Efektivitas Dan Elastisitas Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (Bphtb) Di Kabupaten Ngawi Tahun 2006 - 2011

EFEKTIVITAS DAN ELASTISITAS PEMUNGUTAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) DI KABUPATEN NGAWI TAHUN 2006 - 2011 TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan Konsentrasi : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Keuangan Daerah

Oleh :

CITA PUTRI MAHARANI, S.STP NIM. S4211030 FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN SURAKARTA 2013

EFEKTIVITAS DAN ELASTISITAS PEMUNGUTAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) DI KABUPATEN NGAWI TAHUN 2006 – 2011

Disusun Oleh :

CITA PUTRI MAHARANI, S.STP NIM. S4211030

Telah disetujui oleh pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. AM. Soesilo, M.Sc Dr. Siti Aisyah TR, SE., M.Si NIP. 19590328 198803 1 001

NIP. 19590328 198803 1 001

Ketua Program Studi Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan

Dr. AM. Soesilo, M.Sc NIP. 19590328 198803 1 001

EFEKTIVITAS DAN ELASTISITAS PEMUNGUTAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) DI KABUPATEN NGAWI TAHUN 2006 – 2011

Disusun Oleh :

CITA PUTRI MAHARANI, S.STP NIM. S4211030

Telah disetujui oleh Tim Penguji

Pada tanggal :

Februari 2013

Tanda Tangan Ketua Tim Penguji

Jabatan

Nama

Dr. Agustinus Suryantoro, MS NIP. 19590911 198702 1 001 .......................................

Pembimbing Utama

Dr. AM. Soesilo, M.Sc NIP. 19590328 198803 1 001 .......................................

Pembimbing Pendamping Dr. Siti Aisyah TR, SE., M.Si NIP. 19590328 198803 1 001 .......................................

Mengetahui Ketua Program Studi Direktur PPs UNS

Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan

Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, M.S Dr. AM. Soesilo, M.Sc NIP. 19610717 198601 1 001

NIP. 19590328 198803 1 001

HALAMAN PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama

: CITA PUTRI MAHARANI, S.STP

NIM

: S4211030

Program Studi : Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan Konsentrasi

: Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Keuangan Daerah

Menyatakan bahwa tesis ini adalah hasil karya sendiri dan bukan merupakan jiplakan dari hasil karya orang lain.

Demikian surat pernyataan ini saya buat sebenar-benarnya.

Surakarta, 12 Februari 2013 Tertanda,

CITA PUTRI MAHARANI, S.STP

MOTTO

ABSTRAK EFEKTIVITAS DAN ELASTISITAS PEMUNGUTAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) DI KABUPATEN NGAWI TAHUN 2006 – 2011 CITA PUTRI MAHARANI, S.STP S4211030

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Efektivitas dan Elastisitas Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Kabupaten Ngawi pada tahun 2006 sampai dengan 2011. BPHTB merupakan salah satu komponen Pendapatan Daerah yang kontribusinya sangat mempengaruhi tingkat kemandirian keuangan daerah.

Data yang dipergunakan adalah data time series BPHTB tahun 2006-2011. Data yang dipergunakan merupakan data sekunder yang diambil dari data resmi Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Kabupaten Ngawi dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Ngawi yang meliputi data target dan realisasi BPHTB dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa efektivitas pemungutan BPHTB dilihat dari perbandingan antara realisasi dengan target yang telah ditetapkan rata-rata per tahun lebih besar dari 100% yaitu sebesar 136,07%. Hal ini dapat dikatakan bahwa pemungutan BPHTB di Kabupaten Ngawi selama kurun waktu tahun 2006 – 2011 sudah sangat efektif. Artinya pertumbuhan kebutuhan pembangunan dan iklim investasi terhadap tanah dan bangunan di Kabupaten Ngawi cukup besar. Sedangkan elastisitas PDRB per kapita terhadap BPHTB berdasarkan perbandingan antara prosentase pertumbuhan BPHTB dengan prosentase pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Berlaku sebesar 0,005 atau kurang dari 1 (<1) termasuk dalam kategori inelastis. Artinya kenaikan PDRB sebesar 1% hanya mengakibatkan kenaikan penerimaan BPHTB kurang dari 1% atau hanya sebesar 0,005%.

Dengan demikian Pemerintah Kabupaten Ngawi perlu mengambil kebijakan dan tindakan untuk meningkatkan penerimaan BPHTB diantaranya perlu mengkaji lagi apakah target yang ditetapkan sudah sesuai dengan potensi riil yang ada di daerah atau belum, menetapkan peraturan yang mengatur standar harga pasar di tiap-tiap wilayah di Kabupaten Ngawi, melakukan tindakan yang tegas terhadap petugas yang melakukan tindakan penggelapan dan kepada wajib pajak yang tidak mematuhi peraturan yang berlaku, dan tetap menggalakkan kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi BPHTB.

Kata kunci : Efektivitas, Elastisitas dan BPHTB.

ABSTRACT EFFECTIVENESS AND ELASTICITY VOTING BEA ACQUISITION OF LAND AND BUILDING (BPHTB) AT NGAWI REGENCY (2006 – 2011) CITA PUTRI MAHARANI, S.STP S4211030

This study aims to analyze the Effectiveness and Elasticity Voting Bea Acquisition of Land and Building (BPHTB) at Ngawi Regency (2006 – 2011). BPHTB is one component that contributes Revenue greatly affect the level of local financial autonomy.

The data used are time series data BPHTB during the period 2006-2011. The data used are secondary data taken from official data Revenue Service, Finance and Asset Management District and the Central Bureau of Statistics Ngawi Ngawi district that includes targets and realization BPHTB and Gross Regional Domestic Product (GRDP).

The results showed that while the effectiveness of voting BPHTB seen from the comparison between the realization of the set targets on average per year greater than 100% is equal to 136.07%. It can be said that the collection BPHTB Ngawi district during the period 2006 - 2011 has been very effective. This means that the growth and development needs of the investment climate on land and buildings in the District Ngawi big enough. While the elasticity of GDP per capita to BPHTB based on the comparison between the percentage growth BPHTB percentage of GDP growth at current prices of 0.005 or less than 1 (<1) are included in the category of inelastic. This means that a 1% increase in GDP may lead to an increase BPHTB less than 1% or by only 0.005%.

Thus Ngawi district government should adopt policies and measures to improve them BPHTB need to examine again whether the target is in conformity with the real potential in the area or not, to establish rules governing the standard market price in each region in the district of Ngawi, strict action against officers who commit acts of fraud and to taxpayers who do not comply with current regulations, and still promote intensification and extensification BPHTB.

Keywords: Effectiveness, Elasticity and BPHTB.

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah ke hadirat Alloh SWT, karena atas ridho dan rahmat-Nya, maka penulisan tesis dengan judul “Efektivitas dan Elastisitas Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Kabupaten Ngawi Tahun 2006 - 2011” dapat diselesaikan. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai derajat sarjana S-2 pada Program Pasca Sarjana Studi Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan (MESP) Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Dalam penulisan tesis ini penulis telah banyak menerima bantuan moril maupun materiil, dorongan, semangat, saran, dan pendapat dari berbagai pihak. Oleh karena itu perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :

1. Dr. Wisnu Untoro, M.S Selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret;

2. Dr. AM. Soesilo, M.Sc selaku Ketua Program Pasca Sarjana Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan (MESP) dan sekaligus Dosen Pembimbing penulis I yang telah banyak memberikan motivasi kepada penulis;

3. Dr. Agustinus Suryantoro, MS selaku Ketua Tim Penguji yang telah memberikan pengarahan untuk lebih mempertajam penulisan ini;

4. Dr. Siti Aisyah TR, SE., M.Si selaku Dosen Pembimbing II yang dengan sabar dan tak kenal lelah berkenan meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan tesis ini;

5. Dr. Yunastiti Purwaningsih, MP selaku Sekretaris Program Pasca Sarjana Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan atas dukungan semangat kepada penulis;

6. Seluruh karyawan bagian administrasi Program Pasca Sarjana Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Sebelas Maret atas pelayanan administrasi yang baik selama ini;

7. Bapak dan Ibuku tercinta yang telah memberi semangat dan doanya kepada penulis dalam segala hal termasuk dalam menyelesaikan tesis ini;

8. Suamiku tercinta, Dwi Nuridwan, SH yang telah memberikan curahan doa, dorongan moril dan materiil kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini;

9. Anakku tersayang, Kanaya Raissa Putri yang telah memberi motivasi dan inspirasi kepada penulis;

10. Bapak Kepala Dinas, Bapak Sekretaris, Ibu Kabid Anggaran, dan Bapak Kabid Pajak Daerah pada Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Kabupaten Ngawi yang telah memberikan banyak bantuan moril, arahan, dan semangat kepada penulis;

11. Bapak Kepala Badan Pusat Statistik Kabupaten Ngawi beserta jajarannya yang telah memberikan data kepada penulis;

12. Semua rekan-rekan seperjuangan di Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Kabupaten Ngawi yang membantu penulis dalam penyediaan data;

13. Rekan-rekanku Angkatan XVIII Program Pasca Sarjana Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Sebelas Maret.

Penulis menyadari bahwa penulisan Tesis ini masih banyak terdapat kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu saran dan kritik sebagai masukan bagi perbaikan di masa yang akan datang sangat penulis harapkan. Akhirnya, penulis berharap semoga Tesis ini dapat bermanfaat.

Surakarta, ............................2013 Penulis,

CITA PUTRI MAHARANI, S.STP

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I

: Hasil Perhitungan Efektivitas BPHTB

Lampiran II

: Tabel Efektivitas BPHTB

Lampiran III : Hasil Perhitungan Tingkat Pertumbuhan BPHTB Lampiran IV

: Hasil Perhitungan Tingkat Pertumbuhan PDRB Lampiran V

: Hasil Perhitungan Tingkat Elastisitas PDRB terhadap BPHTB Lampiran VI

: Tabel Elastisitas PDRB terhadap BPHTB

ABSTRAK EFEKTIVITAS DAN ELASTISITAS PEMUNGUTAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) DI KABUPATEN NGAWI TAHUN 2006 – 2011 CITA PUTRI MAHARANI, S.STP S4211030

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Efektivitas dan Elastisitas Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Kabupaten Ngawi pada tahun 2006 sampai dengan 2011. BPHTB merupakan salah satu komponen Pendapatan Daerah yang kontribusinya sangat mempengaruhi tingkat kemandirian keuangan daerah.

Data yang dipergunakan adalah data time series BPHTB tahun 2006-2011. Data yang dipergunakan merupakan data sekunder yang diambil dari data resmi Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Kabupaten Ngawi dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Ngawi yang meliputi data target dan realisasi BPHTB dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa efektivitas pemungutan BPHTB dilihat dari perbandingan antara realisasi dengan target yang telah ditetapkan rata-rata per tahun lebih besar dari 100% yaitu sebesar 136,07%. Hal ini dapat dikatakan bahwa pemungutan BPHTB di Kabupaten Ngawi selama kurun waktu tahun 2006 – 2011 sudah sangat efektif. Artinya pertumbuhan kebutuhan pembangunan dan iklim investasi terhadap tanah dan bangunan di Kabupaten Ngawi cukup besar. Sedangkan elastisitas PDRB per kapita terhadap BPHTB berdasarkan perbandingan antara prosentase pertumbuhan BPHTB dengan prosentase pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Berlaku sebesar 0,005 atau kurang dari 1 (<1) termasuk dalam kategori inelastis. Artinya kenaikan PDRB sebesar 1% hanya mengakibatkan kenaikan penerimaan BPHTB kurang dari 1% atau hanya sebesar 0,005%.

Dengan demikian Pemerintah Kabupaten Ngawi perlu mengambil kebijakan dan tindakan untuk meningkatkan penerimaan BPHTB diantaranya perlu mengkaji lagi apakah target yang ditetapkan sudah sesuai dengan potensi riil yang ada di daerah atau belum, menetapkan peraturan yang mengatur standar harga pasar di tiap-tiap wilayah di Kabupaten Ngawi, melakukan tindakan yang tegas terhadap petugas yang melakukan tindakan penggelapan dan kepada wajib pajak yang tidak mematuhi peraturan yang berlaku, dan tetap menggalakkan kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi BPHTB.

Kata kunci : Efektivitas, Elastisitas dan BPHTB.

ABSTRACT EFFECTIVENESS AND ELASTICITY VOTING BEA ACQUISITION OF LAND AND BUILDING (BPHTB) AT NGAWI REGENCY (2006 – 2011) CITA PUTRI MAHARANI, S.STP S4211030

This study aims to analyze the Effectiveness and Elasticity Voting Bea Acquisition of Land and Building (BPHTB) at Ngawi Regency (2006 – 2011). BPHTB is one component that contributes Revenue greatly affect the level of local financial autonomy.

The data used are time series data BPHTB during the period 2006-2011. The data used are secondary data taken from official data Revenue Service, Finance and Asset Management District and the Central Bureau of Statistics Ngawi Ngawi district that includes targets and realization BPHTB and Gross Regional Domestic Product (GRDP).

The results showed that while the effectiveness of voting BPHTB seen from the comparison between the realization of the set targets on average per year greater than 100% is equal to 136.07%. It can be said that the collection BPHTB Ngawi district during the period 2006 - 2011 has been very effective. This means that the growth and development needs of the investment climate on land and buildings in the District Ngawi big enough. While the elasticity of GDP per capita to BPHTB based on the comparison between the percentage growth BPHTB percentage of GDP growth at current prices of 0.005 or less than 1 (<1) are included in the category of inelastic. This means that a 1% increase in GDP may lead to an increase BPHTB less than 1% or by only 0.005%.

Thus Ngawi district government should adopt policies and measures to improve them BPHTB need to examine again whether the target is in conformity with the real potential in the area or not, to establish rules governing the standard market price in each region in the district of Ngawi, strict action against officers who commit acts of fraud and to taxpayers who do not comply with current regulations, and still promote intensification and extensification BPHTB.

Keywords: Effectiveness, Elasticity and BPHTB.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Otonomi daerah yang luas dan bertanggung jawab memberikan keleluasaan kepada daerah kota/kabupaten dalam mengurus kepentingan masyarakat sesuai dengan kondisi, potensi dan keanekaragaman wilayahnya. Otonomi luas bukanlah berarti kebebasan absolut bagi suatu daerah untuk menjalankan hak dan fungsi otonomi menurut kehendak daerah sendiri tanpa mempertimbangkan kepentingan daerah lain atau nasional.

Implikasi dari otonomi daerah adalah kemampuan keuangan daerah dalam penyelenggaraan urusan daerah. Daerah harus memiliki kemampuan untuk menggali sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakannya dalam membiayai penyelenggaraan pemerintahan. Daerah harus mempunyai sumber-sumber keuangan sendiri yang cukup kuat untuk dapat melaksanakan pembangunan dan mengurus rumah tangganya sendiri. Keberhasilan daerah menggali potensi sumber keuangan secara maksimal, akan berdampak positif terhadap penyelenggaraan pemerintahan dalam melaksanakan otonomi.

Prinsip otonomi, daerah didorong untuk dapat berkreasi mencari sumber-sumber penerimaan daerah yang dapat mendukung pembiayaan pengeluaran daerah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang merupakan salah satu komponen dari Pendapatan Daerah bisa menjadi salah satu kekuatan dalam pembangunan daerah, terutama potensi pendapatan yang bersumber dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Prinsip otonomi, daerah didorong untuk dapat berkreasi mencari sumber-sumber penerimaan daerah yang dapat mendukung pembiayaan pengeluaran daerah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang merupakan salah satu komponen dari Pendapatan Daerah bisa menjadi salah satu kekuatan dalam pembangunan daerah, terutama potensi pendapatan yang bersumber dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah

Argumen dalam pelaksanaan otonomi daerah yaitu bahwa pemerintah daerah harus mempunyai sumber-sumber keuangan yang memadai untuk membiayai penyelenggaraan otonominya. Kapasitas Keuangan Pemerintah Daerah akan sangat menentukan kemampuan pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi-fungsinya, seperti : Fungsi Pelayanan Masyarakat (public service function); Fungsi Pelaksanaan Pembangunan (development function); dan Fungsi Perlindungan Kepada Masyarakat (protective function).

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah; bukan hanya bertujuan untuk melimpahkan kewenangan dan pembiayaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, tetapi memiliki tujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan Sumber Daya Keuangan daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Undang-undang yang mengatur tentang pelaksanaan otonomi daerah tersebut diatas, memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk menggali dan mengelola sumber-sumber pendapatan daerah. Penggalian sumber-sumber pendapatan daerah tersebut dimaksudkan untuk memenuhi Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah; bukan hanya bertujuan untuk melimpahkan kewenangan dan pembiayaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, tetapi memiliki tujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan Sumber Daya Keuangan daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Undang-undang yang mengatur tentang pelaksanaan otonomi daerah tersebut diatas, memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk menggali dan mengelola sumber-sumber pendapatan daerah. Penggalian sumber-sumber pendapatan daerah tersebut dimaksudkan untuk memenuhi

dan pembinaan kemasyarakatan. Sumber-sumber

dalam melaksanakan desentralisasi, sebagaimana diatur oleh Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 diklasifikasikan menjadi 4 (empat), yaitu : (i) Pendapatan Asli Daerah (PAD); (ii) Dana Perimbangan; (iii) Pinjaman Daerah; serta (iv) Lain-lain Penerimaan yang Sah. Khusus mengenai PAD dapat dikatakan bahwa peranan atau sumbangannya terhadap keseluruhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masih relatif kecil. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menetapkan bahwa Pendapatan Daerah bersumber dari tiga kelompok, yaitu :

penerimaan

daerah

1. ”Pendapatan Asli Daerah (PAD), yaitu pendapatan yang diperoleh daerah dan dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan meliputi :

a. Pajak Daerah;

b. Retribusi Daerah, termasuk hasil dari pelayanan Badan Layanan Umum (BLU) daerah;

c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan, antara lain bagian laba dari BUMD, hasil kerja sama dengan pihak ketiga; dan

d. Lain-lain PAD yang Sah.

2. Dana Perimbangan, yaitu dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi;

3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah”.

PAD diprioritaskan untuk membiayai kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana pelayanan masyarakat. Oleh karenanya, penyediaan dana yang bersumber dari PAD seyogyanya harus mempertimbangkan efisiensi dan efektivitas; sehingga tidak menurunkan PAD diprioritaskan untuk membiayai kegiatan operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana pelayanan masyarakat. Oleh karenanya, penyediaan dana yang bersumber dari PAD seyogyanya harus mempertimbangkan efisiensi dan efektivitas; sehingga tidak menurunkan

Pajak merupakan salah satu penerimaan negara yang utama disamping penerimaan dari pungutan atau juga pinjaman, dimana pajak dapat berupa dana yang ditarik dari sektor swasta tanpa mengakibatkan timbulnya kewajiban bagi pemerintah terhadap pihak pembayar. Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan), yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.

Besarnya peran yang diberikan oleh pajak sebagai sumber dana dalam pembangunan nasional, maka tentunya perlu lebih digali lagi potensi pajak yang ada dalam masyarakat sesuai dengan situasi dan kondisi perekonomian serta perkembangan bangsa ini. Salah satu sumber potensi pajak yang patut digali sesuai situasi dan kondisi perekonomian serta perkembangan pembangunan bangsa sekarang ini adalah jenis Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan. Pajak ini bukan merupakan jenis pajak baru, karena pernah ada jenis pajak jenis itu, yaitu Bea Balik

Nama (BBN) atas tanah. Munculnya pajak BPHTB dilatarbelakangi pemikiran bahwa tanah dan bangunan sebagai sumber daya alam memiliki fungsi sosial, disamping memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, juga memberi dampak ekonomi kepada pemiliknya. Oleh karena itu, bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan wajib menyerahkan sebagian dari nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak, yaitu BPHTB. Jenis pajak ini mulai dipungut oleh pemerintah Indonesia (sebagai pajak pusat) pada tahun 1997 dengan diterbitkannya UU Nomor 21 Tahun 1997 yang telah mengalami perubahan, terakhir dengan UU Nomor 20 Tahun 2000. Berdasarkan undang-undang tersebut, tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP).

Berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, pendapatan BPHTB dibagikan ke daerah dengan pola distribusi sebagai berikut:

1. 80% merupakan bagian daerah yang dibagikan kepada daerah provinsi dan kabupaten/kota dengan porsi 16% untuk daerah provinsi yang bersangkutan, dan 64% untuk daerah kabupaten/kota penghasil.

2. 20% merupakan bagian pemerintah pusat dan dibagikan kepada seluruh kabupaten/kota dengan porsi yang sama. Dengan demikian, seluruh pendapatan BPHTB yang dipungut oleh

pemerintah pusat pada dasarnya diserahkan kepada daerah melalui mekanisme Dana Bagi Hasil. Adapun penerimaan pendapatan daerah Kabupaten Ngawi tahun 2006 – 2011 dapat dilihat pada Tabel 1.1 sebagai berikut:

Tabel 1.1

Target dan Realisasi Penerimaan Pendapatan Daerah

Kabupaten Ngawi Tahun 2006 - 2011

1,104,752,584,700.00 1,130,520,094,512.19 102.33 Sumber : DPPKA Kabupaten Ngawi

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa realisasi penerimaan pendapatan daerah Kabupaten Ngawi dari tahun 2006 – 2011 cenderung mengalami kenaikan. Meskipun pada tahun 2010, tidak memenuhi target yang telah ditetapkan.

Berdasarkan pertimbangan efisiensi dan dalam upaya menata kembali sistem perpajakan nasional yang dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, maka dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009,

BPHTB dialihkan dari pajak pusat menjadi pajak kabupaten/kota. Undang- Undang No. 28 Tahun 2009 ditetapkan pada tanggal 15 September 2009 dan berlaku secara efektif pada tanggal 1 Januari 2010. Khusus untuk BPHTB, mulai dapat dipungut oleh daerah pada tanggal 1 Januari 2011.

Kebijakan pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah dilakukan melalui suatu proses pembahasan rancangan undang-undang yang cukup panjang antara pemerintah dan dewan perwakilan rakyat. Dengan mempertimbangkan berbagai Kebijakan pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah dilakukan melalui suatu proses pembahasan rancangan undang-undang yang cukup panjang antara pemerintah dan dewan perwakilan rakyat. Dengan mempertimbangkan berbagai

1. Pemungutan BPHTB dapat dilakukan oleh daerah secara optimal, dan

2. Pelayanan kepada masyarakat tidak mengalami penurunan. Secara konsepsional, terdapat beberapa dasar pemikiran mengenai kebijakan pengalihan BPHTB yang semula sebagai pajak pusat menjadi pajak daerah, antara lain:

a. BPHTB layak ditetapkan sebagai pajak daerah. BPHTB memenuhi kriteria dan prinsip-prinsip pajak daerah yang baik, seperti:

objek pajaknya terdapat di daerah (local-origin), objek pajak tidak berpindah-pindah (im-movable), dan terdapat hubungan yang erat antara pembayar pajak dan pihak yang menikmati hasil pajak tersebut (the benefit-tax link principle).

b. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Penetapan BPHTB sebagai pajak daerah akan meningkatkan pendapatan yang bersumber dari daerah itu sendiri (Pendapatan Asli Daerah) Hal ini berbeda dengan penerimaan BPHTB sebagai pajak pusat, meskipun pendapatan BPHTB kemudian diserahkan kepada daerah, penerimaan ini tidak dimasukkan ke dalam kelompok pendapatan asli daerah, melainkan sebagai dana perimbangan (Dana Bagi Hasil).

c. Meningkatkan akuntabilitas daerah (local accountability). Dengan menetapkan BPHTB sebagai pajak daerah, maka kebijakan BPHTB (objek, subjek, tarif, dan dasar pengenaan pajak) ditetapkan oleh daerah dan disesuaikan dengan kondisi dan tujuan pembangunan daerah. Demikian pula dengan pemungutan BPHTB, sepenuhnya dilakukan oleh daerah sehingga optimalitas pemungutannya tergantung pada kemauan dan kemampuan daerah. Selanjutnya, penggunaan hasil BPHTB ditentukan oleh daerah (melalui proses alokasi belanja dalam APBD). Dengan demikian, daerah mempertanggungjawabkan segala sesuatu terkait dengan pemungutan BPHTB kepada masyarakat di daerahnya dan masyarakat memiliki akses untuk ikut serta dalam pengawasan penggunaan hasil pungutan BPHTB.

d. Internationally good practice. Praktek di berbagai negara, BPHTB (property transfer tax) ditempatkan sebagai pajak daerah.

Argumentasi lain yang mendukung kebijakan pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah adalah berkaitan dengan kualitas belanja daerah (local spending quality) . Secara teoritis, pengalihan suatu jenis pajak dari pajak pusat menjadi pajak daerah akan dapat meningkatkan kualitas pengeluaran daerah. Kualitas belanja daerah akan menjadi lebih baik dengan semakin besarnya penerimaan yang bersumber dari pendapatan asli daerah (PAD). Peningkatan kualitas belanja daerah secara langsung akan memperbaiki kualitas pelayanan publik yang merupakan salah satu tujuan kebijakan otonomi daerah. Hal ini pada gilirannya akan mempercepat pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Yang dimaksud dengan pengalihan wewenang pemungutan sebenarnya adalah merupakan pengalihan seluruh rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terhutang, pelaksanaan kegiatan penagihan pajak terhadap Wajib Pajak serta pengawasan penyetorannya yang selama ini dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Prinsip dasar pelaksanaan desentralisasi fiskal menurut UU PDRD adalah money follows functions , yaitu fungsi pokok pelayanan publik didaerahkan tentunya masih dengan dukungan pembiayaan pusat melalui penyerahan sumber-sumber penerimaan kepada daerah. Jika dilihat secara seksama inti dari Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 adalah antara lain:

1. Pengenaan pajak yang close list, artinya Pemda tidak diperkenankan memungut jenis pajak lain selain yang disebutkan dalam UU tersebut.

2. Perubahan pola pengawasan yang semula bersifat represif menjadi ke arah preventif dan korektif.

3. Terdapat sanksi bagi daerah apabila melanggar.

4. Mulai memperkenalkan adanya earmarking system, artinya pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis pajak dan retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan pelayanan yang bersangkutan

5. Terdapat pengalihan hak pemungutan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Menurut Wahyudi (2010) Adapun tujuan penyempurnaan dari UU PDRD adalah:

1. Memperbaiki Sistem Pemungutan pajak dan retribusi daerah

2. Meningkatkan Local Taxing Power melalui:

Perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah, Penambahan jenis pajak daerah dan retribusi daerah (termasuk

pengalihan PBB dan BPHTB menjadi Pajak Daerah), Menaikkan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah, Memberikan diskresi penetapan tarif pajak kepada daerah.

3. Meningkatkan Efektifitas Sistem Pengawasan dengan cara: Mengubah sistem pengawasan, Mengenakan sanksi bagi yang melanggar ketentuan PDRD.

4. Meningkatkan Sistem Pengelolaan melalui penyempurnaan: Sistem bagi hasil pajak Provinsi, Pengembangan sistem earmarking, Memberikan insentif pemungutan.

Dengan pengalihan ini diharapkan BPHTB akan menjadi salah satu sumber PAD yang cukup potensial bagi daerah, dibandingkan dari keseluruhan penerimaan pajak-pajak daerah selama ini ada. Selain itu, diharapkan kemampuan daerah untuk membiayai kebutuhannya akan jauh meningkat. Daerah juga akan lebih mudah dalam menyesuaikan jumlah dan sumber pendapatannya. Demikian pula dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Ngawi, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 mulai 1 Januari 2011 juga sudah memungut BPHTB.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, permasalahan pokok yang akan diteliti antara lain :

1. Bagaimanakah tingkat efektivitas pemungutan BPHTB di Kabupaten Ngawi selama periode 2006 – 2011?

2. Bagaimanakah tingkat kepekaan BPHTB terhadap perubahan PDRB di Kabupaten Ngawi selama periode 2006 – 2011?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui tingkat efektivitas pemungutan BPHTB di Kabupaten Ngawi selama periode 2006 - 2011.

2. Untuk mengetahui kepekaan BPHTB di Kabupaten Ngawi selama periode 2006 - 2011.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberi masukan dan bahan pertimbangan dalam mengembangkan kebijakan pengelolaan keuangan daerah di masa yang akan datang. Manfaat dimaksud antara lain adalah:

1. Sebagai bahan kajian untuk mengevaluasi bagaimana kinerja keuangan daerah dilihat dari parameter kemampuan dan kemandirian keuangan daerah selama otonomi daerah di Kabupaten Ngawi.

2. Sebagai bahan kajian untuk mengevaluasi keterkaitan kebijakan pengelolaan keuangan daerah selama ini terhadap perkembangan 2. Sebagai bahan kajian untuk mengevaluasi keterkaitan kebijakan pengelolaan keuangan daerah selama ini terhadap perkembangan

3. Sebagai bahan kajian untuk dijadikan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan lebih lanjut dalam pengembangan dan pengelolaan keuangan daerah secara optimal.

4. Sebagai bahan perbandingan dan penambahan referensi bagi penelitian-penelitian lebih lanjut dengan tema yang sama.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teoritis

1. Pengertian Pendapatan Daerah Yuwono dkk, (2005:107) menyatakan bahwa Pendapatan Daerah

adalah semua penerimaan kas yang menjadi hak daerah dan diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menjelaskan bahwa Pendapatan Daerah adalah Hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun yang bersangkutan. Dengan demikian pengertian Pendapatan Daerah adalah semua penerimaan uang yang merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran, yang diterima melalui rekening Kas Daerah dan menambah ekuitas dana lancar, yang diatur dengan peraturan yang berlaku, dan dipergunakan untuk menutup pengeluaran daerah.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menetapkan bahwa :

Pendapatan Daerah bersumber dari tiga kelompok, yaitu :

1. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yaitu pendapatan yang diperoleh daerah dan dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan meliputi :

a. pajak daerah;

b. retribusi daerah, termasuk hasil dari pelayanan Badan Layanan

Umum (BLU) Daerah;

c. hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan, antara lain bagian laba dari BUMD, hasil kerja sama dengan pihak ketiga; dan c. hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan, antara lain bagian laba dari BUMD, hasil kerja sama dengan pihak ketiga; dan

2. Dana Perimbangan, yaitu dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, meliputi;

a. bagi hasil pajak;

b. bagi hasil bukan pajak/SDA;

c. Dana Alokasi Umum (DAU);

d. Dana Alokasi Khusus (DAK).

3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

2. Pengertian Pajak Ada beberapa pengertian pajak yang dikemukakan oleh para ahli yang dapat memberi batasan tentang pajak, diantaranya :

a. Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani

Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutama oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan- peraturan dengan tidak dapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran- pengeluaran umum yang berhubungan dengan tugas pemerintahan.

b. Menurut Prof. Dr. M.J.H. Smeets

Pajak adalah prestasi pemerintahan yang terutang melalui norma- norma umum, dan yang dapat dipaksakan tanpa adanya kontra prestasi, yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, maksudnya adalah membiayai pengeluaran pemerintah.

c. Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro, SH.

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang- undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbul (kontra prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

Kemudian dalam perkembangannya Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH memberikan definisi pajak ditinjau dari segi hukum : Pajak adalah perikatan yang timbul karena undang-undang yang

mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang (TATBESTAND) untuk membayar sejumlah uang kepada (kas) negara yang dapat mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang (TATBESTAND) untuk membayar sejumlah uang kepada (kas) negara yang dapat

d. Menurut Mardiasmo

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang- undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat balas jasa timbul yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

Dari pengertian-pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak, yaitu :

1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan

pelaksanaannya.

2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra

prestasi individual oleh pemerintah.

3. Pajak dipungut oleh negara, baik pemerintah pusat maupun

pemerintah daerah.

4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang bila dari pemasukkannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai “public investment”

5. Pajak dapat pula mempunyai tujuan yang bukan budgeter, yaitu

mengatur.

3. Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB)

a. Pengertian dan Dasar Hukumnya

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan.

Sesuai dengan bunyi Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi sebagai berikut : “Bumi, dan air, dan kekayaan dan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kumakmuran rakyat.” Tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, di samping memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, juga merupakan alat investasi yang sangat menguntungkan. Di samping itu, bangunan juga memberi manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Oleh karena itu, bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, wajar menyerahkan sebagian dari nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak, yang dalam hal ini adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang lebih lanjut diatur dengan UU No.

21 Tahun 1997. Sebelum dikeluarkan UU No. 21 Tahun 1997, ada pemungutan pajak dengan nama Bea Balik Nama yang diatur dalam ordonansi Bea Balik Nama Staatsblaad 1924 Nomor 291. Bea Balik Nama ini dipungut atas setiap ada perjanjian pemindahan hak atas harta tetap yang ada di wilayah Indonesia, termasuk peralihan harta karena hibah wasiat. Yang dimaksud harta tetap dalam Ordonansi tersebut adalah barang-barang tetap dan hak-hak kebendaan atas tanah, yang pemindahan haknya dilakukan dengan pembuatan akta menurut cara yang diatur dalam undang-undang, yaitu Ordonansi Balik Nama Staatsblaad 1834 Nomor 27.

Tindak Lanjut dari pemerintah mengenai perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah dengan mengeluarkan UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Undang-undang ini seharusnya berlaku mulai tanggal 1 Januari 1998, namun ditangguhkan masa berlakunya selama 6 bulan, jadi UU No. 21 Tahun 1997 ini berlaku efektif tanggal 1 Juli 1998. Pada Tahun 2000 pemerintah mengeluarkan UU No. 20 Th 2000 yang menggantikan UU No. 21 Th 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Prinsip-prinsip yang diatur dalam Undang-Undang BPHTB adalah:

a. Pemenuhan kewajiban BPHTB adalah berdasarkar sistem Self

Assessment.

b. Besarnya tarif ditetapkan sebesar 5% dari Nilai Perolehan

Objek Pajak Kena Pajak.

c. Adanya sanksi bagi Wajib Pajak maupun pejabat-pejabat umum yang melanggar ketentuan atau tidak melaksnakan kewajibannya menurut Undang-undang yang berlaku.

d. Hasil Penerimaan BPHTB sebagian besar diserahkan kepada Pemerintah Daerah, untuk meningkatkan pendapatan daerah.

e. Semua pungutan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan diluar ketentuan ini tidak diperkenankan. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, BPHTB dialihkan dari pajak pusat menjadi pajak kabupaten/kota. Pada dasarnya tidak terdapat perbedaan yang besar antara ketentuan mengenai BPHTB yang

diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 1997 (BPHTB sebagai pajak pusat) dan BPHTB yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 (BPHTB sebagai pajak daerah). Perbedaan pokok terletak pada fleksibilitas yang diberikan kepada daerah dalam perumusan kebijakan BPHTB untuk memberi ruang bagi daerah menetapkan kebijakan perpajakan yang sesuai dengan kondisi daerahnya. Dasar pemungutan BPHTB adalah peraturan daerah yang memuat ketentuan mengenai objek pajak, subjek pajak, wajib pajak, tarif pajak, dasar pengenaan pajak, dan lain-lain. Namun demikian, pengaturan dalam peraturan daerah harus disesuaikan dengan kebijakan yang termuat dalam UU atau Peraturan Pemerintah. Kebijakan pokok mengenai BPHTB yang diatur dalam UU Nomor

28 Tahun 2009 adalah sebagai berikut:

a. Objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan (seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak pengelolaan), baik pemindahan hak (seperti jual-beli, tukar-menukar, hibah, hadiah, dan waris) maupun pemberian hak baru.

b. Sejumlah objek pajak tidak dikenakan BPHTB, seperti objek pajak yang diperoleh perwakilan diplomatik dan konsulat, negara, badan atau perwakilan lembaga internasional, konversi hak yang tidak merubah nama, wakaf, dan kepentingan ibadah. Khusus mengenai badan atau perwakilan lembaga internasional yang dikecualikan dari pengenaan BPHTB diatur dalam

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.07/2010 tanggal 27 Agustus 2010.

c. Subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan.

d. Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan. Termasuk wajib pajak BPHTB adalah pejabat pembuat akta tanah/notaris, kepala kantor lelang negara, dan kepala kantor pertanahan, yang

berdasarkan undang- undang diberikan kewajiban tertentu dalam proses pemungutan BPHTB.

e. Tarif BPHTB paling tinggi 5%. Setiap daerah dapat menetapkan tarif BPHTB sesuai dengan kebijakan daerahnya sepanjang tidak melampaui 5%.

f. Dasar pengenaan BPHTB adalah ‘Nilai Perolehan Objek Pajak’ (NPOP) dan saat terutang BPHTB adalah tanggal peralihan hak, dengan ketentuan sebagai berikut:

menetapkan NPOP dan NPOP- TKP (NPOP Tidak Kena Pajak) serta saat terutang BPHTB untuk pemindahan hak karena : - Jual beli - Tukar menukar - Hibah - Hibah wasiat - Waris - Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan

- Penunjukan pembeli dalam lelang - Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan

hukum tetap - Penggabungan Usaha - Peleburan Usaha - Pemekaran Usaha - Hadiah dan untuk Pemberian hak baru karena : - Kelanjutan pelepasan hak - Di luar pelepasan hak Apabila NPOP tidak diketahui atau lebih rendah dari pada NJOP-PBB (Nilai Jual Objek Pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan), dasar pengenaan BPHTB adalah NJOP-PBB. Setiap daerah dapat menetapkan NPOP-TKP yang berbeda sepanjang tidak lebih rendah dari jumlah tersebut di atas.

c. Pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah

Pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah diawali dengan perumusan kebijakan yang dituangkan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam undang- undang tersebut ditetapkan bahwa BPHTB dialihkan menjadi pajak kabupaten/kota dan mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Januari 2011. Dengan demikian terdapat waktu satu tahun sejak saat berlakunya UU Nomor 28 Tahun 2009 (1 Januari 2010) Pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah diawali dengan perumusan kebijakan yang dituangkan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam undang- undang tersebut ditetapkan bahwa BPHTB dialihkan menjadi pajak kabupaten/kota dan mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Januari 2011. Dengan demikian terdapat waktu satu tahun sejak saat berlakunya UU Nomor 28 Tahun 2009 (1 Januari 2010)

a. Pemerintah pusat (Direktorat Jenderal Pajak) masih tetap memungut BPHTB sampai dengan tanggal 31 Desember 2010. BPHTB disetor ke Kas Umum Negara dan hasilnya dibagikan kepada daerah sesuai porsi yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

b. Menteri Keuangan bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri mengatur tahapan persiapan pengalihan BPHTB sebagai pajak daerah.

c. Pemerintah daerah dapat memungut BPHTB mulai tanggal 1 Januari 2011 dengan menerbitkan peraturan daerah. BPHTB disetor ke Kas Umum Daerah dan hasilnya merupakan pendapatan asli daerah (PAD).

4. Pengertian Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Produk Domestik Regional Bruto menurut Badan Pusat Statistik (2005:1) adalah jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh sektor produksi atau merupakan jumlah nilai tambah bruto yang dihasilkan oleh seluruh unit kegiatan ekonomi yang beroperasi di wilayah yang bersangkutan pada suatu periode waktu tertentu. Produk Domestik Bruto

(PDB) merupakan salah satu indikator makro ekonomi yang pada umumnya digunakan untuk mengukur kinerja ekonomi suatu Negara, untuk tingkat wilayah provinsi maupun kabupaten/kota, digunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Secara teori dapat dijelaskan bahwa PDRB merupakan bagian dari PDB, sehingga perubahan PDRB yang terjadi di tingkat regional akan berpengaruh terhadap PDB di tingkat nasional, atau sebaliknya.

Cara penghitungan PDRB dapat diperoleh melalui 3 (tiga) pendekatan yaitu: pendekatan produksi, pendekatan pendapatan, dan pendekatan pengeluaran. Menurut pendekatan produksi, PDRB merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di suatu

wilayah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam penyajiannya dikelompokkan ke dalam 9 (sembilan) sektor atau lapangan usaha yaitu : Pertanian; Pertambangan dan Penggalian; Industri Pengolahan; Listrik, Gas, dan Air Bersih; Bangunan; Perdagangan, Hotel dan Restoran; Pengangkutan dan Komunikasi; Jasa Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan; serta Jasa-jasa. Menurut pendekatan pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi dalam suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa rumah, bunga modal dan keuntungan yang dihitung sebelum adanya pemotongan pajak penghasilan dan pajak lainnya. Menurut pendekatan pengeluaran, PDRB merupakan penjumlahan semua komponen permintaan akhir yaitu : pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari untung, konsumsi wilayah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam penyajiannya dikelompokkan ke dalam 9 (sembilan) sektor atau lapangan usaha yaitu : Pertanian; Pertambangan dan Penggalian; Industri Pengolahan; Listrik, Gas, dan Air Bersih; Bangunan; Perdagangan, Hotel dan Restoran; Pengangkutan dan Komunikasi; Jasa Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan; serta Jasa-jasa. Menurut pendekatan pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi dalam suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa rumah, bunga modal dan keuntungan yang dihitung sebelum adanya pemotongan pajak penghasilan dan pajak lainnya. Menurut pendekatan pengeluaran, PDRB merupakan penjumlahan semua komponen permintaan akhir yaitu : pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari untung, konsumsi