Peranan Anak Perempuan Dalam Keluarga Pada Masyarakat Karo, studi Deskriptif di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo.

(1)

PERANAN ANAK PEREMPUAN DALAM KELUARGA

PADA MASYARAKAT KARO

(Studi Deskriptif di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo)

Skripsi

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Dalam Bidang Antropologi

OLEH :

MARTA ULINA br P

030905007

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kapada Bapa yang di Surga, karena atas berkat dan anugrah-Nya, penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini tepat pada waktunya, yang berjudul PERANAN ANAK PEREMPUAN DALAM KELUARGA PADA MASYARAKAT KARO (STUDI DESKRIPTIF DI DESA LINGGA, KECAMATAN SIMPANG EMPAT, KABUPATEN KARO)”, yang lokasi penelitiannya di Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo.

Tulisan ini tentang deskripsi atau gambaran satu sisi kehidupan masyarakat Karo, yakni yang berkaitan dengan peranan anak perempuan dalam kehidupan sehari-hari pada keluarga para masyarakat Karo tersebut.

Penulis menyadari bahwa di dalam penyelesaian Skripsi ini, yang dimulai sejak pembuatan pertama, yakni proposal penelitian sampai penulisan hasil penelitian berupa satu buah Skripsi, tidak terlepas berkat adanya bantuan dari berbagai pihak. Terutama dari kedua orang tua penulis yang memberikan dukungan, spirit, kasih sayang yang tulus dan materi. Rasa syukur dan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada kedua orang tua saya R. Perangi-angin dan R. Br Tarigan, yang telah melahirkan, membesarkan dan mengasuh saya selama ini, terutama kepada Bapak saya R. Perangin-angin yang telah berjuang dan bersusah payah dalam memenuhi segala kebutuhan hidup saya. Usaha kalian selama ini tidak mungkin dapat kubalas. Hanya doa yang dapat kupanjatkan semoga Bapa yang di Surga memberikan umur yang panjang dan dalam setiap langkah selalu dilindungi oleh-Nya. Begitu juga penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

• Bapak Prof. DR. M. Arif Nasution MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan andil selama mengikuti perkuliahan dan berbagai kebijaksanaan untuk mempermudah penyelesaian Skripsi ini.


(3)

• Bapak Drs. Zulkifli Lubis, MA, selaku ketua Departemen Antropologi, yang selalu mengingatkan agar saya cepat menyelesaikan Skripsi ini.

• Bapak Drs. Zulkifli, MA, selaku dosen Pembimbing Akademik, selalu memberikan arahan kepada penulis mulai dari awal perkuliahan sampai pada pembuatan Skripsi ini.

• Ibu Dra. Nita Savitri, M. Hum, selaku dosen pembimbing saya dalam pembuatan Skripsi ini, mulai dari pembuatan proposal sampai pada sebuah Skripsi, terima kasih atas arahan, bimbingan dan kesabaran ibu dalam membimbing saya.

• Para dosen Antropologi yang telah membekali, mengarahkan dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan di Departemen Antropologi.

• Seluruh staf administrasi di FISIP-USU, khususnya staf administrasi Departemen Antropologi.

• Bapak Martin Luter Sinulingga, selaku kepala desa Lingga, yang telah memberikan izin penelitian kepada penulis dan juga seluruh masyarakat desa Lingga khususnya para informan yang telah memberikan data-data yang penulis butuhkan untuk menyelesaikan penelitian ini.

• Bik Uda Desi beserta keluarga dan bik Sari beserta keluarga terima kasih buat bimbingan dan pengajaran yang diberikan kepada saya selama perkuliahan sampai pada penulisan Skripsi ini. • Kepada mama Tua, mama Uda, bang Bestari beserta keluarga

yang ada di Aek Raso terima kasih buat doa dan dukungannya. • Kepada seluruh keluarga ku yang tidak dapat saya sebutkan satu

persatu, terima kasih buat doa dan dukungannya.

• Seluruh kerabat-kerabat INSAN yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terima kasih buat persaudaraan yang kalian berikan kepada saya.


(4)

• Kepada sahabat-sahabat ku Hana, Ika, Vina, Yanti, Niknak, Rohan, Beben, Anis, Yeyen, Nopetra, Lugo, Firdaus, Mas Sutris, Iko, Yuni terima kasih buat dukungan, doa, semangat, dan persahabatan yang kalian berikan, kalian adalah sahabat-sahabatku yang terbaik, dan tak akan kulupakan.

• Buat “mejinku” makasi buat kesabaran, kasih, dukungan, dan doa, yang kau berikan selama ini, hanya doa yang dapat ku panjatkan semoga kebahagiaan selalu menyertaimu.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mengandung kekurangan di sana-sini. Oleh itu dengan rendah hati, penulis menerima segala saran-saran, masukan-masukan dan kritikan yang membangun dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis berharap semoga Skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua, baik langsung maupun tidak langsung.

Medan, September 2007

Penulis

(Marta Ulina Br P) Nim. 030905007


(5)

ABSTRAK

Peranan Anak Perempuan Dalam Keluarga Pada Masyarakat Karo, studi Deskriptif di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo (Marta Ulina Br Perangin-angin, 2007) skripsi ini terdiri dari 5 bab, 125 halaman 5 tabel, dan beberapa lampiran yang terdiri dari peta, life history, surat penelitian, pedoman wawancara, dan gambar.

Peranan merupakan suatu hal yang tidak bisa lepas dari kehidupan seseorang di mana peranan ini akan berfungsi sesuai dengan tanggung jawab yang dipikul oleh seorang individu. Dalam kehidupan sehari-hari seorang individu harus memerankan peranannya sesuai dengan tanggung jawab dan fungsinya. Antara ayah, ibu, anak laki-laki, dan anak perempuan tentu berbeda peranan yang mereka pikul di dalam keluarga. Peranan ini tentunya tidak terlepas dari sistem sosial dan sistem budaya tempat di mana keluarga itu berada. Penelitian ini dilakukan di desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo dengan fokus kajian kepada peranan anak perempuan dalam keluarga pada masyarakat Karo; di mana pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tehnik pendekatan secara kualitatif (wawancara, observasi partisipas, dan snow ball).

Berdasarkan hasil temuan di lapangan, dapat dikatakan anak perempuan sangat berperan dalam keluarga. Seorang anak perempuan harus mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyuci, membersihkan rumah, memasak, menjaga adik, ke ladang, bahkan anak perempuan juga dapat mengurangi beban ekonomi keluarga dengan cara berjualan sayur-sayuran pada sore hari, dan hasil dari penjualan ini diberikan kepada orang tuanya. Selain anak perempuan, anak laki-laki juga dapat mengurangi beban ekonomi keluarga yaitu dengan membuat tutup keranjang dan hasilnya diberikan kepada orang tua. Namun bila dibandingkan dengan anak perempuan anak laki-laki lebih sedikit yang mau membantu meringankan beban ekonomi keluarga.

Dalam kehidupan sehari-hari pendidikan dan pengajaran serta proses sosialisasi yang diberikan orang tua terhadap anak-anaknya baik untuk anak laki-laki dan untuk anak perempuan berbeda. Anak perempuan diharuskan menghormati saudara laki-lakinya, karena menurut adat yang ada pada masyarakat Karo desa Lingga jika saudara laki-lakinya “kalimbubu”, tersinggung maka rejekinya anak berkurang, malapetaka akan datang seperti tidak mendapat keturunan, tanaman yang ditanam tidak berhasil. Akibat dari pendidikan dan proses sosialisasi ini terjadi ketidak adilan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Proses sosialisasi dan sistem pengajaran yang diberikan orang tua terhadap anaknya baik antara anak laki-laki dan anak perempuan, berakibat ditemui anak laki-laki yang berhenti sekolah akibat malas dan bandel di sekolah. Selain itu juga ditemui kekerasan dalam keluarga, di mana anak perempuan mengalami kekerasan dari ayahnya atau saudara laki-lakinya, atau seorang suami terhadap istrinya.


(6)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar...i

Abstrak ...iv

Daftar Isi...v

Daftar Tabel...viii

Daftar Lampiran...xi

Daftar Gambar...x

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B. Perumusan Masalah...11

C. Lokasi Penelitian...12

D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian...12

E. Kerangka Teori...13

F. Kerangka Konsep...19

G. Metodologi Penelitian...23

1. Tipe Penelitian...23

2. Tehnik Pengumpulan Data...23

3. Analisa Data...28

BAB II. GAMBARAN UMUM DESA A. Gambaran Lokasi Penelitian...29

1. Sejarah Desa Lingga...29

2. Letak Desa Lingga...30

3. Kondisi Lingkungan Alam...30

4. Pola Pemukiman...31

5. Keadaan Penduduk...35

B. Sistem Organisasi Sosial...40

1. Sistem Organisasi Sosial dan Sistem Kekerabatan...40


(7)

BAB III. NILAI ANAK PADA MASYARAKAT KARO DAN PROSES SOSIALISASI DALAM KELUARGA KARO

A. Nilai Anak Pada Masyarakat Karo...48

1. Nilai Anak Dalam Budaya, Ekonomi, Sosial... 52

1. 1. Nilai Budaya...52

1. 2. Nilai Ekonomi...54

1. 3. Nilai Sosial...58

2. Peranan dan Kedudukan Anak Laki-laki Dalam Keluarga...61

3. Peranan dan Kedudukan anak Perempuan Dalam Keluarga...64

B. Proses Sosialisasi Dalam Keluarga Karo...67

1. Sosialisasi Anak Laki-laki Dalam Keluarga Karo...68

1. 1. Masa Anak 0-5 Tahun...68

1. 2. Masa Anak 6-12 Tahun...70

1. 3. Masa Anak 12-18 Tahun...72

2. Sosialisasi Anak Perempuan Dalam Keluarga Karo...74

2. 1. Masa Anak 0-5 Tahun...74

2. 2. Masa Anak 6-12 Tahun...76

2. 3. Masa Anak 12-18 Tahun...78

C. Akibat Proses Sosialisasi Pada Anak Laki-laki...80

D. Akibat Proses Sosialisasi Pada Anak Perempuan...82

BAB IV. PERANAN DAN KEDUDUKAN ANAK DALAM KELUARGA PADA MASYARAKAT KARO A. Peranan Anak Dalam Keluarga...87

1. Pembagian Tugas Dalam Keluarga...92

2. Akses Terhadap Sumber Daya...98

2. 1. Pendidikan...98

2. 2. Harta Warisan...104

2. 3. Ekonomi...109


(8)

C. Pengaruh Anak Terhadap Sistem Sosial...116

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan...121 B. Saran-saran...124


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel I. Jenis Bangunan Rumah...32

Tabel II. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin...34

Tabel III. Komposisi Penduduk Menurut Agama...34

Tabel IV. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan...36


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Life History Mitra br Karo Lampiran 2. Life History Tetni br Tarigan Lampiran 3. Surat Ijin Penelitian

Lampiran 4. Peta Pemukiman Desa Lampiran 5. Pedoman Wawancara


(11)

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 1, 2. Anak Perempuan Sedang Berjualan Sayur-sayuran di Jambur Pada Sore Hari.

GAMBAR 3. Anak Laki-laki Sedang Membuat Tutup Keranjang, di Depan Halaman Rumahnya.

GAMBAR 4. Anak Perempuan Sedang Memasak Makanan Untuk Keluarganya.


(12)

ABSTRAK

Peranan Anak Perempuan Dalam Keluarga Pada Masyarakat Karo, studi Deskriptif di Desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo (Marta Ulina Br Perangin-angin, 2007) skripsi ini terdiri dari 5 bab, 125 halaman 5 tabel, dan beberapa lampiran yang terdiri dari peta, life history, surat penelitian, pedoman wawancara, dan gambar.

Peranan merupakan suatu hal yang tidak bisa lepas dari kehidupan seseorang di mana peranan ini akan berfungsi sesuai dengan tanggung jawab yang dipikul oleh seorang individu. Dalam kehidupan sehari-hari seorang individu harus memerankan peranannya sesuai dengan tanggung jawab dan fungsinya. Antara ayah, ibu, anak laki-laki, dan anak perempuan tentu berbeda peranan yang mereka pikul di dalam keluarga. Peranan ini tentunya tidak terlepas dari sistem sosial dan sistem budaya tempat di mana keluarga itu berada. Penelitian ini dilakukan di desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo dengan fokus kajian kepada peranan anak perempuan dalam keluarga pada masyarakat Karo; di mana pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tehnik pendekatan secara kualitatif (wawancara, observasi partisipas, dan snow ball).

Berdasarkan hasil temuan di lapangan, dapat dikatakan anak perempuan sangat berperan dalam keluarga. Seorang anak perempuan harus mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyuci, membersihkan rumah, memasak, menjaga adik, ke ladang, bahkan anak perempuan juga dapat mengurangi beban ekonomi keluarga dengan cara berjualan sayur-sayuran pada sore hari, dan hasil dari penjualan ini diberikan kepada orang tuanya. Selain anak perempuan, anak laki-laki juga dapat mengurangi beban ekonomi keluarga yaitu dengan membuat tutup keranjang dan hasilnya diberikan kepada orang tua. Namun bila dibandingkan dengan anak perempuan anak laki-laki lebih sedikit yang mau membantu meringankan beban ekonomi keluarga.

Dalam kehidupan sehari-hari pendidikan dan pengajaran serta proses sosialisasi yang diberikan orang tua terhadap anak-anaknya baik untuk anak laki-laki dan untuk anak perempuan berbeda. Anak perempuan diharuskan menghormati saudara laki-lakinya, karena menurut adat yang ada pada masyarakat Karo desa Lingga jika saudara laki-lakinya “kalimbubu”, tersinggung maka rejekinya anak berkurang, malapetaka akan datang seperti tidak mendapat keturunan, tanaman yang ditanam tidak berhasil. Akibat dari pendidikan dan proses sosialisasi ini terjadi ketidak adilan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Proses sosialisasi dan sistem pengajaran yang diberikan orang tua terhadap anaknya baik antara anak laki-laki dan anak perempuan, berakibat ditemui anak laki-laki yang berhenti sekolah akibat malas dan bandel di sekolah. Selain itu juga ditemui kekerasan dalam keluarga, di mana anak perempuan mengalami kekerasan dari ayahnya atau saudara laki-lakinya, atau seorang suami terhadap istrinya.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peranan perempuan baik dalam rumah tangga, keluarga, masyarakat, baik secara sadar maupun tidak sadar selalu dibutuhkan, namun kebanyakan peran perempuan seringkali tidak dihargai. Situasi seperti ini dapat dilihat dari kasus Darmi sebagai buruh perempuan. Darmi adalah seorang anak yang lahir di Jawa dan dibesarkan dalam keluarga Jawa. Saat ini ia berusia 11 tahun, dalam kehidupan sehari-hari Darmi sering disiksa ibu tirinya, kematian ibu tirinya bukan mengurangi beban hidupnya dan dia harus merawat dan mengasuh adik-adiknya, mengerjakan semua pekerjaan rumah seperti menyuci, memasak, membersihkan rumah, dan lain-lain. Di usianya yang memasuki remaja, dia terpaksa menikah, karena diperkosa oleh suami saudara sepupunya. Perkawinannya pun hanya berupa “rujuk kampung”; tidak pernah tercatat di cacatan sipil hingga kini. Selama perkawinannya, Darmi tidak pernah mendapat jaminan hidup atau nafkah dari suaminya. Sehingga membuat Darmi terpaksa bekerja sebagai buruh pabrik biskuit, untuk membiayai hidupnya dan anak-anaknya. Bagi Darmi, diterima bekerja di perusahaan adalah sebuah anugrah. Ia buta huruf, sehingga Darmi tidak pernah merisaukan ketidakjelasan upah kerja per harinya. Baginya yang penting adalah menerima upah. Ia merasa tidak perlu tahu rincian upah pokok, jumlah lembur dan premi ( Republika 1996:14)


(14)

Dari uraian singkat kisah Darmi di atas, dapat dilihat bahwa anak perempuan selalu dinomor duakan. Hal ini dirasakan Darmi melalui penyiksaan dari ibu tirinya, Darmi diharuskan mengasuh adik-adiknya, perkawinannya tidak dicatat dicatatan sipil, Darmi tidak pernah mendapat nafkah dari suaminya, upah kerja tidak sesuai dengan jumlah lembur dan premi, dan lain-lain. Ihromi juga berpendapat bahwa pada umumnya dalam kebanyakan bangsa, dahulu maupun sekarang anak perempuan menduduki tempat kedua dalam masyarakat maupun dalam keluarga. Namun demikian bukan tidak dapat dipisahkan, bahwa dalam pergaulan masyarakat, khususnya dalam kehidupan keluarga, anak perempuan itu jauh lebih rendah kedudukannya dari anak laki-laki walaupun harus diakui bahwa dalam pergaulan umum anak perempuan itu umumnya muncul di garis belakang, namun pengaruhnya sebenarnya jauh lebih besar daripada yang kelihatan secara nyata (1994: 44).

Sesuai dari pendapat Ihromi diatas bahwa pengaruh anak perempuan dalam pergaulan masyarakat dan keluarga umumnya muncul di garis belakang, namun pengaruhnya sebenarnya jauh lebih besar daripada yang kelihatan secara nyata. Hal ini dapat dibuktikan dari kisah Darmi di atas, dia harus bekerja sebagai buruh di pabrik biskuit untuk membiayai hidupnya, suaminya, dan anak-anaknya. Selain itu Darmi juga diharuskan untuk merawat dan mengasuh adik-adiknya, mengerjakan semua pekerjaan rumah.

Selain pendapat Ihromi, Mansyur dalam Listiani juga berpendapat bahwa di dalam keluarga sering terjadi pembagian peran yang tidak


(15)

seimbang antara anak laki-laki dengan anak perempuan ataupun antara ibu dan ayah. Permasalahan gender dan kondisi ketidak adilan gender selalu juga dijumpai di lingkungan rumah tangga, bagaimana proses pengambilan keputusan, pembagian kerja dan interaksi antara anggota keluarga dalam banyak rumah tangga sehari-hari dilaksanakan dengan menggunakan asumsi bias gender oleh karena itu rumah tangga merupakan tempat strategis dalam mensosialisasikan ketidakadilan gender (2002: 47).

Jika pendapat dari Mansyur kita kaitkan dengan kisah Darmi di atas, memang terdapat pembagian peran yang tidak seimbang antara anak perempuan dengan anak laki-laki. Kisah Darmi menunjukkan bahwa ia harus mengabdi kepada keluarga dan suaminya. Walaupun pengabdian tersebut selalu tidak menguntungkan buat Darmi, yang ada malah penderitaan berkelanjutan yang tak pernah henti-hentinya. Menurut paradigma konflik sosial yang bersumber dari pemikiran Marx, keluarga bukan sebuah kesatuan yang normatif (harmonis dan seimbang), melainkan lebih dilihat sebagai sebuah sistem yang penuh konflik, di mana ada anggapan bahwa keragaman biologis dapat dipakai untuk melegitimasi relasi sosial yang opresif.

Keragaman biologis yang menciptakan peran gender, dianggap kontruksi budaya, sosialisasi kapitalisme atau patriarkat. Pria dianggap sebagai “pemilik sumber daya” yang dilegitimasi oleh budaya dan nilai-nilai patriarkat, telah menempatkan perempuan pada posisi “abdi” karena harus bergantung pada suami dengan beban pekerjaan reproduksi dan


(16)

pengasuhannya. Hal ini menurut para feminisme telah membuat ketidakadilan dalam sistem kepemilikan dalam keluarga, di mana perempuan ada dalam posisi yang tidak menguntungkan (Megawangi 1999: 91).

Selain kisah dari Darmi sebagai buruh perempuan, ketidakadilan dalam pembagian peran juga terjadi pada masyarakat etnik Nias. Posisi anak perempuan di Nias jika dibandingkan dengan teman sebayanya yang berjenis kelamin laki-laki sangat berbeda. Beberapa kasus menunjukkan betapa anak perempuan di Nias mendapat peran dan fungsi yang tidak adil jika dibandingkan dengan anak laki-laki. Beberapa contoh di bawah ini menunjukkan bukti betapa beratnya beban yang harus dikerjakan anak perempuan Nias. Sejak umur sekitar 5-6 tahun mereka mendapat tugas dari orangtua untuk mengasuh adiknya, membantu ibu di dapur, mengambil air minum di sungai/di sumur atau ditugaskan pekerjaan lainnya.

Pekerjaan berat yang seharusnya dilakukan bersama-sama keluarga seperti bekerja di ladang/sawah, mencari kayu api, memelihara ternak babi, dan lain-lain justru dilakukan oleh anak-anak perempuan yang ada di Nias dan hal itu dilakukan berdasarkan usianya (5-6 tahun). Anak perempuanlah yang lebih banyak aktif dalam melaksanakan tugas-tugas dalam keluarganya. Mata pencaharian di Nias adalah bertani, berternak dan hal itu yang banyak dilakukan dan dikerjakan oleh anak perempuan mereka. Dari bertani dan berternak tersebut, maka keluarga dapat menghasilkan banyak uang dengan cara menjual hasil pertanian dan


(17)

perternakan mereka. Sehingga anak perempuan di Nias dapat menjadi tulang punggung keluarga. Banyak keluarga di Nias berkeinginan untuk mempunyai anak perempuan dalam jumlah yang besar karena, bagi mereka “banyak anak banyak rejeki”. Itulah sebabnya, anak-anak perempuan di Nias kebanyakan tidak mendapat kesempatan dan merasakan pendidikan disekolah karena mereka lebih diharapkan untuk melakukan pekerjaan keluarga (Suara Pembaruan 1996: 13).

Dilihat dari kedua contoh diatas bahwa yang menjadi korban ketidak adilan gender adalah anak-anak perempuan yang berusia sekitar 6-12 tahun dimana anak-anak seusia ini seharusnya sekolah, anak-anak seusia mereke sudah mampu menerima pendidikan formal dan menyerap berbagai hal yang ada di lingkungannya. Papalia dan Old dalam Hawadi membagi masa kanak-kanak dalam lima tahap :

• Masa Prenatal, yaitu diawali dari masa konsepsi sampai masa lahir. • Masa Bayi dan Tatih, yaitu saat usia 18 bulan pertama kehidupan

merupakan masa bayi, di atas usia 18 bulan sampai dengan tiga tahun merupakan masa tatih. Saat tatih inilah, anak-anak menuju pada penguasaan bahasa dan motorik serta kemandirian.

• Masa Kanak-Kanak Pertama, yaitu rentang usia 3-6 tahun, masa ini

dikenal juga dengan masa prasekolah. Masa ini merupakan masa-masa bahagia dan amat memuaskan dari seluruh masa-masa kehidupan anak. Pada masa ini yang ditekankan adalah bermain, pada masa inilah orang tua menemukan orang seperti apakah anak kita tersebut.


(18)

• Masa Kanak-Kanak Kedua, yaitu usia 6-12 tahun, dikenal pula

sebagai masa sekolah. Anak-anak telah mampu menerima pendidikan formal dan menyerap berbagai hal yang ada di lingkungannya. Pada masa ini anak belajar bergaul dengan teman-teman sebayanya.

• Masa Remaja, yaitu rentang usia 12-18 tahun. Saat anak mencari

indentitas dirinya dan banyak menghabiskan waktunya dengan teman sebayanya serta berupaya lepas dari kungkungan orang tua. Pada tahap ini anak sudah mulai ingin menunjukkan kebebasannya sebagai individu, masa ini ditunjukkan dalam bentuk sikap keras kepala, melawan, tidak patuh dan berbuat antagonis (2001: 3-4). Menurut Moore (1998:82) kaum perempuan di seluruh dunia terlibat dalam kerja produktif di dalam maupun di luar rumah. Ciri yang sesungguhnya dari kerja ini berbeda-beda dari satu budaya ke budaya lainnya, tetapi pada umumnya bisa digolongkan ke dalam empat kelompok kerja, yaitu bidang pertanian, perdagangan, kerja rumah tangga dan kerja upahan.

Biasanya setiap manusia di dalam masyarakat sejak masa kecil telah diresapi oleh nilai-nilai budaya yang hidup di dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai budaya yang hidup di dalam masyarakat itu biasanya akan berakar di dalam diri masing-masing individu, sehingga sulit untuk merubahnya dengan nilai-nilai baru. Demikian juga dengan penilaian mereka tentang nilai anak dalam keluarga yang bersumber dari adat istiadat dan kebudayaan masyarakat tersebut. Misalnya adanya


(19)

kebiasaan pada sebagian besar masyarakat untuk memiliki anak secara maksimal (tanpa ada pembatasan) terutama karena anak dalam konteks budaya sering dianggap sebagai sumber rejeki dan alat untuk menaikkan prestise orang tua di dalam masyarakat, sehingga belum mendapatkan anak, mereka tidak merasa puas. Kuatnya nilai akan norma tentang anak pada budaya masyarakat etnik Karo sangat terasa dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kehadiran anak-anak dalam keluarga sangat diharapkan. Belumlah lengkap dan bahagia bila dalam suatu keluarga etnik Karo belum lahir seorang anak, terutama anak laki-laki.

Menurut Bachofen, diseluruh dunia keluarga manusia berkembang melalui empat tingkat evolusi yaitu :

1. Promiskuitas, di mana manusia hidup serupa sekawanan binatang berkelompok, dan laki-laki serta wanita berhubungan dengan bebas dan melahirkan keturunan tanpa ikatan. Kelompok keluarga inti sebagai inti masyarakat belum ada pada waktu itu.

2. Garis keturunan untuk selanjutnya diperhitungkan melalui garis ibu, maka timbul suatu keadaan masyarakat yang oleh sarjana waktu itu disebut matriarchate

3. Kelompok-kelompok keluarga dengan ayah sebagai kepala, kelompok ini dinamai patriarchate.

4. Tingkat terakhir terjadi waktu perkawinan di luar kelompok, yaitu exogami, berobah menjadi endogami karena berbagai sebab. Dengan demikian patriarchate lambat laun hilang,


(20)

dan berobah menjadi suatu susunan kekerabatan yang oleh Bachofen disebut parental (Koentjaraningrat 1987:39)

Sebagai penganut garis keturunan Patrilineal, masyarakat etnik Karo tentu sangat mengharapkan kehadiran anak laki-laki. Anak laki-laki mempunyai nilai sosial yang sangat luas, terutama sebagai penerus silsilah orang tuanya, sehingga nilai anak laki-laki jauh lebih tinggi dari anak perempuan. Apabila suatu keluarga tidak memiliki anak laki-laki walaupun sudah memiliki anak perempuan, mereka tidak pernah merasa puas, dan selalu berusaha untuk mendapatkan anak laki-laki. Dan usaha untuk itu akan selalu dilakukan seperti: dengan memproduksi anak terus menerus, mengangkat anak saudara, ataupun dengan cara yang lainnya sejauh tidak bertentangan dengan adat atau konteks budaya yang berlaku dalam masyarakat tersebut.

Berbeda halnya apabila suatu keluarga tidak memiliki anak perempuan, beban pemikiran mereka tidak seberat kalau tidak memiliki anak laki-laki, karena anak perempuan nanti akan pergi meninggalkan keluarganya dan bergabung dengan keluarga suaminya. Jadi jelasnya apabila suatu keluarga tidak memiliki anak perempuan bukan merupakan suatu masalah besar dalam masyarakat etnik Karo, hanya saja anggota keluarga terasa kurang lengkap.

Dalam masyarakat etnik Karo diduga ketidakhadiran anak perempuan di tengah-tengah keluarga tidak menjadi beban atau pikiran buat orangtua. Namun, tidaklah lengkap rasanya jika anak perempuan belum ada. Pada masyarakat etnik Karo anak perempuan memiliki beban


(21)

kerja yang berat di mana mereka harus mengerjakan semua pekerjaan rumah seperti memasak, menyuci, membersihkan rumah, menjaga atau merawat adik bahkan terkadang membantu orangtua di ladang. Selain itu anak perempuaan pada masyarakat etnik Karo juga dapat membantu meringankan beban ekonomi keluarga dengan cara berjualan sayur-sayuran yang diambilnya dari ladang dan hasil penjualan ini diberikan kepada orangtuanya. Dari hasil pengamatan sementara, anak perempuan pada masyarakat etnik Karo selalu dinomor duakan dari saudara laki-lakinya, hal ini dapat dilihat dalam hal merasakan pendidikan ketika orangtua harus memberhentikan anaknya sekolah karena alasan ekonomi. Dapat diduga yang diberhentikan adalah anak yang perempuan. Karena orangtua pada masyarakat etnik Karo merasa bahwa anak laki-laki mereka yang dapat mengangkat martabatnya baik di tengah-tengah keluarga maupun pada masyarakat.

Dalam hal pembagian harta warisan dari orangtua, anak perempuan tidak pernah mendapat bahagian, karena semua harta warisan diberikan kepada anak laki-laki. Anak perempuan jikalaupun dapat hanya bersifat pemberian dari “turangnya” (saudara laki-lakinya). Namun, ketika orangtua sakit yang merawat adalah anak perempuan dengan alasan kalau saudara laki-lakinya sibuk bekerja. Anak perempuan diharuskan untuk menghormati saudara laki-lakinya (turangnya), karena saudara laki-lakinya ini merupakan kalimbubu yang harus dihormati dan dihargai. Karena jika kalimbubu tidak dihargai dan dihormati, adanya mitos atau kepercayaan bahwa rejeki akan berkurang dan akan mendapat


(22)

malapetaka seperti tidak mendapat keturunan, tanaman yang ditanam tidak berhasil atau gagal panen dan lain sebagainya.

Kalimbubu merupakan bagian dari unsur Rakut Sitelu, dimana rakut sitelu ini adalah sistem organisasi yang ada pada masyarakat etnik Karo. Adapun ketiga unsur rakut sitelu ini adalah yang pertama yaitu: kalimbubu yang merupakan pemberi anak perempuan, dimana hati kalimbubu ini jangan sampai kecewa atau sakit hati, karena jika hal itu terjadi maka rejeki akan berkurang, malapetaka akan datang seperti tidak memiliki keturunan dan lain-lain, yang kedua yakni senina, senina ini merupakan yang satu marga atau satu darah, dimana senina berfungsi untuk penyampai kabar kepada anak beru jika kalimbubu hendak mengadakan suatu pesta. Yang ketiga yakni anak beru, sebagai penerima anak perempuan. Anak beru bertugas sebagai penyelesai semua kerjaan, misalnya jika kalimbubu mengadakan pesta seperti menyediakan makanan, membentangkan tikar dan sebagainya.

Dari uraian di atas dapat dibuat kesimpulan sementara bahwa pada masyarakat etnik Karo telah terjadi ketidak adilan gender. Untuk dapat memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Sedangkan konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi maalah sepanjang tidak melahirkan


(23)

ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut (Fakih 1996: 7-12).

B. Perumusan Masalah

Diduga kehadiran anak perempuan pada masyarakat etnik Karo nilainya tidak setinggi anak laki-laki. Setiap keluarga akan melakukan segala usaha atau cara untuk mendapatkan anak laki-laki. Ketidak hadiran anak perempuan tidaklah menjadi suatu beban atau pikiran buat orangtua. Anak perempuan diharuskan bisa mengerjakan semua pekerjaan rumah misalnya merawat adik, membersihkan rumah, membantu orangtua diladang, memelihara ternak babi dan sebagainya. Anak perempuan juga diharuskan menghargai dan menghormati saudara laki-lakinya (turangnya).

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka perumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana peranan dan kedudukan anak perempuan dan laki-laki dalam keluarga pada masyarakat etnik Karo

2. Bagaimana proses pendidikan dan pengajaran dari orangtua dalam keluarga terhadap anak perempuan dan anak laki-laki pada masyarakat etnik Karo.

3. Bagaimana akibat proses pendidikan dan pengajaran yang diberikan orangtua terhadap anak perempuan dan anak laki-laki dalam keluarga.


(24)

C. Lokasi penelitian

Lokasi penelitian adalah di desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo. Alasan-alasan mengapa penelitian dilakukan di desa Lingga karena desa ini merupakan desa yang memiliki penduduk sekitar 85% adalah masyarakat etnik karo dan selebihnya adalah masyarakat etnik Jawa, dan Batak. Selain itu dari pengamatan sementara peneliti bahwa di desa ini terdapat banyak anak perempuan yang bekerja sementara saudara laki-lakinya hanya bermain-main.

Lokasi penelitian juga mudah dijangkau karena hanya memakan waktu sekitar 15-20 menit dari pusat kota Kaban Jahe Kabupaten Karo. Selain itu desa Lingga juga merupakan kampung halaman orangtua dari peneliti.

D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan atau menggambarkan bagaimana peranan dan kedudukan anak perempuan dalam keluarga pada masyarakat etnik Karo dan memberikan informasi-informasi tentang sebagian dari kebudayaan masyarakat etnik Karo. Karena peranan dan kedudukan anak perempuan dalam keluarga tidak pernah terlepas dari pengaruh kebudayaan masyarakat etnik Karo.

Manfaat penelitian ini nantinya untuk menambah kepustakaan dalam ilmu Antropologi khususnya dalam bidang Antropologi Gender dan juga sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana Antropologi di FISIP USU.


(25)

E. Kerangka Teori

Singgih dalam Suryani menyatakan bahwa keluarga adalah sebagai pemegang peran utama dalam proses perkembangan anak-anak dan mula-mula yang memberikan pengaruh mendalam, sehingga seorang anak akan memperoleh segala kemampuan dasar baik intelektual maupun sosial, bahkan peniruan berbagai penyaluran emosi. Di dalam keluarga ini, ia memperoleh rangsangan, hambatan maupun pengaruh pertama-tama dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya, baik itu dari segi perkembangan fisik, jiwa ataupun pribadi. Dari sinilah anak mulai belajar untuk dapat mengenal orang-orang di sekitarnya dengan mempelajari norma-norma serta aturan dan nilai-nilai hidup bermasyarakat lewat kehidupan dalam masyarakat (1994: 44).

Keluarga merupakan suatu kelompok manusia yang terikat oleh adanya hubungan darah dan perkawinan, biasanya disebut kelompok kekerabatan. Keluarga terbagi atas dua yaitu keluarga inti dan keluarga luas. Kelurga inti yakni bentuk keluarga kecil yang terdiri dari seorang suami, seorang istri dan anak-anak mereka yang belum menikah. Keluarga luas yakni keluarga besar yang terdiri dari lebih satu keluarga inti, seluruhnya merupakan suatu kesatuan sosial yang amat erat dan bisanya hidup bersama pada satu tempat merupakan suatu rumah tangga (Koentjaraningrat 1998: 106).

Dalam keluarga, kedudukan istri tergantung pada suami. Kedudukan anak perempuan tergantung pada ayah atau saudara laki-laki. Tidaklah mengherankan kalau dalam situasi masyarakat Indonesia yang


(26)

masih seperti itu, perempuan yang ingin mandiri menganggap keluarga sebagai penjara yang dapat menghalangi kemerdekaannya (Murniati 2004: 103).

Pada umumnya dalam kebanyakan bangsa, dahulu maupun sekarang anak perempuan menduduki tempat kedua dalam masyarakat maupun dalam keluarga. Namun demikian bukan tidak dapat dipisahkan, bahwa dalam pergaulan dalam masyarakat khususnya dalam kehidupan keluarga, anak perempuan itu jauh lebih rendah kedudukannya dari anak laki-laki. Walaupun harus diakui bahwa dalam pergaulan umum anak perempuan itu umumnya muncul di garis belakang, namun pengaruhnya sebenarnya jauh lebih besar daripada yang kelihatan secara nyata (Ihromi 1994: 44).

Sejarah perbedaan gender antara manusia jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbadaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan seolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah lagi, sehingga perbedaan-perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan (Fakih 1996: 9).

Perbedaan jenis kelamin mulai diungkapkan secara alamiah oleh Charles Darwin. Darwin menuliskan bahwa “laki-laki berbeda dengan perempuan dalam hal ukuran, kekuatan tubuh, juga dalam hal pemikiran.


(27)

Teori Darwin ini juga dipercaya oleh seorang ilmuan yang bernama Hardaker, ia mengatakan bahwa “perempuan mempunyai kemampuan berpikir dan kreativitas yang lebih rendah daripada laki-laki”. Namun Franz Boas menyanggah teori Darwin, Boas berpendapat bahwa walaupun rata-rata otak wanita lebih kecil, “kemampuan rasional perempuan tidak diragukan lagi sama dengan laki-laki”. Beberapa penelitian di Indonesia juga menunjukkan hal yang sama, di mana rata-rata IQ anak laki-laki usia balita tidak berbeda nyata dengan anak perempuan (Megawangi 1999: 95-97).

Mansyur dalam Listiani menyampaikan di dalam keluarga sering terjadi pembagian peran yang tidak seimbang antara anak laki-laki dan anak perempuan ataupun antara ibu dan ayah. Permasalahan gender dan kondisi ketidakadilan gender selalu juga dijumpai di lingkungan rumah tangga, bagaimana proses pengambilan keputusan, pembagian kerja dan interaksi antara anggota keluarga dalam banyak rumah tangga sehari-hari dilaksanakan dengan menggunakan asumsi bias gender oleh karena itu rumah tangga merupakan tempat strategis dalam mensosialisasikan ketidakadilan gender (2002: 47).

Teori yang dikembangkan oleh Marx dan Dahrendorf mengatakan bahwa sebuah keluarga ideal adalah yang berlandaskan companionship, yang hubungannya horizontal (tidak hirarkies). Menurut perspektif sosial-konflik, hubungan yang penuh konflik terjadi juga dalam keluarga. Sesuai dengan asumsinya, setiap individu cenderung memenuhi kepentingan pribadi, dan konflik selalu mewarnai kehidupan keluarga. Kesatun individu


(28)

bukan dibentuk melalui konsensus atau asas harmoni, melainkan oleh pemaksaan. Menurut paradigma konflik sosial yang bersumber dari pemikiran Marx, keluarga bukan sebuah kesatuan yang normatif (harmonis dan seimbang), melainkan lebih dilihat sebagai sebuah sistem yang penuh konflik, di mana ada anggapan bahwa keragaman biologis dapat dipakai untuk melegitimasi relasi sosial yang opresif. Keragaman biologis yang menciptakan peran gender, dianggap kontruksi budaya, sosialisasi kapitalisme atau patriarkat (Megawangi 1999: 85-91).

Di India, Pakistan dan Banglades, masyarakat atau satu keluarga lebih menyukai anak laki-laki daripada anak perempuan, karena anak perempuan akan meninggalkan rumah suatu hari nanti, menyedot sebagian harta kekayaan keluarga dalam bentuk mas kawin, sementara anak laki-laki menawarkan janji autonomi dan autoritas masa depan atas menantu perempuan serta para cucu. Perempuan yang melahirkan anak laki-laki diperlakukan lebih baik ketimbang perempuan yang hanya melahirkan anak perempuan dan perlakuan semacam ini berlanjut kepada anak-anaknya. Ada banyak bukti bahwa anak laki-laki disusui lebih sering dan lebih lama dibanding saudara perempuannya, anak laki-laki lebih sering mendapat perawatan dokter ketimbang anak perempuan, anak laki-laki diberi makan lebih dahulu sebelum anak perempuan, dan dididik secara lebih serius (Mosse, 1996: 67).

Posisi perempuan diatur oleh tradisi. Perempuan mempunyai peranan aktif dalam organisasi ekonomi, yaitu: bertani, berternak, berkebun, dan berdagang. Di rumah mereka bekerja membuat industri


(29)

rumah, berupa makanan dan alat rumah tangga. Peranan ini sangat ditentukan oleh sitem sosial yang ada (Murniati 2004: 135).

Status dan kekuasaan wanita langsung di tentukan oleh peranan mereka dalam sistem ekonomi. Wanita memainkan peran sentral dalam produksi. Wanita memberikan sumbangan yang tidak sedikit bagi terselenggaranya kesejahteraan sosial keluarga, keluarga luas dan juga masyarakat, bahkan wanita dapat menjadi sumber utama bagi ekonomi keluarga ( Keesing 1992: 68 ).

Setiap individu didalam ruang sosial mempunyai beberapa status misalnya sebagai seorang ayah, ibu, anak dan sebagainya. Tiap individu tersebut berperan sesuai dengan status yang dimilikinya, dalam situasi tertentu status dengan peranan mempunyai hubungan yang sangat erat sekali, yaitu dimana status tidak akan ada tanpa adanya peranan dan begitu juga peranan tidak akan ada tanpa adanya status, dengan demikian status dan peranan tidak dapat dipisahkan. Konsep peranan tidak bisa dilepaskan dari konsep status. Peranan adalah pola perilaku yang diharapkan dari seseorang yang memiliki status (Pelly 1997: 91).

Peranan dapat diibaratkan dengan peran yang ada dalam suatu sandiwara yang para pemainnya mendapatkan tugas untuk memainkan sebagian atau seluruh bagian ceritera yang menjadi tema sandiwara tersebut. Sebagai pola perikelakuan, peranan mempunyai beberapa unsur antara lain :


(30)

• Peranan ideal sebagaimana diharapkan oleh masyarakat terhadap

status-status tertentu. Peranan ideal tersebut merumuskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terkait pada status-status tertentu. • Peranan yang dianggap oleh diri sendiri. Peranan ini merupakan

hal yang oleh individu harus dilakukan pada situasi-situasi tertentu. Artinya, seorang individu menganggap, bahwa dalam situasi-situasi tertentu (yang dirumuskannya sendiri), dia harus melaksanakan peranan tertentu.

• Peranan yang dilaksanakan atau dikerjakan. Ini merupakan

peranan yang sesungguhnya dilaksanakan oleh individu di dalam kenyataannya, yang terwujud dalam perikelakuan yang nyata. Peranan yang dilaksanakan dalam kenyataan, mungkin saja berbeda dengan peranan yang dianggap oleh diri sendiri. Peranan yang dilaksanakan secara aktual senantiasa dipengaruhi oleh sistem kepercayaan, harapan-harapan, persepsi, dan juga oleh kepribadian individu yang bersangkutan.

Peranan merupakan hal-hal yang dialami manusia dalam kehidupan sehari-hari. Peranan dapat dijadikan cermin indentitas sosial seseorang, dalam masyarakat, keluarga maupun interaksi sosial (Soekanto 1988: 35-38)


(31)

F. Kerangka Konsep

1. Rumah Tangga

Berbicara tentang rumah tangga tentu tidak akan pernah terlepas dari kata keluarga. Rumah tangga akan terbentuk melalui adanya pernikahan. Seperti yang dituliskan Koenjaraningrat, dengan menikah sepasang suami istri membentuk suatu kesatuan sosial yang disebut rumah tangga, yaitu kesatuan yang mengurus ekonomi rumah tangganya. Rumah tangga biasanya terdiri dari satu keluarga inti, tetapi mungkin juga terdiri dari dua atau tiga keluarga inti. Yang termasuk kedalam keluarga inti adalah suami, istri, anak-anak mereka yang belum menikah. Anak tiri dan anak yang secara resmi diangkat sebagai anak memiliki hak yang kurang-lebih sama dengan anak kandung, dan karena itu dapat dianggap pula sebagai anggota dari satu keluarga inti (1997:105-106).

2. Peranan Sosial

Konsep peranan selalu terkait dengan manusia, dimana pelaku-pelaku peranan-peranan sosial itu adalah manusia. Setiap individu atau manusia didalam ruang sosial mempunyai beberapa status misalnya sebagai seorang ayah, ibu, anak dan sebagainya. Tiap individu tersebut berperan sesuai dengan status yang dimilikinya, dalam situasi tertentu status dengan peranan mempunyai hubungan yang sangat erat sekali, yaitu dimana status tidak akan ada tanpa adanya peranan dan begitu juga peranan tidak akan ada tanpa adanya status, dengan demikian status dan peranan tidak dapat dipisahkan. Konsep peranan tidak bisa dilepaskan


(32)

dari konsep status. Peranan adalah pola perilaku yang diharapkan dari seseorang yang memiliki status (Pelly 1997: 91).

3. Nilai Budaya

Menurut Koenjaraningrat (1987:85), nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam fikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki seseorang mempengaruhinya dalam menentukan alternatif, cara-cara, alat-alat, dan tujuan-tujuan perbuatan yang tersedia (Basrowi, 2005:80).

4. Anak

Anak adalah semua yang lahir dari seorang ibu, atau wanita sebagai hasil konsepsi antara suami istri yang biasanya melalui suatu bentuk perkawinan yang sah menurut adat dan hukum (Zulkarnain, 1995:23).

5. Sosialisasi

Sosialisasi adalah proses mempelajari norma-norma, nilai, peran dan semua persyaratan lainnya yang diperlukan untuk memungkinkan partisipasi yang efektif bagi seseorang dalam kehidupan sosialnya. Biasanya proses ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama yakni dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Sosialisasi ini bisa dibagi lagi atas dua


(33)

bagian, yaitu sosialisasi sekunder dan sosialisasi primer. Sosialisasi primer adalah sosialisasi yang paling mendasar, dimana hal ini pertama sekali diperoleh melalui keluarga, sedangkan sosialisasi sekunder adalah yang terjadi setelah sosialisasi primer. Hal ini akan diperoleh melalui pergaulan dengan masyarakat yang lebih luas (di luar keluarga) (Zulkarnain, 1995:23).

5. Rakut Sitelu/Daliken Sitelu

Secara kata demi kata rakut sitelu/daliken sitelu berarti “tungku yang tiga”. Kalau kita hendak memasak sesuatu dalam periuk maka haruslah periuk tersebut diletakkan di atas sesuatu tungku yang berkakaki tiga. Jika kaki tungku tersebut kurang dari tiga, maka pasti periuk itu jatuh, pecah dan niat untuk ,memasak akan menemui kegagalan.

Pada masyarakat Karo, segala hubungan kekerabatan, baik berdasarkan pertalian darah maupun karena hubungan perkawinan, dapat kita kelompokkan ke dalam tiga jenis kekerabatan yaitu: senina, anak beru, dan kalimbubu. Ketiga jenis kekerabatan ini biasa disebut dengan istilah rakut sitelu/daliken sitelu “tungku yang (berkaki) tiga” atau telu sendalanen “tiga sejalan”, “tri tunggal” ataupun sangkep si telu “tiga yang lengkap atau tri tunggal” (Guntur, 1988:15-16).

6. Senina

Senina/sukut sembuyak dimaksudkan dalam sukut itu termasuk sembuyak dan senina. Sembuyak artinya saudara kandung; satu perut


(34)

dalam satu ayah dan satu ibu. Senina artinya saudara, karena satu nenek, dalam hal ini dari pihak ayah. Lebih jauh ada pula senina (saudara) dalam hubungan lain, dimana saudara tersebut telah diluar jalur garis keturunan dalam suatu kelompok. Dapat terjadi atas adanya hubungan keluarga dari ibu, dari istri, dan dari anak (Sempa, 1996:41).

7. Anak Beru

Anak beru ialah pihak keluarga laki-laki yang kawin atau mengambil anak perempuan suatu keluarga. Contohnya, keluarga A kawin dengan anak perempuan keluarga B, maka keluarga A menjadi anak beru keluarga B. Padahal sebelumnya keluarga B tentu telah memiliki anak beru secara berjenjang atau menurut tingkatan (Sempa, 1996:43).

8. Kalimbubu

Kalimbubu ialah pihak keluarga perempuan yang dikawini. Dalam hal ini bila pihak kita kawin dengan seorang perempuan, maka keluarga pihak perempuan itu adalah kalimbubu kita. Disebabkan adanya perkawinan tersebut maka nenek, ayah dan anak-anaknya semua telah masuk jadi golongan kalimbubu (Sempa, 1996:42).


(35)

G. Metodologi Penelitian 1. Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif mengenai peranan anak perempuan dalam keluarga pada masyarakat etnik Karo di desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo.

Metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif digunakan untuk mendapatkan gambaran mendalam bagaimana peranan anak perempuan dan anak laki-laki dalam keluarga, bagaimana proses pendidikan dan pengajaran yang diberikan orangtua terhadap anak perempuan dan anak laki-laki serta mendeskripsikan atau menggambarkan bagaimana akibat pendidikan dan pengajaran yang diberikan orangtua terhadap anak perempuan dan anak laki-laki dalam keluarga pada masyarakat etnik Karo.

2. Tehnik Pengumpulan Data

Teknik penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teknik wawancara dan observasi partisipasi. Wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai peranan anak perempuan dan anak laki-laki dalam keluarga, bagaimana cara pendidikan dan pengajaran yang diberikan orangtua terhadap anak perempuan dan anak laki-laki, serta bagaimana akibat pendidikan dan pengajaran yang diberikan orangtua terhadap anak perempuan dan anak laki-laki. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara sebagai acuan dan dibantu


(36)

alat tulis untuk mencatat hasil wawancara dan menggunakan alat perekam seperti tape rocorder untuk merekam hasil wawancara sehingga menghindari kelupaan peneliti dalam menulis laporan nantinya, tentunya dengan seijin informan.

Sebagai informan, peneliti tidak membatasinya tergantung dari data yang telah didapat, jika data yang dibutuhkan kurang maka peneliti akan melakukan penelitian kembali untuk melengkapinya. Informan disini adalah penduduk desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo. Namun disini peneliti mengadakan pengkategorian informan menjadi tiga kategori yaitu informan pangkal, informan kunci, dan informan biasa.

Informan pangkal dalam penelitian ini adalah kepala desa. Peneliti memilih kepala desa sebagai informan pangkal karena beranggapan bahwa kepala desa lebih tahu siapa-siapa saja atau keluarga-keluarga siapa saja yang memiliki anak perempuan dan anak laki-laki dan mengetahui siapa-siapa saja yang bersuku /etnik Karo. Peneliti juga beranggapan bahwa kepala desa memiliki kartu keluarga dari setiap keluarga yang ada di desa Lingga tersebut. Dari sini nantinya peneliti mengadakan pengkategorian informan kunci.

Dalam penelitian tidak hanya dibutuhkan informan pangkal saja tetapi informan kunci juga. Informan kunci adalah pihak-pihak atau keluarga yang mempunyai anak laki-laki dan anak perempuan. Dari informan kunci ini akan diperoleh informasi yang lebih jelas tentang bagaimana peranan anak perempuan dan anak laki-laki dalam keluarga,


(37)

bagaimana pendidikan dan pengajaran yang diberikan orangtua terhadap anak perempuan dan anak laki-laki serta bagaimana akibat pendidikan dan pengajaran yang diberikan orangtua terhadap anak perempuan dan anak laki-laki. Peneliti mengadakan pengkategorisasian pertumbuhan anak dalam dua kategori yaitu yang berusia 6-12 tahun dan 12-18 tahun. Karena menurut Papalia dan Old dalam Hawadi usia 6-12 tahun dikenal pula sebagai masa sekolah. Anak-anak telah mampu menerima pendidikan formal dan menyerap berbagai hal yang ada di lingkungannya. Masa remaja yaitu usia 12-18 tahun, saat anak mencari indentitas dirinya dan banyak menghabiskan waktunya dengan teman sebayanya serta berupaya lepas dari kungkungan orang tua (2001: 3-4).

Selain informan pangkal dan informan kunci dalam penelitian ini juga dibutuhkan informan biasa. Informan biasa dapat diambil dari keluarga yang tidak memiliki anak perempuan atau sebaliknya tidak memiliki anak laki-laki. Informan ini diperlukan untuk mendapatkan informasi mengenai apa pengaruh tidak memiliki anak perempuan atau apa pengaruh tidak memiliki anak laki-laki.

Supaya deskripsi ini menjadi lebih jelas maka peneliti membuat life history dari dua informan yaitu satu yang mewakili usia 6-12 tahun dan yang satunya lagi mewakili usia 12-18 tahun. Salah satu yang mewakili informan usia 12-18 tahun harus berhenti sekolah karena alasan ekonomi, supaya saudaranya yang laki-laki tidak berhenti sekolah, selain itu ia juga harus menjaga adik-adiknya yang kecil di rumah agar orangtuanya tidak terganggu bekerja diladang. Sambil menjaga adiknya ia terpaksa


(38)

menyelesaikan pekerjaan rumahnya seperti menyuci, membersihkan rumah, memasak, agar ketika orangtuanya pulang dari ladang mereka hanya tinggal mandi dan makan malam. Jika sebagian pekerjaan rumah tidak selesai maka ia akan dimarahi orangtuanya.

Hal di atas juga hampir sama dengan yang dialami informan usia 6-12 tahun, sepulang dari sekolah ia terpaksa menyelesaikan semua pekerjaan rumah, setelah itu pergi keladang untuk mengambil sayur-sayuran untuk dijual di Jambur. Jambur ini biasanya digunakan masyarakat desa Lingga tersebut untuk tempat upacara adat seperti upacara perkawinan, upacara kematian, upacara masuk rumah baru, dan tempat-tempat musyawarah, namun untuk hari-hari biasa atau tepatnya pada sore hari digunakan tempat berjualan. Selesai dari berjualan anak tersebut langsung pulang dan memasak makan untuk malam hari. Jika anak ini bermain-main dan belum menyelesaikan pekerjaannya maka saudara laki-lakinya akan marah bahkan tidak segan-segan akan memukul saudara perempuannya. Adapun tujuan peneliti membuat life history ini adalah agar permasalahan gender atau pendiskriminasian terhadap anak perempuan pada masyarakat etnik Karo dapat di deskripsikan atau di gambarkan dengan jelas.

Selain wawancara penelitian ini juga akan menggunakan teknik observasi partisipasi untuk mendapatkan gambaran prilaku atau aktivitas-aktivitas anak perempuan di dalam keluarga, bagaimana prilaku orangtua terhadap anak perempuan dan anak laki-laki dalam keluarga dan gambaran tentang akibat pengajaran yang diberikan orangtua terhadap


(39)

anak perempuan dan anak laki-laki. Dalam hal ini, peneliti akan mencoba untuk menjadi bagian dari keluarga atau kelompok mereka, yakni dengan cara tinggal di lingkungan sekitar mereka sehingga kehadiran peneliti di dalam keluarga atau kelompok mereka tidak merasa terganggu. Disini peneliti akan ikut berpartisipasi yaitu bergabung dan membantu semua kegiatan yang dilakukan anak perempuan dalam keluarga, namun kegiatan ini hanya akan dilakukan selama tidak mengganggu kenyamanan daripada informan.

3. Analisa Data

Analisa data merupakan proses mengatur data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Dalam penelitian ini, data-data yang telah terkumpul kemudian diolah dan dianalisis secara kualitatif. Hal ini dilakukan agar data yang telah diperoleh lebih mudah untuk dibaca dan dipahami. Tahap pengolahan data meliputi: proses pemeriksaan dan pengendalian terhadap data yang dikumpulkan melalui observasi dan wawancara, selanjutnya data-data tersebut diklasifikasikan sesuai dengan bentuk-bentuk jawaban yang disusun dalam catatan lapangan, baru kemudian menuliskannya dalam bentuk deskripsi.


(40)

BAB II

GAMBARAN UMUM DESA

A. Gambaran Lokasi Penelitian 1. Sejarah Desa Lingga

Desa Lingga merupakan salah satu desa budaya yang terdapat di Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara. Sejarah desa Lingga tidak dapat terlepas dari adanya kerajaan Lingga yang asalnya dari keturunan Pak-Pak (Dairi) yang pertama ditempati di kuta Suah di lembah uruk Gungmbelin. Raja Sibayak Lingga yang diangkat menjadi raja berasal dari Pak-pak Dairi yaitu Desa Lingga Raja. Sebelum datang ke desa Lingga Sibayak ini pernah singgah atau sempat tinggal di desa Nodi. Setelah dari desa Nodi baru Raja Lingga (Sibayak) pindah ke desa Lingga yang awalnya bertempat di kuta Suah di lembah uruk Gungmbelin, namun desa Lingga pindah ke desa yang sekarang, di desa ini sangat sulit mendapatkan air minum.

Perkampungan Suah yang berada di lembah uruk Gungmbelin dulu sekarang dijadikan ladang atau tempat bercocok tanaman. Sejak Indonesia merdeka sistem pemerintahan yang dari Raja Sibayak Lingga berubah menjadi sistem pemerintahan yang seperti sekarang ini di mana pemilihan Kepala Desa tidak lagi berdasarkan keturunan Raja melainkan dengan cara pemilihan, sesuai dengan suara yang terbanyak. Raja Lingga (Sibayak), yang diangkat dulu adalah marga Sinulingga, dan penduduk desa Lingga sekarang masih kebanyakan marga Sinulingga, namun


(41)

keturunan raja dulu sudah banyak yang pergi keluar kota seperi Medan, Jakarta, dan Bandung. Keturunan raja Lingga hanya tinggal satu orang yang telah berusia 80 tahun, dan sekarang ia bertempat tinggal di rumah Raja Sibayak Lingga.

2. Letak Desa Lingga

Jarak desa Lingga dari ibukota kecamatan Simpang Empat lebik kurang 5 km, dari ibukota kabupaten Karo Kabanjahe yaitu lebih kurang 4,5 km. Desa Lingga terletak di dataran rendah dengan dikelilingi oleh desa lain yang merupakan daerah pertanian. Adapun batas-batas wilayah desa Lingga sebagai berikut :

• Sebelah utara berbatasan dengan desa Surbakti. • Sebelah selatan berbatasan dengan desa Kacaribu. • Sebelah timur berbatasan dengan desa Kaban.

• Sebelah barat berbatasan dengan desa Nang Belawan.

Luas keseluruhan desa Lingga adalah 16,24 km² yang terdiri dari areal pemukiman, ladang, hutan, jalan, dan lain-lain. Jika dibandingkan dengan desa-desa yang ada pada Kecamatan Simpang Empat yang terdiri dari 40 desa, desa Lingga merupakan desa yang paling luas.

3. Kondisi Lingkungan Alam

Desa Lingga terletak pada ketinggian 1300 m diatas permukaan laut jadi secara umum desa Lingga mempunyai permukaan yang datar, dimana temperatur udara didesa tersebut 18° C sampai dengan 23° C.


(42)

Namun demikian desa Lingga juga memiliki daerah perbukitan, daerah dataran rendah yang dijadikan sebagai temapat pemukiman dan bercocok tanam. Keadaan tahan di desa ini bisa dikatakan sangat subur sehingga cocok dijadikan sebagai lahan pertanian , hal ini terlihat dengan adanya tanaman yang terdapat disana seperti jeruk, cabe, jagung, kentang, kol, dan lain-lain. Luas tanah kering yang ditamanami tanaman seperti jeruk, cabe, jagung, kentang, kol, dan lain-lain sekitar 1.608 Ha.

4. Pola Pemukiman

Letak perumahan didesa Lingga kurang beraturan dan berlapis-lapis sehingga di Lingga Kuta terlihat padat sementara bila dilihat di bagian Lingga Baru sudah cukup beraturan yaitu sejajar mengikuti jalan raya, sebagian lagi bertumpuk sehingga jarak antara satu rumah dengan rumah yang lainnya hanya kira-kira 2 m.

Penduduk desa Lingga terdapat 2955 jiwa yang mempunyai 871 KK (kepala keluarga) yang masing-masing mempunyai tempat tinggal. Kondisi perumahan penduduk ditinjau dari segi bangunan maupun dari segi kesehatan sudah cukup baik, diantaranya adanya rumah yang permanen, semi permanen, papan dan ada juga tinggal di rumah kayu (hanya tinggal beberapa rumah saja). Sarana air bersih juga sudah didapatkan oleh penduduk desa tersebut, namun air PAM belum masuk hanya saja sebaian masyarakat setempat membuat sumur bor dan sebagiannya lagi pergi ke Tapin. Tapin ini merupakan sebuah tempat pemandian umum, yang bebas digunakan oleh masyarakat setempat.


(43)

Ketika rumah adat (rumah siwaluh jabu) masih banyak berdiri persebaran penduduk desa Lingga tergantung pada marga yang ia bawa misalnya rumah jahe, dihuni oleh marga Sinulingga, rumah gerga dihuni oleh marga Sinulingga, rumah bangun dihuni oleh marga Bangun, kesain tarigan dihuni oleh marga Tarigan dan lain-lain. Namun sejak rumah adat banyak yang runtuh dan masyarakat desa Lingga juga sudah membangun rumah masing-masing, maka persebaran penduduk berdasarkan lingkungan terdiri dari tiga lingkungan yakni, Rumah Lingga di mana perkampungan awal desa mulai di dirikan dan jumlah penduduknya cukup padat, yang kedua Lingga Baru di mana bangunan rumah mulai sejajar dengan jalan dan lebih teratur, namun jumlah penduduknya masih lebih padat rumah Lingga, dan yang ketiga yaitu Rumah Darat, yang hanya terdiri dari 50 (lima puluh) rumah tangga dan terletak di daerah jalan keluar desa. Dulunya daerah pemukiman penduduk ini adalah ladang, namun karena pemukiman penduduk daerah Rumah Lingga dan daerah Lingga Baru sudah padat maka pemukiman ditambahkan ke daerah Rumah Darat.


(44)

TABEL I

KLASIFIKASI BANGUNAN RUMAH DI DESA LINGGA

NO BENTUK RUMAH JUMLAH

1 SD Negeri 3

2 Gereja 3

3 Mesjid 1

4 Puskesmas BKAI 2

5 Rumah permanen 629

6 Semi permanen 137

7 Rumah kayu 26

jumlah 801

Sumber : Kantor Kecamatan Simpang Empat

Berdasarkan tabel I di atas menunjukkan bahwa segi bentuk perumahan, masyarakat suku Karo di desa Lingga sudah memadai, bahkan tidak sedikit mereka yang telah memiliki rumah permanen. Selain itu di desa Lingga ini juga masih terdapat beberapa bangunan rumah adat yang disebut masyarakat Karo Rumah Si Waluh Jabu. Rumah adat ini biasanya dihuni oleh 8 (delapan) keluarga, namun pada saat ini rumah ini hanya dihuni beberapa kepala keluarga saja. Dan kebanyakan keluarga yang menghuni rumah adat ini adalah keluarga yang kurang mampu atau yang berekonomi rendah. Karena bagi keluarga yang tinggal di rumah ini hanya cukup membayar atau menyewa rumah adat ini kepada marga/keluarga yang memiliki rumah adat tersebut sebesar


(45)

Rp50000-Rp75000 saja setahun. Di desa ini juga terdapat sebuah museum tempat penyimpanan barang-barang bersejarah. Bentuk bangunan meseum ini menyerupai bangunan rumah adat siwaluh jabu. Museum ini dijaga oleh satu keluarga, dan keadaan museum ini sangat mengkhawatirkan dimana masyarakat desa tersebut kurang memperhatikannya, dan orang-orang yang datang mengunjungi museum ini hanya diminta memasukkan uang sumbangan sesuka hati ke dalam kotak sumbangan untuk pembangunan museum tersebut, museum ini terletak dipinggir jalan jika kita mau keluar dari desa Lingga, kendaraan yang digunakan untuk menempuh tempat ini bisa digunakan kendaraan umum seperti Sigantangsira, jika kita berangkat dari kota Kabanjahe Ke desa Lingga hanya kena biaya ongkos Rp2000. Kendaraan umum Sigantangsira ini sampai ke desa Kurbakti yang melewati kota Berastagi, jika kita hendak mau ke desa Kurbakti dan kota Berastagi, kita tidak perlu lagi dua kali nyambung, sebelum kendaraan umum Sigantangsira ini masuk ke desa Lingga, kendaraan umum yang biasa digunakan masyarakat desa Lingga adalah Gaya Baru, namun kendaraan ini hanya sampai ke kota Kabanjahe saja, tapi sekarang kendaraan Gaya Baru sudah tidak ada lagi karena kendaraan ini dapat dikatakan kendaraan lama atau tua.


(46)

5. Keadaan Penduduk

Komposisi penduduk menurut jenis kelamin dapat dikemukakan tabel sebagai berikut :

TABEL II

KOMPOSISI PENDUDUK BERDASARKAN JENIS KELAMIN

NO JENIS KELAMIN FREKUENSI PERSENTASE

1 Pria 1456 49,28 %

2 Wanita 1499 50,72 %

Jumlah 2955 100,00 %

Sumber : Kantor Kecamatan Simpang Empat Tahun 2005

Sementara itu komposisi penduduk dilihat berdasarkan agamanya diperoleh tabel sebagai berikut :

TABEL III

KOMPOSISI PENDUDUK MENURUT AGAMA

NO AGAMA FREKUENSI PERSENTASE

1 Islam 196 KK 22,50 %

2 Kristen 651 KK 74,75 %

3 DLL 24 KK 2,75 %

Jumlah 871 KK 100,00 %


(47)

Dari frekuensi tabel III diatas menunjukkan bahwa komposisi berdasarkan agama didesa Lingga mayoritas agama Kristen dimana didesa ini terdapat 3 (tiga) bangunan gereja yakni GBKP (Gereja Batak Karo Protestan), Gereja Khatolik, dan GPDI (Gereja Pantekosta Di Indonesia). Didesa ini juga terdapat satu bangunan Mesjid, selain kedua agama ini di desa ini juga terdapat sebuah kepercayaan yang disebut oleh mayarakat desa Lingga agama Pemena, di mana agama ini merupakan kepercayaan awal yang menyembah arwah para leluhur, namun seiring perkembangan jaman agama ini lama kelamaan hilang, dan sekarang hanya tinggal beberapa rumah tangga saja yang percaya kepada agama ini. Hubungan antara satu agama dengan agama yang satunya dapat dikatakan harmonis di mana hal ini dapat kita lihat dari masih kuatnya sikap tolong menolong dalam mengerjakan pekerjaan diladang atau ketika satu keluarga mengalami kemalangan atau musibah.

Pendidikan merupakan unsur penting dalam kehidupan setiap orang. Pendidikan yang diperoleh seseorang khususnya pendidikan formal sangat besar pengaruhnya terhadap cara berpikir seseorang dalam menjalankan aktifitas hidupnya sehari-hari. Orang yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi umumnya memiliki pola berpikir yang lebih maju dibandingkan dengan orang yang memiliki pendidikan yang lebih rendah. Bila dilihat keadaan pendidikan berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat dalam tabel berikut :


(48)

TABEL IV

JUMLAH PENDUDUK MENURUT TINGKAT PENDIDIKAN

NO TINGKAT PENDIDIKAN FREKUENSI PERSENTASE

1 Belum sekolah 275 11,98%

2 Tidak tamat SD 188 8,20%

3 Sekolah Dasar 849 37,00%

4 SLTP/ Sederajat 464 20,21%

5 SMU/ Sederajat 453 19,74%

6 Perguruan Tinggi 66 2,87%

jumlah 2295 100,00%

Sumber : Kntor Kecamatan Simpang Empat

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa keadaan penduduk di desa Lingga dilihat dari tingkat pendidikan tergolong cukup baik bahkan terdapat 66 orang yang sampai kepada perguruan tinggi. Namun jika dibandingkan dengan keadaan jaman pada saat ini bisa dikatakan di desa ini masih sangat tertinggal dengan pendidikan di mana dapat kita lihat bahwa di desa ini hanya terdapat 3 (tiga ) bangunan Sekolah Dasar, dan itupun keadaannya dapat dikatakan kurang memadai. Sementara untuk tingkat yang lebih tinggi seperti sekolah lanjutan pertama (SLTP) dan sekolah menengah umum (SMU) masyarakat atau anak-anak pergi bersekolah di Kabanjahe ibukota kabupaten. Sedangkan untuk tingkat perguruan tinggi mereka umumnya menuntut ilmu di kota Medan dan kota lainnya.


(49)

Selain itu di desa ini juga masih terdapat anak-anak yang tidak mengecap atau merasakan pendidikan. Hal ini dikarena berbagai hal, ada yang memang tidak mau sekolah, ada karena alasan ekonomi yang rendah. Tetapi kebanyakan diakibatkan karena kurangnya kesadaran akan arti pentingnya pendidikan bagi kehidupan yang akan datang.

Secara umum kehidupan masyarakat didesa Lingga bersifat agraris. Hasil pertanian merupakan sumber penghidupan yang utama bagi kebanyakan penduduk tersebut. Hampir setiap orang ikut terlibat dalam usaha pertanian, bahkan tidak sedikit diantara mereka yang bertani sambil berdagang. Hasil dari pertanian seperti kentang, jagung, cabe, kol, jeruk dan lain-lain biasanya dibawa kepasar dan didagangkan di sana, tetapi ada sebagian dari mereka tidak membawanya kepasar tetapi dijual kepada agen dan harganya tentunya lebih murah. Biasanya hasil tanaman yang dijual kepada agen hanya yang sedikit tidak mencapai puluhan kilo karena menurut masyarakat desa Lingga jika dijual kepasar ongkosnya saja tidak kembali.

Selain bertani dan berdagang masyarakat desa lingga juga mempunyai pekerjaan lain yaitu membuat keranjang yang digunakan untuk tempat jeruk dikirim keluar kota, seperti ke Jakarta, Bandung, Lampung, dan lain-lain. Keranjang ini dibuat dari pohon bambu, dan kebanyakan yang mengerjakan pekerjaan ini adalah laki-laki, sementara perempuan kebanyakan beraktivitas bertani dan berdagang. Biasanya para perempuan yang bertani dipagi hari, setelah jam 3 (tiga) sore mereka


(50)

pergi berdagang ke pasar, dan setelah pukul 7 (tujuh) malam mereka baru kembali kerumah.

Didesa Lingga juga banyak yang bekerja di institusi-institusi baik itu negeri maupun swasta. Sebagian pegawai negeri yang ada di desa Lingga bekerja di kantor Kecamatan, kantor Bupati, guru baik itu guru negeri maupun swasta, puskesmas, dan lain-lain, dan yang bekerja di institusi-institusi swasta misalnya seperti pegawai rumah sakit, penjaga toko, penjaga wartel, penjaga konter pulsa, dan lain-lain. Biasanya pegawai-pegawai ini bekerja di ibu kota Kabupaten, berangkat pagi hari dan pulang pada sore hari, karena jarak dari kota Kabanjahe ke desa Lingga tidak jauh maka kebenyakan dari pegawai- pegawai ini pulang balik dari desa Lingga ke kota Kabanjahe.

Untuk lebih jelasnya berikut ini adalah tabel yang menunjukkan penduduk berdasarkan mata pencaharian.

TABEL V

KOMPOSISI PENDUDUK MENURUT MATA PENCAHARIAN NO MATA PENCAHARIAN FREKUENSI PERSENTASE

1 Bertani 1259 50,01%

2 Pedagang 659 26,20%

3 Pegawai Negeri/ Swasta 259 10,29%

4 DLL 340 13,50%

Jumlah 2517 100,00%


(51)

B. Sistem Organisasi Sosial

1. Sistem Organisasi Sosial Dan Sistem Kekerabatan

Apabila kita berbicara mengenai suatu masyarakat maka didalam masyarakat itu sendiri sudah pasti terdapat sistem organisasi sosial yang mengatur dan sebagai wadah interaksi sosial antara masyarakat itu sendiri.

Kesatuan sosial yang terkecildalam suatu masyarakat yaitu keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu, anaknya yang belum menikah yang disebut dengan “jabu” oleh masyarakat Karo. Di desa Lingga sebagai mana suku Karo misalnya seorang ayah dianggap sebagai pimpinan (kepala keluarga) dimana bertanggung jawab terhadap segala sesuatunya yang berhubungan dengan rumah tangga sementara peran perempuan sebagai ibu rumah tangga disamping mengasuh anak-anak juga ikut bekerja mencari nafkah di ladang ataupun bekerja ditempat yang lain, ini menunjukkan bahwa perempuan Karo khususnya di desa Lingga gigih dan tabah.

Namun apabila dilihat dari sistem organisasi sosial yang menikat hubungan kekerabatan satu dengan yang lain didesa Lingga dalam aktivitas setiap adanya upacara perkawinan dan juga dalam acara yang lain. Misalnya organisasi sosial yang terdapat di desa Lingga antara lain : organisasi sosial PKK, organisasi keagamaan, organisasi kepemudaan (karang taruna), dan lain-lain yang memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi masyarakat desa Lingga. Sistem kekerabatan yang terdapat dalam setiap masyarakat khususnya masyarakat Karo merupakan suatu


(52)

hal yang sangat penting dan tidak terpisahkan dari setiap kehidupan masyarakat Karo, fungsi dan tanggung jawab suatu keluarga (jabu) dengan keluarga lain.

Munculnya sistem kekerabatan dalam masyarakat Karo disebabkan terjadinya perkawinan antara marga yang satu dengan marga yang lain yang menghasilkan keturunan. Dimana setiap terbentuknya keluarga yang baru maka terjadilah sistem kekerabatan yang baru pula. Maka pihak keluarga laki-laki dalam suatu perkawinan dinamakan “anak beru" pihak perempuan. Sementara keluarga pihak perempuan disebut “kalimbubu” oleh pihak keluarga laki-laki. Dalam hal ini terjadi proses keluarga baru disamping adanya keluarga lamanya. Maka akhirnya timbullah sistem kekerabatan yang dikenal dengan istilah “sangkep nggeluh” atau “rakut sitelu".

Sangkep ngeluh berarti kelengkapan hidup. Sangkep ngeluh sering juga disebut ikatan rakut sitelu/daliken sitelu, artinya kelengkapan dari tiga unsur dalam keluarga. Sangkep nggeluh berfungsi menjadi wadah musyawarah sekaligus menjadi perangkatnya dalam kelompok keluarga tertentu yang bertindak sebagai sukut atau tuan rumah. Sangkep nggeluh tersebutlah membahas suatu rencana kerja menyangkut kegiatan dalam suatu kelompok keluarga. Apa yang dihasilkan sebagai putusan musyawarah, itulah yang dilaksanakan sebaik-baiknya, penuh tanggung jawab oleh pihak anak beru.


(53)

kalimbubu

senina ego anak beru

Pada masyarakat Karo, segala hubungan kekerabatan, baik berdasarkan pertalian darah maupun karena hubungan perkawinan dapat kita kelompokkan ke dalam tiga jenis kekerabatan yaitu kalimbubu, senina, anak beru. Ketiga janis kekerabatan itu biasa disebut dengan istilah daliken si telu “tungku yang berkaki tiga” atau telu sendalanen “tiga sejalan”, “tiga seiring”, “tri tunggal” ataupun sangkep si telu “tiga yang lengkap atau tri tunggal”. Setiap anggota masyarakat Karo berada diantara senina, anak beru, dan kalimbubu, selalu berada di atas daliken si telu.

Unsur-unsur sangkep nggeluh antara lain, senina, kalimbubu, anak beru. Senina artinya saudara, karena satu nenek, dalam hal ini dari pihak ayah. Dalam keluarga masyarakat etnis Karo senina terbagi lagi dalam beberap kelompok yaitu:

Senina Bapa, saudara karena ayah bersaudara kandung berarti satu nenek.

Senina Sembuyak Nini, saudara karena nenek bersaudara kandung, atau satu empung.

Senina Sembuyak Empung, saudara karena empung bersaudara kandung atau ayah empung satu.


(54)

Kalimbubu ialah pihak keluarga perempuan yang dikawini. Dalam hal ini bila pihak kita kawin dengan seorang perempuan, maka keluarga pihak perempuan itu adalah kalimbubu kita. Di sebabkan adanya perkawinan tersebut maka nenek, ayah dan anak-anaknya semua telah masuk jadi golongan kalimbubu. Dalam adat Karo kedudukan kalimbubu sangat dihormati, malah disebutkan dengan istilah “Dibata niIdah” artinya Tuhan yang dapat dilihat. Kalimbubu punya perbedaan dengan senina, karena kalimbubu dibedakan secara berjenjang mulai dari atas sampai kebawah. Oleh karena itu kalimbubu untuk setiap jenjang atau tingkat diberi namanya untuk membedakannya. Kalimbuu menurut jenjangnya sebagai berikut :

Kalimbubu Taneh disebut juga kalibubu simajek lulang, ialah kalimbubu yang termasuk pendiri kampung. Jadi dalam hal ini dikaitkan dengan sejarah dan seterusnya golongannya tetap dihargai dan dikenal dengan nama itu.

Kalimbubu Bena-bena, ialah kalimbubu setingkat empung, dalam hal ini termasuk saudara, anak dan keturunannya.

Kalimbubu Tua, ialah kalimbubu setingkat nenek, dalam hal ini termasuk saudara, anak dan cucunya.

Kalimbubu Simada Daerah, ialah kalimbubu setingkat ayah, termasuk bapak, saudaranya, anaknya.

Kalimbubu Iperdemui, ialah kalimbubu langsung karena anak perempuannya dikawini, dalam hal ini termasuk bapak bapaknya, saudara dan anaknya.


(55)

Puang Kalimbubu, ialah semua kalimbubu itu sendiri dengan berbagai tingkatannya.

Anak beru ialah pihak keluarga laki-laki yang menikah dengan anak perempuan suatu keluarga. Golongan anak beru sama dengan golongan kalimbubu dalam hal jenjang atau tingkatan derajat berdasarkan keturunan, oleh karena itu untuk anak beru juga diberi nama sesuai dengan jenjang/ tingkatnya untuk dapat membedakan satu dengan yang lain. Anak beru menurut jenjang dan tingkatannya sebagai berikut :

Anak Beru Taneh, ialah golongan anak beru yang ikut mendirikan suatu kampung.

Anak Beru Tua, ialah anak beru langsung dari empung.

Anak Beru Sincekuh Baka Tutup, ialah anak beru langsung dari ayah, dalam arti anak laki-laki dari saudara perempuan kandung ayah.

Anak Beru Menteri (menteri asal katanya minteri) yaitu anak beru dari anak beri itu sendiri.

Anak Beru Singikuri asal katanya singkuri yaitu anak beru dari anak beru menteri.

Adapun fungsi dan tugas dari ketiga unsur sangkep nggeluh pada masyarakat Karo tentunya berbeda satu sama lainnya tergantung pada siapa yang mengadakan pesta. Fungsi senina dalam kesatuan sangkep nggeluh tugasnya di sesuaikan dengan tugas sangkep nggeluh yaitu ikut bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan sebagai unsur sangkep baik dalam musyawarah maupun dalam kegiatan atau pelaksanaan suatu


(56)

pekerjaan, baik berat amaupun ringan. Fungsi kalimbubu dalam kesatuan sangkep nggeluh tugasnya disesuaikan dengan tugas-tugas sangkep nggeluh, dalam hal ini terutama sebagai penasehat, memberi arahan, menjaga keserasian, menunjukkan raa cinta kasih, menggugah semangat dan kepeloporan. Fungsi anak beru dalam kesatuan sangkep nggeluh tugasnya disesuaikan dengan tugas sangkep, yaitu memberi saran, memberi usul, memberi pendapat, dan menjalankan atau melaksanakan seluruh tugas berdasarkan hasil musyawarah sangkep nggeluh di dalam berbagai kegiatan adat, misalnya seperti membentangkan tikar untuk para undangan, menyediakan makanan, menyediakan rokok para kalimbubu, dan menyelesaikan semua tugas sampai acara adat selesai.

Dilihat sistem kekerabatan yang ada pada masyarakat Karo, bahwa kedudukan anak beru lebih rendah dari pada kedudukan senina dan kalimbubu. Biasanya anak beru, diambil dari perempuan dimana anak perempuan harus menghormati dan menghargai saudara laki-lakinya, karena saudara laki-laki ini merupakan kalimbubu yang harus dihargai dan dihormati, karena jika hati mereka tersinggung maka rejeki akan berkurang, mala petaka akan data seperti tidak mendapat keturunan.


(57)

2. Kesenian

Kesenian merupakan suatu kebanggan bagi setiap suku bangsa yang merupakan hal yang sangat penting didalam kehidupan seseorang. Misalnya masyarakat karo sejak jaman dahulu telah mengenal dan mengerti akan seni. Karena pada dasarnya setiap manusia memiliki rasa seni. Dalam berbagai hasil pekerjaan yang telah dilakukan oleh mereka tidaklah terlepas dari unsur seni sekalipun mereka belum memberikan penggolongan atau macam cabang seni.

Kenyataan dapat ditemui bahwa mereka telah mampu berkreasi sejak dulu dan hasilnya diwariskannya sampai sekarang antar lain pakaian, perhiasan, alat-alat rumah tangga sehari-hari, alat bekerja maupun alat pertanian, dan alat-alat kesenian. Adanya alat tersebut menunjukkan pada waktu dahulu mereka mapu memberikan perhatian dan mampu berkreasi dibidang kesenian. Selain dari pada itu mereka juga menunjukkan karya dibidang kegunaan bahasa Karo dalam berbagai bentuk seni bahasa, misalnya seperti mengenai vokalisasi dan seni suara.

Didalam masyarakat Karo di desa Lingga kesenian merupakan sesuatu yang sangat berarti bagi setiap masyarakat. Bahkan masyarakat Lingga masih melestarikan hasil seni nenek moyang mereka sampai sekarang seperti masih terawatnya rumag adat karo yang dapat ditemuai di desa ini. Selain dari pada itu Tari (landek) yang merupakan salah satu sarana dalam mengikuti suatu acara tertentu misalnya dalam acara kerja tahun (pesta tahunan), acara pesta bunga dan buah, atau acara perlombaan pada hari Kemerdekaan, hari Natal, selain untuk mengikuti


(58)

acara-acara perlombaan tari (landek) sering juga dilaksanakan misalnya pada acara memasuki rumah baru, pesta perkawinan. Tari dalam bahasa Karo disebut “landek”. Pola dasar dari tari Karo ialah: posisi tubuh, gerakan tangan, gerakan naik turun lutut (endek) disesuaikan dengan tempo gendang dan gerak kaki. Pola dasar tari itu harus pula ditambah variasi tertentu sehingga tarian tersebut menarik dan indah.


(59)

BAB III

NILAI ANAK PADA MASYARAKAT KARO DAN

PROSES SOSIALISASI DALAM KELUARGA KARO

A. Nilai Anak Pada Masyarakat Karo

Anak adalah seorang yang lahir dari seorang ibu atau wanita sebagai sebuah dari hasil hubungan seks suam istri. Suami maupun istri memiliki andil dalam pembentukan anak di dalam kandungan , masyarakat Karo menyebutnya “anak ibas bertin” (dalam rahim) di mana menurut pengertian masyarakat desa Lingga, wanita hanya mungkin dapat hamil bila telah berhubungan seks dengan laki-laki.

Manusia yang dilahirkan seorang wanita dikatakan sebagai anak si ipupusna (anak yang dilahirkannya) dan seorang wanita yang melahirkan disebut masyarakat Karo mupus. Dalam kehidupan sehari-hari orang juga menanyakan jumlah anak kepada orang tuanya (ayah-ibu) dengan kata “piga enggo pupusndu?” yang berarti “berapa anakmu?”. Pengertian kata mupus dalam hal ini adalah keturunan yang dilahirkan secara biologi.

Setiap pasangan suami istri idealnya mempunyai sejumlah anak yang diperoleh dari hasil hubungan seks. Sekarang, setiap pasangan laki-laki dan perempuan dewasa yang telah melangsungkan pernikahannya diharapkan secepatnya memperoleh anak. Pasangan yang memperoleh anak dengan cepat setelah pernikahan dikatakan mendapat rejeki dan bernasib baik. Diharapkan dalam jangka waktu 9 (sembilan) bulan sampai


(60)

2 (dua) tahun anak sudah lahir dalam sebuah keluarga baru. Bila telah melewati masa itu dan si perempuan belum juga menunjukkan tanda-tanda kehamilan maka keluarga dari kedua belah pihak begitupun para tetangga sudah mulai menggunjingkan mereka, dan pasangan suami istri tersebut akan berusaha mencari jalan agar mereka dapat segera memperoleh anak.

Bagi masyarakat desa Lingga (mungkin juga pada kebanyakan masyarakat lain di Indonesia), anak adalah kebanggaan yang tiada ternilai harganya. Banyak orang tua mengatakan kalau anak adalah harta bagi setiap keluarga. Dalam kehidupan sehari-hari tampak nyata bagaimana orang tua dengan tulus merawat, memperhatikan dan melindungi anaknya. Orang tua akan berupaya untuk dapat membuat anak mereka bahagia dan akan berusaha untuk menyekolahkan anak mereka agar kelak dalam hidupnya mereka dapat berhasil dan mengharumkan nama keluarga.

Seperti yang dikatakan Koenjaraningrat bahwa keluarga inti itu terdiri dari suami, istri dan anak-anak mereka yang belum menikah. Anak tiri dan anak secara resmi diangkat sebagai anak memiliki hak yang kurang lebih sama dengan anak kandung, dan karena itu dapat dianggap pula sebagai anggota dari suatu keluarga inti. Dan jika kita berbicara tentang keluarga tentu kita juga tidak terlepas dari rumah tangga. Di mana dengan menikah, sepasang suami istri membentuk suatu kesatuan sosial yang disebut rumah tangga, yaitu kesatuan yang mengurus ekonomi rumah tangganya (1998:105).


(61)

Koenjaraningrat mengatakan bahwa keluarga inti itu terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak mereka yang belum kawin. Dalam masyarakat Karo, khususnya masyarakat desa Lingga selalu mengharapkan kehadiran anak ditengah-tengah keluarganya, karena bagi masyarakat Karo khususnya masyarakat desa Lingga anak merupakan harta atau rejeki yang diberikan Tuhan kepada keluarga mereka. Bagi pasangan suami istri yang cepat mendapatkan anak setelah pernikahan dapat dikatakan bernasib baik, dan bagi pasangan suami istri yang belum mendapatkan anak setelah 2 (dua) tahun pernikahan akan terus berusaha yakni dengan cara pergi berobat baik berobat ke dokter/ rumah sakit ataupun pergi kedukun/ dengan cara pengobatan tradisional.

Bagi masyarakat desa Lingga memiliki anak laki-laki maupun anak perempuan itu sama saja karena bagi masyarakat desa Lingga anak merupakan rejeki atau pemberian dari Tuhan yang harus dijaga dengan baik. Namun sebagai penganut garis keturunan Patrilineal, masyarakat etnik Karo khususnya masyarakat desa Lingga tentu sangat mengharapkan kehadiran anak laki-laki. Anak laki-laki mempunyai nilai sosial yang sangat luas, terutama sebagai penerus silsilah orang tuanya, sehingga nilai anak laki-laki jauh lebih tinggi dari anak perempuan. Apabila suatu keluarga tidak memiliki anak laki-laki walaupun sudah memiliki anak perempuan, mereka tidak pernah merasa puas, dan selalu berusaha untuk mendapatkan anak laki-laki. Dan usaha untuk itu akan selalu dilakukan seperti: dengan memproduksi anak terus menerus, mengangkat anak saudara, ataupun dengan cara yang lainnya sejauh tidak


(62)

bertentangan dengan adat atau konteks budaya yang berlaku dalam masyarakat desa Lingga. Tapi jika usaha yang mereka lakukan tetap tidak berhasil atau tercapai, mereka akan berhenti, pasrah dengan keadaan.

Berbeda halnya apabila suatu keluarga tidak memiliki anak perempuan, beban pemikiran mereka tidak seberat kalau tidak memiliki anak laki-laki, karena anak perempuan nanti akan pergi meninggalkan keluarganya dan bergabung dengan keluarga suaminya. Jadi jelasnya apabila suatu keluarga tidak memiliki anak perempuan bukan merupakan suatu masalah besar dalam masyarakat desa Lingga, hanya saja anggota keluarga terasa kurang lengkap. Namun biasanya masyarakat desa Lingga juga akan tetap mengusahakan bagaimana caranya untuk dapat memiliki anak perempuan karena bagi masyarakat desa Lingga suatu keluarga yang dikatakan lengkap dan bahagia bila memiliki anak laki-laki dan anak perempuan. Masyarakat desa Lingga juga mengatakan “adi enggo lit anak dilaki, gelah lengkap idah lit ka min anak diberu, soalna anak diberu e nge sirusur ngurupi kami ijabu, asangken anak dilaki, adi anak dilaki sitehna dahinna muat gagaten lembuna saja sidebanne labo tehna sada dua ngenca si ngangkai dahin rumah, epe ngangkat lau inemen saja” (kalau sudah ada anak laki-laki, biar kelihatan lengkap anak perempuan juga harus ada dalam keluarga, karena hanya anak perempuanlah yang mau membantui kami orang tuanya di rumah, dibandingkan dengan anak laki-laki, kalau anak laki-laki taunya kerjaannya hanya mengambil makanan ternak lembunya saja yang lainnya tidak, hanya satu dua yang mau atau tau mengerjakan pekerjaan


(63)

rumah itupun hanya mengambil air minum saja) (Marianna br Ginting: 35 tahun).

1. Nilai Anak Dalam Budaya, Ekonomi, Sosial 1.1. Nilai Budaya

Bila dilihat secara budaya anak laki-laki dan anak perempuan selalu ada perbedaan di mana yang menjadi atau yang selalu dinomor duakan adalah anak perempuan dan yang dinomor satukan adalah anak laki-laki. Karena menurut masyarakat desa Lingga anak perempuan tidak dapat di depan disebabkan anak perempuan tidak dapat menjadi pemimpin atau tidak dapat memimpin suatu pesta. Hal ini dapat dilihat bila dalam mengambil suatu keputusan yang ditanya pendapatnya atau yang memberikan keputusan adalah anak laki-laki, karena anak laki-laki merupakan penerus marga dari ayahnya atau penerus keturunan ayahnya. Selain itu dalam adat juga yang selalu mengatur pesta adalah anak laki-laki contohnya saja anak beru tua, anak beru yang selalu mengatur pesta dalam rumah kalimbubu, tidak pernah ditemui bahwa anak perempuan yang menjadi anak beru tua selalu saja anak laki-laki, karena anak laki-laki dapat menjadi pemimpin atau memimpin suatu pesta biar berjalan dengan lancar. Walaupun secara adat anak perempuan tidak dapat di depan dalam suatu pesta adat, tetapi kalau anak perempuan tidak ada dalam suatu pesta adat tersebut maka pesta tidak akan berjalan dengan lancar. Kelancara pesta terjadi karena anak perempuan yang mengerjakan semua pekerjaan misalnya menyiapkan makanan untuk para


(1)

LIFE HISTORY

Mitra anak kedua dari tiga bersaudara, saudaranya yang pertama dan yang ketiga adalah laki-laki, oleh sebab itu ibunya selalu mengajarkan Mitra agar hormat dan menghargai saudara laki-lakinya karena kalau Mitra tidak menghormati dan menghargai saudara laki-lakinya maka ayahnya akan marah, bukannya hanya itu kedua orang tua Mitra akan digunjingkan oleh masyarakat karena anak-anak mereka tidak bisa rukun satu sama lainnya, selain itu Mitra selaku anak perempuan diharuskan mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyuci, mambersihkan rumah, dan mengambil air, setelah pekerjaan ini selesai ia harus ke ladang untuk membantu ibunya, jika di ladang ada sayur-sayuran yang mau dijual maka Mitra akan pulang duluan dari ladang untuk berjualan sayur-sayuran yang ia ambil tadi di “jambu”, dan hasil dari penjualannya ini ia berikan kepada ibunya, Note : I (6-12 tahun)

Nama : Mitra br Karo Usia : 11 tahun

Mitra seorang anak yang berusia 11 tahun, namun bila dilihat dari pekerjaan yang ia kerjakan kita tidak akan menduga kalau Mitra adalah anak yang berusia 11 tahun. Mitra hidup dalam keluarga yang berekonomi rendah, di mana ibunya bekerja sebagai petani, sedangkan ayahnya hanya mengasuh sapinya yang dua ekor, dalam membiayai kehidupan keluarga ibunya mencari sendiri, jikalaupun ayahnya mendapatkan uang tidak pernah diberikan ke rumah, ia pergunakan untuk keperluannya sendiri dan untuk berjudi.

Awal pernikahan orang tua Mitra disebabkan perjodohan, karena diiming-imingi pergi ke Jakarta, dan disana telah disediakan toko untuk usaha mereka makanya ibu Mitra mau menerima lamaran dari ayah Mitra, namun sejak perkawinannya ibu Mitra tidak penah mendapat biaya atau nafkah hidup dari suaminya yang ada malah uang ibu Mitra yang dicuri ayah Mitra ketika ia tidak memiliki uang.


(2)

namun terkadang diminta oleh ayahnya, dengan janji akan dikembalikan nanti menjadi dua kali lipat. Akibat pengajaran yang diberikan orang tua Mitra kepada anak-anaknya mengakibatkan saudara laki-laki Mitra yang paling besar sering menggangunya, mengejeknya, bahkan terkadang membuatnya sampai menangis, dan jika Mitra mengadu kepada ibunya, yang hanya dilakukan ibunya hanya mengatakan “jangan begitu nak sama saudara perempuanmu kan kasian dia, padahal dia yang menyuci bajumu, harusnya kau sayang padanya” namun bila Mitra melakukan kesalahan Mitra akan dimarahi bahkan terkadang dicubit sambil mengatakan “malu nak kalau anak perempuan tidak tahu pekerjaan rumah, bisa-bisa orang akan mengatakan kalau mamak tidak becus dalam mendidik anak”.

Melihat ayahnya yang mau memukul ibunya jika mereka bertengkar Mitra menjadi takut, dan kalau ia mau mengeluh tentang saudara laki-lakinya yang nakal, yang mau mengganggunya,ia tidak pernah berani kepada ayahnya takut kalau nanti ayahnya akan memukulnya, jadi ia hanya mengadu kepada ibunya. Jika pekerjaannya tidak selesai maka saudara laki-lakinya sering mengancam dengan mengatakan kalau nanti Mitra akan diadukan kepada ayahnya, dan kalau sudah demikian Mitra hanya bisa menangis.

Mitra dan keluarganya tinggal dalam rumah yang sederhana, tanah rumah yang mereka tinggali itu adalah harta warisan yang diberikan saudara laki-laki ibu Mitra, kalau keluarga dari ayah Mitra tidak peduli dengan kehidupan Mitra, seperti bagaimana ayahnya yang tidak mau tahu tentang biaya keluarganya (anak-anak dan istrinya). Sampai saat ini Mitra tetap melakukan rutinitas yang ia lakukan seperti biasa, karena kalau tidak ia lakukan maka yang kasihan adalah ibunya yang harus mengeluarkan uang lagi untuk jajannya dan kedua saudaranya, namun jika Mitra jualan sayur-sayuran maka ibunya tidak perlu lagi mengeluarkan uang dari kantongnya untuk jajan anak-anaknya, layaknya seorang anak yang seharusnya masih bermain-main dengan teman-temannya maka tidak jarang juga Mitra bermain-main sambil berjualan, biasanya ia bermain dengan anak-anak yang jualan juga, nah setelah pukul delapan malam ia


(3)

pulang dan sesampai di rumah, ia langsung lagi belajar mengerjakan PR yang diberikan gurunya di sekolah, kebetulan rumah Mitra tidak jauh dari

“jambur”, jadi ibunya tidak perlu menjemput ia pulang dari berjualan. Bila jualan Mitra tidak habis maka besok sorenya ia akan berjualan lagi.


(4)

GAMBAR 1.

GAMBAR 2.

GAMBAR 1, 2. Anak Perempuan Sedang Berjualan Sayur-Sayuran di Jambur Pada Sore Hari.


(5)

GAMBAR 3. Anak laki-laki Sedang Membuat Tutup Keranjang, Di Depan Halaman Rumahnya.

GAMBAR 4. Anak Perempuan Sedang Memasak Makanan Untuk Keluarganya.


(6)

GAMBAR 5.

GAMBAR 6.

Gambar 5, 6. Anak-anak Sedang Bermain-main Tampak Hanya Beberapa Saja Anak Perempuan Yang Ikut Bermain.


Dokumen yang terkait

Program Pemberdayaan Perempuan Kursus Wanita Karo Gereja Batak Karo Protestan (Kwk-Gbkp) Pada Perempuan Pengungsi Sinabung Kecamatan Payung Kabupaten Karo

2 51 132

KEBERADAAN MUSIK DALAM ACARA RITUAL PERUMAH BEGU PADA MASYARAKAT KARO DI DESA GAMBER KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN KARO.

1 8 22

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PELESTARIAN RUMAH ADAT KARO SEBAGAI CAGAR BUDAYA DI DESA LINGGA KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN KARO.

0 2 22

PROSES PELAKSANAAN UPACARA MENGANGKAT TULANG BELULANG (NGURKURI TULAN-TULAN) DALAM MASYARAKAT BATAK KARO DI DESA LINGGA KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN KARO.

0 2 15

Evaluasi Pengembalian Dana Pengembangan Usaha Agribisnis (PUAP) di Kecamatan Simpang Empat (Kasus: Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo)

0 0 14

Evaluasi Pengembalian Dana Pengembangan Usaha Agribisnis (PUAP) di Kecamatan Simpang Empat (Kasus: Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo)

1 2 1

Evaluasi Pengembalian Dana Pengembangan Usaha Agribisnis (PUAP) di Kecamatan Simpang Empat (Kasus: Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo)

0 0 6

Evaluasi Pengembalian Dana Pengembangan Usaha Agribisnis (PUAP) di Kecamatan Simpang Empat (Kasus: Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo)

1 1 23

Evaluasi Pengembalian Dana Pengembangan Usaha Agribisnis (PUAP) di Kecamatan Simpang Empat (Kasus: Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo)

0 0 3

KABUPATEN KARO( Studi Kasus : Desa Surbakti, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo)

0 3 11