Peranan Legislator Perempuan Dalam Pelaksanaan Fungsi Legislasi Dan Anggaran (Studi Pada Legislator Perempuan Terpilih Di Kota Binjai 2009-2014)

(1)

PERANAN LEGISLATOR PEREMPUAN DALAM

PELAKSANAAN FUNGSI LEGISLASI DAN ANGGARAN

(STUDI PADA LEGISLATOR PEREMPUAN TERPILIH DI

KOTA BINJAI 2009-2014)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

ELMAS YULIANTRI

110200297

DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERANAN LEGISLATOR PEREMPUAN DALAM PELAKSANAAN FUNGSI LEGISLASI DAN ANGGARAN (STUDI PADA LEGISLATOR

PEREMPUAN TERPILIH DI KOTA BINJAI 2009-2014)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

ELMAS YULIANTRI

Nim: 110200297

DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

Disetujui

Ketua Departemen Hukum Tata Negara

DR. FAISAL AKBAR NASUTION, SH.M.HUM

195909211987031002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

ARMANSYAH, SH.,M.HUM YUSRIN NAZIEF, SH.,M.HUM


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena atas izin, berkat, dan rahmatnyalah Penulis dapat menyelesaikan Penulisan skripsi ini dengan baik.

Adapun skripsi ini disusun dan diajukan sebagai salah satu kewajiban untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini tidak mungkin dapat terselesaikan tanpa bantuan-bantuan dari banyak pihak.Oleh karena itu Penulis sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam Penulisan skripsi ini.

Terimakasih yang tidak terhingga Penulis sampaikan khusus buat Orang tua Penulis, yaitu, Ayah Muhammad Masril, SH.,M.Hum, danIbu, Elmita, yang telah membesarkan dan mendidik juga selalu memberikan doa, motivasi dan dorongan kapan pun dan dimana pun yang sangat bearti untuk Penulis, sehingga Penulis bisa menjadi seperti yang sekarang ini. Semoga Allah SWT selalu memberikan kebahagiaan, kesehatan, kemudahandan yang selalu terbaik untuk Ayah dan Ibu. Amiin. Terimakasih juga Penulis sampaikan kepada Kakak Elmas Eka Muliani, SH, Uni Elmas Dwi Ainsyiyah,SH, Adik Elmas Catur Rizky Ramadhan , dan Abang Ipar Putra Masduri, SH.,M.Hum, yang selalu memberikan semangat secara langsung maupun tidak langsung kepada Penulis.

Dengan segala kerendahan hati, Penulis sampaikan terimakasih yang tulus kepada:

1. Prof. Dr. Runtung,SH., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting,SH,M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Syafruddin Hasibuan, SH, MH,DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumamtera Utara.

4. Dr. OK. Saidin,SH.,M.Hum selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumamtera Utara.

5. Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, SH. M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

6. Bapak Armansyah, SH.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu dan pengetahuan beliau untuk membimbing, mengarahkan dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik.

7. Bapak Yusrin Nazief, SH.,H.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan pengetahuan beliau untuk membimbing, mengarahkan dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik.

8. Dosen-dosen di Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Drs. Nazaruddin,SH.,M.A., Bapak Dr. Mirza Nasution,SH.,M.Hum, dan Bapak Edy Murya., SH. Serta para pegawai di Deapartemen Hukum Tata Negara.

9. Prof. Dr. Syafruddin Kalo,SH.,M.Hum, selaku dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku kakek dari penulis serta Eko Yudhistira Kalo,SH.,M.Hum selaku paman dari penulis yang telah memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 10.Bapak Hemat Tarigan, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing

Akademik Penulis.

11.Semua Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan memberikan ilmu kepada Penulis. Terimakasih banyak atas segala ilmu yang telah di berikan kepada penulis.

12.Teman-teman baik saya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Nur Fairuz Diba Nst. Hamimi Masturah, Syafitri Ditami, Yuliana Siregar, Fadhillah Mahraini, dan Nanda Adithya Kalo.

13.Teman-teman saya di departemen Hukum Tata Negara, Dyna Sri Wahyuni, Tri Yanto Yeremia, Tody Valery, Juanda Tampubolon, Benny


(5)

Suryadi, Safrizal, Garry F.A.S, Herry P. Kaban, Tri Marilando, dan Farah Muriana, terimakasih atas bantuannya selama ini. Serta teman-teman se-Grup G (angkatan 2011) dan teman-teman-teman-teman se-Grup B (angkatan 2011) yang bersama-sama menghadapi masa perkuliahan baik yang menyenangkan.

14.Para senior yang selalu membimbing Penulis, khusunya untuk Abangda M. Reza Winata, SH, Abangda Rahmad Ramadhan, dan Abangda Yusuf Ridha, SH. Serta junior yang selalu memberikan semangat kepada Penulis

15.Para Anggota Legislatif periode 2009-2014, khususnya kepada Ibu Nurlela Kaloko, SE dan Bapak H. Antasari yang telah meluangkan waktunya untuk Penulis Wawancarai. Dan juga Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Kota Binjai yang telah membantu Penulis mengumpulkan data tertulis.

16.Para pegawai administrasi dan bagian tata usaha serta karyawan-karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

17.Dan para pihak lainnya yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu. Akhir kata, Penulis menyadari sepenuhnya bahwat tulisan ini takluput dari kekurangan, maka dari itu Penulis mengharapkan segala saran dan kritik yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca, mahasiswa, praktisi dan perkembangan dunia ilmu pengetahuan dalam bidang Hukum Tata Negara.

Penulis

ElmasYuliantri Nim: 110200297


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... viii

BAB I :PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Pustaka ... 9

F. Metode Penelitian ... 20

G. Sistematika Penulisan ... 24

BAB II : PENGATURAN LEGISLATOR PEREMPUAN DALAM PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA A.Landasan Yuridis Partisipasi Perempuan dalam Lembaga Perwakilan Rakyat ... 26

1. Peraturan Nasional ... 26

2. Peraturan Internasional ... 37

B.Perbandingan Kedudukan Legislator Perempuan Pada Undang-Undang Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan PerwakilanRakyat, DewanPerwakilan Daerah, Dan DewanPerwakilanRakyat Daerah ... 38

1. Kedudukan Legislator Perempuan Pada UndangUndangNomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakian Rakyat Kabupaten/Kota ... 38

2. Kedudukan Legislator Perempuan Pada Undang Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota ... 39 3. Kedudukan Legislator Perempuan Pada Undang

Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan


(7)

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaen.Kota ... 41

4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tentang Permohonan Pengujian Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945... 42 5. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

82/PUU-XII/2014 tentang Permohonan Pengujian Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 195 ... 46

BAB III : PERAN LEGISLATOR PEREMPUAN DI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT KOTA BINJAI

A. Tinjauan Umum tentang DPRD Kota Binjai ... 48

1. Alat Kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kota Binjai ... 48 2. Peran Legislator Perempuan dalam Menjalankan

Tugas di Alat Kelengkapan DPRD Kota Binjai ... 55 B. Peranan Legislator Perempuan dalamPelaksanaanFungsi

Legislasi ... 56 1. Pentingnya Keterwailan Perempuan dalam

Melaksanakan Fungsi Legislasi... 56 2. Peranan Legislator Perempuan dalam Pelaksanaan

Fungsi Anggaran ... 60 C. Peranan Legislator Perempuan dalam Pelaksanaan

Fungsi

Anggaran ... 61 1. Pentingnya Keterwakilan Perempuan dalam Fungsi

Anggaran ... 61 2. Peran Legislatif Perempuan di DPRD Kota Binjai


(8)

BAB IV : HAMBATAN DAN TANTANGAN LEGISLATOR PEREMUAN DALAM MELAKSANAKAN FUNGSI LeEGISLATF DI DPRD KOTA BINJAI

A.Faktor yang Penghambat yang Mempengaruhi

Keterwakilan Perempuan di LembagaPerwakilan Rakyat ... 64 B.Hambatan dan Tantangan Legislator Perempuan Dalam

Melaksanakan Fungsi Legislasi ... 67 C.Hambatan dan Tantangan Legislator Perempuan Dalam

Melaksanakan Fungsi Anggaran ... 68

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 70 B. Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA

………...………..75


(9)

ABSTRAK Elmas Yuliantri1*

Armansyah** Yusrin Nazief***

Judul skripsi ini adalah “Peranan Legislator Perempuan Dalam Pelaksanaan Fungsi Legislasi Dan Anggaran (Studi Pada Legislator Perempuan Terpilih Di Kota Binjai 2009-2014)”. Yang melatar belakangi penulisan skripsi ini adalah dengan munculnya pengaturan hukum keterwakilan perempuan serta kesadaran politik perempuan di Indonesia untuk mengambil inisiatif dalam segala kebijakan menyangkut hidupnya dan kebaikan masyarakat.

Pokok permasalahan yang diangkat dalam hal ini adalah:

1. Baqaimanakah pengaturan keterwakilan perempuan pada lembaga legislatif di Indonesia?

2. Bagaimana peranan Legislator Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Binjai dalam melaksanakan fungsi legislasi dan anggaran? 3. Apa yang menjadi hambatan bagi legislator perempuan di DPRD Kota

Binjai dalam melaksanakan Fungsi Legislasi dan Fungsi Anggaran?

Metode penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yuridis normative dan yuridis empiris yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti data sekunder berupa peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat yang disahkan oleh pihak yang berwenang dan penulis berhadapan langsung dengan objek penelitian.

Peran Legislator Perempuan di DPRD Kota Binjai periode 2009-2014 memberikan ide untuk dimasukkan dalam peraturan daerah tentang BULD (Badan Usaha Layanan Daerah) pada Rumah Sakit umum di Kota Binjai, untuk menjalankan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Sedangkan peran fungsi anggaran legislator Perempuan di DPRD Kota BinjaiPeriode 2009-2014 adalah memeriksa Rancangan APBD, khususnya tentang rancangan belanja daerah agar dana yang telah di setujui dan disahkan tepat pengalokasian dananya.

Kata Kunci : Peranan Legislator Perempuan, Pelaksanaan Fungsi Legislasi, Pelaksanaan Fungsi Anggaran

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utar


(10)

ABSTRAK Elmas Yuliantri1*

Armansyah** Yusrin Nazief***

Judul skripsi ini adalah “Peranan Legislator Perempuan Dalam Pelaksanaan Fungsi Legislasi Dan Anggaran (Studi Pada Legislator Perempuan Terpilih Di Kota Binjai 2009-2014)”. Yang melatar belakangi penulisan skripsi ini adalah dengan munculnya pengaturan hukum keterwakilan perempuan serta kesadaran politik perempuan di Indonesia untuk mengambil inisiatif dalam segala kebijakan menyangkut hidupnya dan kebaikan masyarakat.

Pokok permasalahan yang diangkat dalam hal ini adalah:

1. Baqaimanakah pengaturan keterwakilan perempuan pada lembaga legislatif di Indonesia?

2. Bagaimana peranan Legislator Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Binjai dalam melaksanakan fungsi legislasi dan anggaran? 3. Apa yang menjadi hambatan bagi legislator perempuan di DPRD Kota

Binjai dalam melaksanakan Fungsi Legislasi dan Fungsi Anggaran?

Metode penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yuridis normative dan yuridis empiris yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti data sekunder berupa peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat yang disahkan oleh pihak yang berwenang dan penulis berhadapan langsung dengan objek penelitian.

Peran Legislator Perempuan di DPRD Kota Binjai periode 2009-2014 memberikan ide untuk dimasukkan dalam peraturan daerah tentang BULD (Badan Usaha Layanan Daerah) pada Rumah Sakit umum di Kota Binjai, untuk menjalankan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Sedangkan peran fungsi anggaran legislator Perempuan di DPRD Kota BinjaiPeriode 2009-2014 adalah memeriksa Rancangan APBD, khususnya tentang rancangan belanja daerah agar dana yang telah di setujui dan disahkan tepat pengalokasian dananya.

Kata Kunci : Peranan Legislator Perempuan, Pelaksanaan Fungsi Legislasi, Pelaksanaan Fungsi Anggaran

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utar


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Jaminan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan di bidang pemerintahan dan hukum tertuang dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 19452 dalam pasal 27 ayat 1 yang berbunyi, “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Dengan adanya jaminan dari konstitusi ini, memberikan kesempatan pada perempuan untuk terlibat di dalam pemerintahan. Tetapi, pada kenyataannya peran perempuan tidak begitu tampak. Hal ini karena budaya patriarki masih mendominasi banyak bagian di pemerintahan, seperti dalam bidang legislatif yang didominasi oleh laki-laki.

Padahal, dengan seimbangnya jumlah laki-laki dan perempuan di lembaga legislatif tersebut secara umum dapat menjadi sumber inisiatif, ide dan konsep dari berbagai peraturan daerah yang dikeluarkan. Diharapkan,keberadaan legislator perempuan dapat membentuk kebijakan yang memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersifat lebih baik.

Bebeberapa peraturan yang dianggap tidak adil dan substansinya merugikan perempuan menurut Departemen Hukum dan Ham dan UNDP3 tahun 2007 adalah;

a. Dalam ranah hukum pidana, beberapa rumusan dalam KUHP tentang kejahatan kepada perempuan di kategorikan sebagai „kejahatan

2

Selanjutnya akan di singkat dengan UUD 1945

3

Sulistyowati Irianto dan Titiek Kartiika Hendrastiti, Buku Panduan tentang Gender di Parlemen, Jakarta;DPR-RI & UNDP, tanpa tahun, hlm 18-19


(12)

kesusilaan‟ (crime against ethics). Padahal kejahatan tersebut juga membahayakan nyawa (crime against person) bukan hanya kepada perempuan dewasa tetapi juga terhadap anak.

b. Undang Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, disini beberapa pasal menunjukkan adanya bias gender dan standar ganda. Diantaranya adalah pasal 31 ayat (3) yang terkait dengan rumusan suami sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga, rumusan pasal ini menimbulkan dampak diskriminasi bagi perempuan kawin yang bekerja.

c. Dalam rumusan pasal 214 Undang Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu memperkuat kebijkan kuota 30% untuk perempuan, yang kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor.2-24/PUU-VI/2008.

Beberapa peraturan tersebut dianggap merugikan perempuan karena tidak seimbangnya legislatif perempuan di kalangan perumus peraturan perundang-undangan, yang menjauhkan produk legislasi dari pengalaman keseharian perempuan4. Sehingga hal ini memunculkan kesadaran politik Perempuan di Indonesia sebagai salah satu subyek maupun obyek pembangunan kesejahteraan masyarakat, dan perempuan dapat mengambil inisiatif dalam segala kebijakan menyangkut hidupnya dan kebaikan masyarakat.

Dengan melihat pentingnya peran perempuan di lembaga legislatif tersebut, negara membentuk suatu kebijakan khusus bersifat sementara (affirmative action) dengan ketentuan kuota 30% (tiga puluh persen) dalam pencalonan legislatif oleh Partai Politik. Dibentuknya kebijakan ini agar

4


(13)

memberikan kemudahan bagi perempuan ikut dalam pencalonan legislatif serta untuk meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan di parlemen.

Kebijakan affirmative ini pertama kali dimuat pada Undang Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah . Pada pasal 65 ayat (1) menyebutkan “setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”. Sayangnya, hasil dari pelaksanaan Undang Undang ini tidak sesuai harapan sehingga di sempurnakan pada Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

dalam pasal 8 ayat (1) huruf d yang berbunyi “partai politik dapat menjadi

peseerta pemilu setelah memenuhi persyaraatan salah satunya yaitu menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada

kepengurusan partai politik tingkat pusat”. Selanjutnya peraturan ini di sempurnakan kembali dengan Undang Undang Nomor 8 Tahun 2012. Pada Undang Undang pemilu terbaru ini, pemerintah membentuk zipper system pada pasal 56 ayat (2) yang berbunyi “di dalam daftar bakal calon, setiap 3 (tiga) orang bakalcalon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang

perempuan”.

Pemenuhan kuota perempuan di lembaga legislatif adalah suatu hal yang penting. Lebih lanjut Adinda Tentangker mengatakan;

Keterwakilan perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat sendiri, bukannya tanpa alasan yang mendasar. Ada beberapa hal yang membuat pemenuhan kuota 30% bagi keterwakilan perempuan dalam politik penting. Beberapa di antaranya adalah tanggung jawab dan


(14)

kepekaan akan isu-isu kebijakan public, terutama yang terkait dengan perempuan dan anak, serta lingkungan, moral yang baik, kemampuan perempuan melakukan pekerjaan multitasking dan mengelola waktu, serta yang tidak kalah penting adalah keterbiasaan dan kenyataan bahwa perempuan juga telah menjalankan tugas sebagai pemimpin dalam kelompok-kelompok sosial dan dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti di posyandu, kelompok pemberdayaan perempuan, komite sekolah, dan kelompok pengajian. Argument tersebut tidak hanya ideal sebagai wujud modal dasar kepemimpinan dan pengalaman organisasi perempuan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, argument tersebut juga menunjukkan perempuan dekat dengan isu-isu kebijakan publik dan relevan untuk memiliki keterwakilan dalam jumlah yang signifikan dalam memperjuangkan isu-isu kebijakan publik dalam proses kebijakan, terutama di lembaga perwakilan rakyat. 5

Untuk memberikan perempuan peran yang sama dalam pemerintahan, kebijakan affirmative berkembang dan muncul pada Undang Undang Nomor 27 tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk memperhatikan keterwakilan perempuan sebagai pimpinan alat kelengkapan Lembaga Legislatif.

Berbicara tentang keterwakilan perempuan di Lembaga Perwakilan Rakyat, maka tidak lepas dengan politik. Keterlibatan perempuan dalam politik penting6, karena perempuan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang hanya dapat di pahami oleh perempuan itu sendiri. Disini, politik menjadi jalan pembuka bagi perempuan untuk ikut berperan di Lembaga Perwakilan Rakyat.

Pentingnya keterwakilan perempuan tidak hanya di DPR pusat saja, tetapi juga di DPRD Kabupaten/Kota, khususnya pada DPRD Kota Binjai.

5

Adinda Tenriangke Muchtar, Mendorong keterwakilan Perempuan dalam politik, Media Indonesia, 2008

(http://politik2.blogspot.com/2008/09/mendorong-keterwakilan-perempuan-dalam.html) diakses pada 25 Januari 2015

6

Irma Latifah Sihite, Tesis: Penerapan Affirmative Action sebagai upaya Peningkatan Keterwakilan Perempuan dalam Parlemen Indonesia, Jakarta; Universitas Indonesia, 2011, hlm.8 (http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20297574-T29780%20-%20Penerapan%20affirmative.pdf) diakses pada 9 Januari 2015


(15)

Masyarakat Kota Binjai memberikan kesempatan bagi perempuan dari 30 (tiga puluh) kursi yang tersedia sebagai legislator. Dalam dua periode terakhir pemilihan umum anggota legislatif di Kota Binjai selalu memberikan kursi untuk perempuan sebagai legislator. Hal ini dapat di lihat pada tabel berikut:

Tabel: Nama anggota legislative Kota Binjai Periode 2009-2014 (Sumber :Profil Kota Binjai )

No. Nama Anggota Legislatif Jenis

Kelamin Partai 1 Ir. Mulia Ginting Laki-Laki DEMOKRAT

2 Rimbun Sitepu Laki-Laki DEMOKRAT

3 H. Bahman Nasution,SH Laki-Laki DEMOKRAT 4 H. Abdul Muis Matondang,SE Laki-Laki DEMOKRAT

5 Nurlela Kaloko Perempuan DEMOKRAT

6 Harsoyo Laki-Laki DEMOKRAT

7 Zainuddin Purba,SH Laki-Laki GOLKAR 8 H.Noor Sri Syah Alam Putra,

ST Laki-Laki GOLKAR

9 Hj. Rini Sofyanti, SE Perempuan GOLKAR 10 Helga Octora Halim, S.Sos Perempuan GOLKAR 11 H.M. Yusuf, SH.M.Hum Laki-Laki GOLKAR 12 Nizamuddin Siagian Laki-Laki GOLKAR 13 Surya Wahyu

Danil,SH.M.Hum Laki-Laki HANURA

14 Irfan Asriandi,S.Kom Laki-Laki PAN

15 Ir. Irwan Yusuf Laki-Laki PAN

16 Ismail Hasan Laki-Laki PBB

17 Mariono Laki-Laki PDIP

18 Bob Andika Mamana Sitepu,

SH Laki-Laki PDIP

19 Herman Sembiring Laki-Laki PDIP

20 Raidertha Sitepu Laki-Laki PDIP

21 Peterus, SH Laki-Laki PDS

22 Arjuli Indrawan, SE. Ak Laki-Laki PKS 23 Drs.Suharjono Mulyono Laki-Laki PKS 24 Bagus Handoko,SE. MMA Laki-Laki PKS 25 Arjuli Indrawan, SE. Ak Laki-Laki PKS 26 H. Zulkarnain D. Lubis Laki-Laki PP 27 Irhamsyah Putra Pohan Laki-Laki PPP

28 Hairul Sembiring Laki-Laki PPP


(16)

30 H. Antasari Laki-Laki PPP

Tabel: Nama anggota legislatif Kota Binjai Periode 2014-2019 (Sumber: Profil DPRD Kota Binjai)

No. Nama Anggota Legislatif Jenis

Kelamin Partai

1 Njoreken Pelawi Laki-laki DEMOKRAT

2 H.M. Sajali Laki-laki DEMOKRAT

3 H. Ahmad Hasian Siregar Laki-laki DEMOKRAT 4 Ardiansyah Putra,SE Laki-laki DEMOKRAT 5 Ambi Suswandi Buana, ST Laki-laki GERINDRA

6 Hj. Juliati, SE Perempuan GERINDRA

7 Drs. H. Saidi Susiono, Msi Laki-laki GERINDRA 8 Agus Supriyantono Laki-laki GERINDRA 9 Zainuddin Purba,SH Laki-laki GOLKAR

10 Hj. Norasiah Perempuan GOLKAR

11 Hj. K.Gusuartini Br. Surbakti Perempuan GOLKAR 12 H.M. YusufSH.M.Hum Laki-laki GOLKAR 13 H. Noor Sri Syah Alam Putra,

ST Laki-laki GOLKAR

14 Elmita Perempuan HANURA

15 Irfan Ahmadi, SH Laki-laki HANURA

16 Jonita Agina Bangun Laki-laki HANURA

17 Dr. Ediy Putra Laki-laki NASDEM

18 Drs. T. Matsyah Laki-laki NASDEM

19 Deni Surianto Laki-laki NASDEM

20 Irfan Asriandi, A.Md. Kom Laki-laki PAN

21 Hj. Ema Gata Perempuan PAN

22 Rudi Alfahri Rangkuti SH. MH Laki-laki PAN

23 Gim Ginting Laki-laki PDIP

24 Ir. Muhammad Syarif Sitepu Laki-laki PDIP

25 M. Atan Laki-laki PDIP

26 Ari Amjah Surbakti Laki-laki PKS 27 Drs. Suharjo Mulyono Laki-laki PKS 28 Irhamsyah Putra Pohan Laki-laki PPP

29 Maruli Malau Laki-laki PPP


(17)

Hal ini memberi gambaran bahwa sebagian masyarakata Kota Binjai telah memberikan kepercayaan kepada legislator perempuan untuk mewakili mereka dalam pengambil kebijakan di lembaga legislatif.

Dari uraian diatas, penting untuk dilakukan penelitian guna melihat peran legislator perempuan tersebut dalam berbagai kebijakan yang dikeluarkan di Kota Binjai. Penelitian ini akan melihat peran yang telah dilakukan oleh legislator perempuan dalam pelaksananaan fungsi legislasi dan anggaran di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Binjai (studi pada legislator Perempuan terpilih 2004-2009)

B.Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan, yang menjadi permasalahan adalah sebagai berikut;

4. Bagaimanakah pengaturan keterwakilan Perempuan pada lembaga legislatif di Indonesia?

5. Bagaimana peranan Legislator Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Binjai dalam melaksanakan fungsi legislasi dan anggaran? 6. Apa yang menjadi hambatan bagi legislator perempuan di DPRD Kota

Binjai dalam melaksanakan Fungsi Legislasi dan Fungsi Anggaran?

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan

Sejalan dengan pokok permasalahan yang diuraikan sebelumnya, penelitian ini bertujuan sebagai berikut;

1. Untuk menjawab bagaimana pengaturan keterwakilan Perempuan pada lembaga legislatif di Indonesia.


(18)

2. Untuk menjawab bagaimana Legislator Perempuan tersebut dalam melaksanakan fungsi legislasi, dan anggaran.

3. Untuk menjawab apa yang menjadi hambatan bagi legislator perempuan di DPRD Kota Binjai dalam melaksanakan Fungsi Legislasi dan Fungsi Anggaran

Dan juga, penelitian ini di harapkan menjadi salah satu karya ilmiah yang dapat menjadi rekam jejak dari perkembangan kesadaran berpolitik Perempuan dari perspektif hukum di Indonesia. Sebab, tidak banyak penelitian yang mengambil tema tentang peranan Perempuan dalam ke ikut sertaan mereka untuk mensejahterakan masya rakat, terutama untuk kaum Perempuan sendiri.

D.Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelurusan yang dilakukan di perpustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, belum ditemukan penulisan skripsi yang

membahas tentang “PERANAN LEGISLATOR PEREMPUAN DALAM

PELAKSANAAN FUNGSI LEGISLASI DAN ANGGARAN (STUDI PADA ANGGOTA LEGISLATIF PEREMPUAN TERPILIH DI KOTA BINJAI 2009-2014)” sampai dengan skripsi diajukan. Kalaupun ada dengan judul yang sama, penulis yakin isi dan penelitiannya akan berbeda. Sehingga dapat dikatakan bahwa penulisan skripsi ini asli dan dapat dipertanggungjawabkan penulis.

E.Tinjauan Pustaka


(19)

Sebelum UUD 1945 diamandemen, kedaulatan rakyat di pegang oleh

suatu Badan yang bernama “Majelis Permusyawaratan Rakyat”, sebagai

penjelmaan seluruh masyarakat Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des Staatvolkes). Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi. Setelah UUD 1945 di amandemen, makapelaksanaan kedaulatan rakyat di Indonesia dilaksanakan menurut UUD 1945.

Di dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945 juga menyebutkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar. Selanjutnya pada pasal 1 ayat ( 3) UUD 1945 disebutkan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Sehingga jelas bahwa kekuasaan tertinggi di dalam negara Indonesia adalah hukum yang dibuat oleh rakyat melalui wakil-wakilnya7.

Menurut teori kedaulatan rakyat, rakyatlah yang berdaulat dan mewakili kekuasaannya kepada suatu badan yaitu pemerintah. Bilamana pemerintahan ini melaksanakan tugasnya tidak sesuai dengan kehendak rakyat, maka rakyat akan bertindak mengganti pemerintah itu8.

Indonesia merupakan negara hukum, salah satu ciri negara hukum adalah adanya pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara9. Menurut Montesquieu, dalam bukunya “L’Espirit de Lois” (1748) yang mengikuti jalan pikiran John Locke membagi kekuasaan negara dalam tiga cabang, yaitu10;

(i) Kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang undang

7

Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung; Cv. Mandar Maju, 2014, hlm.74

8

M. Solly Lubis, Ilmu Negara, Bandung; Cv.MandarMaju, 1990, hlm.42

9

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta; Rajawali Press, 2009., hlm. 281

10


(20)

(ii) Kekuasaan eksekutif yang melaksanakan undang undang (iii) Kekuasaan yang menghakimi (yudikatif).

Dari klasifikasi Montesquieu inilah dikenal pembagian kekuasaan negara modern dalam tiga fungsi (trias politica), yaitu legislatif (the legislatif function), eksekutif (the executive or administrative function) dan yudisial (the judicial function)11.

Cabang kekuasaan legislatif adalah cabang kekuasaan yang pertama-tama mencerminkan kedaulatan rakyat12. Kewenangan untuk menetapkan peraturan diberikan kepada lembaga perwakilan rakyat atau lembaga legislatif. Ada hal penting yang harus di atur oleh wakil rakyat melalui lembaga legislatif, yaitu fungsi legislasi atau pengaturan. Dalam bentuk konkretnya , fungsi pengaturan (regelend function) ini terwujud dalam fungsi pembentukan undang undang (wetgevende function atau law making function)13.

Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa fungsi anggaran termasuk ke dalam fungsi legislasi. Seperti yang ditulis Jimly Asshidiqie mengenai fungsi penganggaran yang merupakan suatu fungsi yang tersendiri sebagai berikut;

Anggaran pendapatan dan belanja negara itu dituangkan dalam baju hukum undang undang sehingga penyusunan anggaran dan belanja negara identik dengan pembentukan undang undang tentang APBN, meskipun rancangannya selalu datang dari Presiden. Sementara itu, pelaksanaan APBN itu sendiri harus pula diawasi oleh DPR dan pengawasan itu sendiri termasuk kategori fungsi pengawasan oleh parlemen14.

11

Ibid.

12

Ibid. hlm. 298

13

Ibid. hlm.299

14


(21)

Selanjutnya, Jimly Asshidiqie mengelompokkan fungsi lembaga legislatif menjadi tiga15, yaitu

(i) Legislasi (ii) Pengawasan (iii) Representasi

Oleh beberapa sarjana di tambahkan pula fungsi lainnya, yaitu

(iv) Fungsi deliberative

(v) Fungsi penyelesaian konflik

2. Demokrasi

Sampai saat ini tidak ada pengertian yang lengkap tentang demokrasi16. Seperti yang di kemukakan Harold Laski pada bukunya Encyclopedia of social sciences yang diterjemahkan sebagai berikut17;

Tidak ada definisi demokrasi yang memadai untuk dijadikan sebagai konsep dalam sejarah. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan,sekaligus sebagai pandangan hidup sosial. Esensinya dapat ditemukan dalam karakter pemilih, hubungan pemerintah dengan rakyat, tidak adanya perbedaan warga negara di dalam bidang ekonomi, menolak pengakuan terhadap hak-hak istimewa karena kelahiran, atau karena kekayaan, karena ras, suku atau kepercayaan.

Sedangkan Abraham Lincoln memberikan pengertian demokrasi adalah pemerintahan rakyat dari rakyat dan untuk rakyat (democracy is a government

15

Ibid.

16

Juanda, Hukum Pemerintah Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah,Bandung; PT. Alumni, 2008, hlm.57

17


(22)

of the people,by the people, and for the people)18. Amien rais memberikan sepuluh kriteria negara dapat di katakana demokrasi 19, yaitu:

1. Partisipasi dalam pembuatan keputusan 2. Persamaan di depan hukum

3. Distribusi pendapatan secara adil 4. Kesempatan pendidikan yang sama

5. Kebebasan mengeluarkan pendapat, persuratkabaran, berkumpul, dan

beragama (Amien Rais menyebutnya „Empat Kebebasan‟)

6. Ketersediaan dan keterbukaan informasi 7. Mengindahkan fatsoen

8. Kebebasan Individu 9. Semangat kerja sama 10. Hak untuk protes

Esensi negara demokrasi adalah menempatkan rakyat sebagai penentu utama dalam semua aktivitas pemerintahan20 dengan di wakilkan oleh badan perwakilan rakyat. Hal ini senada dengan pengertian demokrasi menurut Sri Soemantri21 yang mendefiniskan demokrasi Indonesia dalam arti formil (indirect democracy) sebagai suatu demokrasi dimana pelaksanaan kedaulatan rakyat itu tidak dilaksanakan secara langsung melainkan melalui lembaga perwakilan-perwakilan rakyat. Sehingga badan perwakilan rakyat harus dianggap sebagai badan yang mempunyai kekuasaan tertinggi untuk menyusun undang-undang ialah yang dinamakan “legislative”22.

Indonesia yang mengakui dirinya sebagai negara demokrasi telah mengatur tentang eksistensi lembaga perwakilan rakyat dengan membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

18

Defining Democracy

http://www.ait.org.tw/infousa/zhtw/docs/whatsdem/whatdm2.htm

19

Amin Rais, Demokrasi dan Proses Politik, Jakarta : LP3ES Jakarta, 1986. Hlm. xvi

20

Ibid. hlm.85

21

Sri Soemantri, Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Bandug, Alumni,1971, hal. 26

22

Kansil,C.S.T, dan Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia 1, Jakarta; Rineka Cipta, 1984, hlm.77


(23)

serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang merupakan lembaga perwakilan baru sejak UUD 1945 di amandemen23. Anggota dari lembaga perwakilan rakyat tersebut dipilih melalui mekanisme pemilu.

3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota

Pasal 148 Undang Undang Nomor 23 tahun2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan DPRD kabupaten/kota merupakan lembaga perwakilan rakyat Daerah kabupaten/kota yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah kabupaten/kota.

DPRD Kabupaten/Kota mempunyai fungsi24 yaitu, a. pembentukan Perda Kabupaten/Kota,

b. anggaran, diwujudkan dalam bentuk pembahasan untuk persetujuan bersama terhadap Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang APBD25

c. pengawasan, diwujudkan dalam bentuk pengawasan terhadap26, 1) pelaksanaan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota; 2) pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang terkait

dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota; dan

3) pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

DPRD kabupaten/kota mempunyai wewenang dan tugas27:

23Juanda,… op.cit. hlm.87

24

lihat Pasal 149 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244

25

Lihat Pasal 152 ayat(1) Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244

26

Lihat Pasal153 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang


(24)

a. membentuk Perda Kabupaten/Kota bersama bupati/wali kota;

b. membahas dan memberikan persetujuan rancangan Perda mengenai APBD kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/wali kota;

c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan APBD kabupaten/kota;

d. dihapus;

e. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupati/wali kota dan/atau wakil bupati/wakil wali kota kepada Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian;

f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota terhadap rencana perjanjian internasional di Daerah; g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional

yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota;

h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/wali kota dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota;

i. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan Daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan Daerah; j. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan

peraturan perundangundangan.

DPRD Kabupaten/Kota mempunyai beberapa hak28, yaitu;

a. hak interpelasi, adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk meminta keterangan kepada bupati/wali kota mengenai kebijakan Pemerintah Daerah kabupaten/kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara

b. hak angket, untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan Pemerintah Daerah kabupaten/kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, Daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

c. hak menyatakan pendapat, adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan bupati/wali kota atau mengenai

27

Lihat Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

28

Lihat pada pasal 159 Undang-undang Nomor Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244


(25)

kejadianluar biasa yang terjadi di Daerah kabupaten/kota disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.

4. Affirmative Action

Setiap Negara akan berbeda pemakaian istilah affirmative action dalam kebijakan yang mereka bentuk. Pada Negara Eropa, mereka lebih umum memakai istilah positive action dan beberapa istilah lainnya29.

Pada mulanya affirmative action ini muncul pada permasalahan segregrasi rasial bidang pendidikan pada di Amerika Serikat pada tahun 1960-an yang memunculkan istilah “affirmative duty”30 . Lalu istilah ini diperkenalkan dalam Executive Order (1961) oleh Presiden Amerika Serikat31.

Secara umum affirmative action memiliki pengertian adalah kebijakan yang bertujuan agar kelompok/golongan tertentu (gender ataupun profesi) memperoleh peluang yang setara dengan kelompok/golongan lain dalam bidang yang sama. Affirmative action juga dapat diartikan sebagai kebijakan yang memberi keistimewaan pada kelompok tertentu32. Dalam konteks politik di Indonesia, salah satu bentuk tindakan affirmative dilakukan untuk mendorong agar jumlah perempuan di lembaga legislatif lebih representatif.

5. Hubungan Gender dan Hukum

Istilah gender sering diartikan sebagai jenis kelamin (seks). Kedua stilah tersebut (gender dan seks) memang mengacu pada perbedaan jenis kelamin,

29

Yusrin Nazief,Jurnal Konstitusi Vol.I No.2: Affirmative Action Dalam Pembentukan Lembaga Perwakilan Rakyat (LPR) di Indonesia,Medan; Lk SPs Universitas Sumateraa Utara , 2009, hlm. 79

30

Ibid. hlm. 78-79

31

Ibid.hlm. 79

32

http://m.hukumonline.com/klinik/detail/cl6904/affirmative-action , diakses pada tanggal 3 Januari 2015


(26)

tetapi istilah seks terkait pada komponen biologis. Artinya, masing-masing jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) secara biologis berbeda dan sebagai perempuan dan laki-laki mempunyai keterbatasan dan kelebihan tertentu berdasarkan fakta biologis masing-masing. 33

Sebaliknya, gender adalah hasil sosialisasi dan enkulturasi seorang. Dapat diartikan gender adalah hasil konstruksi sosial yang terdiri dari sifat, sikap dan perilaku seorang yang ia pelajari selama hidupnya. Seperti sifat „feminitas‟

bagi perempuan dan „maskulinitas‟ bagi laki-laki ditentukan oleh lingkungan budaya melalui apa yang diajarkan orangtuanya, guru-guru sekolahnya,guru agamanya, dan tokoh masyarakat dimana seorang tergabung34.

Selain itu, gender sebagai alat analisis umumnya dipergunakan oleh penganut aliran ilmu sosial sebagai masalah yang memusatkan perhatian pada ketidakadilan struktural dan sistem yang disebabkan oleh gender35. Perbedaan gender (gender differences) yang selanjutnya melahirkan peran gender (gender role) sesungguhnya tidak menimbulkan masalah. Akan tetapi yang menjadi masalah oleh mereka yang menggunakan analisis gender adalah struktur ketidak adilan yang ditimbulkan oleh peran gender dan perbedaan gender tersebut36.

Gender sebagai konsep yang menyoroti persoalan-persoalan kemanusiaan dan memiliki kaitan dengan masalah keadilan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan, merupakan isu yang masih baru di Indonesia dibandingkan dengan

33

Saparinah Sadli,Pemberdayan Perempuan dalam perspektif Hak Asasi Manusia” dalam T.O.Ihromi, dkk (eds) Penghapusan diskriminasi terhadapa perempuan, Bandung ; Alumni, 2000, hlm.4

34

Ibid. hlm. 5

35

Mansour Fakih, dkk, Membincang feminisme: diskursus gender perspektif Islam.

Surabaya; Risalah Gusti, 1996, hlm. 46

36


(27)

negara-negara lain di Barat. Istilah ini baru banyak menjadi bahan pembicaraan pada awal tahun 1980-an bersamaan dengan munculnya lembaga-lembaga advokasi perempuan. Namun demikian, wacana feminisme muncul dan dikenal di Indonesia kurang lebih sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Zaman kaum perempuan bergerak di Indonesia diawali oleh pemikiran R.A. Kartini sampai terbangunnya organisasi-organisasi perempuan sejak tahun 1912. Sejak saat itu, wacana dan gerakan perempuan mewarnai bangsa Indonesia. Gerakan perempuan yang banyak muncul sepanjang tahun 1950-an sampai pertengahan 1960-an memunculkan berbagai tuntutan persamaan dalam hukum dan politik antara laki-laki dan perempuan dengan model organisasi yang berkait atau di bawah partai politik37.

Dalam hal keikut sertaan perempuan dalam politik inilah, hukum diperlukan untuk memberi kepastian hukum bagi perempuan. Hukum dipahami sebagai norma, yaitu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya38. Karena itu hukum diharapkan untuk membentuk suatu keadilan bagi setiap orang, termasuk perempuan.

6. Pentingnya keterwakilan perempuan dalam lembaga perwakilan rakyat

Politik yang jauh dari perempuan tentu lebih dekat kepada kepentingan-kepentingan laki-laki. Sehingga produk yang dihasilkan pun dibangun dalam logika laki-laki. implikasinya adalah memperkokoh hubungan yuridis sosial

37

Muhammad Nuruzzaman, Kia Husein membela perempuan., Yogyakarta ; LKIS Pelangi Aksara, 2005, hlm. 2

38

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan; Dasar-dasar dan Pembentukan. Yogyakarta; Penerbit Kanisius, 1998. Hlm. 6


(28)

yang patriarkis39. Hubungan yang dimaksud adalah yang didasarkan pada norma, pengalaman dan kekuasaan laki-laki.serta mengabaikan pengalaman perempuan40.

Banyak yang terjadi dan terdapat di Indonesia yang memutlakan keterwakilan para perempuannya yang memadai dalam kuantitas dan kualitas di lembaga-lembaga negara dan sektor-sekto publik lainnya untuk menciptakan perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat41.

Yang membuat penting keterwakilan perempuan di Lembaga Legislatif adalah menyangkut kewenangan dan fungsi anggota parlemen dalam hal legislasi, penganggaran dan pengawasan, dari sini akan lahir berbagai produk hukum. Ketiadaan pengetahuan tentang pengalaman hidup perempuan dan kepekaan gender akan melahirkan produk legislasi yang merugikan bahkan semakin menjauhkan perempuan dari potensi yang ada pada dirinya42.

7. Kota Binjai

Kota Binjai adalah salah satu kota (dahulu daerah tingkat II berstatus kotamadya) dalam wilayah provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Binjai terletak 22 km di sebelah barat ibukota provinsi Sumatera Utara,Medan. Sebelum berstatus kotamadya, Binjai adalah ibukota Kabupaten Langkat yang kemudian dipindahkan ke Stabat. Binjai berbatasan langsung dengan Kabupaten Langkat di sebelah barat dan utara sertaKabupaten Deli Serdang di sebelah timur dan

39

Sulistyowati Irianto, Pendekatan Hukum Berspektif Perempuan, dalam T.O. Ihromi (ed), Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, Bandung; Alumni, 2000, hlm. 93

40

Ibid.

41

Imas Rosidawati , Jurnal Keterwakilan Perempuan Di Dewan Perwakilan Rakyat Kesiapan Partai Politik & Perempuan Indonesia Di Arena Politik Prakti, tanpa tahun, hlm.3

(http://www.uninus.ac.id/data/data_ilmiah/Quota%20Perempuan%20di%20DPR.pdf) diakses pada 28 Januari 2015

42


(29)

selatan. Letak geografis Binjai 03°03'40" - 03°40'02" LU dan 98°27'03" - 98°39'32" BT. 43

Pemerintah Kota Binjai pertama kali terbentuk berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 9 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonomi Kota Kota Kecil Dalam Lingkungan Propinsi Sumatera Utara, dengan luas wilayah 1.710 Ha44.

Akibat pembangunan yang semakin pesat, dan dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, Kota Binjai diperluas sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1986 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Binjai, Kabupaten Daerah Tingkat II Langkat dan Kabupaten Daerah Tingkat II Deli Serdang, maka wilayah Kota Binjai telah diperluas menjadi 9.023,63 Ha dengan 5 (lima) wilayah Kecamatan yaitu Kecamatan Binjai Selatan, Kecamatan Binjai Utara, Kecamatan Binjai Timur, Kecamatan Binjai Barat dan Kecamatan Binjai Kota.

Kota Binjai merupakan kota multi etnis, dihuni oleh suku Jawa, suku Karo, suku Tionghoa dan suku Melayu. Kemajemukan etnis ini menjadikan Binjai kaya akan kebudayaan yang beragam. Jumlah penduduk kota Binjai dari data BPS Kota Binjai45 pada tahun 2013 adalah 252.263 jiwa dengan kepadatan penduduk 18.813 jiwa/km persegi.

F. Metode Penelitian

1. Lokasi Penelitian

43

http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Binjai, diakses pada 9 Februari 2015

44

Profil DPRD Kota Binjai, tanpa tahun, hlm..4

45

http://binjaikota.bps.go.id/fronted/LinkTabelStatis/View/id/7 diakses pada 28 Mei 2015


(30)

Penelitian ini dilakukan di Kota Binjai, tepatnya di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Kota Binjai. Penulis memilih tempat tersebut sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa tempat tersebut memenuhi karakteristik penulis untuk mendapatkan gambaran mengenai masalah yang akan diteliti.

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara deskriptif, yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan,gejala atau kelompok tertetu. Atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala , atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.

3. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Yuridis normatif membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum.46 Yuridis normatif merupakan penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang topik yang penulis angkat,kemudian melihat kesesuaian antara hal yang ditentukan dalam peraturan hukum tersebut dengan pelaksanaannya di lapangan. Sedangkan yuridis empiris adalah penelitian terhadap identifikasi hukum (hukum tidak tertulis), dimaksudkan untuk mengetahui hukum yang berlaku dalam masyarakat47. Dalam penelitian secara yuridis empiris, penulis harus berhadapan dengan warga masyarakat yang menjadi objek penelitian

46

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta; Sinar Grafika, 2010,hlm.29

47


(31)

sehingga banyak peraturan-peraturan yang tidak tertulis berlaku dalam masyarakat.48

4. Data yang digunakan

Dalam pengumpulan data yang diperoleh guna penyusunan penulisan hukum ini meliputi :

a. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama.49 Data yang dapat diperoleh langsung dari informan dengan cara menggunakan kuisioner dan melalui wawancara bebas terpimpin, yaitu dengan terlebih dahulu mempersiapkan pokok-pokok pertanyaan (guide interview) sebagai pedoman dan variasi-variasi dengan situasi ketika wawancara.

b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan guna mendapatkan landasan teoritis terhadap peranan legislator Perempuan dalam pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Di samping itu tidak menutup kemungkinan diperoleh bahan hukum lain, di mana pengumpulan bahan hukumnya dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, serta menelaah data yang terdapat dalam buku. Antara lain dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, dan sebagainya.50

Bahan-bahan hukum tersebut adalah :51

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukumyang mengikat dan terdiri dari :

48

Ibid. hlm. 31

49

Amiruddin dan Zainal asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2004, hlm.30

50

Ibid.

51


(32)

a) Norma atau kaedah dasar, yaitu Pembukaan UUD 1945 b) Peraturan dasar:

(1) Batang Tubuh UUD 1945,

(2) Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, c) Peraturan perundang-undangan:

(1) Undang Undang dan peraturan yang setaraf, (2) Peraturan Pemerintah dan peraturan setaraf, (3) Keputusan Presiden dan peraturan setaraf, (4) Keputusan menteri dan peraturan yang setaraf, (5) Peraturan-peraturan Daerah

d) Bahanhukumyang tidak dikodifikasikan, e) Yurisprudensi,

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil penelitian, atau pendapat pakar hukum.

3) Bahan hukum tersier, bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum), ensiklopedia.

5. Metode Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data primer maupun data sekunder penulis menggunakan metode sebagai berikut;

a. Penelitian kepustakaan

Yaitu dengan meneliti berbagai sumber bacaan yang berkaitan dengan topik yang penulis angkat dalam skripsi ini. Seperti: buku-buku


(33)

hukum, majalah hukum, artikel hukum di internet, pendapat sarjana yang ahli di dunia hukum danbaha-bahan lainnya.

b. Penelitian lapangan

Yaitu dengan melakukan penelitian langsung ke lapangan terhadap praktek mengenai topik yang penulis angkat melalui kuisioner dan wawancara pada narasumber ahlinya.

6. Analisa Data

Data yang telah diperoleh dari penelitian lapangan akan dihubungkan dengan studi kepustakaan. Kemudian data tersebut dianalisis secara logis dan disusun dengan menggunakan metode kualitatif yaitu apa yang dinyatakan oleh informan secara tertulis maupun lisan diteliti dan dipelajari kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif yang tersusun dalam kalimat yang sistematis.

G.Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus diuraikan secara sistematik. Penulisan sistemtik ini dibagi beberapa tahapan yang disebut dengan bab yang mana masing-masing bab diuraikan permasalahannya secara tersendiri, namun masih dalam konteks yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Secara sistematis penulis menempatkan materi pembahasan keseluruhannya ke dalam lima (5) bab yang terperinci sebagai berikut;

Pada bab I di uraikan gambaran hal-hal yang bersifat umum, yang dimulai dengan latar belakang kemudian dilanjutkan dengan permasalahan dan tujuan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka,serta metode penelitian . Bab ini ditutup dengan memberikan sistematika dari penulisan skripsi.


(34)

Dalam bab II dengan judul Pengaturan Legislatif Perempuan Dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Bab ini membahas tentang tiga prinsip persamaan hak kaum Perempuan dalam hukum, Dasar hukum keterwakilan Perempuan di lembaga perwakilan rakyat, dan perbandingan kedudukan legislator Perempuan pada Undang-Undang Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Dalam bab III dengan judul Peran Legislator Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Kota Binjai. Bab ini menguraikan mengenai gambaran umum tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Binjai, alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Binjai serta peranan legislator Perempuan dalam pelaksanaan fungsi legislasi dan fungsi anggaran.

Dalam bab IV dengan judul Hambatan dan Tantangan Legislator Perempuan Dalam Melaksanakan Fungsi Legislatif di DPRD Kota Binjai . Pada bab ini dijelaskan tentang hambatan dan tantangan legislator Perempuan dalam melaksanakan fungsi legislasi dan fungsi anggaran.

Bab V di uraikan kesimpulan dan saran dari berbagai hal penting dan dibahas pada bab-bab sebelumnnya, serta menyampaikan saran sebagai wujud rekomendasi dari skripsi berdasarkan analisis yang dilakukan.


(35)

BAB II

PENGATURAN LEGISLATOR PEREMPUAN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

A.Landasan Yuridis Partisipasi Perempuan dalam Lembaga Perwakilan Rakyat

Keterlibatan perempuan untuk berpartisipasi dalam lembaga perwakilan rakyat telah diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Di bentuknya peraturan tersebut merupakan sebagai norma hukum yang menjadi dasar upaya untuk meningkatkan keterwakilan perempuan.

Tidak hanya peraturan hukum yang dikeluarkan oleh Negara saja yang menjadi landasan hukum ikut sertanya perempuan di lembaga perwakilan rakyat, Organisasi Internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah membentuk beberapa instrument hukum. Contohnya saja Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Woman (CEDAW) yang mengatur hak-hak publik dan privat untuk perempuan. Beberapa instrument lainnya tentang hak asasi manusia juga telah diratifikasi Indonesia untuk menjadi hukum formil.

Berikut beberapa peraturan nasional dan internasional yang memberikan pengaturan tentang hak politik perempuan untuk menjadi legislator.

1. Peraturan Nasional

a. Pancasila

Pancasila merupakan staatfundamentalnorm52(norma fundamental Negara). Sebagai suatu norma tertinggi disuatu Negara yang ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dalam

52

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan; Dasar-dasar dan Pembentukan. Yogyakarta; Penerbit Kanisius. 1998. Hlm.40


(36)

suatu Negara dan merupakan suatu norma yang menjadi tempat bergantungnya norma norma hukum di bawahnya53.

Sehingga, kelima sila dari Pancasila dalam kedudukannya sebagai cita hukum rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa, dan bernegara secara positif merupakan bintang pemandu yang memberikan pedoman dan bimbingan dalam semua kegiatan memberi isi kepada tiap peraturan perundang-undangan, dan secara negatif merupakan kerangka yang membatasi ruang gerak isi peraturan perundang-undanga tersebut54. Sehingga Pancasila merupakan suatu asas hukum dasar.

Hubungan Pancasila dengan jaminan hukum dari keterwakilan perempuan di Lembaga Perwakilan Rakyat terletak pada isi pancasila, terutama pada sila kedua. Isi sila kedua yaitu, kemanusiaan yang adil dan beradab memiliki pengertian bahwa setiap warga Negara mempunyai kedudukan yang sederajat dan sama dalam hukum55. Dari isi sila kedua tersebut mengandung makna bahwa Negara menjamin hak setiap orang termasuk hak perempuan untuk menyatakan pendapat dan ikut memilih dan dipilih untuk mencapai kehidupan yang layak serta memberikan manfaat bagi orang lain.

b. Undang Undang Dasar 1945

53

Ibid. hlm.28

54

Ibid.hlm.41

55


(37)

Pancasila merupakan dasar dan sumber serta pedoman pada batang tubuh Undang Undang Dasar 1945 sebagai aturan dasar Negara (verfassungsnorm) serta peraturan perundang-undangan lainnya56.

Dalam Undang Undang Dasar 1945 setelah di amandemen, Bab XA merupakan bab baru yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Pasal yang mengatur tentang keterwakilan perempuan adalah;

Pasal 28D (1):

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Pasal 28D ayat (3):

Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Pasal 22E ayat (1):

Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

Pasal 22E ayat (2):

Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Pasal 28H ayat (2):

Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

Pasal 28I ayat (2):

56Maria… Op.Cit. hlm.41


(38)

Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

Pasal 28I ayat (4):

Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

Pasal 28I ayat (5):

Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 28H Undang Undang Dasar 1945 berbunyi; Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

Pada pasal ini ada kata „perlakuan khusus‟ dimaknai sebagai

tindakan positif pemerintah agar kelompok tertentu mendapatkan keadilan memperoleh haknya. Tidak ditentukan kelompok tertentu tersebut secara spesifik, tetapi di Indonesia perlakuan khusus ini diberikan kepada perempuan karena hak perempuan belum sepenuhnya terpenuhi.57

c. Peraturan Perundang Undangan

57

Irma Latifah Sihite, Penerapan Affirmative Action sebagai upaya Peningkatan Keterwakilan Perempuan dalam Parlemen Indonesia,Tesis, Jakarta; Universitas Indonesia, hlm. 58 (http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20297574-T29780%20-%20Penerapan%20affirmative.pdf) diakses pada 9 Januari 2015


(39)

Berikut beberapa peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah mengenai keterwakilan perempuan di lembaga perwakilan rakyat.

1) Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958 tentang Persetujuan Konvensi Hak-Hak Politik Kaum Wanita;

Melalui Undang-Undang ini, Indonesia meratifikasi Konvensi mengenai Hak-hak Politik Kaum Perempuan pada tahun 1952 yang mengatur bahwa perempuan mempunyai hak untuk memilih, berhak untuk mencalonkan diri serta dipilih dalam pemilihan umum, dan berhak memegang jabatan publik, semuanya dengan syarat-syarat yang sama dengan kaum laki-laki58. Dengan adanya konvensi ini, maka telah ada pengakuan bahwa setiap orang berhak ikut serta dalam pemerintahan di negaranya secara langsung ataupun tidak langsung melalui perwakilan yang di pilih secara bebas59.

Tiga pasal dalam Konvensi ini yang memberikan jaminan hukum tentang hak politik perempuan adalah;

Pasal 1: Wanita akan mempunyai hak untuk memberikan suaranya dalam semua pemilihan-pemilihan dengan syarat-syarat yang sama dengan pria, tanpa ada suatu diskriminasi.

Pasal 2: Wanita akan dapat dipilih untuk pemilihan dalam semua badan-badan pilihan umum yang didirikan oleh hukum nasional. Dengan syarat-syarat sama dengan pria, tanpa ada suatu diskriminasi.

58

Mendorong Peningkatan Keterwakilan Perempuan di Parlemen: Kertas Posisi Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum (http: http: //www.

komnasperempuan.or.id/ wpcontent/uploads/ 2013/12/Kertas-Posisi-RUU-Pemilu.pdf)

59


(40)

Pasal 3: Wanita akan mempunyai hak untuk menjabat jabatan umum dan menjalankan semua tugas-tugas umum, yang didirikan oleh hukum nasional, dengan syarat-syarat yang samadengan pria, tanpa diskriminasi.

Ketiga pasal ini memberikan jaminan hukum tentang hak politik perempuan, tetapi tidak memberikan pengaturan tentang mekanisme untuk mewujudkan suaatu keadilan bagi perempuan60.

2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita

Konvensi ini di ratifikasi dengan mengingat bahwa diskriminasi terhadap wanita melanggar azas-azas persamaan hak dan penghargaan terhadap martabat manusia, merupakan hambatan bagi partisipasi wanita, atas dasar persamaan dengan pria dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Negara-negara mereka menghambat pertumbuhan kemakmuran masyarakat dan keluarga serta menambah sukarnya perkembangan sepenuhnya dari potensi wanita dalam pengabdiaannya pada Negara dan kemanusiaan61, maka dari itu Indonesia meratifikasi Konvensi ini.

Beberapa Pasal yang memebrikan jaminan hukum keterwakilan perempuan di lembaga perwakilan rakyat adalah;

Pasal 2 huruf f:

60Irma Latifah…

Op.cit. Hlm. 59

61

Lihat lampiran Undang Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pen g esah an Kon ven si Men g en a i Pen gh a p u san Sega la Ben t u k Di sk ir i min a si T er h ad a p Wan i ta ( C on ven t i on On Th e E lim in a ti on Of Al l For m s Of Di scr im in a ti on Aga in st Wom en ) Tah un 19 8 4 Nom or 2 9


(41)

Melakukan langkah tindak yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang, untuk mengubah, menghapus undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan dan praktek-praktek yang diskriminatif terhadap wanita.

Pasal 3:

Negara-negara peserta wajib melakukan langkah tindak yang tepat, termasuk membuat peraturan perundang-undangan di semua bidang, khususnya di bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya, untuk menjamin perkembangan dan kemajuan wanita sepenuhnya, dengan tujuan untuk menjamin bahwa mereka melaksanakan dan menikmati hak asasi manusia dan kebebasan pokok dasar persamaan dengan pria.

Pasal 4 ayat (1):

Pembentukan peraturan peraturan dan melakukan tindakan khusus sementara oleh negara-negara pihak yang ditujukan untuk mempercepat kesetaraan de facto antara pria dan wanita, tidak dianggap sebagai diskriminasi seperti ditegaskan dalam konvensi ini, dan sama sekali tidak harus membawa konsekuensi pemeliharaan standar-standar yang tidak sama atau terpisah, maka peraturan-peraturan dan tindakan tersebut wajib dihentikan jika tujuan, persamaan kesempatan dan perlakuan telah tercapai.

Pasal 7:

Negara-negara pihak wajib mengambil langkah-langkah yang sesuai untuk menghapus diskriminasi terhadap wanita dalam kehidupan politik dan kehidupan bermasyarakat di negaranya, khususnya menjamin bagi wanita atas dasar persamaan dengan pria, hak:

a. untuk memilih dalam semua pemilihan dan agenda publik dan berkemampuan untuk dipilih dalam lembaga-lembaga yang dipilih masyarakat;

b. untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan implementasinya, serta memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkatan;

c. untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan non pemerintah yang


(42)

berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara;

Pasal 8

Negara-negara Peserta wajib melakukan langkah tindak yang tepat untuk menjamin bahwa wanita,berdasarkan persyaratan yang sama dengan pria dan tanpa diskriminasi, mendapatkan kesempatan untuk mewakili pemerintah mereka pada tingkat internasional dan untuk berpartisipasi dalam pekerjaan organisasi-organisasi internasional.

Pasal 15:

1. Negara-negara pihak wajib memberikan kepada perempuan persamaan hak dengan laki-laki di muka hukum.

2. Negara-negara pihak wajib memberikan kepada wanita, dalam hal-hal sipil, kecakapan hukum yang sama dengan pria dan kesempatan yang sama untuk menjalankan kecakapannya tersebut. Secara khusus, Negara harus memberikan kepada wanita persamaan hak untuk untuk mengikat kontrak dan untuk mengelola kepemilikan dan wajib memberi perlakuan yang sama kepada pria dan wanita di semua tingkat prosedur di muka hakim dan peradilan.

3. Negara-negara pihak bersepakat bahwa semua kontrak dan semua dokumen pribadi lainnya yang mempunyai kekuatan hukum dan ditujukan kepada pembatasan kecakapan hukum bagi wanita, wajib dianggap batal demi hukum.

4. Negara-negara pihak wajib memberikan kepada pria dan wanita hak sama menurut hukum yang berkaitan dengan kebebasan bergerak perorangan kebebasan untuk memilih tempat tingal dan domisili.

Pada pasal 3 dan pasal 4 ayat (1) undang undang ini memerintahkan untuk membentuk suatu tindakan khusus sementara (temporary special measure) atau yang disebut dengan affirmative action. Dibentuknya kebijakan tersebut


(43)

merupakan solusi yang diberikan oleh undang-undang ini untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan.

Selanjutnya pada pasal 7 dan pasal 8 undang- undang ini mewajibkan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan public. Serta Negara yang meratifikasi konvensi ini wajib menjamin hak perempuan untuk mendapatkan kesempatan untuk mewakili pemerintahan.

3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang undang ini menyadari pentingnya peran perempuan dalam politik demi mencapai suatu keadilan. Dalam undang-undang inimenyebutkan yang dimaksud dengan keterwakilan perempuan adalah pemberian kesempatan dan kedudukan yang sama bagi perempuan untuk melaksanakan peranannya dalam bidang eksekutif, legislatif, yudikatid, kepartaian dan pemilihan umum62.

Beberapa pasal yang menjamin keterwakilan perempuan di lembaga perwakilan rakyat adalah;

Pasal 1:

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

62

Lihat Penjelasan pasal 46 Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165


(44)

Pasal 2:

Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.

Pasal 3 ayat (2)

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.

Pasal 5 ayat (1):

Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaanya di depan hukum.

Pasal 8

Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.

Pasal 46

Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggotan badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan.

Pasal 49

(1) Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat, dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan.

(2) Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita.


(45)

(3) Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin, dan dilindungi oleh hukum.

Pasal 71:

Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.

Pasal 72:

Kewajiban dan tanggungjawab pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.

4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovensi Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik

Undang-undang ini bersumber dari Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik. Konvensi ini berisi pokok-pokok hakasasi manusiadi bidang sipil dan politik sehingga menjadi ketentuan hukum yang mengikat.

Beberapa pasal yang menjamin keterwakilan perempuan di lembaga perwakilan rakyat adalah;

Pasal 3:

Negara pihak Kovenan ini berjanji untuk menjamin hak-hak yang sederajat dari lakilaki dan perempuan untuk menikmati semua hak sipil dan politik yang diatur dalam Kovenan ini.

5) Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional

Instruksi Presiden ini merupakan perangkat hukum yang mengatur tentang pengarusutamaan gender yang tujuannya


(46)

adalah untuk menyelenggarakan perencanaan, penyusunan, pelaksanaaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkelluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pembangunan nasional yang dimaksud juga termasuk bidang politik bagi perempuan, yang dapat memberikan kesempatan pada perempuan untuk ikut serta dalam pemerintahan.

2. Peraturan Internasional

Beberapa peraturan Internasional yang menjadi landasan hukum hak politik perempuan antara lain63;

a) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)

b) Rekomendasi Umum Komite Convention on Elimination off All Forms Discrimination Againts Woman (CEDAW) Nomor 23 tentang Kehidupan Politik dan Publik,

c) Tindakan Khusus Sementara Pasal 4 ayat (1) CEDAW, sesi ke-30 Tahun 2004

d) Concluding Comment Komite CEDAW 2007, atas Laporan Keempat dan Kelima Indonesia yang disampaikan dalam Sesi ke Tiga puluh Sembilan Sidang Umum CEDAW, tepatnya dalam

63

Mendorong Peningkatan Keterwakilan Perempuan di Parlemen:

Kertas Posisi Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2013/12/Kertas-Posisi-RUU-Pemilu.pdf) Diakses pada 4 Februari 2015


(47)

sidangnya yang ke 799 dan ke 800 pada tanggal 27 Juli 2007 di New York, Amerika Serikat

e) Beijing Platform for Action (BPfA) dalam Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tetnang Perempuan Ke-IV di Beijing Tahun 1995 f) Millenium Development Goals – MDGs Tahun 2000

B. Perbandingan Kedudukan Legislator Perempuan Pada Undang-Undang Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

1. Kedudukan Legislator Perempuan Pada Undang Undang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewanperwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Pada Undang Undang Nomor 22 Tahun2003 ini, tidak disebutkan tentang kedudukan perempuan di Parlemen. Pada undang undang ini, kedudukan perempuan untuk menjabat menjadi pimpinan alat kelengkapan tidak di khususkan secara tertulis.

2. Kedudukan Legislator Perempuan Pada Undang Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Berkaitan dengan alat kelengkapan di MPR, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, perlu memperhatikan keterwakilan perempuan sebagai pimpinan alat kelengkapan. Karena itu pada


(48)

pasal-pasal dibawah ini mengatur untuk memperhatikan keterwakilan perempuan menjadi pimpinan alat kelengkapan DPR.

Pimpinan komisi. Pasal 95 ayat (2) :

Pimpinan komisi terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota komisi berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.

Pimpinan Badan Legislasi Pasal 101 ayat (2) :

Pimpinan Badan Legislasi terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilihdari dan oleh anggota Badan Legislasi berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.

Pimpinan badan anggaran Pasal 106 ayat (2) :

Pimpinan Badan Anggaran terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Anggaran berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan mempertimbangkan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiaptiap fraksi.

Pimpinan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara Pasal 119 ayat (2):

Pimpinan BKSAP terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota BKSAP berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan


(49)

proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.

Pimpinan Badan Kehormatan Pasal 125 ayat (2):

Pimpinan Badan Kehormatan terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua, yang dipilih dari danoleh anggota Badan Kehormatan berdasarkan prinsipmusyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.

Pimpinan Badan Urusan Rumah Tangga Pasal 132 ayat (2):

Pimpinan BURT terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang dijabat oleh Ketua DPR dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota BURT berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiaptiap fraksi.

Pimpinan Panitia Khusus Pasal 138 ayat (2):

Pimpinan panitia khusus terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota panitia khusus berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan jumlah panitia khusus yang ada serta keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.

3. Kedudukan Legislator Perempuan Pada Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah


(50)

Pada undang undang ini, dihapus klausula „memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap

fraksi‟ dan menggantinya dengan „berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah mufakat‟.

Presiden menyampaikan keterangan lisan yang disampaikan dalam persidangan perkara Nomor. 82/PUU-XII/2014 tanggal 23 September 2014, … tidak menyebutkan adanya klausal keterwakilan perempuan, namun bukan berarti membatasi peran serta perempuan untuk duduk sebagai unsur pimpinan di dalam lembaga negara tersebut. Justru ketentuan tersebut menurut Pemerintah telah memberikan keleluasaan seluas-luasnya agar perempuan dapat berkiprah lebih jauh dan lebih menentukan pada lembaga-lembaga negara tersebut64.

4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tentang Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pada gugatan tentang diberikannya kebijakan khusus sementara (affirmative action), Mahkamah berpendapat bahwa:

Setiap tiga orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang calon perempuan adalah dalam rangka memenuhi affirmative action (tindakan sementara) bagi perempuan di bidang politik sebagaimana yang telah dilakukan oleh berbagai negara

64

Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 22-24/PUU-VI/2008,.hlm. 37 (www.mahkamahkonstitusi.go.id)


(1)

menjalankan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

3. Yang menjadi hambatan bagi legislator permpuan di DPRD Kota Binjai dalam melaksanakan Fungsi Legislasi dan Fungsi Anggaran pada dasarnya sama seperti anggota legislatif laki-laki. Dalam fungsi legislasi, Legislator perempuan di DPRD Kota Binjai tidak terlalu mengalami hambatan yang berarti dalam membentuk suatu peraturan daerah. Tantangan yang mereka terima adalah berupa mencari solusi dari pendapat yang berbeda antar anggota legislatif.

Sedangkan dalam menjalankan fungsi anggaran, anggota legislatif mengalami hambatan dari eksekutif. Tantangan yang dihadapi juga berupa menyesuaikan anggaran belanja yang di sampaikan eksekutif lalu memeriksanya agar pengalokasian dana tepat sasaran dan mensejahterkan masyarakat.

B. Saran

Dari uraian tersebut, penulis menyampaikan beberapa saran, yaitu:

1. Walaupun peran dan hambatan legislatif perempuan pada dasarnya sama dengan legislator laki-laki, ada baiknya pengaturan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, khususnya di DPRD Kabupaten/Kota tidak hanya terfokus pada Partai Politik untuk memenuhi kuota 30% pencalonan legislatif perempuan. Tetapi di pertegas dengan membentuk suatu pengaturan agar terpenuhinya kursi 30% Perempuan di Lembaga Perwakilan Rakyat.


(2)

Dengan seimbangnya peran anggota legislatif perempuan dan laki-laki di lembaga perwakilan rakyat, diharapkan peran perempuan akan lebih terlihat. Dengan begitu, maka produk dari legislasi yang dibentuk akan lebih responsif gender.

2. Peran Legislator perempuan di DPRD Kota Binjai periode 2009-2014 yang lebih cenderung ke peningkatan kesejahteraan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), Kesehatan dan Pembangunan Infrastruktur. Kecenderungan ini sebaiknya di dukung oleh pemerintah Kota dengan membentuk suatu program kerja untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. Dengan meningkatkan ekonomi masyarakat maka akan berimbas pada kesehatan dan juga pembangun daerah tersebut.

3. Peran masyarakat dalam mengawasi jalannya pemerintahan dengan ikut serta dalam pengawasan dan peningkatan kesejahteraan dengan cara mendukung dan menjalankan kebijakan pemerintah. Dengan adanya dukungan dari masyarakat, hambatan dan tantangan yang diterima oleh anggota legislatif akan berkurang yang memberi dampak dengan menigkatnya kinerja dari anggota legislatif.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ali, Zainuddin Metode Penelitian Hukum, Jakarta; Sinar Grafika, 2010/ Amiruddin dan Zainal asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,

Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2004.

Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta; Rajawali Press, 2009.

Buehanuddin Salam,Filsafat Pancasilaisme,Jakarta;Rineka Cipta, 1996 C.S.T, Kansil, dan Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik

Indonesia 1, Jakarta; Rineka Cipta, 1984.

C.S.T,Kansil Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia 2, Jakarta,Rineka Cipta, 2002.

Fakih, Mansour dkk, Membincang feminisme: diskursus gender perspektif Islam. Surabaya; Risalah Gusti, 1996. Ihromi ,T.O., dkk (eds) Penghapusan diskriminasi terhadapa

perempuan, Bandung ; Alumni, 2000.

Juanda, Hukum Pemerintah Daerah Pasang Surut Hubungan

Kewenangan antara DPRD dan Kepala

Daerah,Bandung; PT. Alumni, 2008.

Nasution, Bahder Johan, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung; Cv. Mandar Maju, 2014.

Nuruzzaman, Muhammad, Kia Husein membela perempuan., Yogyakarta ; LKIS Pelangi Aksara, 2005.

Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan; Dasar-dasar dan Pembentukan. Yogyakarta; Penerbit Kanisius, 1998. Soemantri,Sri, Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Bandug,

Alumni,1971

Rais, Amin, Demokrasi dan Proses Politik, Jakarta: LP3ES Jakarta, 1986 B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita, Le mbara n Negara T ahun 1984 No mo r 29.


(4)

Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958 tentang Persetujuan Konvensi Hak-Hak Politik Kaum Wanita, Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 119.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165.

Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.

Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 95.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovensi Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 119.

Undang Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 63. Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Perdagangan Orang, Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 58.

Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pebentukan Peraturan Perundang Undangan, Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 82.

Peraturan DPRD Kota Binjai Nomor 1 tahun 2011 Tentang Tata Tertib DPRD Kota Binjai.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 182.

Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244.

C. Karya Ilmiah

Susiana, Sali,dkk, Buku Kompilasi Pengarusutamaan Gender Dalam Parleme, Sekretaris Jenderal DPR RI dan United Nations Development Programme, 2008.


(5)

Sulistyowati Irianto, Titiek Kartika Hendrastiti, Buku Panduan tentang Gender di Parlemen, Sekretaris Jenderal DPR RI dan United Nations Development Programme, 2011.

Profil DPRD Kota Binjai

Yusrin Nazief,Jurnal Konstitusi Vol.I No.2: Affirmative Action Dalam Pembentukan Lembaga Perwakilan Rakyat (LPR) di Indonesia,Medan; Lk SPs Universitas Sumateraa Utara , 2009.

D. Website

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor22-24/PUU-VI/2008, (www.mahkamahkonstitusi.go.id) diakses pada 23 Maret 2015

Imas Rosidawati Wr,SH.,MH. Jurnal Keterwakilan Perempuan Di Dewan Perwakilan Rakyat Kesiapan Partai Politik & Perempuan Indonesia

Di Arena Politik Prakti.

(http://www.uninus.ac.id/data/data_ilmiah/Quota%20Perempuan%2 0di%20DPR.pdf) diakses pada 28 Januari 2015

http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Binjai, diakses pada 9 Februari 2015

http://m.hukumonline.com/klinik/detail/cl6904/affirmative-action , diakses pada tanggal 3 Januari 2015

http://binjaikota.bps.go.id/fronted/LinkTabelStatis/View/id/7 diakses pada 28 Mei 2015

http://www.ait.org.tw/infousa/zhtw/docs/whatsdem/whatdm2.htm, diakses pada 29 Mei 2015

Irma Latifah Sihite, Penerapan Affirmative Action sebagai upaya Peningkatan Keterwakilan Perempuan dalam Parlemen Indonesia, Tesis, Jakarta; Universitas Indonesia (http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20297574-T29780%20-%20Penerapan%20affirmative.pdf) diakses pada 9 Januari 2015

Mendorong Peningkatan Keterwakilan Perempuan di Parlemen:Kertas Posisi Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum nggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (http: //www. komnasperempuan.or.id/ wpcontent/uploads/ 2013/12/Kertas-Posisi-RUU-Pemilu.pdf) Diakses pada 4 Februari 2015


(6)

Luh Putu Sridanti, artikel, Peranan Politik Perempuan Di Indonesia

Peluang dan Hambatan, 2010

(https://sridanti.files.wordpress.com/2013/03/jurnal-sridanti.doc) diakses pada 5 Maret 2015

E. Wawancara

Wawancara dengan Ibu Nurlela Kaloko,SE, Anggota Legislatif DPRD Kota Binjai Periode 2009-2014, Pada tanggal 17 Maret 2015

Wawancara dengan Bapak H. Anthasari, Anggota Legilatif DPRD Kota Binjai Periode 2009-2014 dan Periode 2014-2019, Pada tanggal 23 Maret 2015