SOSIALISASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN risbang TENTA
1
SOSIALISASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA MAKANAN DAN MINUMAN
( UU NO. 8 TAHUN 1999)
A. Latar Belakang Masalah
Perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum yang memuat asas-asas
atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang
melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan
masalah antara berbagai pihak satu sama lain yang berkaitan dengan barang
dan/atau jasa konsumen dalam pergaulan hidup.
Pengawasan pangan merupakan kegiatan
pengaturan
wajib
oleh
pemerintah pusat maupun daerah untuk memberika nperlindungan kepada
konsumen dan menajamin bahwa semua produk pangan sejak produksi,
penanganan, penyimpanan, pengelolahan dan distribusi adalah aman, layak dan
sesuai untuk dikonsumsi manusia, memenuhi persyaratan keamanan dan
mutupangan, dan telah diberi label dengan jujur, dan tepat sesuai hukum yang
berlaku.
Konsumsi
masyarakat
terhadap
produk-produk
cenderung
terus
meningkat, seiringdengan perubahan gaya hidup masyarakat termasuk pola
konsumsinya. Sementara itu pengetahuan masyarakat masih belum memadai
untuk dapat memilih dan menggunakan produk secara tepat, benar dan aman. Di
lain pihak iklan dan promosi secara genca rmendorong konsumen untuk
mengkonsumsi secara berlebihan dan seringkali tidakrasional.
2
Di kota Pekanbaru telah beredar produk makanan dan minuman sebanyak
10.635 produk yang datang dari luar daerah maupun dari luar negeri. Perubahan
teknologi produksi, sistem perdagangan internasional dan gaya hidup konsumen
tersebut pada realitasnya meningkatkan resiko dengan implikasi yang luas
padakesehatan dan keselamatan konsumen. Apabila terjadi produk sub standar,
rusak atau terkontaminasi oleh bahan berbahaya maka risiko yang terjadi akan
berskala besar dan luas serta berlangsung secara amat cepat.
Mutu pangan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
1996 tentang Pangan Pasal 1 angka (13) adalah nilai yang ditentukan atas dasar
kriteria keamanan pangan, kandungan gizi dan standar perdagangan terhadap bahan
makanan dan minuman. Saat ini makanan yang beredar di pasaran, tidak sedikit
mengandung zat yang dapat membahayakan tubuh manusia seperti zat pewarna
tekstil, pemanis buatan, formalin, boraks dan bahan berbahaya lainnya. Dinas terkait
seperti Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian
dan Perdagangan sudah rutin melakukan sidak, pengawasan, dan pembinaan terhadap
industri rumah tangga. Namun makanan dengan zat yang berbahaya tetap saja
ditemukan. Agar seluruh proses pengolahan makanan tersebut memenuhi persyaratan
keamanan, mutu dan gizi pangan, maka perlu diwujudkan suatu sistem pembinaan
dan pengawasan yang efektif dibidang keamanan, mutu dan gizi pangan. Pembinaan
terhadap produsen mengandung makna mendorong pelaku usaha supaya bertindak
sesuai aturan yang berlaku, baik aturan yang diharuskan undang-undang, kebiasaan
maupun kepatutan.
Di samping itu, di dalam UUPK juga telah diatur mengenai pelaku usaha
dilarang
memproduksi
dan/atau
memeperdagangkan
barangdan/atau
jasa
sebagaimana tercantum pada pasal 8. Menurut pasal ini pelaku usaha dilarang
3
memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak
mencantumkan tanggal kadarluarsa atau jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan
yang paling baik atas barang tertentu, tidak mengikuti ketentuan produksi secara
halal,sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label. Dengan
demikian, secara normatif telah ada ketentuan yang mengatur tanggung jawab
pelaku usaha, sebagai upaya melindungi pihak konsumen.
Sebagai konsekuensi hukum dari pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku
usaha, maka setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang
merugikan konsumen memberikan hak kepada konsumen yang dirugikan atas
pengurangan berat timbangan pada produk makanan dalam kemasan tersebut
untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha yang telah merugikannya.
Tetapi apabila pelaku usaha menolak dan/atau tidak memberikan tanggapan
bahkan tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka konsumen
diberikan hak untuk menggugat pelaku usaha dan menyelesaikan perselisihan
yang timbul melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau dengan cara
mengajukan gugatan kepada badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
Praktek-praktek penjualan makanan yang merugikan konsumen di
Indonesia seperti :
1. Manipulasi Harga. Konsumen di Indonesia seringkali mendapatkan kenaikan
harga pangan yang tiba-tiba manakala terjadi kenaikan gaji pegawai negeri atau
manakala menghadapi hari-hari raya. Seringkali permainan harga
ini juga karena spekulasi dari para pedagang.
4
2. Promosi Pengurangan Harga yang tidak benar.Seringkali pedagang memberikan
potongan harga seolah-olah harga telah dikurangi, padahal kenyataannya harga
masih tetap seperti semula.
3. Biaya kemasan. Biaya kemasan meningkatkan harga makanan, biaya ini bisa
mencapai 11 % dari harga makanan. Seringkali produsen membuat berbagai rupa
kemasan menarik agar konsumen tertarik untuk membeli produk, yang bagi
konsumen merupakan hal yang berlebih-lebihan.
4. Shortweighting and slackfilling. Shortwighting adalah berat makanan yang
sebenarnya adalah lebih kecil dari berat yang tertera pada label kemasan.
Slackfilling suatu impresi yang diberikan oleh kemasan yang seolah-olah produk
yang terisi penuh, padahal kenyataannya tidak penuh, yaitu terdapatnya
ruang kosong yang tidak berguna dalam kemasan.
5. Penempatan Produk yang Mentah atau Rusak. Konsumen seringkali begitu
cepat tergiur untuk membeli buah-buahan yang tampak matang pada bagian atas
kemasan. Tetapi begitu tiba di rumah kita kecewa, karena sebagian besar buahbuahan yang kita beli belum matang atau bahkan rusak. Ini tidak terlihat karena
para pedagang menempatkannya pada bagian bawah kontainer.
6. Manipulasi Timbangan. Para pedagang seringkali melakukan berbagai macam
modifikasi pada alas timbang, sehingga makanan yang dibeli beratnya tampak
lebih besar dari yang sebenarnya.
7. Pemberian Harga yang Ganjil Restaurant Fast Food dan Supermarket. Sering
mencantumkan harga yang ganjil misalnya harga sepotong ayam goreng Rp 2999
atau Rp 4508 atau sebungkus snack Rp 975. Manakala kita membayar dan
memperoleh kembalian, yang kita dapatkan bukan kembalian sebesar Rp 1 atau
5
92 atau Rp 25, tetapi adalah sepotong permen. Bayangkan berapa keuntungan
pedagang apabila 2000 orang konsumen dirugikan setiap harinya.
8. Tanya Tanggal Kadaluarsa. Konsumen menghadapi resiko yang sangat besar
dalam mengkonsumsi makanan atau minuman, karena masih banyak produkproduk makanan yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa. Produsen
seharusnya mencantumkan salah satu alternatif tanggal berikut: Pull date (tanggal
produk harus sudah terjual),expiration date (tanggal produk harus sudah
dikonsumsi).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
memberikan hak kepada konsumen yang dirugikan untuk mendapat kompensasi
atau ganti rugi atas pemakaian barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh pelaku
usaha. Penuntutan ganti rugi oleh konsumen kepada pelaku usaha dapat dilakukan
secara langsung yaitu dengan meminta pengembalian uang, permintaan perawatan
kesehatan atau pemberian santunan berkaitan dengan barang atau jasa yang
dikonsumsi konsumen (Pasal 19). Konsumen yang dirugikan akibat pengurangan
berat timbangan merupakan salah satu tindakan yang melanggar hukum, hal
tersebut sesuai dengan Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa tiap
perbuatan melanggar hukum, yang menyebabkan kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian, mengganti
kerugian tersebut. Pasal tersebut mengindikasikan bahwa ketika terjadi
pengurangan berat timbangan merupakan tindakan yang melanggar hokum karena
secara
langsung
konsumen
merasa
dirugikan,sehingga
produsen
wajib
memberikan ganti rugi atas timbulkan kerugian tersebut. Jadi, setiap orang yang
dirugikan dapat menuntut ganti rugi secara perdata kepada pelaku usaha makanan
6
(produsen). Selain itu, konsumen dapat menggugat pelaku usaha untuk menuntut
ganti rugi
Bertolak dari keadaan yang demikian, maka perlindungan hukum terhadap
hak-hak konsumen tidak dapat diberikan oleh satu aspek hukum saja, melainkan
oleh seperangkat sistim hukum yang mampu memberikan perlindungan yang terus
menerus sehingga terjadi persaingan yang jujur yang secara langsung maupun
tidak langsung akan menguntungkan konsumen.
Hal ini juga tercantum didalam Undang-Undang No 8 Tahun 1999
mengenai perlindungan konsumen yang menyebutkan bahwa “ Perlindungan
Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen.”Oleh karena itu, berbicara mengenai
perlindungan konsumen berarti mempersoalkan mengenai jaminan ataupun
kepastian mengenai terpenuhinya hak-hak konsumen.Sebagaimana yang diketahui
bahwa
dengan
adanya
Globalisasi
dan
perkembangan-perkembangan
perekonomian yang terjadi secara pesat di dalam era perekonomian modern ini
telah menghasilkan berbagai jenis dan variasi dari barang dan/atau jasa yang dapat
dikonsumsi oleh masyarakat.
Fenomena yang ditemukan bahwa konsumen masih banyak konsumen
yang dirugikan dan Permasalahan yang dihadapi konsumen tidak hanya sekedar
bagaimana memilih barang, tetapi jauh lebih kompleks dari itu yang menyangkut
7
pada kesadaran semua pihak, baik pengusaha, pemerintah maupun konsumen itu
sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen seharusnya konsumen dan
pelaku usaha sesuai dengan UU No.8 Tahun 1999 pasal 3. bahwa tujuan dari UU
PK adalah melindungi kepentingan konsumen, dan di satu sisi menjadi pecut bagi
pelaku usaha untuk meningkatkan kualitasnya.Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen pasal 3, bahwa
perlindungan Konsumen bertujuan untuk :
a) Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri;
b) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barangdan/atau
jasa
c) Meningkatkan
pemberdayaan
konsumen
dalam
memili,
menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses
untuk medapatkan informasi;
e) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
f) Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, keselamatan konsumen.
8
Demi mendapatkan kembali hak-hak sebagai konsumnen dan Piranti
hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha
para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat
mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahimya perusahaan yang
tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa
yang berkualitas.Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah : Badan
yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha
dengan konsumen. (Pasal I ayat 2 UU No.8 Thn 1999) di luar Pengadilan, karena
cukup Banyaknya permasalahan di Pengadilan Negeri sehingga tidak dapat
terselesaikan maka pemerintah memberikan kewenangan kepada Suatu Badan
ADHOG disebut BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) dibawah
binaan Kementerian Perdagangan / Pemerintah Kota Pekanbaru.
BPSK merupakan suatu Badan/Lembaga independent, badan publik yang
mempunyai tugas dan wewenang diatur dalam pasal 52 UUPK Jo SK
Memperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tanggal 10 desember 2001 antara
lain :
A. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan
cara Konsiliasi, Mediasi atau Arbitrase.
B. Memberikan konsultasi perlindungan Konsumen.
C. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku.
D. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan
Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen.
E.Menerima pengaduan baik tertulis maupun lisan, dari konsumen tentang
terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.
9
F. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen.
G. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
perlindungan konsumen.
H. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan atau setiap orangyang
dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
I. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi
ahli, atau setiap orang sebagai mana dimaksud pada huruf g dan huruf h,
yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK.
J. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti
lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan.
K. Memutuskan dan menetapkan ada dan /atau tidak adanya kerugian dipihak
konsumen.
L. Memberitahukan putusan
kepada pelaku usaha yang
melakukan
pelanggaran pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.
M. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
Fungsi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah sebagai Lembaga
penyelesaian Sengketa Konsumen diluar Pengadilan secara optimal.
10
Pengaduan konsumen pada kantor Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen pada tahun 2013 adalah sebagai berikut :
Tabel I.1 : Data jumlah penyelesaian sengketa konsumen tehadap
makanan dan minuman di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
N Jenis
Penyelesaian
no
makanan dan
Selesai
Tidak selesai
minuman
1
Beras
-Tanpa putusan 1
kasus
2
OatMeal
3
1 kasus
Daging ayam 3 kasus
kemasan
4
Jenis pengaduan
Tidak sesuai
dengan yang telah
dipromosikan
Kadarluasa
Minyak
goreng
-Tanpa putusan 1
kasus
-Tanpa putusan4
kasus
Daging ayam yang
tidak layak
Kecurangan dalam
promosi
5
Daging
kemasan
sapi
5 kasus
Daging sapi yang
sudah tidak layak
6
Bakso kemasan
2 kasus
Kadarluarsa
7
nugget
1 kasus
Kadarluarsa
8
parsel
1 kasus
9
sirup
- Gugatan ditolak
Makanan yang
dihidangkan tidak
1 kasus
sesuai dengan yang
Tanpa putusan 1
disepakati
kasus
Kadarluarsa
- Tanpa putusan 1
kasus
11
10
Makanan
11
ringan
Jajanan bakso
1 kasus
Kadarluarsa
Kecurangan dalam
-Gugatan di tolak pembuatan bahan
bakar
1kasus
Sumber : Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, 2014
Dari data tabel diatas tersebut maka dapat diketahui bahwa jumlah
penyelesaian konsumen terdapat 9 kasus tanpa putusan yang mana penyebabnya
adalah setelah diteliti perkara tersebut bukanlah menjadi kewenangan anggota
Majelis BPSK kota Pekanbaru dan
pelapor tidak diberitahu tata cara dalam
mengajukan persyaratan sengketa dan terdapat gugatan ditolak 2 kasus di
karnakan pengaduan konsumen hanya secara lisan.
Dalam melayani penyelesaian sengketa konsumen semestinya BPSK harus
lah memiliki anggota. Yang mana sudah tertulis jelas di Undang-Undang No 8
Tahun 1999 pasal 49 ayat 4 yaitu : anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud
pada ayat 3 adalah anggota sebagaimana terdiri atas unsur pemerintah, unsur
konsumen, dan unsur pelaku usaha berjumlah sekurang-kurangnya 3 orang, dan
sebanyak-banyaknya 5 orang.
Kenyataannya
anggota
Badan
Penyelesaian
Sengketa
Konsumen
Pemerintah Kota Pekanbaru melebihi dari yang mana sudah tertulis di UndangUndang No 8 Tahun 1999 pasal 49 ayat 4. Namun untuk melihat jumlah anggota
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dapat dilihat pada data berikut ini :
I. UNSUR PEMERINTAH
1. H. AZRIAL,S.H.,M,H (Dishubkominfo) : Ketua BPSK
2. Drs. Zulkarnain (Disperindag)
: Anggota BPSK
3. Arie Susma Indah,S.H.,M,H (Diskop)
: Anggota BPSK
12
II. UNSUR KONSUMEN
1. Drs. Rizal Furdail(LPKSM Pekanbaru) : Wakil Ketua BPSK
2. Santoso,S.H( Pengacara)
:Anggota BPSK
3. Vera Lusiana,S.E (Wartawati)
:Anggota BPSK
III. UNSUR PELAKU USAHA
1. Erawati,S.H(Pengusaha / Pengacara)
:Anggota BPSK
2. Aidil Fitsen,S.H (Pengusaha / Pengacara)
: Anggota BPSK
3. Mahlil,S.Ag (Pengusaha /Ketua Ikaboga)
: Anggota BPSK
IV SEKETARIAT
. KEPALA SEKETARIAT :
ANGGOTA
Wijaya
: Dra. Hj. Yettiniza,M.Pd
Zulkarnain,S.Sos
Riswenti, SE
Dari data diatas tersebut maka dapat diketahui bahwa jumlah anggota
Badan Penyelsaian Sengketa Konsumen mencapai 9 orang. Agar terciptanya
pelayanan masyarakat yang maksimal sesuai dengan Undang-Undang No 8 tahun
1999 pasal 51 ayat 1 yaitu : Badan Penyelesian Sengketa Konsumen dalam
menjalankan tugasnya dibantu oleh seketariat.
Permasalahan dan kendala lain yang dihadapi dalam implementasi
Undang-Undang 8 Tahun 1999 ini adalah anggaran biaya dalam pelaksanaan
tugas Perlindungan Konsumen yang sekarang tidaklah mencukupi atau memadai
dan sangat diperlukan penambahan. Bahwah Badan Pesenyelesaian sengketa
13
Konsumen adalah Badan yang diberi tugas mengawal Implementasi UndangUndang 8 tahun 1999 Tentang Perlingdungan Konsumen. Anggaranyang di
tetapkan Pemerintah Kota Pekanbaru saat sekarang sangat tidak memadai atau
sangat-sangat
kurang
untuk
biaya
Operasional
ataupun
biaya
untuk
Gaji/Honorarium. Berikut ini adalah daftar Gaji/Honorarium menurut jabatan
TABEL 1.2 Gaji/Honorarium anggota BPSK
N
Tingkatan kerja menurut Struktur
O
Gaji/Honorarium
Organisasi
1
KETUA
Rp. 1.400.000,-/ bulan
2
WAKIL KETUA
Rp. 1.200.000,-/ bulan
ANGGOTA
Rp. 750.000,-/ bulan
3
Sumber : Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, 2013
Dari data tabel diatas berdampak kepada anggota Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen yang mana anggotanya tidak datang lagi/masuk ke kantor
sedangkan pengaduan semakin bertambah sehingga akan menjadi beban. Kendala
lainnya yaitu kantor Badan Penyelesaian Sengketa harus memeliki ruangan
tersendiri dan tidak bersatu dengan ruangan atau kantor Dinas lainnya. Sebagai
mana kelihatannya kantor Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen bersatu
dengan Kantor Dinas Perindustian dan Perdangan Kota Pekanbaru.
Bedasarkan fenomena yang ditemukan oleh penulis di lapangan, maka
dapat dirincikan sebagai berikut :
1. Pelaksanaan pelayanan publik kurang maksimal dikarnakan kurangnya
sosialisasi kepada masyarakat.Sementara peran serta fungsi yang lain
kurang berjalan padahal sebenarnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
14
tidak hanya sebatas agar pelaku Usaha tidak melakukan kecurangan,
melainkan juga memberi perlindungan kepada setiap konsumen.
2. Kurangnya
dukungan
dari
pemerintah
kota
pekanbaru
dalam
mengimplementasikan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 dalam segi
sarana dan biaya operasional
3. Dalam jumlah keanggotaan BPSK melebihi sebagai mana yang telah
ditetapkan oleh Undang-Undang No 8 Tahun 1999 pasal 49 ayat 4.
Bertitik tolak dari gejala-gejala diatas maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul :“implementasi Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
Tengtang perlindungan Konsumen Terhadap Makanan dan Minumandi
BPSK Kota Pekanbaru”.
B. PerumusanMasalah
Suatu organisasi tidak terlepas dari adanya unsur menejemen yang
merupakan penggerak agar tujuan dari organisasi dapat tercpai secara defektif dan
efisien.
Menjalankan dan melakukan implementasi terhadap suatu peraturan maka
terlebih dahulu ditentukan siapa yang melakukan atau yang menjadi subjek. Maka
dari itu kenyataan mengenai kegiatan yang dilakukan pihak BPSK kota Pekanbaru
belum maksimal dalam mengimplementasikan UU No 8 Tahun 1999 , yang mana
sangat diperlukan karena untuk mengetahui sejauh mana suatu perkerjaan telah
dilakukan dan mencapai hasil yang telah ditetapkan sesuai dengan rencana yang
ada.Oleh karena itu, peimplementasian belum berjalan dengan baik yang terlihat
15
dari beberapa sebab antara lain kurang instasi terkait untuk melakukan secara
langsung, dan suatu harapan yang ingin dicapai dari penelitian ini dan bagaimana
setiap tugas dapat dijalankan dengan baik dan dilakukan dengan ekstra. Maka
dapat dirumuskan permasalahan pokok dalam penelitian ini yaitu ;
a) Bagaimana Implementasi UU Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan
Konsumen terhadap makanan dan minuman di BPSK kota Pekanbaru
b) Faktor – faktor yang mempengaruhi implementasi UU Nomor 8 Tahun
1999 tentang perlindungan Konsumen terhadap makanan dan minuman di
BPSK Kota Pekanbaru
C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pelaksanaan implementasi UU Nomor 8 tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen terhadap makanan dan minuman di
BPSK Kota Pekanbaru
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi Implementasi UU
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen terhadap
makanan dan minuman di BPSK Kota Pekanbaru
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan berguna untuk :
a) Bagi peneliti sendiri, dapat menambah wawasan dan pengetahuan
tentang Perlindungan konsumen dan Implementasinya serta
menganalisis terhadap kenyataan yang ada.
16
b) Bagi pembaca lain dan peneliti lain, dapat memberikan sumbangan
pengetahuan tambahan dan memahami masalah yang berkenan
dengan masalah implementasi UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen terhadapt makanan dan minuman di kota
pekanbaru.
2. Secara praktis penelitian ini diharapkan berguna untuk :
a) Sebagai masukan bagi pengambilan keputusan Pemerintah yan
g pembinaan dan pengawasannya dilakukan oleh Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Pekanbaru dalam
pelaksanaan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen.
b) Bagi penulis sebagai sarana dalam menrapkan untuk
mendapatkan data dan informasi dalam Ilmu Administrasi pada
Impelementasi Kebijakan.
c) Sebagai bahan referensi bagi lain dalam melakukan penelitian
dengan permasalahan yang sama.
D. Konsep Teoritis
Untuk mengetahui solusi dalam penyelesaian permasalahan yang ada
dalam penelitian ini. Maka perlu adanya teori-teori yang sesuai dengan
permasalahan yang dikaji, sehingga permasalahan ini mampu diselesaikan sesuai
yang diharapkan.
1.Konsep implementasi kebijakan
Organisasi merupakan perangkat yang dibutuhkan dan sangat menentukan
ketika kelompok orang bertujuan mencapai hasil secara kolektif yang diharapkan
17
terlebih di era globalisasi yang semakin maju dewasa ini. Demikian pula
organisasi pemerintah di fungsikan untuk mencapai tujuan negara.
Implementasi adalah sebagai suatu proses, hasil dan sebagai akibat.
Sebagai suatu proses implementasi merupakan rangkaian keputusan dan tindakan.
Maksudnya, untuk menempatkan suatu keputusan otoriatif awal dari legislatif
pusat dalam suatu akibat atau efek
Kebijakan (policy) dalam pemerintahan hendaknya dibedakan dengan
kebijaksanaan (wisdom) karena kebijaksanaan merupakan pengejawantahan
aturan yang sudah ditetapkan sesuai situasi dan kondisi setempat oleh person
pejabat yang berwenang. Disamping itu kebijakan atau policy dapat juga kita
katakan atau kita pergunakan untuk menunjuk perilaku seorang, aktor (misalnya
seorang pejabat, suatu kelompok maupun suatu mbaga pemerintah) ataupun
sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu menurut, (Inu Kencana
1999:105).
Kebijakan pemerintah adalah apa yang diputuskan oleh pemerintah
pusat. Perhatian utama kepemimpinan pemerintahan public policy (kebijakan
pemerintah) yaitu apapun yang di pilih pemerintah dalam mengatasi berbagai
permasalahan yang timbul di tengah masyarakat.
Kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategisterhadap sumber dayasumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau
pemerintah, kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi oleh pemerintah
demi kepentingan orang-orang yang tidak berdaya dalam masyarakat agar mereka
dapat hidup dan ikut berpartisipasi dalam pemerintah menurut, (Keban, 2004:56).
18
Disamping itu Willy N menyatakan bahwa kebijakan public adalah suatu
rangkaian pilihan-pilihan yang saling berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau
pejabat pemerintah seperti pertahanan dan keamanan, energi, kesehatan,
pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kriminalitas, perkotaan dan lain-lain.
(Dunn, dalan Inu Kencana 1999:107).
Proses pelaksanaan kebijakan yang bersifat self execuiting artinya begitu
suatu kebijakan dirumuskan maka otomatis kebijakan itu terimplementasikan
misalnya saja peraturan perundangan, keputusan, ketetapan atau yang sejenis
melalui proses implementasi berbagai pihak sehingga nampak dampaknya, ada
beberapa paihak yang terlibat dan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan
kebijakan tersebut, pejabat pemerintah yang ada dimacam-macam lembaga negara
selain berfungsi sebagai perumus kebijakan sekaligus sebagai pelaksana
kebijakan.
Badan-badan pemerintah adalah pelaksana utama daripada kebijakan,
badan-badan ini pulalah yang setiap hari secara langsung berhubungan dengan
rakyat dalam melaksanakan kebijakan. Contohnya lembaga legislatif yang
mempunyai peranan dalam melaksanakan kebijakan pemerintah, pimpinan partai
politik dan warga negara juga mempunyai fungsi sebagai pelaksana kebijakan.
Pelaksana kebijakan memang bisa bervariasi sesuai dengan jenis masing-masing
kebijakan dengan kata lain tergantung kepada mereka yang terkena dampak
langsung atas pelaksanaan kebijakan tersebut.
Rangkaian implementasi kebijakan dari gambar diatas dapat dilihat dengan
jelas, yaitu mulai dari program ke proyek dan kegiatan. Model tersebut
19
mengadaptasikan mekanisme yang lazim didalam manajemen, khususnya
manajemen sektor publik
Pada
prinsipnya
tujuan
kebijakan
adalah
melakukan
intervensi.
Implementasi kebijakan sebenarnya adalah tindakan (action) dari interventasi itu
sendiri. Mazmanian dan Sabatier dalam Nugroho (2005) memberikan
gambaran bagaimana melakukan intervensi Implementasi kebijakan dalam
langkah urutan sebagai berikut:
1. Identifikasi masalah yang harus diintervensi
Yaitu melakukan identifikasi terhadap setiap permasalahan yang akan
di ambil penyelesaiannya.
2. Menegaskan tujuan yang hendak dicapai
Yaitu megetahui apa tujuan yang ingin di capai dari pengambilan suatu
kebijakan tersebut.
3. Merancang struktur proses Implementasi
Yaitu menyusun secara jelas setiap proses pengambilan kebijakan dari
pemerintah
Pelaksanaan atau implementasi kebijakan didalam konteks manajemen
berada didalam kerangka organizing, leading, controling. Jadi ketika kebijakan
sudah dibuat, maka tugas selanjutnya adalah mengorganisasikan, melaksanakan
kepemimpinan pelaksanaan dan melakukan pengendalian pelaksanaan tersebut.
Meter and Horn dalam Sujianto (2008) mencoba mengadopsi model
sistem kebijaksanaan yang pada dasarnya menyangkut beberapa komponen yang
harus selalu ada agar tuntutan kebijaksanaan bisa direalisasikan menjadi hasil
20
kebijaksanaan. Terdapat enam variable yang mempengaruhi keberhasilan
implementasi kebijaksanaan sebagai berikut:
1. Standar dan tujuan kebijakan
Yaitu memberikan perhatian utama yang menentukan hasil kerja. Maka
identifikasi indikator-indikator hasil kerja merupakan hal yang penting karena
indikator ini menilai sejauh mana standar dan tujuan menjelaskan keseluruhan
kebijakan.
2. Sumber daya kebijakan
Yaitu kebijaksanaan mencakup lebih dari sekedar standard dan sasaran, tapi
juga menuntut ketersediaan sumber daya yang akan memperlancar
implementasi. Sumberdaya ini dapat berupa dana maupun insentif lainya yang
akan mendukung implementasi secara efektif.
3. Kondisi ekonomi, sosial dan politik
Yaitu pengaruh variable lingkungan terhadap implementasi program,
diantaranya sumberdaya ekonomi yang dimiliki organisasi pelaksana,
bagaimana sikap opini publik, dukungan elit, peran dan kelompok-kelompok
kepentingan dan swasta dalam menujang keberhasilan program
4. .Disposisi sikap para pelaksana
Yaitu persepsi pelaksana dalam organisasi dimana program itu diterapkan, hal
ini dapat berubah sikap menolak, netral dan menerima yang berkaitan dengan
sistim nilai pribadi, loyalitas, kepentingan pribadi dan sebagainya.
Selanjutnya George C Edwards III dalam Sujianto (2008)menyatakan
pendekatan yang digunakan terhadap studi implementasi kebijakan, dimulai dari
21
sebuah intisari dan menanyakan apakah prakondisi untuk implementasi
kebijakannya yang berhasil? Apakah rintangan primer untuk implementasi
kebijakannya sukses? Untuk itu perlu dipertimbangkan empat faktor kritis
dalam mengimplementasikan kebijakan publik yaitu:
1)
Komunikasi
Komunikasi adalah alat kebijakan untuk menyampaikan perintah-perintah
dan arahan-arahan (informasi) dari sumber pembuat kebijakan kepada merekamereka yang diberikan wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan
kebijakan tersebut. Untuk itu perlu memahami arah penyampaian kebijakan. Tipe
komunikasi yang diajukan oleh Edward III termasuk kepada tipe komunikasi
vertikal. Menurut karz dan Kahnkomunikasi vertikal mencakup lima hal:
a.
Petunjuk-petunjuk tugas yang spesifik (perintah kerja)
b.
Informasi dimaksudkan untuk menghasilkan pemahaman mengenai
tugas dan hubungannya dengan tugas-tugas organisasi lainnya
(rasionalisasi pekerjaan)
c.
Informasi tentang praktek-praktek dan prosedur keorganisasiannya
d.
Perintah-perintah
e.
Arahan-arahan dan pelaksanaan yang dikirimkan kepada pelaksana
program
Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai dalam mengukur keberhasilan variabel
komunikasi yaitu :
a) Transmisi; penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu
implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam penyaluran
komunikasi adalah adanya salah pengertian (misscommunication).
22
b) Kejelasan; komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan (streetlevel-bureuarats)
haruslah
jelas
dan
tidak
membingungkan
(tidak
ambigu/mendua) ketidakjelasan pesan kebijakan tidak selalu mengahalangi
impelementasi, pada tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibelitas
dalam melaksanakan kebijakan. Tetapi pada tataran yang lain hal tersebut justru
akan menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang telah
ditetapkan.
c) Konsistensi; perintah yang diberikan dalam melaksanakan suatu komunikasi
haruslah konsisten dan jelas untuk diterapkan atau dijalankan. Karena jika
perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan
kebingungan bagi pelaksana di lapangan,
2)
Sumber daya manusia
Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor penting dalam
implementasi kebijakan atau program, karena bagaimanapun baiknya kebijakan
atau program itu dirumuskan (telah memenuhi kejelasan perintah dan arahan,
lancar dalam penyampaian dan konsisten dalam menyampaikan perintah dan
arahan atau informasi) tanpa ada dukungan sumberdaya yang memadai , maka
kebijakan
akan
mengalami
kesulitan
dalam
mengimplementasikannya.
Sumberdaya yang dimaksud adalah mencakup jumlah staff pelaksana yang
memadai dengan keahlian yang memadai, informasi, wewenang atau kewenangan
dan fasilitaas-fasilitas yang diperlukan utnuk menjamin kebijakan dijalankan
sesuai dengan yang diharapkan. Memadai yang dimaksud adalah jumlah para
pelaksana harus sesuai dengan jumlah tugas yang dibebankan atau tanggung
jawab yang dibebankan maupun kemampuannya, dan keterampilan yang dimiliki
23
baik teknis maupun manajerial. Indikator sumber daya terdiri dari beberapa
elemen, yaitu :
a)
Staf; sumberdaya utama dalam implementasi kebijakan dalah staf. Kegagalan
yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah satunya disebabkan oleh
karena staf yang tidak mencukupi, memadai, ataupun tidak kompeten
dibidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak cukup, tetapi
diperlukan juga kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan
(kompeten
b)
dan
kapabel)
dalam
mengimplementasikan
kebijakan
atau
melaksanakan tugas yang diinginkan oleh kebijakan itu sendiri.
Informasi; dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk,
yaitu pertama informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan.
Implementor harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan saat mereka diberi
perintah. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap
peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan. Implementer harus
mengetahui apakah orang yang terlibat di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut
patuh terhadap hukum.
c) Wewenang; pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah dapat
dilaksanakan. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para
pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika
wewenang nihil, maka kekuatan para implementor dimata publik tidak
terlegitimasi, sehingga dapat menggagalkan proses implementasi kebijakan.
Tetapi dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal tersebut ada, maka
sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Disatu pihak,
efektivitas akan menyurut manakala wewenang diselewengkan oleh para
pelaksana demi kepentingannya sendiri atau demi kepentingan kelompoknya.
24
d)
Fasilitas; fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam implementasi
kebijakan. Implementor mungkin memiliki staf yang mencukupi, mengerti apa
yang harus dilakukan dan memiliki wewenang untuk melaksanakan tugasnya,
tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka
implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.
3)
Sikap (disposisi)
Variabel ketiga yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan
adalah disposisi. Hal-hal penting yang perlu dicermati pada variabel disposisi,
menurut Goerge C.Edward III (dalam Agustino, 2008:152-154), adalah :
a. Pengangkatan birokrat; disposisi atau sikap pelaksana akan menimbulkan
hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan apabila personil
yang ada tidak melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh pejabatpejabat tinggi. Karena itu, pemilihan dan pengangkatan personil pelaksana
kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah
ditetapkan.
b. Insentif; Edward menyatakan bahwa salah satu teknik yang disarankan untuk
mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi
insentif. Oleh karena itu, pada umumnya orang bertindak menurut kepentingan
mereka sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan
mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah
keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendorong yang
membuat para pelaksana kebijakan melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini
dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi (self interst) atau
organisasi.
25
4)
Struktur Birokrasi
Menurut Edward III (dalam Agustino,2008 : 153-154 ), yang
mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan publik adalah struktur
birokrasi. Walaupun sumber daya untuk melaksanakan suatu kebijakan tersedia,
atau para pelaksana kebijakan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, dan
mempunyai keinginan untuk melaksanakan suatu kebijakan, kemungkinan
kebijakan tersebut tidak dapat dilaksanakan atau direalisasikan karena terdapatnya
kelemahan dalam struktur birokrasi. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut
adanya kerjasama banyak orang, ketika stuktur birokrasi tidak kondusif pada
kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan menyebabkan sumber daya-sumber
daya menjadi tidak efektif dan menghambat jalannya kebijakan. Birokrasi sebagai
pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah
diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik.
Dua karakteristik, menurut Edward III, yang dapat mendongkrak kinerja struktur
birokrasi/organisasi kearah yang lebih baik, yaitu dengan melakukan :
a)
Standar Operating Prosedures (SOPs); adalah suatu kegiatan rutin yang
memungkinkan para pegawai (atau pelaksana kebijakan/administrator/birokrat)
untuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya setiap hari sesuai dengan standar yang
ditetapkan atau standar minimum yang dibutuhkan.
b)
Fragmentasi; adalah upaya penyebaran tanggungjawab kegiatan-kegiatan
atau aktivitas-aktivitas pegawai diantara beberapa unit kerja.
2. Perlindungan Kosumen
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen yaitu Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 1 butir 2 menyebutkan bahwa konsumen adalah setiap
orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan
26
tidak untuk diperdagangkan. Menurut Ellwood dalam Suprihanto (1991: 5-7)
bahwa hak-hak konsumen meliputi :
a) Kebutuhan pokok, yaitu memperoleh barang atau jasa yang dibutuhkan untuk
mempertahankan kehidupan seperti pangan cukup, sandang, perumahan,
pelayanan kesehatan, pendidikan dan sanitasi;
b) Keamanan, yaitu hak untuk dilindungi dari pemasaran barang-barang atau
pelayanan jasa yang berbahaya terhadap kesehatan dan kehidupan;
c) Informasi, yaitu hak untuk dilindungi dari merek atau iklan-iklan yang menipu
dan mengelabui. Hak untuk memperoleh informasi yang diperlukan untuk
keperluan memilih dan membeli;
d) Pilihan, yaitu hak untuk memilih barang atau jasa pada tingkat harga dan
jaminan mutu yang setara;
e) Perwakilan, yaitu hak untuk menyewakan kepentingan sebagai konsumen
dalam pembuatan dan pelaksanaan pemerintah;
f) Ganti rugi, yaitu hak untuk memperoleh ganti rugi terhadap
barang-barang yang jelek dan pelayanan jasa yang buruk;
g) Pendidikan konsumen, yaitu hak untuk memperoleh pengetahuan dan
keterampilan yang diperlukan untuk menjadi seorang konsumen yang baik;
h) Lingkungan, yaitu hak untuk hidup dan bekerja pada lingkungan yang tidak
tercemar dan tidak berbahaya, yang memungkinkan suatu kehidupan yang lebih
manusiawi.
Menurut Elizabeth A. Martin, perlindungan konsumen merupakan
perlindungan yang diberikan,terutama secara hukum kepada konsumen (pihak
27
yang melakukan akad dengan pihak lain dalam suatu bisnis untuk memperoleh
barang dan jasa dari pihak yang mengadakannya). Menurut Janus Sidabalok,
perlindungan konsumen adalah perlindungan hukum yang diberikan kepada
konsumen dalam usahanya memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat
merugikan konsumen itu sendiri.
Philip Kotler “konsumen adalah semua individu dan rumah tangga yang
membeli maupun memperoleh barang atau jasa untuk dikonsumsi pribadi”.
Hornby “konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
Perlindungan bagi konsumen banyak macamnya, seperti perlindungan
kesehatan dan keselamatan konsumen, hak atas kenyamanan, hak dilayani dengan
baik oleh produsen maupun pasar, hak untuk mendapatkan barang atau jasa yang
layak dan lain sebagainya. Banyaknya hak dalam perlindungan konsumen
disebabkan oleh faktor bahwa konsumen adalah pelaku ekonomi yang penting,
karena tanpa adanya konsumen dalam produksi barang atau jasa, maka suatu
perekonomian tidak akan berjalan. Bila produk/jasa yang dihasilkan tidak sesuai
dengan permintaan dari konsumen, maka kepuasan konsumen akan menjadi
minimal sehingga terjadi ketimpangan dalam perekonomian maupun produksi
suatu barang atau jasa tersebut.
28
E. Kerangka Pikiran
Kerangka berfikir tengtang Implementasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang perlindungan konsumen terhadap makanan dan minuman di
Pekanbaru
-
Standar dan Tujuan
Sosialisasi
Implementasi
kebijakan
Tentang
Perlindungan
Konsumen
Tujuan
Hasil
Kondisi
ekonomi,
sosial dan
politik
-
sarana
Fasilitas
Biaya operasional
sosialisasi
-
Informasi
pendekatan
Komunikasi
Sumber Daya
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
Disposisi
Struktur
Birokrasi
-
Transmisi
Kejelasan
konsisten
-
Kewenangan
-
fasilitas
-
Pemahaman dan
pengetahuan
Kemauan
Insentif/Motivasi
-
-
fragmentasi
SOP
29
Sumber George Edward III
F. Konsep Operasional
Untuk menghindari salah penafsiran persepsi atas istilah yang digunakan,
maka diberikan konsep yang dioperasionalkan sebagai berikut :
1. Implementasi adalah sebagai suatu proses, hasil dan sebagai akibat.
Sebagai suatu proses implementasi merupakan rangkaian keputusan dan
tindakan. Maksudnya, untuk menempatkan suatu keputusan otoriatif awal
dari legislatif pusat dalam suatu akibat atau efek
a) .Standar dan tujuan kebijakanyaitu memeberikan perhatian utama
pada indentifikasi indikator-indikator hasil kerja pada setiap
pegawai
Badan
Penyelesaian
Sengketa
Konsumen
dalam
Mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999
Tentang
Perlindungan
Konsumen Terhadap
makanan
dan
minuman .
b) .Keuangan yaitu suatu badan tidak bisa berdiri dan berjalan begitu
saja tanpa adanya pendanaan/kuangan yang baik, dalam hal ini
BPSK dalam menjalan kan tugas memerlukan pendanaan yang
baik.
c) .Sosialisasi yaitu untuk memberikan informasi dan pendekatan
kepada masyarakat dalam peraturan dan kebijakan yang dilakuakn
oleh anggota Badan Sengketa Penyelesian Konsumen kepada
pelaku usaha dan konsumen
30
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi dengan menggunakan teori
George Edward III dalam Winarno yaitu :
a .Komunikasi,
yaitu
alat
kebijakan
untuk
menyampaikan
informasi, perintah dan arahan yang mana hal ini berkenaan
dengan bagaimana kebijakan di sosialisasikan kepada organisasi
atau publik dan adanya efek atau dampak yang timbul dari
komunikasi tersebut dalam mengimplementasikan Undangundang Nomor 8 Tahun 1999
b .Sumber daya adalah mencakup jumlah staff pelaksana yang
memadai dengan keahlian yang memadai, informasi, wewenang
atau kewenangan dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk
menjamin kebijakan dijalankan sesuai dengan apa yang
dibutuhkan. Adanya fasilitas yang mendukung kelancaran
pelaksanaan Implementasi mengenai perlindungan Konsumen dan
pelimpahan wewenang dari atasan kepada bawahan.
c .Disposisi adalah sikap dari pelaksana untuk mempunyai
kemauan atau motivasi
untuk menjalankan Undang-undang
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Adanya pemahaman
dan pengetahuan.
d .Struktur birokrasi, yaitu jumah anggota, kemampuan dan criteria
staf tingkat pengawas (control) hirarki terhadap setiap keputusan
atau kebijakan yang telah diambil yang berhubungan dengan
pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
31
G. Metode Penelitian
1. Lokasi Penelelitian
Penelitian ini berlokasi di kantor Badan Penyelesaian sengketa Konsumen
Kota Pekanbaru, pemilihan lokasi penelitian ini karena pertimbangan bahwa
kantor Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan Badanyang tugas
pokok dan fungsi pada perlindungan konsumen. Hal ini berdasarkan pertimbangan
karena belum optimalnya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam
melaksanakan tugas dan fungsi serta perlu dianalisa untuk mengetahui sejauh
mana telah dilaksanakan tugas dan fungsi Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen tentang perlindungan konsumen.
2.
Informanpenelitian
Dalam penelitian ini, menggukan informan sebagai objek informasi
mengenai Implementasi UU No.8 Tahun 1999 di Kota Pekanbaru. Dalam
menentukan informan, selanjutnya dilakukan dengan snowball sampling, yaitu
tekni penentuan sample yang mula-mula jumlahnya sedikit kemudian membesar,
ibarat bola salju yang menggelinding yang lama-lama makin membesar. Dalam
penentuan sample, pertama-tama dipilih satu atau dua orang tetapi karna
informasi yang di dapat dari kedua orang ini dirasa belum lengkap maka penelliti
mencari orang lain yang dipandang lebih tau dan dapat melengkapi data yang
diberikan oleh dua orang sebelumnya, begitu selanjutnya hingga jumlah sample
semakin banyak Sugiono (2003 : 97).Maka informan penelitian sebagai berikut :
1.
BPSK Kota Pekanbaru
32
2.
Masyarakat/Konsumen
3. Jenis dan Sumber Data
a.
Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil pengamatan secara
langsung pada data yang dibutuhkan terdiri dari:
1.
Informan mengenai proses implementasi UU No 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen
2.
Wawancara
3.
observasi
b.
Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen-dokumen dan
laporan yang ada kaitannya dengan masalah penelitian dan juga buku-buku yang
berkenaan dengan penelitian ini yang terdiri dari:
1.
Profil BPSK kota Pekanbaru
2.
Laporan penyelesaian sengketa
4. Teknik Pengumpulan Data
Data dalam teknik ini pengumpulan data ini adalah menggunakan proses
pengumpulan data agar dapat sesuai dengan penelitian yang penulis lakukan
dalam teknik ini adalah :
1.
Wawancara
Peneliti melakukan tanya jawab langsung dengan koresponden, di mana
pertanyaan-pertanyaan terlebih dahulu disiapkan dengan permasalahan tentang
Implementasi UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam
33
teknik ini juga dilakukan pengedaran sejumlah pertanyaan yang diberikan pada
masing-masing responden, menyangkut pada indikator variable permasalahan
dalam penelitian tersebut.
2.
Observasi
Yaitu teknik pengumpulan data dengan melakukan pengamatan secara
langsung terhadap objek yang akan di teliti. Langkah ini dilakukan sebagai tahap
akhir dalam pengumpulan data agar objektifitas dari data yang telah diberikan
pada koresponden benar-benar teruji kebenarannya. Observasi ini merupakan
pengmatan langsung secara berkesinambungan, dalam beberapa hari.
3.
Studi kepustakaan
Yaitu mengadakan studi terhadap sejumlah literatur yang ada kaitannya
dengan judul penelitian ini. Dilakukan dengan mengumpulkan data-data
keperpustakaan
berupa
buku-buku
yang
materialnya
berkaitan
dengan
permasalahan yang diteliti.
5. Analisa Data
Penulis menggunakan teknik analisis data secara kualitatif, dimana peneliti
hanaya memaparkan situasi atau peristiwa tanpa mencari atau menjelaskan
hubungan, tidak menguji hipotrsis atau membuat predeksi. Akan tetapi, peneliti
kualitatif ini mencari hubungan antara fenomena-fenomena yang ada berdasarkan
data informasi yang dikumpulkan serta berpedoman pada landasan teori dan
kebijakan yangn menjadi gambaran legnkap mengenai objek peneliti dan
fenomena-fenomena yang melingkupinya sehingga diperoleh penjelasan dari
pokok permasalahannya serta membantu mencari pemecahan yang baik dan tepat
terhadap masalah tersebut. Setelah menjawab dan memecahkan masalaah tersebut
34
dengan pemahaman secara menyeluruh, selanjutnya penulis memberikan penelian
terhadap jawaban responden melalui wawancara dan observasi sehingga
menghasilkan kesimpulan terhadap objek yang di teliti.
35
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Boy, Robert, 1992, pengantar metode penelitian kualitatif, Surabaya, Usaha
Edward III, Merilee S. 1980. Implementing Public Policy. Congressional
Quarterly Press, Washington.
Islamy. M. Irfan. 1992. Prinsip – Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara.
Jakarta. Bumi Aksara.
Rakyat, Dian, 2003, Perlindungan Konsumen, jakarta
Soejono, 2005, metode penelitian. Jakarta , Rineka Cipta
Widja, Gunawan, 2000, Hukum
Jakarta,Gramedia Pustaka
Tentang
Perlindungan
DOKUMEN
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Konsumen.
SOSIALISASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA MAKANAN DAN MINUMAN
( UU NO. 8 TAHUN 1999)
A. Latar Belakang Masalah
Perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum yang memuat asas-asas
atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang
melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan
masalah antara berbagai pihak satu sama lain yang berkaitan dengan barang
dan/atau jasa konsumen dalam pergaulan hidup.
Pengawasan pangan merupakan kegiatan
pengaturan
wajib
oleh
pemerintah pusat maupun daerah untuk memberika nperlindungan kepada
konsumen dan menajamin bahwa semua produk pangan sejak produksi,
penanganan, penyimpanan, pengelolahan dan distribusi adalah aman, layak dan
sesuai untuk dikonsumsi manusia, memenuhi persyaratan keamanan dan
mutupangan, dan telah diberi label dengan jujur, dan tepat sesuai hukum yang
berlaku.
Konsumsi
masyarakat
terhadap
produk-produk
cenderung
terus
meningkat, seiringdengan perubahan gaya hidup masyarakat termasuk pola
konsumsinya. Sementara itu pengetahuan masyarakat masih belum memadai
untuk dapat memilih dan menggunakan produk secara tepat, benar dan aman. Di
lain pihak iklan dan promosi secara genca rmendorong konsumen untuk
mengkonsumsi secara berlebihan dan seringkali tidakrasional.
2
Di kota Pekanbaru telah beredar produk makanan dan minuman sebanyak
10.635 produk yang datang dari luar daerah maupun dari luar negeri. Perubahan
teknologi produksi, sistem perdagangan internasional dan gaya hidup konsumen
tersebut pada realitasnya meningkatkan resiko dengan implikasi yang luas
padakesehatan dan keselamatan konsumen. Apabila terjadi produk sub standar,
rusak atau terkontaminasi oleh bahan berbahaya maka risiko yang terjadi akan
berskala besar dan luas serta berlangsung secara amat cepat.
Mutu pangan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
1996 tentang Pangan Pasal 1 angka (13) adalah nilai yang ditentukan atas dasar
kriteria keamanan pangan, kandungan gizi dan standar perdagangan terhadap bahan
makanan dan minuman. Saat ini makanan yang beredar di pasaran, tidak sedikit
mengandung zat yang dapat membahayakan tubuh manusia seperti zat pewarna
tekstil, pemanis buatan, formalin, boraks dan bahan berbahaya lainnya. Dinas terkait
seperti Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian
dan Perdagangan sudah rutin melakukan sidak, pengawasan, dan pembinaan terhadap
industri rumah tangga. Namun makanan dengan zat yang berbahaya tetap saja
ditemukan. Agar seluruh proses pengolahan makanan tersebut memenuhi persyaratan
keamanan, mutu dan gizi pangan, maka perlu diwujudkan suatu sistem pembinaan
dan pengawasan yang efektif dibidang keamanan, mutu dan gizi pangan. Pembinaan
terhadap produsen mengandung makna mendorong pelaku usaha supaya bertindak
sesuai aturan yang berlaku, baik aturan yang diharuskan undang-undang, kebiasaan
maupun kepatutan.
Di samping itu, di dalam UUPK juga telah diatur mengenai pelaku usaha
dilarang
memproduksi
dan/atau
memeperdagangkan
barangdan/atau
jasa
sebagaimana tercantum pada pasal 8. Menurut pasal ini pelaku usaha dilarang
3
memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak
mencantumkan tanggal kadarluarsa atau jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan
yang paling baik atas barang tertentu, tidak mengikuti ketentuan produksi secara
halal,sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label. Dengan
demikian, secara normatif telah ada ketentuan yang mengatur tanggung jawab
pelaku usaha, sebagai upaya melindungi pihak konsumen.
Sebagai konsekuensi hukum dari pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku
usaha, maka setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang
merugikan konsumen memberikan hak kepada konsumen yang dirugikan atas
pengurangan berat timbangan pada produk makanan dalam kemasan tersebut
untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha yang telah merugikannya.
Tetapi apabila pelaku usaha menolak dan/atau tidak memberikan tanggapan
bahkan tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka konsumen
diberikan hak untuk menggugat pelaku usaha dan menyelesaikan perselisihan
yang timbul melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau dengan cara
mengajukan gugatan kepada badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
Praktek-praktek penjualan makanan yang merugikan konsumen di
Indonesia seperti :
1. Manipulasi Harga. Konsumen di Indonesia seringkali mendapatkan kenaikan
harga pangan yang tiba-tiba manakala terjadi kenaikan gaji pegawai negeri atau
manakala menghadapi hari-hari raya. Seringkali permainan harga
ini juga karena spekulasi dari para pedagang.
4
2. Promosi Pengurangan Harga yang tidak benar.Seringkali pedagang memberikan
potongan harga seolah-olah harga telah dikurangi, padahal kenyataannya harga
masih tetap seperti semula.
3. Biaya kemasan. Biaya kemasan meningkatkan harga makanan, biaya ini bisa
mencapai 11 % dari harga makanan. Seringkali produsen membuat berbagai rupa
kemasan menarik agar konsumen tertarik untuk membeli produk, yang bagi
konsumen merupakan hal yang berlebih-lebihan.
4. Shortweighting and slackfilling. Shortwighting adalah berat makanan yang
sebenarnya adalah lebih kecil dari berat yang tertera pada label kemasan.
Slackfilling suatu impresi yang diberikan oleh kemasan yang seolah-olah produk
yang terisi penuh, padahal kenyataannya tidak penuh, yaitu terdapatnya
ruang kosong yang tidak berguna dalam kemasan.
5. Penempatan Produk yang Mentah atau Rusak. Konsumen seringkali begitu
cepat tergiur untuk membeli buah-buahan yang tampak matang pada bagian atas
kemasan. Tetapi begitu tiba di rumah kita kecewa, karena sebagian besar buahbuahan yang kita beli belum matang atau bahkan rusak. Ini tidak terlihat karena
para pedagang menempatkannya pada bagian bawah kontainer.
6. Manipulasi Timbangan. Para pedagang seringkali melakukan berbagai macam
modifikasi pada alas timbang, sehingga makanan yang dibeli beratnya tampak
lebih besar dari yang sebenarnya.
7. Pemberian Harga yang Ganjil Restaurant Fast Food dan Supermarket. Sering
mencantumkan harga yang ganjil misalnya harga sepotong ayam goreng Rp 2999
atau Rp 4508 atau sebungkus snack Rp 975. Manakala kita membayar dan
memperoleh kembalian, yang kita dapatkan bukan kembalian sebesar Rp 1 atau
5
92 atau Rp 25, tetapi adalah sepotong permen. Bayangkan berapa keuntungan
pedagang apabila 2000 orang konsumen dirugikan setiap harinya.
8. Tanya Tanggal Kadaluarsa. Konsumen menghadapi resiko yang sangat besar
dalam mengkonsumsi makanan atau minuman, karena masih banyak produkproduk makanan yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa. Produsen
seharusnya mencantumkan salah satu alternatif tanggal berikut: Pull date (tanggal
produk harus sudah terjual),expiration date (tanggal produk harus sudah
dikonsumsi).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
memberikan hak kepada konsumen yang dirugikan untuk mendapat kompensasi
atau ganti rugi atas pemakaian barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh pelaku
usaha. Penuntutan ganti rugi oleh konsumen kepada pelaku usaha dapat dilakukan
secara langsung yaitu dengan meminta pengembalian uang, permintaan perawatan
kesehatan atau pemberian santunan berkaitan dengan barang atau jasa yang
dikonsumsi konsumen (Pasal 19). Konsumen yang dirugikan akibat pengurangan
berat timbangan merupakan salah satu tindakan yang melanggar hukum, hal
tersebut sesuai dengan Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa tiap
perbuatan melanggar hukum, yang menyebabkan kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian, mengganti
kerugian tersebut. Pasal tersebut mengindikasikan bahwa ketika terjadi
pengurangan berat timbangan merupakan tindakan yang melanggar hokum karena
secara
langsung
konsumen
merasa
dirugikan,sehingga
produsen
wajib
memberikan ganti rugi atas timbulkan kerugian tersebut. Jadi, setiap orang yang
dirugikan dapat menuntut ganti rugi secara perdata kepada pelaku usaha makanan
6
(produsen). Selain itu, konsumen dapat menggugat pelaku usaha untuk menuntut
ganti rugi
Bertolak dari keadaan yang demikian, maka perlindungan hukum terhadap
hak-hak konsumen tidak dapat diberikan oleh satu aspek hukum saja, melainkan
oleh seperangkat sistim hukum yang mampu memberikan perlindungan yang terus
menerus sehingga terjadi persaingan yang jujur yang secara langsung maupun
tidak langsung akan menguntungkan konsumen.
Hal ini juga tercantum didalam Undang-Undang No 8 Tahun 1999
mengenai perlindungan konsumen yang menyebutkan bahwa “ Perlindungan
Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen.”Oleh karena itu, berbicara mengenai
perlindungan konsumen berarti mempersoalkan mengenai jaminan ataupun
kepastian mengenai terpenuhinya hak-hak konsumen.Sebagaimana yang diketahui
bahwa
dengan
adanya
Globalisasi
dan
perkembangan-perkembangan
perekonomian yang terjadi secara pesat di dalam era perekonomian modern ini
telah menghasilkan berbagai jenis dan variasi dari barang dan/atau jasa yang dapat
dikonsumsi oleh masyarakat.
Fenomena yang ditemukan bahwa konsumen masih banyak konsumen
yang dirugikan dan Permasalahan yang dihadapi konsumen tidak hanya sekedar
bagaimana memilih barang, tetapi jauh lebih kompleks dari itu yang menyangkut
7
pada kesadaran semua pihak, baik pengusaha, pemerintah maupun konsumen itu
sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen seharusnya konsumen dan
pelaku usaha sesuai dengan UU No.8 Tahun 1999 pasal 3. bahwa tujuan dari UU
PK adalah melindungi kepentingan konsumen, dan di satu sisi menjadi pecut bagi
pelaku usaha untuk meningkatkan kualitasnya.Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen pasal 3, bahwa
perlindungan Konsumen bertujuan untuk :
a) Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri;
b) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barangdan/atau
jasa
c) Meningkatkan
pemberdayaan
konsumen
dalam
memili,
menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses
untuk medapatkan informasi;
e) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
f) Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, keselamatan konsumen.
8
Demi mendapatkan kembali hak-hak sebagai konsumnen dan Piranti
hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha
para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat
mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahimya perusahaan yang
tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa
yang berkualitas.Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah : Badan
yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha
dengan konsumen. (Pasal I ayat 2 UU No.8 Thn 1999) di luar Pengadilan, karena
cukup Banyaknya permasalahan di Pengadilan Negeri sehingga tidak dapat
terselesaikan maka pemerintah memberikan kewenangan kepada Suatu Badan
ADHOG disebut BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) dibawah
binaan Kementerian Perdagangan / Pemerintah Kota Pekanbaru.
BPSK merupakan suatu Badan/Lembaga independent, badan publik yang
mempunyai tugas dan wewenang diatur dalam pasal 52 UUPK Jo SK
Memperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tanggal 10 desember 2001 antara
lain :
A. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan
cara Konsiliasi, Mediasi atau Arbitrase.
B. Memberikan konsultasi perlindungan Konsumen.
C. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku.
D. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan
Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen.
E.Menerima pengaduan baik tertulis maupun lisan, dari konsumen tentang
terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.
9
F. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen.
G. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
perlindungan konsumen.
H. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan atau setiap orangyang
dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
I. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi
ahli, atau setiap orang sebagai mana dimaksud pada huruf g dan huruf h,
yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK.
J. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti
lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan.
K. Memutuskan dan menetapkan ada dan /atau tidak adanya kerugian dipihak
konsumen.
L. Memberitahukan putusan
kepada pelaku usaha yang
melakukan
pelanggaran pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.
M. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
Fungsi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah sebagai Lembaga
penyelesaian Sengketa Konsumen diluar Pengadilan secara optimal.
10
Pengaduan konsumen pada kantor Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen pada tahun 2013 adalah sebagai berikut :
Tabel I.1 : Data jumlah penyelesaian sengketa konsumen tehadap
makanan dan minuman di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
N Jenis
Penyelesaian
no
makanan dan
Selesai
Tidak selesai
minuman
1
Beras
-Tanpa putusan 1
kasus
2
OatMeal
3
1 kasus
Daging ayam 3 kasus
kemasan
4
Jenis pengaduan
Tidak sesuai
dengan yang telah
dipromosikan
Kadarluasa
Minyak
goreng
-Tanpa putusan 1
kasus
-Tanpa putusan4
kasus
Daging ayam yang
tidak layak
Kecurangan dalam
promosi
5
Daging
kemasan
sapi
5 kasus
Daging sapi yang
sudah tidak layak
6
Bakso kemasan
2 kasus
Kadarluarsa
7
nugget
1 kasus
Kadarluarsa
8
parsel
1 kasus
9
sirup
- Gugatan ditolak
Makanan yang
dihidangkan tidak
1 kasus
sesuai dengan yang
Tanpa putusan 1
disepakati
kasus
Kadarluarsa
- Tanpa putusan 1
kasus
11
10
Makanan
11
ringan
Jajanan bakso
1 kasus
Kadarluarsa
Kecurangan dalam
-Gugatan di tolak pembuatan bahan
bakar
1kasus
Sumber : Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, 2014
Dari data tabel diatas tersebut maka dapat diketahui bahwa jumlah
penyelesaian konsumen terdapat 9 kasus tanpa putusan yang mana penyebabnya
adalah setelah diteliti perkara tersebut bukanlah menjadi kewenangan anggota
Majelis BPSK kota Pekanbaru dan
pelapor tidak diberitahu tata cara dalam
mengajukan persyaratan sengketa dan terdapat gugatan ditolak 2 kasus di
karnakan pengaduan konsumen hanya secara lisan.
Dalam melayani penyelesaian sengketa konsumen semestinya BPSK harus
lah memiliki anggota. Yang mana sudah tertulis jelas di Undang-Undang No 8
Tahun 1999 pasal 49 ayat 4 yaitu : anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud
pada ayat 3 adalah anggota sebagaimana terdiri atas unsur pemerintah, unsur
konsumen, dan unsur pelaku usaha berjumlah sekurang-kurangnya 3 orang, dan
sebanyak-banyaknya 5 orang.
Kenyataannya
anggota
Badan
Penyelesaian
Sengketa
Konsumen
Pemerintah Kota Pekanbaru melebihi dari yang mana sudah tertulis di UndangUndang No 8 Tahun 1999 pasal 49 ayat 4. Namun untuk melihat jumlah anggota
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dapat dilihat pada data berikut ini :
I. UNSUR PEMERINTAH
1. H. AZRIAL,S.H.,M,H (Dishubkominfo) : Ketua BPSK
2. Drs. Zulkarnain (Disperindag)
: Anggota BPSK
3. Arie Susma Indah,S.H.,M,H (Diskop)
: Anggota BPSK
12
II. UNSUR KONSUMEN
1. Drs. Rizal Furdail(LPKSM Pekanbaru) : Wakil Ketua BPSK
2. Santoso,S.H( Pengacara)
:Anggota BPSK
3. Vera Lusiana,S.E (Wartawati)
:Anggota BPSK
III. UNSUR PELAKU USAHA
1. Erawati,S.H(Pengusaha / Pengacara)
:Anggota BPSK
2. Aidil Fitsen,S.H (Pengusaha / Pengacara)
: Anggota BPSK
3. Mahlil,S.Ag (Pengusaha /Ketua Ikaboga)
: Anggota BPSK
IV SEKETARIAT
. KEPALA SEKETARIAT :
ANGGOTA
Wijaya
: Dra. Hj. Yettiniza,M.Pd
Zulkarnain,S.Sos
Riswenti, SE
Dari data diatas tersebut maka dapat diketahui bahwa jumlah anggota
Badan Penyelsaian Sengketa Konsumen mencapai 9 orang. Agar terciptanya
pelayanan masyarakat yang maksimal sesuai dengan Undang-Undang No 8 tahun
1999 pasal 51 ayat 1 yaitu : Badan Penyelesian Sengketa Konsumen dalam
menjalankan tugasnya dibantu oleh seketariat.
Permasalahan dan kendala lain yang dihadapi dalam implementasi
Undang-Undang 8 Tahun 1999 ini adalah anggaran biaya dalam pelaksanaan
tugas Perlindungan Konsumen yang sekarang tidaklah mencukupi atau memadai
dan sangat diperlukan penambahan. Bahwah Badan Pesenyelesaian sengketa
13
Konsumen adalah Badan yang diberi tugas mengawal Implementasi UndangUndang 8 tahun 1999 Tentang Perlingdungan Konsumen. Anggaranyang di
tetapkan Pemerintah Kota Pekanbaru saat sekarang sangat tidak memadai atau
sangat-sangat
kurang
untuk
biaya
Operasional
ataupun
biaya
untuk
Gaji/Honorarium. Berikut ini adalah daftar Gaji/Honorarium menurut jabatan
TABEL 1.2 Gaji/Honorarium anggota BPSK
N
Tingkatan kerja menurut Struktur
O
Gaji/Honorarium
Organisasi
1
KETUA
Rp. 1.400.000,-/ bulan
2
WAKIL KETUA
Rp. 1.200.000,-/ bulan
ANGGOTA
Rp. 750.000,-/ bulan
3
Sumber : Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, 2013
Dari data tabel diatas berdampak kepada anggota Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen yang mana anggotanya tidak datang lagi/masuk ke kantor
sedangkan pengaduan semakin bertambah sehingga akan menjadi beban. Kendala
lainnya yaitu kantor Badan Penyelesaian Sengketa harus memeliki ruangan
tersendiri dan tidak bersatu dengan ruangan atau kantor Dinas lainnya. Sebagai
mana kelihatannya kantor Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen bersatu
dengan Kantor Dinas Perindustian dan Perdangan Kota Pekanbaru.
Bedasarkan fenomena yang ditemukan oleh penulis di lapangan, maka
dapat dirincikan sebagai berikut :
1. Pelaksanaan pelayanan publik kurang maksimal dikarnakan kurangnya
sosialisasi kepada masyarakat.Sementara peran serta fungsi yang lain
kurang berjalan padahal sebenarnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
14
tidak hanya sebatas agar pelaku Usaha tidak melakukan kecurangan,
melainkan juga memberi perlindungan kepada setiap konsumen.
2. Kurangnya
dukungan
dari
pemerintah
kota
pekanbaru
dalam
mengimplementasikan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 dalam segi
sarana dan biaya operasional
3. Dalam jumlah keanggotaan BPSK melebihi sebagai mana yang telah
ditetapkan oleh Undang-Undang No 8 Tahun 1999 pasal 49 ayat 4.
Bertitik tolak dari gejala-gejala diatas maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul :“implementasi Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
Tengtang perlindungan Konsumen Terhadap Makanan dan Minumandi
BPSK Kota Pekanbaru”.
B. PerumusanMasalah
Suatu organisasi tidak terlepas dari adanya unsur menejemen yang
merupakan penggerak agar tujuan dari organisasi dapat tercpai secara defektif dan
efisien.
Menjalankan dan melakukan implementasi terhadap suatu peraturan maka
terlebih dahulu ditentukan siapa yang melakukan atau yang menjadi subjek. Maka
dari itu kenyataan mengenai kegiatan yang dilakukan pihak BPSK kota Pekanbaru
belum maksimal dalam mengimplementasikan UU No 8 Tahun 1999 , yang mana
sangat diperlukan karena untuk mengetahui sejauh mana suatu perkerjaan telah
dilakukan dan mencapai hasil yang telah ditetapkan sesuai dengan rencana yang
ada.Oleh karena itu, peimplementasian belum berjalan dengan baik yang terlihat
15
dari beberapa sebab antara lain kurang instasi terkait untuk melakukan secara
langsung, dan suatu harapan yang ingin dicapai dari penelitian ini dan bagaimana
setiap tugas dapat dijalankan dengan baik dan dilakukan dengan ekstra. Maka
dapat dirumuskan permasalahan pokok dalam penelitian ini yaitu ;
a) Bagaimana Implementasi UU Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan
Konsumen terhadap makanan dan minuman di BPSK kota Pekanbaru
b) Faktor – faktor yang mempengaruhi implementasi UU Nomor 8 Tahun
1999 tentang perlindungan Konsumen terhadap makanan dan minuman di
BPSK Kota Pekanbaru
C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pelaksanaan implementasi UU Nomor 8 tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen terhadap makanan dan minuman di
BPSK Kota Pekanbaru
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi Implementasi UU
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen terhadap
makanan dan minuman di BPSK Kota Pekanbaru
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan berguna untuk :
a) Bagi peneliti sendiri, dapat menambah wawasan dan pengetahuan
tentang Perlindungan konsumen dan Implementasinya serta
menganalisis terhadap kenyataan yang ada.
16
b) Bagi pembaca lain dan peneliti lain, dapat memberikan sumbangan
pengetahuan tambahan dan memahami masalah yang berkenan
dengan masalah implementasi UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen terhadapt makanan dan minuman di kota
pekanbaru.
2. Secara praktis penelitian ini diharapkan berguna untuk :
a) Sebagai masukan bagi pengambilan keputusan Pemerintah yan
g pembinaan dan pengawasannya dilakukan oleh Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Pekanbaru dalam
pelaksanaan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen.
b) Bagi penulis sebagai sarana dalam menrapkan untuk
mendapatkan data dan informasi dalam Ilmu Administrasi pada
Impelementasi Kebijakan.
c) Sebagai bahan referensi bagi lain dalam melakukan penelitian
dengan permasalahan yang sama.
D. Konsep Teoritis
Untuk mengetahui solusi dalam penyelesaian permasalahan yang ada
dalam penelitian ini. Maka perlu adanya teori-teori yang sesuai dengan
permasalahan yang dikaji, sehingga permasalahan ini mampu diselesaikan sesuai
yang diharapkan.
1.Konsep implementasi kebijakan
Organisasi merupakan perangkat yang dibutuhkan dan sangat menentukan
ketika kelompok orang bertujuan mencapai hasil secara kolektif yang diharapkan
17
terlebih di era globalisasi yang semakin maju dewasa ini. Demikian pula
organisasi pemerintah di fungsikan untuk mencapai tujuan negara.
Implementasi adalah sebagai suatu proses, hasil dan sebagai akibat.
Sebagai suatu proses implementasi merupakan rangkaian keputusan dan tindakan.
Maksudnya, untuk menempatkan suatu keputusan otoriatif awal dari legislatif
pusat dalam suatu akibat atau efek
Kebijakan (policy) dalam pemerintahan hendaknya dibedakan dengan
kebijaksanaan (wisdom) karena kebijaksanaan merupakan pengejawantahan
aturan yang sudah ditetapkan sesuai situasi dan kondisi setempat oleh person
pejabat yang berwenang. Disamping itu kebijakan atau policy dapat juga kita
katakan atau kita pergunakan untuk menunjuk perilaku seorang, aktor (misalnya
seorang pejabat, suatu kelompok maupun suatu mbaga pemerintah) ataupun
sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu menurut, (Inu Kencana
1999:105).
Kebijakan pemerintah adalah apa yang diputuskan oleh pemerintah
pusat. Perhatian utama kepemimpinan pemerintahan public policy (kebijakan
pemerintah) yaitu apapun yang di pilih pemerintah dalam mengatasi berbagai
permasalahan yang timbul di tengah masyarakat.
Kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategisterhadap sumber dayasumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau
pemerintah, kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi oleh pemerintah
demi kepentingan orang-orang yang tidak berdaya dalam masyarakat agar mereka
dapat hidup dan ikut berpartisipasi dalam pemerintah menurut, (Keban, 2004:56).
18
Disamping itu Willy N menyatakan bahwa kebijakan public adalah suatu
rangkaian pilihan-pilihan yang saling berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau
pejabat pemerintah seperti pertahanan dan keamanan, energi, kesehatan,
pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kriminalitas, perkotaan dan lain-lain.
(Dunn, dalan Inu Kencana 1999:107).
Proses pelaksanaan kebijakan yang bersifat self execuiting artinya begitu
suatu kebijakan dirumuskan maka otomatis kebijakan itu terimplementasikan
misalnya saja peraturan perundangan, keputusan, ketetapan atau yang sejenis
melalui proses implementasi berbagai pihak sehingga nampak dampaknya, ada
beberapa paihak yang terlibat dan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan
kebijakan tersebut, pejabat pemerintah yang ada dimacam-macam lembaga negara
selain berfungsi sebagai perumus kebijakan sekaligus sebagai pelaksana
kebijakan.
Badan-badan pemerintah adalah pelaksana utama daripada kebijakan,
badan-badan ini pulalah yang setiap hari secara langsung berhubungan dengan
rakyat dalam melaksanakan kebijakan. Contohnya lembaga legislatif yang
mempunyai peranan dalam melaksanakan kebijakan pemerintah, pimpinan partai
politik dan warga negara juga mempunyai fungsi sebagai pelaksana kebijakan.
Pelaksana kebijakan memang bisa bervariasi sesuai dengan jenis masing-masing
kebijakan dengan kata lain tergantung kepada mereka yang terkena dampak
langsung atas pelaksanaan kebijakan tersebut.
Rangkaian implementasi kebijakan dari gambar diatas dapat dilihat dengan
jelas, yaitu mulai dari program ke proyek dan kegiatan. Model tersebut
19
mengadaptasikan mekanisme yang lazim didalam manajemen, khususnya
manajemen sektor publik
Pada
prinsipnya
tujuan
kebijakan
adalah
melakukan
intervensi.
Implementasi kebijakan sebenarnya adalah tindakan (action) dari interventasi itu
sendiri. Mazmanian dan Sabatier dalam Nugroho (2005) memberikan
gambaran bagaimana melakukan intervensi Implementasi kebijakan dalam
langkah urutan sebagai berikut:
1. Identifikasi masalah yang harus diintervensi
Yaitu melakukan identifikasi terhadap setiap permasalahan yang akan
di ambil penyelesaiannya.
2. Menegaskan tujuan yang hendak dicapai
Yaitu megetahui apa tujuan yang ingin di capai dari pengambilan suatu
kebijakan tersebut.
3. Merancang struktur proses Implementasi
Yaitu menyusun secara jelas setiap proses pengambilan kebijakan dari
pemerintah
Pelaksanaan atau implementasi kebijakan didalam konteks manajemen
berada didalam kerangka organizing, leading, controling. Jadi ketika kebijakan
sudah dibuat, maka tugas selanjutnya adalah mengorganisasikan, melaksanakan
kepemimpinan pelaksanaan dan melakukan pengendalian pelaksanaan tersebut.
Meter and Horn dalam Sujianto (2008) mencoba mengadopsi model
sistem kebijaksanaan yang pada dasarnya menyangkut beberapa komponen yang
harus selalu ada agar tuntutan kebijaksanaan bisa direalisasikan menjadi hasil
20
kebijaksanaan. Terdapat enam variable yang mempengaruhi keberhasilan
implementasi kebijaksanaan sebagai berikut:
1. Standar dan tujuan kebijakan
Yaitu memberikan perhatian utama yang menentukan hasil kerja. Maka
identifikasi indikator-indikator hasil kerja merupakan hal yang penting karena
indikator ini menilai sejauh mana standar dan tujuan menjelaskan keseluruhan
kebijakan.
2. Sumber daya kebijakan
Yaitu kebijaksanaan mencakup lebih dari sekedar standard dan sasaran, tapi
juga menuntut ketersediaan sumber daya yang akan memperlancar
implementasi. Sumberdaya ini dapat berupa dana maupun insentif lainya yang
akan mendukung implementasi secara efektif.
3. Kondisi ekonomi, sosial dan politik
Yaitu pengaruh variable lingkungan terhadap implementasi program,
diantaranya sumberdaya ekonomi yang dimiliki organisasi pelaksana,
bagaimana sikap opini publik, dukungan elit, peran dan kelompok-kelompok
kepentingan dan swasta dalam menujang keberhasilan program
4. .Disposisi sikap para pelaksana
Yaitu persepsi pelaksana dalam organisasi dimana program itu diterapkan, hal
ini dapat berubah sikap menolak, netral dan menerima yang berkaitan dengan
sistim nilai pribadi, loyalitas, kepentingan pribadi dan sebagainya.
Selanjutnya George C Edwards III dalam Sujianto (2008)menyatakan
pendekatan yang digunakan terhadap studi implementasi kebijakan, dimulai dari
21
sebuah intisari dan menanyakan apakah prakondisi untuk implementasi
kebijakannya yang berhasil? Apakah rintangan primer untuk implementasi
kebijakannya sukses? Untuk itu perlu dipertimbangkan empat faktor kritis
dalam mengimplementasikan kebijakan publik yaitu:
1)
Komunikasi
Komunikasi adalah alat kebijakan untuk menyampaikan perintah-perintah
dan arahan-arahan (informasi) dari sumber pembuat kebijakan kepada merekamereka yang diberikan wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan
kebijakan tersebut. Untuk itu perlu memahami arah penyampaian kebijakan. Tipe
komunikasi yang diajukan oleh Edward III termasuk kepada tipe komunikasi
vertikal. Menurut karz dan Kahnkomunikasi vertikal mencakup lima hal:
a.
Petunjuk-petunjuk tugas yang spesifik (perintah kerja)
b.
Informasi dimaksudkan untuk menghasilkan pemahaman mengenai
tugas dan hubungannya dengan tugas-tugas organisasi lainnya
(rasionalisasi pekerjaan)
c.
Informasi tentang praktek-praktek dan prosedur keorganisasiannya
d.
Perintah-perintah
e.
Arahan-arahan dan pelaksanaan yang dikirimkan kepada pelaksana
program
Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai dalam mengukur keberhasilan variabel
komunikasi yaitu :
a) Transmisi; penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu
implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam penyaluran
komunikasi adalah adanya salah pengertian (misscommunication).
22
b) Kejelasan; komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan (streetlevel-bureuarats)
haruslah
jelas
dan
tidak
membingungkan
(tidak
ambigu/mendua) ketidakjelasan pesan kebijakan tidak selalu mengahalangi
impelementasi, pada tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibelitas
dalam melaksanakan kebijakan. Tetapi pada tataran yang lain hal tersebut justru
akan menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang telah
ditetapkan.
c) Konsistensi; perintah yang diberikan dalam melaksanakan suatu komunikasi
haruslah konsisten dan jelas untuk diterapkan atau dijalankan. Karena jika
perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan
kebingungan bagi pelaksana di lapangan,
2)
Sumber daya manusia
Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor penting dalam
implementasi kebijakan atau program, karena bagaimanapun baiknya kebijakan
atau program itu dirumuskan (telah memenuhi kejelasan perintah dan arahan,
lancar dalam penyampaian dan konsisten dalam menyampaikan perintah dan
arahan atau informasi) tanpa ada dukungan sumberdaya yang memadai , maka
kebijakan
akan
mengalami
kesulitan
dalam
mengimplementasikannya.
Sumberdaya yang dimaksud adalah mencakup jumlah staff pelaksana yang
memadai dengan keahlian yang memadai, informasi, wewenang atau kewenangan
dan fasilitaas-fasilitas yang diperlukan utnuk menjamin kebijakan dijalankan
sesuai dengan yang diharapkan. Memadai yang dimaksud adalah jumlah para
pelaksana harus sesuai dengan jumlah tugas yang dibebankan atau tanggung
jawab yang dibebankan maupun kemampuannya, dan keterampilan yang dimiliki
23
baik teknis maupun manajerial. Indikator sumber daya terdiri dari beberapa
elemen, yaitu :
a)
Staf; sumberdaya utama dalam implementasi kebijakan dalah staf. Kegagalan
yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah satunya disebabkan oleh
karena staf yang tidak mencukupi, memadai, ataupun tidak kompeten
dibidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak cukup, tetapi
diperlukan juga kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan
(kompeten
b)
dan
kapabel)
dalam
mengimplementasikan
kebijakan
atau
melaksanakan tugas yang diinginkan oleh kebijakan itu sendiri.
Informasi; dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk,
yaitu pertama informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan.
Implementor harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan saat mereka diberi
perintah. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap
peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan. Implementer harus
mengetahui apakah orang yang terlibat di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut
patuh terhadap hukum.
c) Wewenang; pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah dapat
dilaksanakan. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para
pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika
wewenang nihil, maka kekuatan para implementor dimata publik tidak
terlegitimasi, sehingga dapat menggagalkan proses implementasi kebijakan.
Tetapi dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal tersebut ada, maka
sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Disatu pihak,
efektivitas akan menyurut manakala wewenang diselewengkan oleh para
pelaksana demi kepentingannya sendiri atau demi kepentingan kelompoknya.
24
d)
Fasilitas; fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam implementasi
kebijakan. Implementor mungkin memiliki staf yang mencukupi, mengerti apa
yang harus dilakukan dan memiliki wewenang untuk melaksanakan tugasnya,
tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka
implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.
3)
Sikap (disposisi)
Variabel ketiga yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan
adalah disposisi. Hal-hal penting yang perlu dicermati pada variabel disposisi,
menurut Goerge C.Edward III (dalam Agustino, 2008:152-154), adalah :
a. Pengangkatan birokrat; disposisi atau sikap pelaksana akan menimbulkan
hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan apabila personil
yang ada tidak melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh pejabatpejabat tinggi. Karena itu, pemilihan dan pengangkatan personil pelaksana
kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah
ditetapkan.
b. Insentif; Edward menyatakan bahwa salah satu teknik yang disarankan untuk
mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi
insentif. Oleh karena itu, pada umumnya orang bertindak menurut kepentingan
mereka sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan
mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah
keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendorong yang
membuat para pelaksana kebijakan melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini
dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi (self interst) atau
organisasi.
25
4)
Struktur Birokrasi
Menurut Edward III (dalam Agustino,2008 : 153-154 ), yang
mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan publik adalah struktur
birokrasi. Walaupun sumber daya untuk melaksanakan suatu kebijakan tersedia,
atau para pelaksana kebijakan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, dan
mempunyai keinginan untuk melaksanakan suatu kebijakan, kemungkinan
kebijakan tersebut tidak dapat dilaksanakan atau direalisasikan karena terdapatnya
kelemahan dalam struktur birokrasi. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut
adanya kerjasama banyak orang, ketika stuktur birokrasi tidak kondusif pada
kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan menyebabkan sumber daya-sumber
daya menjadi tidak efektif dan menghambat jalannya kebijakan. Birokrasi sebagai
pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah
diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik.
Dua karakteristik, menurut Edward III, yang dapat mendongkrak kinerja struktur
birokrasi/organisasi kearah yang lebih baik, yaitu dengan melakukan :
a)
Standar Operating Prosedures (SOPs); adalah suatu kegiatan rutin yang
memungkinkan para pegawai (atau pelaksana kebijakan/administrator/birokrat)
untuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya setiap hari sesuai dengan standar yang
ditetapkan atau standar minimum yang dibutuhkan.
b)
Fragmentasi; adalah upaya penyebaran tanggungjawab kegiatan-kegiatan
atau aktivitas-aktivitas pegawai diantara beberapa unit kerja.
2. Perlindungan Kosumen
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen yaitu Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 1 butir 2 menyebutkan bahwa konsumen adalah setiap
orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan
26
tidak untuk diperdagangkan. Menurut Ellwood dalam Suprihanto (1991: 5-7)
bahwa hak-hak konsumen meliputi :
a) Kebutuhan pokok, yaitu memperoleh barang atau jasa yang dibutuhkan untuk
mempertahankan kehidupan seperti pangan cukup, sandang, perumahan,
pelayanan kesehatan, pendidikan dan sanitasi;
b) Keamanan, yaitu hak untuk dilindungi dari pemasaran barang-barang atau
pelayanan jasa yang berbahaya terhadap kesehatan dan kehidupan;
c) Informasi, yaitu hak untuk dilindungi dari merek atau iklan-iklan yang menipu
dan mengelabui. Hak untuk memperoleh informasi yang diperlukan untuk
keperluan memilih dan membeli;
d) Pilihan, yaitu hak untuk memilih barang atau jasa pada tingkat harga dan
jaminan mutu yang setara;
e) Perwakilan, yaitu hak untuk menyewakan kepentingan sebagai konsumen
dalam pembuatan dan pelaksanaan pemerintah;
f) Ganti rugi, yaitu hak untuk memperoleh ganti rugi terhadap
barang-barang yang jelek dan pelayanan jasa yang buruk;
g) Pendidikan konsumen, yaitu hak untuk memperoleh pengetahuan dan
keterampilan yang diperlukan untuk menjadi seorang konsumen yang baik;
h) Lingkungan, yaitu hak untuk hidup dan bekerja pada lingkungan yang tidak
tercemar dan tidak berbahaya, yang memungkinkan suatu kehidupan yang lebih
manusiawi.
Menurut Elizabeth A. Martin, perlindungan konsumen merupakan
perlindungan yang diberikan,terutama secara hukum kepada konsumen (pihak
27
yang melakukan akad dengan pihak lain dalam suatu bisnis untuk memperoleh
barang dan jasa dari pihak yang mengadakannya). Menurut Janus Sidabalok,
perlindungan konsumen adalah perlindungan hukum yang diberikan kepada
konsumen dalam usahanya memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat
merugikan konsumen itu sendiri.
Philip Kotler “konsumen adalah semua individu dan rumah tangga yang
membeli maupun memperoleh barang atau jasa untuk dikonsumsi pribadi”.
Hornby “konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
Perlindungan bagi konsumen banyak macamnya, seperti perlindungan
kesehatan dan keselamatan konsumen, hak atas kenyamanan, hak dilayani dengan
baik oleh produsen maupun pasar, hak untuk mendapatkan barang atau jasa yang
layak dan lain sebagainya. Banyaknya hak dalam perlindungan konsumen
disebabkan oleh faktor bahwa konsumen adalah pelaku ekonomi yang penting,
karena tanpa adanya konsumen dalam produksi barang atau jasa, maka suatu
perekonomian tidak akan berjalan. Bila produk/jasa yang dihasilkan tidak sesuai
dengan permintaan dari konsumen, maka kepuasan konsumen akan menjadi
minimal sehingga terjadi ketimpangan dalam perekonomian maupun produksi
suatu barang atau jasa tersebut.
28
E. Kerangka Pikiran
Kerangka berfikir tengtang Implementasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang perlindungan konsumen terhadap makanan dan minuman di
Pekanbaru
-
Standar dan Tujuan
Sosialisasi
Implementasi
kebijakan
Tentang
Perlindungan
Konsumen
Tujuan
Hasil
Kondisi
ekonomi,
sosial dan
politik
-
sarana
Fasilitas
Biaya operasional
sosialisasi
-
Informasi
pendekatan
Komunikasi
Sumber Daya
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
Disposisi
Struktur
Birokrasi
-
Transmisi
Kejelasan
konsisten
-
Kewenangan
-
fasilitas
-
Pemahaman dan
pengetahuan
Kemauan
Insentif/Motivasi
-
-
fragmentasi
SOP
29
Sumber George Edward III
F. Konsep Operasional
Untuk menghindari salah penafsiran persepsi atas istilah yang digunakan,
maka diberikan konsep yang dioperasionalkan sebagai berikut :
1. Implementasi adalah sebagai suatu proses, hasil dan sebagai akibat.
Sebagai suatu proses implementasi merupakan rangkaian keputusan dan
tindakan. Maksudnya, untuk menempatkan suatu keputusan otoriatif awal
dari legislatif pusat dalam suatu akibat atau efek
a) .Standar dan tujuan kebijakanyaitu memeberikan perhatian utama
pada indentifikasi indikator-indikator hasil kerja pada setiap
pegawai
Badan
Penyelesaian
Sengketa
Konsumen
dalam
Mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999
Tentang
Perlindungan
Konsumen Terhadap
makanan
dan
minuman .
b) .Keuangan yaitu suatu badan tidak bisa berdiri dan berjalan begitu
saja tanpa adanya pendanaan/kuangan yang baik, dalam hal ini
BPSK dalam menjalan kan tugas memerlukan pendanaan yang
baik.
c) .Sosialisasi yaitu untuk memberikan informasi dan pendekatan
kepada masyarakat dalam peraturan dan kebijakan yang dilakuakn
oleh anggota Badan Sengketa Penyelesian Konsumen kepada
pelaku usaha dan konsumen
30
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi dengan menggunakan teori
George Edward III dalam Winarno yaitu :
a .Komunikasi,
yaitu
alat
kebijakan
untuk
menyampaikan
informasi, perintah dan arahan yang mana hal ini berkenaan
dengan bagaimana kebijakan di sosialisasikan kepada organisasi
atau publik dan adanya efek atau dampak yang timbul dari
komunikasi tersebut dalam mengimplementasikan Undangundang Nomor 8 Tahun 1999
b .Sumber daya adalah mencakup jumlah staff pelaksana yang
memadai dengan keahlian yang memadai, informasi, wewenang
atau kewenangan dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk
menjamin kebijakan dijalankan sesuai dengan apa yang
dibutuhkan. Adanya fasilitas yang mendukung kelancaran
pelaksanaan Implementasi mengenai perlindungan Konsumen dan
pelimpahan wewenang dari atasan kepada bawahan.
c .Disposisi adalah sikap dari pelaksana untuk mempunyai
kemauan atau motivasi
untuk menjalankan Undang-undang
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Adanya pemahaman
dan pengetahuan.
d .Struktur birokrasi, yaitu jumah anggota, kemampuan dan criteria
staf tingkat pengawas (control) hirarki terhadap setiap keputusan
atau kebijakan yang telah diambil yang berhubungan dengan
pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
31
G. Metode Penelitian
1. Lokasi Penelelitian
Penelitian ini berlokasi di kantor Badan Penyelesaian sengketa Konsumen
Kota Pekanbaru, pemilihan lokasi penelitian ini karena pertimbangan bahwa
kantor Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan Badanyang tugas
pokok dan fungsi pada perlindungan konsumen. Hal ini berdasarkan pertimbangan
karena belum optimalnya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam
melaksanakan tugas dan fungsi serta perlu dianalisa untuk mengetahui sejauh
mana telah dilaksanakan tugas dan fungsi Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen tentang perlindungan konsumen.
2.
Informanpenelitian
Dalam penelitian ini, menggukan informan sebagai objek informasi
mengenai Implementasi UU No.8 Tahun 1999 di Kota Pekanbaru. Dalam
menentukan informan, selanjutnya dilakukan dengan snowball sampling, yaitu
tekni penentuan sample yang mula-mula jumlahnya sedikit kemudian membesar,
ibarat bola salju yang menggelinding yang lama-lama makin membesar. Dalam
penentuan sample, pertama-tama dipilih satu atau dua orang tetapi karna
informasi yang di dapat dari kedua orang ini dirasa belum lengkap maka penelliti
mencari orang lain yang dipandang lebih tau dan dapat melengkapi data yang
diberikan oleh dua orang sebelumnya, begitu selanjutnya hingga jumlah sample
semakin banyak Sugiono (2003 : 97).Maka informan penelitian sebagai berikut :
1.
BPSK Kota Pekanbaru
32
2.
Masyarakat/Konsumen
3. Jenis dan Sumber Data
a.
Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil pengamatan secara
langsung pada data yang dibutuhkan terdiri dari:
1.
Informan mengenai proses implementasi UU No 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen
2.
Wawancara
3.
observasi
b.
Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen-dokumen dan
laporan yang ada kaitannya dengan masalah penelitian dan juga buku-buku yang
berkenaan dengan penelitian ini yang terdiri dari:
1.
Profil BPSK kota Pekanbaru
2.
Laporan penyelesaian sengketa
4. Teknik Pengumpulan Data
Data dalam teknik ini pengumpulan data ini adalah menggunakan proses
pengumpulan data agar dapat sesuai dengan penelitian yang penulis lakukan
dalam teknik ini adalah :
1.
Wawancara
Peneliti melakukan tanya jawab langsung dengan koresponden, di mana
pertanyaan-pertanyaan terlebih dahulu disiapkan dengan permasalahan tentang
Implementasi UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam
33
teknik ini juga dilakukan pengedaran sejumlah pertanyaan yang diberikan pada
masing-masing responden, menyangkut pada indikator variable permasalahan
dalam penelitian tersebut.
2.
Observasi
Yaitu teknik pengumpulan data dengan melakukan pengamatan secara
langsung terhadap objek yang akan di teliti. Langkah ini dilakukan sebagai tahap
akhir dalam pengumpulan data agar objektifitas dari data yang telah diberikan
pada koresponden benar-benar teruji kebenarannya. Observasi ini merupakan
pengmatan langsung secara berkesinambungan, dalam beberapa hari.
3.
Studi kepustakaan
Yaitu mengadakan studi terhadap sejumlah literatur yang ada kaitannya
dengan judul penelitian ini. Dilakukan dengan mengumpulkan data-data
keperpustakaan
berupa
buku-buku
yang
materialnya
berkaitan
dengan
permasalahan yang diteliti.
5. Analisa Data
Penulis menggunakan teknik analisis data secara kualitatif, dimana peneliti
hanaya memaparkan situasi atau peristiwa tanpa mencari atau menjelaskan
hubungan, tidak menguji hipotrsis atau membuat predeksi. Akan tetapi, peneliti
kualitatif ini mencari hubungan antara fenomena-fenomena yang ada berdasarkan
data informasi yang dikumpulkan serta berpedoman pada landasan teori dan
kebijakan yangn menjadi gambaran legnkap mengenai objek peneliti dan
fenomena-fenomena yang melingkupinya sehingga diperoleh penjelasan dari
pokok permasalahannya serta membantu mencari pemecahan yang baik dan tepat
terhadap masalah tersebut. Setelah menjawab dan memecahkan masalaah tersebut
34
dengan pemahaman secara menyeluruh, selanjutnya penulis memberikan penelian
terhadap jawaban responden melalui wawancara dan observasi sehingga
menghasilkan kesimpulan terhadap objek yang di teliti.
35
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Boy, Robert, 1992, pengantar metode penelitian kualitatif, Surabaya, Usaha
Edward III, Merilee S. 1980. Implementing Public Policy. Congressional
Quarterly Press, Washington.
Islamy. M. Irfan. 1992. Prinsip – Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara.
Jakarta. Bumi Aksara.
Rakyat, Dian, 2003, Perlindungan Konsumen, jakarta
Soejono, 2005, metode penelitian. Jakarta , Rineka Cipta
Widja, Gunawan, 2000, Hukum
Jakarta,Gramedia Pustaka
Tentang
Perlindungan
DOKUMEN
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Konsumen.