Dibungkam Atas Dalih Keamanan Catatan Si

Catatan Situasi Hak atas Informasi dalam Isu-isu Keamanan Nasional di Indonesia 2011

Tim Penulis:

Mufti Makaarim A. Wendy A. Prajuli Beni Sukadis Mujtaba Hamdi Edwin Tri Prasetyo

Editor:

Mufti Makaarim A.

Februari 2012

Dibungkam Atas Dalih Keamanan! Dibungkam Atas Dalih Keamanan!

“Catatan Situasi Hak atas Informasi dalam Isu-isu Keamanan Nasional di Indonesia 2011” © IDSPS 2012

Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Institute for Defense, Security and Peace Studies, Februari 2012

Institute for Defense, Security and Peace Studies Komplek TNI AL Rawa Bambu Jl. Teluk Peleng B.32, Pasar Minggu, Jakarta Selatan email: info@idsps.org

Perancang sampul dan layout: Nurika Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari Penerbit

v + 62 hlm.; 14.8 cm x 21 cm ISBN: 978-979-17733-5-5

Dibungkam Atas Dalih Keamanan! i Kata Pengantar Yayasan Tifa

Kata Pengantar Yayasan Tifa

Poor governance is often midwive of authoritarian reversals, and while Indonesia has yet to produce its Albert Fujimori, Thaksin Shinawatra, or Vladimir Putin, Indonesia democracy is not yet out of the danger zone (Edward Aspinall, Irony of Success, Journal of Democracy, April 2010)

Edward Aspinall adalah seorang pemikir transisi demokrasi. Indonesia adalah salahs atu negara yang menjadi minatnya. Dalam jurnal tersebut di atas mengingatkan pegiat demokrasi tentang kemungkinan bahaya kembalinya kekuatan militer karena anggapan bahwa reformasi militer selesai dengan hanya memisahkan TNI dan Polisi serta menghapus hak TNI dalam memberikan suara di Pemilu. Dua hal ini memang merupakan langkah maju dan revolusioner bagi penegakan demokrasi di Indonesia. Namun yang luput dari perkiraan banyak reformis di Indonesia salah satunya adalah bagaimana mempersiapkan reformasi militer yang sempurna dan mendukung capaian demokrasi. Salah satu indikator yang nampak adalah belum adanya reformasi institutional secara internal di tubuh TNI dan terutama Polisi. Aspek akuntabilitas dan transparansi masih sangat rendah dan pada waktunya jika dibiarkan akan dapat memunculkan kembalinya rezim otoritarian yang didukung oleh militer yang represif namun menggunakan instrumen demokrasi. Ini salah satu irony of success dari cerita tentang kondisi demokrasi di Indonesia paska 1998.

Catatan dalam buku ini lahir dari kesadaran bahwa agenda demokrasi saat ini juga penting untuk memperhatikan bagaimana pengaturan yang mendorong akuntabilitas dan transparansi Catatan dalam buku ini lahir dari kesadaran bahwa agenda demokrasi saat ini juga penting untuk memperhatikan bagaimana pengaturan yang mendorong akuntabilitas dan transparansi

konsolidasi demokrasi di Indonesia. Sebagai salah satu negara demokrasi, Indonesia berhasil membuat terobosan luar biasa dengan disahkannya jaminan warga negara untuk memperoleh informasi publik yang dimiliki oleh lembaga negara. Ini sesuai dengan trend global meningkatnya negara yang memiliki UU Kebebasan Informasi yang saat ini melingkupi hampir 5 milyar penduduk dunia di 90 Negara. Open Society Foundation, lembaga non profit yang cukup lama memperjuangkan jaminan hak atas informasi sedang mengembangkan instrumen internasional berupa prinsip pengaturan keamanan nasional yang memperhatikan prinsip-prinsip jaminan hak atas informasi. OSF juga melangsungkan konsultasi dengan organisasi di sektor keamanan, hak asasi manusia, dan transparansi di tingkat regional untuk memperoleh masukan bagi pengembangan prinsip tersebut. Konsultasi pertama dimana Tifa dan IDSPS bersama Forum Asia dan OSF mengundang CSO dari 15 negara di Asia. Buku ini merupakan salah satu catatan tentang situasi keamanan Indonesia yang menggunakan kacamata hak atas informasi dalam konsultasi 15 negara Asia untuk menyempurnakan instrumen internasional tersebut.

Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik yang berlaku pada tahun 2010 di Indonesia diharapkan menjadi salah satu perangkat hukum yang ikut mendorong mengubah sistem formal tata kelola kita yang masih patrimonial dan kolusif di Indonesia. Namun sesuai dengan status demokrasi kita yang belum substantif dengan reformasi militer yang belum sempurna maka kecenderungan legislatif dan eksekutif yang konservatif saat ini untuk menghasilkan undang-undang yang bertabrakan dengan prinsip demokrasi masih cukup tinggi. UU KIP saat ini harus berhadapan dengan bayang-bayang pengaturan rahasia negara

Dibungkam Atas Dalih Keamanan! iii Dibungkam Atas Dalih Keamanan! Kata Pengantar Yayasan Tifa atas nama keamanan nasional yang dapat membantu praktek

meluasnya kerahasiaan di birokrasi. Salah satu yang telah diuji materi di Mahkamah Konstitusi adalah UU Intelijen. Catatan ini akan banyak menunjukkan dinamika paska kejatuhan Suharto tentang situasi pengaturan dan praktek sektor keamanan, keterbatasan UU KIP maupun praktek-praktek pelanggaran hak atas informasi di sektor keamanan.

Bagi para penulis kami ucapkan terima kasih telah menuliskan catatan berharga ini sebagai upaya mendorong implementasi hak atas informasi dalam reformasi sektor keamanan. Bagi para pembaca dan pegiat demokrasi semoga catatan dalam buku ini bisa membantu kita semua untuk memiliki rencana aksi nyata untuk mendorong meningkatnya kualitas demokrasi kita ke depan.

Jakarta, 25 Februari 2012

Tanti Budi Suryani

Program Officer Kebebasan Informasi Publik Yayasan Tifa, Jakarta Program Officer Kebebasan Informasi Publik Yayasan Tifa, Jakarta

Kata Pengantar Institute for Defense, Security and Peace Studies

(IDSPS)

Ada dua faktor yang melatar belakangi kehadiran buku ini. Pertama, eksklusifitas dan ketertutupan isu-isu keamanan di Indonesia pada masa lalu yang menghasilkan beragam dampak buruk terkait akuntabilitas, transparansi dan pertanggungjawaban hukum. Isu-isu keamanan hanya diketahui oleh segelintir orang, khususnya para pejabat bidang keamanan atau elit militer.

Kondisi ini menyebabkan ketiadaan pengawasan terhadap kebijakan-kebijakan

Konsekuensinya adalah, pertama, kebijakan sektor keamanan di Indonesia tidak pernah disusun secara baik dan visioner, termasuk memenuhi tata kelola yang demokratis. Kedua, korupsi dan kolusi menyebar di instansi-instansi keamanan di pemerintah. Ketiga, instansi-instansi keamanan acap kali terlibat di dalam tindak kekerasan dan pelanggaran HAM.

Kedua, pada tanggal 9-10 November 2011 yang lalu, di Jakarta, Tifa Foundation, Forum Asia, Institute for Defense Security and Peace Studies (IDSPS), dan Open Society Foundation menyelenggarakan konsultasi regional yang diberi nama “Asia Civil Society Consultation on National Security and Right to Information Principles” dimana di dalam pertemuan tersebut materi dari buku ini menjadi salah satu bahan presentasi country assessment mengenai hak atas informasi di sektor keamanan di negara-negara Asia.

Pasca kegiatan seluruh materi country assessments dari pertemuan regional tersebut dipublikasikan melalui 2 buku. Buku pertama berjudul “Country Assessmenst on National Security and

Dibungkam Atas Dalih Keamanan! v Dibungkam Atas Dalih Keamanan! Kata Pengantar Yayasan Tifa Kata Pengantar IDSPS Right to Informartion in Asia 2011” yang berisikan seluruh seluruh

materi country assessments dari negara-negara Asia peserta pertemuan.

Buku kedua adalah buku ini. Buku yang berisikan materi country assessment mengenai hak atas informasi publik di sektor keamanan Indonesia. Buku ini ditujukan untuk menjadi dokumen ringkas yang menginformasikan permasalahan-permasalahan hak atas informasi publik di Indonesia, khususunya yang terkait dengan isu-isu keamanan.

Akhirnya, penerbitan buku ini diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk mendorong keterbukaan informasi di sektor keamanan di Indonesia. Setelah membaca buku ini semoga para pembaca mendapatkan gambaran mengenai penerapan hak atas informasi publik yang telah dijamin Undang-Undang No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, khususnya di sektor keamanan.

Sebagai penutup kami menucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dan membantu penyelenggaraan “Asia Civil Society Consultation on National Security and Right to Information Principles” dan penerbitan buku ini, khususnya kepada pihak Tifa Foundation, dan Open Society Foundation.

Jakarta, 15 Februari 2012.

Institute for Defense Security and Peace Studies Institute for Defense Security and Peace Studies

Dibungkam Atas Dalih Keamanan! vii Dibungkam Atas Dalih Keamanan! Daftar Isi Daftar Isi

Daftar Isi

Pengantar: Tifa

Pengantar: IDSPS

iv

BAB I: Pendahuluan

BAB II: Perubahan Legislasi

di Sektor Keamanan dan HAM BAB III: Inkonsistensi dalam Pengaturan Hak

13

atas Informasi di Indonesia BAB IV: Kasus-kasus Pelanggaran Hak atas

35

Informasi BAB V: Trend Keterbukaan Informasi

47

di Sektor Keamanan Indonesia BAB VI: Kesimpulan

57

61

BAB VII: Penutup

63

Tim Penulis

65

Proil Lembaga

BAB I Pendahuluan

Dalam 13 tahun paska jatuhnya rezim otoritarian Soeharto pada 1998, berbagai upaya telah dilakukan untuk mendukung transisi demokratis rezim pemerintahan yang diserta reformasi di berbagai bidang, terutama dalam hal politik, ekonomi, hukum, keamanan dan penyelenggaraan negara. Beberapa capaian strategis berhasil terwujud, seperti peninjauan ulang terhadap pelbagai kebijakan, keputusan politik maupun tindakan rezim masa lalu dalam 32 tahun masa kekuasaannya, yang kemudian ditindaklanjuti dengan pembatalan maupun perbaikan kebijakan, atau penegakan hukum atas beberapa pelanggaran sebagaimana didesakkan oleh publik ketika menuntut turunnya Soeharto berserta rezim militer pendukungnya. Segera setelah ‘berhentinya’ Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia, pemerintah juga menyusun program-program reformasi dan transisi politik, yang sebagian berjalan meskipun belum memberikan hasil memuaskan.

Sebagai contoh, banyak peraturan perundang-undangan baru, sebagian menjawab aspirasi publik atas tuntutan demokratisasi dan perlindungan hak-hak warga Negara, namun juga terdapat sejumlah kebijakan yang mengancam hak-hak masyarakat, terutama yang berdimensi ekonomi, sosial dan budaya. Beberapa proses hukum digelar, misalnya dalam kasus-kasus pelanggaran berat HAM di Timor Leste, Tanjung Priok dan Abepura, namun

2 Dibungkam Atas Dalih Keamanan! Dibungkam Atas Dalih Keamanan!

gagal memberikan keadilan bagi korban karena vonis yang dijatuhkan sebagian besar membebaskan tersangka.

Perubahan politik paska 1998 memang menunjukkan akhir bagi rezim Orde Baru, yang ditandai dengan dipilihnya demokrasi sebagai sistem politik yang disertai pembangunan perangkatnya. Namun praktek-praktek dan kultur-kultur non-reformis atau non demokratis masih terlihat dalam penyelenggaraan pemerintahan, termasuk tata kelola sektor keamanan. Sebagai negara yang memasuki transisi demokrasi, upaya-upaya untuk membangun sistem dan perangkat demokrasi seperti penerapan tata kelola pemerintahan yang transparan, kredibel dan akuntabel, penyediaan ruang partisipasi publik yang luas dalam pelbagai kebijakan pemerintah (baik di tingkat nasional maupun daerah), serta penegakan hukum atas penyalahgunaan kewenangan dan pelanggaran masih terasa berat. Dengan kata lain, tantangan terberat transisi demokrasi Indonesia adalah kuatnya pengaruh dan hegemoni dari system politik lama, dimana gerakan reformasi tidak merubah total seluruh komponen birokrasi maupun politik yang notabene tetap diisi oleh orang-orang lama.

Dalam rangka membangun sitem pemerintahan yang demokratis, setidaknya diperlukan tiga langkah yang terintegrasi dari pemerintah-DPR-publik. Pemerintah, perlu melakukan perubahan atau penyesuaian institusi-institusi pemerintah terhadap sistem baru, antara lain dengan pembenahan besar-besaran terhadap paradigma, peran, fungsi, tugas pokok, budaya dan strukturnya. Termasuk menempatkan sumber daya yang memiliki kapasitas dan integritas, bebas dari masalah baik dimasa lalu maupun paska 1998. DPR perlu memperkuat legislasi, pengawasan dan penganggaran dalam rangka membangun pemerintahan yang bekerja atas dasar legitimasi politik dan hukum yang jelas dan dapat dituntut tanggungjawabnya. Sementara publik memiliki peran pengawasan dan kritik dalam rangka memperbaiki kinerja ataupun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah atau DPR.

Dibungkam Atas Dalih Keamanan! Bab I Pendahuluan

3 Dibungkam Atas Dalih Keamanan!

Pada tahun 2008, DPR menetapkan Undang-Undang (UU) tentang kebebasan informasi, yaitu UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), ini merupakan capaian luar biasa dari gerakan advokasi kebebasan informasi, terutama mengingat di masa Orde Baru publik mengalami praktek perahasiaan informasi yang luar biasa oleh pemerintah maupun institusi keamanan. UU ini mengadopsi sejumlah norma internasional dan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM), menegaskan bahwa informasi pada dasarnya bersifat terbuka dan merupakan milik publik, dengan sedikit diantaranya bisa dikecualikan dengan pertimbangan keamanan nasional alasan lain yang sah secara hukum, serta mengatur mekanisme komplain bagi badan publik yang tidak bersedia memberikan informasi publik sebagaimana diminta. Terhitung sejak tahun 2010, UU ini dinyatakan berlaku bagi seluruh badan publik, termasuk instansi-instansi di sektor keamanan.

Sayangnya, UU KIP memiliki kelemahan mendasar, yaitu pembatasan informasi yang sangat luas terkait informasi publik

yang dikecualikan. 1 Padahal jika melihat kategorisasi yang ada, seharusnya seluruh informasi yang dikecualikan tidak serta merta menjadi informasi dalam kategori rahasia, apalagi

[1] Pada pasal 17 dinyatakan bahwa “infomasi yang dapat dikecualikan meliputi:

Informasi Publik yang apabila dibuka dapat:

a. menghambat proses penegakan hukum b. mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat c. membahayakan pertahanan dan keamanan negara d. mengungkapkan kekayaan alam Indonesia e. merugikan ketahanan ekonomi nasional f. merugikan kepentingan hubungan luar negeri g. mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang h. mengungkap rahasia pribadi

Memorandum atau surat-surat antar Badan Publik atau intra Badan Publik, yang menurut sifatnya dirahasiakan kecuali atas putusan Komisi Informasi atau pengadilan

Informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang-Undang.”

4 Dibungkam Atas Dalih Keamanan! Dibungkam Atas Dalih Keamanan!

rahasia negara. Perlu diperhitungkan nilai strategis dari informasi yang bersangkutan, dimana kebocorannya misalnya dapat berdampak pada gagalnya perlindungan kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa. Indikasi keterkaitan tersebut bisa diukur dengan uji konsekuensi perihal sejauhmana dampaknya terhadap tujuan keamanan nasional atau tujuan bernegara sebagaimana dirumuskan dalam Undang-Undang

Dasar (UUD) 1945. 2

Di bidang keamanan dan pertahanan, dalam konteks pengecualian informasi publik atas dalih rahasia negara misalnya, pengecualian ini akan berpotensi ‘melindungi’ penyalahgunaan wewenang, korupsi dan pelanggaran HAM, serta memberikan tafsir yang biasa atas apa yang dimaksud ‘rahasia negara murni’ dengan rahasia politik, rahasia birokrasi, rahasia jabatan maupun

rahasia individu pejabat negara. 3

[2] Yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta pemajuan kesejahteraan umum yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

[3] Pasal 17 huruf c UU KIP menyatakan bahwa, ”Informasi yang apabila dibuka dan

diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara, yaitu:

1. informasi tentang strategi, intelijen, operasi, taktik dan teknik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara, meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi dalam kaitan dengan ancaman dari dalam dan luar negeri; 2. dokumen yang memuat tentang strategi, intelejen, operasi, teknik dan taktik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanaan negara yang meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi; 3. jumlah, komposisi, disposisi, atau dislokasi kekuatan dan kemampuan dalam penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara serta rencana pengembangannya; 4. gambar dan data tentang situasi dan keadaan pangkalan dan/atau instalasi militer; 5. data perkiraan kemampuan militer dan pertahanan negara lain terbatas pada segala tindakan dan/atau indikasi negara tersebut yang dapat membahayakan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/ atau data terkait kerjasama militer dengan negara lain yang disepakati dalam perjanjian tersebut sebagai rahasia atau sangat rahasia; 6. sistem persandian negara; dan/atau 7. sistem intelijen negara. ”

Dibungkam Atas Dalih Keamanan! Bab I Pendahuluan

5 Dibungkam Atas Dalih Keamanan!

Padahal sektor keamanan juga membutuhkan akuntabilitas sebagai badan publik, dimana pengecualian yang dilakukan tidak perlu meliputi cakupan yang luas seperti kategori, ruang lingkup, kewenangan, penyelenggaran, pengelolaan, pengawasan, penetapan sangsi dan hukuman serta pembatasan akses informasi, karena akan menimpulkan pertentangan dengan rezim keterbukaan informasi publik. Ancaman yang kemudian muncul adalah terbentuknya rezim keamanan nasional yang tidak bekerja murni untuk memastikan perlindungan kepentingan nasional yang meliputi keselamatan individu warga negara, bangsa dan wilayah negara, namun justru untuk kepentingan kekuasaan semata-mata.

Buku ini dimaksudkan untuk melihat korelasi antara kepentingan ‘keamanan’ atau keamanan nasional dengan persoalan hak publik atas informasi, sebagaimana dijamin dalam UU KIP. Beberapa persoalan yang dimunculkan di sini menegaskan bahwa upaya penegakan hak publik atas informasi terutama di sektor keamanan (yang juga meliputi pertahanan dan intelijen serta birokrasi dan sistem penegakan hukum yang terkait pertahanan dan keamanan) masih menghadapi tantangan yang panjang. Meskipun beberapa norma internasional yang memberikan jaminan hak tersebut telah diratifikasi pemerintah Indonesia, serta amandemen konstitusi dan penetapan beberapa peraturan perundang-undangan memberikan jaminan yang eksplisit, namun publik tetap menghadapi beberapa hambatan, terutama jika terkait upaya penegakan hukum atas pelanggaran yang diduga melibatkan aktor keamanan.

6 Dibungkam Atas Dalih Keamanan!

Dibungkam Atas Dalih Keamanan!

B AB II Perubah an Legislasi di Sektor Keamanan dan HAM

Majelis Permusyawaratan

Rakyat (MPR) mengeluarkan beberapa ketetapan terkait perubahan peran MPR, susunan dan kedudukan perundang-undangan, rekomendasi pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), resolusi konflik Aceh dan

Papua, 4 penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, otonomi daerah, pemisahan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) serta pembagian

peran keduanya. 5 Sebagian besar ketetapan ini dikeluarkan pada periode 1999-2000, memiliki subtansi yang cukup reformis dan proses yang cukup terbuka, yang tidak lain terwujud berkat kuatnya tekanan publik nasional dan ‘internasional’ di masa-masa

awal reformasi tersebut. 6

[4] Penyelesaian konlik yang dimaksudh adalah antara Negara dengan perlawanan lokal yang disebut sebagai Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Secara umum rekomendasi MPR tidak menyebutkan dialog damai atau negosiasi politik, namun hanya menegaskan bahwa Jakarta harus memiliki perencanaan untuk mengakhiri suatu periode panjang pelanggaran HAM dan konlik di Aceh dan Papua secara bermartabat.

[5] Pada masa pemerintahan SoehartoTNI dan Polri berada di bawah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan berbagi peran dalam urusan keamanan, khususnya dalam keamanan internal/domestik. Kritik keras terhadap peran ABRI serta tuntutan pemisahan militer dan kepolisian berkaitan dengan dominannya peran-peran militer melalui konsep dwi-fungsi di pemerintahan dan parlemen. ABRI masuk pada ranah-ranah politik, ekonomi dan sosial. Sebagai dampak dari suatu periode panjang keterlibatan mereka adan munculnya beragam penyalahgunaan kewenangan dan pelanggaran hukum dan HAM.

[6] Pencapaian luar biasa lainnya adalah amandemen UUD 1945, dimana konstitusi baru ini memasukkan kewajiban negara untuk memenuhi, melindung dan menghormati HAM sebagaimana diakui dalam Deklarasi Universal HAM atau hukum-hukum dalam kovenan, konvensi atau prinsip internasional lainnya.

8 Dibungkam Atas Dalih Keamanan! Dibungkam Atas Dalih Keamanan!

Khususnya di sektor pertahanan dan keamanan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama-sama dengan pemerintah telah menetapkan sejumlah UU, antara lain UU No 2 Tahun 2002 tentang POLRI, UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, UU No 34 tahun 2004 tentang TNI, serta satu UU yang cukup kontroversial, UU No 17 Tahun 2011 tentang Intelijen

Negara. 7 Hingga saat ini, pemerintah dan DPR mengagendakan penyelesaian beberapa RUU, antara lain RUU Industri Pertahanan dan Keamanan, RUU Keamanan Nasional, RUU Komponen Cadangan, RUU Rahasia Negara, serta amandement UU tentang Peradilan Militer.

Secara khusus, untuk perlindungan dan penegakan HAM, DPR telah mengeluarkan UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang kemudian diikuti penetapan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (untuk memfasilitasi proses hukum atas kasus-

kasus pelanggaran berat HAM). 8

Pada tahun 2004, DPR menetapkan UU No 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang pada tahun 2006 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena adanya beberapa kelemahan didalamnya sebagaimana digugat oleh sejumlah

[7] Sejak awal, kelompok-kelompok masyarakat sipil yang bergerak pada isu HAM

dan reformasi sector keamanan mengajukan keberatan atas sejumlah pasal di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dianggap mengancam kebebasan sipil dan HAM, termasuk akses publik terhadap informasi. Berbagai upaya dilakukan untuk mengajukan perubahan isi RUU, sampai pada akhirnya DPR mengesahkannya pada Oktober 2011. Merasa keberatan dengan substansi UU yang dianggap masih bermasalah, saat ini sejumlah individu dan organisasi masyarakat sipil mengajukan judicial review terhadap UU Intelijen Negara ke Mahkamah Konstitutisi.

[8] Pada masa itu Indonesia menghadapi tuntutan atau kejahatan kemanusiaan yang meluas dan sistematis di Timor Leste paska referendum yang dimenangkan oleh opsi berpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagian besar kekerasan dilakukan oleh milisi-milisi lokal yang di-back up oleh militer dan polisi Indonesia, sementara di sebagian kasus ditemukan pula keterlibatan langsung maupun tidak langsung dari aktor-aktor keamanan Indonesia. Khawatir atas campur tangan PBB terhadap Indonesia, pemerintah memutuskan mengelar proses hukum atas kasus ini melalui pengadilan HAM Ad Hoc.

Dibungkam Atas Dalih Keamanan! Bab I I Perubahan Legislasi di Sektor Keamanan dan HAM

9 Dibungkam Atas Dalih Keamanan!

organisasi masyarakat sipil. 9

Dalam hal ratifikasi terhadap instrumen HAM internasional atau adopsi prinsip-prinsip hukum internasional, pemerintah Indonesia menetapkan UU No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Hak Anak, UU No 23 Tahun 2004 dan UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sebagai pihak, Indonesia meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (SIPOL) dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (EKOSOB) pada tahun 2005, setelah sebelumnya meratifikasi sejumlah konvensi seperti Konvensi ILO, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Konvensi tentang Pengapusan Diskriminasi Rasial, Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia, dan Konvensi Perburuhan ILO.

UU di Sektor Keamanan yang “Tidak Bergigi”?

UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara lebih terfokus pada konsep normatif gelar pertahanan oleh pemerintah ketimbang menjelaskan atau memperkuat konsep demokratis dalam penyelenggaraan pertahanan atau pengambilan kebijakan melalui otoritas yang sah, akuntabel dan professional. UU ini masih menggunakan paradigma lama tentang ancaman konvensional dan kebijakan pertahanan berbasis darat, dengan asumsi bahwa ancaman internal masih dominan ketimbang ancaman asimetris lainnya. UU ini juga mengatur mekanisme mobilisasi militer oatau komponen pertahanan lainnya, termasuk masyarakat, tanpa disertai penjelasan spesifik perihal konteks dan waktu

[9] UU ini merupakan mandat dari ketetapan (Tap) MPR pada tahun 2000 yang mengamanatkan penguatan persatuan nasional melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Komisi yang dimaksud adalah badan ekstra-judisial untuk pencarian fakta atas kasus- kasus kekerasan atau pelanggaran HAM masa lalu, yang ditindaklanjuti dengan agenda keadilan dan rekonsiliasi.

10 Dibungkam Atas Dalih Keamanan! Dibungkam Atas Dalih Keamanan!

mobilisasi, konsekuensi dan kompensasi atas mobilisasi tersebut, dan tidak memberikan analisa yang cukup atas kesesuaian mobilisasi tersebut terhadap ancaman aktual, konteks geografis, kemampuan pembiayaan, atau kemungkinan solusi-solusi non- militer lainnya. Hingga saat ini, Dewan Pertahanan Nasional sebagai lembaga yang membantu Presiden dalam menetapkan kebijakan umum pertahanan dan mekomendasikan kebijakan yang relevan juga belum terbentuk. Pentingnya keberadaan dewan ini seiring dengan keterbatasan informasi terkait kebijakan umum pertahanan negara, maka efektivitas dari UU ini juga dipertanyakan.

Saat ini yang terlihat adalah kebijakan pertahanan yang lebih bersifat ‘ bottom up’ atau direncanakan dan diputuskan oleh militer sendiri lalu kemudian diteruskan oleh Kementerian Pertahanan (Kemhan) dalam fungsi ‘manajemen administratif’. Kemhan belum menunjukkan otoritasnya supremasi politiknya secara penuh, yang seharusnya terlihat mengatur tata kelola TNI dan mengawasinya.

UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri ditujukan untuk membentuk kepolisian yang lebih bersifat sipil paska pemisahan mereka dari TNI, termasuk menjabarkan peran mereka yang spesifik pada ranah penegakan hukum, ketertiban umum dan pelayanan masyarakat. UU ini merincikan fungsi dan otoritas polisi yang lebih baik, namun dalam pelaksanaannya di lapangan, masih sulit

untuk dipastikan akuntabilitas dan mekanisme pengawasannya. 10

[10] Kepala Polri (Kapolri) secara langusng ditunjuk oleh dan bertanggung jawab kepada

Presiden. Tidak ada pejabat negara setingkat menteri yang melakukan fungsi kontrol dan memastikan akuntabilitas kerja polisi secara politik, sebagai representasi supremasi pemerintahan sipil. Kepolisian adalah instrumen negara untuk persoalan keamanan dalam negeri yang tetap harus dapat diawasi, oleh satu struktur eksekutif di bawah presiden selain oleh parlemen. Kedudukan Kapolri yang setara dengan menteri menyebabkan dirinya selalu dilibatkan dalam pengambilan keputusan di ranah politik seperti dalam rapat kabinet, sementara mereka juga memiliki fungsi operasional sebagai instrument negara, sehingga memiliki kekuasaan berlapis.

Dibungkam Atas Dalih Keamanan! 11 Dibungkam Atas Dalih Keamanan! Bab I I Perubahan Legislasi di Sektor Keamanan dan HAM Sebagai dampak dari kondisi ini, tindakan penyalahgunaan

kewenangan atau kekerasan yang dilakukan anggota polisi terjadi setiap hari di banyak tempat, tanpa dapat dikoreksi sevcara langsung oleh otoritas politik –yang saat ini berada langsung di tangan Presiden.

Informasi tentang kemajuan dari proses hukum oleh kepolisian (terutama untuk kejahatan yang terjadi sehari-hari di lingkungan masyarakat; akuntabilitas penegakan hukum terhadap kasus-kasus brutalitas polisi; atau bahkan informasi lainnya yang dibutuhkan publik dari polisi masih sulit diperoleh. Dengan anggaran yang besar namun tidak disertai pengawasan yang memadai, maka saat ini kepolisian dianggap bermasalah, terutama dalam konteks reformasi sektor keamanan atau penegakan hukum. Ketika berlindung di balik ketentuan ‘informasi yang dikecualikan’ atas pemintaan informasi terhadap Polri, maka setiap upaya untuk mengontrol mereka akan mengalami kesulitan. Parlemen sendiri terlau lemah untuk diandalkan mengawasi Polri, disamping karena faktor keterbatasan kapasitas mereka, juga karena sejumlah persoalan internal DPR yang membuat mereka juga disoroti publik, terkait dengan isu penyalahgunaan kewenangan dan pelanggaran oleh beberapa anggota DPR.

Sementara problem fundamental dari UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI adalah adanya pemberian ruang yang cukup besar bagi TNI untuk terlibat dalam persoalan keamanan dalam negeri, keterlibatan mereka dalam pengambilan kebijakan, dan tidak efektifnya implementasi UU ini. Menurut UU, Operasi Militer Selain Perang (OMSP) meliputi beberapa isu keamanan dalam negeri seperti separatisme, terrorisme, atau perbantuan kepada pemerintah, tanpa diserta penjelasan yang rigid perihal kebutuhan penetapan dari otoritas politik dengan pertimbangan pernyataan ketidakmampuan Polri. Hingga saat ini, tranformasi aktivitas ekonomi militer masih dipertanyakan, dimana UU

12 Dibungkam Atas Dalih Keamanan!

mengamanatkan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 5 tahun paska diberlakukannya UU maka seluruh aktivitas ekonomi yang bersifat langsung maupun tidak langsung harus dialihkan. Koperasi-koperasi militer dianggap bukan merupakan aktivitas ekonomi, meskipun tidak sedikit dari koperasi-koperasi tersebut yang memiliki unit usaha sebagaimana perusahaan atau yayasan militer di masa lalu. Upaya pengungkapan pelanggaran HAM oleh militer juga tersendat karena minimnya kerjasama internal institusi dalam proses pengungkapan. Kelemahan pengawasan oleh parlemen juga memberi ruang bagi munculnya permasalahan di lingkungan militer, yang kemudian juga berlindung dibalik ‘informasi yang dikecualikan’ ketika publik meminta informasi untuk memastikan akuntabilitas mereka.

UU No 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara sejak awal muncul sebagai RUU menghadapi beragam kritik terkait tujuan (apakah ingin mengatur seluruh intelejen atau hanya Badan Intelijen Negara/BIN), gagasan (apakah mengatur koordinasi atau tata keloka), adanya pengaturan intelijen non-BIN, adanya kewenangan penegakan hukum, adanya pengaturan rahasia intelijen dan masa retensinya, adanya sangsi pidana bagi publik, serta minimnya mekanisme pengawasan yang efektif.

Berdasarkan UU ini, seluruh informasi yang berada di semua lembaga intelijen dapat dirahasiakan, sulit untuk dibawa ke proses hukum sebagai bukti yang terbuka, serta dapat digunakan untuk mempidanakan publik atas dalih pembocoran rahasia intelijen. Karenanya sejumlah organisasi masyarakat sipil saat ini mengajukan judicial review atas UU ini ke Mahkamah Konstitusi.

Dibungkam Atas Dalih Keamanan!

BAB III Inkonsistensi dalam Pengaturan Hak atas Informasi di Indonesia

Hak atas informasi merupakan salah satu hak asasi manusia. Hak ini sekalipun bukan bagian dari hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun ( non-derogable rights) namun telah diakui dan dilindungi keberadaannya. Di tingkat internasional, hak atas informasi dijamin dan dilindungi oleh pasal 19 The Universal

Declaration of Human Rights, 11 pasal 19 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), 12 dan The Johannesburg Principles on National Security, Freedom of Expression and

Access to Information. 13

[11] Isi pasal 19 dari Deklarasi ini adalah “[e]veryone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.”

[12] Isi dari pasal 19 ICCPR adalah:

“1. Everyone shall have the right to hold opinions without interference. 2. Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice.

3. The exercise of the rights provided for in paragraph 2 of this article carries with it special duties and responsibilities. It may therefore be subject to certain restrictions, but these shall only be such as are provided by law and are necessary: (a) For respect of the rights or reputations of others; (b) For the protection of national security, publik order, or publik health or morals.”

[13] Phillip Fluri (ed.), “The Indonesian Draft State Secrecy Law”, DCAF Regional

Programmes Series No. 3 , Jenewa: DCAF, 2010, hal. 1-2.

14 Dibungkam Atas Dalih Keamanan! Dibungkam Atas Dalih Keamanan!

Menurut Article 19, sebuah organisasi masyarakat sipil di Inggris yang mengampanyekan hak atas informasi, untuk menjamin hak publik atas informasi ada sembilan prinsip yang harus dipenuhi

oleh sebuah negara. Kesembilan prinsip tersebut adalah: 14 • Prinsip pengungkapan maksimum ( maximum disclosure).

Prinsip ini mewajibkan seluruh badan publik untuk mengungkap informasi yang dimiliki. Jika sebuah badan publik memutuskan untuk menutup informasi, badan publik tersebut wajib memberikan alasan bahwa penutupan akses informasi tersebut sesuai dengan ketentuan pembatasan di dalam perundangan-undangan.

• Prinsip kewajiban untuk mempublikasikan informasi kunci

( obligation to publish). Informasi kunci yang dimaksudkan di sini adalah:

o Informasi operasional yang terkait dengan fungsi badan publik. Termasuk di dalam informasi ini adalah biaya,

tujuan, audit, standar, prestasi dan lain-lain. o Informasi yang mengenai permintaan, keluhan dan tindakan lainnya yang bersentuhan langsung dengan

masyarakat. o Panduan

mekanisme masyarakat memberikan masukan atau usulan atas kebijakan yang disusun oleh badan publik tersebut.

mengenai

o Jenis-jenis informasi yang dipegang oleh badan publik dan format yang digunakan dalam menyimpan

informasi-informasi tersebut. o Isi dari setiap keputusan atau kebijakan yang mempengaruhi

[14] Article 19, “The Publik’s Right to Know: Principles on Freedom of Information

Legislation,” 1999, h ttp://www.article19.org/data/iles/pdfs/standards/righttoknow.pdf. Akses 23 Oktober 2011. Lihat juga Kontras, Panduan Mengenal Hak atas Informasi Publik dan Pemolisian , Jakarta: Kontras dan Yayasan Tifa, 2011, hal. 25-27.

Dibungkam Atas Dalih Keamanan! Bab I I I Inkonsistensi dalam Pengaturan Hak atas Informasi di Indonesia

15 Dibungkam Atas Dalih Keamanan!

masyarakat, beserta alasan-alasan dan latar belakang yang mempengaruhi keputusan atau kebijakan tersebut.

• Prinsip bahwa badan publik harus mempromosikan pemerintahan yang terbuka ( promotion of open

government). Dalam mempromosikan pemerintahan yang terbuka ada dua hal yang wajib dilakukan pemerintah, yaitu memberikan pendidikan publik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat atas pentingnya hak atas informasi dan menghapus budaya kerahasiaan di dalam birokrasi dan pemerintahan.

• Prinsip pembatasan hak informasi publik yang bersifat

terbatas dan sempit (limited scope of exceptions). Setiap informasi harus bersifat terbuka dan permintaan publik atas informasi harus dipenuhi, kecuali jika informasi tersebut termasuk bagian dari informasi yang dikecualikan. Untuk memenuhi kategori informasi yang dikecualikan tersebut setiap informasi harus melalui uji konsekuensi yang memenuhi tiga kriteria:

o Informasi yang dikecualikan itu sesuai dengan tujuan yang sah dan tercantum dalam suatu produk hukum. o Pengungkapan

berpotensi mengancam dan menyebabkan kerusakan besar.

informasi

itu

o Bahaya dan ancaman tersebut harus lebih besar dari kepentingan publik untuk memiliki informasi.

• Prinsip adanya proses untuk memfasilitasi akses terhadap

informasi ( processes to facilitate access). Pemerintah harus menjamin bahwa masyarakat dapat meminta informasi melalui tiga tingkatan yang berbeda:

o Di dalam badan publik yang bersangkutan. o Banding di sebuah badan independen. Fungsi ini dapat

16 Dibungkam Atas Dalih Keamanan! Dibungkam Atas Dalih Keamanan!

diberikan kepada Ombudsman, komisi nasional HAM atau badan tertentu yang khusus dididirikan untuk menangani persoalan keterbukaan informasi. Dalam menjalankan fungsinya badan ini dapat melakukan investigasi atas banding yang diajukan, menolak banding yang diajukan untuk menjamin keterbukaan informasi, dan menggunakan kasus-kasus di pengadilan yang berhasil membongkar pelanggaran keterbukaan informasi.

o Banding di pengadilan. Selain itu, pertama, badan publik juga harus

mempertimbangkan pemberian kebijakan afirmatif bagi kelompok-kelompok masyarakat tertentu, seperti masyarakat buta huruf, masyarakat yang tak mengerti bahasa yang digunakan di dalam dokumen terkait, serta mereka yang memiliki keterbatasan fisik. Kedua, pemerintah juga harus mewajibkan badan-badan publik untuk memiliki petugas khusus yang bertanggungjawab memproses permintaan informasi dan memastikan kepatuhan pada undang-undang yang berlaku. Ketiga, badan publik juga wajib memberikan informasi yang jelas mengenai tenggat waktu dalam merespon dan memproses permintaan informasi, termasuk memberikan alasan yang jelas jika terjadi penolakan .

• Prinsip biaya yang terjangkau ( costs). Biaya yang dibutuhkan untuk mendapatkan informasi harus terjangkau oleh semua

tingkat sosial masyarakat.

• Prinsip keterbukaan bagi kegiatan pengambilan keputusan

( open meetings). Setiap rapat pengambilan keputusan di dalam badan pemerintah atau parlemen harus terbuka bagi publik untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di dalam

Dibungkam Atas Dalih Keamanan! Bab I I I Inkonsistensi dalam Pengaturan Hak atas Informasi di Indonesia

17 Dibungkam Atas Dalih Keamanan!

pengelolaan negara.

• Prinsip perlindungan bagi pembocor rahasia ( protection

for whistleblowers). Setiap individu harus dilindungi dari sangsi hukum, administratif ataupun sangsi-sangsi lainnya karena membeberkan penyalahgunaan wewenang pejabat negara yang meliputi, tindak pidana, korupsi, ketidakpatuhan pada hukum dan lain-lain.

• Prinsip supremasi rezim keterbukaan informasi ( disclosure

takes precedence). Undang-undang yang tidak konsisten dengan prinsip keterbukaan maksimum harus diubah atau dicabut.

Kelahiran Undang-Undang Keterbukaan Informasi

Secara umum, di Indonesia, hak atas informasi ini dijamin oleh konstitusi melalui amandemen ke-2 pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan, “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi

dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” 15 Namun, hak atas informasi baru diatur secara khusus di dalam

undang-undang pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Pada masa tiga pemerintahan sebelumnya (Habibie, Abdurahman Wahid dan Megawati) reformasi di Indonesia difokuskan pada upaya membatasi wewenang negara dengan melalui pemisahan secara tegas wilayah kerja TNI dan Polri. Pembatasan wewenang ini diawali dengan pengesahan TAP

[15] Undang-Undang Dasar 1945. Amandemen kedua.

18 Dibungkam Atas Dalih Keamanan! Dibungkam Atas Dalih Keamanan!

MPR No VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR No VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Pembatasan ini kemudian dilanjutkan dengan pengesahan UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri, dan UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI. Terkait dengan keterbukaan informasi penjelasan tersebut hanya termaktub di dalam pasal 68 ayat 3 UU TNI yang menyatakan bahwa “[p]engelolaan anggaran pertahanan negara oleh TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta

efisiensi untuk menerapkan tata pemerintahan yang baik.” 16 Undang-undang yang secara langsung membahas tentang

keterbukaan dan kebebasan informasi pada masa ini hanyalah UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kebebasan pers serta tidak adanya penyensoran, pembredelan maupun

pelarangan penyiaran bagi pers (pasal 4). 17 Namun UU ini bersifat sektoral karena hanya berfokus mengatur aktivitas pers bukan mengatur hak warganegara untuk mengakses informasi yang dimiliki negara.

Pada tahun 1999 pemerintah juga menelurkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur kewajiban pemerintah untuk menghormati dan melindungi hak asasi setiap warganegara. Di dalam UU ini hak kebebasan informasi diakui

pada pasal 14 ayat 1 dan 2. 18

[16] UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. [17] UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers [18] Isi dari pasal 14 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM adalah:

1. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. 2. Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.

Dibungkam Atas Dalih Keamanan! Bab I I I Inkonsistensi dalam Pengaturan Hak atas Informasi di Indonesia

19 Dibungkam Atas Dalih Keamanan!

Sebagaimana telah disinggung di atas, hak atas informasi baru diakui dan diatur secara khusus di dalam undang-undang pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono dengan disahkannya UU No 14 tahun 2008 tentang KIP. Melalui undang- undang ini pemerintah menjamin hak setiap warganegara untuk memperoleh dan meminta informasi dari badan-badan publik.

Lahirnya UU KIP tidak dapat dilepaskan dari perjuangan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil. Perjuangan ini dimulai saat Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) melakukan penelitian tentang kebebasan memperoleh informasi di tahun 1998 untuk mempromosikan kebebasan informasi dan undang-undang yang mengatur keterbukaan informasi

publik. 19 Selanjutnya, pada tahun 2000 ICEL mengajak organisasi masyarakat sipil dan sejumlah individu untuk membentuk koalisi masyarakat sipil yang mendorong pemerintah menyusun undang-undang yang menjamin hak atas informasi. Perjuangan dimulai dengan melobi parlemen. Lobi ini berakhir positif dengan memperoleh dukungan dari parlemen, khususnya dari 3 fraksi di parlemen, (FPDIP, FPKB, dan FPAN). 20

Proses pengesahan undang-undang ini memakan waktu yang panjang (1998-2008) karena adanya penolakan dari pihak pemerintah atas isi dari pasal-pasal di rancangan undang- undang tersebut. Diantaranya adalah adanya penolakan atas usul pembentukan Komisi Informasi dan memasukan BUMN sebagai bagian dari badan publik. Dalam mengatasi hambatan- hambatan ini koalisi masyarakat sipil terus melakukan lobi-lobi kepada parlemen hingga disahkannya undang-undang ini. 21

[19] Mufti Makarim A. & S. Yunanto (ed.), Efektivitas Strategi Organisasi Masyarakat Sipil: Dalam Advokasi Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia 1998-2006 , Jakarta: IDSPS, 2008, hal. 65.

[20] Ibid., hal 65-66. [21] Ibid., hal 67-68.

20 Dibungkam Atas Dalih Keamanan! Dibungkam Atas Dalih Keamanan!

Hambatan dalam Penegakkan Rezim Keterbukaan Informasi

Salah satu hambatan di dalam penegakkan hak publik atas informasi adalah kebijakan pemerintah yang inkonsisten dalam menjamin keterbukaan informasi. Inkonsistensi ini terbagi dua jenis, yaitu, pertama, inkonsistensi terkait dengan sembilan prinsip hak atas informasi yang telah disebutkan di atas. Kedua, inkonsistensi terkait dengan keberadaan peraturan-peraturan lain yang substansinya bertentangan dengan UU KIP.

• Prinsip pengungkapan maksimum

Di awal telah dijelaskan bahwa prinsip ini, pertama, mewajibkan seluruh badan publik untuk mengungkap informasi yang dimiliki. Kedua, memberikan alasan sesuai dengan perundangan- undangan jika memutuskan untuk menutup akses informasi. Di dalam UU KIP, kewajiban pertama dari prinsip ini diakomodasi melalui pasal 7 ayat 1 dan 2 yang berbunyi:

(1) “Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik yang berada di bawah kewenangannya kepada Pemohon Informasi Publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan.

(2) Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik

yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan.” Sementara kewajiban kedua diakomodasi melalui pasal 6 ayat 1

dan 2 yang menyatakan (1) “Badan Publik berhak menolak memberikan

informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Dibungkam Atas Dalih Keamanan! Dibungkam Atas Dalih Keamanan! Bab I I I Inkonsistensi dalam Pengaturan Hak atas Informasi di Indonesia

(2) Badan Publik berhak menolak memberikan

Informasi Publik apabila tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.”

Jika merujuk pada pasal-pasal di atas terlihat jika prinsip pengungkapan maksimum atas informasi dijamin di Indonesia. Namun, faktanya tidak demikian karena ada undang-undang lain yang substansinya berseberangan dengan pasal-pasal di atas. Misalnya adalah pasal 51 ayat 1 UU Kearsipan menyatakan bahwa,

“Pemusnahan arsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf b dilakukan terhadap arsip yang:

1. tidak memiliki nilai guna;

2. telah habis retensinya dan berketerangan dimusnahkan berdasarkan JRA;

3. tidak ada peraturan perundang-undangan yang melarang; dan

4. tidak berkaitan dengan penyelesaian proses suatu perkara.” 22

Pasal ini tentunya bertentangan dengan prinsip pengungkapan maksimum karena memberi kesempatan kepada badan- badan publik untuk

memusnahkan dokumen-dokumen negara, khususnya dokumen yang terkait dengan terjadinya penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan dalam pengelolaan negara.

[22] Ibid.

22 Dibungkam Atas Dalih Keamanan! Dibungkam Atas Dalih Keamanan!

• Prinsip kewajiban untuk mempublikasikan informasi

kunci

Prinsip ini telah diakomodasi secara baik di dalam undang-undang, khususnya UU KIP. Di dalam UU KIP prinsip ini diakomodasi melalui beberapa pasal. Pertama, pasal 9 ayat 1, 2, 3 dan 4.

(1) “Setiap Badan Publik wajib mengumumkan Informasi Publik secara berkala.

(2) Informasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. informasi yang berkaitan dengan Badan Publik;

b. informasi mengenai kegiatan dan kinerja Badan Publik terkait;

c. informasi mengenai laporan keuangan; dan/atau

d. informasi lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan.

(3) Kewajiban memberikan dan menyampaikan

Informasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling singkat 6 (enam) bulan sekali.

(4) Kewajiban menyebarluaskan Informasi

Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan dengan cara yang mudah dijangkau oleh masyarakat dan dalam bahasa yang mudah dipahami.”

Selanjutnya pada pasal 10 ayat 1 dan 2 dinyatakan bahwa,

(1) “Badan Publik wajib mengumumkan secara

Dibungkam Atas Dalih Keamanan! Dibungkam Atas Dalih Keamanan! Bab I I I Inkonsistensi dalam Pengaturan Hak atas Informasi di Indonesia

sertamerta suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum.

(2) Kewajiban menyebarluaskan Informasi

Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan cara yang mudah dijangkau oleh masyarakat dan dalam bahasa yang mudah dipahami.”

Ketiga, di pasal 11 ayat 1 diatur bahwa,

“Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik setiap saat yang meliputi:

a. daftar seluruh Informasi Publik yang berada di bawah penguasaannya, tidak termasuk informasi yang dikecualikan;

b. hasil keputusan Badan Publik dan pertimbangannya;

c. seluruh kebijakan yang ada berikut dokumen pendukungnya;

d. rencana kerja proyek termasuk di dalamnya perkiraan pengeluaran tahunan Badan Publik;

e. perjanjian Badan Publik dengan pihak ketiga;

f. informasi dan kebijakan yang disampaikan Pejabat Publik dalam pertemuan yang terbuka untuk umum;

g. prosedur kerja pegawai Badan Publik yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat; dan/atau

24 Dibungkam Atas Dalih Keamanan! Dibungkam Atas Dalih Keamanan!

h. laporan mengenai pelayanan akses Informasi Publik sebagaimana diatur dalam UndangUndang ini.”

Terakhir, di pasal 12 dinyatakan bahwa, “Setiap tahun Badan Publik wajib mengumumkan

layanan informasi, yang meliputi: