MENUMBUHKAN KESADARAN SOSIAL UMAT ISLAM

DAFTAR ISI

COVER................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................1
BAB I
PENDAHULUAN.............................................................................................................2
A.

Latar Belakang.......................................................................................................2

B.

Rumusan Masalah..................................................................................................3

C.

Tujuan Penulisan....................................................................................................3

Bab II
PEMBAHASAN...............................................................................................................4

A.

Universalisme dan Kosmopolitanisme Islam.........................................................4

B.

Pemikiran Para Ahli Indonesia Mengenai Universalisme Islam.............................8

C.

1.

Abdurrahman Wahid..........................................................................................8

2.

Nurcholish Madjid............................................................................................10

3.


Kuntowijoyo.....................................................................................................18
Tahap – tahap Kesadaran Sosial umat Islam Indonesia........................................21

BAB III
PENUTUP.......................................................................................................................28
A.

Kesimpulan..........................................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................29

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam sebagai agama rahmatan li al-Alamin memanifestasikan
keuniversalannya dalam bidang kehidupan manusia. Universal dimaksud
adalah bahwa risalah Islam ditujukan untuk semua umat, segenap ras dan

bangsa serta untuk semua lapisan masyarakat . Bukan risalah untuk bangsa
tertentu yang beranggapan bahwa bangsanya yang terpilih , dan karenanya
semua

manusia

harus

tunduk

kepadanya.

Universalisme

Islam

menampakkan diri dari berbagai manifestasi penting, dan yang terbaik
adalah ajaran-ajarannya. Ajaran-ajaran Islam yang mencakup aspek
akidah, syari’ah dan akhlak ( yang sering kali disempitkan oleh sebagian
masyarakat menjadi hanya kesusilaan dan sikap hidup ) . Hal ini dapat

dilihat dari enam tujuan umum syari’ah yaitu : menjamin keselamatan
agama, badan, akal, keterunan, harta dan kehormatan. Selain itu risalah
Islam juga menampilkan nilai-nilai kemasyarakatan ( social values ) yang
luhur, yang bisa dikatakan sebagai tujuan dasar syari’ah yaitu: keadilan,
ukhuwah, kebebasan dan kehormatan. Semuanya ini akhirnya bermuara
pada keadilan social dalam arti yang sebenarnya.
Di Indonesia misalnya, sebagai suatu bangsa yang mempunyai
tingkat hiterogenitas tertinggi secara fisik ( negara kepulauan ) maupun
dalam soal keragaman suku, bahasa, daerah, agama dan adat istiadat,
maka dengan sendirinya manifestasi dan ekspresi keberagamannya
bervariasi sejalan dengan kondisi keberagamannya budaya yang ada.
Muncul antara yang kebarat-baratan, kearab-araban dan ketradisianketradisian sebagai sesuatu yang sulit dihindari . Persoalannya adalah
bagaimana kita bisa menghadapinya kemudian menumbuhkan kesadaran
sosial umat islam akan risalah islam ini.
Dalam makalah ini penulis akan mengali lebih dalam mengenai
universalisme islam. Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat
2

menumbuhkan betapa pentingnya kesadaran sosial umat islam di
Indonesia mengenai universalisme islam.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang menjadi pokok permasalahan
menumbuhkan kesadaran sosial umat islam melalui universalisme islam.
1.
Apa itu Universalisme dan kosmpolitanisme islam?
2.
Bagaimana pemikiran para ahli Indonesia mengenai Universalisme
3.

islam?
Bagaimana tahap – tahap kesadaran sosial umat islam Indonesia?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan Penulisan makalah ini sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui universalisme sebagai kerangka.
2.
Untuk mengetahui pemikiran para ahli Indonesia mengenai
3.


Universalisme islam.
Untuk mengetahui tahap – tahap kesadaran sosial umat islam
Indonesia?

3

Bab II
PEMBAHASAN

A.

Universalisme dan Kosmopolitanisme Islam
Universalisme islam adalah salah satu karakteristik Islam yang
sebagian besar berkarakteristikkan: 1) Rabbaniyah, 2) Insaniyyah
(Humanistik), 3) Syumul (totalitas) yang mencakup unsur keabadian dan
menyentuh semua aspek manusia seperti ruh, akal, hati, dan badan, 4)
Wasathiyah atau moderat dan seimbang, 5) Waqi’yah (realitas), 6) Jelas
dan gambling, 7) Integrasi antara al-Tsabat wa al-Murunah (permanen dan
elastis). (Yusuf Qardhawi, 1993 : 3)
Universalisme Islam yang dimaksudkan adalah risalah islam

ditujukan untuk semua umat, segenap ras maupun bangsa. Ia bukanlah
sebuah risalah untuk bangsa tertentu yang beranggapan bahwa dialah
bangsa yang terpilih, karena semua manusia pada hakikatnya harus tunduk
kepada – Nya.
Risalah Islam adalah hidayah Allah untuk segenap manusia dan
rahmat – Nya untuk semua hamba – Nya (QS. Al-Anbiya: 107).
Pernyataan ini tertera dalam firman – Nya: “Dan tidak kami utus engkau
(Muhammad) kecuali sebagai rahmah bagi seluruh alam” (QS Al-A'raf :
158). "Katakanlah (Muhammad) agar ia menjadi juru peringatan bagi seru
sekalian alam.
Ayat-ayat diatas yang secara implisit membantah tuduhan sebagian
orientalis

yang

menyatakan

bahwa

Muhammad


SAW

tidak

memproklamirkan pengutusan dirinya untuk seluruh umat manusia pada
awal kerisalahannya, akan tetapi setelah mendapat kemenangan atas
bangsa Arab (Yusuf Qardhawi, 1993 : 107-108).

4

Universalisme

Islam

menampakkan

diri

dalam


berbagai

manifestasi penting, dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya.
Ajaran-ajaran Islam yang mencakup aspekakidah, syari'ah dan akhlak
sering dianggap oleh sebagian masyarakat menjadi aturan kesusilaan dan
sikap hidup dan terfokus dengan masalah kemanusiaan . Hal ini dapat
dilihat dari enam tujuan umumsyari'ahyaitu; menjamin keselamatan
agama, badan, akal, keturunan harta dan kehormatan. Selain itu risalah
Islam juga menampilkan nilai-nilai kemasyarakatan (social values) yang
luhur, yang bisa di katakan sebagai tujuan dasar syari'ah yaitu; keadilan,
ukhuwwah, takaful, kebebasan dan kehormatan (Yusuf Qardhawi, 1993 :
61). Pada kesimpulannya semua bermuara pada keadilan sosial dalam arti
sebenarnya.
Selain itu, universalitas ajaran Islam atau universalisme Islam lebih
jauh

mewujudkan

kosmopolitanisme


dalam

budaya

islam,

yang

menjadikan umat muslim selama beberapa abad dapat menyerap segala
macam wujud budaya dan wawasan – wawasan keilmuan yang datang dari
berbagai bangsa dan negara di sekitarnya, baik yang bersinggungan
langsung dengan Islam maupun yang telah mengalami penyusutan.
Artinya jika kita membicarakan universalisme maka tidak lepas
juga dari kosmpolitanisme. Universalisme merupakan landasan konseptual
untuk mewujudkan kosmpolitanisme budaya. Karena itu kedua persoalan
tersebut akan lebih baik jika dibahas dalam satu kesatuan yang utuh,
mengingat yang satu merupakan dataran konsep ideal sedangkan yang
satunya lagi merupakan perwujudan nyata dari konsep ideal dalam
kehidupan bermasyarakat (kosmopolitanisme), berbangsa, dan bernegara

dalam keragaman budaya islam termasuk seni.
Kosmopolitan secara simpulnya dapat diartikan sebagai paham
acuan mengenai konsep living together. Kosmopolitan adalah bagaimana
mengakui adanya perbedaan pada manusia dan dapat memahami serta

5

menjelaskan mengenai perbedaan tersebut. Kosmopolitan menjelaskan
bahwa setiap manusia merupakan komunitas dunia meskipun batas teritori
negara tidak dapat dihilangkan.
Selain itu Kosmopolitanisme didalam islam merupakan

pancaran

makna Islam itu sendiri serta pandangan tentang kesatuan kenabian
(wahdat al-nabawiyah; the unity of prophet) berdasarkan makna Islam itu,
serta

konsisten

dengan

semangat

prinsip

prinsip

itu

semua,

kosmopolitanisme budaya Islam juga mendapat pengesahan-pengesahan
langsung dari kitab suci seperti suatu pengesahan berdasarkan konsepkonsep kesatuan kemanusiaan (wihdat al-insaniyah; the unity of humanity)
yang merupakan kelanjutan konsep kemahaesaan Tuhan (wahdaniyat atau
tauhid; the unity of god). Kesatuan asasi umat manusia dan kemanusiaan
itu ditegaskan dalam firman-firman: "Ummat manusia itu tak lain adalah
umat yang tunggal, tapi kemudian mereka berselisih (sesama mereka) jika
seandainya tidak ada keputusan (kalimah) yang telah terdahulu dari
Tuhanmu, maka tentulah segala perkara yang merekaperselisihkan itu
akan diselesaikan (sekarang juga)"( QS. Yunus: 19).
"Ummat manusia itu dulunya adalah ummat yang tunggal,
kemudian Allah mengutus para nabi untuk membawa kabar gembira dan
memberi peringatan dan bersama para nabi itu diturunkannya kitab suci
dengan membawa kebenaran, agar kitab suci itu dapat memberi keputusan
tentang hal-hal yang mereka perselisihkan (QS Al-Baqarah: 213)”.
Para pengikut Nabi Muhammad diingatkan untuk selalu menyadari
sepenuhnya kesatuan kemanusiaan itu dan berdasarkan kesadaran itu
mereka membentuk pandangan budaya kosmopolit, yaitu sebuah pola
budaya yang konsep-konsep dasarnya meliputi, dan diambil dari dari
seluruh budaya ummat manusia. (Nurkholis Madjid, 1992 : 442).
Refleksi dan manifestasi kosmopolitanisme Islam bisa dilacak
dalam etalase sejarah kebudayaan Islam sejak jaman Rasulullah,baik

6

dalam format non material seperti konsep-konsep pemikiran,maupun yang
material seperti seni arsitektur bangunan dan sebagainya.Pada masa awal
Islam, Rasulullah Saw berkhutbah hanya dinaungi sebuah pelepah
kurma.Kemudian, tatkala kuantitas

kaum muslimin mulai bertambah

banyak, dipanggillah seorang tukang kayu Romawi.Ia membuatkan untuk
Nabi sebuah mimbar dengan tiga tingkatan yang dipakai untuk khutbah
Jumat dan munasabah - munasabah lainnya. Kemudian dalam perang
Ahzab, Rasul menerima saran Salman al-Farisy untuk membuat parit
(khandaq) di sekitar Madinah. Metode ini adalah salah satu metode
pertahanan ala Persi.Rasul mengagumi dan melaksanakan saran itu. Beliau
tidak mengatakan:"Ini metode Majusi, kita tidak memakainya!". Para
sahabat juga meniru manajemen administrasi dan keuangan dari Persi,
Romawi dan lainnya. Mereka tidak ! keberatan dengan hal itu selama
menciptakan kemashlahatan dan tidak bertentangan dengan nas. Sistem
pajak jaman itu diadopsi dari Persi sedang sistem perkantoran (diwan)
berasal dari Romawi (Qardhawi, 1993 : 253).
Pengaruh filsafat Yunani dan budaya Yunani (hellenisme) pada
umumnya dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam sudah bukan
merupakan hal baru lagi. Seperti halnya budaya Yunani, budaya Persia
juga amat besar sahamnya dalam pengembangan

budayaIslam.

Jika

dinasti Umawiyah di Damascus menggunakan sistem administratif dan
birokratif Byzantium dalam menjalankan pemerintahannya ,dinasti
Abbasiyahdi Baghdad (dekat Tesiphon, ibu kota dinasti Persi Sasan)
meminjam sistem Persia. Dan dalam pemikiran, tidak sedikit pengaruhpengaruh Persianisme atau Aryanisme (Iranisme) yang masuk ke dalam
sistem Islam. Hal ini terpantul dengan jelas dalam buku al-Ghazali (ia
sendiri orang Parsi), Nashihat al-Mulk, siyasat namah (pedoman
pemerintahan), yang juga banyak menggunakan bahan-bahan pemikiran
Persi (Madjid, 1992 : 444).

7

B.

Pemikiran Para Ahli Indonesia Mengenai Universalisme Islam
1.

Abdurrahman Wahid
Sebagai seseorang yang memiliki intelektual terkemuka di

Indonesia, pemikiran Abdurrahman Wahid sangatlah kaya. Pemikirannya
banyak dikaji, diteliti, diapresiasi dan dikembangkan dalam berbagai
bidang kehidupan. Berbagai karya sudah dia tulis dan dihasilkan. Namun
daya tarik dari pemikirannya masih terus terasa sampe sekarang. Realitas
ini menunjukkan bahwa pemikiran Abdurahman Wahid memiliki relevansi
untuk direkonstruksi kembali. Salah satu aspeknya adalah membangun
kehidupan sosial yang harmonis.
Indonesia sebagai negara dengan jumlah kaum Muslim terbesar di
dunia, Indonesia menghadapi tantangan yang tidak ringan berkaitan
dengan dinamika kehidupan sosial kemasyarakatan. Kuantitas umat Islam
yang banyak bukan berarti Islam telah menjadi bagian dari kehidupan
sehari-hari. Secara kritis Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa
Indonesia yang umat Islamnya terbanyak di dunia ternyata juga negara
yang banyak melakukan pelanggaran terhadap Hak-hak Asasi manusia
(HAM) (Wahid, 2006 : 23)
Dengan adanya realitas ini dapat dijadikan bahan refleksi bersama.
Pelanggaran terhadap HAM merupakan kejahatan manusia yang
bertentangan dengan nilai – nilai. Tugas generasi sekarang adalah
bagaiamana cara menerapkan keadaban itu dalam praktik kehidupan sehari
– hari.
Keadaban itu mampu diwujudkan jika seseorang memiliki
perspektif positif konstruktif dalam memandang orang lain. Dengan
memiliki perspektif ini manusia tidak akan melanggar hak – hak dasar

8

kemanusiaan. Salah satu pemikiran penting terkait persoalan ini adalah
pemikiran Abdurrahman Wahid yaitu universalisme islam merupakan nilai
– nilai yang ada dalam islam. Dikatakan universal karena menjadi bagian
dari tujuan syariat islam. Nilai ini terdapat dalam perlindungan terhadap
lima hak dasar manusia yaitu perlindungan atas hak hidup, hak beragama,
hak berpikir, hak kepemilikan dan berkeluarga.
Pernyataan

itu

kemudian

dipertegas, Abdurrahman

Wahid

menyatakan bahwa dimensi universalisme Islam bukan sekadar sebagai
jargon semata. Ajaran universalisme Islam telah teruji sejarah dan
berkontribusi

dalam

membangun

nilai-nilai

kemanusiaan

yang

bermartabat. Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa, ―Universalisme
tercermin pada ajaran-ajaran yang memiliki kepedulian terhadap unsurunsur kemanusiaan yang diimbangi dengan kearifan yang muncul dari
keterbukaan peradaban Islam sendiri (Wahid dalam Nurcholis Madjid,
2007 : 1-2)
Universalisme Islam memiliki konsekuensi terhadap budaya
partikular yang ada di sekitarnya. Hal ini bermakna bahwa Islam adalah
agama yang memiliki pemahaman baik terhadap budaya lokal, bukan
agama yang memusuhi dan menghilangkan budaya lokal. Upaya ini
kemudian diformulasikan secara baik oleh Abdurrahman Wahid dalam
istilah yang unik, yaitu ―pribumisasi Islam.
Menurut Abdurrahman Wahid, pribumisasi islam perlu dipahami
secara tepat agar tidak menimbulkan salah persepsi. Abdurrahman Wahid
menjelaskan bahwa ; Pribumisasi Islam adalah bagian dari sejarah Islam,
baik di negeri asalnya maupun di negeri lain termasuk Indonesia. Dalam
prosesnya kenyataan sejarah tidaklah mengubah islam, melainkan hanya
manifestasi.
Subtansi

pribumisasi

islam

adalah

bagaimana

pemikiran

Abdurrahman Wahid dalam memahami relasi agama dan budaya. Relasi

9

keduanya selalu saja menimbulkan perdebatan tak berujung. Apalagi
didalam era globalisasi ini dimana banyak pengaruh dari budaya barat.
Menurut Abdurrahman Wahid, agama dan budaya adalah dua
entitas yang berbeda. Agama berasal dari wahyu, bersifat normatif dan
cenderung permanen, sementara bdudaya merupakan kreasi manusia yang
besifat dinamis. Namun demikian bidang garapan sesungguhnya tumpang
tindih satu sama lain. Perbedaan ini bukan berarti harus memisahkan
mereka dari level manifestasi kehidupan (Wahid, 2001 : 117)
Pemikiran tentang universalisme Islam Abdurrahman Wahid digali
dari khazanah pemikiran Islam klasik. Menurut Abdurrahman Wahid,
universalisme Islam tampil sebagai sebuah ajaran yang sempurna dalam
lima buah jaminan dasar. Adapun kelima jaminan tersebut mencakup
jaminan dasar atas (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan
badani di luar ketentuan hukum, (2) keselamatan keyakinan agama
masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama, (3)
keselamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan
milik pribadi di luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi. Kelima
jaminan dasar tersebut menampilkan universalitas pandangan hidup yang
utuh dan bulat (Wahid, 2001 : 117).
Pemikiran tentang universalisme Islam ini penting dipahami secara
baik karena dapat menjadi dasar untuk memahami perbedaan yang ada.
Perbedaan merupakan realitas yang tidak mungkin untuk dihindari. Sikap
yang bijak adalah bagaimana memahami perbedaan sebagai bagian tidak
terpisahkan

dari

kehidupan.

Pada

perspektif

inilah

pemikiran

Abdurrahman Wahid tentang universalisme Islam penting untuk ditelaah
dan direkonstruksi agar sesuai dengan dinamika perkembangan zaman.
2.

Nurcholish Madjid

10

Nurcholish adalah salah seorang pemikir Islam Indonesia. Ia
berusaha menafsirkan kembali makna tauhid sebagai dasar terpenting
dalam tatanan kehidupan” keagamaan umat manusia. Menurut Nurcholish,
pesan dasar semua agama yang benar adalah sarna,yaitu mengesakan Allah
(at- Tauhid) dan bersikap pasrah terhadap-Nya (al-Islam). Karena itu
beragama tanpa sikap pasrah kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dengan
sendirinya, adalah palsu. Maka beriman kepada Allah dan bersikap pasrah
kepada-Nya adalah sebagai titik temu, common flatform, atau “kalimah
sawa'” antar agama. Allah adalah sumber kebenaran mutlak, maka cara
beragama yang baik adalah dengan dilandasi oleh semangat pencarian
kebenaran (al-Hanafiyyah al-Samhah) yang lapang, terbuka dan non
sektarian. Setiap orang berarti bersikap mempunyai caranya optimis
kepada manusia. Begitu juga dengan prinsip universalisme Islam, dengan
memberi makna al-islam secara generik yaitu pasrah terhadap Tuhan Yang
Maha Esa telah memberikan landasan teologi baru yang kukuh terhadap
pluralism bagi kehidupan keagamaan di Indonesia. Dari pemahaman
makna Tauhid konsep universalisme Islam akan membawa pada
pengertian bahwa pluralisme agama adalah Sunnatullah yang telah
ditetapkan kepada manusia. Begitu juga akan membawa pada pemahaman
kita terhadap konsep ahli kitab. Dimana yang termasuk ahli kitab tidak
hanya untuk Yahudi dan Nasrani, tetapi juga agama-agama yang lain.
Selain itu, Nurcholish juga menganjurkan terhadap umat Islam di era
modern ini untuk melihat kembali sejarah Islam dan mengambil inti sari
dari sejarah itu sendiri. (Dhillah, Fihif,2003)
Dalam karya ini Nurcholish Madjid membahas universalitas Islam.
Telaahan Nurcholish Madjid dalam penelitian karya ini adalah: “Pertamatama yang menjadi sumber universalitas Islam ialah pengertian perkataan
“Islam” itu sendiri. (Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,
1992 : 426). Sikap pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa itu merupakan
tuntutan alami manusia. Maka agama secara harfiah antara lain berarti

11

“kepatuhan” atau “ketaatan” yang sah yang tidak bisa lain daripada sikap
pasrah kepada Tuhan (al Islam). Maka tidak ada agama tanpa sikap itu,
yakni, keagamaan tanpa kepasrahan kepada Tuhan adalah merumuskan
nilai-nilai

universal

selalu

ada

pada

inti

ajaran

agama

yang

mempertemukan seluruh umat manusia. Menurutnya, nilai-nilai universal
itu harus dikaitkan kepada kondisi nyata ruang dan waktu agar memiliki
kekuatan efektif dalam masyarakat, sebagai dasar etika sosial.
Nurcholish Madjid banyak mengutip pandangan-pandangan Ibnu
Taimiyah, yang memang banyak memberikan penjelasan inklusivisme dan
universalisme Islam, antara lain:
Al Islam ialah persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, yang
mencakup (pengertian) ibadah kepada Allah saja dan meninggalkan ibadat
kepada yang lain. Inilah ‘Islam Umum’ (al Islam al ‘amm) yang selain dari
itu Allah tidak menerima sebagai agama dari umat terdahulu maupun umat
kemudian, sebagaimana difirmankan Allah, ‘Allah bersaksi bahwasanya
tiada Tuhan selain Dia, begitu pula para malaikat-malaikat dan orang –
orang yang berpengetahuan yang tegak dan jujur (adil). Tidak ada Tuhan
selain Dia Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya agama
disisi Allah ialah al Islam (QS. Ali Imran/3 : 18-19).
Pandangan Ibnu Taimiyah bahwa pengertian Islam dalam ayat
tersebut adalah “Islam Umum” yang juga merupakan agama semua nabi
dan rasul yang diutus. Maka menurut Nurcholish Madjid, pandangan
tersebut menunjukkan universalisme dan kosmopolitanisme Islam
sekaligus memberikan pengakuan bahwa Islam berlaku sepanjang waktu
dan tempat. Tetapi persoalan yang muncul kemudian, apakah dalam
beragama cukup dengan beriman kepada bentuk-bentuk universal seperti
itu “sikap pasrah” tadi, tanpa sama sekali memerlukan realisasi ibadah.
Lebih dari itu, sesungguhnya disadari bahwa Islam berdimensi universal
bahkan kosmopolit, dalam perkembangan sejarahnya, karena Islam

12

sebagai sebuah agama dimanifestasikan oleh penganutnya, maka wujud
keislaman menjadi berbeda-beda sesuai dengan budaya dan watak manusia
pemeluknya.
Dalam

kaitan

ini,

Nurcholish

Madjid

mengatakan

harus

mengintegrasikan nilai-nilai universal tersebut dengan sinaran situasi
nyata ruang dan waktu yang partikular. Baginya, keyakinan bahwa Islam
adalah ajaran yang universal, termasuk menjadi inti dari agama-agama,
membawa implikasi bahwa ia dapat diberlakukan kepada semua tempat
dan waktu. Kebenaran dapat ditemukan kepada setiap bangsa dan masa,
kapan saja dimana saja. (Madjid, 1995 : 17) .Memandang penting untuk
meletakkan sisi-sisi keuniversalan ajaran dalam kerangka dialog kultural
dengan situasi dimana ia termanifestasikan oleh pemeluknya. Suatu
kenyataan akan muncul ekspresi dan manifestasi keberagaman seseorang
atau sekelompok orang dalam masyarakat yang beragam atau bervariasi
sejalan dengan budaya

dan watak manusia yang menerimanya

( Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, 1995, h. 38) . Di
Indonesia misalnya, sebagai suatu bangsa yang mempunyai tingkat
heterogenitas tertinggi secara fisik (negara kepulauan) maupun dalam soal
keragaman suku, bahasa, daerah, agama, dan adat istiadat, maka dengan
sendirinya manifestasi dan ekspresi keberagamannya bervariasi sejalan
dengan kondisi beragamnya budaya yang ada. Muncul antara yang
kebarat-baratan, kearab-araban dan ketradisian-tradisian sebagai sesuatu
yang sulit dihindari. Persoalannya apakah ekspresi dan manifestasi
keberagaman yang merupakan hasil dialog kultural antara keuniversalan
Islam dengan kekhasan suatu kawasan itu absah atau tidak, dan seberapa
jauh tingkat keberlakuannya. Haruskah dianggap sebagai ekspresi dan
manifestasi keagamaan yang serta merta mesti bernilai mutlak sehingga
mesti pula berlaku di semua tempat. (Madjid, 1995 : 36).
Menurut Nurcholish Madjid, agama an sich bernilai mutlak, tidak
berubah menurut perubahan waktu dan tempat. Tetapi budaya, dapat

13

berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Agama
merupakan sesuatu yang primer, sementara budaya menggambarkan yang
sekunder. Budaya dapat merupakan ekspresi hidup keagamaan, karena itu
sub-ordinate terhadap agama, namun tidak pernah terjadi sebaliknya, yaitu
agama berdasarkan budaya. Maka, agama adalah absolut, berlaku untuk
setiap ruang dan waktu, dan budaya adalah relatif, terbatasi oleh ruang dan
waktu (Madjid, 1995 : 45). Persoalannya bukan terletak perkara apakah
suatu hasil dialog antara keuniversalan Islam dengan kekhasan suatu
kawasan dan zaman itu absah atau tidak, melainkan setiap hasil dialog
kultural dari kedua aspek: universal-partikular atau kulli-juz’i, tidak absah,
tetapi juga merupakan kreativitas kultural yang berharga. Dengan
kreativitas itulah suatu sistem ajaran universal seperti agama menemukan
relevansinya dengan tuntutan khusus yang nyata para pemeluknya,
menurut ruang dan waktu, serta dengan begitu menemukan dinamika dan
vitalitasnya (Madjid, 1995 : 39).
Nilai keberlakuan sebuah manifestasi atau ekspresi keagamaan
tidaklah mutlak, tetapi diletakkan seberapa kuat relevansinya dengan
tuntutan

zaman

dan

tempat.

Karena

itu,

dimungkinkan

upaya

meningkatkan atau mengubahnya atau menggantikannya sama sekali,
dalam semangat kesadaran dan kenisbian spasial dan temporalnya ruang
dan waktu. Ini menggambarkan apa yang disebut Nurcholish Madjid
sebagai adanya suatu kontinuitas dan kezamanan (al Shalah wa al
Mu’asharah), sekaligus tuntutan untuk senantiasa belajar dari masa lalu
dalam rangka mempertahankan mana saja unsur-unsur positif dan
membuang unsur-unsur negatif, kemudian menggunakannya untuk
meningkatkan kecakapan mengambil apa saja unsur-unsur yang lebih baik
dari masa kini dan masa depan yang diperkirakan. Dengan begitu, suatu
pandangan memiliki tidak saja keabsahan yang diperlukan sebagai sumber
dinamika pengembangannya tapi juga keterkaitan dengan tuntutan nyata
menurut perkembangan zaman. Dan hanya dengan begitu Nurcholish

14

Madjid,

mengklaim

tentang

suatu

sistem

ajaran

seperti

Islam

sebagai rahmatan lil ‘alamin dan cocok untuk segala zaman dan tempat
(shahih li kulli zaman wa makan) (Madjid, 1995 : 41).
Pemikiran universalisme Islam berangkat dari isyarat Al-Qur’an,
misalnya Qs. Saba (34):28 dan al-Anbiya (21):107.Sehubungan dengan ini
Nurcholis Madjid menegaskan bahwa yang pertama-tama menjadi sumber
ide tentang universalisme Islam ialah pengertian perkataan “islam” itu
sendiri. Term “Islam” di sini diartikan diartikan sebagai sikap pasrah
kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana yang dibawa para Rosul
secara silih berganti dalam sejarah umat manusia untuk menyamppaikan
pesan yang sama yaitu “Islam”.
Dari pengertian dasar “islam” sebagai hukum ketundukan makhluk
kepada Khaliknya tidak dalam artian nama agama yang dibawac oleh nabi
Muhammad sebagai penutup para Nabi dan Rosul, maka “islam” tidak
bersifat temporal yang berlaku untuk suatu zaman atau kawasan tertentu
melainkan berlaku untuk seluruh zaman; lampau, sekarang dan nanti di
semua kawasan tanpa terkecuali (Yasmadi, 2002 : 34 )
Sehubungan dengan universalisme Islam, Nurcholis Madjid
mengemukakan jika “islam” dipahami sebagai ajaran yang universal, maka
hal ini tidak saja menghasilkan pandangan bahwa ia berlaku untuk semua
tempat dan waktu, seperti yang telah dibuktikan oleh kaum muslim klasik.
Sebaliknya universalisme Islam juga menghasilkan pandangan dari
arah lain yaitu bahwa kebenaran Islam dapat didekati melalui angel
berbagai pola budaya. Argumen yang dikemukakan Nurcholis Madjid, jika
Islam itu universal dan jika keuniversalannya menghasilkan diutusnya para
Rosul untuk setiap bangsa dan masa sebagaimana disebutkan dalam ayatayat al-Qur’an, bearati bahwa kebenaran juga dapat ditemukan pada setiap
bangsa dan waktu; kapan saja dan di aman saja. Dari sini sebenarnya telah
terlihat bahwa Islam universal selalu memliki kemampuan untuk

15

beradaptasi dengan lingkungan budaya di mana ia tumbuh dan
berkembang.
Oleh karena itu, menyikapi kemajemukan dalam konteks Indonesia
(seperti masyarakat Yastrib yang ditemui nabi Muhammad pertama kali),
maka dituntut inklusivisme Islam. Inklusivisme Islam adalah sikap yang
mesti dimilki umat Islam yang hidup di tengah masyarakat yang plural.
Inklusivisme Islam adalah implementasi dari azas pluralisme dan toleransi,
bersifat demokratis dan terbuka sehingga Islam itu secara substansial
dimiliki oleh semua agama sebagaimana yang dibawa Rosul sebelum
Muhammad. Oleh sebab itu, dalam pandangan Nurcholis Madjid, prinsipprinip Islam dimiliki semua ajaran yang benar yakni, semuanya
mengajarkan sikap pasrah kepada Sang Maha Pencipta, Tuhan Yang Maha
Esa.( Yasmadi, 2002 : 35)
Karena merupaka inti semua agama yang benar, maka al-Islam atau
pasrah kepada Tuhan adalah pangkal adanya hidayah Ilahi kepada
seseorang. Hal ini menjadi landasan universal kehidupan manusia yang
berlaku untuk setiap orang, disetiap tempat dan waktu. Al-Islam (sikap
pasrah pada Tuhan) menjadi titik temu semua agama-agama yang ada.
Artinya semua agama berkeyakinan dab memiliki prinsip yang sama yaitu
kepatuhan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Berkaitan dengan hal ini, Nurcholis Mdjid memperlihatkan bahwa
indikator sebagai wujud titik kesamaan semua agama pada alIslam.Agama Yahudu misalnya (sevagai kelanjutandari ajaran nabi Musa),
pada dasarnya mengajarkan al-Islam, seperti yang ditegaskan al-Qur’an
mengenai prinsip kitab Taurat yang diturunkan kepada nabi Musa untuk
keturunan Isro’il dalam Qs. Ali Imron (3):52 dan Qs.al-Maidah (5):44.
Berangkat dari pemahaman Qs, Ali Imron (3):52 dan Qs. Almaidah (5):44, Nurcholis Mdjid berpendapat bahwa Islam merupakan titik
temu semua ajara yang benar, maka diantara sesama penganut yang tulus

16

akan ajaran itu pada prinsipnya harus dibina hubungan dan pergaulan yang
sebaik-baiknya. Sebab, seluruh umat pemeluk agama adalah umat yang
tunggal. Ini dikarenakan oleh inti ajaran agama yang disampaikan Alloh
kepada nabi Muhammad adalah sama dengan inti ajaran yang disampaikan
oleh-Nya kepada semua Nabi (Yasmadi, 2002) hal : 36).
Menurut Nurcholis Madjid, sejalan dengan pandangan dasar itu
Nabi diperintahkan untuk mengajak kaum ahli kitab (Yahudi dan
Nashrani) menuju kepada “kalimat kesamaan” (kalimat unsawa) yang
pada prinsipnya menuju kepada ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa atau
tauhid. Ajakan kepada kalimat un sawa untuk membenamkan klaim-kliam
eksklusivistik kaum ahli kitab bahwa merekalah sebagai satu-satunya
pihak yang bakal selamat atau masuk surga, seperti ditemui dalam Qs. alBaqoroh (2):113.
Islam yang dikatakan sebagai titik temu (commom platform),
sebagaimana dideskripsikan di atas, adalah dalam konteks ajaran-ajaran
yang benar (agama-agama). Kemudian berkaitan dengan konteks
keindonesiaan dilihat dari kemjemukan bangsa dan

konndisi real

Indonesia “Pancasila” dipandang sebagai titk temu (commom flatform)
antara umat yang berbeda-beda. Pandangan ini juga berangkat dari
pemahaman tentang Islam itu sendiri.
Cak Nur menilai Pancasila tidak bertentangan dengan Islam
melainkan bahwa mencerminkan anjuran dan prinsip-prinsip dalam alQur’an. Pancasila sering diistilahkan commom platform (kalimat-un
sawa’) semua agama telah mempunyai hak dan status yang sama. Sila
Pancasila memuat nilai dasar tentang kerangka umum dalam hidup
kebersamaan, sehingga wajib dipahami dan diikuti bersama. Umat Islam
telah menanggapi secara positif keberadaan Pancasila, karena dari
berbagai ayat Al-Qur’an sama sekali tidak bertentangan, bahkan
mendukung kehadiran falsafah ini.(Yasmadi, 2002 : 37)

17

Nilai-nilai

Pancasila baik potensial maupun aktual, telah

terkandung dalam ajaran semua agama yang ada. Nilai-nilai Pancasila
adalah “titik temu” dari semua pandangan hidup yang ada di negara
Indonesia termasuk pandangan yang dirangkum oleh agama-agama. Oleh
karenanya, dengan sangat liberal Nurcholish Madjid mempertegas
Pancasila dapat dipandang sepenuhnya sebagai “titik temu” antar umat
yang berbeda-beda, hal itu merupakan perintah agama.
Pancasila dapat juga dikatakan sebuah ideologi modern. Hal itu
tidak saja karena ia diwujudkan dalam zaman modern, tetapi ia juga
memberi landasan filosofis bersama (common philosocopical ground)
sebuah masyarakat plural yang modern yaitu masyarakat Indonesia. Maka
di sini yang diperlukan adalah sikap untuk mengembangkan paham
kemajemukan

masyarakat

atau

pluralisme

sosial

dalam realistas

masyarakatnya.
Di negara Indonesia kebebasan beragama sudah menjadi ketentuan
yang termuat dalam konstitusi Indonesia. Nurcholish Majid mempertegas
kembali bahwa negara di dasarkan atas kepercayaan kepada satu Tuhan,
yaitu Tuhan yang Maha Esa dan menjamin kebebasan beragama.
Sehingga, lima agama resmi kemudian diakui : Islam, Protestan, Katolik,
Hindu dan Budha.
Kesadaran tentang Pancasila yang dapat mempersatukan antar
berbagai pemeluk agama yang sangat beragam di tanah air ini gilirannya
menumbuhkan dinamika dialog positif kerjasama dengan program aksi
yang bervariasi guna mewujudkan tujuan demi kepentingan bersama.
Inilah format kerja sama antar pemeluk agama yang dilandasi azas
“pluralisme positif” antar agama, yaitu kerja sama antar pemeluk agama
dengan tetap berpegang pada ajarannya masing-masing tetapi juga
menyumbangkan kekayaan etika dan moralitas keagamaan secara positif

18

ke dalam masyarakat yang hendak dibangun bersama (Yasmadi, 2002 :
38).
3.

Kuntowijoyo
Menurut Kuntowijoyo, di tengah-tengah umat Islam terdapat suatu
golongan yang dipanggil Allah untuk menyeru kebaikan dan mencegah
kemungkaran. Dalam konteks kekhalifahan bertingkat, mereka termasuk
kaum cendekiawan yang merupakan golongan kecil yang harus kreatif
mampu mencandra arah perjalanan sejarah, mengubahnya, dan menjadi
ujung tombanknya (Kuntowijoyo, 1993 : 121).
Kaum cendekiawan Muslim sesungguhnya harus mengikuti
tradisi profetik Nabi, bukan seperti obsesi kaum mistikus yang
berusaha untuk menyatu dengan Tuhan. Iqbal menyatakan, betapa besar
misi kreatif Nabi ketika ia memilih turun kembali ke bumi untuk terlibat
dalam proses sejarah, meskipun ia sudah sampai ke puncak tertinggi
bertemu dengan Allah swt dalam peristiwa Isra’ Mi’raj (Kuntowijoyo,
2001: 107).
Memang misi Nabi itu adalah missi profetik, misi kenabian. Itulah
sebabnya mengapa ia memilih untuk turun kembali ke dunia, ke tengah
kancah sejarah untuk melakukan perubahan. Kaum intelektual adalah para
pewaris Nabi. Mereka tidak boleh berpangku tangan dan dunia
membutuhkan kreatifitasnya. Al-Quran memerintahkan agar kaum
cendekiawan berpartisipasi untuk amar ma’ruf nahi munkar. Kaum
cendekiawan Muslim harus menghadapkan tauhid kepada sejarah. Mereka
harus memiliki cita-cita ketuhanan yang dialektis, di mana tauhid akan
ditempatkan sebagai pemberi arah di dalam proses sejarah (Kuntowijoyo,
1993:131).
Pada
melahirkan

tahap

di

mana

proses-proses

kekuasaan

terbentuknya

kekuatan
corak

sejarah

telah

kemasyarakatan

19

industrial seperti sekarang ini, kaum cendekiawan Muslim mau tidak mau
harus menghadapkan teologi Islam kepada masyarakat industri; demikian
pula bila kaum cendekiawan Muslim hidup di tengah - tengah masyarakat
teknokratik, maka ia harus menghadapkan Islam untuk menjawab
tantangan-tantangan masyarakat teknokratik. Mereka harus kreatif
mengarahkan kekuatan-kekuatan sosio kultural sesuai dengan cita-cita
tauhid (Kuntowijoyo, 1993: 132).
Kuntowijoyo adalah seorang pemikir yang dikenal kritis dan
optimis akan masa depan Islam. Sosok ini oleh Fakhri Ali dan
Bachtiar Efendy dimasukkan dalam kelompok sosialisme-demokrasi
Islam disamping Dawam Raharjo dan Adi Sasono (Ali & Effendi,
1986: 224). Perhatiannya yang sangat besar terhadap masalah sosial
umat

Islam

sangat

berkaitan

dengan

bidang

keilmuan

yang

ditekuninya, yaitu ilmu sejarah. Hal ini terlihat dalam disertasi Ph.Dnya
dalam studi sejarah dari University of Columbia pada 1980 yang
berjudul Social Change in Agrarian Society: Madura 1850-1940
(Kuntowijoyo, 1991: v).
Selain hal di atas, ada dua hal penting yang melatarbelakangi
kecendekiawanan

Kuntowijoyo

dalam

menyusun

gagasannya

mengenai Islam. Pertama, perhatiannya yang sangat besar terhadap
pola pikir masyarakat yang masih dibelenggu oleh mitos dan
kemudian

berkembang

Selanjutnya,
melalui

karena

pengaruh

sampai

masuk

perkembangan
tersebut,

umat

ilmu
Islam

pada

tingkat

ideologi.

pengetahuan,

akhirnya

memasuki

periode

ide

(Kuntowijoyo, 1984: 58-63).
Menurutnya, Islam yang masuk ke Indonesia telah mengalami
agrarisasi. Peradaban Islam yang bersifat terbuka, global, kosmopolit
dan

merupakan

mata-rantai

penting

peradaban

dunia

telah

mengalami penyempitan dan stagnasi dalam bentuk budaya-budaya

20

lokal. Bagi Kuntowijoyo, universalisme Islam tidak selalu berarti
bahwa Islam akan menafikan dan menyingkirkan budaya-budaya
lokal. Oleh karena itu, umat Islam di Indonesia harus menangkap
kembali semangat kosmopolitan dari Islam--Islam sebagai budaya
universal

yang

ada

di

mana-mana--

dan

rasionalisme

Islam

(Kuntowijoyo, 1993: 42-43).
Untuk itu, Kuntowijoyo melakukan analisis-analisis historis
dan kultural untuk melihat perkembangan umat Islam di Indonesia.
Kondisi seperti ini telah mendorongnya untuk mengemukakan dan
menyampaikan

gagasan-gagasan

transformasi

sosial

melalui

reinterpretasi nilai-nilai Islam, yang menurutnya sejak awal telah
mendorong

manusia

berpikir

secara

rasional

dan

empiris

(Kuntowijoyo, 1991: 39).
Kedua, adanya respon terhadap tantangan masa depan yang
cenderung mereduksi agama dan menekankan sekulerisasi sebagai
keharusan

sejarah.

Industrialisasi

melahirkan

moralitas

baru

ekonomi,

pencapaian

yang

perorangan,

dan

teknokratisasi

menekankan
dan

pada

kesamaan

akan

rasionalitas

(Kuntowijoyo,

1993: 49). Ini mendorongnya melontarkan gagasannya reinterpretasi
nilai-nilai Islam, terutama yang berkaitan dengan rumusan teori
ilmu-ilmu sosial Islam.

C.

Tahap – tahap Kesadaran Sosial umat Islam Indonesia
Kuntowijoyo menjadikan kejatuhan Kerajaan Islam Demak
sebagai titik tolak untuk melihat kembali kesadaran sosial umat
Islam di Indonesia. Menurutnya, setelah kejatuhan Kerajaan Islam
Demak,

umat

Islam

menjadi

bentuk

masyarakat

yang

disebut

patrimornial. Umat Islam tidak berada pada golongan atas, melainkan

21

ada

di

golongan

bawah.

Pada

periode

pertama

ini,

demikian

ditegaskan Kuntowijoyo, sampai akhir abad ke-19, umat Islam hanya
sebagai kawula atau abdi. (Nasiwan, Yuyun . 2016 : 113)
Di dalam masyarakat dengan hirarki yang keras saat itu, antara
priyagung dan wong cilik, umat Islam memiliki suatu kesadaran yang
disebut sebagai kesadaran mistik-religius. Kesadaran ini tergambar
dalam perlawanannya terhadap kekuatan kolonial dengan diperkuat
oleh ideologi yang bersifat utopia. Disebut utopia, karena umat Islam
tidak

merumuskan

pikiran-pikirannya

berdasarkan

aktualitas

sejarah, melainkan berdasarlan kepada berbagai mitos, pandangan pandangan mistik mengenai masyarakat yang dapat dirumusakan
misalnya dalam cita-cita Ratu Adil (Kuntowijoyo, 1993: 22).
Pada periode ini, umat Islam belum mampu mengatur diri.
Mereka mengelompok diri dibalik pribadi yang berkharisma seperti Kyai
dan Haji. Orang-orang berkharisma inilah yang kemudian menggerakkan
umat Islam melakukan berbagai pemberontakan. Umat Islam terpecah
dalam ikatan-ikatan yang sangat kecil, di lingkaran yang sangat lokal, dan
tersebar di mana- mana. Islam yang sebenarnya merupakan tradisi besar,
tradisi yang sanggup mengorganisir kekhalifahan yang besar, tetapi Islam
di Indonesia yang berada di luar birokrasi hanya sanggup membentuk
masyarakat-masyarakat kecil, sehingga tidak bisa menyatukan diri
dalam kesatuan yang disebut umat.
Pada periode kedua (1900-1920), terjadi perubahan - perubahan
sosial yang sangat besar. Sekitar akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20,
ada gejala munculnya kekuatan-kekuatan baru. Jika pada periode
sebelumnya, umat Islam merasa sebagai kawula, pada periode kedua ini
umat Islam merasa dirinya sebagai wong cilik. Konsep ‘wong cilik’
berbeda

dengan konsep ‘kawula’. Kawula hubungannya dengan ‘Gusti’,

‘wong cilik’ lebih merupakan konsep horizontal.

22

Pada periode ini, Indonesia telah berubah menjadi hirarki atau
sistem yang berdasarkan status, sistem kelas. Saat itu di Indonesia
telah muncul kelas baru yang bisa disebut sebagai kelas menengah,
yang terdiri atas kelas pedagang, buruh, dan petani. Hal penting dari
periode ini adalah munculnya kelas pedagang yang umumnya secara
tradisional dimonopoli oleh umat Islam. Pada periode ini kesadaran
umat Islam mulai berubah. Jika sebelumnya umat Islam mempunyai
kesadaran mistis dan utopia, kini umat Islam mulai mencoba
merumuskan ideologi.

Pada periode awal, Sarekat Islam (Syarekat Dagang Islam)
merumuskan dari sebagai kelompok pedagang. Sejak itu, ideologi
Islam mulai ditanamkan di dalam kesadaran umat yang pada periode
ini masih dalam bentuknya yang sangat awal. Pengenalan ideologi
Islam pada saat ini belum begitu jelas, sehingga pada masa
selanjutnya tampak bahwa dalam konflik-konflik kelas, ideologi
Islam muncul tidak terlalu puritan, sehingga misalnya timbul konflik
apakah

Islam

akan

berpihak

kepada

kaum

buruh

atau

tidak

(Kuntowijoyo, 1993: 24).
Berbeda dengan periode sebelumnya yang berkelompok di
sekitar tokoh-tokoh kharismatik, sekarang umat Islam berkelompok
di tengah-tengah pimpinan yang rasional. Tokoh-tokoh yang tampil
dipilih karena kualifikasi-kualifikasi rasional, seperti HOS Tjokroaminoto,
H. Agus Salim, Abdul Muis, dan lain-lain. Aksi-aksi yang dilakukannya
pun

teorganisir dengan baik, misalnya didirikan koperasi untuk melawan
dominasi penjajah dan Cina.
Kalau sebelumnya Sarekat Islam mewadahi semua semua
orang kecil seperti pedagang, buruh, petani dan sebagainya, maka
pendefinisian SI saat itu membawa umat Islam kepada periode

23

ketiga. Pada periode ketiga ini (1920-1942) SI mendefinisikan
dirinya

sebagai

umat.

Pada

saat

itulah,

demikian

menurut

Kuntowijoyo, konsep mengenai umat sebagai satu kesatuan sosial
dan politis mulai muncul dalam masyarakat Indonesia. Munculnya
kristalisasi umat ini antara lain dipicu oleh adanya Koran di
Surakarta yang menghina Nabi Muhammad saw, maka pada tahun
1918 di Indonesia didirikan ‘Tentara Kanjeng Nabi Muhammad’.
(Nasiwan,

Yuyun . 2016 : 115)
Pada periode ini pun umat Islam masih melakukan berbagai

aksi dalam bentuk berbagai demontrasi. Tetapi yang terpenting pada
periode ini, umat Islam lebih banyak mendirikan berbagai asosiasi.
Selain Sarekat Islam (SI), lahir Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama,
dan organisasi lain baik di Jawa Barat, Jakarta, Sumatera, dan di
berbagai tempat lainya.
Setelah tahun 1942, yang terjadi adalah kelanjutan dari
perjalanan umat. Jika sebelumnya umat Islam mendefinisikan diri
sebagai

umat,

sejak

tahun

1942

dan

seterusnya,

umat

Islam

dihadapkan pada tugas baru. Pada masa penjajahan Jepang, para Kyai
dan tokoh-tokoh umat Islam mulai dilibatkan dalam kepemimpinan
dan kenegaraan. KHA Wahid Hasyim misalnya, diangkat menjadi
semacam Kementerian Agama di masa Jepang. Masih banyak tokohtokoh
Islam

yang

diangkat

menjadi

pimpinan

PETA,

Hizbullah,

Sabilillah, dan lain-lain.
Karena itu, sesudah tahun 1942, lebih-lebih setelah tahun
1945, umat Islam mendefinisikan diri dalam rumusan baru, yaitu
sebagai

warga

perjalanan

negara,

terakhir

sebagai

sebagai

citizen.

sebagai

Menurut

warga

negara

Kuntowijoyo,
merupakan

langkah historis. Ketika dirumuskan UUD 1945, yang di dalamnya
memuat rumusan Pancasila, waktu itu, umat Islam memutuskan diri

24

sebagai

warga

negara

Indonesia.

Persoalan

selanjutnya

adalah

persoalan antara negara dan warga negara.
Selanjutnya, ideology umat Islam yang sudah dirumuskan sejak
SI, masih berjalan terus. Pada tahun-tahun pertama, Islam sebagai
ideologi

cukup

keras

dikumandangkan

dan

merupakan

cita-cita

bersama umat Islam Indonesia. Permasalahan penting selanjutnya
adalah munculnya konflik sepanjang rentang waktu antara tahun
1945 sampai tahun 1965. Pada masa ini, umat Islam memasuki babak
baru, yaitu ikut serta dalam pelaksanaan Pemilihan Umum, ikut
dalam DPR/MPR, Badan-badan Pemerintahan, dan lain-lain. Umat
Islam benar-benar aktif sebagai warga negara.
Kemudian dalam tahapan sekarang yang sudah memasuki ide,
maka islam harus dirumuskan untuk menjadi ilmu. Kalau pada priode utopia,
umat Islam masih berpikir dalam kerangka mistis, sementara pada zaman
ideologi mereka hanya terlibat pada persoalan ideologi dan kekuasaan,
maka pada periode sekarang ini, umat Islam perlu merumuskan konsepkonsep normatif (Kuntowijoyo, 1993: 11-12).
Misalnya, berkaitan dengan sabda Nabi saw yang berbunyi:
“Engkau

akan

mendapatkan

kemenangan

dan

rizki

berkat

perjuangan kaum dhu’afa (kaum lemah)”. Melalui tafsiran ideologis
hadis tersebut dapat diartikan bahwa kaum dhu’afa harus dibela dan
kemudian menjadi keyakinan politik populisme. Sebagai ideologi,
pengertian tersebut sudah final. Tetapi jika diartikan dengan cara
yang

lain, bisa

dibuat

rumusan

demikian “bahwa kemenangan

hanyalah suatu gejala dari kekuasaan atau politik, sedang ‘rizki’
adalah

gejala

ekonomi.

Dengan

penafsiran

seperti

itu,

dapat

dirumuskan lebih jauh bahwa kekuatan sejarah, bahwa agent of
change dari perubahan kekuasaan politik dan ekonomi adalah kaum
dhu’afa.

25

Dengan kata lain, sejarah kemanusiaan tidak ditentukan oleh
kalangan atas yang kuat dan memiliki kekuasaan, melainkan oleh
kaum dhu’afa, kelas bawah. Dengan tesis semacam itu, maka suatu
bangsa atau Negara tidak dapat lagi mengabaikan peranan penting
dari dhu’afa dalam menentukan perubahan politik dan ekonomi,
bahkan dalam perkembangan sejarah. Dari tesis yang semacam itu
maka akan dapat dilahairkan teori sosial mengenai revolusi atau
mengenai perubahan sosial.
Contoh di atas menggambarkan bahwa konsep-konsep Islam
sebenarnya perlu dipahami lebih mendalam. Setiap ayat dari al - Quran
memang bisa dirumuskan menjadi ideologi, tapi pada saat yang bersamaan
bisa dirumuskan menjadi teori-teori ilmu pengetahuan Islam. Dalam masa
sekarang ini, tampaknya umat Islam harus beranjak ke sana.
Menurut Kuntowijoyo, ada dua metodologi yang dipakai dalam
proses

pengilmuan

Islam,

yaitu

integralisasi

dan

objektifikasi.

Pertama, integralisasi adalah pengintegrasiam kekayaan keilmuan
manusia dengan wahyu (petunjuk Allah dalam al-Quran beserta
pelaksanaannya dalam Sunnah Nabi). Kedua, objektifikasi adalah
menjadikan pengilmuan Islam sebagai rahmat untuk semua orang
(rahmatan lil’alamin) (Kuntowijoyo, 2006: 49).
Ilmu yang integralistik, ilmu yang menyatukan (bukan sekedar
menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia tidak
akan mengucilkan Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia.
Diharapkan

bahwa

integralisme

akan

sekaligus

menyelesaikan

konflik antara sekularisme ektrem dan agama-agama radikal dalam
banyak sektor. Sementara itu, dengan objektifikasi, menjadikan ilmu
tidak hanya untuk orang beriman saja, melainkan untuk seluruh
manusia tanpa kecuali, seperti yang terlihat pada contoh di atas.

26

Bagi Kuntowijoyo, sebagai seorang Muslim, tugas intelektual
dan cendekiawan Muslim adalah ‘memberikan pemikirannya kepada
masyarakat, supaya masyarakat mempunyai alat analisa yang tajam
dan

dapat

memainkan

peranan

dalam

kehidupan

sehari-hari’,

demikian dinyatakan A.E. Priyono. Menurutnya, pergulatan Islam
adalah pergulatan untuk relevansi, di mana agama tidak boleh
sekedar menjadi pemberi legitimasi terhadap sistem sosial yang ada,
melainkan harus memperhatikan dan mengontrol perilaku sistem
tersebut.

27

BAB III
PENUTUP
A.

Kesimpulan
Kehidupan sosial kemasyarakatan di Indonesia yang multikultural
sangat dinamis. Pengelolaan kehidupan masyarakat yang semacam ini
sungguh tidak mudah. Potensi terjadinya konflik sangat terbuka. Karena

itu

dibutuhkan usaha secara terus-menerus agar realitas masyarakat yang
multikultural dapat terus harmonis. Kontribusi pemikiran dari kalangan
intelektual Muslim sangat penting artinya dalam kerangka perwujudan
kehidupan yang harmonis. Pemikiran – pemikiran para ahli itu
khususnya tentang universalisme Islam dan toleransi, adalah bentuk
kontribusi

intelektual

yang

penting

untuk

direkonstruksi

dan

disosialisasikan secara luas.

28

DAFTAR PUSTAKA

Ali, F. & Efendy, B. (1986). Merambah jalan baru Islam:
rekonstruksi pemikiran Islam Indonesia masa Orde Baru.
Bandung: Mizan.
Dhillah, Fihif. 2003. “Pluralisme Agama Dalam Pandangan
Nurcholis Madjid”. Skripsi Tesis. UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Kuntowijoyo. (1984). Islam sebagai Suatu Ide. Prisma Ekstra
Kuntowijoyo. (1991). Paradigma Islam: interpretasi untuk aksi.
Bandung: Mizan.
Kuntowijoyo. (1993). Dinamika internal umat Islam di Indonesia.
Yogyakarta: Lembaga Studi Informasi Pembangunan (LSIP).
Kuntowijoyo. (2001). Muslim tanpa masjid: esai-esai agama,
budaya, dan politik dalam bingkai strukturalisme
transcendental. Bandung: Mizan.
Kuntowijoyo. (2006). Islam sebagai ilmu: epistemologi,
metodologi, dan etika. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Madjid, Nurcholis. 1992. "Islam, Doktrin dan Peradaban",
Paramadina cet. II, Jakarta.

29

Madjid, Nurcholis. 1995. “Islam Agama Kemanusiaan”, Jakarta :
Paramadina.
Naim, Ngainun. 2016. “Abdurrahman Wahid: Universalisme Islam
dan Toleransi”, Tulung Agung, Jawa Timur. IAIN. Vol 10
halaman 423 – 444
Nasiwan, Yuyun Sri Wahyuni. 2016. “Teori – teori Sosial
Indonesia”. Yogyakarta : Uny Press.
Qardhawi, Yusuf . 1993 . Al-khashaish al-'aamiyah al-Islam Beirut
cet. VIII, Lebanon
Wahid, Abdurrahman. 2001. “Pergulatan Negara, Agama, dan
Kebudayaan”, Depok: Koekoesan.
Wahid, Abdurrahman. 2006. Islamku, Islam Anda, Islam Kita,
Jakarta: The Wahid Institute.
Wahid, Abdurrahman. 2007. “Universalisme Islam dan
Kosmopolitanisme Peradaban Islam‖, dalam Nurcholish
Madjid, dkk., Islam Universal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

30