang menjadi penjahat disebabkan oleh faktor sosial atau
lingkungan sekitar.
Jensen (dalam Sarwono, 2002) membagi kenakalan remaja menjadi empat
bentuk yaitu:
a. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain:
perkelahian, tawuran perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lainlain.
b. Kenakalan yang meninbulkan korban materi: perusakan, pencurian,
pencopetan, pemerasan dan lain- lain.
Universitas Sumatera Utara
28
c. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang
lain: pelacuran, penyalahgunaan obat, prilaku merokok, hubungan seks
bebas.
d. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak
sebagai pelajar dengan cara membolos, minggat dari rumah, membantah
perintah.
Hurlock (1973) dalam Sarwono (2002) berpendapat bahwa kenakalan yang
dilakukan remaja terbagi dalam empat bentuk, yaitu:
a. Perilaku yang menyakiti diri sendiri dan orang lain: perkelahian,
tawuran dan lain-lain.
b. Perilaku yang membahayakan hak milik orang lain: merampas,
mencuri, dan mencopet.
c. Perilaku yang tidak terkendali: perilaku yang tidak mematuhi
orangtua dan guru seperti membolos, mengendarai kendaran dengan
tanpa surat izin, dan kabur dari rumah.
d. Perilaku yang membahayakan diri sendiri dan orang lain: seperti
mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, memperkosa dan
menggunakan senjata tajam.
Dari beberapa bentuk kenakalan pada remaja dapat disimpulkan bahwa
semuanya menimbulkan dampak negatif yang tidak baik bagi dirinya sendiri dan
orang lain, serta lingkungan sekitarnya. Adapun bentuk-bentuk kenakalan remaja
yang diambil pada penelitian ini adalah pendapat Jersen dalam Sarwono (2002).
Universitas Sumatera Utara
29
2.4.3
Karaketeristik Remaja Nakal
Menurut Kartono (2003), remaja nakal itu mempunyai karakteristik
umumyang sangat berbeda dengan remaja tidak nakal. Perbedaan itu mencakup :
a. Perbedaan struktur intelektual
Pada umumnya inteligensi mereka tidak berbeda dengan inteligensi
remajayang normal, namun jelas terdapat fungsi- fungsi kognitif khusus yang
berbeda biasanya remaja nakal ini mendapatkan nilai lebih tinggi untuk tugastugas prestasi daripada nilai untuk ketrampilan verbal (tes Wechsler). Mereka
kurang toleran terhadap hal-hal yang ambigius biasanya mereka kurang mampu
memperhitungkan tingkah laku orang lain bahkan tidak menghargai pribadi lain
dan menganggap orang lain sebagai cerminan dari diri sendiri.
b. Perbedaan fisik dan psikis
Remaja yang nakal ini lebih “idiot secara moral” dan memiliki perbedaan
cirri yang jasmaniah sejak lahir jika dibandingkan dengan remaja normal. Bentuk
tubuh mereka lebih kekar, berotot, kuat, dan pada umumnya bersikap lebih
agresif. Hasil penelitian juga menunjukkan ditemukannya fungsi fisiologis dan
neurologis yang khas pada remaja nakal ini, yaitu: mereka kurang bereaksi
terhadap stimulus kesakitan dan menunjukkan ketidakmatangan jasmaniah atau
anomali perkembangan tertentu.
c. Ciri karakteristik individual
Remaja
yang
nakal
ini
mempunyai
sifat
kepribadian
khusus
yangmenyimpang, seperti :
Universitas Sumatera Utara
30
1) Rata-rata remaja nakal ini hanya berorientasi pada masa sekarang,
bersenang-senang dan puas pada hari ini tanpa memikirkan masa
depan.
2) Kebanyakan dari mereka terganggu secara emosional.
3) Mereka kurang bersosialisasi dengan masyarakat normal, sehingga
tidak
mampu
mengenal
norma-norma
kesusilaan,
dan
tidak
bertanggung jawab secara sosial.
4) Mereka senang menceburkan diri dalam kegiatan tanpa berpikir yang
merangsang rasa kejantanan, walaupun mereka menyadari besarnya
risikodan bahaya yang terkandung di dalamnya.
5) Pada umumnya mereka sangat impulsif dan suka tantangan dan
bahaya.
6) Hati nurani tidak atau kurang lancar fungsinya.
7) Kurang memiliki disiplin diri dan kontrol diri sehingga mereka
menjadi liar dan jahat.
2.4.4
Faktor yang Mempengaruhi Kenakalan Remaja
Faktor-faktor kenakalan remaja menurut Santrock, (2007) lebih rinci
dijelaskan sebagai berikut :
a. Identitas
Menurut teori perkembangan yang dikemukakan oleh Erikson (dalam
Santrock, 2007) masa remaja ada pada tahap di mana krisis identitas versus difusi
identitas harus di atasi. Perubahan biologis dan sosial memungkinkan terjadinya
dua bentuk integrasi terjadi pada kepribadian remaja:
Universitas Sumatera Utara
31
1. Terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya dan
2. Tercapainya
identitas
peran,
kurang
lebih
dengan
cara
menggabungkanmotivasi, nilai-nilai, kemampuan dan gaya yang
dimiliki remaja dengan peran yang dituntut dari remaja.Erikson percaya
bahwa delinkuensi pada remaja terutama ditandai dengan kegagalan
remaja untuk mencapai integrasi yang kedua, yang melibatkan aspekaspek peran identitas. Ia mengatakan bahwa remaja yang memiliki masa
balita, masa kanak-kanak atau masa remaja yang membatasi mereka dari
berbagai peranan sosial yang dapat diterima atau yang membuat mereka
merasa tidak mampu memenuhi tuntutan yang dibebankan pada mereka,
mungkin akan memiliki perkembangan identitas yang negatif. Beberapa
dari remaja ini mungkin akan mengambil bagian dalam tindak
kenakalan, oleh karena itu bagi Erikson, kenakalan adalah suatu upaya
untuk membentuk suatu identitas, walaupun identitas tersebut negatif.
b. Kontrol diri
Kenakalan remaja juga dapat digambarkan sebagai kegagalan untuk
mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Beberapa anak
gagal dalam mengembangkan kontrol diri yang esensial yang sudah dimiliki orang
lain selama proses pertumbuhan. Kebanyakan remaja telah mempelajari
perbedaan antara tingkah laku yang dapat diterima dan tingkah laku yang tidak
dapat diterima, namun remaja yang melakukan kenakalan tidak mengenali hal ini.
Mereka mungkin gagal membedakan tingkah laku yang dapat diterima dan yang
tidak dapat diterima, atau mungkin mereka sebenarnya sudah mengetahui
Universitas Sumatera Utara
32
perbedaan antara keduanya namun gagal mengembangkan kontrol yang memadai
dalam menggunakan perbedaan itu untuk membimbing tingkah laku mereka.
Hasil penelitian yang dilakukan baru-baru ini dalamSantrock (2007)
menunjukkan bahwa ternyata kontrol diri mempunyai peranan penting dalam
kenakalan remaja. Pola asuh orangtua yang efektif di masa kanak-kanak
(penerapan strategi yang konsisten, berpusat pada anak dan tidak aversif)
berhubungan dengan dicapainya pengaturan diri oleh anak. Selanjutnya, dengan
memiliki ketrampilan ini sebagai atribut internal akan berpengaruh pada
menurunnya tingkat kenakalan remaja.
c. Usia
Munculnya tingkah laku anti sosial di usia dini berhubungan dengan
penyerangan serius nantinya di masa remaja, namun demikian tidak semua anak
yang bertingkah laku seperti ini nantinya akan menjadi pelaku kenakalan, seperti
hasil penelitian dari McCord (dalam Kartono, 2003) yang menunjukkan bahwa
pada usia dewasa, mayoritas remaja nakal tipe terisolir meninggalkan tingkah laku
kriminalnya. Paling sedikit 60 % dari mereka menghentikan perbuatannya pada
usia 21 sampai 23 tahun.
d. Jenis kelamin
Remaja laki- laki lebih banyak melakukan tingkah laku anti sosial daripada
perempuan. Menurut catatan kepolisian Kartono (2003) pada umumnya jumlah
remaja laki- laki yang melakukan kejahatan dalam kelompok gang diperkirakan
50 kali lipat daripada gang remaja perempuan.
Universitas Sumatera Utara
33
e. Harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai di sekolah
Remaja yang menjadi pelaku kenakalan seringkali memiliki harapan yang
rendah terhadap pendidikan di sekolah. Mereka merasa bahwa sekolah tidak
begitu bermanfaat untuk kehidupannya sehingga biasanya nilai-nilai mereka
terhadap sekolah cenderung rendah. Mereka tidak mempunyai motivasi untuk
sekolah. Riset yang dilakukan oleh Janet Chang dan Thao N. Lee (2005)
mengenai pengaruh orangtua, kenakalan teman sebaya, dan sikap sekolah
terhadap prestasi akademik siswa di Cina, Kamboja, Laos, dan remaja Vietnam
menunjukkan bahwa faktor yang berkenaan dengan orangtua secara umum tidak
mendukung banyak, sedangkan sikap sekolah ternyata dapat menjembatani
hubungan antara kenakalan teman sebaya dan prestasi akademik.
f. Proses keluarga
Faktor keluarga sangat berpengaruh terhadap timbulnya kenakalan remaja.
Kurangnya dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orangtua terhadap
aktivitas anak, kurangnya penerapan disiplin yang efektif, kurangnya kasih sayang
orangtua dapat menjadi pemicu timbulnya kenakalan remaja. Penelitian yang
dilakukan oleh Gerald Patterson dan rekan-rekannya (dalam Santrock, 2007)
menunjukkan bahwa pengawasan orangtua yang tidak memadai terhadap
keberadaan remaja dan penerapan disiplin yang tidak efektif dan tidak sesua i
merupakan faktor keluarga yang penting dalam menentukan munculnya kenakalan
remaja. Perselisihan dalam keluarga atau stress yang dialami keluarga juga
berhubungan dengan kenakalan. Faktor genetik juga termasuk pemicu timbulnya
kenakalan remaja, meskipun persentasenya tidak begitu besar.
Universitas Sumatera Utara
34
g. Pengaruh teman sebaya
Memiliki teman-teman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan
risiko remaja untuk menjadi nakal. Pada sebuah penelitian Santrock (1996)
terhadap 500 pelaku kenakalan dan 500 remaja yang tidak melakukan kenakalan
di Boston, ditemukan persentase kenakalan yang lebih tinggi pada remaja yang
memiliki hubungan reguler dengan teman sebaya yang melakukan kenakalan.
h. Kelas sosial ekonomi
Ada kecenderungan bahwa pelaku kenakalan lebih banyak berasal dari
kelas sosial ekonomi yang lebih rendah dengan perbandingan jumlah remaja nakal
di antara daerah perkampungan miskin yang rawan dengan daerah yang memiliki
banyak privilege diperkirakan 50 : 1 (Kartono, 2003). Hal ini disebabkan
kurangnya kesempatan remaja dari kelas sosial rendah untuk mengembangkan
ketrampilan yang diterima oleh masyarakat. Mereka mungkin saja merasa bahwa
mereka akan mendapatkan perhatian dan status dengan cara melakukan tindakan
anti sosial. Menjadi “tangguh” dan “maskulin” adalah contoh status yang tinggi
bagi remaja dari kelas sosial yang lebih rendah, dan status seperti ini sering
ditentukan oleh keberhasilan remaja dalam melakukan kenakalan dan berhasil
meloloskan diri setelah melakukan kenakalan.
i. Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal
Komunitas juga dapat berperan serta dalam memunculkan kenakalan
remaja. Masyarakat dengan tingkat kriminalitas tinggi memungkinkan remaja
mengamati berbagai model yang melakukan aktivitas kriminal dan memperoleh
hasil atau penghargaan atas aktivitas kriminal mereka. Masyarakat seperti ini
Universitas Sumatera Utara
35
sering ditandai dengan kemiskinan, pengangguran, dan perasaan tersisih dari
kaum kelas menengah. Kualitas sekolah, pendanaan pendidikan, dan aktivitas
lingkungan yang terorganisir adalah faktor- faktor lain dalam masyarakat yang
juga berhubungan dengan kenakalan remaja.
Universitas Sumatera Utara