BOOK Leviane JH Lotulung Legislator Perempuan

LEGISLATOR PEREMPUAN DAN KONSTITUEN
(Studi pada Legislator Perempuan di DPRD
Provinsi Sulawesi Utara)
Leviane Jackelin Hera Lotulung
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sam Ratulangi Manado
� jackelin.lotulung@gmail.com/jackelin.lotulung@unsrat.ac.id

Pendahuluan
Era reformasi membuka peluang yang besar kepada perempuan
untuk menjadi politisi maupun legislator. Undang-undang Pemilu juga
mengamanatkannya dengan keharusan partai politik mengakomodir
keberadaan perempuan minimal sebanyak 30 persen, baik masuk dalam
kepengurusan partai atau menjadi calon anggota legislatif. Peluang
perempuan menjadi pengurus partai dan calon anggota legislatif pun
lebih terbuka dengan jumlah partai politik lebih banyak dibanding
pada era Orde Baru yang hanya tiga partai politik saja. Pemilu tahun
1999 sebanyak 42 partai politik, Pemilu tahun 2009 sebanyak 38 partai
politik, dan 12 partai politik pada Pemilu 2014.
Undang-undang Pemilu, pasca reformasi sudah beberapa kali
dibuat dan direvisi disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat termasuk
kepentingan partai politik sebagai peserta Pemilu. Undang-undang

Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif yang kemudian diubah
dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 telah menggunakan
sistem proporsional terbuka artinya perhitungan suara berbasis kuota
dan habis dibagi di daerah pemilihan. Atau para calon legislatif terpilih
berdasarkan suara terbanyak bukan nomor urut seperti yang dilakukan
pada Pemilu-Pemilu sebelumnya.
Dengan sistem suara terbanyak, legislator perempuan dimungkinkan
untuk memaknai konstituen secara positif karena konstituen merupakan
individu yang aktif dan dinamis sehingga perlu ada perlakuan khusus
dengan cara-cara ideal agar konstituen di masa yang akan datang bisa

349

Kolase Komunikasi di Indonesia

memilih kembali legislator tersebut dan tidak beralih pada politisi lain, atau
masyarakat yang tidak memilih pada Pemilu sebelumnya bisa memilih
legislator perempuan tersebut.
Setelah menjadi legislator, mereka memiliki hak sekaligus
kewajiban yang harus dilaksanakan. Khusus untuk kewajiban

sebagaimana tertuang dalam UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD pada Pasal 324 mengenai kewajiban anggota
jelas tertulis bahwa anggota berkewajiban, pada poin i yakni menyerap
dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara
berkala; poin j tertulis menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan
pengaduan masyarakat; dan poin k, memberikan pertanggungjawaban
secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya.
Dengan demikian ada proses komunikasi politik yang dilakukan oleh
legislator perempuan saat melaksanakan ketentuan tersebut dengan
konstituennya.
Komunikasi menurut Michael Rush dan Philip Althof (2002:24)
merupakan proses dimana informasi politik yang relevan diteruskan
dari satu bagian sistem politik kepada bagian lainnya dan di antara
sistem-sistem sosial dengan sistem-sistem politik. Rush dan Althof
(2002:23) juga mengatakan bahwa komunikasi politik merupakan
proses yang berkesinambungan dan melibatkan pertukaran informasi
di antara individu-individu yang satu dengan kelompok-kelompoknya
pada semua tingkatan masyarakat.
Meadow (dalam Pawito, 2009:2) memberikan penegasan bahwa
istilah komunikasi politik merujuk pada ”segala bentuk pertukaran

simbol atau pesan yang sampai tingkat tertentu dipengaruhi dan
memengaruhi berfungsinya sistem politik. Sedangkan McNair
(Pawito, 2009:5) menegaskan bahwa komunikasi politik pada dasarnya
adalah ”purposeful communication about politics” (komunikasi yang
diupayakan untuk mencapai tujuan-tujuan politik tertentu).
Astrid S. Soesanto dalam Harun dan Sumarno (2006:3) mengangkat
suatu formula pengertian komunikasi politik yaitu ”komunikasi yang
diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa,
sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini
dapat mengikat semua warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan
bersama oleh lembaga-lembaga politik.
350

Leviane Jackelin Hera Lotulung, Legislator Perempuan dan...

Sedangkan fungsi komunikasi politik mempunyai makna dan arti
yang sangat penting dalam setiap proses politik dalam sebuah sistem
politik baik itu oleh infra maupun supra struktur politik. Sudijono
Sastroadmodjo dalam Hanida (2007:4) menyatakan bahwa :
“Fungsi komunikasi politik itu adalah fungsi struktur politik

menyerap berbagai aspirasi, pandangan-pandangan dan gagasangagasan yang berkembang dalam masyarakat dan menyalurkan
sebagai bahan dalam penentuan kebijaksanaan. Selain itu, fungsi
komunikasi politik juga merupakan fungsi penyebarluasan
rencana-rencana atau kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah
kepada rakyat. Dengan demikian fungsi ini membawakan arus
informasi timbal balik dari rakyat kepada pemerintah dan dari
pemerintah kepada rakyat.
Dalam semua aktivitas sebagai seorang legislator, akan selalu
ada kegiatan komunikasi politik yang berfungsi menyerap berbagai
aspirasi, pandangan-pandangan dan gagasan-gagasan. Nimmo
(2011:28) menyebutkan bahwa semua orang adalah komunikator
politik, siapapun yang ada dalam setting politik adalah komunikator
politik. Hal ini terbentang mulai level terbawah (rakyat) sampai level
atas (elit).
Konstituen menurut Kaukus Parlemen Bersih DIY yang dikutip
dalam Buku Saku DPRD yang berjudul Membina Hubungan dengan
konstituen terbitan Local Governance Support Program bekerjasama
dengan USAID (2006:11-12) adalah “seluruh warga di daerah
pemilihan, darimana dia dipilih dalam proses pemilihan umum,
tanpa lagi mengindentiikasikan siapa pendukung dan penolaknya”.

Pendukung setia anggota dewan merupakan konstituen utama, tetapi
warga lain bukan pendukung tentunya tidak bisa diabaikan. Pemilihan
umum bukanlah arena untuk mengidentiikasikan siapa yang memilih
dan menolak kandidat anggota parlemen, tetapi ia sebagai bentuk
“kontrak politik” antara warga dengan kandidat di suatu daerah
pemilihan. Siapapun yang menang dalam sistem eletoral itu, harus
mengakar menerima mandat, mewakili dan bertanggungjawab
memperjuangakan aspirasi warga (konstituen) di daerah pemilihan
yang bersangkutan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka fokus penelitian ini adalah
bagaimana pola komunikasi politik legislator perempuan dengan
351

Kolase Komunikasi di Indonesia

konstituennya? Serta apa makna konstituen dan reses bagi legislator
perempuan? Apakah hambatan yang dialami konstituen saat aspirasinya
disampaikan kepada legislator perempuan?
Penelitian mengenai komunikasi politik legislator dengan
konstituennya telah dilakukan, yaitu : Rozidateno P. Hamida berjudul

“Bentuk Komunikasi Politik Anggota DPRD Terhadap Konstituen
di Daerah Pemilihannya (Studi Deskriptif Kegiatan Masa Reses I
dan II Tahun 2005 Anggota DPRD Kota Padang Propinsi Sumatera
Barat periode 2004-2005)”, hasil penelitian yang didanai DIKTI
tahun 2007. Dalam penelitian ini penulis memberi gambaran tentang
komunikasi politik yang dilakukan anggota dewan pada masa reses dan
memberi pemahaman kepada anggota DPRD untuk meningkatkan
tanggungjawabnya terhadap masyarakat, khususnya pada konstituen
di daerah pemilihannya.
Pramana Anung Wibawa berjudul “Komunikasi Politik dan
Pemaknaan Anggota Legislatif Terhadap Konstituen (Studi Interpretif
Pemilu 2009)”. Disertasi Universitas Padjadjaran, Bandung, 2013.
Disertasi ini mendeskripsikan dan menganalisis tentang bagaimana
latar belakang, konsep diri, dan motivasi anggota legislatif pada
kampanye Pemilu 2009. Juga bagaimana anggota Legislatif memaknai
konstituennya; bagaimana komunikasi politik anggota legislatif dalam
kampanye politiknya; dan bagaimana hambatan, peluang, dan keunikan
dalam komunikasi politik pemilu 2009.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yang
menurut Bogdan dan Taylor, penelitian kualitatif adalah prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa data tertulis
dan lisan dari orang dan perilaku yang dapat diamati dari lingkungan
yang alamiah (Moleong, 2014:3). Pendekatan kualitatif digunakan
untuk mendapatkan penjelasan mengenai komunikasi politik dari
para legislator perempuan di DPRD Provinsi Sulawesi Utara saat
berhubungan dengan konstituen dari daerah pemilihannya.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bersifat interpretif
(menggunakan penafsiran) yang melibat banyak metode, dalam
menelaah masalah penelitian. Sesuai dengan prinsip epismetologinya,

352

Leviane Jackelin Hera Lotulung, Legislator Perempuan dan...

peneliti kualitatif lazim menelaah hal-hal yang berada dalam
lingkungan alamiahnya, berusaha memahami atau menafsirkan,
fenomena bersadarkan makna-makna yang orang berikan kepada halhal tersebut. (Mulyana, 2010:4)
Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara

mendalam, dan pengamatan. Wawancara mendalam dilakukan untuk
menggali pengalaman-pengalaman dari legislator perempuan di
DPRD Provinsi Sulawesi Utara mengenai konstituennya. Pengamatan
dilakukan untuk melihat langsung cara berkomunikasi legislator
perempuan dengan para konstituennya.
Penelitian ini dilakukan pada beberapa tempat. Pertama, di DPRD
Provinsi Provinsi Sulawesi Utara, kedua, saat informan yakni legislator
perempuan turun reses di daerah pemilihan (Dapil). Adapun informan
penelitian adalah 10 legislator perempuan di DPRD Provinsi Sulawesi
Utara periode 2014-2019 sebanyak 17 orang, baik yang terpilih sejak
awal periode maupun hasil pergantian antar waktu.
Moleong (2014:103) mendeinisikan analisis data sebagai proses
mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori,
dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Datadata yang akan dianalisis merupakan hasil wawancara, dan pengamatan
yang kemudian diklasiikasikan secara khusus atau dibuat kategorinya,
kemudian disajikan secara deskripsi untuk memberi gambaran
mengenai komunikasi politik legislator perempuan di DPRD Provinsi
Provinsi Sulawesi Utara dengan para konstituennya.


Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pola Komunikasi politik legislator perempuan dengan konstituennya
Komunikasi politik legislator dengan konstituen telah dibakukan
sesuai dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR,
DPR, DPD dan DPRD pasal 324 yang menjelaskan tentang kewajiban
pada poin I yakni menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen
melalui kunjungan kerja secara berkala; poin j adalah menampung
dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan poin
k yang memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis
kepada kepada konstituen di daerah pemilihannya. Hal yang sama juga
353

Kolase Komunikasi di Indonesia

tertuang dalam Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
Sulawesi Utara Nomor 1 Tahun 2011 tentang Peraturan Tata Tertib
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Utara pada BAB
VI Kewajiban Anggota DPRD Pasal 36 tentang kewajiban anggota
DPRD yang tertuang khususnya pada poin I, j, dan k..
Pola komunikasi politik legislator perempuan dengan konstituen

1. Komunikasi Formal yang terdiri dari
a. Kunjungan kerja. Kegiatan ini sangat berhubungan dengan
fungsi pengawasan yang melekat pada diri legislator. Biasanya
kegiatan ini dilakukan secara berkelompok bersama komisi
dimana legislator itu bernaung atau secara perorangan,
contohnya dengan Dinas Pertanian untuk melihat panen raya
di kabupaten tertentu. Melihat dari dekat pelaksanaan Ujian
Nasional pada siswa-siswa SMP atau SMA/SMK, melihat dari
dekat pelaksanaan bulan imunisasi, dan lain-lain.
b. Menerima dialog dengan masyarakat. Dialog dengan masyarakat
bisa dalam bentuk hearing (dengar pendapat), maupun
menerima keluhan masyarakat dalam bentuk demonstrasi.
Contohnya demonstrasi buruh yang menolak pemutusan
hubungan kerja, demostrasi pencemaran lingkungan oleh
para nelayan, ataupun demostrasi mahasiswa yang menolak
kenaikan biaya pendidikan di perguruan tinggi.
c. Reses adalah kegiatan DPRD Provinsi Sulawesi Utara yang
dilakukan untuk mengunjungi daerah pemilihan guna menyerap
aspirasi masyarakat. DPRD Sulawesi Utara telah menjadwalkan
masa reses menjadi tiga masa reses yakni masa reses I (pertama)

yang dilakukan pada akhir bulan April atau awal bulan Mei tahun
berjalan, masa reses II (kedua) yang dilakukan akhir Agustus,
sedangkan masa reses III (ketiga dilakukan pada pertengahan
bulan Desember mengikuti berakhirnya tahun anggaran.
2. Komunikasi Non Formal. Komunikasi non formal juga dilakukan para
legislator perempuan ketika mereka dipercayakan untuk tampil dalam
kegiatan-kegiatan yang bersifat keagamaan dan acara kemasyarakatan.
Saat itu mereka bukan mendapat tugas dari fraksi atau dari komisi
untuk datang, jadi kapasitasnya bukan sebagai legislator tetapi sebagai
anggota masyarakat biasa. Misalnya anggota gereja atau masjid/
354

Leviane Jackelin Hera Lotulung, Legislator Perempuan dan...

pengajian. Atau acara-acara dan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan
lainnya, misalnya di acara dukacita ada tetangga yang meninggal dunia
atau acara pesta nikah, acara di tingkat desa/kelurahan maupun tingkat
kecamatan, acara keluarga dan lain-lain.
Dari pengamatan dan wawancara yang dilakukan peneliti saat
legislator perempuan bertemu dengan konstituen terlihat komunikasi
yang dilakukan menggunakan komunikasi verbal, khususnya komunikasi
lisan dengan pola komunikasi tatap muka. Cara berkomunikasi demikian
masih sangat efektif dibandingkan cara komunikasi yang lain sehingga
antara legislator perempuan dengan konstituen bisa saling menyapa,
bersentuhan, mengenal sehingga apa yang dimaksudkan konstituen bisa
diaspirasikan dengan baik oleh legislator perempuan.
Penggunaan media sosial sebenarnya bisa menjadi alternatif bagi
legislatif perempuan dalam menjalin hubungan dengan konstituen,
namun dalam pengamatan di media sosial khususnya facebook milik
masing-masing legislator perempuan, cara-cara tersebut dilakukan.
Mereka masih mengekspos diri memperlihatkan kelebihan dirinya
secara isik termasuk program liburan ke luar negeri bukan pada
program kepada masyarakat atau pengawasan pembangunan yang
telah dilaksanakan. Penggunaan media massa konvensional juga
kurang dimanfaatkan secara maksimal untuk mendapatkan opini
publik yang positif. Keberadaan media massa hanya dimaknai sebagai
media informasi bukan untuk menjalin hubungan dengan konstituen.
Makna Konstituen Bagi Legislator Perempuan
Bagi legislator perempuan di DPRD Provinsi Sulawesi Utara,
konstituen yang berasal dari daerah pemilihannya memiliki makna
masing-masing. Peneliti membagi menjadi tiga kategori, yakni :
1. Konstituen adalah rakyat umum.
Informan yang merupakan legislator petahana berinisial IB yang
berasal dari daerah pemilihan Nusa Utara yang terdiri dari Kabupaten
Kepulauan Sangihe, Kabupaten Kepulauan Talaud, dan Kabupaten Siau
Tagulandang Biaro tersebut memaparkan betapa pentingnya posisi
konstituen bagi keberhasilan dirinya guna menjadi legislator di DPRD
Provinsi Sulawesi Utara. Menurutnya, konstituen mencakup seluruh
masyarakat yang berada di daerah pemilihannya.

355

Kolase Komunikasi di Indonesia

Hal senada dipaparkan informan berinisial RL yang berasal dari
daerah pemilihan Bolaang Mongondow Raya yang terdiri dari lima
kabupaten yakni Kota Kotamobagu, Kabupaten Bolaang Mongondow,
Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Kabupaten Bolaang Mongondow
Utara, dan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan--sebelumnya lima
kabupaten/kota ini adalah satu yaitu Kabupaten Bolaang Mongondow.
Menurutnya konstituen adalah semua masyarakat yang berada di daerah
pemilihannya baik yang memilih maupun yang tidak memilih dirinya.
Menurut RL yang berasal dari PKS, saat kegiatan reses dia tidak
hanya mengundang pihak-pihak yang ada hubungan erat dengannya
atau mereka yang berasal dari partainya saja tetapi dia mengundang
siapa saja yang ada waktu untuk menghadiri kegiatannya. Karena
menurutnya saat reses, semua masyarakat yang ada di desa adalah
konstituennya, meskipun pada Pemilu yang lalu mereka tidak
memilihnya tapi harus didengar aspirasinya dan jika ada yang positif
untuk kepentingan masyarakat umum harus bisa diwujudkan dengan
membawanya pada pemandangan umum fraksi saat rapat paripurna.
2. Konstituen adalah pemilih biasa.
Lain dengan IB dan RL, informan dari daerah pemilihan Kabupaten
Minahasa dan Kota Tomohon berinisial IS menjelaskan bahwa konstituen
hanya dikhususkan bagi mereka yang telah memilih dirinya pada Pemilu
2014. Oleh karena itu, dirinya akan konsen melakukan reses pada desadesa atau kelurahan dimana dirinya mendapat suara paling dominan dan
tidak menghabiskan waktu pada desa lainnya karena di sana pasti sudah
ada legislator favorit bagi masyarakat di sana.
Hal serupa dipaparkan informan ML yang berasal dari daerah
pemilihan Nusa Utara yang pada periode pertamanya Tahun 2009-2014
langsung menjadi ketua DPRD provinsi perempuan pertama di Sulawesi
Utara. Menurutnya pemilih itu sangat dinamis dan susah ditebak. Periode
yang lalu memilih calon legislator dari Partai Golkar, bisa jadi periode
selanjutnya memilih calon legislator dari partai lain. Oleh karenanya ML
menganggap sama semua pemilih tidak ada yang istimewa.
3. Konstituen adalah pemilih loyal
Bagi legislator perempuan lainnya, ternyata makna konstituen
adalah orang atau pemilih yang loyal pada satu partai saja sehingga

356

Leviane Jackelin Hera Lotulung, Legislator Perempuan dan...

pemilih tersebut harus diperhatikan dan sejahterahkan. Menurut
AD legislator perempuan dari daerah pemilihan II yang mencakup
Kabupaten Minahasa Utara dan Kota Bitung dan juga legislator
perempuan dari PDIP, dirinya harus melakukan yang terbaik untuk
para pemilih daerahnya. Karena mereka bukan saja sekedar simpatisan
dalam memilih pada Pemilu lalu tapi benar-benar loyal dalam memilih
partainya termasuk dalam pemilihan Gubernur pada tahun 2015 yang
lalu. Dirinya juga mengaku akan selalu melakukan kegiatan reses di
desa yang suaranya banyak.
Makna Reses Bagi Legislator Perempuan
Masa reses adalah masa kegiatan DPRD di luar kegiatan masa
sidang dan di luar gedung. Masa reses mengikuti masa persidangan
yang dilakukan sebanyak tiga kali dalam setahun atau 14 kali reses
(satu masa reses ditiadakan sesuai aturan yang ada) selama satu periode
lima tahun masa jabatan di DPRD. Masa ini bertujuan agar para
legislator menjumpai konstituen untuk menyerap dan menindaklanjuti
aspirasi mereka dan penggaduan masyarakat guna memberikan
pertanggungjawaban moral dan politis di daerah pemilihannya masingmasing sebagai perwujudan perwakilan rakyat dalam pemerintahan.
Kegiatan reses bisa dilaksanakan dengan berbagai cara begitu juga
metode komunikasinya. Reses dilakukan secara berkala yakni setiap
empat bulanan sekali dan selalu berganti lokasi. Kegiatan ini biasanya
dilakukan secara perorangan atau bisa juga berkelompok yang difasilitasi
oleh Sekretariat DPRD yang dalam proses reses melibatkan seluruh
elemen masyarakat antara lain pihak kecamatan, pihak kelurahan/desa
beserta perangkatnya, TNI/Polri, organisasi politik, tokoh masyarakat/
tokoh agama, LSM dan kelompok masyarakat lainnya. Setelah
setiap legislator turun reses mereka diwajibkan membuat laporan
pertanggungjawabkan kegiatan beserta laporan penggunaan dana,
karena setiap kegiatan reses menggunakan anggaran yang bersumber
dari APBD. Setiap legislator dibantu 1-2 staf dari sekretariat DPRD.
Mereka jugalah yang kemudian membantu legislator membuat laporan
kegiatan dan laporan keuangan yang disampaikan kepada pimpinan
DPRD dalam sebuah rapat paripurna. Berikut makna reses menurut
para legislator perempuan di DPRD Provinsi Sulawesi Utara, yaitu:

357

Kolase Komunikasi di Indonesia

1. Kegiatan wajib.
Sebagian legislator perempuan memaknai kegiatan reses sebagai
kegiatan wajib yang harus dilaksanakan oleh setiap legislator tak
terkecuali oleh legislator perempuan. Menurut IB yang sudah dua
periode mengabdikan dirinya di DPRD Provinsi Sulawesi Utara
menjelaskan bahwa reses adalah agenda resmi dari dewan bagi semua
anggota dewan untuk turun langsung berjumpa dengan masyarakat.
Karena menurutnya, menjadi legislator tidak hanya bekerja di Kantor
DPRD, tetapi bisa menjadi perantara antara masyarakat dengan
pemerintah daerah lewat kegiatan reses tersebut.
2. Wadah mensosialisasikan diri
Sebagian legislator perempuan lainnya memaknai reses
yang menjadi kegiatan rutin tersebut menjadi wadah untuk bisa
mensosialisasi diri guna untuk kepentingan Pemilu mendatang yang
dibiayai melalui APBD. Seperti penuturan legislator perempuan
berinisial IS dari daerah pemilihan III Sulawesi Utara yang mencakup
Kabupaten Minahasa dan Kota Tomohon juga Wakil Ketua Komisi IV
bidang Kesejahteraan Masyarakat. Menurutnya, reses sebagai ajang
bagi legislator untuk lebih memperkenalkan diri kepada konstituennya
sehingga keberadaan legislator terus diingat masyarakat. Menurutnya,
saat reses (saat itu) Komisi IV bidang Kesejahteraan Masyarakat
menyisipkan satu program pengobatan mata dan pemberian kacamata
gratis kepada masyarakat lanjut usia. Tujuannya agar para lanjut usia
bisa mengingat dirinya sebagai legislator yang peduli pada masyarakat.
3. Wadah mendengarkan masyarakat.
Program reses juga dimaknai oleh legislator perempuan sebagai
tempat mendengarkan keluhan masyarakat kecil di daerah-daerah. Hal
itu diutarakan RL yang pernah menjadi legislator di Kabupaten Bolaang
Mongondow Selatan. Menurut RL, dirinya saat reses tidak datang ke
daerah yang banyak memilihnya tetapi ingin mendengarkan keluhan
masyarakat kecil yang disesuaikan dengan visi/misi pemerintah
provinsi Sulawesi Utara guna pengentasan kemiskinan dan peningkatan
perekonomian masyarakat.
Hambatan Aspirasi Konstituen Terwujud
Setiap kali menghadiri kegiatan reses yang dilakukan legislator
perempuan di daerah pemilihannya banyak pertanyaan yang dilontarkan
358

Leviane Jackelin Hera Lotulung, Legislator Perempuan dan...

masyarakat setempat atau konstituen dari permintaan pembuatan jalan
aspal, disediakannya sarana/prasarana kesehatan seperti Puskemas,
pengadaan bibit untuk pertanian, permintaan untuk diangkat menjadi
pegawai negeri, kurangnya lapangan pekejaan, dan lain sebagainya.
Namun sayang semua kebutuhan masyarakat tersebut tidak bisa langsung
diwujudkan. Faktor penghambatnya adalah keterbatasan wewenang,
sistem kerja kolektif kologial, waktu, dan kepentingan partai.
1. Keterbatasan Wewenang. Ada keterbatasan yang dimiliki oleh
legislator dalam mewujudkan kebutuhan masyarakat. Contohnya
dalam memperbaiki jalan desa. Program itu menjadi kewenangan
pemerintah kabupaten/kota bukan kewenangan pemerintah provinsi
jadi sulit untuk diwujudkan.
2. Sistem kerja kolektif kologial. Dalam mewujudkan jalan desa yang
berada, contohnya di Trans Sulawesi yang sudah menjadi kewenangan
pemerintah provinsi, tidak semata-mata langsung bisa dikerjakan.
Ada proses yang harus dilakukan di dalam penentuan anggaran dan
sebagainya. Jadi akan terkait dengan Komisi III yang membawahi bidang
pembangunan dan infrastruktur setelah itu akan berhubungan dengan
badan anggaran yang menentukan besarannya anggaran perbaikan
jalan tersebut. Dari gambaran di atas terlihat dalam menentukan suatu
program atau proyek perbaikan jalan dibutuhkan beberapa pihak
terkait sehingga penentuan kebijakan publik menggunkan sistem kerja
kolektif kologial bukan atas nama pribadi.
3. Waktu. Waktu reses seperti telah diuraikan di atas dilakukan dalam tiga
masa sidang, biasanya dilakukan pada akhir bulan April, Agustus, dan
Desember. Biasanya penganggaran untuk tahun berjalan telah dilakukan
perencanaannya dan pembahasannya pada tahun sebelumnya
oleh pihak legislatif bersama eksekutif pada tahun sebelumnya.
Contohnya, permintaan masyarakat untuk perbaikan jalan di Trans
Sulawesi tersebut merupakan hasil reses pada bulan Desember. Alhasil
pembahasannya telah lewat maka rencana perbaikan jalan tersebut
bisa jadi menunggu dana anggaran perubahan tahun yang akan datang
sehingga perbaikannya bisa terjadi pada akhir tahun depan.
4. Kepentingan partai. Hambatan yang sering terjadi dalam proses
pembahasan anggaran adalah adanya kepentingan partai yang terjadi
bukan kepentingan masyarakat sehingga pembangunan di daerah
tidak merata.
359

Kolase Komunikasi di Indonesia

Simpulan
Dari hasil analisis dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan
beberapa hal dari hasil penelitian, yaitu :
1. Komunikasi politik legislator perempuan di DPRD Provinsi
Sulawesi Utara dengan konstituen masih mengandalkan komunikasi
konvensional, seperti komunikasi lisan dan tatap muka yang belum
menggunakan media-media baru.
2. Reses dimaknai oleh legislator perempuan sebagai kegiatan rutin
yang ditata dalam APBD sehingga ada konsekuensi keuangan
yang harus dipertanggungjawabkan. Juga sebagai
Wadah
mensosialisasikan diri dan wadah mendengarkan masyarakat.
3. Konstituen dimaknai berbeda yakni sebagai masyarakat secara
umum, pemilih biasa, atau loyalis.
4. Faktor penghambat adalah keterbatasan wewenang, sistem kerja
kolektif kologial, waktu, dan kepentingan partai.

360

Leviane Jackelin Hera Lotulung, Legislator Perempuan dan...

Datar Pustaka
Buku:
Alian, M. Alfan. 2009. Menjadi Pemimpin Politik (Perbincangan
Kepemimpinan dan Kekuasaan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Harun, Rochajat dan Sumarsono. 2006. Komunikasi Politik Sebagai
Suatu
Pengantar. Bandung : CV Mandar Madju.
Hemas, GKR dan Dr (Hc) Martha Tilaar. 2013. Perempuan Parlemen
dalam Cakrawala Politik Indonesia. Jakarta : Penerbit Dian
Rakyat.
Hikmat, Mahi M, Drs., Msi. 2010. Komunikasi Politik Teori dan Praktek.
Bandung : Simbiosa Mekatama Media.
Kaukus Parlemen Bersih DIY. 2006. Buku Saku DPRD: Membina
Hubungan dengan Konstituen. Local Governance Support
Program bekerjasama dengan USAID.
Moleong, Lexy, Prof, DR,MA. 2014. Metode Penelitian Kualitatif (Edisi
Revisi). Bandung : Rosdakarya.
Mulyana, Deddy. 2010. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT
Remaja Rosdakarya.
Nimmo, Dan. 2011. Komunikasi Politil: Komunikator, Pesan dan Media
(Cetakan Ketujuh). Bandung : Rosdakarya.
Pawito, PhD. 2009. Komunikasi Politik : Media Massa Dan Kampanye
Pemilihan. Yogyakarta : Jalasutra.
Rush, Michael dan Philip Althof. 2002. Pengantar Sosiologi Politik.
Jakarta : Rajawali Press.
Suwandi, Harsono. 1995. Diktat Komunikasi Politik. Jakarta :
Pascasarjana UI.
UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

361

Kolase Komunikasi di Indonesia

Jurnal/Disertasi:
Pramana Anung Wibawa berjudul “Komunikasi Politik dan Pemaknaan
Anggota Legislatif Terhadap Konstituen (Studi Interpretif Pemilu
2009)”. Disertasi Unpad, 2013.
Rozidateno P. Hamida berjudul “Bentuk Komunikasi Politik Anggota
DPRD Terhadap Konstituen di daerah Pemilihannya (Studi
Deskriptif Kegiatan Masa Reses I dan II Tahun 2005 Anggota
DPRD Kota Padang Propinsi Sumatera Barat periode 2004-2005)”.

362