Implikasi Perkembangan Syi ah Dalam Kehi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia
Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini. Dimana, makalah ini dibuat untuk memenuhi
persyaratan Ujian Akhir Semester dalam mata kuliah IdeIde Politik Barat. Dimana bahan
atau sumbersumber yang saya dapatkan atau diperoleh, berasal dari sumbersumber yang
baik dan terpercaya. Baik dari buku, referensi, media massa, hingga website. Sehingga
kualitas makalah ini sesuai dengan standar penulisan ilmiah.
Saya mengakui bahwa saya adalah manusia yang mempunyai keterbatasan dalam
berbagai hal. Oleh karena itu tidak ada hal yang dapat diselesaikan dengan sangat
sempurna. Begitu pula dengan tugas ini. Sehingga saya berharap untuk kritikan dan saran
yang membangun terhadap makalah ini. Dan penulis ingin mengucapkan terima kasih
banyak kepada Bapak Dr. Ujang Komarudin M.Si dan Bapak Heri Herdiawanto, S.Pd,
M.Si selaku dosen dalam mata kuliah IdeIde Politik Barat yang selalu memberikan ilmu
serta pengetahuan baru kepada penulis sehingga penulis bisa menerapkan ilmu serta
pengetahuan tersebut dalam makalah ini. Akhir kata, Penulis berharap semoga makalah ini
bisa bermanfaat dan berguna bagi para pembaca makalah ini. sekian dan terimakasih.
Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.
Hormat Saya,
Ahmad Idham
Penulis
1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...........................................................................................................1
BAB I............................................................................................................................3
1.1. Latar Belakang Masalah........................................................................................3
1.2. Rumusan Masalah..................................................................................................4
1.3. Tujuan Penulisan....................................................................................................4
1.4. Manfaat Penulisan..................................................................................................4
1.5. Sistematika Penulisan............................................................................................5
BAB II .........................................................................................................................6
2.1 Kerangka Pemikiran................................................................................................6
BAB III ........................................................................................................................8
3.1. Pemahaman Syi’ah Tentang Negara dan Politik…………………………………..8
3.2. Implikasi Pemikiran Syi’ah di Indonesia…….......………………………….……10
3.3. Konflik Dan Konsensus Antar Umat Islam……………………………………....12
3.2. Biografi Ayatullah Ruhullah Al Musawi Khomeini…….......……………………13
BAB IV.........................................................................................................................17
Kesimpulan...................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................18
2
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Sejak kemenangan kaum revolusioner Islam Syi’ah di Iran pada tahun 1979,
pengaruh ajaran dan pemikiran mazhab Syi’ah cukup besar dikalangan masyarakat
Indonesia. Hal ini antara lain bisa dilihat dari lahirnya buku-buku karya para pemikir
Syi’ah seperti Ali Syari’ati dan Murtadha Mutahhari maupun buku-buku yang mengkaji
mazhab Syi’ah. Kelompok-kelompok studi yang mengkhususkan diri pada kajian tentang
mazhab Syi’ah juga bermunculan di berbagai daerah di Indonesia. Di Bandung, Jawa
Barat berdiri Yayasan Mutahhari yang mengambil nama tokoh Syi’ah. Di Pekalongan,
Jawa Tengah terdapat pesantren Al-Hadi yang dipimpin Ahmad Baragbah, lulusan Qum,
Iran. Dia secara jelas mengakui, “ini pesantren Syi’ah satu-satunya di Pekalongan”.
Sementara itu, di Ujungpandang, Sulawesi Selatan sejak April 1994 berdiri Yayasan AlIslah, sebuah forum social yang secara khusus mendalami ajaran Syi’ah.1
Derasnya perkembangan ajaran Syi’ah, akan banyak menciptakan suatu
“ketegangan” di kalangan umat Islam Indonesia yang biasanya menganut mazhab Sunni.
Ketegangan ini dapat muncul terutama karena perbedaan mereka dalam memahami
imamah (kepemimpinan). Majelis Ulama Indonesia (MUI) ketika di bawah pimpinan K.H.
Sukri Ghazali pernah membuat rumusan yang cukup tegas mengenai perbedaan antara
Sunni dan Syi’ah. Salah satunya adalah Syi’ah pada umumnya tidak mengakui
kekhalifahan (empat pimpinan Islam pasca Nabi Muhammad) selain Ali bin Abi Thalib
yang sekaligus dianggap sebagai imam mereka. Sementara itu, Sunni mengakui otoritas
empat Khalifah (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi
Thalib). Dengan perumusan itu, MUI mengeluarkan fatwa bahwa Syi’ah tidak cocok
untuk masyarakat Islam Indonesia. Sementara itu, hubungan antara agama dan politik
akan muncul sebagai suatu permasalahan hanya pada bangsa-bangsa yang tidak homogen
1 A. Rahman Zainudin dan M. Hamdan Basyar, 2000, Syi”ah dan Politik di Indonesia : Sebuah Penelitian,
Bandung : Mizan, cetI, hlm 33
3
secara agama.2 Hal ini bisa diartikan dalam masyarakat yang homogen secara agama,
permasalahan politik dan agama tidak begitu diperbincangkan. Kehomogenan agama itu
sendiri akan menyebabkan pembicaraan masalah politik sudah termasuk dalam wacana
agama itu sendiri. Dan politik bukanlah suatu wacana yang terpisah dari agama.
Sehubungan dengan tema yang diangkat makalah ini tentang Politik Islam : Implikasi
Perkembangan Syi’ah Dalam Kehidupan Politik Umat Islam di Indonesia. Makalah
ini berusaha membahas pertanyaanpertanyaan sebagai berikut: Bagaimana sebenarnya
perkembangan Syi’ah dalam kehidupan politik umat Islam di Indonesia? Dan benarkah
kehadiran Syi’ah merupakan suatu ancaman terhadap kemapanan politk mazhab Sunni di
Indonesia? Yang mana mayoritas masyarakat di Indonesia dalam berpolitik menggunakan
mazhab Sunni. Dan apakah kedua mazhab itu bisa hidup berdampingan secara damai di
Indonesia? Dan kontribusi apa yang Syi’ah berikan untuk Indonesia? Makalah ini akan
membahas pertanyaanpertanyaan tersebut secara mendetail dan lebih mendalam.
1.2. Rumusan Masalah
1. Mengapa perbedaan mazhab di Indonesia bisa menyebabkan konflik dan konsesus
politik antar umat Islam di Indonesia?
1.3. Tujuan Pembahasan
1.
Untuk memahami apa saja permasalahan yang bisa menyebabkan konflik dan
konsesus dalam politik antar umat Islam di Indonesia.
1.4. Manfaat Penulisan
Pembaca diharapkan mendapat wawasan dan pengetahuan yang lebih ketika
membaca makalah yang berjudul Politik Islam : Implikasi Perkembangan Syi’ah
Dalam Kehidupan Politik Umat Islam di Indonesia dan tentang bagaimana dan apa saja
permasalahan serta konflik dan konsensus politik antar umat islam di Indonesia.
2 Roland Robertson, 1995, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, Hlm 379
4
1.5. Sistematika Penulisan
BAB I
Berisikan tentang latar belakang masalah yang terdapat dalam Implikasi
Perkembangan Syi’ah Dalam Kehidupan Politik Umat Islam di Indonesia. Beserta
rumusan masalah, tujuan pembahasan, manfaat penulisan, dan sistematika penulisan yang
akan dijelaskan secara rinci dan teratur.
BAB II
Berisikan kerangka pemikiran sebagai pembuka sebelum memasuki isi dari
makalah.
BAB III
Berisikan Isi / Pembahasan dari makalah ini yang membahas tentang Politik
Islam : Implikasi Perkembangan Syi’ah Dalam Kehidupan Politik Umat Islam di
Indonesia.
BAB IV
Berisikan kesimpulan dari seluruh pembahasan yang ada dimakalah ini.
5
BAB II
2.1. Kerangka Pemikiran
Syi’ah dilihat dari bahasa berarti pengikut, pendukung, partai, atau kelompok,
sedangkan secara terminologis adalah sebagian kaum muslimin yang dalam bidang
spiritual dan keagamaannya selalu merujuk kepada keturunan Nabi Muhammad saw. atau
orang yang disebut sebagai ahl albait. Menurut Thabathbai, istilah Syi’ah untuk pertama
kalinya ditujukan pada para pengikut Ali (Syi’ah Ali), pemimpin pertama ahl albait pada
masa Nabi Muhammad Saw. para pengikut Ali yang disebut Syi’ah itu di anratanya adalah
Abu Dzar AlGhiffari, Miqadi bin AlAswad, dan Ammar bin Yasir.3
Syi’ah adalah segolongan dari umat Islam yang sangat mencintai Ali bin Abi
Thalib dan keturunannya secara berlebihlebihan. Golongan syi’ah berpendapat bahwa
yang paling berhak memangku jabatan khalifah adalah Ali bin Abi Thalib dan
keturunannya, sebab dialah yang diwasiatkan oleh Nabi SAW untuk menjadi khalifah
setelah beliau wafat.4 Dari sini Syi’ah dimaksudkan sebagai suatu golongan dalam Islam
yang beranggapan bahwa Sayydina Ali bin Abi Thalib ra. adalah orang yang berhak
sebagai khalifah pengganti Nabi, berdasarkan wasiatnya. Sedangkan khalifahkhalifah
Abu Bakar asShiddiq, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan adalah penggasab
(perampas) kedudukan khalifah.5
Mengenai kemunculan Syi’ah dalam sejarah, terdapat perbedaan pendapat
dikalangan para ahli. Menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai muncul pada masa akhir
pemerintahan Usman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa
pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Adapun menurut Watt, Syi’ah baru benarbenar muncul
kertika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan Perang
Siffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang
ditawarkan Mu’awiyah, pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok
3 Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, hlm. 89.
4 Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 2002, hlm. 61.
5 Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), hlm. 72.
6
mendukung sikap Ali kelak disebut Syi’ah dan kelompok lain yang menolak sikap Ali,
kelak disebut Khawarij.
Kalangan Syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan Syi’ah berkaitan dengan
masalah pengganti (khalifah) Nabi Muhammad Saw. mereka menolak kekhalifahan Abu
Bakar, Umar bin Khattab dan Usman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya
Ali bin Abi Thaliblah yang berhak menggantikan Nabi Muhammad Saw.6
6 Rosihon Anwar, Ibid., hlm. 90.
7
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Pemahaman Syi’ah Tentang Negara dan Politik
Jika “politik” diartikan sebagai suatu bentuk “perjuangan” atau “perlawanan” aktif
dan real terhadap suatu tatanan yang dinilai tidak adil, maka agaknya benar klaim bahwa
Syi’ah “lebih politis” ketimbang Sunni. Syi’ah memang lahir karena factor politik dalam
arti kekuasaan. Yaitu, menyangkut masalah siapa yang berhak menggantikan Nabi
Muhammad Saw. Sebagai pemimpin umat Islan, Syi’ah yang dimaksud penulis disini
adalah Syi’ah Imamiah, karena seperti ditulis oleh Thabathaba’i, mayoritas penganut
Syi’ah yang menjadi sumber dari cabangcabang Syi’ah, adalah Syi’ah Imam Dua Belas
yang disebut juga sebagai kaum imamiah.7
Sementara negara bagi mazhab Syi’ah dilihat dari konsep Wilayah AlFaqih.
Menurut Ayatullah Khomeini, ada keterkaitan yang erat antara agama dan politik.
Pemerintah sebagai penguasa Negara mestinya dimpimpin oleh para ulama. Negara Islam
akan menjamin keadilan social, demokrasi yang sebenarnya dan kemerdekaan yang murni
dari imperialism. Islam dan pemerintahan Islam adalah fenomena Ilahi yang
penggunaannya menjamin kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat.8
Khomeini menerangkan gagasannya ini sebagaimana tercantum dalam bukunya
yang terkenal AlHukumah AlIslamiyah (Pemerintahan Islam). Buku yang merupakan
kumpulan pidatonya ini berisi empat tema pokok. Pertama, kritikan yang tajam terhadap
lembaga monarki. Hal ini mengingat betapa Ayatullah Khomeini menentang rezim Reza
Syah Pahlevi yang dapat dia tumbangkan. Kedua, negara Islam, yang didasarkan pada Al
Quran dan dibentuk setelah umat Islam diperintah oleh Nabi pada abad ketujuh, bukanlah
merupakan suatu gagasan yang hanya bisa dicapai jauh di masa mendatang, tetapi sebagai
suatu bentuk pemerintahan yang praktis dan dapat direalisasikan pada masa sekarang
sampai generasi berikutnya. Ketiga, ulama memegang pernan penting dalam
7 Allamah M.H. Thabathaba’i, 1989, Islam Syi’ah, Jakarta: Grafiti, hlm. 88
8 Riza Silhbudi, 1996, Biografi Politik Imam Khomeini, Jakarta: Gramedia dan Ismes.
8
kepemimpinan umat Islam. Keempat, umat Islam harus berjuang melawan setiap bentuk
penindasan dan tirani.9
AlQuran telah memuat hukum Tuhan yang dapat mengatur seluruh kehidupan
manusia. Oleh karena itu, suatu tatanan social politik akan hancur bila masih mencari
hukum lain dan melaksanakan hukum buatan manusia yang lahir dari gagasan yang sempit
dan menyesatkan. Hukum Tuhan yang telah dicantumkan dalam AlQuran itu, hanya
dapat dilaksanakan oleh seorang penguasa yang dipilih oleh para mujtahid. Dia dapat
mengenal perintah Tuhan dan mengamalkan keadilan tanpa terpenjara oleh tekanan dan
ambisi dunia. Suatu sistem pemerintahan yang mengamalkan hukum Tuhan, yang
mendapatkan pengawasan dari para ahli hukum agama (faqih), akan mengungguli semua
system pemerintahan yang tidak adil di dunia ini.10
Hukum Islam telah menyediakan suatu tatanan bagi negara dan masyarakat.
Eksekutif bertugas melindungi dan mengawal masyarakat. Yudikatif berfungsi
menerapkan hukum Islam tersebut. Sementara Legislatif tidak diperlukan karena hanya
Tuhan yang berwenang membuat undangundang dan kaum Muslim pada hakikatnya
sudah memiliki hukum Tuhan.11
Menurut Khomeini, pemerintah Islam merupakan sesuatu yang mungkin terjadi
dan penting. Dia mengutip perkataan imam Ali ArRidha : “Bahwa tidak logis kalau
Tuhan Yang Maha Tinggi dan Maha Bijaksana membiarkan rakyatNya, makhlukNya,
tanpa mendapat pentunjuk ataupun pelindung”. Kebijakan Tuhan tidak dapat dibatasi
hanya dalam ruang dan waktu tertentu saja, karena itu sejak saat ini sampai saat
mendatang sangatlah diperlukan seorang imam yang dapat melaksanakan hukum Islam. 12
Sifat Tuhan ini yang disebut sebagai Luthf (Kebaikan/Kehalusan Tuhan). Dengan sifat ini,
manusia akan dibimbing oleh Tuhan dengan “diturunkannya” para imam dan faqih.
Dan pemerintahan Islam menurut Syi’ah haruslah adil. Dengan demikian,
pemegang kekuasaan mestinya yang mempunyai pengetahuan yang luas mengenai syariat
yang berlaku. Para faqihlah yang mendapat memenuhi keriteria ini, karena mereka
9 Khomeini, AlHukumah AlIslamiyah, Teheran: Dar Kutub Islamiyyah.
10 Ibid, Hlm 132
11 John L. Esposito, 1991, Islam and Politics, Syracause: Syracause University Press, hlm 198
12 Riza Silhbudi, Op.Cit., hlm 133
9
mendalami hukum yang ada dalam ajaran Islam. Akan tetapi, menurut Khomeini, tidak
setiap faqih mempunyai kualifikasi sebagai pemimpin. Setidaknya ada 8 (delapan)
persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang faqih untuk bisa memimpin sebuah
pemerintahan Islam. Yakni : Pertama, mempunyai pengetahuan yang luas tentang hukum
islam. Kedua, harus adil, dalam arti memiliki iman dan akhlak yang tinggi. Ketiga, dapat
dipercaya dan berbudi luhur. Keempat, jenius. Kelima, memiliki kemampuan
administratif. Keenam, bebas dari segala pengaruh asing. Ketujuh, mampu
mempertahankan hakhak bangsa, kemerdekaan dan integritas territorial tanah islam,
sekalipun harus dibayar dengan nyawanya. Dan kedelapan, hidup sederhana.13
3.2. Implikasi Pemikiran Syi’ah di Indonesia
Perkembangan mazhab Syi’ah di Indonesia, di satu sisi merupakan suatu khazanah
dalam Islam, akan tetapi, di sisi lain, akan timbul suatu “kejutan” baik di bidang ideologi,
politik, dan budaya. Secara ideologi dan politik, konsep imamiah dan Wilayah AlFaqih
yang dianut oleh Syi’ah, mendapatkan berbagai reaksi dari kalangan Islam Sunni yang
merupakan mayoritas muslim di Indonesia. Reaksi ini bergerak sepanjang garis kontinum
(along the continuum line) yang memiliki dua kutub ekstrem (two extreme poles).
Penolakan total atas pandangan dan pemikiran Syi’ah, sebagaimana tercermin dari sikap
para pemakalah dalam seminar Syi’ah di Masjid Istiqlal, merupakan reaksi yang berada di
kutub ekstrem negatif. Mereka tidak hanya menentang keras dan menolak mentahmentah
mazhab Syi’ah, tetapi juga menindaklanjuti dengan mengajukan desakan dan tuntutan
pada pemerintah untuk secara tegas melarang Syi’ah di Indonesia dan menutup sejumlah
yayasan Syi’ah yang tersebar di beberapa kota di Indonesia. Kelompok ini juga
menghendaki Pemerintah untuk mengontrol penyebaran bukubuku dan penerbitan Syi’ah
dan menyetop peredarannya.14
Mereka yang dapat menerima ajaran dan pandangan Syi’ah secara keseluruhan
berada di kutub ekstrem positif. Sedang mereka yang berada diantara dua titik ekstrem ini
adalah kelompok moderat yang dapat mentolerir (perbedaan) pandangan Syi’ah yang
spesifik, meskipun tidak berarti dapat menerima keseluruhan dari ajaran Syi’ah. Dengan
13 Ibid. hlm 136
14 A. Rahman Zainuddin, Op.Cit., hlm 117
10
kata lain, ada ajaran tertentu yang bisa diterima khususnya yang menyangkut peranan
Wilayah AlFaqih, ada pula halhal yang tidak dapat diterima sepenuhnya, khususnya
yang menyangkut masalahmasalah fiqih. Misalnya kebiasaan Syi’ah dalam menentukan
waktu magrib, menggabungkan dua waktu shalat, dan meniadakan shalat jumat.15
Beberapa kalangan Sunni moderat mengakui ada sisisisi ajaran Syi’ah, khususnya
yang menyangkut figure dan peranan kepemimpinan ulama yang patut untuk diteladani.
Mereka mengakui bahwa Iran sangat berentung memiliki figure kepemimpinan semacam
Ayatullah Khomeini, yang mewarisi nilai spiritualitas tinggi utamanya dalam menentang
kezaliman, tirani, dan ketidakadilan. Tipe kepemimpinan ulama yang sangat militant yang
berhasil mempelopori revolusi untuk menggulingkan tirani dan hagemoni Syi’ah Iran
tidak dimiliki oleh mayoritas Sunni di Arab Saudi maupun di Indonesia. Di Indonesia,
rezim Soeharto berhasil mempertahankan kekuasaan absolut selama puluhan tahun tanpa
ada seorang pun ulama yang mampu menentangnya secara terbuka.
Diakui, khususnya oleh kalangan Sunni moderat, konsep kepemimpinan yang
menempatkan ulama di atas umara sebagai pengontrol eksekutif merupakan sesuatu yang
ideal dalam pemerintahan. Bagi Sunni, model kepemimpinan ini menjadi wishful thinking
atau utopia yang relatif sulit diterapkan dalam kehidupan politik Indonesia. Hal ini
diantaranya disebabkan oleh kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk yang diwarnai
dengan latar belakang perbedaan agama, etnis, budaya, bahasa, serta kultur setempat.
Meski umat Islam sendiri merupakan kelompok mayoritas, namun kondisi kultural mereka
amatlah beragam. Umumnya mereka masih memiliki sentiment primordial yang kuat yang
didasari oleh ikatan etnisitas dan kultur local yang amat beragam. Di samping itu, level
pemahaman dan penerapan ajaran Islam dari umat Islam Indonesia juga bervariasi. Ikatan
sentiment primordial sangat mempengaruhi terjadinya kesenjangan di antara Islam sebagai
suatu konsep doctrinal (doctrinal concept) dan Islam sebagai suatu fenomena kultural
(cultural phenomena). Budaya local sangat berpengaruh terhadap manifestasi pelaksanaan
syariat Islam. Di beberapa wilayah tertentu masih banyak terdapat praktikpraktif
15 Syi’ah menentukan waktu magrib lebih lambat daripada Sunni, yakni ketika cahaya asar, antara magrib
dan isya disebut waktu yang mustahak. Mereka melakukan shalat zuhur dan asar dengan jamak (gabungan);
dengan demikian juga dengan shalat magrib dan isya. Shalat jamak ini tidak hanya dilakukan ketika
berpergian, tetapi juga ketika mereka dirumah.
11
keagamaan yang berbaur dengan kebudayaan setempat. Fenomena Islam nominal
(abangan)16 dan Islam santri di Jawa17, Islam Wetu Telu dan Waktu Lima di Lombok,18
membuktikan derajat pemahaman dan penerapan Islam di Indonesia banyak sekali
dipengaruhi oleh varianvarian budaya etnik yang bersifat lokalistik (local cultural
variations).19
3.3. Konflik dan Konsesus AntarUmat Islam (Sunni dan Syi’ah)
Sudah menjadi kelaziman, bila ada perbedaan dalam suatu komunitas, sekecil
apapun perbedaan itu, akan timbul suatu gesekan kepentingan. Gesekan bila menjurus
pada kebaikan, maka akan timbul consensus antara berbagai pihak yang terlibat. Dan ini
akan menghasilkan suatu kekuatan baru yang jauh lebih besar dan kuat. Sebaliknya, bila
gesekan menjurus pada keburukan, maka akan timbul suatu konflik yang biasanya akan
merugikan kedua belah pihak.
Umat Islam Indonesia yang terdiri atas berbagai komunitas membutuhkan suatu
consensus bila ingin menuju pada kebaikan bersama. Umat Islam Indonesia sebagian besar
mengaku menganut apa yang dinamakan Ahl AlSunnah wa AlJama’ah (Islam Sunni).
Diantara mereka, ada berbagai kelompok yang secara ritual kadang berbeda. Kelompok
besar Islam Sunni Indonesia adalah Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Selain
kedua kelompok itu, ada Persatuan Islam (Persis), Persatuan Tarbiyyah Islamiyah (Perti),
Syarikat Islam, AlIrsyad Al Islamiyah, Ittihadul Muballighin dan beberapa yang lain.20
Pada masa awal terjadinya perbedaan
kelompok di atas, muncul berbagai friksi di antara mereka. Perbedaan yang sebenarnya
bersifat furu’ (bagian dari ibadah) ini telah menyita kelompokkelompok itu. Bahkan
saling kecam di antara mereka. Kini, mereka tidak mempersoalkan perbedaan yang
bersifat furu’ tersebut. Menurut mereka, masih banyak halhal yang lebih penting untuk
16 Sinkretisme (religious syncreticism) merupakan istilah yang dilontarkan Greertz (1960) untuk
menggambarkan budaya agama kelompok Islam abangan Jawa yang membaurkan kepercayaan animism,
HinduBuddhisme, dan Islam.
17 Clifford Geertz, 1960, The Religion of Java, New York : Free Press
18 Sven Cederroth, 1981, The Spell of The Ancestors and The Power of Mekkah: A Sasak Community on
Lombok, Sweden: Acta Universitatis Goyhoburgenesis.
19 A. Rahman Zainuddin, Op.Cit., hlm 118
20 Ibid., Hlm 109110
12
dipikirkan, ketimbang mengurusi perbedaanperbedaan “kecil”. Dengan lain perkataan,
mereka mengadakan consensus untuk berkiprah demi kemajuan umat Islam di Indonesia.
PascaRevolusi Islam Iran pada tahun 1979,
aliran Syi’ah merebak ke seluruh dunia, tidak terkecuali ke Indonesia. 21 Kedatangan aliran
“baru” ini menimbulkan polarisasi baru di kalangan umat Islam. Penganut Sunni, ada yang
menerima kedatangan aliran ini dan bahkan menjadi penganut dan penganjur aliran
Syi’ah. Ada yang bersikap kagum dan simpati, tetapi masih menganut mazhab Sunni, ada
pula yang menentang dengan keras kedatangan aliran Syi’ah. Berbagai sikap ini tentunya
akan menimbulkan konsekuensi tersendiri bagi adanya suatu consensus atau konflik.
Penganut Sunni kelompok pertama jelas tidak bermasalah bagi
penganut Syi’ah, karena mereka telah mengganti mazhab dan bahkan menjadi penganjur
aliran Syi’ah. Kelompok Sunni kedua juga tidak begitu bermasalah dengan Syi’ah.
Mereka cukup toleran dalam menyikapi ajaran Syi’ah dan bahkan dalam beberapa
kesempatan “membela” kepentingan Syi’ah. Sementara itu, Sunni kelompok ketiga yang
disebut juga sebagai “ekstrem” akan selalu bertolak belakang dengan ajaran Syi’ah.
Mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk membentengi beredarnya ajaran Syi’ah dengan
lebih luas.
Sikap “keras” yang diperlihatkan oleh sebagian penganut Islam
Sunni di Indonesia ternyata tidak disepakati oleh sebagian Sunni yang lain. Dr. Said Agil
Siradj misalnya, dengan “gigih” menentang kelompok Sunni yang memusuhi Syi’ah.
Sudah tentu pembelaan terhadap ajaran Syi’ah akan dilakukan oleh penganut Sunni yang
sudah “mengagumi” Syi’ah. Dr. Jalaludin Rakhmat, misalnya, merasa yakin pemerintah
Indonesia tidak akan melarang Syi’ah berkembang di Indonesia. Malah, dia mengadakan
serangan balik dengan mengharapkan pemerintah akan meneliti orangorang yang
meminta agar Syi’ah dilarang. Hal ini, menurutnya, karena mereka telah membuat resah
dan memperuncing konflik Sunni dan Syi’ah di Indonesia.22
3.4. Biografi Ayatullah Ruhullah Al Musawi Khomeini (Imam Besar Syi’ah)
21 John L. Esposito, 1990, The Iranian Revolution: It’s Global Impact, Miami: Florida International
University Press.
22 Harian Terbit, 6 november 1997
13
Ruhullah Musawi Khomeini lahir pada tanggal 20 JumadisTsani 1320 H (24
September 1902) di kota Khomein, provinsi Markazi, Iran tengah. Ia terlahir di tengah
keluarga agamis, ahli ilmu, dan pejuang, keluarga terhormat yang masih menyimpan darah
keturunan Sayidah Fatimah AzZahra as, putri Rasulullah saw. Ruhullah adalah pribadi
agung yang menjadi pewaris kemuliaan para bapak dan pamannya yang selalu
mengabdikan diri untuk membimbing umat dan menuntut makrifat ilahi dari suatu
generasi ke generasi lainnya. Ayah Imam Khomeini adalah AlMarhum Ayatollah Sayid
Mostafa Musawi. Beliau hidup sezaman dengan AlMarhum Ayatollah AlUdzma Mirza
Eshirazi. Setelah bertahuntahun menuntut ilmu agama di kota suci Najaf dan berhasil
meraih gelar mujtahid, Ayatollah Sayid Mostafa Musavi kembali ke Iran dan menetap di
Khomein. Di kota kecil inilah beliau mendermakan umurnya untuk mengabdi kepada
masyarakat dan menjadi pembimbing mereka dalam urusan agama.
Tak lama setelah kepindahan Ayatollah AlUdzma Haj Syeikh Abdul Karim Hairi
Yazdi, ke Qom pada Rajab 1340 H (Sekitar bulan Maret 1921), Imam Khomeini pun
akhirnya turut hijrah ke Hauzah Ilmiah Qom dan dengan segera ia menyelesaikan
pendidikan tingkat akhirnya di sana. Imam Khomeini mempelajari bagian akhir kitab Al
Muthawwal di bidang ilmu ma’ani dan bayan (sastra Arab) di bawah bimbinganAgha
Mirza Muhammad Ali Adib Tehrani. Sebagian besar pelajaran tingkat menengah
hauzahnya ia tamatkan di bawah asuhan Ayatollah Sayid Ali Yatsribi Kashani, dan
jugaAyatollah Sayid Muhammad Taqi Khounsari. Sementara pelajaran Fiqih dan Ushul
Fiqih beliau pelajari dari Ayatollah AlUdzma Haj Syeikh Abdul Karim Hairi Yazdi,
pendiri Hauzah Ilmiah Qom. Setelah wafatnya Ayatollah Hairi Yazdi, berkat upaya Imam
Khomeini dan para ulama besar Hauzah Ilmiah Qom lainnya, Ayatollah AlUdzma
Boroujerdi akhirnya dikukuhkan sebagai pengasuh Hauzah Ilmiah Qom. Di masa itu,
Imam Khomeini terpilih sebagai salah satu pengajar Hauzah dan dikenal sebagai mujtahid
di bidang Fiqih, Ushul Fiqih, Filsafat, Irfan, dan Akhlak. Selama bertahuntahun menjadi
pengajar di Hauzah, Imam Khomeini mengajar di madrasah Faiziyah, masjid A’zam,
masjid Muhammadiyah, madrasah Haj Molla Shadiq, masjid Salmasi dan beberapa tempat
lainnya.Sementara itu, selama 14 tahun di Hauzah Ilmiah Najaf, Irak, Imam Khomeini
mengajar ilmuilmu Ahlul Bait as dan fiqih pada peringkat tertinggi Hauzah, di masjid
14
Syeikh A’zam Ansari. Di kota Najaf inilah, Imam Khomeini untuk pertama kalinya
mengungkapkan dasardasar teori pemerintahan Islam dalam rangkaian pelajaran
wilayatulfaqihnya.
Paruh kedua tahun 1350 (menjelang akhir tahun 1971), perselisihan antara rezim
Ba’ast Irak dan Syah Iran makin memanas. Perselisihan itu diikuti dengan diusirnya warga
Iran yang bermukim di Irak. Dalam telegramnya kepada Presiden Irak di masa itu, Imam
Khomeini mengecam keras aksi pengusiran tersebut. Dalam situasi semacam itu, Imam
Khomeini bertekad untuk segera keluar dari Irak. Namun pemerintah Baghad tanggap
dengan dampak dari keluarnya Imam Khomeini dari Irak sehingga Imam pun dilarang
meninggalkan Irak. Pada tahun 1354 HS (Juni 1975) bersamaan dengan peringatan hari
Kebangkitan 15 Khordad, madrasah Faiziyah kembali menjadi pentas kebangkitan para
santri revolusioner Iran. Yelyel ‘Hidup Khomeini dan matilah dinasti Pahlevi’ terus
membahana selama dua hari berturutturut. Padahal, sebelum peristiwa ini, banyak
organisasaiorganisasi perjuangan rakyat yang telah dilumpuhkan, para tokoh keagamaan
dan politik yang aktif berjuang ramai yang dijebloskan ke penjara. Di sisi lain, Syah terus
melanjutkan politik antiIslamnya. Kebijakan antiIslamnya itu ditandai dengan diubahnya
dasar kalender nasional Iran pada bulan Esfand 1354 HS (Maret 1976). Selama ini, dasar
kalender nasional Iran dihitung sejak dimulainya hijrah Nabi Muhammad saw. Namun
dasar tersebut diubah oleh Syah dengan menetapkan masa dimulainya kekuasaan dinasti
Achemanid sebagai dasar perhitungan kalender nasional Iran. Mereaksi hal itu, Imam
Khomeini mengeluarkan fatwa yang mengharamkan penggunaan kalender nasional Iran
versi Syah. Rakyat Iran pun mendukung penuh fatwa Imam Khomeini tersebut, mereka
juga turut mendukung diboikotnya Partai Rastakhiz (Kebangkitan). Kedua masalah ini
merupakan pukulan berat bagi rezim Syah hingga akhirnya pada tahun 1357 (1978), Syah
terpaksa melangkah mundur dan membatalkan penggunaan kalender nasional versi
pemerintah.
Dengan begitu teliti dan cermat, Imam Khomeini terus memantau perkembangan
terbaru di Iran maupun dunia internasional. Beliau juga amat tanggap dalam
memanfaatkan secara maksimal kesempatan yang muncul. Imam Khomeini pada bulan
Mordad 1356 HS (Agustus 1977) dalam pesan tertulisnya menyatakan, “Kini, lewat situasi
15
dalam dan luar negeri yang ada, serta dengan terungkapnya kejahatan rezim Syah di mata
publik dan media asing merupakan kesempatan bagi kalangan ilmuan, budayawan, tokoh
nasionalis, mahasiswa dalam dan luar negeri, dan organisasiorganisasi Islam di mana pun
berada untuk tanggap memanfaatkan peluang yang ada dan bangkit secara terbuka.”
Gugur syahidnya, putra Imam Khomeini, Ayatollah Haj Agha Mostafa Khomeini, pada
awal bulan Aban 1356 HS (23 Oktober 1977) merupakan titik tolak gerakan kebangkitan
kembali komunitas Hauzah dan masyarakat muslim Iran. Imam Khomeini bahkan
menyebut peristiwa itu sebagai anugrah tersembunyi ilahi. Sementara itu rezim Syah
membalas aksi Imam Khomeini dengan melansir sebuah artikel di koran Ettela’at . Artikel
ini berisi hinaan terhadap Imam Khomeini. Protes luas rakyat Iran terhadap artikel tersebut
berujung dengan melutusnya peristiwa Kebangkitan 19 Dey 1356 HS (9 Januari 1978) di
Qom. Dalam peristiwa tersebut, sejumlah santri pendukung revolusi gugur syahid akibat
tindak represif pihak keamanan. Meski Syah melancarkan aksi pembantaian massal untuk
melumpuhkan gejolak kebangkitan rakyat, namun ia tetap gagal memadamkannya.
Awal bulan Bahman 1357 HS (akhir Januari 1979), kabar tentang keputusan Imam
Khomeini untuk kembali ke tanah airnya tersebar luas. Bagi rakyat Iran, kabar tersebut
merupakan berita gembira yang paling dinantinantikan. Sekitar 14 tahun rakyat Iran
merindukan kembalinya Imam Khomeini ke negerinya. Meski demikian, mereka juga
amat mengkhawatirkan keselamatan jiwa pemimpin revolusi itu. Sebab hingga saat itu,
pemerintah buatan Syah masih bercokol dan Iran berada di bawah kendali militer. Kendati
situasi di Iran masih begitu kritis dan berbahaya, namun Imam Khomeini bertekad untuk
kembali ke tanah airnya. Dalam pesannya kepada rakyat Iran, beliau menyatakan bahwa
dirinya ingin bersama rakyat di saatsaat yang paling menentukan dan kritis. PM Bakhtiar
bersama pihak militer menutup seluruh bandar udara negara untuk penerbangan asing.
Namun setelah beberapa hari, pemerintah Bakhtiar tak sanggup bertahan dan terpaksa
memenuhi desakan rakyat. Akhirnya pagi 12 Bahman 1357 (1 Februari 1979) setelah 14
tahun hidup di pengasingan, Imam Khomeini kembali ke tanah air tercintannya. Rakyat
Iran menyambut kedatangan Imam Khomeini secara besarbesaran dan penuh suka cita.23
23 Biografi Singkat Ayatullah Ruhullah Al Musawi Khomeini dalam http://www.darut
taqrib.org/berita/2012/06/27/biografisingkatayatullahruhullahalmusawikhomeiniimamkhomeinira/
diakses pada tanggal 23 juni 2015
16
BAB IV
KESIMPULAN
Perkembangan Syi’ah di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kesuksesan
Revolusi Islam Iran pada tahun 1979. Ada beberapa indikasi yang menunjukan hal
tersebut. Pertama, tidak lama setelah revolusi Iran, beberapa kalangan mengirimkan
pemuda untuk belajar di Qum, Iran. Sekembalinya dari Iran, beberapa di antara mereka
mendirikan lembaga pendidikan yang bernafaskan ajaran Syi’ah. Kedua, lembaga
pendidikan yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia ini mempunyai hubungan yang
cukup erat. Lembaga ini kemudian mencetak kaderkader Syi’ah baru. Beberapa kader ini
dikirim ke Iran untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang Syi’ah. Sekembalinya
mereka dari Iran, Syi’ah generasi baru ini kemudian mengembangkan pahamnya di
lingkungan baru. Keadaan ini berputar terus secara lebih luas dan Syi’ah pun berkembang.
Banyaknya dukungan kalangan muda Muslim di Indonesia pada mazhab Syi’ah
menimbulkan keresahan di kalangan lain. Potensi konflik antar kelompok ini mulai
terlihat. Contohnya seperti Seminar “Anti Syi’ah” adalah salah satu bukti nyata adanya
potensi konflik itu. Kelompok itu secara terbuka menuntut Syi’ah untuk dilarang keras di
Indonesia. Tentunya, bila ada perlawanan keras dari kelompok Syi’ah, maka akan
terjadinya gesekan serta konflik yang akan merepotkan berbagai pihak.
Agar umat Islam tidak terjebak pada perdebatan berbau perseteruan hal yang perlu
dikembangkan dalam menyikapi eksisteni Sunni – Syi’ah ini adalah pentingnya umat
Islam memiliki ulamaulama yang ahli studi aliran dan akidah Sunni – Syi’ah, baik yang
klasik maupun kontemporer. Alasanya jelas, bahwa akibat tidak adanya ulama yang
mumpuni atas dua paham Islam yang terjadi di Indonesia ini telah menyebabkan ulama
menjauhi masalah Syi’ah, atau sebaliknya.
17
Menurut pendapat penulis pribadi, Sunni dan Syi’ah, adalah khazanah peradaban
Islam. Keduanya memiliki kontribusi dan memiliki keunggulan. Perbedaan antara mazhab
Sunni dan Syi’ah tidak menyebabkan masingmasing orang yang memeluk salah satu
mazhab tersebut keluar dari Islam. Mazhab sekadar pemahaman dan pilihan dalam upaya
menjadi orang Islam yang sejati. Agama Islam melalui Rasulullah Saw mengajarkan
bahwa perbedaan merupakan anugerah dan sesama umat Islam bersaudara sehingga yang
terpenting ukhuwah (persaudaraan) dan tasamuh (toleransi).
DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
1. Anwar, Rosihon dan Rozak, Abdul, Ilmu Kalam.
2. Cederroth, Sven, 1981, The Spell of The Ancestors and The Power of Mekkah: A Sasak
Community on Lombok, Sweden: Acta Universitatis Goyhoburgenesis.
3. Esposito, John L., 1990, The Iranian Revolution: It’s Global Impact, Miami: Florida
International University Press.
4. Esposito, John L., 1991, Islam and Politics, Syracause: Syracause University Press.
5. Geertz, Clifford, 1960, The Religion of Java, New York : Free Press.
6. Khallaf, Abdul Wahab, 2002, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam,
Jakarta: PT. Raja Grafindo.
7. Khomeini, AlHukumah AlIslamiyah, Teheran: Dar Kutub Islamiyyah.
8. Nasir, Salihun A., Pemikiran Kalam (Teologi Islam).
9. Robertson, Roland,1995, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
10. Silhbudi, Riza, 1996, Biografi Politik Imam Khomeini, Jakarta: Gramedia dan Ismes.
11. Thabathaba’i, Allamah M.H., 1989, Islam Syi’ah, Jakarta: Grafiti.
12. Zainudin, A Rahman dan Basyar, M. Hamdan, 2000, Syi’ah dan Politik di Indonesia :
Sebuah Penelitian, Bandung : Mizan, cet-I.
18
ARTIKEL DAN JURNAL :
1. Harian Terbit, 6 november 1997.
WEBSITE :
1. Biografi Singkat Ayatullah Ruhullah Al Musawi Khomeini dalam http://www.darut
taqrib.org/berita/2012/06/27/biografisingkatayatullahruhullahalmusawikhomeini
imamkhomeinira/ diakses pada tanggal 23 juni 2015.
19
Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia
Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini. Dimana, makalah ini dibuat untuk memenuhi
persyaratan Ujian Akhir Semester dalam mata kuliah IdeIde Politik Barat. Dimana bahan
atau sumbersumber yang saya dapatkan atau diperoleh, berasal dari sumbersumber yang
baik dan terpercaya. Baik dari buku, referensi, media massa, hingga website. Sehingga
kualitas makalah ini sesuai dengan standar penulisan ilmiah.
Saya mengakui bahwa saya adalah manusia yang mempunyai keterbatasan dalam
berbagai hal. Oleh karena itu tidak ada hal yang dapat diselesaikan dengan sangat
sempurna. Begitu pula dengan tugas ini. Sehingga saya berharap untuk kritikan dan saran
yang membangun terhadap makalah ini. Dan penulis ingin mengucapkan terima kasih
banyak kepada Bapak Dr. Ujang Komarudin M.Si dan Bapak Heri Herdiawanto, S.Pd,
M.Si selaku dosen dalam mata kuliah IdeIde Politik Barat yang selalu memberikan ilmu
serta pengetahuan baru kepada penulis sehingga penulis bisa menerapkan ilmu serta
pengetahuan tersebut dalam makalah ini. Akhir kata, Penulis berharap semoga makalah ini
bisa bermanfaat dan berguna bagi para pembaca makalah ini. sekian dan terimakasih.
Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.
Hormat Saya,
Ahmad Idham
Penulis
1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...........................................................................................................1
BAB I............................................................................................................................3
1.1. Latar Belakang Masalah........................................................................................3
1.2. Rumusan Masalah..................................................................................................4
1.3. Tujuan Penulisan....................................................................................................4
1.4. Manfaat Penulisan..................................................................................................4
1.5. Sistematika Penulisan............................................................................................5
BAB II .........................................................................................................................6
2.1 Kerangka Pemikiran................................................................................................6
BAB III ........................................................................................................................8
3.1. Pemahaman Syi’ah Tentang Negara dan Politik…………………………………..8
3.2. Implikasi Pemikiran Syi’ah di Indonesia…….......………………………….……10
3.3. Konflik Dan Konsensus Antar Umat Islam……………………………………....12
3.2. Biografi Ayatullah Ruhullah Al Musawi Khomeini…….......……………………13
BAB IV.........................................................................................................................17
Kesimpulan...................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................18
2
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Sejak kemenangan kaum revolusioner Islam Syi’ah di Iran pada tahun 1979,
pengaruh ajaran dan pemikiran mazhab Syi’ah cukup besar dikalangan masyarakat
Indonesia. Hal ini antara lain bisa dilihat dari lahirnya buku-buku karya para pemikir
Syi’ah seperti Ali Syari’ati dan Murtadha Mutahhari maupun buku-buku yang mengkaji
mazhab Syi’ah. Kelompok-kelompok studi yang mengkhususkan diri pada kajian tentang
mazhab Syi’ah juga bermunculan di berbagai daerah di Indonesia. Di Bandung, Jawa
Barat berdiri Yayasan Mutahhari yang mengambil nama tokoh Syi’ah. Di Pekalongan,
Jawa Tengah terdapat pesantren Al-Hadi yang dipimpin Ahmad Baragbah, lulusan Qum,
Iran. Dia secara jelas mengakui, “ini pesantren Syi’ah satu-satunya di Pekalongan”.
Sementara itu, di Ujungpandang, Sulawesi Selatan sejak April 1994 berdiri Yayasan AlIslah, sebuah forum social yang secara khusus mendalami ajaran Syi’ah.1
Derasnya perkembangan ajaran Syi’ah, akan banyak menciptakan suatu
“ketegangan” di kalangan umat Islam Indonesia yang biasanya menganut mazhab Sunni.
Ketegangan ini dapat muncul terutama karena perbedaan mereka dalam memahami
imamah (kepemimpinan). Majelis Ulama Indonesia (MUI) ketika di bawah pimpinan K.H.
Sukri Ghazali pernah membuat rumusan yang cukup tegas mengenai perbedaan antara
Sunni dan Syi’ah. Salah satunya adalah Syi’ah pada umumnya tidak mengakui
kekhalifahan (empat pimpinan Islam pasca Nabi Muhammad) selain Ali bin Abi Thalib
yang sekaligus dianggap sebagai imam mereka. Sementara itu, Sunni mengakui otoritas
empat Khalifah (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi
Thalib). Dengan perumusan itu, MUI mengeluarkan fatwa bahwa Syi’ah tidak cocok
untuk masyarakat Islam Indonesia. Sementara itu, hubungan antara agama dan politik
akan muncul sebagai suatu permasalahan hanya pada bangsa-bangsa yang tidak homogen
1 A. Rahman Zainudin dan M. Hamdan Basyar, 2000, Syi”ah dan Politik di Indonesia : Sebuah Penelitian,
Bandung : Mizan, cetI, hlm 33
3
secara agama.2 Hal ini bisa diartikan dalam masyarakat yang homogen secara agama,
permasalahan politik dan agama tidak begitu diperbincangkan. Kehomogenan agama itu
sendiri akan menyebabkan pembicaraan masalah politik sudah termasuk dalam wacana
agama itu sendiri. Dan politik bukanlah suatu wacana yang terpisah dari agama.
Sehubungan dengan tema yang diangkat makalah ini tentang Politik Islam : Implikasi
Perkembangan Syi’ah Dalam Kehidupan Politik Umat Islam di Indonesia. Makalah
ini berusaha membahas pertanyaanpertanyaan sebagai berikut: Bagaimana sebenarnya
perkembangan Syi’ah dalam kehidupan politik umat Islam di Indonesia? Dan benarkah
kehadiran Syi’ah merupakan suatu ancaman terhadap kemapanan politk mazhab Sunni di
Indonesia? Yang mana mayoritas masyarakat di Indonesia dalam berpolitik menggunakan
mazhab Sunni. Dan apakah kedua mazhab itu bisa hidup berdampingan secara damai di
Indonesia? Dan kontribusi apa yang Syi’ah berikan untuk Indonesia? Makalah ini akan
membahas pertanyaanpertanyaan tersebut secara mendetail dan lebih mendalam.
1.2. Rumusan Masalah
1. Mengapa perbedaan mazhab di Indonesia bisa menyebabkan konflik dan konsesus
politik antar umat Islam di Indonesia?
1.3. Tujuan Pembahasan
1.
Untuk memahami apa saja permasalahan yang bisa menyebabkan konflik dan
konsesus dalam politik antar umat Islam di Indonesia.
1.4. Manfaat Penulisan
Pembaca diharapkan mendapat wawasan dan pengetahuan yang lebih ketika
membaca makalah yang berjudul Politik Islam : Implikasi Perkembangan Syi’ah
Dalam Kehidupan Politik Umat Islam di Indonesia dan tentang bagaimana dan apa saja
permasalahan serta konflik dan konsensus politik antar umat islam di Indonesia.
2 Roland Robertson, 1995, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, Hlm 379
4
1.5. Sistematika Penulisan
BAB I
Berisikan tentang latar belakang masalah yang terdapat dalam Implikasi
Perkembangan Syi’ah Dalam Kehidupan Politik Umat Islam di Indonesia. Beserta
rumusan masalah, tujuan pembahasan, manfaat penulisan, dan sistematika penulisan yang
akan dijelaskan secara rinci dan teratur.
BAB II
Berisikan kerangka pemikiran sebagai pembuka sebelum memasuki isi dari
makalah.
BAB III
Berisikan Isi / Pembahasan dari makalah ini yang membahas tentang Politik
Islam : Implikasi Perkembangan Syi’ah Dalam Kehidupan Politik Umat Islam di
Indonesia.
BAB IV
Berisikan kesimpulan dari seluruh pembahasan yang ada dimakalah ini.
5
BAB II
2.1. Kerangka Pemikiran
Syi’ah dilihat dari bahasa berarti pengikut, pendukung, partai, atau kelompok,
sedangkan secara terminologis adalah sebagian kaum muslimin yang dalam bidang
spiritual dan keagamaannya selalu merujuk kepada keturunan Nabi Muhammad saw. atau
orang yang disebut sebagai ahl albait. Menurut Thabathbai, istilah Syi’ah untuk pertama
kalinya ditujukan pada para pengikut Ali (Syi’ah Ali), pemimpin pertama ahl albait pada
masa Nabi Muhammad Saw. para pengikut Ali yang disebut Syi’ah itu di anratanya adalah
Abu Dzar AlGhiffari, Miqadi bin AlAswad, dan Ammar bin Yasir.3
Syi’ah adalah segolongan dari umat Islam yang sangat mencintai Ali bin Abi
Thalib dan keturunannya secara berlebihlebihan. Golongan syi’ah berpendapat bahwa
yang paling berhak memangku jabatan khalifah adalah Ali bin Abi Thalib dan
keturunannya, sebab dialah yang diwasiatkan oleh Nabi SAW untuk menjadi khalifah
setelah beliau wafat.4 Dari sini Syi’ah dimaksudkan sebagai suatu golongan dalam Islam
yang beranggapan bahwa Sayydina Ali bin Abi Thalib ra. adalah orang yang berhak
sebagai khalifah pengganti Nabi, berdasarkan wasiatnya. Sedangkan khalifahkhalifah
Abu Bakar asShiddiq, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan adalah penggasab
(perampas) kedudukan khalifah.5
Mengenai kemunculan Syi’ah dalam sejarah, terdapat perbedaan pendapat
dikalangan para ahli. Menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai muncul pada masa akhir
pemerintahan Usman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa
pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Adapun menurut Watt, Syi’ah baru benarbenar muncul
kertika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan Perang
Siffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang
ditawarkan Mu’awiyah, pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok
3 Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, hlm. 89.
4 Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 2002, hlm. 61.
5 Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), hlm. 72.
6
mendukung sikap Ali kelak disebut Syi’ah dan kelompok lain yang menolak sikap Ali,
kelak disebut Khawarij.
Kalangan Syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan Syi’ah berkaitan dengan
masalah pengganti (khalifah) Nabi Muhammad Saw. mereka menolak kekhalifahan Abu
Bakar, Umar bin Khattab dan Usman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya
Ali bin Abi Thaliblah yang berhak menggantikan Nabi Muhammad Saw.6
6 Rosihon Anwar, Ibid., hlm. 90.
7
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Pemahaman Syi’ah Tentang Negara dan Politik
Jika “politik” diartikan sebagai suatu bentuk “perjuangan” atau “perlawanan” aktif
dan real terhadap suatu tatanan yang dinilai tidak adil, maka agaknya benar klaim bahwa
Syi’ah “lebih politis” ketimbang Sunni. Syi’ah memang lahir karena factor politik dalam
arti kekuasaan. Yaitu, menyangkut masalah siapa yang berhak menggantikan Nabi
Muhammad Saw. Sebagai pemimpin umat Islan, Syi’ah yang dimaksud penulis disini
adalah Syi’ah Imamiah, karena seperti ditulis oleh Thabathaba’i, mayoritas penganut
Syi’ah yang menjadi sumber dari cabangcabang Syi’ah, adalah Syi’ah Imam Dua Belas
yang disebut juga sebagai kaum imamiah.7
Sementara negara bagi mazhab Syi’ah dilihat dari konsep Wilayah AlFaqih.
Menurut Ayatullah Khomeini, ada keterkaitan yang erat antara agama dan politik.
Pemerintah sebagai penguasa Negara mestinya dimpimpin oleh para ulama. Negara Islam
akan menjamin keadilan social, demokrasi yang sebenarnya dan kemerdekaan yang murni
dari imperialism. Islam dan pemerintahan Islam adalah fenomena Ilahi yang
penggunaannya menjamin kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat.8
Khomeini menerangkan gagasannya ini sebagaimana tercantum dalam bukunya
yang terkenal AlHukumah AlIslamiyah (Pemerintahan Islam). Buku yang merupakan
kumpulan pidatonya ini berisi empat tema pokok. Pertama, kritikan yang tajam terhadap
lembaga monarki. Hal ini mengingat betapa Ayatullah Khomeini menentang rezim Reza
Syah Pahlevi yang dapat dia tumbangkan. Kedua, negara Islam, yang didasarkan pada Al
Quran dan dibentuk setelah umat Islam diperintah oleh Nabi pada abad ketujuh, bukanlah
merupakan suatu gagasan yang hanya bisa dicapai jauh di masa mendatang, tetapi sebagai
suatu bentuk pemerintahan yang praktis dan dapat direalisasikan pada masa sekarang
sampai generasi berikutnya. Ketiga, ulama memegang pernan penting dalam
7 Allamah M.H. Thabathaba’i, 1989, Islam Syi’ah, Jakarta: Grafiti, hlm. 88
8 Riza Silhbudi, 1996, Biografi Politik Imam Khomeini, Jakarta: Gramedia dan Ismes.
8
kepemimpinan umat Islam. Keempat, umat Islam harus berjuang melawan setiap bentuk
penindasan dan tirani.9
AlQuran telah memuat hukum Tuhan yang dapat mengatur seluruh kehidupan
manusia. Oleh karena itu, suatu tatanan social politik akan hancur bila masih mencari
hukum lain dan melaksanakan hukum buatan manusia yang lahir dari gagasan yang sempit
dan menyesatkan. Hukum Tuhan yang telah dicantumkan dalam AlQuran itu, hanya
dapat dilaksanakan oleh seorang penguasa yang dipilih oleh para mujtahid. Dia dapat
mengenal perintah Tuhan dan mengamalkan keadilan tanpa terpenjara oleh tekanan dan
ambisi dunia. Suatu sistem pemerintahan yang mengamalkan hukum Tuhan, yang
mendapatkan pengawasan dari para ahli hukum agama (faqih), akan mengungguli semua
system pemerintahan yang tidak adil di dunia ini.10
Hukum Islam telah menyediakan suatu tatanan bagi negara dan masyarakat.
Eksekutif bertugas melindungi dan mengawal masyarakat. Yudikatif berfungsi
menerapkan hukum Islam tersebut. Sementara Legislatif tidak diperlukan karena hanya
Tuhan yang berwenang membuat undangundang dan kaum Muslim pada hakikatnya
sudah memiliki hukum Tuhan.11
Menurut Khomeini, pemerintah Islam merupakan sesuatu yang mungkin terjadi
dan penting. Dia mengutip perkataan imam Ali ArRidha : “Bahwa tidak logis kalau
Tuhan Yang Maha Tinggi dan Maha Bijaksana membiarkan rakyatNya, makhlukNya,
tanpa mendapat pentunjuk ataupun pelindung”. Kebijakan Tuhan tidak dapat dibatasi
hanya dalam ruang dan waktu tertentu saja, karena itu sejak saat ini sampai saat
mendatang sangatlah diperlukan seorang imam yang dapat melaksanakan hukum Islam. 12
Sifat Tuhan ini yang disebut sebagai Luthf (Kebaikan/Kehalusan Tuhan). Dengan sifat ini,
manusia akan dibimbing oleh Tuhan dengan “diturunkannya” para imam dan faqih.
Dan pemerintahan Islam menurut Syi’ah haruslah adil. Dengan demikian,
pemegang kekuasaan mestinya yang mempunyai pengetahuan yang luas mengenai syariat
yang berlaku. Para faqihlah yang mendapat memenuhi keriteria ini, karena mereka
9 Khomeini, AlHukumah AlIslamiyah, Teheran: Dar Kutub Islamiyyah.
10 Ibid, Hlm 132
11 John L. Esposito, 1991, Islam and Politics, Syracause: Syracause University Press, hlm 198
12 Riza Silhbudi, Op.Cit., hlm 133
9
mendalami hukum yang ada dalam ajaran Islam. Akan tetapi, menurut Khomeini, tidak
setiap faqih mempunyai kualifikasi sebagai pemimpin. Setidaknya ada 8 (delapan)
persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang faqih untuk bisa memimpin sebuah
pemerintahan Islam. Yakni : Pertama, mempunyai pengetahuan yang luas tentang hukum
islam. Kedua, harus adil, dalam arti memiliki iman dan akhlak yang tinggi. Ketiga, dapat
dipercaya dan berbudi luhur. Keempat, jenius. Kelima, memiliki kemampuan
administratif. Keenam, bebas dari segala pengaruh asing. Ketujuh, mampu
mempertahankan hakhak bangsa, kemerdekaan dan integritas territorial tanah islam,
sekalipun harus dibayar dengan nyawanya. Dan kedelapan, hidup sederhana.13
3.2. Implikasi Pemikiran Syi’ah di Indonesia
Perkembangan mazhab Syi’ah di Indonesia, di satu sisi merupakan suatu khazanah
dalam Islam, akan tetapi, di sisi lain, akan timbul suatu “kejutan” baik di bidang ideologi,
politik, dan budaya. Secara ideologi dan politik, konsep imamiah dan Wilayah AlFaqih
yang dianut oleh Syi’ah, mendapatkan berbagai reaksi dari kalangan Islam Sunni yang
merupakan mayoritas muslim di Indonesia. Reaksi ini bergerak sepanjang garis kontinum
(along the continuum line) yang memiliki dua kutub ekstrem (two extreme poles).
Penolakan total atas pandangan dan pemikiran Syi’ah, sebagaimana tercermin dari sikap
para pemakalah dalam seminar Syi’ah di Masjid Istiqlal, merupakan reaksi yang berada di
kutub ekstrem negatif. Mereka tidak hanya menentang keras dan menolak mentahmentah
mazhab Syi’ah, tetapi juga menindaklanjuti dengan mengajukan desakan dan tuntutan
pada pemerintah untuk secara tegas melarang Syi’ah di Indonesia dan menutup sejumlah
yayasan Syi’ah yang tersebar di beberapa kota di Indonesia. Kelompok ini juga
menghendaki Pemerintah untuk mengontrol penyebaran bukubuku dan penerbitan Syi’ah
dan menyetop peredarannya.14
Mereka yang dapat menerima ajaran dan pandangan Syi’ah secara keseluruhan
berada di kutub ekstrem positif. Sedang mereka yang berada diantara dua titik ekstrem ini
adalah kelompok moderat yang dapat mentolerir (perbedaan) pandangan Syi’ah yang
spesifik, meskipun tidak berarti dapat menerima keseluruhan dari ajaran Syi’ah. Dengan
13 Ibid. hlm 136
14 A. Rahman Zainuddin, Op.Cit., hlm 117
10
kata lain, ada ajaran tertentu yang bisa diterima khususnya yang menyangkut peranan
Wilayah AlFaqih, ada pula halhal yang tidak dapat diterima sepenuhnya, khususnya
yang menyangkut masalahmasalah fiqih. Misalnya kebiasaan Syi’ah dalam menentukan
waktu magrib, menggabungkan dua waktu shalat, dan meniadakan shalat jumat.15
Beberapa kalangan Sunni moderat mengakui ada sisisisi ajaran Syi’ah, khususnya
yang menyangkut figure dan peranan kepemimpinan ulama yang patut untuk diteladani.
Mereka mengakui bahwa Iran sangat berentung memiliki figure kepemimpinan semacam
Ayatullah Khomeini, yang mewarisi nilai spiritualitas tinggi utamanya dalam menentang
kezaliman, tirani, dan ketidakadilan. Tipe kepemimpinan ulama yang sangat militant yang
berhasil mempelopori revolusi untuk menggulingkan tirani dan hagemoni Syi’ah Iran
tidak dimiliki oleh mayoritas Sunni di Arab Saudi maupun di Indonesia. Di Indonesia,
rezim Soeharto berhasil mempertahankan kekuasaan absolut selama puluhan tahun tanpa
ada seorang pun ulama yang mampu menentangnya secara terbuka.
Diakui, khususnya oleh kalangan Sunni moderat, konsep kepemimpinan yang
menempatkan ulama di atas umara sebagai pengontrol eksekutif merupakan sesuatu yang
ideal dalam pemerintahan. Bagi Sunni, model kepemimpinan ini menjadi wishful thinking
atau utopia yang relatif sulit diterapkan dalam kehidupan politik Indonesia. Hal ini
diantaranya disebabkan oleh kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk yang diwarnai
dengan latar belakang perbedaan agama, etnis, budaya, bahasa, serta kultur setempat.
Meski umat Islam sendiri merupakan kelompok mayoritas, namun kondisi kultural mereka
amatlah beragam. Umumnya mereka masih memiliki sentiment primordial yang kuat yang
didasari oleh ikatan etnisitas dan kultur local yang amat beragam. Di samping itu, level
pemahaman dan penerapan ajaran Islam dari umat Islam Indonesia juga bervariasi. Ikatan
sentiment primordial sangat mempengaruhi terjadinya kesenjangan di antara Islam sebagai
suatu konsep doctrinal (doctrinal concept) dan Islam sebagai suatu fenomena kultural
(cultural phenomena). Budaya local sangat berpengaruh terhadap manifestasi pelaksanaan
syariat Islam. Di beberapa wilayah tertentu masih banyak terdapat praktikpraktif
15 Syi’ah menentukan waktu magrib lebih lambat daripada Sunni, yakni ketika cahaya asar, antara magrib
dan isya disebut waktu yang mustahak. Mereka melakukan shalat zuhur dan asar dengan jamak (gabungan);
dengan demikian juga dengan shalat magrib dan isya. Shalat jamak ini tidak hanya dilakukan ketika
berpergian, tetapi juga ketika mereka dirumah.
11
keagamaan yang berbaur dengan kebudayaan setempat. Fenomena Islam nominal
(abangan)16 dan Islam santri di Jawa17, Islam Wetu Telu dan Waktu Lima di Lombok,18
membuktikan derajat pemahaman dan penerapan Islam di Indonesia banyak sekali
dipengaruhi oleh varianvarian budaya etnik yang bersifat lokalistik (local cultural
variations).19
3.3. Konflik dan Konsesus AntarUmat Islam (Sunni dan Syi’ah)
Sudah menjadi kelaziman, bila ada perbedaan dalam suatu komunitas, sekecil
apapun perbedaan itu, akan timbul suatu gesekan kepentingan. Gesekan bila menjurus
pada kebaikan, maka akan timbul consensus antara berbagai pihak yang terlibat. Dan ini
akan menghasilkan suatu kekuatan baru yang jauh lebih besar dan kuat. Sebaliknya, bila
gesekan menjurus pada keburukan, maka akan timbul suatu konflik yang biasanya akan
merugikan kedua belah pihak.
Umat Islam Indonesia yang terdiri atas berbagai komunitas membutuhkan suatu
consensus bila ingin menuju pada kebaikan bersama. Umat Islam Indonesia sebagian besar
mengaku menganut apa yang dinamakan Ahl AlSunnah wa AlJama’ah (Islam Sunni).
Diantara mereka, ada berbagai kelompok yang secara ritual kadang berbeda. Kelompok
besar Islam Sunni Indonesia adalah Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Selain
kedua kelompok itu, ada Persatuan Islam (Persis), Persatuan Tarbiyyah Islamiyah (Perti),
Syarikat Islam, AlIrsyad Al Islamiyah, Ittihadul Muballighin dan beberapa yang lain.20
Pada masa awal terjadinya perbedaan
kelompok di atas, muncul berbagai friksi di antara mereka. Perbedaan yang sebenarnya
bersifat furu’ (bagian dari ibadah) ini telah menyita kelompokkelompok itu. Bahkan
saling kecam di antara mereka. Kini, mereka tidak mempersoalkan perbedaan yang
bersifat furu’ tersebut. Menurut mereka, masih banyak halhal yang lebih penting untuk
16 Sinkretisme (religious syncreticism) merupakan istilah yang dilontarkan Greertz (1960) untuk
menggambarkan budaya agama kelompok Islam abangan Jawa yang membaurkan kepercayaan animism,
HinduBuddhisme, dan Islam.
17 Clifford Geertz, 1960, The Religion of Java, New York : Free Press
18 Sven Cederroth, 1981, The Spell of The Ancestors and The Power of Mekkah: A Sasak Community on
Lombok, Sweden: Acta Universitatis Goyhoburgenesis.
19 A. Rahman Zainuddin, Op.Cit., hlm 118
20 Ibid., Hlm 109110
12
dipikirkan, ketimbang mengurusi perbedaanperbedaan “kecil”. Dengan lain perkataan,
mereka mengadakan consensus untuk berkiprah demi kemajuan umat Islam di Indonesia.
PascaRevolusi Islam Iran pada tahun 1979,
aliran Syi’ah merebak ke seluruh dunia, tidak terkecuali ke Indonesia. 21 Kedatangan aliran
“baru” ini menimbulkan polarisasi baru di kalangan umat Islam. Penganut Sunni, ada yang
menerima kedatangan aliran ini dan bahkan menjadi penganut dan penganjur aliran
Syi’ah. Ada yang bersikap kagum dan simpati, tetapi masih menganut mazhab Sunni, ada
pula yang menentang dengan keras kedatangan aliran Syi’ah. Berbagai sikap ini tentunya
akan menimbulkan konsekuensi tersendiri bagi adanya suatu consensus atau konflik.
Penganut Sunni kelompok pertama jelas tidak bermasalah bagi
penganut Syi’ah, karena mereka telah mengganti mazhab dan bahkan menjadi penganjur
aliran Syi’ah. Kelompok Sunni kedua juga tidak begitu bermasalah dengan Syi’ah.
Mereka cukup toleran dalam menyikapi ajaran Syi’ah dan bahkan dalam beberapa
kesempatan “membela” kepentingan Syi’ah. Sementara itu, Sunni kelompok ketiga yang
disebut juga sebagai “ekstrem” akan selalu bertolak belakang dengan ajaran Syi’ah.
Mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk membentengi beredarnya ajaran Syi’ah dengan
lebih luas.
Sikap “keras” yang diperlihatkan oleh sebagian penganut Islam
Sunni di Indonesia ternyata tidak disepakati oleh sebagian Sunni yang lain. Dr. Said Agil
Siradj misalnya, dengan “gigih” menentang kelompok Sunni yang memusuhi Syi’ah.
Sudah tentu pembelaan terhadap ajaran Syi’ah akan dilakukan oleh penganut Sunni yang
sudah “mengagumi” Syi’ah. Dr. Jalaludin Rakhmat, misalnya, merasa yakin pemerintah
Indonesia tidak akan melarang Syi’ah berkembang di Indonesia. Malah, dia mengadakan
serangan balik dengan mengharapkan pemerintah akan meneliti orangorang yang
meminta agar Syi’ah dilarang. Hal ini, menurutnya, karena mereka telah membuat resah
dan memperuncing konflik Sunni dan Syi’ah di Indonesia.22
3.4. Biografi Ayatullah Ruhullah Al Musawi Khomeini (Imam Besar Syi’ah)
21 John L. Esposito, 1990, The Iranian Revolution: It’s Global Impact, Miami: Florida International
University Press.
22 Harian Terbit, 6 november 1997
13
Ruhullah Musawi Khomeini lahir pada tanggal 20 JumadisTsani 1320 H (24
September 1902) di kota Khomein, provinsi Markazi, Iran tengah. Ia terlahir di tengah
keluarga agamis, ahli ilmu, dan pejuang, keluarga terhormat yang masih menyimpan darah
keturunan Sayidah Fatimah AzZahra as, putri Rasulullah saw. Ruhullah adalah pribadi
agung yang menjadi pewaris kemuliaan para bapak dan pamannya yang selalu
mengabdikan diri untuk membimbing umat dan menuntut makrifat ilahi dari suatu
generasi ke generasi lainnya. Ayah Imam Khomeini adalah AlMarhum Ayatollah Sayid
Mostafa Musawi. Beliau hidup sezaman dengan AlMarhum Ayatollah AlUdzma Mirza
Eshirazi. Setelah bertahuntahun menuntut ilmu agama di kota suci Najaf dan berhasil
meraih gelar mujtahid, Ayatollah Sayid Mostafa Musavi kembali ke Iran dan menetap di
Khomein. Di kota kecil inilah beliau mendermakan umurnya untuk mengabdi kepada
masyarakat dan menjadi pembimbing mereka dalam urusan agama.
Tak lama setelah kepindahan Ayatollah AlUdzma Haj Syeikh Abdul Karim Hairi
Yazdi, ke Qom pada Rajab 1340 H (Sekitar bulan Maret 1921), Imam Khomeini pun
akhirnya turut hijrah ke Hauzah Ilmiah Qom dan dengan segera ia menyelesaikan
pendidikan tingkat akhirnya di sana. Imam Khomeini mempelajari bagian akhir kitab Al
Muthawwal di bidang ilmu ma’ani dan bayan (sastra Arab) di bawah bimbinganAgha
Mirza Muhammad Ali Adib Tehrani. Sebagian besar pelajaran tingkat menengah
hauzahnya ia tamatkan di bawah asuhan Ayatollah Sayid Ali Yatsribi Kashani, dan
jugaAyatollah Sayid Muhammad Taqi Khounsari. Sementara pelajaran Fiqih dan Ushul
Fiqih beliau pelajari dari Ayatollah AlUdzma Haj Syeikh Abdul Karim Hairi Yazdi,
pendiri Hauzah Ilmiah Qom. Setelah wafatnya Ayatollah Hairi Yazdi, berkat upaya Imam
Khomeini dan para ulama besar Hauzah Ilmiah Qom lainnya, Ayatollah AlUdzma
Boroujerdi akhirnya dikukuhkan sebagai pengasuh Hauzah Ilmiah Qom. Di masa itu,
Imam Khomeini terpilih sebagai salah satu pengajar Hauzah dan dikenal sebagai mujtahid
di bidang Fiqih, Ushul Fiqih, Filsafat, Irfan, dan Akhlak. Selama bertahuntahun menjadi
pengajar di Hauzah, Imam Khomeini mengajar di madrasah Faiziyah, masjid A’zam,
masjid Muhammadiyah, madrasah Haj Molla Shadiq, masjid Salmasi dan beberapa tempat
lainnya.Sementara itu, selama 14 tahun di Hauzah Ilmiah Najaf, Irak, Imam Khomeini
mengajar ilmuilmu Ahlul Bait as dan fiqih pada peringkat tertinggi Hauzah, di masjid
14
Syeikh A’zam Ansari. Di kota Najaf inilah, Imam Khomeini untuk pertama kalinya
mengungkapkan dasardasar teori pemerintahan Islam dalam rangkaian pelajaran
wilayatulfaqihnya.
Paruh kedua tahun 1350 (menjelang akhir tahun 1971), perselisihan antara rezim
Ba’ast Irak dan Syah Iran makin memanas. Perselisihan itu diikuti dengan diusirnya warga
Iran yang bermukim di Irak. Dalam telegramnya kepada Presiden Irak di masa itu, Imam
Khomeini mengecam keras aksi pengusiran tersebut. Dalam situasi semacam itu, Imam
Khomeini bertekad untuk segera keluar dari Irak. Namun pemerintah Baghad tanggap
dengan dampak dari keluarnya Imam Khomeini dari Irak sehingga Imam pun dilarang
meninggalkan Irak. Pada tahun 1354 HS (Juni 1975) bersamaan dengan peringatan hari
Kebangkitan 15 Khordad, madrasah Faiziyah kembali menjadi pentas kebangkitan para
santri revolusioner Iran. Yelyel ‘Hidup Khomeini dan matilah dinasti Pahlevi’ terus
membahana selama dua hari berturutturut. Padahal, sebelum peristiwa ini, banyak
organisasaiorganisasi perjuangan rakyat yang telah dilumpuhkan, para tokoh keagamaan
dan politik yang aktif berjuang ramai yang dijebloskan ke penjara. Di sisi lain, Syah terus
melanjutkan politik antiIslamnya. Kebijakan antiIslamnya itu ditandai dengan diubahnya
dasar kalender nasional Iran pada bulan Esfand 1354 HS (Maret 1976). Selama ini, dasar
kalender nasional Iran dihitung sejak dimulainya hijrah Nabi Muhammad saw. Namun
dasar tersebut diubah oleh Syah dengan menetapkan masa dimulainya kekuasaan dinasti
Achemanid sebagai dasar perhitungan kalender nasional Iran. Mereaksi hal itu, Imam
Khomeini mengeluarkan fatwa yang mengharamkan penggunaan kalender nasional Iran
versi Syah. Rakyat Iran pun mendukung penuh fatwa Imam Khomeini tersebut, mereka
juga turut mendukung diboikotnya Partai Rastakhiz (Kebangkitan). Kedua masalah ini
merupakan pukulan berat bagi rezim Syah hingga akhirnya pada tahun 1357 (1978), Syah
terpaksa melangkah mundur dan membatalkan penggunaan kalender nasional versi
pemerintah.
Dengan begitu teliti dan cermat, Imam Khomeini terus memantau perkembangan
terbaru di Iran maupun dunia internasional. Beliau juga amat tanggap dalam
memanfaatkan secara maksimal kesempatan yang muncul. Imam Khomeini pada bulan
Mordad 1356 HS (Agustus 1977) dalam pesan tertulisnya menyatakan, “Kini, lewat situasi
15
dalam dan luar negeri yang ada, serta dengan terungkapnya kejahatan rezim Syah di mata
publik dan media asing merupakan kesempatan bagi kalangan ilmuan, budayawan, tokoh
nasionalis, mahasiswa dalam dan luar negeri, dan organisasiorganisasi Islam di mana pun
berada untuk tanggap memanfaatkan peluang yang ada dan bangkit secara terbuka.”
Gugur syahidnya, putra Imam Khomeini, Ayatollah Haj Agha Mostafa Khomeini, pada
awal bulan Aban 1356 HS (23 Oktober 1977) merupakan titik tolak gerakan kebangkitan
kembali komunitas Hauzah dan masyarakat muslim Iran. Imam Khomeini bahkan
menyebut peristiwa itu sebagai anugrah tersembunyi ilahi. Sementara itu rezim Syah
membalas aksi Imam Khomeini dengan melansir sebuah artikel di koran Ettela’at . Artikel
ini berisi hinaan terhadap Imam Khomeini. Protes luas rakyat Iran terhadap artikel tersebut
berujung dengan melutusnya peristiwa Kebangkitan 19 Dey 1356 HS (9 Januari 1978) di
Qom. Dalam peristiwa tersebut, sejumlah santri pendukung revolusi gugur syahid akibat
tindak represif pihak keamanan. Meski Syah melancarkan aksi pembantaian massal untuk
melumpuhkan gejolak kebangkitan rakyat, namun ia tetap gagal memadamkannya.
Awal bulan Bahman 1357 HS (akhir Januari 1979), kabar tentang keputusan Imam
Khomeini untuk kembali ke tanah airnya tersebar luas. Bagi rakyat Iran, kabar tersebut
merupakan berita gembira yang paling dinantinantikan. Sekitar 14 tahun rakyat Iran
merindukan kembalinya Imam Khomeini ke negerinya. Meski demikian, mereka juga
amat mengkhawatirkan keselamatan jiwa pemimpin revolusi itu. Sebab hingga saat itu,
pemerintah buatan Syah masih bercokol dan Iran berada di bawah kendali militer. Kendati
situasi di Iran masih begitu kritis dan berbahaya, namun Imam Khomeini bertekad untuk
kembali ke tanah airnya. Dalam pesannya kepada rakyat Iran, beliau menyatakan bahwa
dirinya ingin bersama rakyat di saatsaat yang paling menentukan dan kritis. PM Bakhtiar
bersama pihak militer menutup seluruh bandar udara negara untuk penerbangan asing.
Namun setelah beberapa hari, pemerintah Bakhtiar tak sanggup bertahan dan terpaksa
memenuhi desakan rakyat. Akhirnya pagi 12 Bahman 1357 (1 Februari 1979) setelah 14
tahun hidup di pengasingan, Imam Khomeini kembali ke tanah air tercintannya. Rakyat
Iran menyambut kedatangan Imam Khomeini secara besarbesaran dan penuh suka cita.23
23 Biografi Singkat Ayatullah Ruhullah Al Musawi Khomeini dalam http://www.darut
taqrib.org/berita/2012/06/27/biografisingkatayatullahruhullahalmusawikhomeiniimamkhomeinira/
diakses pada tanggal 23 juni 2015
16
BAB IV
KESIMPULAN
Perkembangan Syi’ah di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kesuksesan
Revolusi Islam Iran pada tahun 1979. Ada beberapa indikasi yang menunjukan hal
tersebut. Pertama, tidak lama setelah revolusi Iran, beberapa kalangan mengirimkan
pemuda untuk belajar di Qum, Iran. Sekembalinya dari Iran, beberapa di antara mereka
mendirikan lembaga pendidikan yang bernafaskan ajaran Syi’ah. Kedua, lembaga
pendidikan yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia ini mempunyai hubungan yang
cukup erat. Lembaga ini kemudian mencetak kaderkader Syi’ah baru. Beberapa kader ini
dikirim ke Iran untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang Syi’ah. Sekembalinya
mereka dari Iran, Syi’ah generasi baru ini kemudian mengembangkan pahamnya di
lingkungan baru. Keadaan ini berputar terus secara lebih luas dan Syi’ah pun berkembang.
Banyaknya dukungan kalangan muda Muslim di Indonesia pada mazhab Syi’ah
menimbulkan keresahan di kalangan lain. Potensi konflik antar kelompok ini mulai
terlihat. Contohnya seperti Seminar “Anti Syi’ah” adalah salah satu bukti nyata adanya
potensi konflik itu. Kelompok itu secara terbuka menuntut Syi’ah untuk dilarang keras di
Indonesia. Tentunya, bila ada perlawanan keras dari kelompok Syi’ah, maka akan
terjadinya gesekan serta konflik yang akan merepotkan berbagai pihak.
Agar umat Islam tidak terjebak pada perdebatan berbau perseteruan hal yang perlu
dikembangkan dalam menyikapi eksisteni Sunni – Syi’ah ini adalah pentingnya umat
Islam memiliki ulamaulama yang ahli studi aliran dan akidah Sunni – Syi’ah, baik yang
klasik maupun kontemporer. Alasanya jelas, bahwa akibat tidak adanya ulama yang
mumpuni atas dua paham Islam yang terjadi di Indonesia ini telah menyebabkan ulama
menjauhi masalah Syi’ah, atau sebaliknya.
17
Menurut pendapat penulis pribadi, Sunni dan Syi’ah, adalah khazanah peradaban
Islam. Keduanya memiliki kontribusi dan memiliki keunggulan. Perbedaan antara mazhab
Sunni dan Syi’ah tidak menyebabkan masingmasing orang yang memeluk salah satu
mazhab tersebut keluar dari Islam. Mazhab sekadar pemahaman dan pilihan dalam upaya
menjadi orang Islam yang sejati. Agama Islam melalui Rasulullah Saw mengajarkan
bahwa perbedaan merupakan anugerah dan sesama umat Islam bersaudara sehingga yang
terpenting ukhuwah (persaudaraan) dan tasamuh (toleransi).
DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
1. Anwar, Rosihon dan Rozak, Abdul, Ilmu Kalam.
2. Cederroth, Sven, 1981, The Spell of The Ancestors and The Power of Mekkah: A Sasak
Community on Lombok, Sweden: Acta Universitatis Goyhoburgenesis.
3. Esposito, John L., 1990, The Iranian Revolution: It’s Global Impact, Miami: Florida
International University Press.
4. Esposito, John L., 1991, Islam and Politics, Syracause: Syracause University Press.
5. Geertz, Clifford, 1960, The Religion of Java, New York : Free Press.
6. Khallaf, Abdul Wahab, 2002, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam,
Jakarta: PT. Raja Grafindo.
7. Khomeini, AlHukumah AlIslamiyah, Teheran: Dar Kutub Islamiyyah.
8. Nasir, Salihun A., Pemikiran Kalam (Teologi Islam).
9. Robertson, Roland,1995, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
10. Silhbudi, Riza, 1996, Biografi Politik Imam Khomeini, Jakarta: Gramedia dan Ismes.
11. Thabathaba’i, Allamah M.H., 1989, Islam Syi’ah, Jakarta: Grafiti.
12. Zainudin, A Rahman dan Basyar, M. Hamdan, 2000, Syi’ah dan Politik di Indonesia :
Sebuah Penelitian, Bandung : Mizan, cet-I.
18
ARTIKEL DAN JURNAL :
1. Harian Terbit, 6 november 1997.
WEBSITE :
1. Biografi Singkat Ayatullah Ruhullah Al Musawi Khomeini dalam http://www.darut
taqrib.org/berita/2012/06/27/biografisingkatayatullahruhullahalmusawikhomeini
imamkhomeinira/ diakses pada tanggal 23 juni 2015.
19