Jika Agamawan Korup.doc 28KB Jun 13 2011 06:28:14 AM
Jika Agamawan Korup
Yusuf A.Hasan
Korup (corrupt) berarti "mengubah sesuatu yang baik menjadi buruk dalam hal akhlak, cara atau
perbuatan", "kelumpuhan secara moral, dan penyelewengan", "menjadi busuk, lapuk, buruk atau
tengik", atau "memasukkan sesuatu yang busuk dalam sesuatu yang asalnya bersih dan bagus".
Korupsi (corruption) berarti "lapuk", "kemasukan sesuatu yang merusak", atau "tidak murni".
Korup dan korupsi dapat mewujud —seperti iklan minuman— kapan saja, di mana saja, bahkan
pada siapa saja. Berbagai keburukan, kerusakan, kebusukan, ketengikan atau kelapukan moral;
mencampur antara yang hak dan batil, halal dengan haram, atau suka memakai barang (uang)
yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi),
termasuk penyelewengan atau penggelapan (uang negara, perusahaan, organisasi) untuk
keuntungan pribadi atau orang lain -yang semuanya dapat dikategorikan korupsi— bahkan bisa
dilakukan oleh elit agamawan. Termasuk dalam kalangan ini adalah ulama, pendeta, rahib, dai
atau mubaligh, takmir masjid serta pemimpin organisasi keagamaan.
QS al-Maaidah ayat 62-63 memperingatkan hal itu, "Dan kamu akan melihat kebanyakan dari
mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram.
Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka perbuat. Mengapa orang-orang alim mereka,
pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan
yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah
mereka kerjakan itu.
lbn Abbas, sebagaimana ditulis dalam al-Manaar, menilai ayat di atas sebagai peringatan Allah
yang "paling keras" dalam al-Qur'an yang sesungguhnya tidak dimaksudkan untuk ditujukan
kepada ulama dan para pendeta Yahudi saja. Elit agamawan yang sesungguhnya memiliki
kelebihan dalam pemahaman keagamaan, namun membiarkan kemungkaran terus berjalan,
apalagi terlibat di dalamnya, merupakan elit-elit yang berbahaya.
lbnu Jarir at-Thabari meriwayatkan dari lbnu Abbas r.a. bahwa ia berkata, "Dalam al-Qur'an
tidak ada satu ayat pun yang lebih keras dalam mengolok-olok daripada ayat ini."
Demikian pula Dhahak menyatakan, "Tidak ada di dalam al-Qur'an satu ayat yang lebih saya
khawatirkan daripada ayat ini, karena kita tidak bisa berhenti (melakukan)."
Berdasarkan informasi yang diterima dari Yahya bin Ya'mar, lbnu Abi Hatim mengisahkan bahwa
Ali bin Abi Thalib suatu ketika berkhutbah. Setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya, beliau
berkata, "Wahai manusia, sesungguhnya umat sebelum kamu itu hancur karena mereka berbuat
maksiat, sementara orang-orang alim dan para pendeta tidak melarang mereka dari kemaksiatan
itu. Ketika mereka terus-menerus asyik dalam kemaksiatan, mereka ditimpa siksa. Oleh karena
itu, perintahlah mereka berbuat kebajikan dan cegahlah mereka dari kemungkaran, sebelum
turun kepadamu siksa seperti yang pernah turun kepada mereka. Ketahuilah bahwasanya beramar
makruf nahi munkar itu tidak akan memutuskan rezeki dan tidak pula mendekatkan ajal."
Diamnya elit agamawan terhadap berbagai kemungkaran, bahkan keterlibatan mereka dalam
"ketengikan" moral akan menyebabkan marabahaya bagi masyarakat luas. Posisi dan peran elit
agamawan sebagai pelopor-penggerak amar ma'ruf nahi munkar menjadi mandul, dan
umat/masyarakat jelas akan kehilangan suluh kehidupan. Agama dimanfaatkan sebagai dasar
pembenaran atas berbagai penyelewengan yang mereka lakukan. Simbol-simbol dan praktekpraktek keagamaan dibiasakan menjadi cara dan alat melakukan korupsi terselubung. Maka bila
kepala ikan (para elit) telah membusuk, maka kebusukan akan segera menjalar ke bagian badan
(umat/masyarakat). Prinsip amar ma'ruf nahi munkar segera berubah menjadi amar munkar nahi
ma'ruf. Hal ini pernah disinyalir lbnu Muqaffa', seorang ahli sastra Arab di akhir pemerintahan
rezim Daulat Umayah. la menyatakan:
Apabila yang makruf sedikit (dibicarakan dan dipraktekkan), maka ia akan berubah (seakanakan) menjadi munkar. Namun apabila yang munkar disebarluaskan, maka ia akan berubah
(seakan-akan) menjadi ma'ruf.
Padahal seperti ditulis Hamka, amar ma'ruf dan nahi munkar adalah dua hal yang tidak mungkin
dipisahkan, karena keduanya memiliki kaitan erat. Tulisnya, "Agama datang menuntun manusia
dan memperkenalkan mana yang ma'ruf dan mana yang munkar. Sebab itu, maka ma'ruf dan
munkar itu tidaklah terpisah dan pendapat umum. Kalau ada orang berbuat ma'ruf, maka seluruh
masyarakat umumnya menyetujui, membenarkan dan memuji. Kalau ada perbuatan munkar,
seluruh masyarakat menolak, membenci dan tidak menyetujuinya. Sebab itu bertambah tinggi
kecerdasan beragama, bertambah kenal akan yang ma'ruf dan bertambah benci orang kepada
yang munkar."
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 15 2004
Yusuf A.Hasan
Korup (corrupt) berarti "mengubah sesuatu yang baik menjadi buruk dalam hal akhlak, cara atau
perbuatan", "kelumpuhan secara moral, dan penyelewengan", "menjadi busuk, lapuk, buruk atau
tengik", atau "memasukkan sesuatu yang busuk dalam sesuatu yang asalnya bersih dan bagus".
Korupsi (corruption) berarti "lapuk", "kemasukan sesuatu yang merusak", atau "tidak murni".
Korup dan korupsi dapat mewujud —seperti iklan minuman— kapan saja, di mana saja, bahkan
pada siapa saja. Berbagai keburukan, kerusakan, kebusukan, ketengikan atau kelapukan moral;
mencampur antara yang hak dan batil, halal dengan haram, atau suka memakai barang (uang)
yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi),
termasuk penyelewengan atau penggelapan (uang negara, perusahaan, organisasi) untuk
keuntungan pribadi atau orang lain -yang semuanya dapat dikategorikan korupsi— bahkan bisa
dilakukan oleh elit agamawan. Termasuk dalam kalangan ini adalah ulama, pendeta, rahib, dai
atau mubaligh, takmir masjid serta pemimpin organisasi keagamaan.
QS al-Maaidah ayat 62-63 memperingatkan hal itu, "Dan kamu akan melihat kebanyakan dari
mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram.
Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka perbuat. Mengapa orang-orang alim mereka,
pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan
yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah
mereka kerjakan itu.
lbn Abbas, sebagaimana ditulis dalam al-Manaar, menilai ayat di atas sebagai peringatan Allah
yang "paling keras" dalam al-Qur'an yang sesungguhnya tidak dimaksudkan untuk ditujukan
kepada ulama dan para pendeta Yahudi saja. Elit agamawan yang sesungguhnya memiliki
kelebihan dalam pemahaman keagamaan, namun membiarkan kemungkaran terus berjalan,
apalagi terlibat di dalamnya, merupakan elit-elit yang berbahaya.
lbnu Jarir at-Thabari meriwayatkan dari lbnu Abbas r.a. bahwa ia berkata, "Dalam al-Qur'an
tidak ada satu ayat pun yang lebih keras dalam mengolok-olok daripada ayat ini."
Demikian pula Dhahak menyatakan, "Tidak ada di dalam al-Qur'an satu ayat yang lebih saya
khawatirkan daripada ayat ini, karena kita tidak bisa berhenti (melakukan)."
Berdasarkan informasi yang diterima dari Yahya bin Ya'mar, lbnu Abi Hatim mengisahkan bahwa
Ali bin Abi Thalib suatu ketika berkhutbah. Setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya, beliau
berkata, "Wahai manusia, sesungguhnya umat sebelum kamu itu hancur karena mereka berbuat
maksiat, sementara orang-orang alim dan para pendeta tidak melarang mereka dari kemaksiatan
itu. Ketika mereka terus-menerus asyik dalam kemaksiatan, mereka ditimpa siksa. Oleh karena
itu, perintahlah mereka berbuat kebajikan dan cegahlah mereka dari kemungkaran, sebelum
turun kepadamu siksa seperti yang pernah turun kepada mereka. Ketahuilah bahwasanya beramar
makruf nahi munkar itu tidak akan memutuskan rezeki dan tidak pula mendekatkan ajal."
Diamnya elit agamawan terhadap berbagai kemungkaran, bahkan keterlibatan mereka dalam
"ketengikan" moral akan menyebabkan marabahaya bagi masyarakat luas. Posisi dan peran elit
agamawan sebagai pelopor-penggerak amar ma'ruf nahi munkar menjadi mandul, dan
umat/masyarakat jelas akan kehilangan suluh kehidupan. Agama dimanfaatkan sebagai dasar
pembenaran atas berbagai penyelewengan yang mereka lakukan. Simbol-simbol dan praktekpraktek keagamaan dibiasakan menjadi cara dan alat melakukan korupsi terselubung. Maka bila
kepala ikan (para elit) telah membusuk, maka kebusukan akan segera menjalar ke bagian badan
(umat/masyarakat). Prinsip amar ma'ruf nahi munkar segera berubah menjadi amar munkar nahi
ma'ruf. Hal ini pernah disinyalir lbnu Muqaffa', seorang ahli sastra Arab di akhir pemerintahan
rezim Daulat Umayah. la menyatakan:
Apabila yang makruf sedikit (dibicarakan dan dipraktekkan), maka ia akan berubah (seakanakan) menjadi munkar. Namun apabila yang munkar disebarluaskan, maka ia akan berubah
(seakan-akan) menjadi ma'ruf.
Padahal seperti ditulis Hamka, amar ma'ruf dan nahi munkar adalah dua hal yang tidak mungkin
dipisahkan, karena keduanya memiliki kaitan erat. Tulisnya, "Agama datang menuntun manusia
dan memperkenalkan mana yang ma'ruf dan mana yang munkar. Sebab itu, maka ma'ruf dan
munkar itu tidaklah terpisah dan pendapat umum. Kalau ada orang berbuat ma'ruf, maka seluruh
masyarakat umumnya menyetujui, membenarkan dan memuji. Kalau ada perbuatan munkar,
seluruh masyarakat menolak, membenci dan tidak menyetujuinya. Sebab itu bertambah tinggi
kecerdasan beragama, bertambah kenal akan yang ma'ruf dan bertambah benci orang kepada
yang munkar."
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 15 2004