Pola Asuh Orang Tua Dan Perilaku Agresif Remaja di STM Raksana Medan

(1)

POLA ASUH ORANG TUA DAN PERILAKU AGRESIF REMAJA di STM RAKSANA MEDAN

SKRIPSI

Oleh

Theresia Gustina Manalu 091121073

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2010


(2)

(3)

PRAKATA

Segala puji dan syukur kepada Tuhan YME yang atas berkat rahmat dan karunianya memberikan saya motivasi terbesar dalam hidup ini, beserta keluarga dan para sahabat yang memberikan teladan terindah sehinga saya mampu melangkah untuk menyelesaikan skripsi ini dengan judul “ Pola Asuh Orang Tua Dan Perilaku Agresif Remaja di STM Raksana Medan”.

Penyusunan skripsi ini telah banyak banyak mendapat bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes sebagai Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan Ibu Erniyati, S.Kp, MNS sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Lufthiani, S.Kep, Ns., sebagai dosen Pembimbing Skripsi dan juga pembimbing akademik yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta memberikan masukan-masukan yang bermanfaat bagi skripsi ini dan juga memberi motivasi, semangat, dan dukungan kepada saya selama proses penyelesaian skripsi ini.

3. Ibu Salbiah S.Kp, M.Kep, selaku dosen Pembimbing Skripsi II yang telah banyak memberi masukan-masuka n yang bermanfaat bagi skripsi ini.

4. Ibu Jenny Purba, S.Kep, MNS, selaku dosen Penguji yang telah banyak memberikan masukan untuk kesempurnaan skripsi ini.


(4)

5. Drs. A. Siagian selaku kepala sekolah STM Raksana Medan yang telah memberikan izin kepada saya untuk melakukan penelitian di STM Raksana Medan.

6. Seluruh dosen Pengajar S1 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan pendidikan kepada saya selama proses perkuliahan dan staf nonakademik yang membantu memfasilitasi saya secara administratif.

7. Teristimewa kepada seluruh keluarga saya, kepada Ayahanda P. Manalu, ibunda tercinta N. Simbolon dan kepada abang saya Ryo T. Manalu, Bob Richardo Manalu dan Alex Candra S. yang terus memberikan motivasi dan doa yang tiada henti yang begitu berarti bagi saya.

8. Kepada seluruh rekan-rekan mahasiswa/i ekstensi stambuk 2009 teristimewa buat Eridha Nonita Sebayang, Ririn Suwinul Arifin, Herma Lumban Gaol dan Sarah Damayanti Saragih yang selalu setia mendampingi penulis baik dalam suka dan duka. Dan tak pernah henti menasehati penulis dan memberi motivasi untuk belajar dan segera menyelesaikan kuliah dengan baik. Dan semua teman-teman seperjuangan yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Responden yang telah bersedia meluangkan waktu dan berpartisipasi dalam penelitian saya.

9. Semua Pihak yang dalam kesempatan ini tidak dapat seluruhnya disebutkan namanya satu persatu yang telah banyak membantu saya baik dalam penyelesaian skripsi ini maupun dalam menyelesaikan perkuliahan di Fakultas Keperawatan USU.


(5)

Semoga Tuhan YME senantiasa melimpahkan karunia dan rahmat dari-Nya kepada semua pihak yang telah membantu saya.. Harapan saya semoga skripsi ini bermanfaat dalam memberikan informasi di bidang kesehatan terutama keperawatan.

Medan, Januari 2011


(6)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Halaman Pengesahan ... ii

Prakata ... iii

Daftar Isi ... vi

Daftar Tabel ... viii

Abstrak ... ix

Bab 1. Pendahuluan ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 5

1.2.1. Tujuan Umum ... 5

1.2.2. Tujuan Khusus ... 5

1.3. Pertanyaan Penelitian ... 5

1.4. Manfaat Penelitian ... 5

1.4.1. Praktek Keperawatan ... 5

1.4.2. Pendidikan Keperawatan ... 6

1.4.3. Penelitian Keperawatan... 6

Bab 2. Tinjauan Pustaka ... 7

2.1. Pengertian orang tua ... 7

2.2. Pengertian pola asuh ... 7

2.2.1. Macam-macam pola asuh orang tua ... 8

2.2.1.1. Pola asuh demokratis ... 8

2.2.1.2. Pola asuh otoriter ... 11

2.2.1.3. Pola asuh permisif... 14

2.3. Pengertian remaja ... 16

2.3.1. Tahap perkembangan remaja... 17

2.4. Pengertian perilaku ... 19

2.4.1. Ruang lingkup perilaku ... 19

2.5. pengertian perilaku agresif ... 23

2.5.1. Tipe-tipe agresifitas ... 24

2.5.1.1. Agresifitas emosional verbal ... 25

2.5.1.2. Agresifitas fisik sosial ... 25

2.5.1.3. Agresifitas fisik asosial ... 25

2.5.1.4. Agresifitas destruktif ... 25

2.5.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku agresif ... 26

2.5.3. Cara mengatasi perilaku agresif ... 30

Bab 3. Kerangka Konseptual ... 32

3.1. Kerangka Konseptual ... 32


(7)

Bab 4. Metodelogi Penelitian ... 35

4.1. Desain Penelitian ... 35

4.2. Populasi dan Sampel Penelitian ... 35

4.2.1. Populasi ... 35

4.2.2. Sampel ... 35

4.3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 36

4.4. Pertimbangan Etik ... 37

4.5. Instrumen Penelitian... 38

4.5.1. Kuesioner Data Demografi... 38

4.5.2. Kuesioner Pola Asuh Orang Tua ... 38

4.5.3. Kuesioner Perilaku Agresif Remaja ... 39

4.6. Validitas dan Reabilitas Instrumen ... 40

4.7. Pengumpulan Data ... 41

4.8. Analisa Data... 42

Bab 5. Hasil dan pembahasan... ... 43

5.1. Hasil Penelitian ... 43

5.1.1. Karateristik Responden Penelitian ... 43

5.2. Pembahasan ... 48

5.2.1. Pola Asuh Orang Tua Pada Remaja Agresif ... 48

5.2.2. Perilaku Agresif Remaja ... 52

BAB 6. Kesimpulan dan Saran ... 57

6.1. Kesimpulan ... 57

6.2. Saran ... 57

Daftar Pustaka ... 58

Lampiran-lampiran ... 60

1. Formulir Persetujuan Menjadi Responden ... 61

2. Instrumen Penelitian ... 62

3. Konten Validiti Indeks ... 65

4. Reliabilitas Pola Asuh Orang Tua ... 68

5. Reliabilitas Perilaku Agresif Remaja ... 69

6. Data Demografi ... 70

7. Frequency Tabel Pola Asuh Orang Tua ... 72

8. Frequency Tabel Perilaku Agresif ... 76

9. Taksasi Dana ... 79


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Remaja ... 43

Tabel 5.2. Distribusi Frekue nsi Pola Asuh Orang Tua ... 44

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Pola Asuh Orang Tua ... 45

Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Perilaku Agresif Remaja... 46


(9)

(10)

Judul : Pola Asuh Orang Tua Dan Perilaku Agresif Remaja di STM Raksana Medan

Nama : Theresia Gustina Manalu

Nim : 091121073

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Tahun : 2011

Abstrak

Perilaku agresif sering terjadi pada kalangan remaja madya (middle adolescence) dengan rentang usia 15-18 tahun. Meningkatnya perilaku agresif tercermin dalam banyaknya kasus tawuran antara pelajar yang meresahkan masyarakat sehingga mengakibat perkelahian dan menimbulkan korban jiwa. Pola asuh yang diterapkan orang tua ini sangat bergantung pada bentuk-bentuk perilaku penyimpangan anak, dan salah satu faktor yang mempengaruhi agresivitas adalah pola asuh dan perilaku mereka terhadap anak. Tujuan penelitian untuk pola asuh orangtua dan perilaku agresif remaja di STM Raksana Medan tahun 2010. Jenis penelitian deskriptif. Sampel dalam penelitian sebanyak 50 remaja yang berperilaku agresif dari hasil pengambilan data melalui kuesioner. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan Juli Tahun 2010. Analisa data menggunakan distribusi frekuensi. Hasil penelitian diperoleh bahwa pola asuh orangtua paling banyak yang otoriter yaitu 86,0%, dan paling sedikit dengan pola asuh permisif yaitu 14,0%. Tindakan otoriter yang paling banyak di sebabkan karena orangtua tidak pernah bersikap sabar dan ramah pada anaknya dan remaja seluruhnya berperilaku agresif (100%).Untuk itu di sarankan bagi para orangtua agar bisa menjalin komunikasi yang baik dan terbuka dengan anaknya, sehingga orangtua mengetahui dan memahami setiap masalah anaknya.


(11)

Judul : Pola Asuh Orang Tua Dan Perilaku Agresif Remaja di STM Raksana Medan

Nama : Theresia Gustina Manalu

Nim : 091121073

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Tahun : 2011

Abstrak

Perilaku agresif sering terjadi pada kalangan remaja madya (middle adolescence) dengan rentang usia 15-18 tahun. Meningkatnya perilaku agresif tercermin dalam banyaknya kasus tawuran antara pelajar yang meresahkan masyarakat sehingga mengakibat perkelahian dan menimbulkan korban jiwa. Pola asuh yang diterapkan orang tua ini sangat bergantung pada bentuk-bentuk perilaku penyimpangan anak, dan salah satu faktor yang mempengaruhi agresivitas adalah pola asuh dan perilaku mereka terhadap anak. Tujuan penelitian untuk pola asuh orangtua dan perilaku agresif remaja di STM Raksana Medan tahun 2010. Jenis penelitian deskriptif. Sampel dalam penelitian sebanyak 50 remaja yang berperilaku agresif dari hasil pengambilan data melalui kuesioner. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan Juli Tahun 2010. Analisa data menggunakan distribusi frekuensi. Hasil penelitian diperoleh bahwa pola asuh orangtua paling banyak yang otoriter yaitu 86,0%, dan paling sedikit dengan pola asuh permisif yaitu 14,0%. Tindakan otoriter yang paling banyak di sebabkan karena orangtua tidak pernah bersikap sabar dan ramah pada anaknya dan remaja seluruhnya berperilaku agresif (100%).Untuk itu di sarankan bagi para orangtua agar bisa menjalin komunikasi yang baik dan terbuka dengan anaknya, sehingga orangtua mengetahui dan memahami setiap masalah anaknya.


(12)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keluarga merupakan sebuah sistem yang digerakkan oleh anggota berdasarkan asas saling menghormati, menghargai, dan mendukung peran masing-masing sehingga tercipta sinergi dan keteraturan. Keluarga sebagai sebuah sistem merupakan tempat seorang remaja membentuk dan mengembangkan kepribadian dalam karakter. Sebagai contoh, dua orang remaja yang tinggal bersebelahan rumah namun mempunyai kepribadian dan karakter yang sangat berbeda karena mereka dibesarkan dengan sistem pola asuh yang berbeda (Surbakti, 2008).

Faktor lingkungan juga memainkan peran yang tidak kecil terhadap pembentukan kepribadian remaja, jika para remaja bertumbuh di tengah-tengah lingkungan yang tidak sehat, dapat dipastikan mereka juga akan bertumbuh menjadi pribadi yang tidak sehat yang selalu menciptakan kekacauan. Sebaliknya, jika mereka bertumbuh di tengah-tengah lingkungan sosial yang sehat, mereka juga akan bertumbuh menjadi pribadi yang sehat yang menciptakan kedamaian (Surbakti, 2008).

Melalui orang tua anak beradaptasi dengan lingkungan dan mengenal dunia sekitarnya serta pola pergaulan hidup yang berlaku di lingkungannya. Ini disebabkan karena orang tua merupakan dasar pertama bagi pembentukan pribadi anak. Bentuk-bentuk pola asuh orang tua sangat erat hubungannya dengan kepribadian anak setelah menjadi dewasa (Ramadhan,2009).


(13)

Di dalam mengasuh anak terdapat pendidikan, sopan santun, membentuk latihan-latihan tanggung jawab dan sebagainya. Disini peran orang tua sangat penting, karena secara langsung ataupun tidak orang tua melalui tindakannya akan membentuk watak anak dan menentukan sikap anak serta tindakanya di kemudian hari. Masing-masing orang tua tentu mempunyai pola asuh tersendiri dalam mengarahkan anak. Hal ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan orang tua, mata pencarian hidup, keadaan sosial ekonomi, adat istiadat, dan sebagainya (Ramadhan,2009). Dan salah satu faktor yang mempengaruhi agresivitas adalah pola asuh dan perilaku mereka terhadap anak (Hurlock, 1993).

Macam-macam pola asuh yang diterapkan orang tua ini sangat bergantung pada bentuk-bentuk perilaku penyimpangan anak. Orang tua dapat memilih pola asuh yang tepat untuk anaknya. Orang tua yang salah menerapkan pola asuh akan membawa akibat buruk bagi perkembangan jiwa anak. Diharapkan orang tua dapat menerapkan pola asuh yang bijaksana atau menerapkan pola asuh yang tidak membawa kehancuran atau merusak jiwa dan watak seorang anak (Ramadhan, 2009).

Remaja pada umumnya memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga remaja ingin mencoba-coba, mengkhayal dan merasa gelisah, serta berani melakukan pertentangan jika dirinya merasa disepelekan atau tidak dianggap. Untuk itu, mereka sangat perlu keteladanan, konsistensi, serta komunikasi yang tulus dan empatik dari orang dewasa. Seringkali remaja melakukan perbuatan-perbuatan menurut normanya sendiri karena terlalu banyak menyaksikan


(14)

ketidakkonsistenan di masyarakat yang dilakukan oleh orang dewasa/ orang tua (Ali dan Asroli, 2009).

Perilaku agresif sering terjadi pada kalangan remaja madya (middle adolescence) dengan rentang usia 15- 18 tahun, dimana tanggung jawab hidup yang harus semakin ditingkatkan oleh remaja yang mampu memikul sendiri juga masalah tersendiri bagi remaja madya. Karena tuntutan peningkatan tanggung jawab tidak hanya datang dari orang tua atau anggota keluarganya tetapi juga dari masyarakat sekitarnya. Tidak jarang masyarakat juga menjadi masalah bagi remaja, tidak jarang remaja mulai meragukan tentang apa yang disebut baik atau buruk. Akibatnya, remaja ingin sering kali ingin membentuk nilai- nilai mereka sendiri yang mereka anggap benar, baik, dan pantas untuk dikembangkan di kalangan mereka sendiri. Lebih-lebih jika orang tua atau orang dewasa di sekitarnya ingin memaksakan nilai- nilainya agar dipatuhi oleh remaja tanpa disertai dengan alasan yang masuk akal menurut mereka (Ali dan Asroli, 2009).

Di Amerika Serikat lebih dari 16.000 pembunuhan terjadi setiap tahunnya, lebih dari 95.000 tindak perkosaan setiap tahun, dan lebih dari 11 juta tindak kekerasan secara keseluruhan dalam kasus kejahatan saja (U.S. Department of Justice, 2002). Angka ini belum termasuk kejahatan yang belum dilaporkan (Soetjiningsih, 2004). Di Amerika Serikat lebih dari 5000 orang dewasa dan remaja setiap tahun mati karena bunuh diri. 123/100.000 pada kelompok umur ini yaitu (18,8%) dari seluruh kematian remaja (15-24 tahun).

Tawuran pelajar secara kuantitas sebenarnya boleh dikatakan kecil. Pusat Pengendalian Gangguan Sosial DKI Jakarta Raya mencatat, pelajar yang terlibat


(15)

tawuran hanya sekitar 1.369 orang atau sekitar 0,08 persen dari keseluruhan siswa yang jumlahnya mencapai 1.685.084 orang. Namun dari segi isu, korban, dan dampaknya, tawuran tidak bisa dianggap biasa. Jumlah korban tewas akibat tawuran pelajar, sejak 1999 hingga kini yang tercatat mencapai 26 orang. Ini belum termasuk yang luka berat dan ringan. Secara sosial, tawuran juga telah meresahkan masyarakat dan secara material banyak fasilitas umum yang rusak, seperti dalam kasus pembakaran atau pelemparan bus umum (Bow, 2008).

Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran ini sering terjadi. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus (Ida Novianti, 2008).

Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti tertarik/ menganggap penting untuk meneliti tentang pola asuh orang tua dan perilaku agresif remaja .

1.2. Tujuan Penelitian 1.2.1. Tujuan Umum

Mengidentifikasi pola asuh orang tua pada perilaku agresif remaja di STM Raksana Medan


(16)

1.2.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk :

a. Mengidentifikasi pola asuh demokratis orang tua pada remaja di STM Raksana Medan.

b. Mengidentifikasi pola asuh otoriter orang tua pada remaja di STM Raksana Medan.

c. Mengidentifikasi pola asuh permisif orang tua pada remaja di STM Raksana Medan.

d. Mengidentifikasi perilaku agresif pada remaja di STM Raksana Medan.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana bentuk pola asuh orang tua dan perilaku agresif pada remaja di STM Raksana Medan.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Praktek Keperawatan

Dapat dijadikan sebagai informasi dan bahan pertimbangan bagi praktek keperawatan dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan pola asuh orang tua dan perilaku agresif pada remaja.

1.4.2. Pendidikan Keperawatan

Dapat memberikan pengetahuan dan keterampilan yang berharga bagi peneliti, sehingga dapat menerapkan pengalaman ilmiah yang diperoleh untuk


(17)

penelitian di masa mendatang. Selain itu juga menyediakan informasi mengenai pola asuh orang tua dan perilaku agresif pada remaja.

1.4.3. Penelitian Keperawatan

Dapat menambah informasi bagi penelitian keperawatan mengenai pola asuh orang tua dan perilaku agresif pada remaja sehingga memberikan ide selanjutnya bagi penelitian keperawatan selanjutnya.


(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Orang Tua

Orang tua adalah ayah dan ibu adalah figur atau contoh yang akan selalu ditiru oleh anak-anaknya (Mardiya, 2000).

2.2. Pengertian Pola Asuh

Pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak dari segi negatif maupun positif (Rusdijana, 2006).

Di dalam kehidupan masyarakat, keluarga merupakan unit terkecil yang memiliki peranan besar bagi kelangsungan hidup bermasyarakat. Keluarga memiliki fungsi penting yang berkaitan dengan peranya sebagai media sosialisasi. Sosialisasi bertujuan untuk mendidik warga masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai yang dianut. Proses mengetahui kaidah-kaidah-kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang dianut inilah untuk pertama kali diperoleh dalam keluarga. Perilaku yang benar dan tidak menyimpang untuk pertama kalinya juga dipelajari dari keluarga. (Soekanto, 2004).

Pendidikan keluarga memiliki peranan yang penting. Hal ini karena pendidikan merupakan sarana untuk menghasilkan warga masyarakat yang baik. Jika kehidupan keluarga kurang serasi, kemungkinan besar salah satu dari anggota


(19)

keluarga tersebut tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik (Yustinasusi, 2010).

2.2.1. Macam - Macam Pola Asuh Orang Tua 2.2.1.1. Pola Asuh Demokratis

Mendorong anak untuk mandiri namun masih menerapkan batas dan kendali pada tindakan mereka. Tindakan verbal memberi dan menerima dimungkinkan, dan orang tua bersikap hangat dan penyayang terhadap anak. Orang tua yang demokratis mungkin merangkul anak dengan mesra dan berkata ”kamu tahu, kamu tak seharusnya melakukan hal itu. Mari kita bicarakan bagaimana kamu bisa menangani situasi tersebut lebih baik lain kali”. Orang tua demokratis menunjukan kesenangan dan dukungan sebagai respons terhadap perilaku konstruktif anak. Mereka juga mengharapkan perilaku anak yang dewasa, mandiri dan sesuai dengan usianya. Anak yang memiliki orang tua yang otoritatif sering kali ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, dan berorientasi pada prestasi; mereka cenderung untuk mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman sebaya, bekerja sama dengan orang dewasa, dan bisa mengatasi stres dengan baik (Santrock, 2007).

Pola asuh yang seimbang (demokratis) akan selalu menghargai individualitas akan tetapi juga menekankan perlunya aturan dan pengaturan. Mereka sangat percaya diri dalam melakukan pengasuhan tetapi meraka sepenuhnya menghargai keputusan yang diambil anak, minat dan pendapat serta perbedaan kepribadiannya. Orang tua dengan pola asuh model ini, penuh dengan cinta kasih, mudah memerinci tetapi menuntut tingkah laku yang baik. Tegas


(20)

dalam menjaga aturan bersedia memberi hukuman ringan tetapi dalam situasi hangat dan hubungan saling mendukung. Mereka menjelaskan semua tindakan dan hukuman yang mereka lakukan dan meminta pendapat anak. Anak dari orang tua yang demikian akan merasa tenang dan nyaman. Mereka akan menajdi paham kalau mereka disayangi tetapi sekaligus mengerti terhadap apa yang diharapkan dari orang tua. Jadi anak sejak pra sekolah hingga dewasa akan menunjukkan sikap lebih mandiri, mampu mengontrol dirinya, biasa bersikap tegas (Mardiya, 2000).

Pola asuh demokratis merupakan bentuk perlakuan orang tua saat berinteraksi dengan anaknya dengan cara melibatkan anak (dalam hal ini anak usia remaja) dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan keluarga dan diri anaknya merupakan gaya pengasuhan demokratis. Orang tua yang demokratis bersikap terbuka, fleksibel dan memberikan kesempatan kepada anaknya untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan peraturan yang rasional, orang tua demikian mempunyai hubungan yang dekat dengan anak-anaknya, dan selalu mendorong anaknya untuk ikut terlibat dalam membuat peraturan dan melaksanakan peraturan dengan penuh kesadaran (Hidayat, 2009). Orang tua yang bergaya demokratis bertingkah laku hangat tetapi tetap tegas. Mereka menerapkan seperangkat standar untuk mengatur anak-anaknya, tetapi sekaligus berusaha membangun harapan-harapan yang disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan, serta kemampuan dan kebutuhan anak-anaknya. Mereka juga menunjukkan kasih sayang, mau mendengarkan dengan sabar pandangan anak-anaknya, dan mendukung keterlibatan anaknya dalam membuat keputusan di


(21)

dalam keluarga. Kebiasaan-kebiasaan demokrasi, saling menghargai dan menghormati hak-hak orangtua dan anak-anak ditanamkan dalam keluarga yang demokratis. Dalam keluarga yang demokratis, keputusan-keputusan yang penting akan diputuskan secara bersama-sama walaupun keputusan akhir seringkali berada di tangan orangtua. Anak-anak diberikan kesempatan untuk memberikan alasan mengapa mereka ingin memutuskan atau akan melakukan sesuatu. Apabila alasan-alasan itu masuk akal dan dapat diterima maka orangtua yang demokratis akan memberikan dukungan, tetapi jika tidak maka orangtua akan menjelaskan alasan-alasannya mengapa dia tidak merestui keputusan anaknya tersebut. Pola interaksi yang demikian akan memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk memahami pandangan orang lain yang pada akhirnya dapat mengantar pada suatu keputusan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Orang tua yang demokratis selalu berusaha menanamkan nilai-nilai kemandirian dan pengendalian diri yang tinggi pada anak-anaknya, sekaligus tetap bertanggung jawab penuh terhadap tingkah laku anak-anaknya.

Kebiasaan yang rasional, berorientasi pada masalah, terlibat dalam perbincangan dan penjelasan dengan anak-anak, dan memegang teguh tingkah laku yang disiplin selalu ditanamkan oleh orangtua yang demokratis. Dalam mengatur hubungan diantara anggota keluarganya, orang tua yang demokratis akan menggunakan otoritasnya namun mengekspresikannya melalui bimbingan yang disertai dengan pengertian dan cinta kasih. Anak-anaknya akan didorong untuk dapat melepaskan diri (self-detach) secara berangsur-angsur dari ketergantungan terhadap keluarga. Kualitas pola interaksi dan pola pengasuhan


(22)

orang tua yang demokratis akan memunculkan keberanian, motivasi dan kemandirian anak-anaknya dalam menghadapi masa depannya (Santrock, 1985). Pola pengasuhan seperti ini dapat mendorong tumbuhnya kemampuan sosial, meningkatkan rasa percaya diri, dan tanggungjawab sosial pada anak remaja. Para remaja yang hidup dalam keluarga yang demokratis akan menjalani kehidupannya dengan rasa penuh semangat dan bahagia, percaya diri, dan memiliki pengendalian diri dalam mengelola emosinya sehingga tidak akan bertindak anarkis (Baumrind, 1967 dalam Hidayat, 2009). Mereka juga akan memiliki kemandirian yang tinggi, mampu menjalin persahabatan dan kerja sama yang baik, memiliki kematangan sosial dalam berinteraksi dengan keluarga dan lingkungannya.

2.2.1.2. Pola asuh Otoriter

Pola yang membatasi dan menghukum, dimana orang tua mendesak anak untuk mengikuti arahan mereka dan menghormati pekerjaan dan upaya mereka. Orang tua yang otoriter menerapkan batas dan kendali yang tegas pada anak dan meminimalisir perdebatan verbal. Contohnya, orang tua yang otoriter mungkin berkata,”lakukan dengan caraku atau tak usah.” Orang tua yang otoriter mungkin juga sering memukul anak, memaksakan aturan secara kaku tanpa menjelaskannya dan menunjukkan amarah pada anak. Anak dari orang tua yang otoriter sering kali tidak bahagia, ketakutan, minder ketika membandingkan diri dengan orang lain, tidak mampu memulai aktifitas, dan memiliki kemampuan komunikasi yang lemah. Putra dari orang tua yang otoriter mungkin berperilaku agresif (Santrock, 2007).


(23)

Pola otoriter merupakan suatu bentuk pengasuhan orang tua yang pada umumnya sangat ketat dan kaku ketika berinteraksi dengan anaknya. Orang tua yang berpola asuh otoriter menekankan adanya kepatuhan seorang anak terhadap peraturan yang mereka buat tanpa banyak basa-basi, tanpa penjelasan kepada anaknya mengenai sebab dan tujuan diberlakukannya peraturan tersebut, cenderung menghukum anaknya yang melanggar peraturan atau menyalahi norma yang berlaku. Orang tua yang demikian yakin bahwa cara yang keras merupakan cara yang terbaik dalam mendidik anaknya. Orang tua demikian sulit menerima pandangan anaknya, tidak mau memberi kesempatan kepada anaknya untuk mengatur diri mereka sendiri, serta selalu mengharapkan anaknya untuk mematuhi semua peraturannya (Hidayat, 2009).

Orang tua otoriter meyakini bahwa seorang anak akan menerima dengan baik setiap perkataan atau setiap perintah orang tuanya, setiap anak harus melaksanakan tingkah laku yang dipandang baik oleh orang tuanya. Orang tua otoriter akan mencoba mengontrol remaja dengan peraturan-peraturan yang mereka tetapkan, selalu memberi perintah tanpa mau memberikan penjelasan. Orang tua otoriter selalu menuntut, kurang memberikan otonomi pada anaknya, dan seringkali gagal memberikan kehangatan kepada anaknya (Hidayat, 2009).

Orang tua otoriter selalu berusaha mengarahkan, menentukan, dan menilai tingkah laku dan sikap anaknya sesuai dengan standar peraturan yang ditetapkannya sendiri. Standar dimaksud biasanya didasarkan pada standar yang absolut seperti nilai-nilai ajaran dan norma-norma agama, sehingga menutup kemungkinan bagi anaknya untuk dapat membantah orang tuanya. Pola


(24)

pengasuhan orang tua yang demikian sangat berpotensi menimbulkan konflik dan perlawanan seorang anak, terutama saat anak sudah menginjak masa remaja, atau sebaliknya akan menimbulkan sikap ketergantungan seorang remaja terhadap orang tuanya (Rice, 1996), anak remaja akan kehilangan aktivitas kreatifnya, dan akan tumbuh menjadi anak yang tidak efektif dalam kehidupan dan interaksinya dengan lingkungan sosial (Santrock, 1985), remaja cenderung akan mengucilkan dirinya, kurang berani dalam menghadapi tantangan tugas dan tidak merasa bahagia (Hidayat, 2009).

Seorang remaja yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga atau orang tua otoritarian cenderung menunjukkan sikap yang patuh dan akan menyesuaikan dirinya pada standar-standar tingkah laku yang sudah ditetapkan oleh orang tuanya, namun di balik itu sesungguhnya mereka merasa menderita dengan kehilangan rasa percaya diri dan pada umumnya lebih tertekan dan lebih menderita secara somatis dibandingkan kelompok teman sebayanya. Sikap-sikap remaja yang demikian akhirnya akan menyebabkan remaja cenderung untuk selalu tergantung pada orang tuanya, cenderung kurang mampu mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, serta cenderung tidak mampu untuk bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya disebabkan semuanya disandarkan pada aturan dan kehendak orang tuanya. Semua itu menunjukkan bahwa seorang remaja yang berada dalam asuhan orang tua yang otoriter akan tumbuh menjadi anak yang tidak mandiri dalam hidupnya kelak (Hidayat, 2009).

Pola pengasuhan otoriter diterapkan orang tua dengan mengendalikan anak karena kepentingan orang tua untuk kemudahan pengasuhan. Anak dinilai dan


(25)

dituntut untuk mematuhi standar mutlak yang ditentukan oleh orang tua, menekankan kepatuhan dan rasa hormat atau sopan santun, sedangkan orang tua tidak pernah berbuat salah. Kebanyakan anak dari pola pengasuhan ini melakukan tugas-tugasnya karena takut memperoleh hukuman (Yustinasusi, 2010).

2.2.1.3. Pola asuh Permisif

Pola pengasuhan ini, dimana orang tua sangat terlibat dengan anak, namun tidak terlalu menuntut atau mengontrol mereka. Orang tua seperti ini membiarkan anak melakukan apa yang ia inginkan. Hasilnya anak tidak pernah belajar mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap mendapatkan keinginannya. Beberapa orang tua sengaja membesarkan anak mereka dengan cara ini karena mereka percaya bahwa kombinasi antara keterlibatan yang hangat dan sedikit batasan akan menghasilkan anak yang kreatif dan percaya diri. Namun, anak yang memiliki orang tua yang selalu menurutinya jarang belajar menghormati orang lain dan mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilakunya. Mereka mungkin mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan, dan kesulitan dalam hubungan dengan teman sebaya (Santrock, 2007).

Pola asuh permisif merupakan perlakuan orang tua saat berinteraksi dengan anaknya dengan memberikan kelonggaran atau kebebasan tanpa kontrol atau pengawasan yang ketat. Orang tua yang permisf akan memberikan kebebasan penuh kepada anak-anaknya untuk bertindak sesuai dengan keinginan anaknya. Sekiranya orang tua membuat sebuah peraturan tertentu namun anak-anaknya tidak menyetujui atau tidak mematuhinya, maka orang tua yang permisif cenderung akan bersikap mengalah dan akan mengikuti kemauan anak-anaknya.


(26)

Ketika anak-anaknya melanggar suatu peraturan di dalam keluarga, orang tua yang permisif jarang menghukum anak-anaknya, bahkan cenderung berusaha untuk mencari pembenaran terhadap tingkah laku anaknya yang melanggar suatu peraturan tersebut. Orang tua yang seperti demikian umumnya membiarkan anaknya (terutama anak remajanya) untuk menentukan tingkah lakunya sendiri, mereka tidak menggunakan kekuasaan atau wewenangnya sebagai orang tua dengan tegas saat mengasuh dan membesarkan anak remajanya (Baumrind, 1967 dalam Hidayat, 2009). Sedikit, atau bahkan tanpa menggunakan kontrol terhadap anak remajanya, lemah dalam cara-cara mendisiplinkan anak. Pola pengasuhan demikian dipilih, karena mereka menganggap bahwa remaja harus memiliki kebebasannya sendiri secara luas, bukan harus dikontrol oleh orang dewasa.

Orang tua yang permisif bersikap lunak, lemah dan pasif dalam persoalan disiplin. Mereka cenderung tidak menempatkan tuntutan-tuntutan pada tingkah laku anak remajanya, memberikan kebebasan yang lebih tinggi untuk bertindak sesuai dengan kehendak anak remajanya sendirinya. Kontrol atau pengendalian yang ketat terhadap remaja menurut pandangan orang tua yang permisif adalah sebuah pelanggaran terhadap kebebasan yang dapat menganggu perkembangan seorang remaja (Steinberg, 1993). Menurut Baumrind, remaja yang berada dalam pengasuhan orangtua yang permisif sangat tidak matang dalam berbagai aspek psikososial. Mereka sulit mengendalikan desakan hati (impulsive), tidak patuh, dan menentang apabila diminta untuk mengerjakan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan-keinginan sesaatnya. Mereka juga terlalu menuntut, sangat tergantung pada orang lain, kurang gigih dalam mengerjakan tugas-tugas, tidak


(27)

tekun dalam belajar di sekolah. Tingkah laku sosial remaja ini kurang matang, kadang-kadang menunjukkan tingkah laku agresif, pengendalian dirinya amat jelek, dan tidak mampu mengarahkan diri dan tidak bertanggung jawab (Hidayat, 2009).

Meskipun di satu sisi pola pengasuhan yang permisif dapat memberikan remaja kebebasan bertingkah laku, namun di sisi lain tidak selalu dapat meningkatkan tingkah laku bertanggung jawab. Remaja yang mendapatkan kebebasan tanpa adanya pembatasan yang jelas cenderung bersifat suka menang sendiri dan mengutamakan kepentingan dirinya sendiri. Kurangnya bimbingan dan pengarahan dari orang tua menyebabkan mereka merasa tidak aman, tidak punya orientasi, dan penuh keraguan. Jika remaja menafsirkan bahwa kelonggaran pengawasan dari orang tua mereka sebagai bentuk dari tidak adanya perhatian atau penolakan terhadap diri mereka, maka mereka akan menyalahkan orang tuanya sebab dipandang telah lalai memperingatkan dan menuntun mereka (Rice, 1996).

2.3. Pengertian Remaja

Remaja adalah suatu masa di mana individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa, terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri (Sarwono, 2010).


(28)

Berdasarkan umur kronologis dan berbagai kepentingan, terdapat berbagai definisi tentang remaja, yaitu:

1. Pada buku-buku pediatri, pada umumnya mendefinisikan remaja adalah bila seorang anak telah mencapai umur 10-18 tahun untuk anak perempuan dan 12-20 tahun untuk anak laki-laki.

2. Menurut Undanng Undang No.4 tahun 1979 mengenai Kesejahteraan Anak, remaja adalah individu yang belum mencapai 21 tahun dan belum menikah. 3. Menurut Undang Undang Perburuhan, anak dianggap remaja apabila telah

mencapai umur 16-18 tahun atau sudah menikah dan mempunyai tempat untuk tinggal.

4. Menurut Undang Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, anak dianggap sudah remaja apabila sudah matang untuk menikah, yaitu umur 16 tahun untuk anak perempuan dan 19 tahun untuk anak laki-laki.

5. Menurut Departemen Pendidikan Nasional anak dianggap remaja bila anak sudah berumur 18 tahun, yang sesuai saat lulus Sekolah Menengah.

6. Menurut WHO remaja bila anak telah mencapai umur 10-18 tahun (Soetjiningsih,2004).

2.3.1 Tahap Perkembangan Remaja

Tahap 1. Remaja awal 12-15 Tahun (early adolesccence)

Seorang remaja pada tahap ini masih terheran-heran akan perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis, dan mudah terangsang secara erotis. Dengan


(29)

dipegang bahunya saja oleh lawan jenis, ia sudah berfantasi erotik. Kepekaan yang berlebih-lebihan ini ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap ”ego” menyebabkan para remaja sulit mengerti dan dimengerti orang dewasa.

Tahap 2. Remaja madya 15-18 Tahun (middle adolescence)

Pada saat ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan ”narcistic”, yaitu mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang mempunyai sifat- sifat yang sama dengan dirinya. Selain itu, ia berada dalam kondisi kebinggungan karena ia tidak tahu harus memilih yang mana: peka atau tidak perduli, ramai-ramai atau sendiri, optimistis atau pesimistis, idealis atau materialis, dan sebagainya. Remaja pria harus membebaskan diri dari Oedipoes Complex (perasaan cinta pada ibu sendiri pada masa kanak-kanak) dengan mempererat hubungan dengan kawan-kawan dari lawan jenis.

Tahap 3. Remaja akhir 18-21 Tahun ( late adolescence)

Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian 5 (lima) hal, yaitu:

a. Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.

b. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru.

c. Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.

d. Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain.


(30)

e. Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum (the public) (Sarwono, 2010).

2.4 Pengertian Perilaku

Perilaku adalah sekumpulan perilaku yang dimiliki oleh manusia dan dipengaruhi oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan/atau genetika.

2.4.1 Ruang Lingkup Perilaku

Menurut Benjamin Bloom, seorang psikolog pendidikan, membedakan adanya tiga bidang perilaku, yakni kognitif, afektif, dan psikomotor. Kemudian dalam perkembangannya, domain perilaku yang diklasifikasikan oleh Bloom dibagi menjadi tiga tingkat, yaitu:

Tingkat 1. Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indera penglihatan, pandengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior).


(31)

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 (enam) tingkatan:

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.

2. Memahami (comprehansion)

Memahami diartikan sebagai suatau kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

3. Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapart diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.


(32)

4. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari pengggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan , dan sebagainya.

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis menujukan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan untuk menyusun formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan –rumusan yang telah ada.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi dan penilaian terhadap suatu materi atau objek (Notoatmodjo, 2003).

Tingkat 2. Sikap (attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Newcomb, salah seorang ahli psikologis sosial, menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan


(33)

kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

Sikap ini terdiri dari 4 (empat) tingkatan: 1. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

2. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

3. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

4. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi (Notoatmodjo, 2003).

Tingkat 3. Tindakan atau praktek (practice)

Tindakan ini merujuk pada perilaku yang diekspresikan dalam bentuk tindakan, yang merupakan bentuk nyata dari pengetahuan dan sikap yang telah dimiliki (Notoatmodjo, 1985).

Tindakan mempunyai 4 (empat) tingkatan: 1. Persepsi (perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.


(34)

2. Respon terpimpin (guided response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah indikator praktek tingkat dua.

3. Mekanisme (mecanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga.

4. Adopsi (adoption)

Adopsi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2003).

2.5. Pengertian Perilaku agresif

Istilah agresif beasal dari bahasa Inggris adalah agression adalah suatu kata yang berarti menyerang atau serangan. Kata agresif berasal dari bahasa Latin uggred yang berarti menyerang, kata ini menyiratkan bahwa setiap orang siap untuk memaksakan kehendak mereka atas orang tua atau objek lain walaupun itu berarti bahwa kerusakan fisik atau psikologis mungkin ditimbulkan sebagai akibat. Agresif erat hubungannya dengan kemarahan karena kemarahan terjadi jika orang tidak memperoleh apa yang mereka inginkan. Emosi kurang mungkin akan berkembang bila orang merasa ada ancaman bahwa mereka tidak akan mendapatkan apa yang mereka kehendaki dan kemungkinan pula akan terjadi


(35)

pemaksaan kehendak atas orang atau objek lain dan kemarahan akan berkembang menuju agresif.

Menurut Tim Kesehatan Jiwa Indonesia, perilaku agresif merupakan salah satu gangguan tingkah laku terutama apabila agresif dilakukan secara berulang dan menetap, sedikitnya berlangsung selama 6 bulan. Tingkah laku agresif menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi orang lain dengan cara tindakan kekerasan, pemukulan, pengeroyokan, pemerkosaan dan tidak merasa bersalah apabila orang lain menderita. Agresif seperti yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli memiliki persamaan yang mendasar yaitu pada tingkah laku merusak baik fisik, psikis, maupun benda-benda yang berada disekitarnya.

Agresif selalu menunjukan tingkah laku yang kasar, menyerang dan melukai. Tingkah laku agresif secara sosial adalah tingkah laku menyerang orang lain baik penyerangan secara verbal maupun fisik. Penyerangan secara verbal misalnya mencaci, mengejek atau memperolok, sedangkan secara fisik misalnya mendorong, memukul dan berkelahi. Perilaku agresif adalah termasuk tingkah laku yang menggangu hubungan sosial yaitu melanggar aturan, permusuhan secara terang-terangan (mengganggu anak-anak yang lebih kecil atau lemah, mengganggu bintang, suka berkelahi) maupun secara diam-diam (pendendam, pemarah, pencuri, pembohong) (Indrawati, 2005).

2.5.1. Tipe-tipe agresifitas

Ada berbagai bentuk agresi yang terjadi pada diri individu salah satu diantaranya adalah agresifitas emosional verbal, agresifitas fisik sosial, agresifitas fisik asosial dan agresifitas destruktif.


(36)

2.5.1.1. Agresifitas Emosional Verbal

Meliputi marah atau membenci orang lain (meskipun perasaan itu dilakukan dengan kata-kata), mengutuk, perang mulut, mengkritik, menghina, memperingatkan dengan kasar, menyalahkan dan memtertawakan, mencetuskan agresif melawan kritik-kritik sosial.

2.5.1.2. Agresifitas Fisik Sosial

Meliputi berkelahi atau membunuh dalam membela diri atau membela seseorang yang dicintai, membalas dendam terhadap penghinaan suatu ketidakadilan tanpa suatu pancingan serta menghukum orang yang melakukan tindakan yang tercela dan berjuang untuk negaranya sendiri atau negara sahabat dalam suatu peperangan.

2.5.1.3. Agresifitas Fisik Asosial

Meliputi perbuatan menodong, menyerang, melukai atau membunuh orang lain, merampok melakukan tindakan kejahatan, memulai berkelahi tanpa alasan jelas dan pantas, membalas sakit hatinya dengan kekejaman dan pengerusakan yang berlebihan berjuang melawan wewenang yang sah misalnya orang tua, atasan, guru atau pemerintah, melakukan tindak sadisme, mengkhianati dan berusaha melawan negaranya sendiri.

2.5.1.4. Agresifitas Destruktif

Meliputi tindakan menyerang atau membunuh binatang, memecah, membanting, menghancurkan, membakar atau merusak sesuatu, melukai orang, menyakiti diri sendiri dan melakukan tindakan bunuh diri (Indrawati, 2005).


(37)

2.5.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku agresif

Tingkah laku agresif lebih dipandang sebagai tingkah yang dipelajari, manusia mempelajari tingkah laku agresif dengan cara pengamatan respon tingkah laku model mereka. Asumsi dasar teorinya adalah sebagian besar tingkah laku individu diperoleh sebagai hasil melalui pengamatan (observasi) atas tingkah laku orang ditampilkan oleh individu- individu lain yang menjadi model tingkah laku agresif yang diamati individu ternyata dapat menambah jumlah agresifitas si pengamat hal ini didukung oleh penelitiannya yang berkesimpulan bahwa anak-anak mendapat model imitasi orang dewasa yang berwujud tingkah laku agresif pada suatu kesempatan anak-anak juga akan bertingkah laku sesuai dengan model yang dilihatnya. Semua orang dan anak khususnya mempunyai kecenderungan yang kuat untuk meniru orang lain. Imitasi atau meniru dapat terjadi pada setiap jenis perilaku, termasuk agresif. Anak yang mengamati orang lain melakukan tindakan agresif atau mengendalikan agresifnya akan meniru orang tersebut. Anak belajar melakukan agresif secara verbal seperti berteriak, mengutuk dan mencela, dan tidak melakukan kekerasan seperti tidak memukul orang lain, melempar batu atau meledakkan gedung. Anak juga belajar kapan masing-masing perilaku tersebut boleh dilakukan. Jadi perilaku agresif anak dibentuk dan ditentukan oleh pengamatannya terhadap orang lain. Semua anak didalam mengimitasi tingkah laku agresif tidak hanya sekedar mencontoh dari modelnya saja, untuk sampai pada tingkah laku agresif juga tergantung dari norma yang melingkunginya. Bila seorang anak diajarkan bahwa tingkah laku itu dapat di terima maka perilaku itu dapat bertambah luas tapi sebaliknya apabila anak diajarkan bahwa tingkah laku


(38)

agresif adalah jelek atau tidak baik maka tingkah laku tidak akan berkembang. Perilaku agresif tidak muncul dengan sendirinya pada diri seseorang namun dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menyebabkan seseorang berperilaku agresif (Berkowitz, 1967 dalam Hidayat, 2009).

Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perilaku agresif : 1. Amarah

Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas sistem saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin nyata-nyata salah atau mungkin juga tidak (Davidoff, 1991 dalam Indrawati, 2006). Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku agresi. Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya agresi adalah suatu respon terhadap marah. Kekecewaan, sakit fisik, penghinaan, atau ancaman sering memancing amarah dan akhirnya memancing agresi. Ejekan, hinaan dan ancaman merupakan pancingan yang jitu terhadap amarah yang akan mengarah pada agresi.

2. Kesenjangan generasi

Adanya perbedaan atau jurang pemisah antara generasi anak dengan orang tuanya dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal dan seringkali tidak nyambung. Kegagalan komunikasi orang tua dan anak diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak. permasalahan kesenjangan generasi ini harus diatasi dengan segera, mengingat


(39)

bahwa selain agresi, masih banyak permasalahan lain yang dapat muncul seperti masalah ketergantungan narkotik, kehamilan diluar nikah, seks bebas, dll.

3. Suhu udara yang panas

Suhu udara panas merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan. Ini tercermin pada masyarakat yang tinggal di pesisir pantai dan masyarakat madura yang cenderung memiliki sifat yang keras yang dapat memicu kekerasan.

4. Peran Belajar Model Kekerasan.

Acara-acara yang menampilan adegan kekerasan hampir setiap saat dapat ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film kartun, sinetron, sampai film laga. Selain itu ada pula acara-acara TV yang menyajikan acara khusus perkelahian yang sangat populer dikalangan remaja seperti Smack Down, UFC (Ultimate Fighting Championship) atau sejenisnya. Walaupun pembawa acara berulang kali mengingatkan penonton untuk tidak mencontoh apa yang mereka saksikan namun diyakini bahwa tontonan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa penontonnya. Pendapat ini sesuai dengan yang diutarakan (Davidoff, 1991 dalam Indrawati,2006) yang mengatakan bahwa menyaksikan perkelahian dan pembunuhan meskipun sedikit pasti akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model kekerasan tersebut.

5. Frustrasi

Frustasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi


(40)

merupakan salah satu cara berespon terhadap frustrasi. Remaja miskin yang nakal adalah akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berperilaku agresi.

6. Proses Pendisplinan yang Keliru

Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja Pendidikan disiplin seperti itu akan membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membeci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain. Hubungan dengan lingkungan sosial berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutan. Siapa yang lebih berkuasa dapat berbuat sekehendak hatinya. Sedangkan yang tidak berkuasa menjadi tunduk. Pola pendisiplinan tersebut dapat pula menimbulkan pemberontakan, terutama bila larangan-larangan yang bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan alternatif (cara) lain yang dapat memenuhi kebutuhan yang mendasar (cth: dilarang untuk keluar main) (Sukadji,1988).


(41)

2.5.3. Cara mengatasi perilaku agresif a. Hukuman dan pembalasan

Rasa takut terhadap hukuman atau pembalasan bisa menekan perilaku agresif. Tipe orang rasional menurut teori intensif, akan memperhitungkan akibat agresi di masa mendatang dan berusaha untuk tidak melakukan perilaku agresi bila ada kemungkinan akan mendapatkan hukuman.

b. Mengurangi frustasi

Teknik yang lebih baik adalah dengan mengurangi kemungkinan terjadinya serangan dan frustasi. Diharapkan setiap masyarakat berusaha menjamin adanya tingkat kesamaan hak untuk mendapatkan keperluan hidap seperti makanan, pakaian, perumahan dan kehidupan keluarga. Alasan utamanya adalah untuk menghindari gangguan kekerasan yang berskala besar dalam kehidupan sehari-hari terutama dari kelompok-kelompok yang frustasi.

c. Hambatan yang dipelajari

Yaitu dengan belajar mengendalikan perilaku agresif kita sendiri tidak peduli apakah kita akan diancam dihukum atau tidak. Hambatan agresi yang dipelajari secara umum dapat disebut kecemasan agresi (rasa salah agresi). Orang akan merasa cemas bila mendekati tanggapan berupa agresif. Orang tua yang manggunakan penalaran dan penghindaran afeksi sebagai teknik disiplin akan menghasilkan anak yang memiliki kecemasan agresi yang lebih banyak dibandingkan orang tua yang menggunakan taraf hukuman fisik yang tinggi.


(42)

d. Pengalihan (Displacement)

Prisip dasar pengalihan adalah bahwa semakin banyak kecemasan antar sasaran dengan sumber frustasi sebenarnya semakin kuat dorongan agresif individu terhadap sasaran.

e. Katarsis

Gagasan yang terakhir adalah bahwa perasaan marah dapat dikurangi melalui pengungkapan agresi. Freud menyebut proses ini katarsis (pembersihan) dalam istilah umum, proses tersebut mencakup “pelepasan energi” atau “penyingkirannya dari sistem anda”. Inti gagasan katarsis adalah bahwa bila orang merasa gagresif tindakan agresi yang dilakukannya akan mengurangi intensitas perasaannya. Hal ini pada gilirannya, akan mengurangi kemungkinan untuk bertindak agresif (Indrawati, 2006).


(43)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

3.1. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya dari masalah yang ingin diteliti (Setiadi, 2007). Kerangka konseptual penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola asuh otoriter orang tua terhadap perilaku agresif remaja. Pola asuh merupakan bentuk atau sistem dalam menjaga, merawat dan mendidik seorang anak yang bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu, dan pola asuh anak yang akan membawa dampak baik positif maupun negatif pada perkembangan anak.

Berdasarkan tinjauan pustaka, adapun faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua, yaitu terjadinya perilaku agresif pada remaja.

Kerangka penelitian pola asuh orang tua terhadap perilaku agresif pada remaja di STM Raksana Medan.

Pola Asuh Orang Tua 1. Pola asuh

demoktratis 2. Pola asuh

otoriter 3. Pola asuh

permisif

Perilaku Agresif Pada Remaja


(44)

3.2. Definisi Operasional

Tabel 1. Variable Operasional Penelitian Variabel Defenisi

operasional

Alat ukur Skala Hasil ukur

Pola asuh orang

tua pada perilaku agresif

remaja

1. Orang tua yang demokratis

melibatkan anak dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan keluarga dan diri anak tersebut. 2. Orang tua yang

otoriter umumnya orang tua yang mendesak anak untuk mengikuti arahan mereka dan menghormati pekerjaan dan upaya mereka, mereka menekankan kepatuhan seorang anak terhadap peraturan yang mereka buat.

3. Orang tua yang permisif

umumnya

membiarkan anak melakukan apa yang ia inginkan. Hasilnya anak tidak pernah belajar

mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap mendapatkan Kuisioner sebanyak 15 pertanyan dengan skala likert Tidak Pernah (TP) skor: 1 Kadang-kadang (KK) skor: 1 Selalu (S) skor: 1

Nominal 1.Otoriter 2.Demokratis 3.Permisif Nilai tertinggi dari masing-masing pernyataan menunjukan pola asuhnya. Tidak Pernah (TP) tertinggi menunjukan pola asuh otoriter, Kadang-kadang (KK) tertinggi menunjukan pola asuh demokratis, Selalu (S) tertinggi menunjukan pola asuh permisif.


(45)

Perilaku agresif

remaja terhadap pola asuh orang tua.

Tingkah laku yang mengganggu hubungan sosial, yaitu melanggar aturan, permusuhan secara terang-terangan maupun secara diam-diam, suka berkelahi, pendendam,

pemarah, pencuri , pembohong, atau pengganggu anak-anak lain. Kuesioner sebanyak 10 pertanyan dengan skala likert Tidak Pernah (TP) skor: 1 Kadang-kadang (KK) skor: 2 Selalu (S) skor: 3

Nominal berperilaku tidak agresif dan

berperilaku agresif. 0-15 : tidak berperilaku agresif 16-30 : berperilaku agresif.


(46)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan suatu strategi penelitian dalam mengidentifikasi permasalahan sebelum perencanaan akhir pengumpulan data (Nursalam,2003). Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yaitu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk melihat pola asuh orang tua yang yang dapat menyebabkan terjadinya perilaku agresif pada remaja (Notoatmodjo, 2002).

4.2 Populasi dan Sampel Penelitian 4.2.1 Populasi

Populasi adalah kesuluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2006). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas II yang ada di STM Raksana Medan. Berdasarkan hasil dari survei awal, didapatkan data dari pihak kepala sekolah, jumlah populasi remaja di STM Raksana Medan 338 siswa (STM Raksana, 2009).

4.2.2 Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto,2006). Penentuan jumlah sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tehnik purposive sampling, yaitu suatu tehnik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti


(47)

(tujuan/ masalah dalam penelitian) sehingga sampel tersebut dapat mewakili karateristik populasi yang telah dikenal sebelumnya. Jumlah sampel dalam penelitian ini, jika populasinya kurang dari 100 sebaiknya diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Tetapi jika jumlah subjeknya besar, dapat diambil 10-15% atau 10-25%. Karena tergantung dari kemampuan penelitian dilihat dari waktu, tenaga dan dana jumlah sampel yang diambil yaitu 15% dari populasi, jadi jumlah sampel sebesar 50 siswa (Arikunto, 2006).

Kriteria sampel yang diteliti adalah siswa dengan rentang usia 15-18 tahun (kelas II), memiliki perilaku yang agresif (sering melanggar peraturan sekolah: suka cabut, mengucapkan kata-kata kasar, bersikap melawan guru, suka berkelahi dengan teman). Dimana dalam pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada seluruh siswa kelas II STM Raksana Medan dibantu dengan guru BP, kemudian dari hasil kuesioner yang dibagikan, siswa yang berperilaku agresif diangkat menjadi responden, sedangkan siswa yang tidak berperilaku agresif tidak diangkat sebagai responden.

4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di STM Raksana Medan, dengan pertimbangan lokasi sekolah yang terjangkau, jumlah sampel yang memadai, efesiensi waktu dan biaya penelitian. Penelitian dilakukan dari bulan juni-juli 2010.


(48)

4.4 Pertimbangan Etik

Penelitian dilakukan setelah mendapatkan izin penelitian dari Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan kepala sekolah STM Raksana Medan. Peneliti mengakui hak-hak responden dalam menyatakan kesediaan atau ketidaksediaan untuk dijadikan subjek penelitian. Jika responden bersedia diteliti maka terlebih dahulu harus menandatangani lembar persetujuan (Informed Concent). Jika responden menolak untuk diteliti maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati haknya. Penelitian ini, juga memperhatikan etik yaitu sebagai berikut:

a. Informed Concent

Lembar persetujuan diberikan kepada responden yang akan diteliti yang memenuhi kriteria inklusi dan disertai judul penelitian dan manfaat penelitian, bila subjek menolak maka peneliti tidak memaksa dan tetap menghormati hak-hak subjek.

b. Anonimity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak akan mencantumkan nama responden, tetapi lembar tersebut diberikan kode.

c. Confidentiality

Kerahasiaan informasi responden dijamin peneliti. Hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil peneliti.


(49)

4.5 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian untuk memperoleh informasi dari responden, peneliti menggunakan kuesioner berupa data demografi, kuesioner pola asuh orang tua dan perilaku agresif remaja.

4.5.1 Kuesioner Data Demografi

Kuesioner tentang data demografi meliputi nomor responden, usia, jenis kelamin, suku bangsa dan agama. Data demografi ini bertujuan untuk membantu peneliti mengetahui latar belakang dari responden yang bisa berpengaruh terhadap penelitian ini (Lampiran 2).

4.5.2 Kuesioner Pola Asuh Orang Tua

Kuesioner Pola Asuh Orangtua bertujuan untuk mengidentifikasi pola asuh orangtua yang bagaimana yang berpengaruh terhadap perilaku agresif pada remaja dan disusun dari tinjauan pustaka. Pada kuesioner pola asuh orangtua menggunakan Skala Likert dengan pertanyaan mulai dari pertanyaan Tidak Pernah (TP), Kadang Kadang (KK), dan Selalu (SL), dimana setiap pernyataan bernilai 1 (satu), tergantung dari berapa banyak pilihannya. Nilai tergantung dari berapa banyak pilihannya. Nilai tertinggi dari pernyataan tersebut menjadi penentuan pola asuh dari orang tua remaja tersebut. Di mana bila pernyataan Tidak Pernah (TP) lebih tinggi maka pola asuh orang tuanya otoriter, bila pernyataan Kadang-kadang (KK) yang lebih tinggi maka pola asuh orang tuanya adalah demokrasi, dan bila Selalu (SL) yang lebih tinggi maka pola asuh orang tuanya permisif (Lampiran 2).


(50)

4.5.2 Kuesioner Perilaku Agresif Remaja

Kuesioner perilaku agresif remaja bertujuan untuk mengidentifikasi perilaku agresif yang bagaimana yang dilakukan remaja, penyebab remaja berperilaku agresif, dan disusun dari tinjauan pustaka. Pada kuesioner perilaku agresif pada remaja menggunakan skala likert dengan pertanyaan mulai dari pertanyaan Tidak Pernah (TP) yang bernilai 0, Kadang Kadang (KK) yang bernilai 1, Sering (SL) yang bernilai 2.

Nilai tertinggi yang diperoleh adalah 30 dan nilai terendah adalah 0 (Lampiran2).

skala ukur yang digunakan dalam variabel ini adalah skala interval, dimana nilainya dengan menggunakan rumus statistik menurut Sudjana (2002) :

Rentang kelas P = ───────── Banyak kelas

Dimana P= panjang kelas dengan rentang sebesar 30 ( selisih nilai tertinggi dan nilai terendah). Dan banyak kelas sebanyak 2 kelas (berperilaku agresif atau tidak). P= 5, maka didapatkan interval pola asuh orang tua terhadap perilaku agresif remaja adalah sebagai berikut :

16 – 30 : berperilaku agresif


(51)

4.6 Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Validitas adalah sejauh mana instrumen itu dapat mengukur apa yang dimaksudkan untuk diukur. Secara teori validitas ada tiga macam yaitu validitas isi, validitas kontrak, validitas berdasarkan kriteria (Saifudin Azwar, 2000). Alat ukur yang baik adalah alat ukur yang memberikan hasil yang sama bila digunakan beberapa kali pada kelompok sampel (Ritonga, 1997). Dalam penelitian ini digunakan uji validitas isi, yang mana instrumen terlebih dahulu dikonsultasikan kepada pakar yang paham tentang pola asuh orang tua dan perilaku anak, yaitu salah satu dosen Fakultas Keperawatan USU khususnya bidang mata kuliah keluarga yang berpendidikan strata II, dengan hasil Konten Validiti Indeks : 0,9. (Lampiran 3).

Uji reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Hasil suatu pengukuran dapat dipercaya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek belum berubah (Setiadi, 2007). Uji reliabilitas yang dilakukan digunakan rumus Alpha karena instrumen berbentuk skala pengukuran psikologis (angket) dengan skor skala bertingkat. Untuk angket dengan skala bertingkat diuji menggunakan rumus Alpha (Arikunto, 2006). Dengan uji formula Cronbach Alpha harus >0,7 agar dianggap reliabel maka kuesioner ini layak digunakan (Polit, & Hungler, 1995).

Menurut Nursalam (2008) uji realibilitas dilakukan terhadap 20 orang yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan sebagai sampel tetapi tidak akan menjadi sampel pada penelitian. Uji Realibilitas dalam penelitian ini dicari dengan


(52)

menggunakan Cronbach Alpha dan diperoleh hasil reliabel pada kuesiner pola asuh orang tua 0,825 dan pada kuesioer perilaku agresif 0,713 (Lampiran 4).

4.7 Pengumpulan Data

Pada tahap awal peneliti mengajukan permohonan izin pelaksanaan penelitian pada institusi pendidikan Fakultas Keperawatan USU, kemudian permohonan ijin yang telah diperoleh dikirim ke tempat penelitian di STM Raksana Medan. Setelah mendapat izin dari kepala sekolah STM Raksana Medan, peneliti melaksanakan pengumpulan data penelitian.

Peneliti menentukan responden sesuai kriteria yang telah dibuat sebelumnya, yaitu dengan siswa yang mempunyai perilaku agresif (sering melanggar peraturan sekolah: suka cabut, bersikap melawan guru, mengucapkan kata-kata kasar, suka berkelahi dengan teman, dsb) dibantu dengan guru BP. Kemudian peneliti menjelaskan kepada calon responden tentang tujuan, dan manfaat sebelum menanyakan kesediaannya untuk terlibat. Calon responden yang bersedia, diminta untuk menandatangani informed consent (Surat Persetujuan Responden). Kemudian peneliti melakukan penyebaran kuesioner, kuesiner disebarkan sebanyak 300 kuesioner, dan peneliti memberikan kesempatan kepada responden untuk mengisi jawaban, setelah selesai diisi, kuesioner dikumpulkan dan diperiksa kelengkapannya untuk dianalisa sebagai data, sebelum seluruh kuesioner selesai di analisa, peneliti berhasil mendapatkan 50 responden yang berperilaku agresif sesuai dengan kriteria yang diinginkan oleh peneliti.


(53)

4.8 Analisa Data

Setelah dilakukan pengumpulan data maka dilakukan analisa data. Data yang diperoleh dari setiap responden berupa data demografi yang merupakan hasil kuesioner dari peneliti kepada remaja di STM Raksana Medan dan.

Setelah data terkumpul maka peneliti akan melakukan analisa data melalui beberapa tahap, dimulai dari editing untuk memeriksa kelengkapan data, kemudian coding dengan memberi kode untuk memudahkan melakukan tabulasi, selanjutnya entry dengan memasukkan data kekomputer dan dilakukan pengolahan data dengan menggunakan tehnik komputerisasi.

a. Statistik univariat

Statistik univariat adalah prosedur untuk menganalisa data dari satu variabel yang bertujuan untuk mendeskripsikan hasil penelitian (Polit& Hungler,1999). Pada penelitian ini, analisa data dengan metode statistik univariat untuk menganalisa variabel independen pola asuh orang tua dengan perilaku agresif pada remaja di STM Raksana Medan. Analisa ditampilkan dengan menggunakan skala kategorik dan ditampilkan dalam distribusi frekuensi.


(54)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang berjudul “Pola asuh orang tua dan perilaku agresif pada remaja di STM Raksana Medan Tahun 2010” sebanyak 50 responden dan didapat hasil distribusi responden berdasarkan usia, jenis kelamin, suku bangsa, dan agama yang diuraikan sebagai berikut :

5.1.1 Karakteristik Responden Penelitian

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Remaja Di STM Raksana Medan Tahun 2010

Karakteristik Frekuensi Persentase Usia

• 15 tahun 4 8,0% • 16 tahun 30 60,0% • 17 tahun 16 32,0%

Min : 15 Max : 17 Mean :16,24 SD : .591 Jenis kelamin

• Laki-laki 50 100,0% • Wanita 0 0 % Agama

• Islam 31 62,0% • Kristen Protestan 14 28,0% • Katholik 5 10,0% • Hindu 0 0% Suku

• Batak 27 54,0% • Minang 4 8,0% • Jawa 13 26,0% • Melayu 6 12,0%


(55)

Pada tabel 5.1 diatas diketahui bahwa bahwa dari 50 remaja yang ada, mayoritas berusia 16 tahun sebanyak 30 remaja (60,0%), semua remaja berjenis kelamin laki-laki sebanyak 50 remaja (100,0%), mayoritas beragama islam sebanyak 31 remaja (62,0%), mayoritas bersuku batak sebanyak 27 remaja (54,0%).

Karakteristik pola asuh orangtua remaja di STM Raksana Medan Tahun 2010 dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Pola Asuh Orangtua Pada Remaja Di STM Raksana Medan.

N O.

Perilaku Orang Tua Tidak Pernah Kadang-kadang

Selalu

F % F % F %

1. Cuek pada anak. 12 24,0 34 68,0 4 8,0

2. Membiarkan anak

melakukan keinginannya.

30 60,0 13 26,0 7 14,0

3. Membiarkan anak

melakukan kesalahan di sekolah.

30 60,0 13 26,0 7 14,0

4. Menerima prestasi anak. 13 26,0 10 50,0 27 24,0 5. Memberikan

persetujuan.

14 28,0 28 56,0 8 16,0

6. Tidak memberikan

aturan.

33 66,0 10 20,0 7 14,0

7. Hangat dan saling

menyayangi.

9 18,0 12 24,0 29 58,0

8. Ramah dan sabar. 35 70,0 8 16,0 7 14,0

9. Mengajak anak

memecahkan masalah.

34 68,0 6 12,0 10 20,0

10. Menerima alasan. 17 34,0 27 54,0 6 12,0

11. Memberikan masukan pada masalah anak.

34 68,0 11 22,0 5 10,0

12. Menyisihkan waktu untuk berkumpul.


(56)

13. Tidak mengajak anak makan bersama.

12 24,0 29 58,0 9 18,0

14. Tidak menuntut anak melakukan tugas rumah tepat waktu.

34 68,0 8 16,0 8 16,0

15. Menghargai kemampuan anak.

36 72,0 7 14,0 7 14,0

Berdasarkan tabel 5.2 diatas didapat 30 remaja (60,0%) yang orang tuanya tidak pernah membiarkan anaknya melakukan keinginannya, 30 remaja (60,0%) yang orang tuanya tidak pernah membiarkan anak melakukan kesalahan di sekolah, 33 remaja (66,0 %) yang orang tuanya tidak pernah tidak memberikan aturan, 35 remaja (70,0%) yang orang tuanya tidak pernah ramah dan sabar, 34 remaja (68,0%) yang orang tuanya tidak pernah mengajak anak memecahkan masalah, 34 remaja (68,0%) yang orang tuanya tidak pernah memberikan masukan dalam masalah anak, 34 remaja (68,0%) yang orang tuanya tidak pernah menyisihkan waktu untuk berkumpul, 34 remaja (68,0%) yang orang tuanya tidak pernah tidak menuntut anak melakukan tugas rumah tepat waktu dan 36 remaja (72,0%) yang orang tuanya tidak pernah menghargai kemampuan anak. Maka distribusi pola asuh orangtua dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Pola Asuh Orang Tua Remaja Di STM Raksana Medan tahun 2010

No. Pola Asuh Orangtua Jumlah Persentase

1. Otoriter 43 86,0

2. Demokratis 7 14,0

3. Permisif 0 0


(57)

Pola asuh orang tua berdasarkan total skor yang diperoleh dari perhitungan jawaban 50 remaja, maka diperoleh hasil bahwa pola asuh orang tua paling banyak otoriter yaitu 43 remaja (86,0%) dan paling sedikit pola asuh demokratis yaitu 7 remaja (14,0%).

Karakteristik perilaku agresif remaja di STM Raksana Medan Tahun 2010 dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Perilaku Agresif Remaja Di STM Raksana Medan MedanTahun 2010

N O .

Perilaku Agresif Remaja Tidak Pernah Kadang-kadang

Selalu

F % F % F %

1. Memaksakan kehendak dan menolak jika orang tua melarang.

11 22,0 9 18,0 30 60,0

2. Marah bila kemauan tidak dituruti.

7 14,0 8 16,0 35 70,0

3. Membantu teman melakukan perlawanan.

11 22,0 10 20,0 29 58,0

4. Mengucapkan kata-kata kasar.

10 20,0 9 18,0 31 62,0

5. Membantah dan tidak menuruti orang tua\guru bila ada perkataan yang tidak sesuai.

7 14,0 7 14,0 36 72,0

6. Melukai orang yang menghina orang yang dicintai.

5 10,0 18 36,0 27 54,0

7. Tidak mendengarkan orang tua dan menentang.

7 14,0 16 32,0 27 54,0

8. Memukul meja dan membanting pintu.

5 10,0 12 24,0 33 66,0

9. Menyalahkan dan menertawakan orang.

4 8,0 11 22,0 35 70,0


(58)

Berdasarkan tabel 5.4. diatas didapat 30 remaja (60,0%) memaksakan kehendak dan menolak jika orang tua melarang, 35 remaja (70,0%) remaja selalu marah bila kemauan tidak dituruti, 31 remaja (62,0%) mengucapkan kata-kata kasar, 36 remaja (72,0%) remaja selalu membantah dan tidak menuruti orang tua/ guru bila ada perkataan yang tidak sesuai, 33 remaja (66,0%) remaja selalu memukul meja dan membanting pintu, 35 remaja (70,0%) remaja selalu menyalahkan dan menertawakan orang lain , maka distribusi perilaku agresif remaja dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 5.5. Distribusi Perilaku Agresif Remaja di STM Raksana Medan Tahun 2010

No. Perilaku Agresif Jumlah Persentase

1. Agresif 50 100,0

2. Tidak Agresif 0 0,0

Jumlah 50 100,0

Perilaku agresif remaja berdasarkan total skor yang diperoleh keseluruhan mempunyai total skor diatas nilai 15 maka diperoleh hasil bahwa seluruh perilaku remaja termasuk dalam kategori perilaku agresif yaitu 50 remaja (100%).


(59)

5.2. Pembahasan

5.2.1. Pola Asuh Orang Tua Pada Remaja Agresif

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di STM Raksana Medan terhadap 50 remaja yang berperilaku agresif didata memiliki orang tua dengan pola asuh otoriter sebanyak 43 remaja (86,0%) dan terdapat 7 remaja (14,0%) memiliki orang tua yang berpola asuh demokratis (Tabel 5.3).

Pola asuh otoriter merupakan suatu bentuk pengasuhan orang tua yang pada umumnya sangat ketat dan kaku ketika berinteraksi dengan anaknya. Orang tua yang berpola asuh otoriter menekankan adanya kepatuhan seorang anak terhadap peraturan yang mereka buat tanpa banyak basa-basi, tanpa penjelasan kepada anaknya mengenai sebab dan tujuan diberlakukannya peraturan tersebut, cenderung menghukum anaknya yang melanggar peraturan atau menyalahi norma yang berlaku. Orang tua yang demikian tidak mau memberi kesempatan kepada anaknya untuk mengatur diri mereka sendiri, serta selalu mengharapkan anaknya untuk mematuhi semua peraturannya. Orang tua otoritarian meyakini bahwa seorang anak akan menerima dengan baik setiap perkataan atau setiap perintah orang tuanya, setiap anak harus melaksanakan tingkah laku yang dipandang baik oleh orang tuanya (Hidayat, 2009).

Pola asuh orang tua yang otoriter dirasakan remaja seperti membuat batasan diri atau mengekang kebebasan anak untuk mengekspresikan jati dirinya. Remaja cenderung berusaha untuk bisa bebas dan tidak terikat dengan aturan-aturan dan kedisiplinan yang dirasakan menekan dirinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Sukadji (1998) bahwa pendidikan disiplin yang otoriter dengan


(60)

penerapan yang keras terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja. Pendidikan disiplin seperti itu akan membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membeci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain. Hubungan dengan lingkungan sosial berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutan. Pola pendisiplinan tersebut dapat pula menimbulkan pemberontakan, terutama bila larangan-larangan yang bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan alternatif (cara) lain yang dapat memenuhi kebutuhan yang mendasar (contoh: dilarang untuk keluar main).

Pola asuh orang tua merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi agresivitas anak (Hurlock, 1993). Data ini juga didukung dari analisis pada tabel 5.2 item pola asuh yang diketahui hasilnya 66,0% orang tua tidak pernah tidak memberikan aturan, 70,0% tidak ramah dan sabar, 68,0% tidak mengajak anak memecahkan masalah, 68,0% tidak memberikan masukan pada anak, 68,0% tidak menyisihkan waktu untuk berkumpul bersama anak, 68,0% tidak pernah tidak menuntut anak melakukan tugas tepat pada waktunya, 72,0% tidak menghargai kemampuan anak. Hal ini menyebabkan pola asuh yang diterapkan orang tua berpola asuh otoriter, dimana hasil studi ini didukung dengan pendapat Santrock (2007) yang menyatakan pola asuh otoriter merupakan pola asuh yang membatasi dan menghukum, dimana orang tua mendesak anak untuk mengikuti arahan mereka, dan anak dari orang tua yang otoriter mungkin berperilaku agresif.


(61)

Menurut pendapat Ramadhan (2009) bahwa pola asuh yang diterapkan orang tua ini sangat bergantung pada bentuk-bentuk perilaku penyimpangan anak. Orang tua dapat memilih pola asuh yang tepat untuk anaknya. Orang tua yang salah menerapkan pola asuh akan membawa akibat buruk bagi perkembangan jiwa anak. Diharapkan orang tua dapat menerapkan pola asuh yang bijaksana atau menerapkan pola asuh yang tidak membawa kehancuran atau merusak jiwa dan watak seorang anak.

Para remaja sangat mengginginkan komunikasi yang hangat dan akrab, keterbukaan dalam menyampaikan setiap aspirasi dan permasalahnnya baik mengenai lingkungan sekolah maupun di lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Ali dan Asori (2009) bahwa keadaan remaja, umumnya memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga remaja ingin mencoba-coba, mengkhayal dan merasa gelisah, serta berani melakukan pertentangan jika dirinya merasa disepelekan atau tidak dianggap. Untuk itu, mereka sangat perlu keteladanan, konsistensi, serta komunikasi yang tulus dan empatik dari orang dewasa. Seringkali remaja melakukan perbuatan-perbuatan menurut normanya sendiri karena terlalu banyak menyaksikan ketidakkonsistenan di masyarakat yang dilakukan oleh orang dewasa.

Pola pengasuhan orang tua yang otoriter sangat berpotensi menimbulkan konflik dan perlawanan seorang anak, terutama saat anak sudah menginjak masa remaja, atausebaliknya akan menimbulkan sikap ketergantungan seorang remaja terhadap orang tuanya (Rice, 1996). Anak remaja akan kehilangan aktivitas kreatifnya, dan akan tumbuh menjadi anak yang tidak efektif dalam kehidupan


(62)

dan interaksinya dengan lingkungan sosial (Santrock, 1985), remaja cenderung akan mengucilkan dirinya, kurang berani dalam menghadapi tantangan tugas dan tidak merasa bahagia (Baumrind, 1967 dalam Hidayat, 2009).

Seorang remaja yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga atau orang tua otoritarian cenderung menunjukkan sikap yang patuh dan akan menyesuaikan dirinya pada standar-standar tingkah laku yang sudah ditetapkan oleh orang tuanya, namun di balik itu sesungguhnya mereka merasa menderita dengan kehilangan rasa percaya diri dan pada umumnya lebih tertekan dan lebih menderita secara somatis dibandingkan kelompok teman sebayanya. Sikap-sikap remaja yang demikian akhirnya akan menyebabkan remaja cenderung untuk selalu tergantung pada orang tuanya, cenderung kurang mampu mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, serta cenderung tidak mampu untuk bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya disebabkan semuanya disandarkan pada aturan dan kehendak orang tuanya. Semua itu menunjukkan bahwa seorang remaja yang berada dalam asuhan orang tua yang otoriter akan tumbuh menjadi anak yang tidak mandiri dalam hidupnya kelak (Hidayat, 2007).

Menurut asumsi peneliti bahwa pola pengasuhan otoriter yang di terapkan orangtua pada anak remajanya dikarenakan, para orang tua merasa takut anak-anak remajanya terjerumus ke dalam lingkungan dan pergaulan yang negatif, sehingga menganggap bahwa jalan terbaik yang harus di lakukan orangtua yaitu dengan membatasi setiap pergaulan remajanya dengan lingkungan sosialnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Yustinasusi (2010) bahwa pola pengasuhan otoriter diterapkan orang tua dengan mengendalikan anak karena kepentingan orang tua


(63)

untuk kemudahan pengasuhan. Anak dinilai dan dituntut untuk mematuhi standar mutlak yang ditentukan oleh orang tua, menekankan kepatuhan dan rasa hormat atau sopan santun, sedangkan orang tua tidak pernah berbuat salah. Kebanyakan anak dari pola pengasuhan ini melakukan tugas-tugasnya karena takut memperoleh hukuman.

5.2.2. Perilaku Agresif Remaja

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil bahwa 50 remaja (100%) atau seluruh perilaku remaja termasuk dalam kategori perilaku agresif (Tabel 5.3). Pada item pertanyaan tersebut diketahui bahwa perilaku agresif remaja muncul karena perasaan yang mudah tersinggung bila ada perkataan orang tua maupun guru yang tidak sesuai dengan jalan pikiran remaja. Perilaku agresif pada remaja juga di sebabkan karena adanya paksaan orang tua agar anak mengikuti aturan dari orang tua, karena anak tidak bisa terlalu bebas untuk menentukan pilihannya sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Arya (2010) bahwa sikap yang keras dan penuh tuntutan, dan terbiasa menggunakan gaya instruksi agar anak melakukan atau tidak melakukan sesuatu, jarang memberikan kesempatan pada anak untuk berdiskusi atau berbicara akrab dalam suasana kekeluargaan. Dalam hal ini muncul hukum aksi-reaksi, semakin anak dituntut orang tua, semakin tinggi keinginan anak untuk memberontak dengan perilaku agresif.

Perilaku agresif merupakan perilaku yang erat hubungannya dengan kemarahan, karena kemarahan terjadi jika orang tidak memperoleh apa yang mereka inginkan, data ini juga didukung dari hasil analisis pada tabel 5.4 item


(64)

perilaku agresif remaja yang diketahui hasilnya 60,0% remaja memaksakan kehendak dan menolak jika orang tua melarang, 70,0% remaja marah bila kemauan tidak dituruti, 72,0% remaja membantah dan tidak menuruti orang tua/ guru, 66,0% remaja memukul meja dan membanting pintu, 70,0% remaja menyalahkan dan menertawakan orang lain, 62,0% remaja mengucapkan kata-kata kasar. Emosi kurang mungkin akan berkembang bila orang merasa ada ancaman bahwa mereka tidak akan mendapatkan apa yang mereka kehendaki dan kemungkinan pula akan terjadi pemaksaan kehendak atas orang atau objek lain dan kemarahan akan berkembang menuju agresif.

Seluruh responden 50 remaja berjenis kelamin laki-laki (100%) (Tabel 5.1), hal ini sejalan dengan pendapat Arya (2010) secara umum, anak laki-laki lebih banyak menampilkan perilaku agresif dibandingkan anak perempuan, dimana perbandingannya 5 berbanding 1 , artinya jumlah anak laki-laki yang melakukan perilaku agresif kira-kira 5 kali lebih banyak dibandingkan anak perempuan.

Berdasarkan hasil analisis data terdapat 7 remaja (14,0%) memiliki orang tua dengan pola asuh demokratis (Tabel 5.3), hal ini terjadi dikarenakan perilaku agresif remaja muncul selain dari aturan orang tua yang memaksakan anak, juga adanya aturan sekolah juga dianggap terlalu ketat dan kaku, sehingga anak merasa tertekan bukan hanya di rumah tetapi juga di lingkungan sekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat Arya (2010) bahwa pengalaman bersekolah dan lingkungannya memiliki peranan penting dalam pembentukan perilaku agresif anak demikian juga temperamen teman sebaya dan kompetensi sosial. Guru-guru di sekolah sangat berperan dalam munculnya masalah emosi dan perilaku itu. Disiplin


(1)

29. 16 2 1 2 3 2 1 2 1 1 2 1 2 1 1 1 8 6 1 3 2 3 3 3 3 2 3 3 3 28 Agresif

30. 17 1 3 1 3 1 1 3 2 3 1 3 1 2 1 3 7 3 5 1 3 2 2 3 2 2 3 3 1 22 Agresif

31. 15 2 1 3 3 2 2 1 1 1 1 1 1 1 2 1 9 4 2 3 3 1 1 2 1 3 1 2 3 20 Agresif

32. 17 2 1 2 1 2 1 3 1 2 2 1 2 1 1 1 8 6 1 3 2 2 3 3 2 2 2 3 3 25 Agresif

33. 16 2 3 1 3 2 1 1 3 1 3 1 1 1 1 1 9 2 3 3 3 2 3 3 3 1 2 3 3 26 Agresif

34. 16 2 1 2 1 2 2 3 1 2 2 2 1 2 1 2 5 9 1 2 3 3 3 3 2 3 3 3 2 27 Agresif

35. 17 2 3 2 3 2 1 2 1 1 3 1 1 1 3 1 7 3 4 3 3 3 1 2 3 3 3 3 1 25 Agresif

36. 16 1 1 1 1 2 1 3 1 2 2 1 3 2 1 1 9 4 2 1 3 1 2 1 3 2 3 2 3 21 Agresif

37. 17 2 2 2 3 2 2 1 3 1 1 1 1 3 1 1 7 6 3 2 3 3 3 3 3 1 3 3 3 27 Agresif

38. 16 2 1 1 3 3 1 3 1 1 2 3 1 2 3 1 7 3 5 3 2 1 2 3 3 3 2 3 1 23 Agresif

39. 17 2 2 1 3 1 1 1 3 1 3 1 1 2 3 3 7 3 5 3 2 3 3 2 2 3 2 3 2 25 Agresif

40. 16 2 1 1 1 3 1 3 1 1 2 1 1 2 1 1 10 3 2 1 3 3 2 3 3 2 3 2 3 25 Agresif

41. 16 1 2 3 3 2 1 2 1 1 3 3 1 2 1 2 6 5 4 2 2 2 3 3 3 1 2 3 3 24 Agresif

42. 17 2 1 1 3 3 2 2 1 1 2 1 2 2 1 1 7 6 2 1 3 1 3 1 2 2 3 3 2 21 Agresif

43. 16 3 2 1 2 2 1 1 1 1 2 1 1 1 2 3 8 5 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 30 Agresif

44. 17 2 1 3 3 3 2 2 3 2 3 2 3 2 1 1 2 7 5 3 1 3 1 3 3 1 1 2 1 19 Agresif

45. 16 2 2 1 2 2 1 3 1 1 2 1 1 1 1 1 9 5 1 3 3 2 1 1 2 3 3 3 3 24 Agresif

46. 15 3 1 3 3 3 3 3 1 1 2 1 1 2 1 1 7 2 6 3 3 2 1 3 3 3 3 2 2 25 Agresif

47. 16 2 2 1 3 2 1 1 1 1 2 1 1 2 2 1 8 6 1 1 2 3 3 3 2 2 3 3 3 25 Agresif

48. 16 2 1 1 2 3 3 2 2 2 3 2 2 3 1 1 4 7 4 3 3 3 3 3 2 3 1 3 1 25 Agresif

49. 16 3 1 3 3 2 1 2 1 1 2 3 1 2 2 1 8 3 4 1 3 1 3 3 3 3 3 3 3 26 Agresif


(2)

(3)

(4)

(5)

TAKSASI DANA

1.

Persiapan Proposal

Biaya tinta dan kertaprint proposal

Rp 120.000,-

Fotokopi Sumber-sumber tinjauan pustaka

Rp 15.000,-

Biaya buku sumber tinjauan pustaka

Rp 150.000,

Perbanyak Proposal

Rp 50.000,-

Biaya internet

Rp 50.000,

Konsumsi saat sidang proposal

Rp 50.000,-

2.

Pengumpulan Data

Izin Penelitian

Rp 75.000,

Penggandaan Kuesioner

Rp 102.000,-

Biaya Transportasi

Rp 20.000,-

3.

Analisa Data & Penyusunan Laporan Perbaikan.

Biaya kertas dan tinta print

Rp 100.000,-

Penjilidan

Rp 35.000,-

Penggandaan

Rp 50.000,-

Biaya tidak terduga

JUMLAH

Rp 967.000 ,-


(6)

Daftar Riwayat Hidup

Nama

: Theresia Gustina Manalu

Tempat Tanggal Lahir

: Dumai/ 18 agustus 1988

Jenis Kelamin

: Perempuan

Agama

: Katholik

Alamat

: Jln. Mangga Blok C/C.46 Complek Pertamina

Bukit Datuk Dumai-Riau

Riwayat Pendidikan

:

1.

SD 01 YPP-7 Dumai

: Tahun 1994-2000

2.

SMP Santo Tarcisius Dumai

: Tahun 2000-2003

3.

SMA YPP-7 Dumai

: Tahun 2003-2006

4.

DIII Keperawatan Flora Medan

: Tahun 2006-2009

5.

S1 Keperawatan USU

: Tahun 2009-2011