Implikasi Perkembangan Syi ah Dalam Kehi

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia­
Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini. Dimana, makalah ini dibuat untuk memenuhi
persyaratan Ujian Akhir Semester dalam mata kuliah Ide­Ide Politik Barat. Dimana bahan
atau sumber­sumber yang saya dapatkan atau diperoleh, berasal dari sumber­sumber yang
baik dan terpercaya. Baik dari buku, referensi, media massa, hingga website. Sehingga
kualitas makalah ini sesuai dengan standar penulisan ilmiah. 
Saya mengakui bahwa saya adalah manusia yang mempunyai keterbatasan dalam
berbagai   hal.   Oleh   karena   itu   tidak   ada   hal   yang   dapat   diselesaikan   dengan   sangat
sempurna. Begitu pula dengan tugas ini. Sehingga saya berharap untuk kritikan dan saran
yang  membangun  terhadap  makalah ini.  Dan penulis  ingin  mengucapkan terima  kasih
banyak kepada  Bapak Dr. Ujang Komarudin M.Si dan Bapak Heri Herdiawanto, S.Pd,
M.Si selaku dosen dalam mata kuliah Ide­Ide Politik Barat yang selalu memberikan ilmu
serta   pengetahuan   baru   kepada   penulis   sehingga   penulis   bisa   menerapkan   ilmu   serta
pengetahuan tersebut dalam makalah ini. Akhir kata, Penulis berharap semoga makalah ini
bisa bermanfaat dan berguna bagi para pembaca makalah ini. sekian dan terimakasih. 
Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.

Hormat Saya,


Ahmad Idham

Penulis

1

DAFTAR ISI
Kata Pengantar...........................................................................................................1
BAB I............................................................................................................................3
1.1. Latar Belakang Masalah........................................................................................3
1.2. Rumusan Masalah..................................................................................................4
1.3. Tujuan Penulisan....................................................................................................4
1.4. Manfaat Penulisan..................................................................................................4
1.5. Sistematika Penulisan............................................................................................5
BAB II .........................................................................................................................6
2.1 Kerangka Pemikiran................................................................................................6
BAB III ........................................................................................................................8
3.1. Pemahaman Syi’ah Tentang Negara dan Politik…………………………………..8
3.2. Implikasi Pemikiran Syi’ah di Indonesia…….......………………………….……10

3.3. Konflik Dan Konsensus Antar Umat Islam……………………………………....12
3.2. Biografi Ayatullah Ruhullah Al Musawi Khomeini…….......……………………13
BAB IV.........................................................................................................................17
Kesimpulan...................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................18

2
ii

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Sejak kemenangan kaum revolusioner Islam Syi’ah di Iran pada tahun 1979,
pengaruh ajaran dan pemikiran mazhab Syi’ah cukup besar dikalangan masyarakat
Indonesia. Hal ini antara lain bisa dilihat dari lahirnya buku-buku karya para pemikir
Syi’ah seperti Ali Syari’ati dan Murtadha Mutahhari maupun buku-buku yang mengkaji
mazhab Syi’ah. Kelompok-kelompok studi yang mengkhususkan diri pada kajian tentang
mazhab Syi’ah juga bermunculan di berbagai daerah di Indonesia. Di Bandung, Jawa
Barat berdiri Yayasan Mutahhari yang mengambil nama tokoh Syi’ah. Di Pekalongan,
Jawa Tengah terdapat pesantren Al-Hadi yang dipimpin Ahmad Baragbah, lulusan Qum,

Iran. Dia secara jelas mengakui, “ini pesantren Syi’ah satu-satunya di Pekalongan”.
Sementara itu, di Ujungpandang, Sulawesi Selatan sejak April 1994 berdiri Yayasan AlIslah, sebuah forum social yang secara khusus mendalami ajaran Syi’ah.1
Derasnya perkembangan ajaran Syi’ah, akan banyak menciptakan suatu
“ketegangan” di kalangan umat Islam Indonesia yang biasanya menganut mazhab Sunni.
Ketegangan ini dapat muncul terutama karena perbedaan mereka dalam memahami
imamah (kepemimpinan). Majelis Ulama Indonesia (MUI) ketika di bawah pimpinan K.H.
Sukri Ghazali pernah membuat rumusan yang cukup tegas mengenai perbedaan antara
Sunni dan Syi’ah. Salah satunya adalah Syi’ah pada umumnya tidak mengakui
kekhalifahan (empat pimpinan Islam pasca Nabi Muhammad) selain Ali bin Abi Thalib
yang sekaligus dianggap sebagai imam mereka. Sementara itu, Sunni mengakui otoritas
empat Khalifah (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi
Thalib). Dengan perumusan itu, MUI mengeluarkan fatwa bahwa Syi’ah tidak cocok
untuk masyarakat Islam Indonesia. Sementara itu, hubungan antara agama dan politik
akan muncul sebagai suatu permasalahan hanya pada bangsa-bangsa yang tidak homogen

1 A. Rahman Zainudin dan M. Hamdan Basyar, 2000, Syi”ah dan Politik di Indonesia : Sebuah Penelitian, 
Bandung : Mizan, cet­I, hlm 33

3


secara agama.2 Hal ini bisa diartikan dalam masyarakat yang homogen secara agama,
permasalahan politik dan agama tidak begitu diperbincangkan. Kehomogenan agama itu
sendiri akan menyebabkan pembicaraan masalah politik sudah termasuk dalam wacana
agama itu sendiri. Dan politik bukanlah suatu wacana yang terpisah dari agama.
Sehubungan dengan tema yang diangkat makalah ini tentang Politik Islam : Implikasi
Perkembangan Syi’ah Dalam Kehidupan Politik Umat Islam di Indonesia.  Makalah
ini   berusaha   membahas   pertanyaan­pertanyaan   sebagai   berikut:   Bagaimana   sebenarnya
perkembangan Syi’ah dalam kehidupan politik umat Islam di Indonesia? Dan benarkah
kehadiran Syi’ah merupakan suatu ancaman terhadap kemapanan politk mazhab Sunni di
Indonesia? Yang mana mayoritas masyarakat di Indonesia dalam berpolitik menggunakan
mazhab Sunni. Dan apakah kedua mazhab itu bisa hidup berdampingan secara damai di
Indonesia? Dan kontribusi apa yang Syi’ah berikan untuk Indonesia? Makalah ini akan
membahas pertanyaan­pertanyaan tersebut secara mendetail dan lebih mendalam.
1.2. Rumusan Masalah
1. Mengapa perbedaan mazhab di Indonesia bisa menyebabkan konflik dan konsesus
politik antar umat Islam di Indonesia?
1.3. Tujuan Pembahasan
1.

Untuk memahami apa saja permasalahan yang bisa menyebabkan konflik dan

konsesus dalam politik antar umat Islam di Indonesia.

1.4. Manfaat Penulisan
Pembaca diharapkan mendapat wawasan dan pengetahuan yang lebih ketika
membaca makalah yang berjudul Politik Islam : Implikasi Perkembangan Syi’ah
Dalam Kehidupan Politik Umat Islam di Indonesia dan tentang bagaimana dan apa saja
permasalahan serta konflik dan konsensus politik antar umat islam di Indonesia.

2 Roland Robertson, 1995, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta: Raja Grafindo 
Persada, Hlm 379

4

1.5. Sistematika Penulisan
BAB I
Berisikan tentang latar belakang masalah yang terdapat dalam Implikasi
Perkembangan Syi’ah Dalam Kehidupan Politik Umat Islam di Indonesia.  Beserta
rumusan masalah, tujuan pembahasan, manfaat penulisan, dan sistematika penulisan yang
akan dijelaskan secara rinci dan teratur.


BAB II
Berisikan kerangka pemikiran sebagai pembuka sebelum memasuki isi dari
makalah.
BAB III
Berisikan Isi / Pembahasan dari makalah ini yang membahas tentang Politik
Islam : Implikasi Perkembangan Syi’ah Dalam Kehidupan Politik Umat Islam di
Indonesia. 
BAB IV
Berisikan kesimpulan dari seluruh pembahasan yang ada dimakalah ini.

5

BAB II
2.1. Kerangka Pemikiran
Syi’ah   dilihat   dari   bahasa   berarti   pengikut,   pendukung,   partai,   atau   kelompok,
sedangkan   secara   terminologis   adalah   sebagian   kaum   muslimin   yang   dalam   bidang
spiritual dan keagamaannya selalu merujuk kepada keturunan Nabi Muhammad saw. atau
orang yang disebut sebagai ahl al­bait. Menurut Thabathbai, istilah Syi’ah untuk pertama
kalinya ditujukan pada para pengikut Ali (Syi’ah Ali), pemimpin pertama ahl al­bait pada
masa Nabi Muhammad Saw. para pengikut Ali yang disebut Syi’ah itu di anratanya adalah

Abu Dzar Al­Ghiffari, Miqadi bin Al­Aswad, dan Ammar bin Yasir.3 
Syi’ah   adalah   segolongan   dari   umat   Islam   yang   sangat   mencintai   Ali   bin   Abi
Thalib   dan   keturunannya   secara   berlebih­lebihan.   Golongan   syi’ah   berpendapat   bahwa
yang   paling   berhak   memangku   jabatan   khalifah   adalah   Ali   bin   Abi   Thalib   dan
keturunannya,  sebab   dialah   yang  diwasiatkan  oleh   Nabi  SAW   untuk  menjadi  khalifah
setelah beliau wafat.4 Dari sini Syi’ah dimaksudkan sebagai suatu golongan dalam Islam
yang   beranggapan   bahwa   Sayydina   Ali   bin   Abi   Thalib   ra.   adalah   orang   yang   berhak
sebagai   khalifah   pengganti   Nabi,   berdasarkan   wasiatnya.   Sedangkan   khalifah­khalifah
Abu   Bakar   as­Shiddiq,   Umar   bin   Khattab,   dan   Utsman   bin   Affan   adalah   penggasab
(perampas) kedudukan khalifah.5 
Mengenai   kemunculan   Syi’ah   dalam   sejarah,   terdapat   perbedaan   pendapat
dikalangan   para   ahli.   Menurut   Abu   Zahrah,   Syi’ah   mulai   muncul   pada   masa   akhir
pemerintahan   Usman   bin   Affan   kemudian   tumbuh   dan   berkembang   pada   masa
pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Adapun menurut Watt, Syi’ah baru benar­benar muncul
kertika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan Perang
Siffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang
ditawarkan   Mu’awiyah,   pasukan   Ali   diceritakan   terpecah   menjadi   dua,   satu   kelompok
3 Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, hlm. 89.
4 Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja 
Grafindo, 2002, hlm. 61.

5 Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), hlm. 72.

6

mendukung sikap Ali kelak disebut Syi’ah dan kelompok lain yang menolak sikap Ali,
kelak disebut Khawarij. 
Kalangan Syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan Syi’ah berkaitan dengan
masalah pengganti (khalifah) Nabi Muhammad Saw. mereka menolak kekhalifahan Abu
Bakar, Umar bin Khattab dan Usman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya
Ali bin Abi Thaliblah yang berhak menggantikan Nabi Muhammad Saw.6

6 Rosihon Anwar, Ibid., hlm. 90.
7

BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Pemahaman Syi’ah Tentang Negara dan Politik
Jika “politik” diartikan sebagai suatu bentuk “perjuangan” atau “perlawanan” aktif
dan real terhadap suatu tatanan yang dinilai tidak adil, maka agaknya benar klaim bahwa
Syi’ah “lebih politis” ketimbang Sunni. Syi’ah memang lahir karena factor politik dalam

arti   kekuasaan.   Yaitu,   menyangkut   masalah   siapa   yang   berhak   menggantikan   Nabi
Muhammad  Saw.  Sebagai   pemimpin  umat  Islan,  Syi’ah   yang  dimaksud   penulis  disini
adalah   Syi’ah   Imamiah,   karena   seperti   ditulis   oleh   Thabathaba’i,   mayoritas   penganut
Syi’ah yang menjadi sumber dari cabang­cabang Syi’ah, adalah Syi’ah Imam Dua Belas
yang disebut juga sebagai kaum imamiah.7
Sementara   negara   bagi   mazhab   Syi’ah   dilihat   dari   konsep  Wilayah   Al­Faqih.
Menurut   Ayatullah   Khomeini,   ada   keterkaitan   yang   erat   antara   agama   dan   politik.
Pemerintah sebagai penguasa Negara mestinya dimpimpin oleh para ulama. Negara Islam
akan menjamin keadilan social, demokrasi yang sebenarnya dan kemerdekaan yang murni
dari   imperialism.   Islam   dan   pemerintahan   Islam   adalah   fenomena   Ilahi   yang
penggunaannya menjamin kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat.8
Khomeini  menerangkan   gagasannya  ini   sebagaimana  tercantum  dalam  bukunya
yang   terkenal  Al­Hukumah   Al­Islamiyah  (Pemerintahan   Islam).   Buku   yang   merupakan
kumpulan pidatonya ini berisi empat tema pokok. Pertama, kritikan yang tajam terhadap
lembaga monarki. Hal ini mengingat betapa Ayatullah Khomeini menentang rezim Reza
Syah Pahlevi yang dapat dia tumbangkan. Kedua, negara Islam, yang didasarkan pada Al­
Quran dan dibentuk setelah umat Islam diperintah oleh Nabi pada abad ketujuh, bukanlah
merupakan suatu gagasan yang hanya bisa dicapai jauh di masa mendatang, tetapi sebagai
suatu   bentuk   pemerintahan   yang   praktis   dan   dapat   direalisasikan   pada   masa   sekarang
sampai   generasi   berikutnya.  Ketiga,  ulama   memegang   pernan   penting   dalam

7 Allamah M.H. Thabathaba’i, 1989, Islam Syi’ah, Jakarta: Grafiti, hlm. 88
8 Riza Silhbudi, 1996, Biografi Politik Imam Khomeini, Jakarta: Gramedia dan Ismes.
8

kepemimpinan umat Islam.  Keempat,  umat Islam harus berjuang melawan setiap bentuk
penindasan dan tirani.9
Al­Quran telah memuat  hukum Tuhan  yang dapat  mengatur seluruh kehidupan
manusia. Oleh karena itu, suatu tatanan social politik akan hancur bila masih mencari
hukum lain dan melaksanakan hukum buatan manusia yang lahir dari gagasan yang sempit
dan   menyesatkan.   Hukum   Tuhan   yang   telah   dicantumkan   dalam   Al­Quran   itu,   hanya
dapat  dilaksanakan  oleh  seorang  penguasa  yang  dipilih  oleh  para  mujtahid.  Dia  dapat
mengenal perintah Tuhan dan mengamalkan keadilan tanpa terpenjara oleh tekanan dan
ambisi   dunia.   Suatu   sistem   pemerintahan   yang   mengamalkan   hukum   Tuhan,   yang
mendapatkan pengawasan dari para ahli hukum agama (faqih), akan mengungguli semua
system pemerintahan yang tidak adil di dunia ini.10
Hukum   Islam   telah   menyediakan   suatu   tatanan   bagi   negara   dan   masyarakat.
Eksekutif   bertugas   melindungi   dan   mengawal   masyarakat.   Yudikatif   berfungsi
menerapkan hukum Islam tersebut. Sementara Legislatif tidak diperlukan karena hanya
Tuhan   yang   berwenang   membuat   undang­undang   dan   kaum   Muslim   pada   hakikatnya
sudah memiliki hukum Tuhan.11 

Menurut Khomeini, pemerintah Islam merupakan sesuatu yang mungkin terjadi
dan   penting.   Dia   mengutip   perkataan   imam   Ali   Ar­Ridha   :   “Bahwa   tidak   logis   kalau
Tuhan Yang Maha Tinggi dan Maha Bijaksana membiarkan rakyat­Nya, makhluk­Nya,
tanpa   mendapat   pentunjuk   ataupun   pelindung”.   Kebijakan   Tuhan   tidak   dapat   dibatasi
hanya   dalam   ruang   dan   waktu   tertentu   saja,   karena   itu   sejak   saat   ini   sampai   saat
mendatang sangatlah diperlukan seorang imam yang dapat melaksanakan hukum Islam. 12
Sifat Tuhan ini yang disebut sebagai Luthf (Kebaikan/Kehalusan Tuhan). Dengan sifat ini,
manusia   akan   dibimbing   oleh   Tuhan   dengan   “diturunkannya”   para   imam   dan  faqih.
Dan   pemerintahan   Islam   menurut   Syi’ah   haruslah   adil.   Dengan   demikian,
pemegang kekuasaan mestinya yang mempunyai pengetahuan yang luas mengenai syariat
yang   berlaku.   Para  faqih­lah   yang   mendapat   memenuhi   keriteria   ini,   karena   mereka
9 Khomeini, Al­Hukumah Al­Islamiyah, Teheran: Dar Kutub Islamiyyah.
10 Ibid, Hlm 132
11 John L. Esposito, 1991, Islam and Politics, Syracause: Syracause University Press, hlm 198
12 Riza Silhbudi, Op.Cit., hlm 133
9

mendalami hukum yang ada dalam ajaran Islam. Akan tetapi, menurut Khomeini, tidak
setiap  faqih  mempunyai   kualifikasi   sebagai   pemimpin.   Setidaknya   ada   8   (delapan)
persyaratan   yang   harus   dipenuhi   oleh   seorang  faqih  untuk   bisa   memimpin   sebuah
pemerintahan Islam. Yakni : Pertama, mempunyai pengetahuan yang luas tentang hukum
islam. Kedua, harus adil, dalam arti memiliki iman dan akhlak yang tinggi. Ketiga, dapat
dipercaya   dan   berbudi   luhur.  Keempat,  jenius.  Kelima,   memiliki   kemampuan
administratif.  Keenam,   bebas   dari   segala   pengaruh   asing.  Ketujuh,   mampu
mempertahankan   hak­hak   bangsa,   kemerdekaan   dan   integritas   territorial   tanah   islam,
sekalipun harus dibayar dengan nyawanya. Dan kedelapan, hidup sederhana.13
3.2. Implikasi Pemikiran Syi’ah di Indonesia
Perkembangan mazhab Syi’ah di Indonesia, di satu sisi merupakan suatu khazanah
dalam Islam, akan tetapi, di sisi lain, akan timbul suatu “kejutan” baik di bidang ideologi,
politik, dan budaya. Secara ideologi dan politik, konsep imamiah dan Wilayah Al­Faqih
yang dianut oleh Syi’ah, mendapatkan berbagai reaksi dari kalangan Islam Sunni yang
merupakan mayoritas muslim di Indonesia. Reaksi ini bergerak sepanjang garis kontinum
(along   the   continuum   line)   yang   memiliki   dua   kutub   ekstrem   (two   extreme   poles).
Penolakan total atas pandangan dan pemikiran Syi’ah, sebagaimana tercermin dari sikap
para pemakalah dalam seminar Syi’ah di Masjid Istiqlal, merupakan reaksi yang berada di
kutub ekstrem negatif. Mereka tidak hanya menentang keras dan menolak mentah­mentah
mazhab   Syi’ah,   tetapi   juga   menindaklanjuti   dengan   mengajukan   desakan   dan   tuntutan
pada pemerintah untuk secara tegas melarang Syi’ah di Indonesia dan menutup sejumlah
yayasan   Syi’ah   yang   tersebar   di   beberapa   kota   di   Indonesia.   Kelompok   ini   juga
menghendaki Pemerintah untuk mengontrol penyebaran buku­buku dan penerbitan Syi’ah
dan menyetop peredarannya.14
Mereka  yang dapat  menerima  ajaran  dan pandangan  Syi’ah  secara  keseluruhan
berada di kutub ekstrem positif. Sedang mereka yang berada diantara dua titik ekstrem ini
adalah   kelompok   moderat   yang   dapat   mentolerir   (perbedaan)   pandangan   Syi’ah   yang
spesifik, meskipun tidak berarti dapat menerima keseluruhan dari ajaran Syi’ah. Dengan
13 Ibid. hlm 136
14 A. Rahman Zainuddin, Op.Cit., hlm 117
10

kata lain, ada ajaran tertentu yang bisa diterima khususnya yang menyangkut peranan
Wilayah   Al­Faqih,  ada   pula   hal­hal   yang   tidak   dapat   diterima   sepenuhnya,   khususnya
yang menyangkut masalah­masalah fiqih. Misalnya kebiasaan Syi’ah dalam menentukan
waktu magrib, menggabungkan dua waktu shalat, dan meniadakan shalat jumat.15
Beberapa kalangan Sunni moderat mengakui ada sisi­sisi ajaran Syi’ah, khususnya
yang menyangkut figure dan peranan kepemimpinan ulama yang patut untuk diteladani.
Mereka mengakui bahwa Iran sangat berentung memiliki figure kepemimpinan semacam
Ayatullah Khomeini, yang mewarisi nilai spiritualitas tinggi utamanya dalam menentang
kezaliman, tirani, dan ketidakadilan. Tipe kepemimpinan ulama yang sangat militant yang
berhasil   mempelopori   revolusi   untuk   menggulingkan   tirani   dan   hagemoni   Syi’ah   Iran
tidak dimiliki oleh mayoritas Sunni di Arab Saudi maupun di Indonesia. Di Indonesia,
rezim Soeharto berhasil mempertahankan kekuasaan absolut selama puluhan tahun tanpa
ada seorang pun ulama yang mampu menentangnya secara terbuka.
Diakui,   khususnya   oleh   kalangan   Sunni   moderat,   konsep   kepemimpinan   yang
menempatkan ulama di atas umara sebagai pengontrol eksekutif merupakan sesuatu yang
ideal dalam pemerintahan. Bagi Sunni, model kepemimpinan ini menjadi wishful thinking
atau   utopia   yang   relatif   sulit   diterapkan   dalam   kehidupan   politik   Indonesia.   Hal   ini
diantaranya disebabkan oleh kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk yang diwarnai
dengan   latar   belakang   perbedaan   agama,   etnis,   budaya,   bahasa,   serta   kultur   setempat.
Meski umat Islam sendiri merupakan kelompok mayoritas, namun kondisi kultural mereka
amatlah beragam. Umumnya mereka masih memiliki sentiment primordial yang kuat yang
didasari oleh ikatan etnisitas dan kultur local yang amat beragam. Di samping itu, level
pemahaman dan penerapan ajaran Islam dari umat Islam Indonesia juga bervariasi. Ikatan
sentiment primordial sangat mempengaruhi terjadinya kesenjangan di antara Islam sebagai
suatu   konsep  doctrinal   (doctrinal   concept)  dan   Islam  sebagai   suatu  fenomena  kultural
(cultural phenomena). Budaya local sangat berpengaruh terhadap manifestasi pelaksanaan
syariat   Islam.   Di   beberapa   wilayah   tertentu   masih   banyak   terdapat   praktik­praktif
15 Syi’ah menentukan waktu magrib lebih lambat daripada Sunni, yakni ketika cahaya asar, antara magrib 
dan isya disebut waktu yang mustahak. Mereka melakukan shalat zuhur dan asar dengan jamak (gabungan); 
dengan demikian juga dengan shalat magrib dan isya. Shalat jamak ini tidak hanya dilakukan ketika 
berpergian, tetapi juga ketika mereka dirumah.

11

keagamaan   yang   berbaur   dengan   kebudayaan   setempat.   Fenomena   Islam   nominal
(abangan)16  dan Islam santri di Jawa17, Islam Wetu Telu dan Waktu Lima di Lombok,18
membuktikan   derajat   pemahaman   dan   penerapan   Islam   di   Indonesia   banyak   sekali
dipengaruhi   oleh   varian­varian   budaya   etnik   yang   bersifat   lokalistik   (local   cultural
variations).19
3.3. Konflik dan Konsesus Antar­Umat Islam (Sunni dan Syi’ah)
Sudah   menjadi   kelaziman,   bila   ada   perbedaan   dalam   suatu   komunitas,   sekecil
apapun perbedaan itu, akan timbul suatu gesekan kepentingan. Gesekan bila menjurus
pada kebaikan, maka akan timbul consensus antara berbagai pihak yang terlibat. Dan ini
akan menghasilkan suatu kekuatan baru yang jauh lebih besar dan kuat. Sebaliknya, bila
gesekan menjurus pada keburukan, maka akan timbul suatu konflik yang biasanya akan
merugikan kedua belah pihak.
Umat Islam Indonesia yang terdiri atas berbagai komunitas membutuhkan suatu
consensus bila ingin menuju pada kebaikan bersama. Umat Islam Indonesia sebagian besar
mengaku menganut apa yang dinamakan  Ahl Al­Sunnah wa Al­Jama’ah  (Islam Sunni).
Diantara mereka, ada berbagai kelompok yang secara ritual kadang berbeda. Kelompok
besar Islam Sunni Indonesia adalah Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Selain
kedua kelompok itu, ada Persatuan Islam (Persis), Persatuan Tarbiyyah Islamiyah (Perti),
Syarikat Islam, Al­Irsyad Al­ Islamiyah, Ittihadul Muballighin dan beberapa yang lain.20
Pada masa awal terjadinya perbedaan
kelompok di atas, muncul berbagai friksi di antara mereka. Perbedaan yang sebenarnya
bersifat  furu’  (bagian   dari   ibadah)   ini   telah   menyita   kelompok­kelompok   itu.   Bahkan
saling   kecam   di   antara   mereka.   Kini,   mereka   tidak   mempersoalkan   perbedaan   yang
bersifat  furu’  tersebut. Menurut mereka, masih banyak hal­hal yang lebih penting untuk
16 Sinkretisme (religious syncreticism) merupakan istilah yang dilontarkan Greertz (1960) untuk 
menggambarkan budaya agama kelompok Islam abangan Jawa yang membaurkan kepercayaan animism, 
Hindu­Buddhisme, dan Islam.
17 Clifford Geertz, 1960, The Religion of Java, New York : Free Press
18 Sven Cederroth, 1981, The Spell of The Ancestors and The Power of Mekkah: A Sasak Community on 
Lombok, Sweden: Acta Universitatis Goyhoburgenesis.
19 A. Rahman Zainuddin, Op.Cit., hlm 118
20 Ibid., Hlm 109­110

12

dipikirkan,  ketimbang  mengurusi  perbedaan­perbedaan  “kecil”.  Dengan lain  perkataan,
mereka mengadakan consensus untuk berkiprah demi kemajuan umat Islam di Indonesia.
Pasca­Revolusi Islam Iran pada tahun 1979,
aliran Syi’ah merebak ke seluruh dunia, tidak terkecuali ke Indonesia. 21 Kedatangan aliran
“baru” ini menimbulkan polarisasi baru di kalangan umat Islam. Penganut Sunni, ada yang
menerima   kedatangan   aliran   ini   dan   bahkan   menjadi   penganut   dan   penganjur   aliran
Syi’ah. Ada yang bersikap kagum dan simpati, tetapi masih menganut mazhab Sunni, ada
pula yang menentang dengan keras kedatangan aliran Syi’ah. Berbagai sikap ini tentunya
akan menimbulkan konsekuensi tersendiri bagi adanya suatu consensus atau konflik.
Penganut   Sunni   kelompok   pertama   jelas   tidak   bermasalah   bagi
penganut Syi’ah, karena mereka telah mengganti mazhab dan bahkan menjadi penganjur
aliran   Syi’ah.   Kelompok   Sunni   kedua   juga   tidak   begitu   bermasalah   dengan   Syi’ah.
Mereka   cukup   toleran   dalam   menyikapi   ajaran   Syi’ah   dan   bahkan   dalam   beberapa
kesempatan “membela” kepentingan Syi’ah. Sementara itu, Sunni kelompok ketiga yang
disebut   juga   sebagai   “ekstrem”   akan   selalu   bertolak   belakang   dengan   ajaran   Syi’ah.
Mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk membentengi beredarnya ajaran Syi’ah dengan
lebih luas.

Sikap   “keras”   yang   diperlihatkan   oleh   sebagian   penganut   Islam

Sunni di Indonesia ternyata tidak disepakati oleh sebagian Sunni yang lain. Dr. Said Agil
Siradj   misalnya,   dengan   “gigih”   menentang   kelompok   Sunni   yang   memusuhi   Syi’ah.
Sudah tentu pembelaan terhadap ajaran Syi’ah akan dilakukan oleh penganut Sunni yang
sudah “mengagumi” Syi’ah. Dr. Jalaludin Rakhmat, misalnya, merasa yakin pemerintah
Indonesia tidak akan melarang Syi’ah berkembang di Indonesia. Malah, dia mengadakan
serangan   balik   dengan   mengharapkan   pemerintah   akan   meneliti   orang­orang   yang
meminta agar Syi’ah dilarang. Hal ini, menurutnya, karena mereka telah membuat resah
dan memperuncing konflik Sunni dan Syi’ah di Indonesia.22
3.4. Biografi Ayatullah Ruhullah Al Musawi Khomeini (Imam Besar Syi’ah)

21 John L. Esposito, 1990, The Iranian Revolution: It’s Global Impact, Miami: Florida International 
University Press. 
22 Harian Terbit, 6 november 1997

13

Ruhullah   Musawi   Khomeini   lahir   pada   tanggal   20   Jumadis­Tsani   1320   H   (24
September 1902) di kota Khomein, provinsi Markazi, Iran tengah. Ia terlahir di tengah
keluarga agamis, ahli ilmu, dan pejuang, keluarga terhormat yang masih menyimpan darah
keturunan Sayidah Fatimah Az­Zahra as, putri Rasulullah saw. Ruhullah adalah pribadi
agung   yang   menjadi   pewaris   kemuliaan   para   bapak   dan   pamannya   yang   selalu
mengabdikan   diri   untuk   membimbing   umat   dan   menuntut   makrifat   ilahi   dari   suatu
generasi ke generasi lainnya. Ayah Imam Khomeini adalah Al­Marhum Ayatollah Sayid
Mostafa Musawi. Beliau hidup sezaman dengan Al­Marhum Ayatollah Al­Udzma Mirza
Eshirazi. Setelah bertahun­tahun menuntut ilmu agama di kota suci Najaf dan berhasil
meraih gelar mujtahid, Ayatollah Sayid Mostafa Musavi kembali ke Iran dan menetap di
Khomein.   Di   kota   kecil   inilah   beliau   mendermakan   umurnya   untuk   mengabdi   kepada
masyarakat dan menjadi pembimbing mereka dalam urusan agama.
Tak lama setelah kepindahan Ayatollah Al­Udzma Haj Syeikh Abdul Karim Hairi
Yazdi, ke Qom pada Rajab 1340 H (Sekitar bulan Maret 1921), Imam Khomeini pun
akhirnya   turut   hijrah   ke   Hauzah   Ilmiah   Qom   dan   dengan   segera   ia   menyelesaikan
pendidikan tingkat akhirnya di sana. Imam Khomeini mempelajari bagian akhir kitab Al­
Muthawwal   di   bidang   ilmu   ma’ani   dan   bayan   (sastra   Arab) di   bawah   bimbinganAgha
Mirza   Muhammad   Ali   Adib   Tehrani.   Sebagian   besar   pelajaran   tingkat   menengah
hauzahnya   ia   tamatkan   di   bawah   asuhan Ayatollah   Sayid   Ali   Yatsribi   Kashani,   dan
jugaAyatollah Sayid Muhammad Taqi Khounsari. Sementara pelajaran Fiqih dan Ushul
Fiqih   beliau   pelajari   dari Ayatollah   Al­Udzma   Haj   Syeikh   Abdul   Karim   Hairi   Yazdi,
pendiri Hauzah Ilmiah Qom. Setelah wafatnya Ayatollah Hairi Yazdi, berkat upaya Imam
Khomeini   dan   para   ulama   besar   Hauzah   Ilmiah   Qom   lainnya,   Ayatollah   Al­Udzma
Boroujerdi   akhirnya   dikukuhkan   sebagai   pengasuh   Hauzah   Ilmiah   Qom.   Di   masa   itu,
Imam Khomeini terpilih sebagai salah satu pengajar Hauzah dan dikenal sebagai mujtahid
di bidang Fiqih, Ushul Fiqih, Filsafat, Irfan, dan Akhlak. Selama bertahun­tahun menjadi
pengajar   di   Hauzah,   Imam   Khomeini   mengajar   di   madrasah   Faiziyah,   masjid   A’zam,
masjid Muhammadiyah, madrasah Haj Molla Shadiq, masjid Salmasi dan beberapa tempat
lainnya.Sementara itu, selama 14 tahun di Hauzah Ilmiah Najaf, Irak, Imam Khomeini
mengajar ilmu­ilmu Ahlul Bait as dan fiqih pada peringkat tertinggi Hauzah, di masjid

14

Syeikh   A’zam   Ansari.   Di   kota   Najaf   inilah,   Imam   Khomeini   untuk   pertama   kalinya
mengungkapkan   dasar­dasar   teori   pemerintahan   Islam   dalam   rangkaian   pelajaran
wilayatul­faqihnya.
Paruh kedua tahun 1350 (menjelang akhir tahun 1971), perselisihan antara rezim
Ba’ast Irak dan Syah Iran makin memanas. Perselisihan itu diikuti dengan diusirnya warga
Iran yang bermukim di Irak. Dalam telegramnya kepada Presiden Irak di masa itu, Imam
Khomeini mengecam keras aksi pengusiran tersebut. Dalam situasi semacam itu, Imam
Khomeini bertekad untuk  segera keluar  dari Irak.  Namun pemerintah  Baghad tanggap
dengan dampak dari keluarnya Imam Khomeini dari Irak sehingga Imam pun dilarang
meninggalkan Irak. Pada tahun 1354 HS (Juni 1975) bersamaan dengan peringatan hari
Kebangkitan 15 Khordad, madrasah Faiziyah kembali menjadi pentas kebangkitan para
santri   revolusioner   Iran.   Yel­yel   ‘Hidup   Khomeini   dan   matilah   dinasti   Pahlevi’   terus
membahana   selama   dua   hari   berturut­turut.   Padahal,   sebelum   peristiwa   ini,   banyak
organisasai­organisasi perjuangan rakyat yang telah dilumpuhkan, para tokoh keagamaan
dan politik yang aktif berjuang ramai yang dijebloskan ke penjara. Di sisi lain, Syah terus
melanjutkan politik anti­Islamnya. Kebijakan anti­Islamnya itu ditandai dengan diubahnya
dasar kalender nasional Iran pada bulan Esfand 1354 HS (Maret 1976). Selama ini, dasar
kalender nasional Iran dihitung sejak dimulainya hijrah Nabi Muhammad saw. Namun
dasar tersebut diubah oleh Syah dengan menetapkan masa dimulainya kekuasaan dinasti
Achemanid   sebagai   dasar   perhitungan   kalender   nasional   Iran.   Mereaksi   hal   itu,   Imam
Khomeini mengeluarkan fatwa yang mengharamkan penggunaan kalender nasional Iran
versi Syah. Rakyat Iran pun mendukung penuh fatwa Imam Khomeini tersebut, mereka
juga turut mendukung diboikotnya Partai Rastakhiz (Kebangkitan). Kedua masalah ini
merupakan pukulan berat bagi rezim Syah hingga akhirnya pada tahun 1357 (1978), Syah
terpaksa   melangkah   mundur   dan   membatalkan   penggunaan   kalender   nasional   versi
pemerintah.
Dengan begitu teliti dan cermat, Imam Khomeini terus memantau perkembangan
terbaru   di   Iran   maupun   dunia   internasional.   Beliau   juga   amat   tanggap   dalam
memanfaatkan secara maksimal kesempatan yang muncul. Imam Khomeini pada bulan
Mordad 1356 HS (Agustus 1977) dalam pesan tertulisnya menyatakan, “Kini, lewat situasi

15

dalam dan luar negeri yang ada, serta dengan terungkapnya kejahatan rezim Syah di mata
publik dan media asing merupakan kesempatan bagi kalangan ilmuan, budayawan, tokoh
nasionalis, mahasiswa dalam dan luar negeri, dan organisasi­organisasi Islam di mana pun
berada   untuk   tanggap   memanfaatkan   peluang   yang   ada   dan   bangkit   secara   terbuka.”
Gugur syahidnya, putra Imam Khomeini, Ayatollah Haj Agha Mostafa Khomeini, pada
awal bulan Aban 1356 HS (23 Oktober 1977) merupakan titik tolak gerakan kebangkitan
kembali   komunitas   Hauzah   dan   masyarakat   muslim   Iran.   Imam   Khomeini   bahkan
menyebut   peristiwa   itu   sebagai   anugrah   tersembunyi   ilahi.   Sementara   itu   rezim   Syah
membalas aksi Imam Khomeini dengan melansir sebuah artikel di koran Ettela’at . Artikel
ini berisi hinaan terhadap Imam Khomeini. Protes luas rakyat Iran terhadap artikel tersebut
berujung dengan melutusnya peristiwa Kebangkitan 19 Dey 1356 HS (9 Januari 1978) di
Qom. Dalam peristiwa tersebut, sejumlah santri pendukung revolusi gugur syahid akibat
tindak represif pihak keamanan. Meski Syah melancarkan aksi pembantaian massal untuk
melumpuhkan gejolak kebangkitan rakyat, namun ia tetap gagal memadamkannya.
Awal bulan Bahman 1357 HS (akhir Januari 1979), kabar tentang keputusan Imam
Khomeini untuk kembali ke tanah airnya tersebar luas. Bagi rakyat Iran, kabar tersebut
merupakan   berita   gembira   yang   paling   dinanti­nantikan.   Sekitar   14   tahun   rakyat   Iran
merindukan   kembalinya   Imam   Khomeini   ke   negerinya.   Meski   demikian,   mereka   juga
amat mengkhawatirkan keselamatan jiwa pemimpin revolusi itu. Sebab hingga saat itu,
pemerintah buatan Syah masih bercokol dan Iran berada di bawah kendali militer. Kendati
situasi di Iran masih begitu kritis dan berbahaya, namun Imam Khomeini bertekad untuk
kembali ke tanah airnya. Dalam pesannya kepada rakyat Iran, beliau menyatakan bahwa
dirinya ingin bersama rakyat di saat­saat yang paling menentukan dan kritis. PM Bakhtiar
bersama pihak militer menutup seluruh bandar udara negara untuk penerbangan asing.
Namun  setelah  beberapa  hari, pemerintah  Bakhtiar tak  sanggup bertahan  dan terpaksa
memenuhi desakan rakyat. Akhirnya pagi 12 Bahman 1357 (1 Februari 1979) setelah 14
tahun hidup di pengasingan, Imam Khomeini kembali ke tanah air tercintannya. Rakyat
Iran menyambut kedatangan Imam Khomeini secara besar­besaran dan penuh suka cita.23
23 Biografi Singkat Ayatullah Ruhullah Al Musawi Khomeini dalam http://www.darut­
taqrib.org/berita/2012/06/27/biografi­singkat­ayatullah­ruhullah­al­musawi­khomeini­imam­khomeini­ra/ 
diakses pada tanggal 23 juni 2015

16

BAB IV
KESIMPULAN
Perkembangan   Syi’ah   di   Indonesia   tidak   dapat   dilepaskan   dari   kesuksesan
Revolusi   Islam   Iran   pada   tahun   1979.   Ada   beberapa   indikasi   yang   menunjukan   hal
tersebut.  Pertama,  tidak   lama   setelah   revolusi   Iran,   beberapa   kalangan   mengirimkan
pemuda untuk belajar di Qum, Iran. Sekembalinya dari Iran, beberapa di antara mereka
mendirikan   lembaga   pendidikan   yang   bernafaskan   ajaran   Syi’ah.  Kedua,  lembaga
pendidikan yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia ini mempunyai hubungan yang
cukup erat. Lembaga ini kemudian mencetak kader­kader Syi’ah baru. Beberapa kader ini
dikirim ke Iran untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang Syi’ah. Sekembalinya
mereka   dari   Iran,   Syi’ah   generasi   baru   ini   kemudian   mengembangkan   pahamnya   di
lingkungan baru. Keadaan ini berputar terus secara lebih luas dan Syi’ah pun berkembang.
Banyaknya dukungan kalangan muda Muslim di Indonesia pada mazhab Syi’ah
menimbulkan   keresahan   di   kalangan   lain.   Potensi   konflik   antar   kelompok   ini   mulai
terlihat. Contohnya seperti Seminar “Anti Syi’ah” adalah salah satu bukti nyata adanya
potensi konflik itu. Kelompok itu secara terbuka menuntut Syi’ah untuk dilarang keras di
Indonesia.   Tentunya,   bila   ada   perlawanan   keras   dari   kelompok   Syi’ah,   maka   akan
terjadinya gesekan serta konflik yang akan merepotkan berbagai pihak. 
Agar umat Islam tidak terjebak pada perdebatan berbau perseteruan hal yang perlu
dikembangkan   dalam   menyikapi   eksisteni   Sunni   –   Syi’ah   ini   adalah   pentingnya   umat
Islam memiliki ulama­ulama yang ahli studi aliran dan akidah Sunni – Syi’ah, baik yang
klasik   maupun   kontemporer.   Alasanya   jelas,   bahwa   akibat   tidak   adanya   ulama   yang
mumpuni atas dua paham Islam yang terjadi di Indonesia ini telah menyebabkan ulama
menjauhi masalah Syi’ah, atau sebaliknya.

17

Menurut pendapat penulis pribadi, Sunni dan Syi’ah, adalah khazanah peradaban
Islam. Keduanya memiliki kontribusi dan memiliki keunggulan. Perbedaan antara mazhab
Sunni   dan   Syi’ah   tidak   menyebabkan   masing­masing   orang   yang   memeluk   salah   satu
mazhab tersebut keluar dari Islam. Mazhab sekadar pemahaman dan pilihan dalam upaya
menjadi   orang   Islam   yang   sejati.   Agama   Islam   melalui   Rasulullah   Saw   mengajarkan
bahwa perbedaan merupakan anugerah dan sesama umat Islam bersaudara sehingga yang
terpenting ukhuwah (persaudaraan) dan tasamuh (toleransi).

DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
1. Anwar, Rosihon dan Rozak, Abdul, Ilmu Kalam.
2. Cederroth, Sven, 1981, The Spell of The Ancestors and The Power of Mekkah: A Sasak
Community on Lombok, Sweden: Acta Universitatis Goyhoburgenesis.
3. Esposito, John L., 1990, The Iranian Revolution: It’s Global Impact, Miami: Florida
International University Press.
4. Esposito, John L., 1991, Islam and Politics, Syracause: Syracause University Press.
5. Geertz, Clifford, 1960, The Religion of Java, New York : Free Press.
6. Khallaf, Abdul Wahab, 2002, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam,
Jakarta: PT. Raja Grafindo.
7. Khomeini, Al­Hukumah Al­Islamiyah, Teheran: Dar Kutub Islamiyyah.
8. Nasir, Salihun A., Pemikiran Kalam (Teologi Islam).
9. Robertson, Roland,1995, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
10. Silhbudi, Riza, 1996, Biografi Politik Imam Khomeini, Jakarta: Gramedia dan Ismes.
11. Thabathaba’i, Allamah M.H., 1989, Islam Syi’ah, Jakarta: Grafiti.
12. Zainudin, A Rahman dan Basyar, M. Hamdan, 2000, Syi’ah dan Politik di Indonesia :
Sebuah Penelitian, Bandung : Mizan, cet-I.

18

ARTIKEL DAN JURNAL :
1. Harian Terbit, 6 november 1997.

WEBSITE :
1. Biografi Singkat Ayatullah Ruhullah Al Musawi Khomeini dalam http://www.darut­
taqrib.org/berita/2012/06/27/biografi­singkat­ayatullah­ruhullah­al­musawi­khomeini­
imam­khomeini­ra/ diakses pada tanggal 23 juni 2015.

19