Catatan Fisika Matematika I

KATA PENGANTAR

Berbagai fenomena alam menunjukkan pola keteraturan. Fisika diamanahkan sebagai cabang pengetahuan untuk menjabarkan keteraturan tersebut. Menggunakan alat matematis, fenomena- fenomena tersebut diformulasikan sedemikian rupa agar terstruktur untuk dipahami. Hasil kajian para fisikawan inilah kemudian yang menurun kepada bidang-bidang lain untuk ditelaah lebih lanjut kajian teknisnya.

Buku ini merupakan kumpulan catatan kuliah saat mengikuti perkuliahan Fisika Matematika II di program studi Fisika, Universitas Hasanuddin, ditambah dengan hasil telaah otodidak penulis. Terinspirasi dari hadits Rasulullah, β€œIkatlah ilmu dengan menuliskannya”, saya memulai sedikit demi sedikit menuliskan risalah ini. Setelah beberapa bulan, buku ini akhirnya bisa saya rampungkan meskipun masih jauh dari kata sempurna untuk menjelaskan luasnya samudera Fisika Matematika.

Kepada dosen-dosen pengajar; Prof. Wira Bahari Nurdin, Bannu, M.Si., dan Dr. Tasrief Surungan, serta teman-teman sekelas pada mata kuliah Fisika Matematika semester genap 2015, saya mengucapkan banyak terimakasih atas berbagai inspirasi saat perkuliahan.

Bagi teman-teman, para pembaca sekalian, saran dan feedback selalu dinanti di muhammadfauzim@gmail.com.

Makassar, Januari 2016 Muhammad Fauzi Mustamin

1. FUNGSI KHUSUS

1.1 Fungsi Gamma

Fungsi gamma merupakan fungsi spesial yang sering muncul dalam pembahasan suatu fenomena fisis. Fungsi ini muncul disetiap ekspansi Taylor. Pada pelajaran lebih lanjut, fungsi gamma sering ditemukan dengan argument setengah bilangan bulat dan dibutuhkan untuk nilai non-integral secara umum dalam banyak ekspansi, seperti fungsi Bessel untuk urutan bukan bilangan bulat.

Fungsi gamma tidak selalu mendeskripsikan sebuah kuantitas fisis, namun muncul sebagai faktor dalam ekspansi dari kuantitas fisis yang relevan.

Fungsi gamma memiliki beberapa definisi dalam penggunaannya. Definisi pertama muncul setelah didefinisikan oleh Euler :

Ξ“(𝑧) ≑ lim 𝑧 , 𝑧 β‰  0, βˆ’1, βˆ’2, … (𝟏. 𝟏)

π‘›β†’βˆž 𝑧(𝑧 + 1)(𝑧 + 2) βˆ™ βˆ™ βˆ™ (𝑧 + 𝑛) 𝑛 Dengan melakukan subtitusi 𝑧 = 𝑧 + 1, didapatkan hubungan :

Dari definisi juga dapat dilihat bahwa :

Sehingga membentuk pola

Definisi kedua yang sering disebut integral Euler didefinisikan sebagai :

βˆ’π‘‘ Ξ“(𝑧) = ∫ 𝑒 π‘§βˆ’1 𝑑 𝑑𝑑, Re(𝑧) > 0 (𝟏. πŸ’)

Perlu diperhatikan bahwa nilai real dari 𝑧 haruslah konvergen. Saat fungsi gamma muncul dalam masalah fisis, sering dijumpai dalam beberapa variasi seperti :

βˆ’π‘‘ 2 Ξ“(𝑧) = 2 ∫ 𝑒 2π‘§βˆ’1 𝑑 𝑑𝑑, Re(𝑧) > 0 (𝟏. πŸ“)

yang dapat dibuktikan dengan melakukan subtitusi 𝑑=𝑑 2 pada persamaan (𝟏. πŸ’). Persamaan (𝟏. 𝟏) dan (𝟏. πŸ’) dapat dibuktikan dengan memperhatikan fungsi dua variabel :

𝑑 𝑛 𝐹(𝑧, 𝑛) = ∫ (1 βˆ’ π‘§βˆ’1 𝑑 𝑑𝑑, Re(𝑧) > 0 (𝟏. πŸ”) 𝑛)

Dengan 𝑛 adalah bilangan bulat positif. Fungsi tersebut dipilih karena eksponensialnya memiliki definisi :

Fungsi pada persamaan (𝟏. πŸ”) dapat dilihat memenuhi persamaan (𝟏. πŸ’) :

βˆ’π‘‘ lim π‘§βˆ’1 𝐹(𝑧, 𝑛) = 𝐹(𝑧, ∞) = ∫ 𝑒 𝑑 𝑑𝑑 = Ξ“(𝑧) (𝟏. πŸ•)

Sementara dengan melakukan subtitusi = 𝑑/𝑛 :

Persamaan (𝟏. 𝟏) didapatkan dengan integral parsial :

Dengan melakukan sebanyak 𝑛 kali, integral parsialnya diabaikan, kita dapatkan :

yang merupakan persamaan (𝟏. 𝟏) :

lim 𝐹(𝑧, 𝑛) = 𝐹(𝑧, ∞) ≑ Ξ“(𝑧)

1.2 Hubungan Fungsional Salah satu hubungan relasi yang memenuhi persamaan fungsi gamma adalah persamaan pantulan

(reflection formula) :

Ξ“(𝑧)Ξ“(1 βˆ’ z) =

sin π‘§πœ‹ (𝟏. πŸ–)

Salah satu cara untuk membuktikannya adalah dengan memulai dengan produk dari integral Euler :

Yang didapat dari subtitusi 𝑒 = 𝑠 + 𝑑 dan 𝑣 = 𝑠/𝑑. Kita juga membutuhkan Jacobian dari transformasi ini :

Integrasi terhadap 𝑒 menjadi sama dengan 1! sementara integrasi terhadap 𝑣 didapatkan dengan metode integrasi-kontur :

Dengan mengganti Ξ“(𝑧 + 1) menjadi 𝑧Γ(𝑧) dan didapatkan persamaan (𝟏. πŸ—). Kasus spesial didapatkan untuk 𝑧 = 1/2, dimana (mengambil akar kuadrat positif)

1.3 Fungsi Beta

Haasil dari fungsi gmma dapat diidentifikasi sebagai penjabaran dari integral yang mengandung unsur fungsi sin dan cos. Integral tersebut dapat lebih lanjut dimanipulasi untuk mengevaluasi sebuah angka yang besar dari integral. Hal tersebut menjadi dasar pendefinisian fungsi beta.

Secara umum fungsi beta dalam bentuk integral memiliki formasi :

yang konvergen untuk π‘š > 0, 𝑛 > 0, dengan π‘š dan 𝑛 adalah bilangan real. Hal yang menarik jika melakukan subtitusi π‘₯ = 1 βˆ’ 𝑦. Subtitusi tersebut memberikan sifat simetri antara 𝐡(π‘š, 𝑛) = 𝐡(𝑛, π‘š).

Hubungan fungsi beta dan fungsi gamma dapat dijabarkan dengan melakukan perkalian dua fungsi gamma dalam bentuk (𝟏. πŸ“) :

dengan mengubahnya dalam kordinat polar (π‘Ÿ, πœƒ), 𝑠 = π‘Ÿ sin πœƒ, 𝑑 = π‘Ÿ cos πœƒ :

Ξ“(π‘š)Ξ“(𝑛) = 4 ∫ ∫ 𝑒 2π‘›βˆ’1 sin πœƒ cos πœƒπ‘Ÿ π‘Ÿ π‘Ÿ π‘‘π‘Ÿ π‘‘πœƒ

= 4 ∫ sin 2π‘šβˆ’1 πœƒ cos 2π‘›βˆ’1 πœƒ π‘‘πœƒ βˆ«π‘’ βˆ’π‘Ÿ 2 π‘Ÿ 2(π‘š+𝑛)βˆ’1 π‘‘π‘Ÿ

= 2 ∫ sin 2π‘›βˆ’1 πœƒ cos πœƒ π‘‘πœƒ Ξ“(π‘š + 𝑛)

Untuk bentuk integral cos dan sin, dengan subtitusi 2𝑛 βˆ’ 1 = 2(𝑛 βˆ’ 1) + 1 (demikian juga dengan bagian π‘š) dapat dijabarkan :

2 ∫ sin 2(π‘šβˆ’1)+1 πœƒ cos 2(π‘›βˆ’1)+1 πœƒ π‘‘πœƒ = ∫ sin 2(π‘šβˆ’1) πœƒ cos 2(π‘›βˆ’1) πœƒ 2 cos πœƒ sin πœƒ π‘‘πœƒ

Fungsi beta didapatkan dengan kembali melakukan subtitusi

= sin 2 πœƒ:

∫ sin 2(π‘šβˆ’1)

πœƒ cos (π‘›βˆ’1) πœƒ 2 cos πœƒ sin πœƒ π‘‘πœƒ =∫x (1 βˆ’ π‘₯) 𝑑π‘₯ = 𝐡(π‘š, 𝑛)

Sehingga hubungan antara fungsi gamma dan fungsi beta :

1.4 Formula Stirling Sebuah persamaan yang mengandung 𝑛! Ataupun Ξ“(𝑝) tidak dapat secara sederhana

didiferensialkan. Disini kita menggunakan pendekatan untuk fungsi faktorial atau fungsi Ξ“ yang disebut persamaan Stirling.

Persamaan ini didapatkan dengan fungsi gamma :

Ξ“(𝑧 + 1) = 𝑧! = ∫ 𝑑 𝑧 ln π‘‘βˆ’π‘‘ 𝑒 𝑑𝑑 = ∫ 𝑒 𝑑𝑑 (𝟏. πŸπŸ‘)

Dengan melakukan subtitusi 𝑑 = 𝑧 + π‘¦βˆšπ‘§, 𝑑𝑑 = βˆšπ‘§ 𝑑𝑦 :

𝑧! = ∫ 𝑒 𝑧 ln(𝑧+π‘¦βˆšπ‘§)βˆ’(𝑧+π‘¦βˆšπ‘§) βˆšπ‘§π‘‘π‘¦

Untuk 𝑧 dengan nilai besar, bentuk logaritma dapat diekspansi menurut deret pangkat :

ln(𝑧 + π‘¦βˆšπ‘§) = ln 𝑧 + ln(1 + ) = ln 𝑧 +

Sehingga didapatkan :

Untuk integral pertama didapatkan √2πœ‹. Untuk integral kedua bernilai nol untuk 𝑝 β†’ ∞, dan kita dapatkan formula Stirling :

Adapun untuk ekspansi asymtot Ξ“(𝑧 + 1) didapatkan :

+ β‹― ) (𝟏. πŸπŸ“) Bagian pertama yang merupakan formula Stirling merupakan pendekatan yang baik digunakan

untuk 𝑧 bernilai besar dan bagian keduanya dapat digunakan untuk memperkirakan kesalahan relatif fungsi tersebut.

Bentuk yang sering dijumpai dalam formula Stirling adalah nilai ln 𝑧! dengan nilai 𝑧 besar. Pada kasus ini, formula Stirling memberikan hubungan :

ln 𝑧! = ln(𝑧 𝑧 𝑒 βˆ’π‘§

√2πœ‹π‘§) = ln 𝑧 𝑧 + ln 𝑒 βˆ’π‘§ + ln √2πœ‹π‘§

= 𝑧 ln 𝑧 βˆ’ 𝑧 + ln √2πœ‹π‘§

Karena nilai 𝑧 besar, bagian ln √2πœ‹π‘§ dapat diabaikan sehingga didapatkan persamaan umum :

ln 𝑧! = 𝑧 ln 𝑧 βˆ’ 𝑧 (𝟏. πŸπŸ”)

2. PERSAMAAN DIFERENSIAL LANJUT

2.1 Persamaan Diferensial Legendre

Persamaan diferensial Legendre memiliki bentuk umum :

𝑙 adalah konstanta. Titik singularnya π‘₯ = βˆ’1,1, ∞. Pada penggunaan normalnya, variabel π‘₯ biasanya berbentuk kosinus dari sudut kordinat bola yang implikasinya βˆ’1 ≀ π‘₯ ≀ 1. Solusi dari

persamaan diferensial ini disebut fungsi Legendre. Solusi umumnya didapatkan dengan menggunakan konsep ekspansi deret

𝑦 = βˆ‘π‘Ž 𝑛 𝑛 π‘₯ . Substitusikan untuk nilai β€²β€² β€² 𝑦 ,𝑦 , dan 𝑦 pada persamaan (𝟐. 𝟏) didapatkan :

Melakukan simplifikasi :

Sehingga didapat hubungan rekursif :

(𝑛 + 1)(𝑛 + 2) Nilai 𝑛 = 0,1,2, …. Jika π‘Ž 0 = 1 dan π‘Ž 1 = 0 solusi pertama didapat :

Serta jika π‘Ž 0 = 0 fsn π‘Ž 1 = 1 solusi kedua didapat :

Persamaan tersebut konvergen unutuk |π‘₯| < 1 sehingga radius konvergensinya bersatu. Karena kedua persamaan tersebut bebas secara linear satu sama lain, solusi umum dari persamaan (𝟐. 𝟏) diperoleh :

Dalam banyak aplikasi fisis, parameter 𝑙 pada persamaan Legendre adalah bilangan bulat 𝑙 = 0,1,2, …. Berdampak pada hubungan rekursif :

Membuat deretnya terhenti dan didapatkan solusi polynomial dengan orde 𝑙. Secara terpisah, saat 𝑙 genap, 𝑦 1 (π‘₯) tereduksi menjadi sebuah polynomial sementara saat 𝑙 ganjil, 𝑦 2 (π‘₯) yang menjadi

polynomial. Solusi ini disebut polynomial Legendre berorde 𝑙. Beberapa polynomial Legendre awal :

Gambar 2.1 Empat polynomial Legendre awal

2.1.1 Sifat-sifat Polynomial Legendre

Formula Rodrigues merupakan suatu bentuk umum untuk mendefinisikan suatu polynomial. Untuk polynomial Legendre, formula Rodrigues nya adalah :

Hal ini dapat dibuktikan dengan memisalkan

𝑒 = (π‘₯ π‘™βˆ’1 βˆ’ 1) , sehingga β€² 2 𝑒 = 2𝑙π‘₯(π‘₯ βˆ’ 1) dan

Dengan diferensiasi 𝑙 + 1 kali menggunakan teorema Leibnitz, dapat dilihat hubungan :

𝑙+1 + (𝑙 + 1)𝑒 [(π‘₯ 𝑙 ] βˆ’ 2𝑙[π‘₯𝑒 ]=0 Atau tereduksi menjadi :

Mengganti tanda dari persamaan tersebut, didapatkan bentuk yang identic dengan persamaan Legendre (𝟐. 𝟏) dengan 𝑒 𝑙 sebagai variabel terikat. Agar dapat sesuai dengan formula Rodrigues,

kita dapat mengambil bentuk :

Dimana konstanta 𝑐 𝑙 bergatung pada 𝑙. Nilai 𝑙 didapatkan dengan memperhatikan bahwa bagian dimana turunan ke

𝑙 dari (π‘₯ 2 βˆ’ 1) tidak memiliki sebuah faktor π‘₯ βˆ’ 1, sehingga tidak hilang pada

𝑙 (1) = 1 sehingga 𝑐 𝑙 =2 𝑙! yang melengkapi formula Rodrigues.

π‘₯ = 1, adalah (2π‘₯) 𝑙 𝑙! (π‘₯ βˆ’ 1) π‘₯ = 1, 𝑃

2 0 . Mengambil

Persamaan Legendre merupakan bentuk Sturm-Lioville dengan 𝑝=1βˆ’π‘₯ 2 , π‘ž = 0, πœ† = 𝑙(𝑙 + 1), dan 𝜌 = 1, dan interval alaminya adalah [βˆ’1,1]. Karena polynomial Legendre 𝑃 𝑙 (π‘₯) teratur

pada titik akhir π‘₯ = Β±1, persamaan tersebut orthogonal satu sama lain pada interval tersebut, sehingga :

Hal ini dapat dibuktikan dengan menuliskan persamaan diferensial Legendre dengan solusi 𝑃 𝑙 (π‘₯) dalam bentuk modifikasi :

Kalikan dengan 𝑃 π‘˜ (π‘₯) lalu integralkan dari = βˆ’1 sampai π‘₯ = 1 :

Integralkan secara parsial bagian pertama :

Membalik aturan untuk 𝑙 dan π‘˜ dan mengurangkan, dapat kita simpulkan :

Karena π‘˜ β‰  𝑙, maka terbukti bahwa syarat orthogonalitas pertama terpenuhi. Untuk syarat kedua orthogonalitas, dapat dibuktikan dengan menggunakan formula Rodrigues

untuk persamaan Legendre saat =𝑙:

Integrasikan secara parsial dengan smua syarat batas habis mereduksi menjadi persamaan :

Integrasikan bagian integral secara parsial :

Dimana

2 𝐾 𝑙 𝑙 = ∫ (π‘₯ βˆ’1 βˆ’ 1) 𝑑π‘₯, sehingga didapat relasi (2𝑙 + 1)𝐾 𝑙 = 2𝑙 𝐾 π‘™βˆ’1 yang menghasilkan nilai :

Sehingga, persamaan orthogonalitas saat π‘˜ = 𝑙 didapatkan :

2 (𝑙!) (2𝑙 + 1)! = 2 (𝑙!) (2𝑙 + 1)2𝑙(2𝑙 βˆ’ 1)! = (2𝑙 + 1) Sifat lain dari polynomial Legendre adalah fungsi pembangkit. Fungsi pembangkit merupakan alat

yang sangat berguna dalam memanipulasi urutan dari fungsi atau kuantitas dari suatu variabel bilangan bulat. Kegunaan mendasarnya diimplementasikan pada teori probabilitas.

Secara umum, fungsi pembangkit dari suatu fungsi 𝑓 𝑛 (π‘₯) untuk 𝑛 = 0,1,2, … adalah sebuah fungsi 𝐺(π‘₯, β„Ž) dimana π‘₯ suatu variabel bebas dengan β„Ž variabel dummy sehingga :

Untuk penerapan di polynomial Legendre, fungsi pembangkitnya :

Dengan melakukan diferensial terhadap π‘₯, didapatkan :

serta melakukan diferensial terhadap β„Ž: (π‘₯ βˆ’ β„Ž)(1 βˆ’ 2π‘₯β„Ž + β„Ž 2 ) βˆ’3/2

(𝟐. πŸ—) Persamaan (𝟐. πŸ–) dapat ditulis :

Sementara mengkombinasikan persamaan (𝟐. πŸ–) dan (𝟐. πŸ—) :

menyamakan koefisien dari 𝑛 β„Ž didapatkan hubungan rekursif kedua :

Adapun dengan mengkombinasikan (𝟐. 𝟏𝟏) dengan (𝟐. 𝟏𝟎) lalu mengganti 𝑛 dengan 𝑛 βˆ’ 1 dan menambahkan dengan , kita dapatkan hubungan rekursif ketiga :

2.1.2 Fungsi Legendre Asosiasi

Persamaan umumn dari fungsi Legendre asosiasi adalah :

] 𝑦 = 0 (𝟐. πŸπŸ‘) Dengan tiga titik singular pada π‘₯ = βˆ’1,1, ∞ dan tereduksi menjadi persamaan Legendre normal

saat π‘š = 0. Setiap solusi dari persamaan tersebut dikenal dengan fungsi Legendre asosiasi. Solusi dari ekspansi deret

𝑛 π‘₯ , dapat diturunkan sesuai dengan persamaan Legendre normal. Hasil dari langkah tersebut menghasilkan solusi umum yakni fungsi Legendre Asosiasi :

atau lebih sering dituliskan sebagai :

Sama halnya dengan persamaan Legendre, persamaan Legendre asosiasi juga memiliki sifat orthogonalitas, bentuknya :

Hasil ini didapat dengan menggunakan formula Rodrigues pada persamaan (𝟐. πŸ“) dan persamaan fungsi Legendre asosiasi (𝟐. πŸπŸ“).

Sifat lain dari persamaan Legende asosiasi adalah fungsi pembangkit yang memenuhi :

yang diperoleh dari penurunan sebanyak π‘š kali dari dari fungsi pembangkit persamaan polynomial Legendre (𝟐. πŸ•).

Hal terakhir dari sifat persamaan Legendre asosiasi yang perlu diketahui adalah hubungan rekursif. Beberapa diantaranya :

(𝟐. 𝟐𝟎) yang berlaku untuk π‘š positif maupun negatif.

2.2 Persamaan Diferensial Bessel

Persamaan Bessel memiliki bentuk umum :

Memiliki singularitas dititik π‘₯ = 0, ∞. Parameter 𝑣 sebuah konstanta yang β‰₯ 0. Digunakan pada persamaan fisis mirip dengan persamaan Legendre, namun untuk kordinat silinder. Persamaan tersebut dapat disederhanakan :

𝑛=0 π‘Ž 𝑛 π‘₯ yang disubstitusi pada persamaan (𝟐. 𝟐𝟐) dan dikalikan dengan 2βˆ’πœŽ π‘₯ didapatkan :

yang disederhanakan :

Perhatikan koefisien dari 0 π‘₯ , didapatkan hubungan :

sehingga 𝜎 = ±𝑣. Untuk koefisien dari pangkat lebih tinggi :

dengan substitusi 𝜎 = ±𝑣, didapatkan hubungan rekursif :

Persamaan (𝟐. πŸπŸ‘) memberikan dampak π‘Ž 1 = 0.

Sekarang solusi umum dari persamaan Bessel terdapat dua syarat : saat 𝑣 sebuah bilangan bulat dan saat bukan bilangan bulat.

2.2.1 Fungsi Bessel untuk 𝒗 Bukan Bilangan Bulat Saat 𝑣 bukan bilangan bulat, 𝜎 1 = 𝑣 dan 𝜎 2 = βˆ’π‘£ tidak akan berubah oleh sebuah bilangan bulat

sehingga didapatkan dua solusi independen dalam bentuk deret Frobenius. Kondisi khusus saat 𝑣 = π‘š/2 untutk π‘š = 1,3,5, …, dan 𝜎 1 βˆ’πœŽ 2 = 2𝑣 = π‘š adalah bilangan bulat ganjil positif.

Hubungan rekursif (𝟐. πŸπŸ‘) dan (𝟐. πŸπŸ’) menjadi :

𝑛(𝑛 Β± 2𝑣) untuk 𝑛 = 2,4,6, … , = 0 untuk 𝑛 = 1,3,5, …,

Mengambil nilai π‘Ž 0 = 1 pada setiap kasus, didapatkan dua solusi :

dengan bantuang fungsi gamma, dapat dituliskan :

Ξ“(1 Β± v)

yang merupakan generalisasi dari fungsi faktorial. Pemaparan tersebut mengantarkan pada dua solusi persamaan Bessel yang biasa dilambangkan

serta solusi keduanya

Fungsi 𝐽 𝑣 (π‘₯) dan 𝐽 βˆ’π‘£ (π‘₯) disebut juga solusi fungsi Bessel jenis pertama. Sehingga untuk 𝑣 bukan bilangan bulat, persamaan diferensial Bessel mempunyai solusi umum :

2.2.2 Fungsi Bessel untuk 𝒗 Bilangan Bulat Saat 𝑣 berupa bilangan bulat, solusi Bessel tipe pertama tidak memenuhi syarat tersebut. Saat

mengganti 𝑣 dengan βˆ’π‘£, didapat hubungan :

Sehingga keduanya bergantung secara linear. Hal ini membuat kedua fungsi 𝐽 𝑣 (π‘₯) dan 𝐽 βˆ’π‘£ (π‘₯) solusi umum pada jenis pertama tidak sesuai, sehingga didefinisikan fungsi :

yang disebut fungsi Bessel jenis kedua dengan orde 𝑣 atau biasa dikenal dengan fungsi Neumann. Kombinasi linear dari fungsi Bessel dari jenis pertama dan jenis kedua berkesesuaian dengan :

keduanya disebut sebagai fungsi Hankel tiper pertama dan tipe kedua.

2.2.3 Sifat-sifat Fungsi Bessel 𝑱 𝒗 (𝒙) Karena tidak memiliki batas tertentu, fungsi Bessel dapat dimislkan berada pada batas [π‘Ž, 𝑏] untuk

menyelidiki sifat ortogonalitasnya. Bentuk umum dari sifat ortogonalitas fungsi Bessel :

π‘Ž ;𝛼=𝛽 Untuk menentukan kondisi batas dari hasil pertama, saat 𝛼 β‰  𝛽, didefinisikan fungsi 𝑓(π‘₯) =

𝐽 𝑣 (𝛼π‘₯) dan 𝑔(π‘₯) = 𝐽 𝑣 (𝛽π‘₯) yang harus memenuhi kondisi :

Selain itu, juga terdapat hubungan rekursif :

Ekspansi turunan pada ruas kiri persamaan

(𝟐. πŸ‘πŸŽ) dan bagi dengan π‘₯ π‘£βˆ’1 :

Serta dengan ekspansi turunan pada ruas kiri persamaan (𝟐. πŸ‘πŸ) dan kalikan dengan π‘₯ 𝑣+1 :

Tambahkan (𝟐. πŸ‘πŸ) dengan (𝟐. πŸ‘πŸ‘) didapatkan :

Serta dengan mengurangkan (𝟐. πŸ‘πŸ) dengan (𝟐. πŸ‘πŸ‘) didapatkan :

Sifat lain dari funsi Bessel jenis pertama adalah fungsi pembagkit yang memenuhi persamaan :

Dengan menggunakan fungsi pembangkit tersebut, fungsi Bessel dapat dijabarkan dalam bentuk integral :

1 πœ‹ 𝐽 𝑛 (π‘₯) = ∫ cos(π‘›πœƒ βˆ’ π‘₯ sin πœƒ) π‘‘πœƒ (𝟐. πŸ‘πŸ•)

2.3 Persamaan Diferensial Hermite

Persamaan Hermite memiliki bentuk umum :

dengan singularitas di titik π‘₯ = ∞. Parameter 𝑣 adalah bilangan real, meski lebih sering berupa bilangan bulat pada pengaplikasian. Persamaan Hermite muncul dalam mendeskripsikan fungsi gelombang dari osilasi harmonik. Setiap solusi dari persamaan ini disebut fungsi Hermite.

Karena π‘₯ = 0 adalah titik biasa dari persamaan, kita bias mencari dua solusi independen dalam bentuk deret pangkat :

yang menghasilkan hubungan rekursif :

Jika dipilih 𝑣 = 𝑛 dimana 𝑛 adalaha bilanga bulat positif, dapat dilihat π‘Ž 𝑛+2 =π‘Ž 𝑛+4 = β‹― = 0, sehingga satu solusi dari persamaan Hermite adalah polynomial dengan orde 𝑛. Untuk 𝑛 genap,

2 (𝑛 βˆ’ 1)] !. Pilihan ini memungkinkan solusi umum ditulis sebagai :

dipilih π‘Ž 0 = (βˆ’1) 2 𝑛!/ (𝑛/2)!, sementara untuk 𝑛 ganjil digunakan π‘Ž 1 = (βˆ’1) 2 2𝑛!/ [

Atau disederhanakan :

dimana 𝐻 𝑛 (π‘₯) disebut polynomial Hermite dan notasi 𝑛/2 menotasikan bagian bilangan bulat dari

𝑛/2 . Dapat pula dilihat hubungan 𝐻 𝑛 𝑛 (βˆ’π‘₯) = (βˆ’1) 𝐻 𝑛 (π‘₯). Beberapa nilai pertama dari polynomial Hermite :

Gambar 2.2 Skema beberapa nilai pertama polynomial Hermite

2.3.1 Sifat-sifat Polynomial Hermite

Sifat pertama adalah formula Rodrigues dari polynomial Hermite :

Didapatkan dengan menggunakan teorema Leibniz. Karena polynomial Hermite 𝐻 𝑛 (π‘₯) merupakan solusi dari persamaan Hermite dan memiliki

βˆ’π‘₯ interval alami 2 [βˆ’βˆž, ∞], keduanya harus orthogonal berdasarkan pada fungsi pemberat 𝜌 = 𝑒 :

yang dapat dibuktikan dengan menggunakan formula Rodrigues. Hal lain dari polynomial Hermite yang penting diketahui adalah fungsi pembangkit yang sesuai

dengan persamaan :

dimana dapat diturunkan dua hubungan rekursif yang paling sering digunakan :

2.4 Persmaan Diferensial Laguerre

2.4.1 Persamaan Umum dan Solusi Umu

Persamaan Laguerre memiliki bentuk umum :

yang memiliki sigularitas regular pada π‘₯ = 0 dan titik singularitas esensinya pada π‘₯ = ∞. Parameter 𝑣 merupakan bilangan real, meski pada penggunaannya dalam aplikasi fisika hampir selalu menggunakan bilangan genap. Persamaan Laguerre ini muncul dalam mendeskripsikan fungsi gelombang atom hidrogen. Setiap solusi dari persamaan Laguerre disebut fungsi Laguerre.

Karena π‘₯ = 0 merupakan titik singular regular persamaan tersebut, kita dapat mencari solusi dalam bentuk deret Frobenius :

Substitusi ke persamaan

(𝟐. πŸ’πŸ“) dan membagi dengan π‘₯ πœŽβˆ’1 , kita dapatkan :

𝜎 = 0 dan membuat koefisien π‘₯ π‘š+1 lenyap, didapatkan hubungan rekursif :

Ingat bahwa 𝑣 merupakan bilangan bulat dalam aplikasi fisis. Sehingga, jika 𝑣 = 𝑛, dimana 𝑛 adalah bilangan bulat positif, didapatkan π‘Ž 𝑛+1 =π‘Ž 𝑛+2 = β‹― = 0, dan solusi dari persamaan

Laguerre adalah sebuah polynomial orde 𝑛. Secara koncensional, dengan memilih π‘Ž 0 =1 didapatkan solusi : Laguerre adalah sebuah polynomial orde 𝑛. Secara koncensional, dengan memilih π‘Ž 0 =1 didapatkan solusi :

Gambar 2.3 Skema beberapa nilai awal polynomial Laguerre

2.4.2 Sifat-sifat Polynomial Laguerre

Sifat pertama adalah formula Rodrigues polynomial Laguerre :

yang dapat diturunkan dari persamaan Leibniz. Sifat selanjutnya adalah ortogonalitas dari polynomial Laguerre. Karena polynomial Laguerre

adalah solusi dari suatu persamaan dengan regular pada titik akhirnya, polynomial tersebut haruslah ortogonal sepanjang interval tersebut dengan memperhitungkan fungsi pemberat

memenuhi persamaan :

Dari fungsi pembangkit tersebut, dengan menurunkan terhadap π‘₯ dan β„Ž, kita dapat memperoleh hubunganrekursif berkaitan dengan polynomial Laguerre. Bebeapa bentuk rekursif dari polynomial Laguerre adalah sebagai berikut :

𝑛 (π‘₯) = 𝑛𝐿 π‘₯𝐿 𝑛 (π‘₯) βˆ’ 𝑛𝐿 π‘›βˆ’1 (π‘₯) (𝟐. πŸ“πŸ) Hubungan pertama dan kedua didapatkan dari fungsi pembangkit sementara hubungan ketiga

merupakan kombinasi dari hubungan pertama dan kedua.

2.4.3 Fungsi Laguerre Asosiasi

Persamaan Laguerre asosiasi memiliki bentuk umum :

Titik singularitas regulat di π‘₯ = 0 dan titik singularitas esensi π‘₯ = ∞. Nilai 𝑛 dan π‘š dalam aplikasi fisis adalah bilangan bulat positif. Digunakan pada aplikasi mekanika kuantum. Setiap solusi dari persamaan ini disebut fungsi Laguerre asosiasi.

Solusi untuk 𝑛 dan π‘š positif diberikan oleh polynomial Laguerre asosiasi :

Pembuktian ini dapat dilakukan dengan melakukan substitusi 𝐿 𝑛 (π‘₯) pada persamaan Laguerre non asosiasi :

Turunkan π‘š kali dengan teorema Leibniz lalu mengurutkannya kita dapatkan :

Kalikan dengan

π‘š dan dengan π‘š

yang memperlihatkan bahwa π‘š 𝐿 𝑛 adalah solusi dari persamaan (𝟐. πŸ“πŸ’). Beberapa nilai awal dari polynomial Laguerre asosiasi adalah :

2 (π‘₯) = π‘₯ βˆ’ 2(π‘š + 2)π‘₯ + (π‘š + 1)(π‘š + 2) Secara umum, polynomial Laguerre asosiasi biasa memiliki bentuk :

2.4.4 Sifat-sifat Polynomial Laguerre Asosiasi

Formula Rodrigues dari polynomial Laguerre asosiasi diberikan oleh :

yang didapatkan dari turunan ke 𝑛 dengan teorema Leibniz. Dengan fungsi pemberat

π‘š 𝜌=π‘₯ βˆ’π‘₯ 𝑒 , sifat ortogonalitas polynomial Laguerre asosiasi dapat dituliskan :

yang dapat dibuktikan dengan menggunakan formula Rodrigues.

Adapun fungsi pembangkit dari polynomial Laguerre asosiasi diberikan oleh persamaan :

yang didapatkan dengan menurunkan fungsi pembangkit polynomial Laguerre biasa sebanyak π‘š kali terhadap π‘₯ dan menggunakan persamaan (𝟐. πŸ“πŸ’).

Dari persamaan fungsi pembangkit polynomial Laguerre asosisasi tersebut dapat diturunkan hubungan rekursif :

2.5 Persamaan Diferensial Chebyshev

2.5.1 Persamaan Umum dan Solusi Umum

Persamaan Chebysehev memiliki bentuk umum :

dengan titik singularitas di π‘₯ = βˆ’1, 1, ∞. Solusi dari persamaan diferensial ini disebut sebagai fungsi Chebyshev.

Solusi umumnya didapatkan melalui solusi deret

π‘š=0 π‘Ž π‘š π‘₯ dimana dengan substitusi π‘₯= cos πœƒ persamaan Chebyshev (dengan 𝑣 = 𝑛) menjadi :

Membentuk persamaan osilasi harmonik dengan solusi cos π‘›πœƒ dan sin π‘›πœƒ. Hal ini membuat solusi linear dari persamaan Chebyshev menjadi :

𝑛 (π‘₯) = cos(𝑛 cos π‘₯) dan π‘ˆ 𝑛 (π‘₯) = sin(𝑛 cos π‘₯) (𝟐. πŸ”πŸ)

Dengan 𝑇 𝑛 (π‘₯) adalah polynomial sementara π‘ˆ 𝑛 (π‘₯) bukan polynomial. Hal ini dapat ditunjukkan dengan mencari bentuk ekspansi dari perpaduan kedua fungsi tersebut.

Bentuk superposisi dalam bentuk kompleksnya memberikan :

𝑇 𝑛 (π‘₯) + π‘–π‘ˆ 𝑛 (π‘₯) = cos π‘›πœƒ + 𝑖 sin π‘›πœƒ = (cos πœƒ + 𝑖 sin πœƒ) 𝑛

Dimana |π‘₯| ≀ 1. Dengan konsep ekspansi binomial :

Bentuk superposisi kompleksnya didapatkan :

Atau dalam bentuk ekspansinya :

𝑇 𝑛 (π‘₯) bentuk pertama polynomial Chebyshev, dan π‘ˆ 𝑛 (π‘₯) bentuk kedua polynomial Chebyshev.

adalah koefisien binomial,

Beberapa nilai awal untuk polynomial Chebyshev bentuk pertama :

Gambar 2.4 Beberapa nilai awal polynomial Chebyshev bentuk pertama

Sedang beberapa nilai awal untuk polynomial Chebyshev bentuk kedua :

Gambar 2.4 Beberapa nilai awal polynomial Chebyshev bentuk kedua

Bentuk lain didapatkan saat mensubstitusikan π‘₯ = cos πœƒ, maka 𝑇 𝑛 (π‘₯) = cos π‘›πœƒ. Dari persamaan euler :

2 {(cos πœƒ + 𝑖 sin πœƒ) + (cos πœƒ βˆ’ 𝑖 sin πœƒ) } 2 {(cos πœƒ + 𝑖 sin πœƒ) + (cos πœƒ βˆ’ 𝑖 sin πœƒ) }

Dengan teorema binomial :

Hanya berlaku untuk π‘Ÿ genap, sehingga :

Dengan memisalkan π‘Ÿ = 2𝑠

Sehingga solusi pertama dalam bentuk polynomial:

Dengan melakukan langkah serupa, solusi kedua dalam bentuk polynomial adalah :

2.5.2 Sifat-sifat Polynomial Chebyshev

Polynomial Cheyshev dapat dituliskan dalam bentuk formula Rodrigues :

Sementara sifat orthogonalitasnya memenuhi persamaan :

Hasil ini didapatkan dengan subtitusi 𝑇 𝑛 (π‘₯) = cos π‘›πœƒ dan 𝑇 π‘š (π‘₯) = cos π‘šπœƒ pada persamaan orthogonalitas. Dengan memisalkan π‘₯ = cos πœƒ, 𝑑π‘₯ = βˆ’ sin πœƒ π‘‘πœƒ kita dapatkan :

∫ cos π‘›πœƒ cos π‘šπœƒ π‘‘πœƒ

Dengan identitas trigonometry :

1 cos π‘›πœƒ cos π‘šπœƒ = (cos(𝑛 + π‘š)πœƒ + cos(𝑛 βˆ’ π‘š)πœƒ)

Sehingga

1 πœ‹ ∫ (cos(𝑛 + π‘š)πœƒ + cos(𝑛 βˆ’ π‘š)πœƒ) π‘‘πœƒ

Dimna saat π‘š = 𝑛 β‰  0 didapatkan :

2 0 2 ([ 2n sin 2π‘›πœƒ] 0 + πœ‹) = 2 Dan saat =π‘š=0:

Sementara saat ≠𝑛:

2 ([ 𝑛 + π‘š sin (𝑛 + π‘š)πœƒ] πœ‹0 + [ 𝑛 βˆ’ π‘š sin (𝑛 βˆ’ π‘š)πœƒ] πœ‹0) = 0 Sifat lain yang penting diketahui adalah fungsi pembangkit polynomial Chebyshev. Bentuk

umunya adalah :

yang dapat diturunkan untuk mendapatkan bentuk lain persamaan polynomial :

Sementara hubungan rekursif dapat diporeleh dari :

𝑇 𝑛 (π‘₯) = 𝑇 𝑛 (cos πœƒ) = cos π‘›πœƒ sin(𝑛 + 1) πœƒ

π‘ˆ 𝑛 (π‘₯) = π‘ˆ 𝑛 (cos πœƒ) =

sin πœƒ

3. PERSAMAAN DIFERENSIAL PARSIAL

Persamaan diferensial parsial merupakan persamaan yang menghubungkan fungsi tidak diketahui (variabel bergantung) dari dua atau lebih variabel terhadap turunan parsial dengan mengacu pada variabel tersebut. Variabel tidak bergantung yang paling sering dijumpai adalah posisi dan waktu.

3.1 Persamaan Diferensial Parsial Secara Umum Kebanyakan PDP pada gejala fisis merupakan orde kedua dan linear. Untuk mendapat kesan

terhadap bentuk umumnya, berikut diperkenalkan beberapa bentuk PDP dalam sistem fisis. Persamaan gelombang,

Mendeskripsikan fungsi posisi dan waktu perpindahan dari titik kesetimbangan 𝑒(𝐫, 𝑑), dari tali atau membran bergetar, gas atau cairan. Persamaannya juga muncul pada elektromagnetik, dimana

𝑒 dapat merupaan medan listrik atau medan magnet dalam gelombang elektromagnetik atau arus maupun tegangan sepanjang garis transmisi. Nilai 𝑐 merupakan kecepatan rambat gelombang.

Persamaan difusi,

Mendeskripsikan temperature 𝑒 pada suatu wilayah tanpa mengandung sumber panas. Persamaan ini juga berlaku untuk difsui kimia dengan konsentrasi 𝑒(𝐫, 𝑑). Konstanta πœ… disebut difusifitas. Persamaannya jeas terlihat terdiri dari tiga variabel spasial berorde dua dan satu variabel waktu berorde satu.

Persamaan Laplace,

Didapatkan dengan pada kondisi πœ•π‘’/πœ•π‘‘ = 0 pada persamaan difusi, dan mendeskripsikan, misalnya, distribusi temperature steady-state pada sebuah padatan dimana tidak ada sumber panas. Persamaan Laplace juga dapat digunakan dalam mendeskripsikan potensial gravitasi pada wilayah tidak ada benda atau potensial listrik pada wilayah tidak adanya muatan. Lebih jauh, aplikasinya dapat diterapkan pada fluida tidak tertekan dengan tidak ada sumber.

Persamaan Poisson,

0 , dengan πœ– 0 permitivitas ruang hampa.

𝜌 adalah rapat muatan listrik, maka βˆ‡ 2 𝑒 = βˆ’πœŒ(𝐫)/πœ–

Persamaan Schrodinger,

Mendeskripsikan fungsi mekanika kuantum 𝑒(𝐫, 𝑑) dari partikel non-relaivistik bermassa π‘š, ℏ adalah konstanta Planck dibagi 2πœ‹. Seperti persamaan difusi, bentuknya juga berorde dua dalam tiga variabel spasial dan berorde satu dalam waktu.

3.2 Separasi Variabel

Misalkan kita mencari solusi 𝑒(π‘₯, 𝑦, 𝑧, 𝑑) untuk persamaan diferensial parsial dalam kordinat Kartesian. Bentuk awalnya dapat dimisalkan dalam bentuk

Solusi dengan bentuk seperti ini dikatakan terpisah dengan variabel π‘₯, 𝑦, 𝑧 dan 𝑑, dan mencari solusinya disebot motode separasi variabel.

Untuk persamaan diferensial parsial secara umum, kelihatannya sulit mendapatkan solusi terpisah. Namun untuk beberapa persamaan umum dan persamaan fisis, memiliki solusi dengan bentuk ini. Untuk menjabarkan lebih jauh, dapat ditinjau persamaan gelombang dalam tiga dimensi

yang dalam kordinat Kartesian

dengan substitusi persamaan (3.6) didapatkan

dan lebih mudah dilihat dengan notasi

Melakukan pembahian persamaan tersebut dengan 𝑒 = π‘‹π‘Œπ‘π‘‡, maka didapatkan bentuk

Bentuk ini merupakan dasar dari metoda separasi variabel. Bagian pertama hanya bergantung pada π‘₯, bagian kedua pada 𝑦, bagian ketiga pada 𝑧, serta bagian sisi kanan persamaan hanya bergantung pada 𝑑. Persamaan (3.7) dapat dipenuhi untuk semua π‘₯, 𝑦, 𝑧 dan 𝑑 jika setiap bagian tidak bergantung terhadap variabel bebas namun haruslah sebuah konstanta.

Untuk mengilustrasikan pemisalan, dipilih

2 2 βˆ’π‘™ 2 , βˆ’π‘š , βˆ’π‘› untuk tiga konstanta pertama. Konstanta yang berhubungan dengan sisi sebelah kanan persamaan haruslah memenuhi

2 2 βˆ’(𝑙 2 +π‘š +𝑛 ). Penjabaran ini kemudian membuat persamaan (3.7) dapat dituliskan dalam empat persamaan diferensial biasa

Penyederhanaan ini merupakan alat untuk mengasumsikan sebuah solusi terpisah, PDP memiliki turunan terhadap empat variabel bebas dalam satu persamaan, telah direduksi menjadi empat PDB terpisah. Persamaannya dihubungkan dengan empat parameter konstan yang memenuhi ungkapan aljabar. Konstanta ini disebut juga konstanta separasi.

Solusi umum dari persamaan (3.8) kemudian dapat langsung dideduksi

dengan 𝐴, 𝐡, … , 𝐻 adalah konstanta, diperoleh dengan menggunakan syarat batas dari suatu solusi. Bentuk alternatif solusinya dapat pula dituliskan

𝑋(π‘₯) = 𝐴 β€² cos 𝑙π‘₯ + 𝐡 sin 𝑙π‘₯

π‘Œ(𝑦) = 𝐢 β€² cos π‘šπ‘¦ + 𝐷 sin π‘šπ‘¦ (πŸ‘. πŸπŸ’) 𝑍(𝑧) = 𝐸 β€² cos 𝑛𝑧 + 𝐹 β€² sin 𝑛𝑧

𝑇(𝑑) = 𝐺 β€² cos(π‘πœ‡π‘‘) + 𝐻 sin(π‘πœ‡π‘‘)

dimana β€² β€² 𝐴 ,𝐡 , … , 𝐻′ merupakan konstanta lain. Pemilihan bentuk dalam merepresentasikan solusi bergantung pada permasalahannya.

Sebagai gambaran, dengan memasukkan syarat batas misalnya, didapatkan solusi

hal ini memberikan solusi umum persamaan diferensial parsial (3.6) sebagai

Dalam notasi konvensional teori gelombang, 𝑙, π‘š, 𝑛 adalah komponen dari vektor gelombang 𝐀, dimana besarnya π‘˜ = 2πœ‹/πœ†, dengan πœ† panjang gelombang. Adapun π‘πœ‡ adalah frekuensi sudut πœ” dari gelombang. Sehingga, persamaannya dapat dituliskan

Metode separasi variabel ini dapat diaplikasikan untuk banyak PDP yang muncul pada fenomena fisis.

3.2 Superposisi Solusi Terpisah Saat persamaan diferesial parsial berbentuk linear (seperti persamaan Laplace, Schrodinger, difusi

dan gelombang), solusi matematis dapat dibentuk dari prinsip superposisi untuk nilai berbeda setiap konstanta separasi. Mengambil dua variabel misalnya

merupakan solusi PDP dengan memberikan konstanta separasi variabel πœ† 1 , maka hasil superposisi

juga merupakan solusi untuk setiap konstanta π‘Ž 𝑖 , dengan πœ† 𝑖 adalah nilai yang memenuhi konstanta separasi πœ†, diberikan oleh syarat batas. Nilai dari superposisi merupakan hasil dari syarat batas, katakanlah 𝑒(π‘₯, 𝑦) memiliki bentuk tertentu 𝑓(π‘₯) pada 𝑦 = 0, dapat ditemukan dengan memilih konstanta π‘Ž 𝑖 sedemikian rupa

Secara umum, hal ini akan memungkinkan fungsi 𝑋 πœ† 𝑖 (π‘₯) membentuk kumpulan fungsi, seperti halnya fungsi sinusoidal pada deret Fourier.

Untuk menggambarkan penggunaan prinsip superposisi pada penyelesaian PDP, misalkan sebuah logam segi empat semi-takberhingga berada apada daerah 0 ≀ π‘₯ ≀ ∞ dan 0 ≀ 𝑦 ≀ 𝑏 pada bidang- π‘₯𝑦. Temperatur pada ujung jauh dari logam dan kedua sisi lainnya adalah 0Β°C.

Gambar 3.1 Semi-takberhingga plat logam dengan setiap sisi bertemperatur tetap

Saat temperatur dari logam di π‘₯ = 0 juga tetap dan diberikan oleh 𝑓(𝑦), distribusi temperatur keadaan tunak 𝑒(π‘₯, 𝑦) dari logam dapat dicari dengan menggunakan persamaan difusi

Namun karena kondisinya tunak, πœ•π‘’/πœ•π‘‘ = 0, membuat persamaannya direduksi menjadi persamaan Laplace

Menggunakan asumsi 𝑒(π‘₯, 𝑦) = 𝑋(π‘₯)π‘Œ(𝑦), solusinya dapat dipenuhi oleh persamaan

𝑋(π‘₯) = 𝐴 β€² cos 𝑙π‘₯ + 𝐡 sin 𝑙π‘₯ , π‘Œ(𝑦) = 𝐢 cos π‘šπ‘¦ + 𝐷 sin π‘šπ‘¦

Pada kasus ini, persamaan haruslah memenuhi syarat batas 𝑒(π‘₯, 0) = 0 = 𝑒(π‘₯, 𝑏) dan terlihat solusi sinusoidal pada bagian 𝑦 cukup sesuai. Lebih jauh, karena syarat lain 𝑒(∞, 𝑦) = 0 maka solusi dari bagian π‘₯ dapat dipilih dalam bentuk eksponensial. Solusi terpisah dari kasus ini kemudian dapat dituliskan

𝑒(π‘₯, 𝑦) = (𝐴𝑒 βˆ’πœ†π‘₯ +𝐡 )(𝐢 cos πœ†π‘¦ + 𝐷 sin πœ†π‘¦)

Dengan menyesuaikan dengan syarat batas 𝑒(∞, 𝑦) = 0 mengharuskan 𝐴 = 0 jika diambil πœ† > 0. Selanjutnya, karena 𝑒(π‘₯, 0) = 0 mengharuskan 𝐢 = 0. Dengan menyerap konstanta 𝐷 ke 𝐡, menyisakan

𝑒(π‘₯, 𝑦) = 𝐡𝑒 βˆ’πœ†π‘₯ sin πœ†π‘¦

Namun dengan kondisi lain, 𝑒(π‘₯, 𝑏) = 0, mengharuskan πœ† = π‘›πœ‹/𝑏, dengan 𝑛 bilangan bulat positif. Hal ini membuat terdapat 𝑛 buah solusi dari persamaan.

Menggunakan prinsip superposisi, solusi umum untuk memenuhi syarat batas dapat dituliskan

untuk suatu konstanta 𝐡 𝑛 . Bilangan bulat 𝑛 negatif tidak disertakan karena akan membuat solusinya divergen saat π‘₯ β†’ ∞. Syarat batas tersisa adalah 𝑒(0, 𝑦) = 𝑓(𝑦), dan mengharuskan konstanta 𝐡 𝑛 memenuhi

Bentuk ini tidak lain adalah ekspansi deret Fourier untuk bagian sinus, sehingga konstanta 𝐡 𝑛 dapat ditelusuri dengan

dengan 𝑓(𝑦) = 𝑒 0 , maka

Dengan substitusi pada (3.12), didapatkan solusi akhirakhir

3.3 Separasi Variabel pada Kordinat Polar Dalam banyak sistem fisis pada dua dan tiga dimensi secara alami diekspresikan dalam bentuk

koordinat polar, dimana banyak keuntungan dapat diambil dari bentuk simetrinya. Hal tersebut menjadi alasan untuk menelaah separasi variabel pada koordinat bidang polar, silinder, dan bola.

Banyak PDP mengandung operator 2 βˆ‡ , seperti di persamaan gelombang, persamaan difusi, persamaan Schrodinger dan persamaan Poisson. Pada pembahasan kalkulus vektor, bentuk

operator 2 βˆ‡ untuk koordinat bidang polar, silinder dan bola secara berurut diberikan oleh

βˆ‡ = 2 2 2 2 (πŸ‘. πŸπŸ—) π‘Ÿ πœ•π‘Ÿ (π‘Ÿ πœ•π‘Ÿ) + π‘Ÿ sin πœƒ πœ•πœƒ (sin πœƒ πœ•πœƒ) + π‘Ÿ sin πœƒ πœ•πœ™ 2

Persamaan paling sederhana dengan 2 βˆ‡ adalah persamaan Laplace, βˆ‡ 2 𝑒(𝒓) = 0 (πŸ‘. 𝟐𝟎)

Dari penjabaran persamaan ini dapat diperoleh penjabaran untuk bentuk persamaan lain yang lebih kompleks.

3.3.1 Persamaan Laplace di Bidang Polar

Misalkan untuk mecari solusi (πŸ‘. 𝟐𝟎) pada lingakaran 𝜌 = π‘Ž. Pencarian solusi akan mengarah pada variabel 𝜌 dan πœ™ dengan mengakomodasi syarat batas di 𝜌 = π‘Ž.

Menuliskan 𝑒(𝜌, πœƒ) = 𝑃(𝜌)Ξ¦(πœ™) dan menggunakan (πŸ‘. πŸπŸ•) diperoleh

mengalikan dengan 1/𝑃Φ dan 𝜌 2 ,

membuat persamaannya dapat dipisah menjadi dua bentuk PDB

dengan 2 𝑛 adalah konstanta pemisah. Secara umum nilai 𝑛 ini adalah suatu bilangan (bisa dalam bentuk kompleks).

Pertama, untuk 𝑛 β‰  0, persamaan (πŸ‘. 𝟐𝟐) memiliki bentuk umum

Sementara persamaan (πŸ‘. 𝟐𝟏) berbentuk persamaan homogeny

yang dapat diselesaikan dengan menggunakan deret pangkat 𝜌, atau dapat juga dengan substitusi 𝜌=𝑒 𝑑 untuk mendapatkan

Substitusi ulang (πŸ‘. πŸπŸ‘) dari persamaan azimuthal (πŸ‘. 𝟐𝟐), dapat dilihat bahwa jika 𝚽, dan kemudian 𝑒, memilliki nilai tunggal dan tidaklah berubah ketika πœ™ meningkat 2πœ‹ maka 𝑛 haruslah bilangan bulat. Secara matematis, nilai lain dari 𝑛 memungkinkan, namun ini tidaklah mendeskripsikan situasi fisis yang ril. Dari hasil ini, diperoleh solusidari persamaan Laplace dua dimensi

𝑒(𝜌, πœ™) = (𝐴 cos π‘›πœ™ + 𝐡 sin π‘›πœ™)(𝐢𝜌 βˆ’π‘› + 𝐷𝜌 )

dengan 𝐴, 𝐡, 𝐢, 𝐷 adalah suatu konstanta dan 𝑛 adalah bilangan bulat. Ketika 𝑛 = 0 solusi (πŸ‘. 𝟐𝟏) dan (πŸ‘. 𝟐𝟐) adalah

Ξ¦(πœ™) = π΄πœ™ + 𝐡 𝑃(𝜌) = 𝐢 ln 𝜌 + 𝐷

Namun, agar 𝑒 = 𝑃Φ bernilai tunggal, kita perlukan 𝐴 = 0, sehingga solusi untuk 𝑛 = 0 adalah

𝑒(𝜌, πœ™) = 𝐢 ln 𝜌 + 𝐷 .

Melakukan superposisi terhadap solusi untuk nilai 𝑛 berbeda-beda, solusi umum persamaan Laplace pada bidang polar adalah

0 ln 𝜌 + 𝐷 0 ) + βˆ‘(𝐴 𝑛 cos π‘›πœ™ + 𝐡 𝑛 sin π‘›πœ™)(𝐢 𝑛 𝜌 +𝐷 𝑛 𝜌 ) (πŸ‘. πŸπŸ“)

untuk 𝑛 bentuknya bilangan bulat. Nilai 𝑛 negatif telah lingkupi oleh nilai 𝑛 positif. Karena ln 𝜌 singular di 𝜌 = 0, saat menyelesaikan persamaan Laplace pada daerah dengan titik awal, 𝐢 0 haruslah nol.

3.3.2 Persamaan Laplace pada Silinder

Dalam koordinat silinder, persamaan Laplace secara umum berbentuk

Seperti sebelumnya, solusinya dapat dimisalkan

dimana saat disubstitusi ke (πŸ‘. πŸπŸ”) dan melakukan pembagian terhadap 𝑒 = 𝑃Φ𝑍 memberikan

Bagian terakhir hanya bergantung terhadap 𝑧, sementara bagian pertama dan kedua secara berurut

bergantung pada 𝜌 dan πœ™. Mengambil konstanta separasi π‘˜ 2 , diperoleh

Persamaan pertama memiliki solusi

𝑍(𝑧) = 𝐸𝑒 βˆ’π‘˜π‘§ + 𝐹𝑒 π‘˜π‘§ . Mengalikan persamaan kedua dengan 2 𝜌 , diperoleh 𝜌 2 𝑑 𝑑𝑃 1 𝑑 Ξ¦

dengan bagian keduanya hanya bergantung pada Φ sementara bagian lain bergantung pada 𝜌.

Mengambil konsanta separasi 2 π‘š , didapatkan

Persamaan pada sudut azimuth πœ™ memiliki solusi yang tidak asing lagi

Ξ¦(πœ™) = 𝐢 cos π‘šπœ™ + 𝐷 sin π‘šπœ™

Sama halnya pada dua dimensi, sifat nilai tunggal dari 𝑒 membuat π‘š haruslah suatu bilangan bulat. Namun saat π‘š = 0, solusinya memberikan

Bentuk ini sesuai untuk sebuah solusi dengan simetri aksial (𝐢 = 0) atau sebuah nilai banyak, seperti potensial skalar magnet diasosiasikan dengan arus 𝐼.

Terakhir, persamaan dengan 𝜌, (πŸ‘. πŸπŸ–), bisa ditransformasikan ke dalam persamaan Bessel berorde π‘š dengan menuliskan πœ‡ = π‘˜πœŒ. Hal ini memberikan solusi

Dari pembahasan persamaan Bessel, π‘Œ π‘š (π‘˜πœŒ) singular pada 𝜌 = 0, sehingga saat mencari solusi persamaan Laplace pada koordinat silinder dalam suatu daerah dengan 𝜌 = 0, nila 𝐡 = 0.

Solusi separasi variabel keseluruhan untuk persamaan Laplace 2 βˆ‡ 𝑒 = 0 pada silinder dapat dituliskan

𝑒(𝜌, πœ™, 𝑧) = [𝐴𝐽 π‘˜π‘§ π‘š (π‘˜πœŒ) + 𝐡𝐽 π‘š (π‘˜πœŒ)][𝐢 cos π‘šπœ™ + 𝐷 sin π‘šπœ™][𝐸𝑒 + 𝐹𝑒 ]. (πŸ‘. πŸπŸ—) Prinsip superposisi dapat diterapkan untuk membangun solusi lebih umum dengan

menambahkannya bersama dengan solusi (πŸ‘. πŸπŸ—) untuk nilai memungkinkan dari konstanta separasi π‘˜ dan π‘š.

3.3.3 Persamaan Laplace pada Bola

Dalam koordinat bola, persamaan Laplace, 2 βˆ‡ = 0, memiliki bentuk

2 2 2 2 2 = 0 (πŸ‘. πŸ‘πŸŽ) π‘Ÿ πœ•π‘Ÿ (π‘Ÿ πœ•π‘Ÿ) + π‘Ÿ sin πœƒ πœ•πœƒ (sin πœƒ πœ•πœƒ) + π‘Ÿ sin πœƒ πœ•πœ™

yang merupakan persamaan dengan aplikasi luas dalam fisika. Sulusinya dimisalkan

Substitusi ke persamaan (πŸ‘. πŸ‘πŸŽ) dan dibagi dengan 𝑒 = π‘…Ξ˜Ξ¦, kemudian mengalikannya dengan π‘Ÿ 2 , diperoleh

2 πœ•πœƒ (sin πœƒ = 0 . (πŸ‘. πŸ‘πŸ) πœ•πœƒ) + Ξ¦ sin 2 πœƒ πœ•πœ™ Bagian pertama bergantung hanya pada π‘Ÿ, sementara bagian kedua dan ketiga, secara berurutan,

𝑅 π‘‘π‘Ÿ (π‘Ÿ πœ•π‘Ÿ) + Θ sin πœƒ

bergantung pada πœƒ dan πœ™. Sehingga persamaan (πŸ‘. πŸ‘πŸ) akan ekuivalen dengan dua persamaan

1 2 πœ• πœ•Ξ˜ 1 πœ• Ξ¦ Θ sin πœƒ πœ•πœƒ (sin πœƒ πœ•πœƒ) + Ξ¦ sin 2 πœƒ πœ•πœ™ 2

= βˆ’πœ† . (πŸ‘. πŸ‘πŸ‘) Persamaan (πŸ‘. πŸ‘πŸ) merupakan persamaan homogen,

yang dapat direduksi dengan substitusi π‘Ÿ=𝑒 𝑑 (menuliskan 𝑅(𝑑) = 𝑆(𝑑)) menghasilkan 𝑑 2 𝑆 𝑑𝑆

Persamaan ini memberikan persamaan

serta solusi untuk persamaan radial

dengan πœ† 1 +πœ† 2 = βˆ’1 dan πœ† 1 πœ† 2 = βˆ’πœ†. Dapat pula diambil πœ† 1 dan πœ† 2 sebagai 𝑙 dan βˆ’(𝑙 + 1), memberikan πœ† bentuk 𝑙(𝑙 + 1).

Sampai disini, telah diperoleh informasi dari solusi faktor pertama dari keseluruhan solusi, dimana bentuknya

dengan Θ dan Ξ¦ harus sesuai dengan (πŸ‘. πŸ‘πŸ‘) dengan πœ† = 𝑙(𝑙 + 1), sehingga

2 2 = βˆ’π‘™(𝑙 + 1) . Θ sin πœƒ πœ•πœƒ (sin πœƒ πœ•πœƒ) + Ξ¦ sin πœƒ πœ•πœ™

Kalikan dengan sin 2 πœƒ serta melakukan pengurutan ulang diperoleh sin πœƒ 2 𝑑 πœ•Ξ˜

Mengambil konstanta pemisah 2 π‘š , persamaan dalam sudut azimut πœ™ memiliki solusi yang sama untuk solusi dalam bentuk silinder, yaitu

Ξ¦(πœ™) = 𝐢 cos π‘šπœƒ + 𝐷 sin π‘šπœƒ .

Ketunggalan nilai dari 𝑒 membuat nilai π‘š haruslah bilangan bulat. Untuk π‘š = 0, didapatkan Ξ¦(πœ™) = πΆπœ™ + 𝐷.

Sekarang tersisa persamaan dengan variabel Θ(πœƒ), dimana

Perubahan variabel bebas dari πœƒ menjadi πœ‡ = cos πœƒ, sin πœƒ = (1 βˆ’ πœ‡ 2 ) 1/2 membuat persamaan ini tereduksi ke bentuk khusus. Memberikan

2 𝑑 πœ‡ = cos πœƒ ,

π‘‘πœƒ = βˆ’ sin πœƒ , π‘‘πœƒ = βˆ’ π‘‘πœ‡ , persamaan untuk 𝑀(πœ‡) ≑ Θ(πœƒ) dapat dituliskan

Persamaan khusus ini disebut persamaan Legendre asosiasi. Saat π‘š = 0, persamaan ini tereduksi menjadi persamaan Legendre dan memiliki solusi

Solusinya diberikan oleh fungsi Legendre asosiasi π‘š

𝑙 (πœ‡) dan 𝑄 𝑙 (πœ‡), dimana

demikian juga untuk π‘š 𝑄 𝑙 . Dari hasil ini kemudian diperoleh

dengan π‘š haruslah bilangan bulat, 0 ≀ |π‘š| ≀ 𝑙. Perlu dicatat, jika solusi untuk persamaan Laplace terbatas saat πœ‡ = cos πœƒ = Β±1 (misalnya pada sumbu polar dimana πœƒ = 0, πœ‹), mengharuskan konstanta

𝐹 = 0 pada (πŸ‘. πŸ‘πŸ•) dan (πŸ‘. πŸ‘πŸ—) karena 𝑄 π‘š

𝑙 divergen pada Β±1.

Dari penjabaran tersebut, solusi dari setiap tiga PDB yang terdiri dari 𝑅, Θ dan Ξ¦ telah didapatkan. Solusi total dari persamaan Laplace dengan separasi variabel pada koordinat bola kemudian memiliki bentuk

𝑒(π‘Ÿ, πœƒ, πœ™) = (π΄π‘Ÿ π‘š + π΅π‘Ÿ )(𝐢 cos π‘šπœ™ + π·πœ™)[𝐸𝑃 𝑙 (cos πœƒ) + 𝐹𝑄 𝑙 (cos πœƒ)], (πŸ‘. πŸ’πŸŽ) ketiga faktor di dalam kurung dihubungkan hanya dengan parameter 𝑙 dan π‘š, 0 ≀ |π‘š| ≀ 𝑙. Sama

seperti sebelumnya, solusi lebih umum dapat dilakukan dengan melakukan superposisi solusi ini untuk nilai yang memenuhi konstanta separas 𝑙 dan π‘š.

4. FUNGSI KOMPLEKS

4.1 Fungsi Variabel Kompleks

Suatu fungsi 𝑓(𝑧) dikatakan fungsi variabel kompleks 𝑧 jika setiap nilai 𝑧 pada suatu daerah tertentu di 𝑅 (pada diagram Argand) memiliki satu atau lebih nilai 𝑓(𝑧). Fungsi 𝑓(𝑧) dapat berupa fungsi yang terdiri dari bagian ril dan bagian imajiner, dimana secara umum merupakan fungsi π‘₯ dan 𝑦.

Fungsi 𝑓(𝑧) dengan nilai tunggal pada domain 𝑅 dapat didiferensialkan pada titik 𝑧 saat turunannya

ada dan unik. Hal ini berarti nilainya tidak bergantung pada arah di diagram Argand dimana Δ𝑧 menuju nol.

Perhatikan fungsi 𝑓(𝑧) = π‘₯ 2 βˆ’π‘¦ 2 + 𝑖2π‘₯𝑦 = (π‘₯ + 𝑖𝑦) 2 =𝑧 2 . Dengan mencoba persamaan (πŸ’. 𝟐),

terlihat bahwa 𝑓(𝑧) = 𝑧 2 terdiferensiasi untuk semua 𝑧 berhingga. Sebuah fungsi dengan nilai tunggal dan dapat didiferensialkan pada semua titik di domain 𝑅

dikatakan analitik di 𝑅. Suatu fungsi juga dapat memiliki satu atau lebih titik yang tidak analitik meski titik lain pada domain 𝑅 analitik. Titik yang tidak analitik ini disebut juga singularitas dari 𝑓(𝑧).

4.2 Hubungan Cauchy-Rieman Jika suatu limit

terdefinisi dan unik, dapat didiferensialkan, maka setiap dua cara spesifik untuk Δ𝑧 β†’ 0 haruslah menghasilkan limit yang sama. Secara khusus, bergerak paralel terhadap sumbu ril dan bergerak paralel terhadap sumbu imajiner haruslah menghasilkan hal tersebut.

Saat memisalkan 𝑓(𝑧) = 𝑒(π‘₯, 𝑦) + 𝑖𝑣(π‘₯, 𝑦) dan Δ𝑧 = Ξ”π‘₯ + 𝑖Δ𝑦, maka

dan dengan menerapkan limit pada persamaan (πŸ’. πŸ‘), 𝑒(π‘₯ + Ξ”π‘₯, 𝑦 + Δ𝑦) + 𝑖𝑣(π‘₯ + Ξ”π‘₯, 𝑦 + Δ𝑦) βˆ’ 𝑒(π‘₯, 𝑦) βˆ’ 𝑖𝑣(π‘₯, 𝑦)

Jika Δ𝑧 hanya terdiri dari bagian ril, maka Δ𝑦 = 0, didapatkan

dan jika Δ𝑧 hanya terdiri dari bagian imajiner, maka Ξ”π‘₯ = 0, didapatkan

Agar 𝑓 dapat didiferensialkan pada titik 𝑧, persamaan (πŸ’. πŸ’) dan (πŸ’. πŸ“) harus identik, maka

Kedua kesamaan ini dikenal dengan hubungan Cauchy-Riemann. Hubungan ini dapat digunakan dala menentukan keanalitikan suatu fungsi. Dari persamaan di atas

Terlihat bahwa jika suatu fungsi 𝑓(𝑧) analitik, maka fungsi tersebut haruslah memenuhi hubungan Cauchy-Riemann.

Hasil penting lain dari hubungan Cauchy-Riemann adalah saat mendiferensialkan hubungan ini dengan suatu variabel bebas.

dimana 𝑒 dan 𝑣 secara terpusah adalah solusi dai persamaan Laplace pada dua dimensi

2 + 2 = 0 dan

Sebelum lebih jauh, untuk suatu titik dimana 𝑓(𝑧) tidak analitik pada diagram Argand, titik tersebut disebut sebagai titik singular fungsi kompleks 𝑓(𝑧). Saat 𝑓(𝑧) analitik disemua rentang

domain namun terdapat titik singular hanya di 𝑧=𝑧 0 , maka 𝑧 0 disebut titik singular terisolasi.

4.3 Integral Kompleks

Proses integrasi untuk bilangan ril sudah biasa dilakukan. Berkenaan dengan diperkenalkannya bilangan kompleks, tentu tinjauan integral bilangan kompleks menjadi perlu untuk

diperbincangkan. Karena bidang- 𝑧 terdiri dari dua dimensi, terdapat kebebasan lebih tinggi serta ambiguitas dengan integral bilangan kompleks. Jika fungsi 𝑓(𝑧) bernilai tunggal dan kontinu pada suatu daerah 𝑅 di bidang kompleks, maka dapat didefinisikan integral kompleks dari 𝑓(𝑧) antara dua titik 𝐴 dan 𝐡 sepanjang suatu kurva di 𝑅; nilainya akan bergantung pada lintasan yang diambil antara 𝐴 dan 𝐡. Namun untuk suatu lintasan, terdapat perbedaan tetapi memikul hubungan nilai integral satu dengan yang lain tidak bergantung pada lintasan mana yang dipilih.

Misalkan lintasan 𝐢 dideskripsikan oleh parameter ril kontinu 𝑑 (𝛼 ≀ 𝑑 < 𝛽) yang memberi posisi 𝐢 sebelumnya dengan persamaan

dengan 𝑑 = 𝛼 dan 𝑑 = 𝛽 bergantung pada titik 𝐴 dan 𝐡. Maka integral sepanjang lintasan 𝐢 dari fungsi kontinu 𝑓(𝑧) dituliskan

dan secara eksplisit sebagai penjumlahan dari integral ril

Gambar 4.1 Integral dari 𝐴 dan 𝐡 pada diagram bilangan kompleks

Sebagai penerapan, integral dari 𝑓(𝑧) = 𝑧 βˆ’1 sepanjang lingkaran |𝑧| = 𝑅, berawal dan berakhir di 𝑅, dengan lintasan 𝐢 1 memiliki parameter

𝑧(𝑑) = 𝑅 cos 𝑑 + 𝑖𝑅 sin 𝑑 , 0 ≀ 𝑑 ≀ 2πœ‹

sehingga 𝑓(𝑧) memiliki persamaan

yang dapat diperoleh bagian ril dan imajinernya sebagai

𝑅 cos 𝑑

𝑅 sin 𝑑

π‘₯ 2 +𝑦 2 𝑅 2 Menggunakan persamaan (πŸ’. πŸ–) maka

= 0 βˆ’ 0 + π‘–πœ‹ + π‘–πœ‹ = 2πœ‹π‘– Hal yang penting dari hasil ini adalah nilainya tidak bergantung terhadap 𝑅.

4.4 Teorema Cauchy

Untuk 𝑓(𝑧) sebuah fungsi analitik dan 𝑓 β€² (𝑧) kontinu pada setiap titik dalam suatu kontur tertutup 𝐢, maka teorema Cauchy menyatakan

Hal ini dapat dibuktikan dengan menggunakan teorema Green yang tidak lain adalah bentuk dua dimensi dari teorema divergen. Teoremanya mengatakan, jika 𝑝 dan π‘ž adalah dua fungsi dengan diferensial pertama kontinu dalam suatu kontur tertutup 𝐢 pada bidang-π‘₯𝑦, maka

Sehingga, untuk 𝑓(𝑧) = 𝑒 + 𝑖𝑣 dan 𝑑𝑧 = 𝑑π‘₯ + 𝑖𝑑𝑦,

memberikan

Karena 𝑓(𝑧) analitik, maka hubungan Cauchy-Riemann terpenuhi, berlaku persamaan (πŸ’. πŸ”) sehingga 𝐼 = 0. Teorema Cauchy terbukti.

Aplikasi penting teorema Cauchy adalah membuktikan bahwa pada kasus tertentu, kontur tertutup 𝐢 dapat dideformasi menjadi kontur tertutup lain 𝛾 sedemikian rupa, sehingga integral dari fungsi

𝑓(𝑧) di sekitar setiap kontur memiliki nilai yang sama.

Perhatikan dua kontur tertutup 𝐢 dan 𝛾 pada gambar 3.9 dengan kontur 𝛾 berada seluruhnya pada kontur 𝐢. Dua garis paralel 𝐢 1 dan 𝐢 2 menghubungkan 𝛾 dan 𝐢. Terbentuk kontur baru, katakanlah

Ξ“, terdiri dari 𝐢, 𝐢 1 , 𝛾 dan 𝐢 2 .

Gambar 4.2 Dua kontur, 𝐢 dan 𝛾 berada pada bidang Argand

Dalam luasan yang dilingkupi Ξ“, fungsi 𝑓(𝑧) analitik, sehingga berlaku teorema Cauchy, ∫ 𝑓(𝑧)

𝑑𝑧 = 0 . Sekarang, bagian 𝐢 1 dan 𝐢 2 melingkar pada arah berlawanan, dan batas dimana keduanya saling berdekatan, kontribusi dari luasan Ξ“ akan habis, sehingga menyisakan

Didapatkan esensi integral sekitar 𝛾 berlawanan dengan integral sekitar 𝐢, sehingga dengan memutar balik arah melingkar 𝛾, diperoleh persamaan (πŸ’. 𝟏𝟎).

4.5 Integral Cauchy Ketika fungsi 𝑓(𝑧) analitik dalam sebuah kontur tertutup 𝐢 dan 𝑧 0 suatu titik di dalam kontur

tertutup tersebut, maka

Persamaan (πŸ’. 𝟏𝟏) menyatakan bahwa nilai dari fungsi analitik dimanapun di dalam kontur tertutup secara unik ditentukan oleh nilainya pada kontur dan penyajian spesifik persamaan ini dapat diberikan untuk titik interior.

Pembuktian persamaan ini dilakukan dengan menggunakan persamaan (πŸ’. 𝟏𝟎) dan mengambil 𝛾 sebagai lingkaran dengan titik pusat di 𝑧=𝑧 0 , dengan jari-jari cukup kecil 𝜌 sehingga semuanya berada dalam 𝐢. Karena 𝑓(𝑧) analitik di dalam 𝐢, nilai integrasi 𝑓(𝑧)/(𝑧 βˆ’ 𝑧 0 ) analitik pada ruang antara 𝐢 dan 𝛾. Maka dari persamaan (πŸ’. 𝟏𝟎), integral sekitar 𝛾 memiliki nilai sama dengan integral sekitar 𝐢.

Kemudian digunakan fakta bahwa titik 𝑧 pada 𝛾 diberikan oleh 𝑧 = 𝑧 0 + 𝜌 exp(π‘–πœƒ) sementara 𝑑𝑧 = π‘–πœŒ exp π‘–πœƒ π‘‘πœƒ. Maka nilai integral sekitar 𝛾

Jika jari-jari dari lingkaran 𝛾 menyusut menuju nol, 𝜌 β†’ 0, maka 𝐼 = 2πœ‹π‘–π‘“(𝑧 0 ), yang membuktikan persamaan (πŸ’. 𝟏𝟏).

Hal menarik didapatkan ketika menelusuri perolehan β€² 𝑓 (𝑧 0 ), dengan menggunakan persamaan dasar turunan

dengan β„Ž β†’ 0, maka diperoleh

atau secara umum,

4.6 Deret Taylor dan Laurent Jika 𝑓(𝑧) analitik di dalam lingkaran 𝐢 dengan jari-jari 𝑅 dengan titik pusat 𝑧 = 𝑧 0 , dan 𝑧 berada

di dalam 𝐢, maka di dalam 𝐢, maka

Pembuktian persamaan tersebut dapat dimulai dengan persamaan Cauchy

dengan πœ‰ berada di 𝐢. Faktor (πœ‰ βˆ’ 𝑧) βˆ’1 dapat diekspansi sebagai deret geometri dengan (𝑧 βˆ’ 𝑧 0 )/(πœ‰ βˆ’ 𝑧 0 ),

menyederhanakan persamaan dengan menghilangkan faktor 2πœ‹π‘– diperolehlah (πŸ‘. πŸπŸ’) dengan π‘Ž 𝑛

𝑛 =𝑓 (𝑧 0 )/𝑛!. Jika 𝑓(𝑧) memiliki singularitas di dalam 𝐢 pada titik 𝑧 = 𝑧 0 , maka fungsi tersebut tidak dapat

diekspansi dengaan teorema Taylor. Namun dengan memisalkan 𝑓(𝑧) memiliki kutub dengan orde namun analitik di titik lain dan di dalam

) 𝑝 pada 𝑧 = 𝑧 𝑝 0 𝐢. Maka fungsi 𝑔(𝑧) = (𝑧 βˆ’ 𝑧 0 𝑓(𝑧) analitik pada 𝑧=𝑧 0 dan dapat di ekspansi sebagai deret Taylor disekitar 𝑧=𝑧 0

sehingga untuk semua 𝑧 di dalam 𝐢, 𝑓(𝑧) akan memiliki deret pangkat dengan bentuk π‘Ž βˆ’π‘

dengan π‘Ž βˆ’π‘ β‰  0. Deret tersebut adalah perluasan dari deret Taylor yang lebih dikenal dengan deret Laurent. Dengan membandingkan koefisien persamaan (πŸ‘. πŸπŸ”) dan (πŸ‘. πŸπŸ•), dapat dilihat bahwa

π‘Ž 𝑛 =𝑏 𝑛+𝑝 . Koefisien 𝑏 𝑛 pada ekspansi Taylor 𝑔(𝑧), dengan memanfaatkan persamaan (πŸ‘. πŸπŸ‘), diberikan oleh

dan koefisien π‘Ž 𝑛

dimana berlaku baik untuk 𝑛 positif atau negatif. Bagian pada deret Laurent untuk 𝑛 β‰₯ 0 disebut bagian analitik, sementara bagian lain, terdiri dari

pangkat invers dari π‘§βˆ’π‘§ 0 , disebut bagian prinsipil. Tergantung sifat alami dari titik 𝑧=𝑧 0 , bagian prinsipil dapat mengandung takberhingga bagian, sehingga

Pada kasus ini, bagian prinsipil konvergen hanya saat |(𝑧 βˆ’ 𝑧 0 ) βˆ’1 | kurang dari suatu konstan, misalnya diluar suatu lingkaran dengan pusat 𝑧 0 . Namun, bagian analitik akan konvergen di dalam suatu lingkaran juga berpusat 𝑧 0 . Jika lingkaran pada bagian analitik ini jari-jarinya lebih besar maka deret Laurent akan konvergen di daerah 𝑅 antara dua lingkaran, selain itu deretnya tidak konvergen.

Jika 𝑓(𝑧) tidak analitik di 𝑧 = 𝑧 0 , maka dua kasus muncul

(i) Dapat dicari bilangan bulat 𝑝 dimana π‘Ž βˆ’π‘ β‰  0 tapi π‘Ž βˆ’π‘βˆ’π‘˜ = 0 untuk semua π‘˜ > 0. (ii) Tidak mungkin menemukan nilai lebih rendah dari βˆ’π‘.

Gambar 4.3 Bagian konvergen 𝑅 untuk deret Laurent dari 𝑓(𝑧) pada sekitar 𝑧 = 𝑧 0 dengan 𝑓(𝑧)

memiliki singularitas

Pada kasus (i), 𝑓(𝑧) diperoleh dari (πŸ‘. πŸπŸ•) dan medeskripsikan terdapat kutub berderajat 𝑝 pada

𝑧=𝑧 0 ; nilai π‘Ž βˆ’1 disebut sebagai residu dari 𝑓(𝑧) pada kutub 𝑧 = 𝑧 0 . Sementara kasus (ii), saat pangkat menurun negatif dari (𝑧 βˆ’ 𝑧 0 ) tidak habis, 𝑓(𝑧) dikatakan

memiliki singularitas esensial. Misalnya, mencari deret Laurent pada pada titik singlaritas 𝑧 = 0 dan 𝑧 = 2 pada fungsi berikut

Untuk deret Laurent di 𝑧 = 0, faktor dalam kurung pada pembagi diubah kebentuk (1 βˆ’ 𝛼𝑧), dengan 𝛼 konstan, sehingga

=βˆ’ 8𝑧 βˆ’ 16 βˆ’ 16 βˆ’ 32 βˆ’ β‹― . Karena pangkat paling kecil dari 𝑧 adalah βˆ’1, titik 𝑧 = 0 merupakan kutub dengan orde 1. Residu

dari 𝑓(𝑧) pada 𝑧 = 0 adalah koefisien dari 𝑧 βˆ’1 pada ekspansi Laurent di titik tersebut dan memiliki nilai, seperti dapat dilihat, βˆ’1/8.

Untuk 𝑧 = 2, dengan memisalkan 𝑧 = 2 + πœ‰, maka

Terlihat bahwa di titik 𝑧 = 2 kutubnya berorde 3 dan residu dari 𝑓(𝑧), koefisien dari (𝑧 βˆ’ 2) βˆ’1 , adalah 1/8.

Untuk 𝑓(𝑧) dengan kutub berorde π‘š pada 𝑧 = 𝑧 0 , dengan deret Laurent

mengalikan kedua ruas dengan

Melakukan diferensial π‘š βˆ’ 1 kali,

untuk suatu koefisien 𝑏 𝑛 . Pada limit 𝑧→𝑧 0 , bagian dalam sigma akan habis, dan setelah melakukan beberapa penyusunan ulang didapatkan bentuk