PERBEDAAN PERILAKU ASERTIF SISWA DITINJAU DARI PERSEPSI TERHADAP POLA ASUH ORANG TUA DI SMPN 2 KREMBUNG SIDOARJO.

(1)

PERBEDAAN PERILAKU ASERTIF SISWA

DITINJAU DARI PERSEPSI TERHADAP POLA ASUH ORANG TUA DI SMPN 2 KREMBUNG SIDOARJO

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata

Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Siti Jumaroh B37211086

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL


(2)

i   

PERBEDAAN PERILAKU ASERTIF SISWA

DITINJAU DARI PERSEPSI TERHADAP POLA ASUH ORANG TUA DI SMPN 2 KREMBUNG SIDOARJO

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata

Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Siti Jumaroh B37211086

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2015


(3)

(4)

(5)

INTISARI

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan perilaku asertif siswa ditinjau dari persepsi terhadap pola asuh orang tua (otoritarian, menuruti, mengabaikan, dan otoritatif). Penelitian ini merupakan penelitian komparasi dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa skala perilaku asertif dan skala pola asuh orang tua. Subjek penelitian berjumlah 145 siswa dari jumlah populasi 288 siswa. Subjek dipilih dengan menggunakan metode cluster sampling. Data penelitian diolah dengan menggunakan uji statistik non-parametrik yaitu uji Kruskal-Wallis dan uji Mann-Whitney U . Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan perilaku asertif siswa ditinjau dari persepsi terhadap pola asuh orang tua (otoritarian, menuruti, mengabaikan, dan otoritatif) (Sig 0,000 < 0,05). Subjek dengan pola asuh otoritatif lebih asertif daripada subjek dengan pola asuh otoritarian, menuruti, dan mengabaikan. (Mean Rank = 87,32).

Kata Kunci: Pola Asuh, Otoritarian, Menuruti, Mengabaikan, Otoritatif, dan Perilaku Asertif


(6)

ABSTRACT

The aim of this study is to determine the differences of student’s assertive behavior in terms of perceptions of parenting (authoritarian, permissive, uninvolved, authoritative). The data collection technique of this comparison study is the form assertive behavior scale and the scale of parenting. The subjects in this study are 145 students of 288 total population. Subjects were selected using cluster sampling method. Data were analyzed using non-parametric statistical tests are Kruskal-Wallis and Mann-Whitney U test. The results showed that there were differences in assertive behavior of students in terms of perceptions of parenting (authoritarian, permissive, uninvolved, authoritative) (Sig 0,000 < 0.05). Subjects with authoritative parenting is more assertive than subjects with authoritarian parenting, permissive, uninvolved. (Mean Rank = 87.32 ).

Keywords : Parenting, Authoritarian, Permissive, Uninvolved, Authoritative, and Assertive Behavior


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

INTISARI ... xi

ABSTRACT... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian... 10

D. Manfaat Penelitian... 11

E. Keaslian Penelitian ... 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Asertif ... 16

1. Pengertian Perilaku Asertif ... 16

2. Aspek-aspek Perilaku Asertif... 20

3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku Asertif... 23

B. Persepsi ... 25

1. Pengertian Persepsi ... 25

2. Proses Persepsi ... 27

3. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Persepsi ... 28

C. Pola Asuh Orang Tua ... 29

1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua... 29

2. Macam-macam Pola Asuh ... 32

D. Perbedaan Perilaku Asertif Siswa ditinjau dari Persepsi terhadap Pola Asuh Orang Tua ... 36

E. Kerangka Teoritis... 39

F. Hipotesis... 43

BAB III METODE PENELITIAN A. Variabel dan Definisi Operasional ... 44

1. Variabel ... 44

2. Definisi Operasional... 44

B. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling... 45

1. Populasi ... 45


(8)

D. Validitas dan Reliabilitas ... 52

1. Validitas ... 52

2. Reliabilitas ... 58

E. Analisis Data ... 59

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subjek 1. Profil SMP Negeri 2 Krembung Sidoarjo ... 60

B. Deskripsi dan Reliabilitas Data... 64

1. Deskripsi Subjek ... 64

2. Reliabilitas Data ... 67

C. Hasil ... 96

1. Uji Normalitas ... 96

2. Uji Kruskal-Wallis ... 70

3. Uji Mann-Whitney U ... 71

D. Pembahasan... 75

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 78

B. Saran... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 81 vii


(9)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada kehidupan sehari-hari manusia pasti mengalami berbagai macam peristiwa. Masing-masing individu akan memberikan respon yang berdeda antara satu dengan yang lainnya dalam menghadapi peristiwa tersebut. Seseorang tidak akan lepas dari hubungan antar pribadi dengan orang lain baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Dalam berhubungan dengan orang lain seseorang pasti mengalami perbedaan pendapat dan karena suatu hal seseorang juga pernah mendapat respon yang kurang baik dari orang lain. Hal tersebut dapat membuat seseorang bersifat agresif dan kurang bisa mengendalikan emosi, hal tersebut juga bisa menimbulkan tekanan yang menyebabkan seseorang susah untuk bersosialisasi dengan baik terhadap orang lain.

Kesulitan di atas juga dirasakan oleh siswa pada umumnya dalam bersosialisasi dengan orang lain, baik itu keluarga, teman, ataupun guru di sekolah. Siswa kurang dapat mengekspresikan diri, menerima umpan balik, menyampaikan kritik, menghargai hak dan kewajiban; kurang bisa mengendalikan emosi dan agresivitas serta tidak dapat mengatasi masalah dan konflik dengan baik, hal itu berkaitan erat dengan asertivitas.

Menurut Stein dan Howard (2002) Asertif atau asertivitas berasal dari bahasa inggris “to assert”, yang diartikan sebagai ungkapan sikap positif, yang dinyatakan dengan tegas dan terus terang. Perilaku asertif berarti kemampuan


(10)

2

seseorang untuk berkomunikasi dengan jelas, sekaligus tetap peka terhadap kebutuhan orang lain dan reaksi dalam setiap peristiwa. Perilaku asertif juga berarti kemampuan untuk tidak sependapat dengan orang lain tanpa menggunakan manipulasi dan alasan yang emosional, dan mampu bertahan di jalur yang benar, yaitu mempertahankan pendapat dengan tetap menghormati pendapat orang lain (Miasari, 2012).

Menurut Widjaja dan Wulan (1998 dalam Marini dan Andriani, 2005) perilaku asertif lebih adaptif daripada perilaku pasif atau perilaku agresif. Perilaku asertif menimbulkan harga diri yang tinggi dan hubungan interpersonal yang memuaskan karena memungkinkan orang untuk mengemukakan apa yang diinginkan secara langsung dan jelas sehingga menimbulkan rasa senang dalam diri pribadi dan orang lain. siswa perlu berperilaku asertif agar dapat mengurangi stres ataupun konflik yang dialami sehingga tidak melarikan diri ke hal-hal negatif.

Perilaku asertif adalah perilaku bersifat aktif, langsung, dan jujur. Perilaku ini mampu mengkomunikasikan kesan respek kepada diri sendiri dan orang lain sehingga dapat memandang keinginan, kebutuhan, dan hak kita sama dengan keinginan, kebutuhan dan hak orang lain atau bisa di artikan juga sebagai gaya wajar yang tidak lebih dari sikap langsung, jujur, dan penuh dengan respek saat berinteraksi dengan orang lain (Lloyd, 1990).

Perilaku asertif adalah perilaku antar perorangan yang melibatkan aspek kejujuran dan keterbukaan pikiran dan perasaan. Perilaku asertif ditandai oleh


(11)

3

kesesuaian sosial dan seseorang yang berperilaku asertif mempertimbangkan perasaan dan kesejahteraan orang lain (Gunarsa, 2012).

Pengertian atau makna perilaku asertif menurut Rini (2001) adalah suatu kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada orang lain namun tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan pihak lain. Orang-orang yang tidak asertif biasanya pemalu, tertutup, dan tidak dapat menyatakan keinginannya. Seseorang selalu mengerjakan apa yang disukai dan diperintahkan oleh orang lain tanpa banyak bertanya dan tanpa memperhatikan mana yang terbaik untuk dirinya sendiri. Orang yang tidak asertif biasanya cemas dalam situasi sosial dan mempunyai harga diri yang cenderung rendah (Devito, 1990, dalam Rosa, 2012).

Ekowarni (2002) menyatakan bahwa penyebab para remaja terjerumus ke hal-hal negatif seperti narkoba, tawuran, dan seks bebas, salah satunya disebabkan karena kepribadian yang lemah. Cirinya antara lain: daya tahan terhadap tekanan dan tegangan rendah, harga diri yang rendah, kurang bisa mengekspresikan diri, menerima umpan balik, menyampaikan kritik, menghargai hak dan kewajiban, kurang bisa mengendalikan emosi dan agresivitas serta tidak dapat mengatasi masalah dan konflik dengan baik, yang erat kaitannya dengan asertivitas. Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Family & Consumer di Ohio, AS (dalam Utami, 2002) yang menunjukkan fakta bahwa kebiasaan merokok, penggunaan alkohol, napza serta hubungan seksual berkaitan dengan ketidakmampuan remaja untuk bersikap asertif (Marini dan Andriani, 2005).


(12)

4

Penelitian yang dilakukan oleh Setiono dan Pramadi (2005) mengemukakan bahwa permasalahan yang sering menjadi keluhan tenaga pengajar adalah kurangnya keberanian siswa untuk mengemukakan pendapat di dalam kelas, kurangnya keaktifan dan inisiatif dalam kegiatan ekstra kurikuler di sekolah (Pratiwi, 2015).

Survai di kota besar di Indonesia, yakni di Jakarta, Bekasi, Medan yang dilakukan oleh Aditama sebagai bagian dari survai WHO dan CDC (Atlanta) dan juga diselenggarakan lebih dari 100 negara di dunia, diperoleh data bahwa di Bekasi terdapat angka 33 persen murid SMP pernah merokok dan 20,9 persen saat ini masih merokok. Di Medan, sebanyak 34,9 persen murid SMP pernah merokok dan 20,9 persen saat ini masih merokok. Angka-angka tersebut termasuk tinggi bila dibandingkan dengan yang hanya 20 persen, India dan Bangladesh yang angkanya di bawah 10 persen. Lebih lanjut diketahui bahwa di Jakarta menunjukkan sebanyak 64,8% dan 9,8% wanita dengan usia di atas 13 tahun adalah perokok. Bahkan pada kelompok remaja sebanyak 49% pelajar pria dan 8,8% wanita di Jakarta sudah merokok (Budi, 2006).

Di Indonesia banyak remaja yang merokok di sana sini, fenomena ini bukan lagi pemandangan asing. Jumlah perokok di Indonesia semakin meningkat, terutama para remaja, bahkan diketahui anak yang masih duduk di kelas 4 SD sudah banyak yang merokok. Secara keseluruhan, Indonesia menempati peringkat lima sebagai jumlah perokok paling banyak di dunia, yang berada di bawah Cina, AS, Jeoang, serta Rusia. Padahal di kemasan rokok sendiri sudah ada peringatan tentang bahaya merokok, namun tetap saja banyak para remaja yang merokok.


(13)

5

Menurut Laventhal dan Clearly ada beberapa faktor penyebab seseorang menjadi perokok, salah satunya adalah alasan sosial yang mana seseorang merokok untuk mengikuti kebiasaan kelompok, biasanya para remaja mengikuti kelompoknya dengan kebiasaan merokok (beritaaktual.com)

Hasil dari wawancara dan observasi (04 Desember 2014) terhadap beberapa siswa di SMP Negeri 2 Krembung, masih banyak siswa yang kurang berani mengungkapkan pendapat secara langsung, terutama saat mata pelajaran berlangsung, apabila dari materi yang disampaikan oleh guru kurang difahami, siswa tidak berani menanyakannya, padahal guru sudah memberi kesempatan untuk bertanya. para siswa lebih memilih diam dan setuju daripada bertanya. Ada juga beberapa siswa yang tidak berani bertanya langsung dan menyuruh temannya untuk bertanya kepada guru.

Menurut Willis dan Daisley (1995) bahwa perilaku asertif merupakan suatu bentuk perilaku dan bukan merupakan sifat kepribadian seseorang yang dibawa sejak lahir, sehingga dapat dipelajari meskipun pola kebiasaan seseorang memengaruhi proses pembelajaran tersebut. Willis dan Daisley menegaskan bahwa semua orang dapat berperilaku agresif, pasif, ataupun asertif. Akan tetapi untuk berperilaku asertif, perlu dipelajari dan dilatih dibandingkan perilaku agresif dan pasif (Rakos, 1991, dalam Marini dan Andriani, 2005).

Ada beberapa faktor yang memengaruhi perilaku asertif, yaitu lingkungan keluarga, masyarakat, lembaga sosial, dan lembaga formal seperti sekolah. Namun, saat ini masih banyak siswa yang belum dapat bersikap asertif karena dalam keluarganya tidak dibiasakan sikap berbicara mengenai pendapat


(14)

6

maupun keinginannya. Banyak anggota keluarga yang memberikan larangan pada saat anak ingin mengutarakan pendapatnya dan menekankan bahwa orangtua adalah yang paling benar. Hal tersebut menyebabkan perkembangan perilaku asertif pada siswa menjadi terhambat. Siswa menjadi individu yang tidak mampu dan tidak berani untuk mengkomunikasikan segala kebutuhan, pendapat, dan keinginannya mengenai suatu hal (Alberti dan Emmons, 2002, dalam Miasari, 2012).

Prabana (1997) mengatakan bahwa kualitas perilaku asertif seseorang sangat dipengaruhi oleh pengalaman pada masa kanak-kanaknya. Pengalaman tersebut berupa interaksi dengan orang tua melalui pola asuh yang ada dalam keluarga yang menentukan pola respon seseorang dalam menghadapi berbagai masalah setelah menjadi dewasa kelak. Pola asuh orang tua merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi antara orang tua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak, (Marini dan Andriani, 2005).

Menurut Baumrind (1971, dalam Santrock, 2007) menyebutkan ada empat tipe pola asuh orang tua yaitu pengasuhan otoritarian, pengasuhan otoritatif (demokrasi), pengasuhan yang mengabaikan, pengasuhan yang menuruti. Pengasuhan otoritarian adalah gaya yang membatasi dan menghukum, dimana orang tua mendesak anak untuk mengikuti arahannya dan menghormati pekerjaan dan upaya yang dilakukan orang tua. Orang tua yang otoriter menerapkan batas dan kendali yang tegas pada anak dan meminimalisir perbedatan verbal. Pengasuhan Otoritatif (demokrasi) adalah mendorong anak untuk mandiri namun


(15)

7

masih menerapkan batasan dan kendali pada tindakan anak. Tindakan verbal memberi dan menerima dimungkinkan, orang tua bersikap hangat dan penyayang terhadap anak. Pengasuhan yang mengabaikan adalah gaya dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anak memiliki orang tua yang mengabaikan, anak merasa bahwa aspek lain kehidupan orang tua lebih penting daripada kehidupan anak. Pengasuhan yang menuruti adalah gaya pengasuhan dimana orang tua sangat terlibat dengan anak, namun tidak terlalu menuntut dan mengontrol anak. Orang tua macam ini membiarkan anak melakukan apa yang diinginkan.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Miasari (2012) menunjukkan adanya hubungan positif yang sangat signifikan antara komunikasi positif dalam keluarga dengan asertivitas, semakin tinggi komunikasi positif dalam keluarga pada siswa maka semakin tinggi asertivitasnya, sebaliknya semakin rendah komunikasi positif dalam keluarga pada siswa maka semakin rendah pula asertivitasnya. Menurut Alberti dan Emmons (2002, dalam Miasari, 2012) berpendapat bahwa orang yang asertif adalah orang yang mudah dipahami oleh orang lain dalam melakukan komunikasi interpersonal, merasa percaya diri, spontan, dan mampu tanpa rasa permusuhan dalam mengungkapkan perasaannya, serta hangat dalam berbicara.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Marini dan Andriani (2005) bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap remaja dengan pola asuh authoritative, authoritarian, permissive dan uninvolved. Remaja dengan pola asuh authoritative memiliki asertivitas yang tinggi, remaja dengan


(16)

8

pola asuh authoritarian memiliki asertivitas yang rendah, remaja dengan pola asuh permissive memiliki asertivitas yang rendah, remaja dengan pola asuh uninvolved juga memiliki asertivitas yang rendah. Penemuan ini didukung oleh (Prabana, 1997, dalam Marini dan Andriani, 2005) yang berpendapat bahwa kualitas perilaku asertif seseorang dipengaruhi oleh pengalaman yang berupa interaksi dengan orang tua melalui pola asuh yang diterapkan dalam keluarga, dan menentukan pola respon seseorang dalam menghadapi masalah.

Penelitian tersebut sejalan dengan teori Baumrind (dalam Dacey & kenny, 1997) yang mengatakan bahwa pola asuh authoritative lebih efektif dari ketiga pola asuh yang lain dalam pembentukan kepribadian anak. Dijelaskan bahwa anak yang diasuh dengan pola asuh authoritative akan menunjukkan perkembangan emosional, sosial dan kognitif yang positif. Anak akan menampilkan perilaku yang asertif, ramah, memiliki harga diri dan percaya diri yang tinggi, memiliki tujuan dan cita-cita, berprestasi, serta dapat mengatasi stres dengan baik. Hal ini dikarenakan orang tua yang authoritative membuat tuntutan yang sesuai dengan kematangan dan menetapkan batas-batas yang wajar. Pada saat yang sama orang tua menunjukkan kehangatan dan kasih sayang, mendengarkan keluhan anak dengan sabar dan anak diberi kesempatan untuk ikut serta dalam membuat keputusan.

Peranan orang tua sangat besar dalam mengembangkan potensi yang telah diberikan oleh Allah kepada setiap anaknya, agar anak tersebut tetap pada firah yang suci, maka Nabi Muhammad mengatakan dalam hadits:


(17)

9

ﮫ ﺎﺴﱢﺠ ﯾْوأ ﮫ اﺮﱢﺼ ﯾْوأ ﮫ ادﱢﻮﮭﯾ هاﻮ ﺄ , ةﺮْﻄ ْ ا ﻰ ﻋ ﺪ ْﻮﯾ ﱠﻻا دْﻮ ْﻮ ْ ﺎ ﺴ و ىرﺎﺨ ا هاور)

(ةﺮﯾﺮھ ﻰ ا ﻋ

Artinya : tiada anak manusia yang dilahirkan kecuali dengan kecenderungan alamiahnya (fitrah). Maka orang tuanya lah yang membuat anak manusia itu menjadi yahudi, nasrani, atau majusi (Nashif, jilid 2, dalam Najati, 2004).

Hadist di atas sesuai dengan aliran emprisme yang dipelopori oleh Jhon Locke (1632-1704) yang mengatakan bahwa: “Manusia itu sewaktu lahirnya adalah putih bersih, bagaikan tabularasa, menjadi apakah anak itu kelak sepenuhnya tergantung pada pengalaman-pengalaman yang akan mengisi tabularasa tersebut” (Sarwono, 1982).

Dinamika psikologi tersebut juga dikuatkan oleh Watson yang berpendapat bahwa seorang anak hanya sekedar sebuah papan tulis yang kosong. Jika seorang anak dibesarkan dengan baik dan tepat, anak tersebut akan berperilaku dengan baik dan tepat pula, karena kepribadian merupakan hasil dari lingkungannya (Friedman dan Schustack, 2006).

Berdasarkan uraian di atas, penelitian tentang “perbedaan perilaku asertif siswa ditinjau dari persepsi terhadap pola asuh orang tua di SMP Negeri 2 Krembung” menjadi penting untuk dilaksanakan.


(18)

10

B. Rumusan Masalah

1. Apakah terdapat perbedaan perilaku asertif siswa ditinjau dari pengasuhan otoritarian dengan pengasuhan yang menuruti?

2. Apakah terdapat perbedaan perilaku asertif siswa ditinjau dari pengasuhan yang mengabaikan dengan pengasuhan otoritatif (demokrasi)?

3. Apakah terdapat perbedaan perilaku asertif siswa ditinjau dari pengasuhan yang menuruti dengan pengasuhan otoritatif (demokrasi)? 4. Apakah terdapat perbedaan perilaku asertif siswa ditinjau dari

pengasuhan yang menuruti dengan yang mengabaikan?

5. Apakah terdapat perbedaan perilaku asertif siswa ditinjau dari pengasuhan otoritarian dengan pengasuhan otoritatif (demokrasi)?

6. Apakah terdapat perbedaan perilaku asertif siswa ditinjau dari pengasuhan otoritarian dengan mengabaikan?

7. Apakah terdapat perbedaan perilaku asertif siswa ditinjau dari pengasuhan otoritarian, pengasuhan otoritatif (demokrasi), pengasuhan yang mengabaikan dan pengasuhan yang menuruti?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui perbedaan perilaku asertif siswa ditinjau dari pengasuhan otoritarian dengan pengasuhan yang menuruti

2. Untuk mengetahui perbedaan perilaku asertif siswa ditinjau dari pengasuhan yang mengabaikan dengan pengasuhan otoritatif (demokrasi)


(19)

11

3. Untuk mengetahui perbedaan perilaku asertif siswa ditinjau dari pengasuhan yang menuruti dengan pengasuhan otoritatif (demokrasi) 4. Untuk mengetahui perbedaan perilaku asertif siswa ditinjau dari

pengasuhan yang menuruti dengan yang mengabaikan

5. Untuk mengetahui perbedaan perilaku asertif siswa ditinjau dari pengasuhan otoritarian dengan pengasuhan otoritatif (demokrasi)

6. Untuk mengetahui perbedaan perilaku asertif siswa ditinjau dari pengasuhan otoritarian dengan mengabaikan

7. Untuk mengetahui perbedaan perilaku asertif siswa ditinjau dari pengasuhan otoritarian, pengasuhan otoritatif (demokrasi), pengasuhan yang mengabaikan dan pengasuhan yang menuruti

D. Manfaat Penelitian

Ada pula manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi terhadap kajian psikologi pendidikan yang berkaitan denganperilaku asertif dan psikologi perkembangan yang berkaitan dengan pola asuh orang tua.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi para siswa untuk mengembangkan perilaku asertif dan bagi orang tua agar dapat memilih pola asuh yang baik dan tepat untuk anak anaknya.


(20)

12

E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh Rosa (2012) yang berjudul “Perilaku Asertif, Harga Diri dan Kecenderungan Depresi” dengan subyek penelitian 119 remaja yang berusia 18-21 tahun (remaja akhir). Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat korelasi negatif antara perilaku asertif dengan tingkat kecenderungan depresi. Semakin tinggi perilaku asertif maka tingkat kecenderungan depresi yang dimiliki akan semakin rendah, begitu pula sebaliknya. Hasil yang lain juga menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif antara harga diri dengan tingkat kecenderungan depresi. Semakin tinggi harga diri maka tingkat kecenderungan depresi yang dimiliki akan semakin rendah, begitu pula sebaliknya.

Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Novalia dan Dayakisni (2013) dengan judul “Perilaku Asertif dan Kecenderungan Menjadi Korban Bullying”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara perilaku asertif dengan kecenderungan menjadi korban bullying. Penelitian dilakukan terhadap 60 siswa MA NU Lekok Pasuruan. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara perilaku asertif dengan kecenderungan menjadi korban bullying pada siswa MA NU Lekok Pasuruan. Nilai koefisien dengan (r) = (-0,430), koefisien determinasi (r2) = 0,185 dan probabilitas kesalahan (p) = 0,001. Hal ini berarti semakin tinggi perilaku asertif siswa maka semakin rendah kecenderungan menjadi korban bullying, demikian juga sebaliknya, semakin rendah perilaku asertif maka semakin tinggi kecenderungan menjadi korban bullying.


(21)

13

Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Miasari (2012) yang berjudul “Hubungan Antara Komunikasi Positif dalam Keluarga dengan Asertivitas pada

Siswa SMP Negeri 2 Depok Yogyakarta”. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui hubungan antara komunikasi positif dalam keluarga dengan asertivitas pada siswa SMP Negeri 2 Depok. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Negeri 2 Depok yang tinggal bersama dengan anggota keluarga yang merupakan keluarga inti, yaitu kedua orangtua dan saudara kandung.. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara komunikasi positif dalam keluarga dengan asertivitas siswa SMP Negeri 2 Depok. Semakin tinggi komunikasi positif yang terjalin dalam keluarga maka semakin tinggi asertivitas yang dimiliki siswa, sebaliknya semakin rendah komunikasi positif yang terjalin dalam keluarga maka semakin rendah pula asertivitas yang dimiliki oleh siswa.

Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Falentin danYulianti (2012) dengan judul “Asertivitas Terhadap Pengungkapan Emosi Marah pada Remaja”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara empirik asertivitas terhadap pengungkapan emosi marah pada remaja. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Muhammadiyah 1 Pekanbaru yang berjumlah 174 siswa. Hasil ini membuktikan bahwa hipotesis diterima, yaitu ada korelasi yang signifikan antara asertivitas terhadap pengungkapan emosi marah pada remaja. Persamaan garis regresinya yaitu Y = 53,953 + (-0,207)X, yang berarti setiap kali variabel asertivitas (X) bertambah satu, maka rata-rata variabel pengungkapan emosi marah (Y) menurun sebesar 0,207.


(22)

14

Hasil dari penelitian lain yang dilakukan oleh Safitri dan Hidayati (2013) yakni dengan judul “Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua dengan Tingkat

Depresi Remaja di SMK 10 November Semarang”. Tujuan penelitian adalah

mengetahui hubungan antara pola asuh orang tua dengan tingkat depresi pada remaja di SMK 10 Nopember Semarang. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMK 10 Nopember Semarang kelas X yang berjumlah 130 anak dengan total populasi. Hasil penelitian didapatkan bahwa pola asuh orang tua sebagian besar demokratis (63,8%), yang otoriter sebanyak 6,9% dan yang permisif sebanyak 0,8%, depresi yang dialami responden sebagian besar kategori ringan (80,0%). Terdapat hubungan yang bermakna antara pola asuh orang tua dengan tingkat depresi siswa (p=0,000). Berdasarkan hasil tersebut orang tua diharapkan dapat menerapkan bentuk pola asuh yang tepat sehingga anak tidak mengalami depresi.

Dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Marini dan Andriani dengan judul “Perbedaan Asertivitas Remaja ditinjau dari Pola Asuh Orang tua”. Adapun Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan asertivitas remaja ditinjau dari pola asuh orang tua. Perilaku asertif remaja diperlukan untuk menghadapi kuatnya pengaruh teman sebaya. Subjek penelitian adalah remaja madya berusia15-18 tahun sebanyak 100 orang yang merupakan siswa-siswi SMUN 1 Medan yang masih memiliki orang tua lengkap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan dalam asertivitas remaja ditinjau dari pola asuh orang tua (F=2.951, p<0.05), subjek dengan pola


(23)

15

asuh Authoritative lebih asertif daripada subjek dengan pola asuh Authoritarian, Permissive dan Uninvolved (mean = 115.727 Sd = 7.492).

Pada penelitian tersebut ditemukan variabel yang sama yaitu perilaku asertif (asertivitas) dan pola asuh orang tua. Namun penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan peneliti kali ini, perbedaan tersebut terletak pada subjek yang akan diteliti, teori yang dijadikan acuan, syarat orang tua harus lengkap, dan tema penelitiannya serta prospek yang akan diteliti.

Pada penelitian kami ini akan membahas tentang perbedaan perilaku asertif siswa ditinjau dari pola asuh orang tua di SMP Negeri 2 Krembung. Variabel penelitian ini adalah pola asuh orang tua dan perilaku asertif. Metode penelitian yang akan dilakukan adalah kuantitatif dengan metode komparasi dengan analisis statistik. Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yang telah ada adalah subjek penelitian ini adalah siswa yang sekolah di SMP, sedangkan subyek pada penelitian sebelumnya dilakukan pada siswa SMU yang berusia antara 15-18 tahun saja, subyek juga harus memiliki orang tua lengkap (ayah & ibu). Selain itu teknik pemilihan sampel dalam penelitian ini juga berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini menggunakan cluster sampling sedang penelitian terdahulu menggunakan teknik purposive sampling.


(24)

16

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Perilaku Asertif

1. Pengertian Perilaku Asertif

Menurut Stein dan Howard, (2002) asertif atau asertivitas berasal dari bahasa inggris “to assert”, yang diartikan sebagai ungkapan sikap positif, yang dinyatakan dengan tegas dan terus terang Perilaku asertif berarti kemampuan seseorang untuk berkomunikasi dengan jelas, sekaligus tetap peka terhadap kebutuhan orang lain dan reaksi dalam setiap peristiwa. Perilaku asertif juga berarti kemampuan untuk tidak sependapat dengan orang lain tanpa menggunakan manipulasi dan alasan yang emosional, dan mampu bertahan di jalur yang benar, yaitu mempertahankan pendapat dengan tetap menghormati pendapat orang lain (Miasari, 2012).

Menurut Kamus Psikologi, asertif artinya berani, jujur, dan berterus terang, namun sikap jujur dan terus terang itu hanya bersikap positif. Apabila sifatnya sudah merugikan atau negatif tidak dapat disebut asertif lagi (Didin, 1995). Sementara itu, Rakos (1991), mengatakan bahwa perilaku asertif adalah perilaku yang penuh ketegasan yang timbul karena adanya kebebasan emosi dari setiap usaha untuk membela hak-hak pribadi serta adanya keadaan yang efektif yang mendukung yang meliputi: mengetahui hak-hak pribadi, berbuat sesuatu untuk mendapat hak tersebut dan melakukan hal tersebut sebagai usaha untuk mencapai kebebasan emosi (Lovihan dan Kaunang, 2010).


(25)

17

Alberti dan Emmons (2002) mendefinisikan perilaku asertif sebagai pernyataan diri yang positif yang menunjukan sikap menghargai orang lain. Perilaku asertif diartikan sebagai perilaku yang mempromosikan kesetaraan dalam hubungan manusia yang memungkinkan setiap individu untuk bertindak menurut kepentingannya sendiri, membela diri tanpa kecemasan, mengekspresikan perasaan dengan jujur dan nyaman, dan menerapkan hak-hak pribadi tanpa mengabaikan hak-hak orang lain. Perilaku asertif salah satunya dapat ditunjukkan dengan kemampuan untuk berkata “tidak” dengan tegas (Miasari, 2012).

Menurut Widjaja dan Wulan (1998 dalam Marini dan Andriani, 2005) perilaku asertif lebih adaptif daripada perilaku pasif atau perilaku agresif. Perilaku asertif menimbulkan harga diri yang tinggi dan hubungan interpersonal yang memuaskan karena memungkinkan orang untuk mengemukakan apa yang diinginkan secara langsung dan jelas sehingga menimbulkan rasa senang dalam diri pribadi dan orang lain. Remaja perlu berperilaku asertif agar dapat mengurangi stres ataupun konflik yang dialami sehingga tidak melarikan diri ke hal-hal negatif.

Pengertian atau makna perilaku asertif menurut Rini (2001) adalah suatu kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada orang lain namun tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan pihak lain. Orang-orang yang tidak asertif biasanya pemalu, tertutup, dan tidak dapat menyatakan keinginannya. Orang tersebut selalu mengerjakan apa yang disukai dan diperintahkan oleh orang lain tanpa banyak bertanya dan tanpa memperhatikan mana yang terbaik untuk dirinya sendiri. Orang yang tidak asertif


(26)

18

biasanya cemas dalam situasi sosial dan mempunyai harga diri yang cenderung rendah (Devito, 1990, dalam Rosa, 2012).

Perilaku asertif adalah keterampilan yang melibatkan bicara dan bertindak akan tetapi tetap dapat menjaga dan menghormati orang lain (Ramazan dan Galin, 2012).

Perilaku asertif adalah berdiri untuk hak-hak diri sendiri tanpa melanggar hak orang lain, sikap tegas tapi tetap memperhitungkan perasaan orang lain dan bukan merupakan hal yang negatif (Rezan dan Mustafa, 2009).

Perilaku asertif adalah sikap tegas untuk mengekspresikan perasaan jujur dan menegaskan hak orang lain tanpa melanggar atau menolak hak orang tersebut (Delamater, 1986, dalam Fariba dan Maryam, 2010).

Perilaku sertif adalah keterampilan seseorang untuk berfikir dan ini bukanlah keterampilan yang diwarisi sejak lahir. Seseorang yang memilih untuk bersikap tegas pasa saat bersama dengan teman-temannya namun dalam situasi lain mereka bisa berperilaku kurang tegas atau pasif (Pheiffer, 2003, dalam Erbay dan Sinan, 2013).

Perilaku asertif merupakan perilaku seseorang dalam mempertahankan hak pribadi serta mampu mengekspresikan pikiran, perasaan, dan keyakinan secara langsung dan jujur dengan cara yang tepat. Sedangkan memberi batasan perilaku asertif sebagai kemampuan mengekspresikan perasaan, membela hak secara sah dan menolak permintaan yang dianggap tidak layak serta tidak menghina atau meremehkan orang lain (Calhoun, 1990, dalam Almasitoh, 2013).


(27)

19

Perilaku asertif adalah perilaku bersifat aktif, langsung, dan jujur. Perilaku ini mampu mengkomunikasikan kesan respek kepada diri sendiri dan orang lain sehingga dapat memandang keinginan, kebutuhan, dan hak kita sama dengan keinginan, kebutuhan dan hak orang lain atau bisa di artikan juga sebagai gaya wajar yang tidak lebih dari sikap langsung, jujur, dan peuh dengan respek saat berinteraksi dengan orang lain (Lloyd, 1990).

Perilaku asertif adalah perilaku antar perorangan yang melibatkan aspek kejujuran dan keterbukaan pikiran dan perasaan. Perilaku asertif ditandai oleh kesesuaian sosial dan seseorang yang berperilaku asertif mempertimbangkan perasaan dan kesejahteraan orang lain (Gunarsa, 2012).

Orang yang memiliki tingkah laku atau perilaku asertif adalah orang yang berpendapat dari orientasi dari dalam, memiliki kepercayan diri yang baik, dapat mengungkapkan pendapat dan ekspresi yang sebenarnya tanpa rasa takut dan berkomunikasi dengan orang lain secara lancar. Sebaliknya orang yang kurang asertif adalah mereka yang memiliki ciri terlalu mudah mengalah/ lemah, mudah tersinggung, cemas, kurang yakin pada diri sendiri, sukar mengadakan komunikasi dengan orang lain, dan tidak bebas mengemukakan masalah atau hal yang telah dikemukakan (Calhoun 1990 dalam Almasitoh, 2013).

Orang-orang yang berperilaku asertif biasanya mampu mengadakan dan membina hubungan yang akrab dan hangat dengan orang lain. Orang yang berperilaku asertif mampu menyatakan perasaan dan pikiran-pikirannya dengan tepat dan jujur tanpa memaksakan kepada orang lain. Orang yang berperilaku asertif juga mampu menghargai perasaan-perasaan dan pendapat orang lain,


(28)

20

sehingga dalam hubungan antar pribadinya, orang orang yang asertif mampu bertukar pengalaman, pikiran dan perasaan dengan orang lain. Orang yang berperilaku asertif lebih banyak menerima tanggapan positif dan merasa lebih dimengerti oleh orang lain. Hal ini membuat orang yang berperilaku asertif jarang mengalami gangguan depresi, karena bila memiliki masalah biasanya dapat menyatakannya dengan tepat kepada orang lain, sehingga rang yang berperilaku asertif mendapat banyak keuntungan seperti memperoleh solusi, mendapatkan dukungan sosial dan dapat menjelaskan beban mental akibat masalahnya itu (Achmad, 1988, dalam Rosa, 2012).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku asertif adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk dapat mengatakan dengan tegas, terbuka, apa adanya, jujur, tidak takut, dan tidak cemas tentang apa yang dipikirkan dan dirasakannya namun tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan pihak lain.

1. Aspek-aspek Perilaku Asertif

Menurut Rakos (1991 dalam Lovihan & Kaunang, 2010) ada empat aspek-aspek perilaku asertif, yaitu:

a. Content (isi), yaitu: perilaku verbal atau apa yang dikatakan oleh seseorang kepada orang lain dalam mengungkapkan hak dan kesungguhannya

b. Paralinguistic, yaitu: keberagaman berbicara yang berbeda dari kata-kata aktual atau kalimat, yang memuat banyak arti seperti nada


(29)

21

suara, keras lembutnya suara, intonasi, serta sikap ragu-ragu menyampaikan informasi

c. Perilaku non verbal, yaitu: kontak mata yang wajar saat melakukan pembicaraan dengan orang lain; ekpresi wajah yang positif; gesture (gerak, isyarat, sikap); bahasa tubuh yang sesuai

d. Kemampuan berinteraksi, yaitu: dapat berkomunikasi dengan orang lain secara terbuka, penuh percaya diri baik dengan yang telah dikenal, maupun yang belum dikenal; memberikan respon minimal yang efektif sesuai dengan kondisi dan memiliki kemampuan mengontrol tindakannya sendiri dan menyadari konsekuensi atas tindakannya.

Menurut Lioyd (1991, dalam Novali dan Dayakisni, 2013) ada beberapa aspek-aspek perilaku asertif, antara lain:

a) Mampu mengatakan “tidak” dengan sopan dan tegas terhadap orang lain, individu tersebut mampu menyatakan tidak ketika ada keinginan dari orang lain ataupun pandangannya

b) Mampu mengekspresikan perasaan jujur, individu tersebut tidak menyangkal perasaan atau keinginannya terhadap orang lain. bersikap realistis, individu tersebut tidak melebih-lebihkan, mengecilkan sesuatu hal

c) Individu tersebut akan berbicara sesuai realita dan jujur kepada orang lain


(30)

22

d) Mampu mengekspresikan kesukaan dan prioritas, individu tersebut tidak menangguhkan sesuatu untuk bergaul dengan siapapun dan individu tersebut akan menyatakan perioritas atau kesukaannya tanpa ada perasaan tertekan.

Aspek-apek perilaku asertif menurut Alberti dan Emmons (2002, dalam Miasari, 2012) ada lima, yaitu sebagai berikut:

a. Bertindak sesuai dengan keinginannya sendiri. Meliputi kemampuan untuk membuat keputusan, mengambil inisiatif, percaya pada yang dikemukan sendiri, dapat menentukan suatu tujuan dan berusaha mencapainya, dan mampu berpartisipasi dalam pergaulan.

b. Mampu mengekspresikan perasaan jujur dan nyaman. Meliputi kemampuan untuk menyatakan rasa tidak setuju, rasa marah, menunjukkan afeksi dan persahabatan terhadap orang lain serta mengakui perasaan takut atau cemas, mengekspresikan persetujuan, menunjukkan dukungan, dan bersikap spontan.

c. Mampu mempertahankan diri. Meliputi kemampuan untuk berkata “tidak” apabila diperlukan, mampu menanggapi kritik, celaan, dan kemarahan dari orang lain, secara terbuka serta mampu mngekspresikan dan mempertahan pendapat.

d. Mampu menyatakan pendapat. Meliputi kemampuan menyatakan pendapat atau gagasan, mengadakan suatu perubahan, dan menanggapi pelanggaran terhadap dirinya dan orang lain.


(31)

23

e. Tidak mengabaikan hak-hak orang lain. Meliputi kemampuan untuk menyatakan kritik secara adil tanpa mengancam, memanipulasi, mengintimidasi, mengendalikan, dan melukai orang lain.

2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku Asertif

Faktor-faktor yang memengaruhi perilaku asertif menurut Alberti dan Emmons (2002 dalam Miasari, 2012), antara lain:

1. Keluarga. Anak yang memutuskan untuk berbicara mengenai hak-haknya sering mendapatkan sensor dari anggota keluarga, seperti dilarang untuk berbicara, anak dianggap sebagai individu yang mengetahui apapun, atau anak dianggap kurang ajar terhadap orangtuanya. Tanggapan yang diberikan oleh orangtua tersebut menjadi tidak kondusif bagi perkembangan asertivitas anak.

2. Sekolah. Di sekolah guru-guru juga sering melarang anak untuk bersikap asertif. Anak yang pendiam dan berperilaku baik serta tidak banyak bertanya justru diberi imbalan, berupa pujian karena dianggap bersikap baik. Sehingga sikap asertif tidak dapat dimiliki oleh anak. Oleh karena itu, saat ini para pengajar dituntut untuk dapat mendorong setiap individu agar dapat bersikap asertif kepada diri sendiri dan juga orang lain.


(32)

24

Menurut Alberti dan Emmons (2002 dalam Miasari, 2012) bahwa faktor-faktor yang memengaruhi perilaku asertif dapat juga dilihat dari faktor-faktor internal dan faktor eksternal, yaitu :

1. Faktor internal

a) Usia. Perilaku asertif berkembang sepanjang hidup manusia. Semakin bertambah usia individu maka perkembangannya mencapai tingkat integrasi yang lebih tinggi, di dalamnya termasuk kemampuan pemecahan masalah. Artinya semakin bertambahnya usia individu maka semakin banyak pula pengalaman yang diperoleh, sehingga kemampuan pemecahan masalah pada individu juga bertambah matang.

b) Jenis kelamin. Pria cenderung memiliki perilaku asertif yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Hal tersebut disebabkan oleh tuntutan masyarakat yang menjadikan pria lebih aktif, mandiri dan kooperatif, sedangkan wanita cenderung lebih pasif, tergantung kompromis.

c) Konsep Diri. Konsep diri dan perilaku asertif mempunyai hubungan yang sangat erat. Individu yang mempunyai konsep diri yang kuat akan mampu berperilaku asertif. Sebaliknya individu yang mempunyai konsep diri yang lemah, maka perilaku asertifnya juga rendah.


(33)

25

2. Faktor Eksternal

1) Pola asuh orang tua. Kualitas perilaku asertif individu sangat dipengaruhi oleh interaksi individu tersebut dengan orang tua maupun anggota keluarga lainnya. Hal tersebut akan menentukan pola respon individu dalam merespon masalah.

2) Kondisi sosial budaya. Perilaku yang dikatakan asertif pada lingkungan budaya tertentu belum tentu sama pada budaya lain. Karena setiap budaya mempunyai etika dan aturan sosial tersendiri.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi perilaku asertif adalah keluarga dan sekolah. Ada pula faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor usia, jenis kelamin, dan konsep diri. Faktor eksternal yaitu pola asuh orang tua dan kondisi sosial budaya.

B. Persepsi

1. Pengertian Persepsi

Persepsi dalam arti sempit ialah penglihatan, bagaimana cara seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas ialah pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu (Leavitt, 1978, dalam Sobur, 2010).

Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan, yaitu proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh individu melalui alat reseptornya. Stimulus akan diteruskan ke pusat susunan saraf, yaitu otak sehingga


(34)

26

terjadilah proses psikologis dan individu menyadari apa yang dilihat, apa yang didengar dan sebagainya. Psoses penginderaan indivisu tidak lepas dari proses persepsi dan proses penginderaan merupakan proses pendahulu dari persepsi. Alat indera merupakan penghubung antara individu dengan dunia luarnya (Branca, 1965, dalam Su’adah dan Lendriyono, 2003).

Menurut DeVito (1997) persepsi adalah proses ketika kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang memengaruhi indra kita. Gulo (1982) mendefinisikan persepsi sebagai proses seseorang menjadi sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya (Sobur, 2010).

Persepsi adalah kemampuan membeda-bedakan, mengelompokkan, memfokuskan perhatian terhadap satu objek rangsang. Dalam proses pengelompokan dan membedakan ini persepsi melibatkan proses interpretasi berdasarkan pengalaman terhadap satu peristiwa atau objek (Shaleh dan Wahab, 2004).

Persepsi disebut inti komunikasi, karena jika persepsi kita tidak akurat, kita tidak mungkin berkomunikasi dengan efektif. Persepsilah yang menentukan kita memilkih suatu pesan dan mengabaikan pesan yang lain. Semakin tinggi derajat kesamaan persepsi antarindividu, maka semakin mudah dan semakin sering mereka berkomunikasi Mulyana (2000, dalam Sobur, 2010). Dengan persepsi individu akan menyadari tentang keadaan di sekitarnya dan juga keadaan diri sendiri (Davidiff, 1981, dalam Walgito, 2002).


(35)

27

Berdasrkan uraian di atas dapat di kemukakan bahwa persepsi itu merupakan pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yamg diindera sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan respon dari dalam individu. Karena itu dalam penginderaan orang akan mengaitkan dengan stimulus, sedangkan dalam persepsi orang akan mengaitkan dengan objek (Branca, 1964, dalam Walgito, 2002).

2. Proses Persepsi

Sobur (2010) mengatakan bahwa tingkah laku seseorang merupakan fungsi dari cara orang tersebut memandang. Oleh karena itu, untuk mengubah tingkah laku seseorang harus dimulai dari mengubah persepsinya. Dalam proses persepsi, terdapat tiga komponen utama, yaitu sebagai berikut:

a. Seleksi adalah proses penyaringan oleh indera terhadap rangsangan dari luar, intensitas dan jenisnya dapat banyak atau sedikit.

b. Interpretasi, yaitu proses mengorganisasikan informasi sehingga mempunyai arti bagi seseorang. Interpretasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti pengalaman masa lalu, sistem nilai yang dianut, motivasi, kepribadian, dan kecerdasan

c. Interpretasi dan persepsi kemudian diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku sebagai reaksi. Jadi proses persepsi adalah melakukan seleksi, interpretasi, dan pembulatan terhadap informasi yang sampai.


(36)

28

Proses dalam persepsi perlu adanya perhatian sebagai langkah persiapan dalam persepsi itu, karena keadaan menunjukkan bahwa individu tidak hanya dikenai oleh satu stimulus saja, tetapi individu dikenai berbagai macam stimulus yang ditimbulkan oleh keadaan sekitarnya. Namun demikian tidak semua stimulus mendapatkan respon individu untuk dipersepsi. Stimulus mana yang akan dipersepsi atau mendapatkan respon dari individu tergantung pada perhatian individu yang bersangkutan (Walgito, 2002).

3. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Persepsi

Menurut Shaleh dan Wahab (2004, dalam Muhid, Fauziyah, Balgies, dan Mukhoyyaroh, 2013) karena persepsi lebih bersifat psikologis daripada sekedar merupakan proses penginderaan saja, maka ada empat faktor memengaruhi:

1) Perhatian yang selektif. Manusia menerima banyak rangsangan dari lingkungan dalam kehidupannya, namun manusia tidak harus menanggapi semua rangsangan yang duiterimanya. Individu biasanya hanya memusatkan perhatian pada rangsangan-rangsangan tertentu saja. Dengan demikian obyek-obyek atau gejala-gejala lain tidak akan tampil ke muka sebagai obyek pengamat.

2) Ciri-ciri rangsangan. Rangsangan yang bergerak akan lebih menarik daripada rangsangan yang diam. Demikian juga rangsangan yang besar lebih menarik daripada rangsangan yang kecil. Rangsangan yang kontras dengan latar belakangnya lebih menarik daripada rangsangan yang tidak kontras. Di samping itu rangsangan yang


(37)

29

intensitasnya lebih kuat akan lebih menarik daripada rangsangan yang intensitanya lebih lemah.

3) Nilai-nilai dan kebutuan individu. Nilai-nilai dan kebutuhan individu sangat memengaruhi proses persepsi. Seorang seniman akan berbeda dalam pengamatan dibandingkan dengan oorang yang bukan seniman.

4) Pengalaman terdahulu. Pengalaman-pengalaman terdahulu sangat memengaruhi bagaimana seseorang mempresepsi dunianya. Cermin bagi kita tentu bukan barang baru, tetapi lain halnya dengan orang-orang suku Mentawai di pedalaman pulau Siberut Sumatera Utara atau orang-oranag suku pedalaman di Papua.

C. Pola Asuh Orang Tua

1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua

Pola asuh terdiri dari dua kata yaitu pola dan asuh. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pola berarti corak, model, system, cara kerja, bentuk (struktur) yang tetap. Sedangkan kata asuh memiliki arti menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil, membimbing (membantu, melatih, dan sebagainya), dan memimpin (mengepalai dan menyelenggarakan) satu badan atau lembaga (Tridhonanto dan Agency, 2014).

Secara epistimologi kata pola diartikan sebagai cara kerja, dan kata asuh berarti menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil, membimbing (membantu, melatih, dan sebagainya) supaya dapat berdiri sendiri, atau dalam bahasa


(38)

30

populernya adalah cara mendidik. Secara terminologi pola asuh orang tua adalah cara terbaik yang ditempuh oleh orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari tanggung jawab kepada anak (Thoha, 1996).

Pola asuh orang tua adalah keseluruhan interaksi orang tua dan anak, dimana orang tua yang memberikan dorongan bagi anak dengan mengubah tingkah laku, pengetahuan, dan nilai-nilai yang dianggap paling tepat bagi orang tua agar anak bisa mandiri, tumbuh serta berkembang secara sehat dan optimal, memiliki rasa percaya diri, memiliki sifat rasa ingin tahu, bersahabat, dan berorientasi untuk sukses (Tridhonanto dan Agency, 2014).

Menurut Aisyah (2010) pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orang tua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Sebagai pengasuh dan pembimbing dalam keluarga, orang tua sangat berperan dalam meletakan dasar-dasar perilaku bagi anak-anaknya. Sikap, perilaku, dan kebiasaan orang tua selalu dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anaknya yang kemudian semua itu secara sadar atau tidak sadar diresapinya dan kemudian menjadi kebiasaan pula bagi anak-anaknya. Hal demikian disebabkan karena anak mengidentifikasikan diri pada orang tuanya sebelum mengadakan identifikasi dengan orang lain.

Pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak, dari segi negatif maupun positif. Pola asuh orang tua merupakan


(39)

31

gambaran tentang sikap dan perilaku orang tua dengan anak dalam berinteraksi, serta berkomunikasi selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Dalam pengasuhannya, memerlukan sejumlah kemampuan interpersonal dan mempunyai tuntutan emosional yang besar (Monks dan Haditomo, 2007).

Pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap tersebut meliputi cara orangtua memberikan aturan-aturan, memberikan perhatian. Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan orang tua yang diterapkan pada anak. Banyak ahli mengatakan pengasuhan anak adalah bagian penting dan mendasar, menyiapkan anak untuk menjadi masyarakat yang baik. Terlihat bahwa pengasuhan anak menunjuk kepada pendidikan umum yang diterapkan. Pengasuhan terhadap anak berupa suatu proses interaksi antara orang tua dengan anak. Interaksi tersebut mencakup perawatan seperti dari mencukupi kebutuhan makan, mendorong keberhasilan dan melindungi, maupun mensosialisasi yaitu mengajarkan tingkah laku umum yang diterima oleh masyarakat. Pola asuh sebagai suatu perlakuan orang tua dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberi perlindungan dan mendidik anak dalam kesehariannya. Sedangkan Pengertian pola asuh orang tua terhadap anak merupakan bentuk interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan pengasuhan yang berarti orangtua mendidik, membimbing dan melindungi anak (Gunarsa, 1995).

Santrock (2002) mengatakan yang dimaksud dengan pola asuh adalah cara atau metode pengasuhan yang digunakan oleh orang tua agar anak-anaknya dapat tumbuh menjadi individu-individu yang dewasa secara sosial.


(40)

32

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang tua adalah sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak, yang mana orang tua sangat berperan dalam membentuk karakteristik anak agar tumbuh menjadi pribadi yang mandiri.

2. Macam-macam Pola Asuh

Menurut (Tridhonanto & Agency, 2014) macam-macam pola asuh orang tua ada tiga, yaitu pola asuh otoriter, pola asuh permisif, dan pola asuh demokrasi.

1) Pola asuh otoriter adalah pola asuh orang tua yang lebih mengutamakan membentuk kepribadian anak dengan cara menetapkan standar mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman.

Pola asuh otoriter memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Anak harus tunduk dan patuh pada kehendak orang tua b. Pengontrolan orang tua terhadap perilaku anak sangat ketat c. Anak hampir tidak pernah memberi pujian pada orang lain

d. Orang tua yang tidak mengenal kompromi dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah

2) Pola asuh permisif adalah pola asuh orang tua pada anak dalam rangka membentuk kepribadian anak dengan cara memberikan pengawasan yang sangat longgar dan memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Adapun kecenderungan orang tua tidak menegur atau


(41)

33

memperingatkan anak apabila anak sedang mengalami bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Sifat yang dimiliki orang tua adalah hangat sehingga sering kali disukai ole anak.

Pola asuh permisif memiliki ciri sebagai berikut:

a. Orang tua bersikap acceptance tinggi namun kontrolnya rendah, anak diizinkan membuat keputusan sendiri dan dapat berbuat sekehendaknya sendiri

b. Orang tua memberi kebebasan kepada anak untuk menyatakan dorongan atau keinginannya

c. Orang tua kurang menerapkan hukuman pada anak bahkan hampir tidak menggunakan hukuman

3) Pola asuh demokrasi adalah pola asuh orang tua yang menerapkan perlakuan kepada anak dalam rangka membentuk kepribadian anak dengan cara memprioritaskan kepentingan anak yang bersikat rasional atau pemikiran-pemikiran.

Pola asuh demokrasi mempunyai ciri-ciri, yaitu:

a. Anak diberi kesempatan untuk mandiri dan mengembangkan kontrol internal

b. Anak diakui sebagai pribadi oleh orang tua dan turut dilibatkan dalam pengambilan keputusan


(42)

34

d. Memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka

e. Bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap dan berlebihan yang melampaui kemampuan anak

f. Memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan

g. Pendekatannya kepada anak bersifat hangat

Menurut Baumrind (1971, dalam Santrock, 2007) percaya bahwa orang tua tidak boleh menghukum atau menjauh. Alih-alih mereka harus menetapkan aturan bagi anak dan menyayangi mereka. Dia telah menjelaskan empat jenis gaya pengasuhan , yaitu sebagai berikut:

1. Pengasuhan otoritarian

Pengasuhan otoritarian adalah gaya yang membatasi dan menghukum, dimana orang tua mendesak anak untuk mengikuti arahan orang tua dan menghormati pekerjaan dan upaya mereka. Batas dan kendali yang tegas diterapkan pada anak, dan sangat sedikit tawar menawar verbal yang diperbolehkan. Gaya ini biasanya mengakibatkan perilaku anak yang tidak kompeten secara sosial.

2. Pengasuhan otoritatif (demokrasi)

Pengasuhan otoritatif adalah gaya yang mendorong anak untuk mandiri, namun masih menempatkan batas dan kendali pada tindakan mereka. Tindakan verbal memberi dan menerima dimungkinkan, dan orang tua bersikap hangat dan


(43)

35

penyayang terhadap anak. Gaya ini biasanya mengakibatkan perilaku anak yang kompeten secara sosial.

3. Pengasuhan yang mengabaikan (permisif tidak peduli)

Pengasuhan yang mengabaikan adalah gaya dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anak memiliki orang tua yang mengabaikan merasa bahwa aspek lain kehidupan orang tua lebih penting daripada diri mereka. Anak-anak ini cenderung tidak memiliki kemampuan sosial. Banyak di antaranya memiliki pengendalian diri yang buruk dan tidak mandiri. Mereka sering kali memiliki harga diri yang rendah, tidak dewasa, dan mungkin terasing dari keluarga. Dalam masa remaja, mereka mungkin menunjukkan sikap suka membolos dan nakal.

4. Pengasuhan yang menuruti (permisif memanjakan)

Pengasuhan yang menuruti adalah gaya pengasuhan dimana orang tua sangat terlibat dengan anak, namun tidak terlalu menuntut dan mengontrol mereka. Orang tua macam ini membiarkan anak melakukan apa yang ia inginkan. Hasilnya, anak tidak pernah belajar mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap mendapatkan keinginannya. Beberapa orang tua sengaja memebesarkan anak mereka dengan cara ini karena mereka percaya bahwa konbinasi antara keterlibatan yang hangat dan sedikit batasan akan menghasilkan anak yang kreatif dan percaya diri.


(44)

36

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa macam-macam pola asuh orang tua ada empat macam yaitu Pengasuhan otoritarian, Pengasuhan otoritatif (demokrasi), Pengasuhan yang mengabaikan (permisif tidak peduli), Pengasuhan yang menuruti (permisif memanjakan).

D. Perbedaan Perilaku Asertif Siswa ditinjau dari Persepsi terhadap

Pola Asuh Orang Tua

Siswa sering kali mengalami kesulitan dalam menyampaikan pendapatnya, baik itu di dalam kelas ataupun di luar kelas. Dalam penelitiannya Setiono dan Pramadi (2005) mengemukakan bahwa permasalahan yang sering menjadi keluhan tenaga pengajar adalah kurangnya keberanian siswa untuk mengemukakan pendapat di dalam kelas, kurangnya keaktifan dan inisiatif dalam kegiatan ekstra kurikuler di sekolah (Pratiwi, 2015). Hal tersebut membuat siswa menjadi penting dan harus mendapat perhatian yang serius karena apa yang terjadi pada siswa saat ini bisa terjadi seterusnya saat dia sudah lulus dari sekolah.

Salah satu kemampuan yang dibutuhkan untuk menjalin hubungan interpersonal yang baik dengan orang lain adalah kemampuan berperilaku asertif. Menurut Widjaja dan Wulan (1998 dalam Marini dan Andriani, 2005) perilaku asertif lebih adaptif daripada perilaku pasif atau perilaku agresif. Asertif menimbulkan harga diri yang tinggi dan hubungan interpersonal yang memuaskan karena memungkinkan orang untuk mengemukakan apa yang diinginkan secara langsung dan jelas sehingga menimbulkan rasa senang dalam diri pribadi dan


(45)

37

orang lain. Remaja perlu berperilaku asertif agar dapat mengurangi stres ataupun konflik yang dialami sehingga tidak melarikan diri ke hal-hal negatif.

Berkaitan dengan perilaku asertif, ada beberapa faktor yang memengaruhinya salah satunya adalah pola asuh orang tua. Prabana (1997) mengatakan bahwa kualitas perilaku asertif seseorang sangat dipengaruhi oleh pengalaman pada masa kanak-kanaknya. Pengalaman tersebut berupa interaksi dengan orang tua melalui pola asuh yang ada dalam keluarga yang menentukan pola respon seseorang dalam menghadapi berbagai masalah setelah menjadi dewasa kelak. Pola asuh orang tua merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi antara orang tua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak, (Marini dan Andriani, 2005). Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenal oleh individu oleh karena itu pola asuh orang tua sangat penting untuk menentukan tingkat perilaku asertif anak-anak dikemudian hari.

Menurut Baumrind (1971, dalam Santrock, 2007) menyebutkan ada empat tipe pola asuh orang tua yaitu pengasuhan otoritarian, pengasuhan otoritatif (demokrasi), pengasuhan yang mengabaikan, pengasuhan yang menuruti. Pengasuhan otoritarian adalah gaya yang membatasi dan menghukum, dimana orang tua mendesak anak untuk mengikuti arahannya dan menghormati pekerjaan dan upaya yang dilakukan orang tua. Orang tua yang otoriter menerapkan batas dan kendali yang tegas pada anak dan meminimalisir perbedatan verbal. Pengasuhan Otoritatif (demokrasi) adalah mendorong anak untuk mandiri namun masih menerapkan batasan dan kendali pada tindakan anak. Tindakan verbal


(46)

38

memberi dan menerima dimungkinkan, orang tua bersikap hangat dan penyayang terhadap anak. Pengasuhan yang mengabaikan adalah gaya dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anak memiliki orang tua yang mengabaikan, anak merasa bahwa aspek lain kehidupan orang tua lebih penting daripada kehidupan anak. Pengasuhan yang menuruti adalah gaya pengasuhan dimana orang tua sangat terlibat dengan anak, namun tidak terlalu menuntut dan mengontrol anak. Orang tua macam ini membiarkan anak melakukan apa yang diinginkan.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Marini dan Andriani (2005) bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap remaja dengan pola asuh authoritative, authoritarian, permissive dan uninvolved. Remaja dengan pola asuh authoritative memiliki asertivitas yang tinggi, remaja dengan pola asuh authoritarian memiliki asertivitas yang rendah, remaja dengan pola asuh permissive memiliki asertivitas yang rendah, remaja dengan pola asuh uninvolved juga memiliki asertivitas yang rendah. Penemuan ini didukung oleh (Prabana, 1997, dalam Marini dan Andriani, 2005) yang berpendapat bahwa kualitas perilaku asertif seseorang dipengaruhi oleh pengalaman yang berupa interaksi dengan orang tua melalui pola asuh yang diterapkan dalam keluarga, dan menentukan pola respon seseorang dalam menghadapi masalah.

Penelitian tersebut sejalan dengan teori Baumrind (dalam Dacey & kenny, 1997) yang mengatakan bahwa pola asuh authoritative lebih efektif dari ketiga pola asuh yang lain dalam pembentukan kepribadian anak. Dijelaskan bahwa anak yang diasuh dengan pola asuh authoritative akan menunjukkan


(47)

39

perkembangan emosional, sosial dan kognitif yang positif. Anak akan menampilkan perilaku yang asertif, ramah, memiliki harga diri dan percaya diri yang tinggi, memiliki tujuan dan cita-cita, berprestasi, serta dapat mengatasi stres dengan baik. Hal ini dikarenakan orang tua yang authoritative membuat tuntutan yang sesuai dengan kematangan dan menetapkan batas-batas yang wajar. Pada saat yang sama orang tua menunjukkan kehangatan dan kasih sayang, mendengarkan keluhan anak dengan sabar dan anak diberi kesempatan untuk ikut serta dalam membuat keputusan.

E. Kerangka Teoritis

Perilaku asertif adalah keterampilan yang melibatkan bicara dan bertindak, akan tetapi tetap dapat menjaga dan menghormati orang lain (Ramazan dan Galin, 2012). Perilaku asertif adalah berdiri untuk hak-hak diri sendiri tanpa melanggar hak orang lain, sikap tegas tapi tetap memperhitungkan perasaan orang lain dan bukan merupakan hal yang negatif (Rezan dan Mustafa, 2009).

Perilaku asertif adalah sikap tegas untuk mengekspresikan perasaan jujur dan menegaskan hak orang lain tanpa melanggar atau menolak hak orang tersebut (Delamater, 1986, dalam Fariba dan Maryam, 2010).

Menurut (Alberti dan Emmons, 2002 dalam Miasari, 2012) perilaku asertif dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor internal (usia, jenis kelamin, konsep diri) dan faktor eksternal (pola asuh orang tua, kondisi sosial budaya).

Perilaku sertif adalah keterampilan seseorang untuk berfikir dan ini bukanlah keterampilan yang diwarisi sejak lahir. Seseorang yang memilih untuk


(48)

40

bersikap tegas pasa saat bersama dengan teman-temannya namun dalam situasi lain mereka bisa berperilaku kurang tegas atau pasif (Pheiffer, 2003, dalam Erbay dan Sinan, 2013).

Kualitas perilaku asertif seseorang sangat dipengaruhi oleh pengalaman pada masa kanak-kanaknya. Proses pengembangan dan pembiasaan berperilaku asertif dapat dilakukan melalui lingkungan keluarga yang berupa pola asuh orang tua.

Sarwono (1982) mengemukakan bahwa: Menurut aliran emprisme yang dipelopori oleh Jhon Locke (1632-1704) mengatakan bahwa “Manusia itu sewaktu lahirnya adalah putih bersih, bagaikan tabularasa, menjadi apakah anak itu kelak sepenuhnya tergantung pada pengalaman-pengalaman yang akan mengisi tabularasa tersebut”.

Kemudian aliran ini juga diikuti oleh Watson yang berpendapat bahwa seorang anak hanya sekedar sebuah papan tulis yang kosong. Jika seorang anak dibesarkan dengan baik dan tepat, anak tersebut akan berperilaku dengan baik dan tepat pula, karena kepribadian merupakan hasil dari lingkungannya (Friedman dan Schustack, 2006).

Menurut Baumrind (1971, dalam Santrock, 2007) menyebutkan ada empat tipe pola asuh orang tua yaitu pengasuhan otoritarian, pengasuhan otoritatif (demokrasi), pengasuhan yang mengabaikan, pengasuhan yang menuruti. Pengasuhan otoritarian adalah gaya yang membatasi dan menghukum, dimana orang tua mendesak anak untuk mengikuti arahannya dan menghormati pekerjaan dan upaya yang dilakukan orang tua. Orang tua yang otoriter menerapkan batas


(49)

41

dan kendali yang tegas pada anak dan meminimalisir perbedatan verbal. Pengasuhan Otoritatif (demokrasi) adalah mendorong anak untuk mandiri namun masih menerapkan batasan dan kendali pada tindakan anak. Tindakan verbal memberi dan menerima dimungkinkan, orang tua bersikap hangat dan penyayang terhadap anak. Pengasuhan yang mengabaikan adalah gaya dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anak memiliki orang tua yang mengabaikan, anak merasa bahwa aspek lain kehidupan orang tua lebih penting daripada kehidupan anak. Pengasuhan yang menuruti adalah gaya pengasuhan dimana orang tua sangat terlibat dengan anak, namun tidak terlalu menuntut dan mengontrol anak. Orang tua macam ini membiarkan anak melakukan apa yang diinginkan.

Jiwa manusia itu sewaktu lahirnya adalah bersih, maka yang akan memberikan pengaruh terhadap pendidikan anak adalah lingkungan dan pengalaman-pengalaman yang di laluinya. Oleh karena itu peran orang tua adalah menyesuaikan diri anak dengan lingkungan dan pengalaman yang dikehendakinya.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Marini dan Andriani (2005) bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap remaja dengan pola asuh authoritative, authoritarian, permissive dan uninvolved. Remaja dengan pola asuh authoritative memiliki asertivitas yang tinggi, remaja dengan pola asuh authoritarian memiliki asertivitas yang rendah, remaja dengan pola asuh permissive memiliki asertivitas yang rendah, remaja dengan pola asuh uninvolved juga memiliki asertivitas yang rendah. Penemuan ini didukung oleh


(50)

42

(Prabana, 1997, dalam Marini dan Andriani, 2005) yang berpendapat bahwa kualitas perilaku asertif seseorang dipengaruhi oleh pengalaman yang berupa interaksi dengan orang tua melalui pola asuh yang diterapkan dalam keluarga, dan menentukan pola respon seseorang dalam menghadapi masalah.

Penelitian tersebut sejalan dengan teori Baumrind (dalam Dacey & kenny, 1997) yang mengatakan bahwa pola asuh authoritative lebih efektif dari ketiga pola asuh yang lain dalam pembentukan kepribadian anak. Dijelaskan bahwa anak yang diasuh dengan pola asuh authoritative akan menunjukkan perkembangan emosional, sosial dan kognitif yang positif. Anak akan menampilkan perilaku yang asertif, ramah, memiliki harga diri dan percaya diri yang tinggi, memiliki tujuan dan cita-cita, berprestasi, serta dapat mengatasi stres dengan baik. Hal ini dikarenakan orang tua yang authoritative membuat tuntutan yang sesuai dengan kematangan dan menetapkan batas-batas yang wajar. Pada saat yang sama orang tua menunjukkan kehangatan dan kasih sayang, mendengarkan keluhan anak dengan sabar dan anak diberi kesempatan untuk ikut serta dalam membuat keputusan.


(51)

43

F. Hipotesis

Berdasarkan kerangka teoritis yang telah diuraikan di atas, maka hipotesis yang akan dikemukakan adalah:

Ha: Terdapat perbedaan perilaku asertif siswa ditinjau dari persepsi terhadap pola asuh orang tua (otoritarian, menuruti, mengabaikan, dan otoritatif)

Ho: Tidak terdapat perbedaan perilaku asertif siswa ditinjau dari persepsi terhadap pola asuh orang tua (otoritarian, menuruti, mengabaikan, dan otoritatif)


(52)

44

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Variabel dan Definisi Operasional

1) Variabel

Widoyoko (2014) Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang menjadi objek pengamatan penelitian.

Variabel bebas (Independent Variable) adalah variabel yang memengaruhi atau menjadi penyebab terjadinya perubahan pada variabel lain. Variabel ini disebut variabel bebas karena adanya tidak tergantung pada adanya yang lain atau bebas dari ada atau tidaknya variabel lain. Dalam penelitian ini variabel bebasnya adalah pola asuh orang tua.

Variabel terikat (dependent Variable) adalah variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat, karena adanya variabel bebas. Dikatakan variabel terikat atau tergantung karena variasinya tergantung oleh variasi variabel yang lain. Dimana dalam penelitian ini variabel terikat atau tergantungnya adalah perilaku asertif.

2) Definisi Operasional

Dari definisi konsep yang dijelaskan, makadefinisi operasional sebagai berikut:

a) Perilaku Asertif

Perilaku asertif adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk dapat mengatakan dengan tegas, terbuka, apa adanya, jujur, tidak takut, dan tidak cemas


(53)

45

tentang apa yang dipikirkan dan dirasakannya namun tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan pihak lain. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala perilaku asertif. Menurut Alberti & Emmons (2002, dalam Miasari, 2012) bahwa perilaku asertif mempunyai lima aspek, yaitu (1) bertindak sesuai dengan keinginannya sendiri, (2) mampu mengekspresikan perasaan jujur dan nyaman, (3) mampu mempertahankan diri, (4) mampu menyatakan pendapat, (5) tidak mengabaikan hak-hak orang lain

b) Pola Asuh Orang Tua

Pola asuh orang tua adalah sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak, yang mana orang tua sangat berperan dalam membentuk karakteristik anak agar tumbuh menjadi pribadi yang mandiri. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala pola asuh orang tua. Menurut Baumrind (1971, dalam Santrock, 2007) bahwa pola asuh orang tua mempunyai empat jenis yaitu (1) pengasuhan otoritarian, (2) pengasuhan otoritatif (demokrasi), (3) pengasuhan yang mengabaikan (permisif tidak peduli), (4) pengasuhan yang menuruti (permisif memanjakan).

B. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling

1) Populasi

Populasi merupakan keseluruhan individu atau objek yang diteliti yang memiliki beberapa karakteristik yang sama. Karakteristik yang dimaksud dapat berupa usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, wilayah tempat tinggal, dan seterusnya. Subyek yang diteliti dapat merupakan sekelompok penduduk di suatu


(54)

46

desa, sekolah, atau yang menempati wilayah tertentu (Latipun, 2011). Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMP Negeri 2 Krembung. Adapun populasi dari seluruh siswa berjumlah 869, yang mana kelas VII terdiri dari delapan kelas yang berjumlah 288 siswa, kemudian kelas VIII terdiri dari delapan kelas yang berjumlah 295 siswa, dan untuk kelas IX terdiri dari delapan kelas yang berjumlah 286.

2) Sampel dan Teknik Sampling

Sampel penelitian merupakan bagian dari populasi yang akan diteliti. Sampel merupakan bagian dari suatu populasi yang diambil dengan cara tertentu sebagaimana yang diterapkan oleh peneliti (Sudarmanto, 2013). Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2008).

Sampel adalah proses memilih sejumlah elemen secukupnya dari populasi, sehingga penelitian terhadap sampel dan pemahaman tentang sifat atau karakteristiknya akan membuat kita dapat mengeneralisasikan sifat atau karakteristik tersebut pada elemen populasi (Noor, 2011).

Menurut Arikunto (2006) apabila subjek kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Tetapi, jika jumlah subjeknya besar, dapat diambil antara 10-15% atau 20-25% atau lebih.

Teknik sampling dalam penelitian ini menggunakan teknik cluster

sampling yaitu teknik pengambilan anggota sampel yang dilaksanakan

berdasarkan gugus atau kelompok. Jadi pada cluster sampling ini mungkin anggota sampel bukan individu-individu dari populasi, melainkan


(55)

47

kelompok individu (Sanjaya, 2013). Ada 3 kelompok kelas di SMP Negeri 2 Krembung yaitu kelas VII, VIII, dan IX, peneliti memilih kelas VII yang terdiri dari delapan kelas dan berjumlah 288 siswa untuk dijadikan sampel penelitian, karena berdasarkan wawancara dengan guru Bk di sekolah tersebut menyarankan untuk mengambil data di kelas VII karena siswa di kelas VII cenderung tidak banyak bicara, pemalu, dan kurang berani bertanya saat di kelas.

Kelas VII yang berjumlah delapan kelas diacak, lalu hasilnya ada empat kelas yang terpilih yaitu kelas VII C, VII D, VII E, dan VII F besarnya sampel yang diambil dalam penelitian kali ini sebanyak 145 siswa, yang terdiri dari siswa laki-laki dan perempuan. Jumlah sampel tersebut sebesar 50,3% persen dari jumlah populasi di kelas VII.

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan kuesioner atau angket. Kuesioner atau angket merupakan satu pengukuran data yang efisien bila peneliti mengetahui secara jelas apa yang disyaratkan dan bagaimana mengukur variabel yang diminati. Satu kuesioner atau angket adalah satu set tulisan tentang pertanyaan yang diformulasi supaya responden mencatat jawabannya, biasanya secara terbuka alternatif jawaban ditentukan. Pertanyaan dalam seperangkat kuesioner ialah tentag indikator dan konsep (Silalahi, 2012).

Instrumen daftar pertanyaan dapat berupa pertanyaan (berupa isian yang akan diisi oleh responden), checklist (berupa pilihan dengan cara memberi tanda


(56)

48

pada kolom yang disediakan), dan skala (berupa pilihan dengan memberi tanda pada kolom berdasarkan tingkatan tertentu) (Noor, 2011).

Penilaian dilakukan untuk kuesioner atau angket pola asuh orang tua dengan menggunakan penskalaan likert yang terdiri dari lima pilihan jawaban yaitu, “sangat setuju”, “setuju”, “ragu-ragu/netral”, “tidak setuju”, dan “sangat tidak setuju”, skala ini merupakan teknik mengukur sikap dimana subyek diminta untuk mengindikasikan tingkat kesetujuan atau ketidak setujuan mereka terhadap masing-masing pertanyaan (Noor, 2011).

Sedangkan penilaian untuk perilaku asertif menggunakan pernyataan sebagai stimulus tidak berkenaan langsung dengan perasaan saai ini atau apa yang telah dialami, melainkan disajikan berupa suatu permasalahan, keadaan, situasi, atau kasus hipotetik yang seakan sedang dihadapi oleh subjek dan subjek harus menentukan salah satu tindakan diantara pilihan-pilihan yang disediakan yang merupakan kecenderungan perilakunya. Pilihan jawaban untuk skala perilaku asertif terdiri dari dua pilihan jawaban. Pilihan jawaban A merupakan indikasi adanya asertivitas dibandingkan dengan pilihan B yang mengindikasikan tingkat asertivitas yang tidak tinggi (Azwar, 2013).

Berikut ini merupakan blue print dari kedua variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Blue print skala disajikan ke dalam bentuk tabel yang memuat uraian komponen-komponen atribut yang harus dibuat aitemnya, proporsi aitem dalam masing-masing komponen, dan dalam kasus yang lebih lengkap memuat juga indikator-indikator perilaku di dalam sebuah komponen. Di dalam


(57)

49

dalam setiap penulisan aitem, blue print akan mendukung validitas isi dari skala (Azwar, 2010).

Instrumen yang telah diberikan kepada siswa SMP Negeri 2 Krembung adalah Instrumen dengan skala perilaku asertif dan skala pola asuh orang tua, dari angket tersebut data penelitian. Instrumen dengan skala perilaku asertif digunakan untuk mengungkap perilaku asertif pada siswa dan instrumen dengan skala pola asuh orang tua digunakan untuk mengetahui persepsi siswa terhadap pola asuh yang diberikan oleh orang tua masing-masing siswa.

Metode dalam penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif, penelitian kuantitatif merupakan metode untuk menguji teori-teori tertentu dengan cara meneliti hubungan antarvariabel. Variabel-variabel ini diukur (biasanya dengan instrumen penelitian) sehingga data yang terdiri dari angka-angka dapat dianalisis berdasarkan prosedur statistik (Noor, 2011).

Berikut ini merupakan blue print dari kedua variabel yang digunakan dalam penelitian ini. blue print skala disajikan ke dalam bentuk tabel yang memuat uraian komponen-komponen atribut yang harus dibuat aitemnya, proporsi aitem dalam masing-masing komponen, dan dalam kasus yang lebih lengkap memuat juga indikator-indikator perilaku di dalam sebuah komponen. Di dalam dalam setiap penulisan aitem, blue print akan mendukung validitas isi dari skala (Azwar, 2010).


(58)

50

Tabel 1

Blue Print Skala Perilaku Asertif

No Aspek Aitem Jmlh F %

1 Bertindak sesuai dengan keinginannya

sendiri 1, 6, 11, 16 4 25 %

2 Mampu mengekspresikan perasaan jujur

dan nyaman 2, 7, 12, 17 4 25 %

3 Mampu mempertahankan diri 3, 8, 13, 18 4 25 % 4 Mampu menyatakan pendapat 4, 9, 14, 19 4 25 %

5 Tidak mengabaikan hak-hak orang lain 5, 10, 15, 20 4 25 %


(59)

51

Tabel 2

Blue Print Skala Pola Asuh Orang Tua No Jenis Pola

Asuh Indikator Aitem Jmlh F %

1 Otoritarian

1. Orang tua menetapkan batasan-batasan yang tegas

F 1

2 7,7 % UF 24

2. Orang tua mempersempit peluang anak untuk berbicara

F 2

2 7,7 % UF 23

3. Orang tua memaksa anak mengikuti kehendak orang tua

F 3

2 7,7 % UF 22

4. Orang tua menghukum anak ketika berbuat salah

F 4

2 7,7 % UF 21

2 Pengasuhan yang mengabaikan

(permisif tidak peduli)

1. Orang tua melepaskan anak untuk menjalani hidupnya sendiri

F 6

2 7,7 % UF 25

2. Orang tua membiarkan anak tanpa peraturan

F 26

2 7,7 % UF 19

3 Pengasuhan yang menuruti (permisif memanjakan)

1. Orang tua menetapkan sedikit batasan

F 5

2 7,7 % UF 20

2. Orang tua tidak mengendalikan perilaku anak

F 7

2 7,7 % UF 18

3. Orang tua selalu menuruti semua kemauan anak

F 8

2 7,7 % UF 17

4 Otoritatif (demokrasi)

1. Orang tua mendorong anak agar mandiri

F 9

2 7,7 % UF 16

2. Orang tua memprioritaskan kepentingan anak

F 10

2 7,7 % UF 15

3. Orang tua memperlihatkan kasih sayang kepada anak

F 11

2 7,7 % UF 14

4. Orang tua selalu mengontrol tindakan-tindakan anak

F 12

2 7,7 % UF 13


(60)

52

D. Validitas dan Reliabilitas 1. Validitas

Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur, yang sesuai dengan maksud yang dilakukannya pengukuran tersebut. Tes yang menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran dikatakan sebagai tes yang memiliki validitas rendah (Azwar, 2011).

Standart pengukuran yang digunakan untuk menentukan validitas aitem berdasarkan pendapat Azwar (2007) bahwa suatuaitem dikatakan memiliki indeks

daya beda baik apabila rix ≥ 0,30. Apabila jumlah aitem yang valid masih tidak

mencukupi jumlah yang diinginkan, maka dapat menurunkan sedikit kriteria dari 0,30 menjadi 0,25 atau 0,20. Adapun standart yang peneliti gunakan dalam penelitin ini adalah 0,30.


(1)

78

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian dan analisis data di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Terdapat perbedaan perilaku asertif siswa ditinjau dari pengasuhan otoritarian dengan pengasuhan yang menuruti. Hal ini ditunjukkan dari nilai mean rank pengasuhan otoritarian adalah 35,04, sedangkan mean rank untuk pengasuhan menuruti adalah 15,96.

2. Terdapat perbedaan perilaku asertif siswa ditinjau dari pengasuhan yang mengabaikan dengan pengasuhan otoritatif (demokrasi). Hal ini ditunjukkan dari nilai mean rank pengasuhan mengabaikan adalah 13,00, sedangkan mean rank untuk pengasuhan otoritatif adalah 38,00.

3. Terdapat perbedaan perilaku asertif siswa ditinjau dari pengasuhan yang menuruti dengan pengasuhan otoritatif (demokrasi). Hal ini ditunjukkan dari nilai mean rank pengasuhan menuruti adalah 13,68, sedangkan mean rank untuk pola asuh otoritatif adalah 37,00.

4. Terdapat perbedaan perilaku asertif siswa ditinjau dari pengasuhan yang menuruti dengan yang mengabaikan. Hal ini ditunjukkan dari nilai mean rank pengasuhan menuruti adalah 14,36, sedangkan mean rank untuk pengasuhan mengabaikan adalah 36,64


(2)

79

5. Terdapat perbedaan perilaku asertif siswa ditinjau dari pengasuhan otoritarian dengan pengasuhan otoritatif (demokrasi). Hal ini ditunjukkan dari nilai mean rank pengasuhan otoritarian adalah 13,00, sedangkan mean rank untuk pengasuhan otoritatif adalah 38,00.

6. Terdapat perbedaan perilaku asertif siswa ditinjau dari pengasuhan otoritarian dengan mengabaikan. Hal ini ditunjukkan dari nilai mean rank pengasuhan otoritarian adalah 33,16, sedangkan mean rank untuk pengasuhan mengabaikan adalah 17,84.

7. Terdapat perbedaan perilaku asertif pada siswa ditinjau dari pola asuh orang tua (otoritarian, menuruti, mengabaikan, dan otoritatif) di SMP Negeri 2 Krembung. Hal ini ditunjukkan dari nilai signifikansi sebesar 0,000 < 0,05.

B. Saran

1) Bagi Siswa, khususnya subyek dalam penelitian ini hendaknya berusaha dan terus belajar untuk dapat mengungkapkan pendapat dan apa yang diinginkan secara jujur, tegas, akan tetapi juga harus memperhatikan hak-hak orang lain, agar tidak sampai menyinggung perasaan orang lain. 2) Pihak sekolah. diharapkan agar guru di sekolah juga membantu para

siswa agar siswa berani mengungkapkan pendapat dan keinginannya saat di kelas ataupun di luar kelas.


(3)

80

3) Peneliti lain, peneliti lain yang tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik yang serupa, diharapkan agar menggunakan variabel yang lain yang berpengaruh terhadap perilaku asertif, seperti jenis kelamin, usia, status sosial, kebudayaan, dan konsep diri.


(4)

81

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, S. (2010). Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Tingkat Agresivitas Anak. Jurnal Medtek. Makassar: Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar. 2 (1). Th

Almasitoh, U. H. (2013). Kepribadian Individu Kreatif: Afiliatif & Asertif. Magistra. Klaten: Fakultas Psikologi UNWIDHA Klaten. 83. Th. XXV. (1-10)

Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta

Azwar, S. (2011). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Azwar, S. (2013). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Erbay, E., & Akcay, S. (2013). Assertiveness Skill of Social Work Students: A

Case of Turkey. Academic Research International. 4 (2). 316-323

Falentina, F. O., & Yulianti, A. (2012). Asertivitas Terhadap Pengungkapan Emosi Marah pada Remaja. Jurnal Psikologi. Riau: Fakultas Psikologi UIN Sultan Syarif Kasim Riau. 8 (1). 9-14

Friedman, H.S., & Schustacck, M.W. (2006). Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern Edisi ke-3. Jakarta: Penerbit Erlangga

Gunarsa, S.D. (1995). Psikologi Perkembangan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Gunarsa, S. D. (2012). Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: Penerbit Libri

Hasanzadeh, R., & Mahdinejad, G. (2012). Investigation of the Relationship between Self-assertiveness and School's attitude. Journal of Elementary Education . 22 (1). 81-88

http://www.beritaaktual.com/1228/fenomena-menyedihkan-anak-kecil-sudah-merokok (24 Juni 2015, 02.40)

Khan, R. I. (2012). Perilaku Asertif, Harga Diri dan Kecenderungan Depresi. Persona, Jurnal Psikologi Indonesia. Surabaya: Alumni Program Magister Psikologi Pascasarjana-Untag Surabaya. 1 (2). 143-154

Latipun. (2011). Psikologi Eksperimen Edisi Kedua. Malang: UMM Press

Lovihan, M. A. K., & Kaunang, R. O. W. (2010). Perbedaan Perilaku Asertif pada Wanita Karir yang Sudah Menikah dengan yang Belum Menikah di Minahasa. Inovasi. Universitas Negeri Manado dan Universitas Negeri Gorontalo. 7 (4). 240-250

Lloyd, S. R. (1991). Mengembangkan Perilaku Asertif yang Positif. Jakarta: Binarupa Aksara. Alih Bahasa: Drs. Budi

Marini, L., & Andriani, E. (2005). Perbedaan Asertivitas Remaja ditinjau dari Pola Asuh Orang Tua. Psikologia. Sumatera Utara: P S. Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 1 (2). 46-53

Miasari, A. (2012). Hubungan Antara Komunikasi Positif dalam Keluarga dengan Asertivitas pada Siswa SMP Negeri 2 Depok Yogyakarta. Empathy. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan. 1 (1). 32-46 Monks, K.N., & Haditomo, S.R. (2007). Psikologi Perkembangan: Pengantar

dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press


(5)

82

Muhid, A. (2010). Analisis Statistik SPSS for Windows Cara Praktis Melakukan Analisis Statistik. Surabaya: LEMLIT IAIN Sunan Ampel Surabaya & Duta Aksara

Muhid, A., Dkk. (2013). Psikologi Umum. Surabaya: IAIN SA Press

Najati, M.U. (2004). Psikologi dalam perspektif hadits. Jakarta: Pustaka al-Husna Baru

Noor, J. (2011). Metodologi Penelitian. Jakarta: Kencana Penadamedia Group Novalia., & Dayakisni, T. (2013). Perilaku Asertif dan Kecenderungan Menjadi

Korban Bullying. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan. Malang: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang. 01 (01). 169-175

Pourjali, F., & Zarnaghash, M. (2010). Relationships Between Assertiveness and the Power of Saying no With Mental Health Among Undergraduate Student. Procedia Social and Behavioral Sciences. 9. 137-141

Pratiwi, W. E. (2015). Pengaruh Budaya Jawa dan Harga Diri Terhadap Asertivitas pada Remaja Siswa Kelas X di SMA Negeri 3 Ponorogo. eJournal Psikologi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman. 3 (1). 348-357

Rezan, A., & Zengel, M. (2009). The Effectiveness of an Assertiveness Training

Programme on Adolescents’ Assertiveness Level. Elementary Education

Online. 8 (2). 485-492

Safitri, Y., & Hidayati, N. E. (2013). Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Tingkat Depresi Remaja di SMK 10 November Semarang. Jurnal Keperawatan Jiwa. Semarang: Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Semarang. 1 (1). 11-17

Santoso, P. B., & Ashari. (2005). Analisis Statistika dengan Microsoft Exel dan SPSS. Yogyakarta: Andi

Santrock, J. W. (2002). Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Erlangga.

Santrock, J.W. (2007). Perkembangan Anak Jilid 1 Edisi Kesebelas. PT Gelora Aksara Pratama

Sarwono, S.W. (1982). Pengantar Psikologi Umum Cetakan ke-2. Jakarta: Bulan Bintang

Sekaran, U. (2006). Metode Riset Bisnis. Jakarta: Salemba Empat

Seyrdowleh, G., dkk. (2014). Comparison of Pupils’ Social Skills and Assertiveness with Parenting Style. International Journal of Education and Applied Sciences. 1 (3). (147-152)

Shaleh, A.R., & Wahab, M.A. (2004). Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam. Jakarta: KENCANA Prenada Media Grup

Silalahi, U. (2012). Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama Sobur, A. (2003). Psikologi Umum dalam Lintas Sejarah. Bandung: Pustaka Setia Su’adah., & Lendriyono, F. (2003). Pengantar Psikologi. Malang: Bayumedia

Publishing 7 UMM Press

Sudarmanto, G. (2013). Statistik Terapan Berbasis Komputer dengan Program IBM SPSS Statistics 19. Jakarta: Mitra Wacana Media


(6)

83

Teviana, F., & Yusiana, M. A. (2012). Pola Asuh Orang Tua terhadap Tingkat Kreativitas Anak. Jurnal STIKES. 5 (1). 48-60

Thoha, C. (1996). Kapita Selekta Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset

Tridhonanto, A., & Agency, B. (2014). Mengembangkan Pola Asuh Demokratis. Jakarta: PT Elex Media Komputindo

Walgito, B. (2002). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: ANDI

Widoyoko, E. P. (2014). Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar