MENDIDIK DENGAN partisipasinya di KASIH

MENDIDIK DENGAN KASIH:
Membentuk Anak Cerdas dan Berkarakter
Yang terhormat,
1. Bapak Koordinator Kopertis Wilayah VIII
2. Para pendiri IKIP PGRI Bali, tanpa beliau kami
tak akan pernah ada;
3. Pembina, Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, dan
seluruh pengurus YPLP PT IKIP PGRI Bali;
4. Rektor dan pembantu rektor IKIP PGRI Bali;
5. Para dekan, pembantu dekan, ketua dan sekretaris
program studi di lingkungan IKIP PGRI Bali;
6. Para kepala biro, kepala bagian, ketua lembaga,
dan kepala unit di lingkungan IKIP PGRI Bali;
7. Para dosen, civitas akademika, dan keluarga besar
IKIP PGRI Bali yang terkasih.

Puji syukur dipanjatkan ke hadapan Ida Hyang
Widhi Wasa, Tuhan Yang Mahaesa, dalam manifestasi
Beliau sebagai Sang Hyang Aji Saraswati, Pencipta ilmu
pengetahuan, karena hanya berkat dan rahmatNya, kita
keluarga besar IKIP PGRI Bali dapat bertemu dalam

suasana ikatan batin, kebersamaan, dan penuh kasih
dalam dies natalis ke-29 ini. Teriring rasa syukur itu,

ucapan terima kasih saya sampaikan kepada para
pemimpin IKIP PGRI Bali yang telah memberikan
kepercayaan kepada saya untuk menyampaikan orasi
ilmiah pada acara dan forum terhormat ini. Semoga
pikiran baik datang dari berbagai penjuru.

1. Rasionel
Bapak / Ibu, dan hadirin yang saya hormati,
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang
guru dan dosen kini telah memasuki usia yang ke-7.
Salah satu amanat terpenting dalam undang-undang itu
adalah adanya pengakuan guru dan dosen sebagai jabatan
profesional. Untuk mendorong mewujudkan guru dan
dosen yang profesional, pemerintah melakukan sertifikasi
guru dalam jabatan yang pelaksanaannya didasarkan
pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
18/2007 yang telah diubah menjadi Peraturan Menteri

Pendidikan Nasional Nomor 11/2008 dan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 42/2007 tentang
sertifikasi dosen. Sertifikasi itu merupakan suatu
pengakuan akan keprofesionalitasan guru dan dosen.
Program sertifikasi telah memberikan kontribusi nyata
pada peningkatan kesejahteran pembentuk insan cendekia
2

ini.

Diharapkan,

peningkatan

kesejahteraan

itu

berimplikasi kepada peningkatan layanan edukasi yang
diberikannya.

Terlepas dari program sertifikasi, yang lebih
ditekankan pada aspek administratif tersebut, kiranya
perlu

dipikirkan

aspek

kehumanioraan

dalam

menentukan ‘kadar’ keprofesionalan guru dan dosen. Hal
ini dirasakan sangat mendasar dan penting kerena hakikat
pendidikan

adalah

memanusiakan


manusia

untuk

mencapai harkat kemanusiaannya (Joni, 1984). Tanpa
pemahaman nilai-nilai humaniora, harkat kemanusiaan
tampaknya sulit dicapai. Untuk itulah diperlukan
kegiatan mendidik dengan kasih sebagai refleksi nilainilai humaniora. Guru seharusnya sadar dan menyadari
bahwa kecintaannya pada profesi yang digeluti, ketika
bersama-sama dengan siswa, adalah melayani, mengajar,
dan mendidik dalam bingkai nilai kenanusiaan (Sriyanto,
2012:20).

Bapak/Ibu dan hadirin yang saya hormati,
Motto guru patut digugu dan ditiru mencerminkan
sosok guru merupakan pribadi yang baik. Tanpa disadari,
motto itu merupakan standarisasi dan harapan masyarakat
3

atas kompetensi pribadi guru. Sayangnya, banyak guru

yang tidak sadar akan standarisasi

dan harapan

masyarakat tersebut. Banyak guru yang terlena dengan
otoritasnya di kelas. Pengagungan otoritas yang tidak
terkontrol

tersebut

mengakibatkan

berbagai

kasus

kekerasan fisik dan psikologis terjadi di balik bilik ruang
sekolah. Kekerasan fisik bersifat lebih transparan, mudah
dilihat sehingga cepat di-exspose ke masyarakat. Tidak
demikian halnya dengan kekerasan psikologis. Kekerasan

ini

relatif

tersembunyi

sehingga

sulit

diketahui

masyarakat luar sekolah. Kunci pokok penyelesaian
persoalan ‘kekerasan’ dalam pendidikan adalah mendidik
dengan kasih. Untuk itu, guru diberikan kebebasan
menjadi pribadi yang otonom sehingga bisa mengajak
para siswa mendefinisikan pribadi yang bebas dan
mandiri. Guru perlu bersikap kritis terhadap kenyataan
yang melingkupinya sehingga siswa pun dapat berpikir
kritis terhadap pengalaman yang melibatkan mereka

dalam pencarian nilai-nilai kemanusiaan dan jati diri.
Dengan cara itu, guru bukan hanya sebagai pengajar
tetapi juga sebagai pendidik yang mengejawantahkan
nilai-nilai hidup dan kehidupan yang lebih bermakna dan
memartabatkan insan manusia.
4

2. Pentingnya Mendidik dengan Kasih
Bapak/Ibu dan hadirin yang saya hormati,
Perlu direnungkan secara mendalam dan saksama
adanya kecemasan pada banyak siswa saat memasuki
tahun ajaran baru. Gichara (2012) menjelaskan bahwa
pemahaman

kondisi

sosial-psikologis

penting


diperhatikan pada saat awal sekolah. Dikatakan penting
karena pada tahun ajaran baru merupakan awal
‘peletakan’ rasa aman dan nyaman bagi keberlangsungan
pendidikan. Pangabaian kondisi sosial-psikologis ini
menyebabkan para siswa berada dalam banyang-banyang
‘kegalauan’ pendidikan, baik secara individu maupun
kelompok. Di dalam hati mereka bertanya-tanya, “Siapa
guru saya dan bagaimana karakternya?”; “Akan diapakan
saya di ruang kelas?”; “Mungkinkah saya mengikuti
pelajaran yang disajikan? “ dan sejumlah pertanyaan
‘galau’ lain yang berkecamuk dalam hati para siswa.
Semua kecemasan itu akan menjadi tembok penghalang
dalam

interaksi

pembelajaran.

Untuk


menghindari

serentet pertanyaan pesimistis tadi, guru, sebagai agen,
perlu mengubah mind-set para siswa dengan pendekatan
kasih sayang sehingga tumbuh dan berkembang ikatan
batin guru – siswa, dan siswa – siswa.
5

Dengan

pendekatan ini, diharapkan tumbuh keyakinan yang kuat
akan keberhasilan pendidikan. Keyakinan itu terpateri
dalam hati para siswa sehingga mereka berucap
“Kutemukan cinta pada guruku”
Dilihat dari latar perjalanan sejarah, selama
beberapa dekade, pendidikan di negara kita lebih banyak
berorientasi pada aspek kognitif (the cognitive oriented).
Orientasi pendidikan seperti itu menghasilkan insaninsan yang cerdas tetapi relatif gagal membangun
peradaban baru yang lebih maju; yakni peradaban yang
menjadikan sebuah negara memiliki kemandirian yang

tinggi dan mampu berkembang serta menyediakan
kebutuhan masyarakatnya (Indrayani, 2012). Pendidikan
kognitif ternyata baru dapat mewujudkan learning to
know dan masih mengabaikan pilar pendidikan yang
lainnya.

Strategi

dan

model

pembelajaran

yang

dikembangkan akhir-akhir ini, seperti pembelajaran
kolaboratif, kooperatif, dan konstrukstvis tampaknya
masih mengunggulkan aspek kognitif dengan penekanan
pada proses penguasaannya. Penguasaan ilmu memang

dirasakan penting. Pengembangan kognitif mutlak dan
merupakan keniscayaan, tetapi belum cukup untuk
mewujudkan generasi yang berkarakter baik dan kuat.
6

Guru tidak hanya bertugas mentransfer ilmu kepada
siswa.

Guru

tidak

hanya

menjalankan

program

pengajaran secara kaku, tetapi juga menanamkan nilainilai hakiki cinta kasih. Saat mendidik, kasih seorang
guru wajib hadir. Dengan kasih seorang guru akan
tercipta pembelajar yang memiliki kasih pada sesama
manusia yang akan mengerti dan dimengerti.
Siswa merupakan insan yang diusahakan guru
dalam lingkungan yang dirancangnya untuk mencapai
harkatnya secara optimal. Pengusahaan itu bermakna
adanya kesadaran pada insan-insan pendidik untuk
mewujudkan

harapan

dan

cita-citanya.

Kesadaran

pendidik akan hakikat manusia dan kasih sayang
seharusnya menjadi salah satu pondasi pelaksanaan
pendidikan dan pengajaran. Bahkan Maslow (dalam
Crider, 1983) menegaskan kasih sayang merupakan salah
satu unsur hirarki kebutuhan manusia. Sejalan dengan itu,
Widagdho (2008) menyatakan kasih sayang adalah
sesuatu yang indah, suci, dan didambakan setiap orang.
Cinta kasih tidak akan pernah lahir jika tidak ada orang
yang melahirkannya. Siswa tidak akan memiliki dan
merasakan cinta kasih jika guru tidak melahirkannya di
ruang kelas. Guru yang mengajar tanpa cinta kasih akan
7

menghasilkan suasana pembelajaran yang tegang, kaku,
dan mekanistik. Pengajaran seperti itu akan menjadikan
pembelajaran sebagai beban dan momok menakutkan
bagi para siswa. Itulah sebabnya, sering pembelajaran
dirasakan sebagai ‘penjinakan’ dan bukan sebagai
kenikmatan yang mendatangkan rasa senang dan kagum.
Mendidik dengan kasih berangkat dari filsafat tat twam
asi, yakni menempatkan diri pada orang lain dan tidak
menuntut simbolik kepatuhan. Mendidik dengan kasih
tetap menjamin keperibadian dan individualitas yang
kompetetif. Mendidik dengan kasih menghadirkan
dimensi kemanusiaan dalam praksis pendidikan yang
diimplementasikan lewat interaksi yang menempatkan
pendidik dan peserta didik sebagai insan manusia dengan
keseluruhan keperibadian yang utuh. Praksis pendidikan
yang tidak mengasingkan peserta didik dari realitas
kehidupan mereka. Terkait dengan praksis ini, Sriyanto
(2012) menegaskan ada tiga prinsip humaniora yang
perlu diimplementasikan dalam pendidikan. Pertama,
pengembangan kognitif, kemampuan berpikir, serta
pemupukan hati nuarni harus berjalan bersama. Kedua,
peserta didik harus diberi kesempatan untuk lebih
mengenal nilai-nilai kemanusiaan yang universal dan
8

abadi. Ketiga, harus ada kerja sama antara pendidik
dengan peserta didik dalam teori dan praktek. Dengan
berlandaskan pada ketiga prinsip tersebut diharapkan
pembelajaran yang dilakukan menyentuh hati dan sisi
kemanusiaan peserta didik. Apapun akan lebih mudah
dilakukan peserta didik jika hati dan batinnya tersentuh.
Inilah pendidikan sesungguhnya, menyentuh hati dan
batin peserta didik. Setiap guru dapat membawa semua
siswa ke dalam kelas, tetapi tidak setiap guru berhasil
membuatnya belajar. Agar hal ini berhasil perlu disentuh
aspek batiniah para siswa. Sentuhan batiniah inilah yang
menjadikan

interaksi

edukasional-fungsional

lebih

bermakna.

Bapak / Ibu yang saya hormati,
Oleh banyak budayawan, manusia dikatakan
memiliki akal dan budi, yang membedakan dengan
makhluk lain. Akal merupakan potensi berpikir manusia.
Dengan kemampuan berpikir manusia menjadi cerdas,
kreatif, dan visioner. Tetapi, manusia tidak akan
mencapai harkat kemanusiaannya jika tidak memiliki
kehalusan rasa. Kehalusan rasa mengembangkan sikap
empati, yakni merasakan apa yang dirasakan orang lain;
9

senang merasakan kebahagiaan orang lain, juga sedih
merasakan orang lain susah. Bukan sebaliknya, senang
melihat orang lain susah atau susah melihat orang lain
senang. Pendidikan yang holistik seharusnya menyentuh
aspek akal dan budi tersebut. Pendidikan yang holistik
wajib membuka akal dan budi siswa; serta proses
pembukaannya pun menggunakan akal dan budi para
guru. Membuka hati peserta didik hanya dapat dilakukan
dengan rasa kasih yang tulus, yakni keinginan untuk
memberi dan tidak berharap imbalan, seperti kutipan
syair lagu anak-anak “…bagai sang surya menyinari
dunia tak harap kembali”. Keberhasilan guru membuka
hati

siswa

diharapkan

berimplikasi

kepada

pengembangan kecerdasan intelektual, emosional, dan
spiritual karena mendidik dengan hati sesungguhnya (1)
menumbuhkan motivasi internal, (2) membangun sistem
keyakinan,

(3)

menumbuhkan

inspirasi,

dan

(4)

mendorong pembelajaran mandiri (Hidayatullah, 2010).
Hubungan itu divisualkan seperti berikut ini.

10

Motivasi Internal:
Niat yang lurus
Berpikir positif
Ikhlas

Sistem Keyakinan:
Kemantapan hati
Ingin sukses

Inspirasi:
Banyak ide
Langkah implementatif

Implementasi Belajar Mandiri:
Pendekatan, metodik
Kerja keras

3. Pentingnya Pendidikan Karakter pada Pendidikan
Guru
Bapak/Ibu dan hadirin yang saya hormati,
Pendidikan kogintif di Indonesia dikatakan berada
dipersimpangan jalan. Indikator makro yang digunakan
mendukung

pernyataan

itu

adalah

(1)

fenomena

menurunnya jiwa dan posisi daya saing bangsa saat ini;
11

(2) belum terciptanya peradaban maju yang menjadikan
negara kita memiliki kemandirian yang tinggi dan
mampu

berkembang

menyediakan

kebutuhan

masyarakat, dan (3) tidak banyak terjadi peningkatan
produktivitas kerja. Indikator makro tersebut tampaknya
masih berparadoks dengan komitmen pembangunan
millineum yang menetapkan bahwa tambahan rata-rata
lama pendidikan dapat dijadikan komponen penting
perbaikan pembangunan manusia.

Untuk itu perlu

dikembangkan penanaman sikap yang benar dalam
proses pembelajaran sehingga tumbuh pemahaman akan
pentingnya pengetahuan kognitif dan soft skills secara
terpadu dan berkesinambungan (Elfindri, dkk. 2012).
Kesadaran akan kelemahan pendidikan kognitif
tidaklah dimaksudkan untuk meninggalkannya, tetapi
perlu diperbaiki dan dilengkapi dengan pendidikan pada
aspek lain, yakni pendidikan karakter sebagai landasan
pengembangan kompetensi individual. Oleh Hidayatullah
(2010), karakter dinyatakan sebagai kualitas mental atau
moral atau kekuatan moral, nama atau reputasi.
Selanjutnya, Kamisa (1997) menyatakan karakter adalah
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang
membedakan seseorang dengan orang lain: tabiat atau
12

watak. Dari kedua pendapat itu, dapat ditarik satu
keparalelan konsep, bahwa karakter itu merupakan aspek
keperibadian yang berpangkal pada etika dan moral yang
relatif permanen. Etika dan moral tidak cukup ‘dialirkan’
karena hanya akan menghasilkan pengetahuan tentang
etika dan moral; tetapi harus ditanamkan dan dipupuk
sehingga dihayati oleh para siswa. Penghayatan yang
saksama membuat etika dan moral menjadi bagian dari
individu. Penanaman dan pemupukan karakter ini
tidaklah bersifat instan tetapi terjadi dalam proses
longitudinal dalam dinamika kelompok yang dibingkai
dengan cinta kasih. Oleh karena itu perlu dibangun
kelompok-kelompok produktif untuk mengembangkan
pendidikan karakter. Salah satu agen kelompok produktif
itu adalah guru sehingga kepadanya diberikan tanggung
jawab ini. Dengan kata lain, agar bisa menjalankan peran
sebagai agen kelompok produktif, guru seharusnya telah
menghayati nilai-nilai pendidikan karakter. Untuk itu
melalaui

kesempatan

ini,

perlu

dipertimbangkan

dimasukkan pendidikan karakter dan karakter pendidik
ke dalam kurikulum LPTK, atau sekurang-kurangnya
menjadi salah satu subbagian silabus dalam mata kuliah
profesi keguruan. Pendidikan karakter dan karakter
13

pendidik diharapkan dapat menghasilkan guru yang
memiliki profil kerja berikut ini.
1. Berkomitmen dengan sungguh-sungguh dalam
mewujudkan visi, misi dan tujuan pendidikan.
2. Menjunjung tinggi martabat dan profesi guru.
3. Melakukan

yang

terbaik

dalam

mengembangkan potensi peserta didik.
4. Bekerja keras dengan penuh ‘pengabdian’.
Gagasan pencatuman pendidikan karakter dan
karakter pendidik dalam kurikulum LPTK, menurut
hemat saya, bukanlah sesuatu yang berlebihan karena
karakter pendidik merupakan bagian dari kompetensi
keperibadian guru seperti yang diamanatkan pada pasal
10 Undang-Undang Nomor 14 / 2005 tentang Guru dan
Dosen.

Kompetensi

keperibadian

mencakup

sikap

(attitude), nilai (value) yang tercermin dalam tingkah
laku

(behavior)

yang

diharapkan

mendukung

performance guru yang ideal sesuai dengan bidang
pendidikan dan kewenangan mengajar. Kompetensi
keperibadian guru berkaitan dengan perilaku pribadi
yang berpijak pada nilai-nilai luhur dan terpancar dalam
tingkah laku sehari-hari melalui self concept, self idea,
dan self reality (Satori, dkk. 2007). Pendidikan yang
14

berhasil adalah yang dapat membangun insan cerdas dan
berkarakter. Hidayatullah (2010) mengatakan kecerdasan
dibangun melalui aspek intelektual, emosional, dan
spiritual. Karakter dibangun melalui sikap yang amanah
dan keteladanan. Sikap amanah meliputi : komitmen,
kompeten, kerja keras, dan konsisten; serta keteladanan
mencakup kesederhanaan, kedekatan, layanan maksimal.

4. Simpulan
Bapak/Ibu dan hadirin yang saya hormati,
Semua guru pasti bisa membawa siswa ke dalam
kelas, tetapi tidak setiap guru berhasil membelajarkannya. Untuk bisa membelajarkannya perlu dikemas
melalui

pendekatan

kasih

sayang.

Kasih

sayang

merupakan salah satu kebutuhan esensial manusia. Kasih
sayang itu harus dimunculkan di ruang kelas sehingga
siswa menghayati nilai humaniora ini.
Pendidikan tidak hanya bertujuan membentuk
peserta didik menjadi cerdas. Hakikat pendidikan adalah
meningkatkan harkat kemanusiaan peserta didik. Salah
satu harkat kemanusiaan itu adalah adanya kesadaran
nilai dan moral yang dapat ditanamkan melalui cinta
kasih. Untuk bisa mewujudkan hakikat pendidikan itu,
15

perlu disiapkan tenaga pendidikan yang selain menguasai
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni juga memiliki
karakter

positif

sebagai

representasi

kompetensi

keperibadian.

5. Penutup
Bapak/Ibu dan hadirin yang saya hormati,
Demikianlah orasi ilmiah yang dapat saya
sampaikan pada hari ini. Saya menyadari, banyak
kelemahan dan kekurangan di dalamnya. Oleh karena itu
masukan dan saran sangat saya harapkan untuk
penyempurnaan orasi ini, teriring doa dan harapan
semoga IKIP PGRI Bali bisa menjadi salah satu
barometer pendidikan nasional.

Denpasar, 25 Agustus 2012
Penulis,

Nengah Arnawa

16

Daftar Rujukan
Crider, Andrew B. 1983. Psychology. London : Scott,
Foresman and Company.
Elfindri, dkk. 2012. Pendidikan Karakter : Kerangka,
Metode dan Aplikasi untuk Pendidik dan
profesional. Jakarta : Baduose Media.
Gichara, Jenny. 2012. Kelas Sehat Prestasi Hebat.
Jakarta: Gramedia.
Hidayatullah, Furqon M. 2010. Guru Sejati :
Membangun Insan Berkarakter Kuat & Cerdas.
Surakarta : Yuma Pustaka.
Indrayani. 2012. Pendidikan Karakter. Jakarta : Baduose
Media.
Joni, T. Raka. 1984. Wawasan kependidikan Guru.
Jakarta : P2LPTK.
Kamisa. 1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia.
Surabaya : Kartika.
Satori, Djam’an. 2007. Profesi Keguruan. Jakarta :
Universitas Terbuka.
Sriyanto, Hj. 2012. Sekolah Itu Surga. Nglarang :
Selingkar Rumah Ide Pustaka.
Undang-Undang Nomor 14 / 2005 tentang Guru dan
Dosen. Badung : Fokusmedia.

17

Widagdho, Djoko. 2008. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta :
Bumi Aksara.

18