61 BAB IV HASIL PENELITIAN

BAB IV
HASIL PENELITIAN

A. Hukuman Menurut Hadis
Di antara hadis nabi saw yang berbicara mengenai hukuman adalah
hadis yang memerintahkan orang tua untuk menyuruh anaknya meleksanakan
shalat, seperti hadis berikut ini.

ِ ِ
‫ال أَبُو َد ُاود‬
َ َ‫َح َزةَ ق‬
َّ ‫َحدَّثَنَا ُم َؤَّم ُل ْب ُن ِه َش ٍام يَ ْع ِِن الْيَ ْش ُك ِر‬
َْ ‫يل َع ْن َس َّوا ٍر أَِِب‬
ُ ‫ي َحدَّثَنَا إ ْْسَع‬
ِ‫ب عن أَبِيهِ عن جدِّه‬
َّ ُّ‫َح َزَة الْ ُم َزِِن‬
ُّ ِ‫الصيْ َر‬
َْ ‫َو ُه َو َس َّو ُار ْب ُن َد ُاو َد أَبُو‬
َ َْ
ْ َ ٍ ‫ِف َع ْن َع ْم ِرو ْب ِن ُش َعْي‬
ِ َّ ِ‫ول اللَّهِ صلَّى اللَّه علَيهِ وسلَّم مروا أَوََلدَ ُكم ب‬

‫ني‬
ُ ‫ال َر ُس‬
َ َ‫ال ق‬
َ َ‫ق‬
َ ِ‫الص ََلة َو ُهم أَْب نَاءُ َسْب ِع ِسن‬
ْ ْ ُُ َ َ َ ْ َ ُ
َ
ِ ‫اض ِربوهم علَيها وهم أَب نَاء ع ْش ٍر وفَ ِّرقُوا ب ينَهم ِِف الْمض‬
) ‫( َرَو ُاه اَبُ ْو َد ُاو َد‬. ‫اج ِع‬
ََ
ْ ُ ْ َ َ َ ُ ْ ْ ُ َ َ ْ َ ْ ُ ُ ْ ‫َو‬
“Telah menceritakan kepada kami Mu`ammal bin Hisyam Al-Yasykuri telah
menceritakan kepada kami Isma'il dari Sawwar Abu Hamzah berkata Abu Dawud;
Dia adalah Sawwar bin Dawud Abu Hamzah Al-Muzani Ash-Shairafi dari Amru
bin Syu'aib dari Ayahnya dari Kakeknya dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: Perintahkanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat
apabila sudah mencapai umur tujuh tahun, dan apabila sudah mencapai umur
sepuluh tahun maka pukullah dia apabila tidak melaksanakannya, dan pisahkanlah
mereka dalam tempat tidurnya.” (H.R Abu Daud).


Hadis tersebut menjelaskan bagaimana mendidik agama pada anakanak. Pendidikan agama diberikan pada anak-anak sejak kecil, sehingga nanti
di usia dewasa perintah-perintah agama dapat dilakukan secara mudah dan
ringan. Diantara perintah agama yang disebutkan dalam hadis tersebut, yaitu

61

62

perintah

melaksanakan

shalat,

perintah

memberikan

hukuman bagi


pelanggarnya, dan perintah mendidik pendidikan seks. 1

Dalam penelitian ini, pendidikan yang akan penulis bahas adalah
tentang perintah memberikan hukuman, tidak terbatas pada pelaku
pelanggaran shalat saja, namun mencakup pemberian hukuman secara umum
dalam lingkup pendidikan. Dalam hadis di atas dijelaskan bahwa perintah
shalat secara tegas dimulai dari usia tujuh tahun dan berlanjut sampai us ia
Sembilan dan sepuluh tahun. Jika pada usia sepuluh tahun ini seorang anak
tidak mau melaksanakan perintah shalat, maka orang tua diperintahkan untuk
memukul.
Rasulullah menjelaskan dalam hadits ini bahwa orang tua sudah harus
membiasakan anaknya untuk shalat mulai dari anak berumur tujuh sampai
sepuluh tahun. Itu artinya selama tiga tahun pendidik harus bersabar dalam
membimbing dan mengingatkan anak secara terus – menerus tentang shalat.
Oleh karena itu bisa dihitung berapa kali perintah itu harus disampaikan
kepada anak. Perintah itu selama tiga tahun, tiga tahun sama dengan 3 x 365
hari = 1095 hari. Sementara shalat 5 x sehari semalam. Jadi 1095 x 5 = 5475
x perintah. 2
Oleh karena itu, pendidik mempunyai kewajiban sebanyak 5475 x
mengingatkan anak untuk shalat sebelum pendidik mempunyai hak untuk

menjatuhkan hukuman (pukul) terhadap anak. Sebagai pendidik seharusnya
1

Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi :Hadis-hadis pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2012),

2

Muhammad ibnu abdul hafidh, cara nabi mendidik anak , (Jakarta: Al-I’t ishom, 2004),

h. 263
h. 102

63

guru atau orang tua bisa mengintrospeksi diri apakah kewajibannya sebagai
pendidik sudah ditunaikan sebelum meminta anak berbakti kepadanya dan
minta hak-haknya selaku orang tua. Tidak benar kalau pendidik hanya ingat
pada kewajiban anak didik saja untuk berbakti kepada dirinya, sementara dia
belum menunaikan kewajiban sepenuhnya selaku orang tua terhadap anak.
Setelah


itupun

masih

ada

kewajiban

memerintahkan

anak

untuk

melaksanakan shalat sampai mereka baligh, bahkan diperintahkan untuk
memukul mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti dan membahayakan
dalam

artian


pukulan

yang

mendidik

bila

mereka

tidak

mau

melaksanakannya. 3
Perlu diperhatikan di sini, memukul adalah cara terakhir untuk
mendidik anak. Maksudnya, sebelum memukul harus menempuh cara-cara
lainnya terlebih dahulu, seperti menasihati, kemudian memperingatkan
dengan keras, memberi ancaman hukuman jika memang anak termasuk orang

yang jera hanya dengan ancaman. Jika ketiga cara ini tidak mempan, barulah
orang tua boleh memukul anaknya. Pukulan disini maksudnya adalah
hukuman yang sesuai dengan kondisi, bisa jadi yang dipukul adalah batinnya
(mental) dengan cara diisolasi atau sikap tidak suka, sikap marah, dan lainlain. Atau diartikan pukulan pada fisik jika diperlukan, yang pada prinsipnya
anak bisa mengubah dirinya menjadi yang lebih baik sesuai dengan perintah

3

https://zulfiakmal.wordpress.com/2012/12/30/menyuruh-anak-shalat/, diakses pada hari
senin/08/2017 jam 20.30 Wib

64

atau larangan. 4 Sebagai contohnya yaitu sikap marah nabi saw kepada
seseorang yang meludah ke arah kiblat, sebagaimana yang terdapat dalam
hadis beliau berikut ini.

ٍ ‫ َحدَّثَنَا َعْب ُد اللَّهِ ْبن و ْه‬،‫صالِ ٍح‬
ِ‫ َع ْن بَ ْكرِ ْبن‬،‫َخبَ َرِِن َع ْمٌرو‬
ْ ‫َحدَّثَنَا أ‬

ْ ‫ أ‬،‫ب‬
َ ‫ََحَ ُد ْب ُن‬
َ ُ
ِ ْ َ‫سو َادة‬
ِ ِ‫السائ‬
‫ قَا َل‬- ٍ‫ب ْب ِن َخ ََّلد‬
َّ ‫ َع ْن أَِِب َس ْهلَ َة‬،‫صالِ ِح ْب ِن َخيْ َوا َن‬
َ ‫ َع ْن‬،‫اْلُذَام ِّي‬
ََ
ِ ْ‫أ‬
ِ ‫َصح‬
َّ ‫ أ‬- ‫صلَّى اهللُ َعلَْيهِ َو َسلَّ َم‬
‫ص َق ِِف‬
ِّ ِ‫اب الن‬
َ َ‫ فَب‬،‫َن َر ُج اَل أ ََّم قَ ْواما‬
َ ‫َِّب‬
َ ْ ‫ م ْن أ‬:‫ََحَ ُد‬
ِ‫ول اللَّهِ صلَّى اهلل عَلَيه‬
ِ ُ ‫ ورس‬،ِ‫الْ ِقب لَة‬
ُ ‫ال َر ُس‬

َ ‫ فَ َق‬،‫صلَّى اهللُ َعلَْيهِ َو َسلَّ َم يَنْظُُر‬
ْ ُ
َ
َ ‫ول اللَّه‬
ُ ََ ْ
‫وه‬
َ ‫ني فَ َر‬
َ ِ‫ فَأ ََر َاد بَ ْع َد َذل‬،»‫صلِّي لَ ُك ْم‬
ْ ‫وه َوأ‬
َ ‫َو َسلَّ َم ِح‬
ُ ‫َخبَ ُر‬
ُ ‫صلِّ َي ََلُْم فَ َمنَ ُع‬
َ ُ‫ك أَ ْن ي‬
َ ُ‫ «ََل ي‬:‫غ‬
ِ
ِ‫ول اللَّهِ صلَّى اهلل عَلَيه‬
ِ
ِ ِ
ِ ‫ك لِرس‬
ِ

ْ ُ
َ
ُ َ َ ‫ فَ َذ َك َر َذل‬،‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬
َ ‫بَِق ْول َر ُسول اللَّه‬
ِ
‫ت اللَّ َه َوَر ُسولَ ُه»( َرَو ُاه اَبُ ْو‬
َ َ‫ت أَنَّ ُه ق‬
َ ‫ فَ َق‬،‫َو َسلَّ َم‬
َ َّ‫ «إِن‬:‫ال‬
َ ‫ك آذَْي‬
ُ ‫ َو َحسْب‬،»‫ «نَ َع ْم‬:‫ال‬
) ‫َد ُاو َد‬

“Hadist Ahmad ibn Shalih, hadis Abdullah ibn Wahhab, Umar
memberitakan padaku dari Bakr ibn Suadah al-Juzâmi dari Shâlih ibn
Khaiwân dari Abi Sahlah as-Sâ’ib ibn Khallâd, kata Ahmad dari
kalangan sahabat Nabi saw. bahwa ada seorang yang menjadi imam salat
bagi sekelompok orang, kemudian dia meludah ke arah kiblat dan
Rasulullah saw. melihat, setelah selesai salat Rasulullah saw. bersabda
”jangan lagi dia menjadi imam salat bagi kalian” (HR. Abu Daud

no.481).5
Memberikan hukuman (marah) karena orang tersebut tidak layak
menjadi imam. Seakan-akan larangan tersebut disampaikan beliau tanpa
kehadiran imam yang meludah ke arah kiblat ketika salat. Dengan demikian
Rasulullah SAW memberi hukuman mental kepada seseorang yang berbuat
tidak santun dalam beribadah dan dalam lingkungan sosial.

4

Ibid., h.265-266
Sijistâni, Abu Dâud Su laiman ibn al-Asy’aş, Sunan Abu Dâud, ( Beirut: Dâr al-Kutub al’Ilmiyah, cet 1, 1401 H), h. 183
5

65

Berdasarkan

pada

hadits

tersebut,

mendidik

anak

dengan

menggunakan hukuman (pukul) boleh dilakukan, Tetapi tentu hal ini tidak
serta merta membenarkan setiap hukuman boleh diberikan kepada anak
yang tidak mau shalat tanpa memperhatikan batasan-batasan tertentu.
Hukuman dalam pendidikan memiliki pengertian yang luas, mulai dari
hukuman yang ringan sampai pada hukuman berat. Sekalipun hukuman
banyak macamnya, Ahmad Tafsir menjelaskan, bahwa pengertian pokok
dalam setiap hukuman tetap satu, yaitu adanya unsur menyakitka n, baik
jiwa maupun badan. 6
Berdasarkan pendapat para fuqaha, jika anak telah baligh namun
tidak melaksanakan shalat maka orang tua memerintahkan anaknya dengan
cara memukulnya. Pengertian memukul disini adalah memberi pelajaran dan
membiasakan anak melaksanakan shalat bukan pukulan hukuman atau
siksaan. Oleh karena itu pukulan dimaksud agar anak melaksanakan shalat,
bukan membuat anak sakit atau merusak tubuhnya. 7
Berkenaan dengan hal ini, dalam Al-Quran juga dijelaskan tentang
menyuruh anak melaksanakan shalat sebagaimana tertuang dalam Surah
Taha ayat 132:

ِ َّ ِ‫ك ب‬
‫ك َوالْ َعاقِبَ ُة لِلتَّ ْق َوى‬
َ ُ‫ك ِرْزقاا ََْن ُن نَ ْرُزق‬
َ ُ‫اصطَِ ِْب َعلَيْ َها َل نَ ْسأَل‬
َ َ‫َوأْ ُم ْر أ َْهل‬
ْ ‫الصَلة َو‬
6

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam dalam Prespektif Islam, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2007), h. 186
7

http://al-badar.net/anak-melaksanakan-shalat/, diakses pada hari senin 14/ 08/ 2017,
pukul 20.35

66

“ Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan
bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki
kepadamu, kamilah yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik)
itu adalah bagi orang yang bertakwa.”8
Prinsip pokok dalam mengaplikasikan pemberian hukuman yaitu
bahwa hukuman adalah jalan terakhir dan harus dilakukan secara terbatas
serta tidak menyakiti anak didik. Tujuan utama dari pendekatan ini adalah
untuk menyadarkan anak dari kesalahan-kesalahan yang ia lakukan. Suatu
hal yang perlu dikemukakan di sini adalah bahwa hadis tersebut tidak
dapat dijadikan legistimasi dan dasar untuk melakukan kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT). Hal itu berdasarkan beberapa alasan, yaitu sebagai
berikut:
1. Pukulan terhadap anak yang diperintahkan oleh Rasullullah itu dalam
kerangka kasih sayang, bukan menyakiti, melukai, dan menimbulkan
dendam. Sesuai dengan penjelasan yang dikemukakan oleh Al- Alaqi
dan Al- Aqami. Menurutnya, pemukulan diperintahkan hanya apabila
anak sudah berusia 10 tahun. Pada usia itulah batas penanggungan
pukulan (sebelumnya belum pantas menerima pukulan). Pukulan yang
dimaksud di sini adalah pukulan yang tidak melukai, tidak menyakiti,
dan hindari pemukulan pada wajah.
2. Sifat dan perlakuan kasar bertentangan dengan kepribadian Rasullullah
saw. Hal itu dapat dilihat dalam beberapa hadis dan sirah beliau, antara
lain sebagai berikut:

8

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Darus Sunnah,
2002), h. 322

67

a. Hadis riwayat Al-Bukhari. Abu Sulaiman Malik bin Huwairits
berkata, “kami beberapa orang pemuda sebaya mengunjungi nabi saw
lalu kami menginap bersama beliau selama 20 malam. Beliau adalah
seorang yang halus perasaannya dan penyayang.
b. Hadis riwayat Muslim dari Anas bin Malik ia berkata, “saya tidak
pernah melihat orang yang lebih penyayang kepada keluarganya
melebihi Rasullullah saw. 9
Adalagi yang mengartikan bahwa yang dimaksud memukul dalam
hadis tersebut adalah untuk menyadarkan mereka bukan untuk menyakiti.
Karena itu jangan sampai pukulan tersebut membuat cedera melainkan
untuk menyadarkan mereka, dan lebih baik lagi apabila tanpa pukulan.
Jika dengan suruhan sudah bisa menyadarkan, janganlah disertai pukulan.
Pukulan adalah pilihan terakhir apabila dengan ucapan dan teguran sudah
tidak bisa. 10 Kemudian dalam memberikan hukuman hindarilah bagian
wajah. Sebagaimana yang terdapat dalam sabda nabi saw berikut.

ِ ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
‫َِب‬
ُْ ‫ َع ْن أ‬، َّ‫ يَ ْع ِِن الْح َزامي‬،‫ َح َدثَنَا املُغيْ َرة‬،‫َح َدثَنَا َعْبد اهلل ْبن ُم ْسلَ َمة ْبن قَ ْعنَب‬
ِ
،‫صلَّى اهللُ َعلَْيهِ َو َسلَ َم‬
َ َ‫ ق‬،‫ال‬
َ َ‫ ق‬،‫ عَ ْن أ َُِب ُه َريْ َرة‬،‫ َع ْن األ َْع َر َج‬،‫ال ِزنَ ِاد‬
َ ‫ال َر ُس ْو ُل اهلل‬
ِ
(‫")رواه مسلم‬.ِ‫ب اْ َلو ْجه‬
َ ‫"إِ َذا قَاتَ َل أ‬
ُ ‫فَْاليَ ْجتَن‬،‫َح َد ُك ْم اَ َخ ُاه‬
“Menceritakan kepada kami ‘Abdullah ibn Maslamah ibn Qa’nab,
menceritakan kepada kami al-Mughirat, yakni al-Hizami, dari Abu Zinad,
dari A’raj, dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda,
9
Bu khari Umar, Hadis Tarbawi: pendidikan dalam perspektif hadis, (Jakarta: AMZAH,
2014) h. 124-125
10
Heri jauhari mucktar, Fikih Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), h.
92-93

68

“Apabila memukul salah seorang kamu akan saudaranya, maka
hindarilah wajah.”(H.R. Muslim)
Hadits di atas menjelaskan bahwa dilarang memukul disekitar
wajah. Yang diriwayatkan oleh tujuh perawi, diantaranya: periwayat ke-1
(sanad 6) adalah Abu Hurairah, periwayat ke-2 (sanad 5) adalah A’raj,
periwayat ke-3 (sanad 4) adalah Abu Zinad, periwayat ke-4 (sanad 3)
adalah al- Hizami, periwayat ke-5 (sanad 2) adalah Al-Mughirat, periwayat
ke-6 (sanad 1) adalah Abdullah ibn Maslamah ibn Qa’nab, dan periwayat
ke-7 adalah Muslim.
Aspek Pendidikan yang dapat diambil dari hadis tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Hukuman dapat meningkatkan kesadaran dan kehati- hatian peserta
didik.
b. Sanksi dalam pendidikan mempunyai arti penting, pendidikan yang
terlalu lunak akan membentuk pelajar kurang disiplin dan tidak
mempunyai keteguhan hati.
c. Sanksi dilakukan dengan teguran, diasingkan ata u dipukul dalam arti
tidak untuk menyakiti tetapi untuk mendidik. Kemudian dalam
menerapkan

sanksi

fisik

hendaknya

dihindari

kalau

tidak

memungkinkan, hindari memukul wajah, memukul sekedarnya saja
dengan tujuan mendidik, bukan balas dendam.
Dalam buku Muhammad nabil kazhim tentang mendidik anak
tanpa kekerasan, dikutip dalam kitab at- tasyri’ al- jina’I al- islami
(hukum pidana islam) disebutkan bahwa:

69

Dalam penerapan hukuman, ayah memiliki hak penuh untuk
menghukum anak- anaknya (yang masih kecil), yang belum baligh,
demikian juga dengan guru, ia memiliki hak untuk menghukum muridmuridnya. Adapun kakek dan orang yang mendapatkan wasiat, berhak
menghukum anak-anak yang berada di bawah perwaliannya. Sedangkan
ibu, ia memiliki hak untuk menghukum anaknya menurut salah satu
pendapat jika ia diwasiatkan untuk itu atau jika si anak berada di bawah
tanggungannya, atau jika sang ayah sedang tidak ada. Selain orang- orang
yang tadi disebutkan, sama sekali tidak memiliki hak untuk menghukum
anak-anak. Ini menurut pendapat yang dianggap rajih.
Adapun syarat-syarat diperbolehkannya menghukum anak- anak,
sebagaimana berikut ini:
a. Hukuman diterapkan karena kesalahan yang diperbuat, bukan atas
dasar kekhawatiran terhadap kesalahan berikutnya yang akan ia
lakukan.
b. Hukuman pukulan hendaknya tidak menyakitkan sama sekali.
c. Hukuman pukulan harus disesuaikan dengan kondisi si anak dan
usianya.
d. Hukuman pukulan dilakukan atas dasar dan untuk tujuan pembinaan,
tidak boleh berlebihan, dan diluar kewajaran. 11

11

Muhammad nabil kazhim, Mendidik Anak Tanpa Kekerasan, (Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2010), h. 27-28

70

Jika pukulan yang dilakukan terlalu keras, dan dinilai keluar dari
ambang kewajaran sebagai sarana pembinaan, maka orangtua atau guru
yang melakukannya bertanggungjawab secara hukum pidana. AsySyafi’i berpendapat bahwa penghukum bertanggungjawab

penuh

terhadap bahaya yang timbul pada anak akibat hukuman yang
diterapkannya. Sebab, menghukum adalah hak, bukan kewajiban. Dengan
demikian,

ia boleh menjalankannya boleh juga tidak.

Jika

ia

menjalankannya, konsekwensinya ia harus bertanggungjawab atas
perbuatannya.
Masih dalam buku Muhammad nabil kazhim tentang mendidik
anak tanpa kekerasan, syaikh Izuddin bin Abdussalam menyebutkan
dalam bukunya Qawaid Al- Ahkam: “diantara contoh- contoh perbuatan
yang mengandung kemaslahatan dan kerusakan, namun maslahatnya lebih
jelas daripada bahayanya, adalah memukul anak kecil gara- gara ia
meninggalkan shalat dan puasa, serta maslahat- maslahat lainnya, hal ini
didasarkan pada hadis Rasullullah yang tertera sebelumnya, yang
berbunyi: “perintahkanlah anak-anakmu untuk mengerjakan shalat pada
saat

usia

mereka

tujuh

tahun.

Dan

pukullah

mereka

(jika

meninggalkannya) pada saat usia mereka sepuluh tahun.”
Pukulan tidaklah perlu diterapkan kecuali jika cara- cara lain
memang sudah tidak mempan. Dalam buku at- tadris wa ash- shihah annafsiyah yang dikutip oleh muhammaad nabil kazhim, disebutkan
mengenai syarat- syarat hukuman atau sangsi, sebagai berikut:

71

1. Semaksimal mungkin menghindari sangsi fisik.
2. Bahwa perasaan cinta kita harus diungkapkan pada anak yang
dihukum.
3. Berupaya untuk selalu membangun hubungan kasih sayang dan saling
memahami kepada anak yang dihukum.
4. Hukuman langsung diberikan setelah terjadi pelanggaran atau
kesalahan, bukan setelah berselang waktu yang lama.
5. Hukuman dilakukan atas dasar yang jelas, bukan keragu- raguan.
6. Menjelaskan dan menguraikan apa faktor yang melatari hukuman itu.
7. Menjelaskan langkah apa yang harus ia lakukan agar bisa menjadi
lebih baik. 12
Walaupun penerapan sangsi pukulan yang memang harus
dilakukan sudah tidak diperselisihkan lagi, ternyata aplikasinya tidak
sepenuhnya seperti itu. Kenyataan membuktikan, bahwa kebutuhan untuk
memukul menjadi berkurang setiap kali sikap bijak tumbuh dalam diri
seorang

pendidik.

Sebab

seorang

yang

bijak

mengerti,

bahwa

menimbulkan rasa sakit pada fisik bahkan pada psikis tidak serta merta
menjadi pengubah keburukan seorang anak.
Pukulan hanyalah sebuah simbol suatu larangan, penolakan, dan
ketidaksukaan. Hal yang justru menjadi perhatian, bahwa jika seorang
pendidik terlalu sering menimpakan hukuman kepada anak-anak didiknya,
itu menjadi bukti kegagalan disiplin dan cara pembinaannya. Abu Hamid
12

Ibid., h. 30-32

72

Al- Ghazali menasehatkan kepada para guru dan pendidik mengenai cara
terbaik dalam memberikan sangsi atau hukuman. Beliau mengatakan,
“semaksimal mungkin hindarkan anak-anak dari perilaku buruk, jadikan
mereka berpaling

dari perbuatan- perbuatan itu.

Jangan pernah

membukakan keburukannya, berinteraksilah dengan cara yang penuh
kasih, bukan dengan cara

memperoloknya. Karena membukakan

keburukan hanya akan membukakan hijab diri dan mewariskan keberanian
untuk melakukan kesalahan- kesalahan berikutnya. 13
Pemberian sangsi fisik yang merupakan salah satu sarana
pembinaan harus dijelaskan secara gamblang, agar hasil yang dikehendaki
benar-benar jelas, target- target tertentu dapat tercapai, dan perilaku yang
buruk dapat dihentikan. Dan di sisi lain, untuk mengokohkan nilai positif
pada diri anak yang sedang tumbuh dan berkembang.
1) Hukuman bukanlah perkara pokok yang wajib dilakukan
2) Hukuman dapat menghilangkan perasaan tentram dari jiwa
3) Hukuman fisik bukanlah penanganan yang harus diagendakan
4) Sulit menentukan kadar sangsi fisik (pukulan) di lingkungan sekolah
5) Tujuan sebenarnya yang diinginkan dari penerapan sangsi pukulan
6) Hukuman tidak boleh diberlakukan jika tidak menghantarkan pada
tujuan pembinaan yang diinginkan
7) Terlalu sering memukul, justru mengikis pengaruhnya

13

Ibid., h. 34

73

Kita tidak memungkiri bahwa ada pengaruh positif dari imbalan
dan hukuman, baik materi maupun moril bagi kemajuan proses
pembelajaran. Dengan syarat imbalan dan hukuman itu sejalan dengan
ketentuan dan syarat- syarat berikut ini:
1) Hukuman harus memenuhi standar pembinaan dan kejiwaan
2) Penerapan hukuman dilakukan oleh orangtua atau wali anak
3) Penerapan hukuman hendaknya diiringi oleh rasa kasih dan cinta
4) Sangsi diterapkan setelah sebelumnya telah diberi peringatan,
espektasi hadiah, motivasi, dan hal- hal yang memberikan kepuasan
5) Bertahap dalam memberikan hukuman. 14
Kemudian dalam memberikan hukuman ada hal- hal yang harus
diperhatikan atau dipertimbangkan, hal- hal tersebut adalah sebagai
berikut: 15
1) Macam dan

besar

kecilnya

pelanggaran:

Besar

kecilnya

pelanggaran akan menentukan berat ringannya hukuman yang
harus diberikan.
2) Pelaku pelanggaran: Hukuman diberikan dengan melihat jenis
kelamin, usia dan halus kasarnya perangai dari pelaku pelanggaran.
3) Akibat-akibat yang mungkin timbul dalam hukuman: Pemberian
hukuman jangan sampai menimbulkan akibat yang negatif pada diri
anak.
14

Ibid., h. 63-66
Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pengetahuan, (Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP
Malang, 1973), h. 157
15

74

4) : Hukuman yang dipilih harus sedikit mungkin segi negatifnya baik
dipandang dari sisi murid, guru, maupun Pilihlah bentuk-bentuk
hukuman yang pedagogis dari orang itu.
5) Sedapat mungkin jangan menggunakan hukuman badan: Hukuman
badan adalah hukuman yang menyebabkan rasa sakit pada tubuh
anak, hukuman badan.
Hukuman yang dapat dikenakan kepada anak-anak bermacammacam jenis. Sehubungan dengan hal ini, Suwarno mengungkapkan
berdasarkan pandangan W. Stern tedapat tiga tingkatan hukuman
sesuai dengan perkembangan anak, yaitu:16
1) Hukuman Asosiatif, di mana penderitaan yang ditimbulkan akibat
hukuman tadi ada asosiasinya dengan kesalahan anak. Misalnya
seorang anak yang akan mengambil sesuatu di atas meja dipukul
jarinya. Hukuman asosiasif dipergunakan bagi anak kecil.
2) Hukuman Logis, di mana anak dihukum sehingga mengalami
penderitaan yang ada hubungan logis dengan kesalahannya.
Hukuman logis ini dipergunakan pada anak-anak yang sudah agak
besar yang sudah mampu memahami hubungan antara kesalahan
yang diperbuatnya dengan hukuman yang diterimanya.
3) Hukuman Moril, tingkatan ini tercapai pada anak-anak yang lebih
besar, di mana anak tidak hanya sekedar menyadari hubungan logis
antara kesalahan dengan hukumannya, tetapi tergugah perasaan
16

Suwarno, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), h. 177

75

kesusilaannya atau terbangun kata hatinya, ia merasa harus
menerima hukuman sebagai sesuatu yang harus dialaminya.
Sedangkan mengenai bentuk hukuman, Soejono mengemukakan
bentuk hukuman dengan tiga bentuk, yaitu:
1) Bentuk Isyarat, usaha pembetulan kita lakukan dalam bentuk
isyarat muka dan isyarat anggota badan lainnya. Contohnya, ada
seorang anak didik yang sedang berbuat salah, misalnya bermainmain dengan mengusik adiknya. Pendidik memandangnya dengan
raut muka muram yang menandakan bahwa ia tidak menyetujui
anak didik berbuat semacam itu. Ia menggelengkan kepala dan
menggerakkan tangannya sebagai tanda agar anak didik pergi
meninggalkan adiknya. Apabila anak didik karena asyiknya
mengusik tadi tidak melihat bahwa pendidik memandangnya, maka
pendidik memberi isyarat pendahuluan dengan bertepuk tangan
untuk menarik perhatiaannya.
2) Bentuk kata, isyarat dalam bentuk kata dapat berisi kata-kata
peringatan, kata-kata teguran dan akhirnya kata-kata ancaman.
Kalau perlu bentuk isyarat diganti dengan bentuk kata berupa katakata peringatan, menyebut nama anak yang nakal tadi dengan suara
tegas singkat, misalnya "Amir..!".
3) Bentuk Perbuatan, usaha pembetulan dalam bentuk perbuatan
adalah lebih berat dari usaha sebelumya. Pendidik mengeterapkan
pada anak didik yang berbuat salah, suatu perbuatan yang tidak

76

menyenangkan baginya atau ia menghalang-halangi anak didik
berbuat sesuatu yang menjadi kesenangannya. 17
Dalam pemberlakuan hukuman dalam mendidik terdapat pro
dan kontra. Ada yang tidak menyetujui atau melarang penerapan
hukuman dan ada juga yang membolehkan. Pendapat – pendapat yang
tidak menyetujui penerapan hukuman (pukulan) dalam pendidikan.
a. Rasullullah
Diriwayatkan dari imam ahmad dari aisyah, ia berkata, “sama
sekali Rasullullah tidak pernah memukul wanita, dan tidak pernah
memukul sesuatu apapun, kecuali saat beliau berjihad di jalan
Allah.” Banyak sekali hadis- hadis yang diriwayatkan yang
melarang tindakan pemukulan. Kecuali yang berkenaan dengan
isteri yang nakal, maka diberi keringanan bagi suami untuk
menjatuhkan hukuman pukulan kepada isterinya tersebut. Namun
meski begitu, ketika para isteri mengadukan suami-suami mereka
yang melakukan kekerasan, Rasullullah menjawab, “mereka (para
suami kalian) bukanlah orang-orang terbaik di antara kalian.”
Ketika ibnu ‘abbas bertanya mengenai pukulan, beliau menjawab,
gunakan kayu siwak, atau yang sejenisnya. Pembolehan ini adalah
sebagai simbol dari tindakan tersebut, bukan untuk diterapkan
secara mutlak.
b. Suhnun
17

Ag. Soejono, Pendahuluan Ilmu Pendidikan Umum, (Bandung: CV. Ilmu , 1980)

77

Suhnun berwasiat kepada guru anaknya, “jangan kau didik dia
kecuali dengan pujian dan kata-kata yang lembut. Dia bukanlah
anak yang biasa dididik dengan pukulan dan kata-kata kasar.”
c. Imam abu hamid Al-Ghazali
Imam ghazali menasehatkan kepada para guru, “arahkan para
murid agar tidak melakukan tingkah laku yang buruk. Gunakan
cara yang paling memungkinkan untuk memalingkan mereka dari
hal tersebut, dan hindari ucapan-ucapan kasar. Didik mereka
dengan penuh kasih sayang, bukan dengan celaan. Karena tindakan
mempermalukan hanya akan menyingkap hijab harga diri,
mewariskan keberanian untuk melakukan pembangkangan dan
penyimpangan,

dam

membuat

mereka

senang

melakukan

kesalahan yang berkelanjutan.
d. Abdurrahman bin khaldun
Tindakan di luar kewajaran dalam proses pembelajaran akan
membahayakan murid. Apalagi jika murid- murid tersebut masih
kecil. “barangsiapa yang dididik dengan kekasaran da n kekerasan,
baik itu dari kalangan orang-orang yang terpelajar, budak, atau,
pembantu, maka kekerasan itu akan menguasainya, mempersempit
perkembangan jiwanya, menghilangkan vitalitasnya, membuatnya
jadi malas, suka berbohong, atau berkata-kata kotor, serta
membohongi

nuraninya

sendiri.

Kekerasan

itupun

akan

mengajarinya menjadi sosok yang suka bermakar dan menipu.

78

Perlahan semua itu akan menjadi kebiasaan dan tingkah laku yang
mendarah daging, merusak nilai- nilai kemanusiaan dari sisi sosial
dan adab. Lalu jadilah ia sampah masyarakat, terhina di tempat
yang paling bawah. 18
Semua pendidik yang sepakat terhadap penolakan hukuman
fisik, beragumen dengan item- item dibawah ini:
a. Bahwa hukuman fisik adalah tindakan kuno dan kampungan, sudah
tidak layak lagi untuk diterapkan di zaman kita sekarang ini.
b. Toleransi terhadap hukuman fisik, hanya menjadikan guru ringan
tangan untuk melakukannya.
c. Merusak kepribadian anak dan melukai kehormatan jiwanya
d. Dengan memukul anak kita seolah telah menjadikan mereka
sebagai sosok dewasa yang harus bertanggungjawab, padahal
mereka masih kanak-kanak.
e. Tindakan kekerasan hanya mendukung para guru yang menyukai
sikap semena- mena dan didaktoris.
f.

Pukulan menjadikan murid enggan merespon gurunya.

g. Pukulan akan membuat murid benci kepada gurunya.
h. Jika pukulan sudah terlalu sering, maka fungsinya beralih menjadi
siksaan.

18

Ibid., h. 153-155

79

i.

Pukulan hanya mengantarkan anak menuju pembangkangan,
pelarian, dan kenakalan. 19
Dari uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa penerapan

hukuman fisik dalam maksud memukul secara zahir, sama sekali tidak
akan menjadikan perilaku atau jiwa anak menjadi lebih baik, tetapi
malah sebaliknya, hal tersebut akan berdampak buruk pada perilaku
dan jiwa anak. Tidak hanya anak, pendidikpun secara tidak langsung
akan terjebak pada perilaku yang kurang mendidik, karena terbiasa
melakukan kekerasan.
Adapun Pendapat-pendapat yang memperbolehkan hukuman
fisik dalam pendidikan adalah sebagai berikut:
a. Empat mazhab fiqh
Keempat mazhab fiqih memperbolehkan hukuman pukulan dengan
syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi dan menetapkan batasan
tanggungjawab hukum pidana dan syariat bagi yang melakukannya. Di
samping itu, keempat mazhab inipun tidak memberikan hak kepada
sembarang orang untuk melakukan penerapan hukuman ini. Ketegasan
ini berdasarkan pada hadis Rasullullah, “perintahkanlah anak-anak
kalian untuk mengerjakan shalat saat berusia tujuh tahun, dan
pukullah mereka jika enggan menunaikannya saat telah berusia
sepuluh tahun.”

19

Muhammad nabil kazhim, Mendidik Anak Tanpa Kekerasan, (Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2010), h. 27-28

80

Hadis ini memerintahkan para orangtua (khususnya ayah) untuk
mengajari dan mengarahkan anak-anaknya mengerjakan shalat selama
tiga tahun. Setelah itu barulah dievaluasi. Jika masih enggan
melaksanakannya anak boleh dipukul.
b. Ibnu sina (ilmuwan, pemikir, dan dokter)
Dalam bukunya siyasatu ar-rajul waladahu, beliau mengatakan,
“sudah seharusnya bagi para pendidik anak-anak menjarkan mereka
dari segala tingkah laku yang buruk dan kebiasaan yang tercela.
Caranya dengan menakut-nakuti dan mengajak dengan baik, santun,
dan keras, menolak dan menerima, sesekali memuji dan sesekali
mengecam. Tapi semua itu tidak cukup. Jika dibutuhkan untuk
memukul, maka diperbolehkan dengan syarat sedikit saja dan tidak
menyakiti. Sebagaimana orang-orang bijak mengisyaratkan, setelah
mengancam anak, mempersiapkan bantuan baginya, maka lakukan
pukulan pertama. Tapi jika pukulan yang pertama ini menyakitkan,
maka anak akan berprasangka buruk terhadap pukulan berikutnya, dan
dia akan merasa takut sekali.
c. Izzuddin bin Abdussalam
Izzuddin bin Abdussalam mengatakan di dalam bukunya qawa’idu AlAhkam, bahwa di antara contoh-contoh perbuatan yang mengandung
kemaslahatan dan kerusakan, namun maslahatnya lebih jelas daripada
bahayanya adalah memukul anak kecil gara- gara ia meninggalkan
shalat dan puasa, serta maslahat- maslahat lainnya. Hal ini didasarkan

81

pada hadis Rasullullah yang berbunyi, perintahkanlah anak-anak kalian
untuk mengerjakan shalat pada saat usia mereka tujuh tahun. Dan
pukullah mereka pada saat usia mereka sepuluh tahun.”
d. Dr. Fakhir Aqil
Pembicaraan mengenai hukuman tidak boleh membuat kita lupa
bahwa tindakan itu merupakan salah satu cara untuk memberikan
ganjaran. Dan dalam mengganjar ada cara lain yaitu memberikan
hadiah atau imbalan. 20 Allah berfirman:

           

 

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun,
niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang
mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat
(balasan)nya pula.” (Q.S Al- Zalzalah: 7-8) 21
Sesungguhnya banyak jenis hukuman fisik, di antaranya adalah:
menjewer telinga, memukul punggung tangan dengan menggunakan
telapak tangan, menampar pipi, memukul tangan atau kaki, atau
punggung dengan kayu atau rotan, dan cara-cara lainnya. Hal yang tak
kalah pentingnya untuk dijelaskan adalah seorang ayah yang waspada,
jika ia terpaksa untuk menjatuhkan hukuman, maka ia akan memulai
dari yang paling ringan, dan ia tidak akan berpindah kepada hukuman
yang lebih keras kecuali dengan perasaan yang sanga t terpaksa dan

20

Ibid., h. 160-164
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Darus Sunnah,
2002), h. 600
21

82

penuh kehati- hatian. Dan ia tidak akan pernah bersentuhan dengan
hukuman fisik, kecuali setelah ia melakukan semua cara dan siasat
hukuman selain fisik. 22
Dari pendapat-pendapat di atas, dapat penulis simpulkan bahwa
mereka

yang

menyatakan

pembolehan

hukuman

fisik,

tidaklah

menyatakan pembolehan hukuman begitu saja, akan tetapi mereka tetap
mengutamakan kehati- hatian dalam pelaksanaan hukuman dan tetap
memperhatikan ketentuan-ketentuan dan syarat dalam pelaksanaan
hukuman tersebut.
Jadi, dari penjelasan–penjelasan yang telah penulis jabarkan
tersebut dapat penulis ambil kesimpulan bahwa kata pukul (hukuman)
dalam hadis tersebut boleh dilakukan dalam rangka mendidik. Penerapan
hukuman harus dilakukan secara bertahap, dimulai dari memberi nasehat,
teguran dan peringatan. Kalau langka- langkah tersebut masih tidak
mempan, barulah boleh memberikan hukuman dalam arti hukuman fisik.
Namun, perlu diperhatikan dalam memberikan hukuman, pendidik harus
tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan tertentu, seperti hukuman yang
dilakukan tidak boleh sampai mencederai peserta didik. kemudian,
Adapun orang – orang yang setuju dan yang menolak penerapan hukuman
dalam pendidikan, secara tidak langsung bermuara pada kesamaan
pendapat. Hanya saja orang yang menolak hukuman dalam pendidikan

22

Muhammad nabil kazhim, Mendidik Anak Tanpa Kekerasan, (Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2010), h. h. 164

83

mengungkapkan penolakannya dengan gamblang dan jelas bahwa
hukuman tidak layak digunakan dalam pendidikan.
Sedangkan kelompok yang setuju terhadap penerapan hukuman,
walaupun setuju, bukan berarti mereka membolehkan penerapan hukuman
begitu saja, mereka tetap melandasi pernyataan pembolehan hukuman tersebut
pada ketentuan-ketentuan dan syarat- syarat yang berlaku, dan tetap
memperhatikan keamanan anak atau peserta didik, baik itu dari segi umur,
alat yang digunakan, maupun batas jumlah (banyak pukulan yang boleh
diberikan).
B. Penerapan pemberian hukuman dalam Pendidikan anak menurut hadis
Setelah dikaji tentang makna kata pukul sebagai bentuk hukuman
terhadap anak yang meninggalkan shalat yang sudah berusia sepuluh tahun,
maka selanjutnya akan dibahas tentang bagaimana penerapan hukuman
tersebut dalam pendidikan anak jika dikaji dari hadis berikut ini.

ِ ِ
‫ال أَبُو‬
َ َ‫يل َع ْن َس َّوا ٍر أَِِب َحَْ َزةَ ق‬
َّ ‫َحدَّثَنَا ُم َؤَّم ُل ْب ُن ِه َش ٍام يَ ْع ِِن الْيَ ْش ُك ِر‬
ُ ‫ي َحدَّثَنَا إ ْْسَع‬
ٍ ‫ِف َع ْن َع ْم ِرو ْب ِن ُش َعْي‬
‫ب َع ْن أَبِيهِ عَ ْن‬
َّ ُّ‫َح َزَة اْل ُم َزِِن‬
ُّ ِ‫الصيْ َر‬
َْ ‫َد ُاود َو ُه َو َس َّو ُار ْب ُن َد ُاو َد أَبُو‬
ِ ُ ‫ال رس‬
‫الص ََلةِ َو ُهم أَْب نَاءُ َسْب ِع‬
َ َ‫َجدِّهِ ق‬
َّ ِ‫صلَّى اللَّ ُه َعلَْيهِ َو َسلَّ َم ُم ُروا أ َْوََلدَ ُك ْم ب‬
َ ‫ول اللَّه‬
ُ َ َ َ‫ال ق‬
ِ ‫اض ِربوهم علَيها وهم أَبنَاء ع ْش ٍر وفَ ِّرقُوا ب ي نَهم ِِف الْمض‬
) ‫( َرَو ُاه اَبُ ْو َد ُاو َد‬. ‫اج ِع‬
ََ
َ ِ‫ِسن‬
ْ ُ ْ َ َ َ ُ ْ ْ ُ َ َ ْ َ ْ ُ ُ ْ ‫ني َو‬
“Telah menceritakan kepada kami Mu`ammal bin Hisyam Al-Yasykuri telah
menceritakan kepada kami Isma'il dari Sawwar Abu Hamzah berkata Abu Dawud;
Dia adalah Sawwar bin Dawud Abu Hamzah Al-Muzani Ash-Shairafi dari Amru
bin Syu'aib dari Ayahnya dari Kakeknya dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: Perintahkanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat
apabila sudah mencapai umur tujuh tahun, dan apabila sudah mencapai umur

84

sepuluh tahun maka pukullah dia apabila tidak melaksanakannya, dan pisahkanlah
mereka dalam tempat tidurnya. ” (H.R Abu Daud)

Dalam hadis di atas dikatakan bahwa anak-anak bukanlah sasaran dari
pembicaraan dalam hadis tersebut, tetapi yang menjadi topik pembicaraan
adalah perintah untuk para wali agar menyuruh anaknya mendirikan shalat.
Maksudnya adalah hendaknya para orang tua mengajari anak-anaknya apa-apa
yang berkaitan dengan shalat, baik syarat maupun rukunnya. Setelah diberikan
pengajaran,

barulah anak diperintahklan untuk

melaksanakan shalat.

Kemudian dalam hadis tersebut pendidik atau orang tua juga diperintahkan
untuk memukul anak yang masih meninggalkan atau tidak melaksanakan
shalat ketika si anak sudah berumur sepuluh tahun. Sekarang yang menjadi
persoalan yaitu bagaimana penerapan hukuman yang benar yang harus
dilakukan pendidik atau orang tua terhadap anak yang melakukan kesalahan
atau yang meninggalkan perintah shalat.
Dalam syarah Sunan Abi Daud AL-‘Alqami mengatakan bahwa
sesungguhnya perintah memukul berlaku saat anak sudah berumur sepuluh
tahun dikarenakan pada umumnya pada usia itu anak sudah mampu bertahan
dari pukulan. Pukulan di sini maksudnya adalah pukulan yang tidak
menimbulkan bekas dan menghindari daerah wajah.
Kemudian kata “anak-anakmu” dalam hadis di atas tidak terbatas pada
anak laki- laki saja, tetapi meliputi anak laki- laki dan perempuan. Hal ini
semakin jelas dengan adanya perintah selanjutnya untuk memisahkan tempat
tidur mereka pada saat sudah berumur sepuluh tahun itu. Pemisahan tempat

85

tidur di sini maksudnya adalah sebagai sikap hati-hati dari timbulnya
syahwat. 23
Senada dengan uraian di atas, dalam buku “Hadis tarbawi (pendidikan
dalam perspektif hadis)” karangan Bukhari Umar juga dijelaskan bahwa anak
yang telah berusia 10 tahun tetapi masih meninggalkan shalat, dipandang telah
melakukan pelanggaran. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya orang tua
memberikan

hukuman.

Hal itu dimaksudkan agar anak

menyadari

kesalahannya sehingga tidak mau lagi mengulangi kesalahan tersebut. 24
Para sarjana Islam menambahkan bahwa yang dimaksud hukuman
dalam pendidikan Islam tidak lain ialah sebagai tuntunan dan perbaikan
terhadap diri anak, bukan sebagai hardikan atau balas dendam. Oleh karena
itu, pendidik Islam harus mempelajari terlebih dahulu tabiat dan sifat anak
sebelum diberi hukuman, bahkan mengajak supaya si anak sendiri ikut serta
dalam memperbaiki kesalahan yang dilakukannya. Jiwa santun, kasih, dan
sayang nyata sekali dalam siasat pendidikan Islam. Dalam memberikan
hukuman jasmaniah terhadap anak perlu diikuti syarat-syarat sebagai berikut:
a. Sebelum berumur sepuluh tahun anak tidak boleh dipukul.
b. Pukulan tidak boleh lebih dari 10 kali. Yang dimaksud dengan pukulan di
sini ialah pukulan dengan mnggunakan lidi atau tongkat kecil bukan
tongkat besar.

23
Abu Ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq A l-‘Azh im Abadi, Aunul Ma’bud: Syarah
Sunan Abu Daud, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 536-539
24
Bu khari Umar, Hadis Tarbawi: pendidikan dalam perspektif hadis, (Jakarta: AMZAH,
2014) h.

86

c. Diberikan kesempatan kepada anak-anak untuk tobat dari apa yang ia
lakukan dan memperbaiki kesalahannya tanpa perlu menggunakan
pukulan atau merusak nama baiknya (menjadikan ia malu).

25

Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa sistem pendidikan Islam sudah
jauh memandang kedepan tentang rasa santun, dan lemah lembut dalam
memberikan hukuman kepada anak, tidak menutup kemungkinan dengan
menggunakan cara-cara yang tegas, keras, dengan maksud pencegahan,
sekiranya hal demikian itu dirasa perlu. Para filosof Islam juga sudah
memperhatikan mengenai masalah pemberian hukuman terhadap anak, baik
hukuman mental maupun hukuman fisik, yaitu sebagai berikut:
a. Hukuman menurut pendapat Al- Ghazali
Menurut pendapat imam al – ghazali seorang pendidik harus
mengetahui jenis penyakit, umur sisakit dalam hal memperingati dan
mendidik mereka. Karena guru dalam pandangan seorang anak adalah
ibarat dokter. Jika si dokter mengobati segala macam penyakit dengan
satu jenis obat saja, seorang pasien akan mati dan hati mereka akan
menjadi beku. Artinya, setiap anak harus dilayani dengan layanan yang
sesuai,

diselidiki latarbelakang

yang

menyebabkan

ia berbuat

kesalahan, serta mengetahui umur yang yang berbuat kesalahan itu,
dalam hal ini, pendidik harus bisa membedakan antara anak kecil dan
anak yang agak besar dalam menjatuhi hukuman dam memberikan

Muhammad ‘athiyah al-abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bu lan
Bintang, 1969), h. 146
25

87

pendidikan. Seorang pendidik harusnya bisa bertindak seperti layaknya
seorang dokter yang mahir yang sanggup mengana lisa dan mengetahui
penyakit, serta memberikan obat yang dibutuhkan.
Al-ghazali tidak setuju dengan cepat-cepat menghukum seorang
anak yang salah, bahkan beliau menyerukan agar diberikan kepada
anak kesempatan untuk memperbaiki sendiri kesalahannya, sehingga ia
menghormati dirinya dan merasakan akibat perbuatannya.
b.

Hukuman menurut Al – ‘Abdari
Menurut Al-‘Abdari sifat-sifat anak yang berbuat salah itu harus
diteliti, dan tatapan mata saja terhadap anak mungkin sudah cukup
untuk pencegahan dan perbaikan. Sebaliknya, mungkin ada anak-anak
lain yang memang membutuhkan celaan atau dampratan sebagai
hukumannya, di samping mungkin ada anak-anak yang harus dipukul
baru ia dapat diperbaiki. Seharusnya seorang pendidik tidak boleh
mempergunakan tongkat kecuali kalau memang sudah putus asa dari
mempergunakan jalan-jalan perbaikan yang sifatnya halusdan lembut.
Al- ‘Abdari mengkritik keras cara –cara penggunaan tongkat seperti
pelepah kelapa, cabang kayu, dan cambuk karet, ataupun tongkat kayu
pendek untuk memukul anak sebagai hukuman.

c.

Hukuman menurut Ibnu Khaldun
Ibnu khaldun adalah orang yang anti menggunakan kekerasan
dalam pendidikan anak. Beliau berkata: “siapa yang biasa dididik
dengan kekerasan diantara siswa, atau pembantu-pembantu dan

88

pelayan ia akan selalu dipengaruhi oleh kekerasan, akan selalu merasa
sempit hati, akan bersifat malas, akan menyebabkan ia berdusta serta
melakukan ang buruk-buruk karena takut oleh tangan-tangan yang
kejam. Hal ini selanjutnya akan mengajar dia menipu dan berbohong,
sehingga sifat-sifat ini menjadi kebiasaan dan perangainya, serta
hancurlah arti kemanusiaan yang masih ada pada dirinya. 26

Dari hadits tentang menyuruh anak melaksanakan shalat tersebut,
bisa diambil beberapa pelajaran, yaitu : Anak adalah amanah di benak
orang tua. Maka, mendidik anak merupakan kewajiban orang tua karena
termasuk pelaksanaan amanah. Terlebih khusus mendidik anak untuk
shalat, karena ada perintah langsung dari Rasulullah untuk memerintahkan
anak shalat. Dalam hadits disebutkan “perintahkanlah”, kalimat ini
disebutkan dengan kalimat perintah, dan kalimat perintah menunjukkan
wajibnya perkara yang diperintahkan.

Setelah diketahui bahwa mendidik anak untuk shalat merupakan
kewajiban orang tua, ketika mereka melalaikan kewajibannya maka orang
tua akan dimintakan pertanggungjawabannya nanti di akhirat. Rasulullah
SAW bersabda, “Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap
dari kalian bertanggung jawab atas yang ia pimpin, seorang amir adalah
pemimpin, dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya, seora ng lelaki adalah
pemimpin bagi keluarganya, dan ia bertanggung jawab atas keluarganya,

26

Ibid., h. 146-149

89

seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan anaknya, dan ia
bertanggung jawab atas mereka, seorang hamba adalah pemimpin atas
harta tuannya, maka ia bertanggung jawab atasnya. Ketahuilah setiap dari
kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang ia pimpin.”
(diriwayatkan oleh Bukhari no 7138 dan Muslim 1829)
Disebutkan dalam hadits ini “seorang lelaki adalah pemimpin bagi
keluarganya dan ia bertanggung jawab atas keluarganya”, maksudnya
adalah bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya terlebih khusus
pendidikan agama. Setelah mengetahui bahwa mendidik anak untuk shalat
merupakan kewajiban orang tua, lalu kapankah orang tua mulai mendidik
anaknya untuk shalat? Perlu diketahui, mendidik anak untuk shalat itu
melalui beberapa tahap, yaitu : mengajarkan dan membiasakan anak
shalat, memerintahkan anak untuk shalat, dan yang ketiga adalah memukul
anak jika enggan atau membangkang saat diperintah untuk s halat.Tahap
pertama, yaitu tahapan mengajarkan dan membiasakan anak shalat harus
dilakukan sebelum anak mencapai umur tujuh tahun. Karena saat anak
berumur tujuh tahun, ia sudah diperintahkan untuk shalat, bagaimana
mungkin anak akan menjalankan shalat jika belum diajari dan dibiasakan
shalat sebelumnya.

Di antara perkataan salaf yang mendukung bahwa anak sudah
mulai diajari shalat sebelum berumur tujuh tahun adalah perkataan Ibnu
Umar, “Nabi saw mulai mengajari anak-anak shalat saat mereka bisa

90

membedakan mana kanan mana kiri. 27 ” Jundub bin Tsabit berkata,
“Mereka mengajari anak-anak untuk shalat saat mereka bisa berhitung
sampai angka dua puluh.”
Kedua atsar ini menjelaskan bahwa mengajari anak shalat
dilakukan sebelum anak berusia tujuh tahun, karena usia-usia tersebut anak
sudah mampu membedakan mana kanan dan mana kiri dan sudah mampu
berhitung sampai angka dua puluh. Anak yang sudah bisa membedakan
kanan kiri atau menghitung hingga angka dua puluh tidak harus berusia
tujuh tahun. Selain itu, makna sabda Nabi “perintahkanlah anak-anakmu
untuk shalat” secara implisit merupakan perintah kepada orang tua untuk
mengajari anak-anak shalat, termasuk rukun-rukun shalat, syarat-syarat
sah shalat, dan lain sebagainya. Adapun waktu untuk memerintahkan anak
shalat adalah saat anak berusia tujuh tahun. Karenanya, Imam Abu Dawud
membuat bab khusus dalam kitabnya “Bab kapan anak diperintahkan
untuk shalat” lalu menyebutkan hadits di atas. Perlu dipahami, bahwa
memerintahkan anak untuk shalat saat mereka berusia tujuh tahun
bukanlah perintah bersifat wajib, namun perintah untuk membiasakan anak
shalat.

Anak usia tujuh tahun sudah mulai meluas lingkungan bermainnya
dan pengetahuannya, maka harus diimbangi dengan lingkungan agamis
dan pengetahuan islami. Masa- masa paling bagus bagi anak belajar segala
Abu Ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq A l-‘Azh im Abadi, Aunul Ma’bud: Syarah
Sunan Abu Daud, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h.543
27

91

macam keterampilan, maka jika ia telah terampil menjalankan shalat,
niscaya ia akan menjaga shalatnya saat telah tumbuh dewasa. Anak usia
tujuh tahun telah bisa membedakan, dan ia selalu melakukan perbuatan
yang diperintahkan orang tuanya untuk mendapatkan pujian dan sanjungan
dari orang tuanya, sehingga jika diperintahkan untuk shalat niscaya ia
segera memenuhinya. Berbeda saat anak telah berusia sebelas tahun, maka
memenuhi perintah orang tua tanpa ada perdebatan dulu merupakan sifat
kekanak-kanakan menurut mereka. Dan jika anak telah tumbuh dewasa,
maka jika ia bisa membantah perintah kedua orang tua biasanya ia akan
merasa bahwa dirinya telah dewasa.

Setelah orang tua mengajari anak tata cara shalat secara bertahap
dan mengajaknya melaksanakan shalat, maka orang tua juga harus
memerintahkan anaknya saat usia tujuh tahun dengan memberi motivasi
dan ajakan yang baik agar anak terbiasa shalat. Kemudian saat anak sudah
berusia sepuluh tahun, maka ia diperintahkan dengan perintah yang
bersifat wajib, agar anak mau mengerjakan shalat. Jika anak enggan atau
tidak memenuhi seruan orang tua, maka orang tua boleh memberikan
pukulan mendidik yang bisa membuat mereka jera dan tidak menyakiti.

Perlu diperhatikan di sini, memukul adalah cara terakhir untuk
mendidik anak. Maksudnya, sebelum memukul harus menempuh cara-cara
lainnya terlebih dahulu, seperti menasihati, kemudian memperingatkan
dengan keras, memberi ancaman hukuman jika memang anak termasuk

92

orang yang jera hanya dengan ancaman. Jika ketiga cara ini tidak mempan,
barulah ia memukul anaknya.

Tentunya, saat memukul harus memerhatikan beberapa hal sebagai
berikut: Tidak lebih dari sepuluh kali, karena tujuan memukul adalah
mendidik bukan menyakiti. Hal ini sesuai sabda rasulullah saw:

ٍ ‫ َحدَّثَنَا ْابن و ْه‬،‫ََحَ ُد ْبن عِيسى‬
،‫َش ِّج‬
َ ‫ عَ ْن بُ َك ِْْي ْب ِن ْاأل‬،‫َخبَ َرِِن َع ْمٌرو‬
ْ ‫ أ‬،‫ب‬
َُ
َ ُ ْ ‫َحدَّثَنَا أ‬
،‫ فَ َح َّدثَ ُه‬،‫الر َْحَ ِن ْب ُن َجابِ ٍر‬
َ َ‫ق‬
َّ ‫ بَيْنَا ََْن ُن عِْن َد ُسلَْي َما َن ْب ِن يَ َسا ٍر إِ ْذ َجاءَُه َعْب ُد‬:‫ال‬
َ ‫ فَ َق‬،‫فَأَقْ بَ َل َعلَيْنَا ُسلَْي َما ُن‬
َ‫ َع ْن أَِِب بُ ْرَدة‬،ِ‫ َع ْن أَبِيه‬،‫الر َْحَ ِن ْب ُن َجابِ ٍر‬
َّ ‫ َح َّدثَِِن َعْب ُد‬:‫ال‬
ِ َ ‫ أَنَّه َِْسع رس‬،‫ي‬
‫َح ٌد فَ ْو َق‬
ُ ‫صلَّى اهللُ َعلَْيهِ َو َسلَّ َم يَ ُق‬
َ ‫ «ََل ُُْيلَ ُد أ‬:‫ول‬
َ ‫ول اهلل‬
ُ َ َ ُ ِّ ‫صا ِر‬
َ ْ‫ْاألَن‬
ِ ‫ إََِّل ِِف ح ٍّد ِمن ح ُد‬،‫اط‬
ٍ ‫َع َشرةِ أَسو‬
)‫ود اهللِ"(رؤاه املسلم‬
ُ ْ َ
َْ َ
28

“Telah menceritakan Ahmad bin ‘Isa telah menceritakan ibn Wahab
telah mengkhabarkan umar kepadaku dari bakri ibnAsyaj dia berkata:
di antara kami disamping sulaiman bin yasir datanglah Abdurrahman
bin Jabir, maka dia menceritakan, telah menceritakan Abdur Rahman
bin Jabir dari ayahnya dari Abu Burdah Al-Anshari, sesungguhnya dia
mendengar Rasullullah SAW berkata: “Tidak boleh memukul lebih dari
sepuluh kali kecuali dalam hukuman pasti dari hukuman-hukuman yang
Allah tentukan.” (H.R Muslim)
Tidak boleh memukul wajah, karena di wajah terdapat mata, hidung,
mulut, lisan, dan bagian-bagian vital lainnya. Sehingga jika salah satu
dari bagian ini cidera atau terganggu maka akan hilang fungsi vital dari
organ ters

Dokumen yang terkait

ANALISIS DANA PIHAK KETIGA PADA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA PERIODE TRIWULAN I 2002 – TRIWULAN IV 2007

40 502 17

HASIL PENELITIAN KETERKAITAN ASUPAN KALORI DENGAN PENURUNAN STATUS GIZI PADA PASIEN RAWAT INAP DI BANGSAL PENYAKIT DALAM RSU DR SAIFUL ANWAR MALANG PERIODE NOVEMBER 2010

7 171 21

KADAR TOTAL NITROGEN TERLARUT HASIL HIDROLISIS DAGING UDANG MENGGUNAKAN CRUDE EKSTRAK ENZIM PROTEASE DARI LAMBUNG IKAN TUNA YELLOWFIN (Thunnus albacares)

5 114 11

KAJIAN MUTU FISIK TEPUNG WORTEL (Daucus carota L.) HASIL PENGERINGAN MENGGUNAKAN OVEN

17 218 83

KARAKTERISASI DAN PENENTUAN KOMPOSISI ASAM LEMAK DARI HASIL PEMURNIAN LIMBAH PENGALENGAN IKAN DENGAN VARIASI ALKALI PADA ROSES NETRALISASI

9 139 85

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

PENGARUH HASIL BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN TERHADAP TINGKAT APLIKASI NILAI KARAKTER SISWA KELAS XI DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH DI SMA NEGERI 1 SEPUTIH BANYAK KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN PELAJARAN 2012/2013

23 233 82

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TPS UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KERJASAMA DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV B DI SDN 11 METRO PUSAT TAHUN PELAJARAN 2013/2014

6 73 58

PENGARUH PEMANFAATAN PERPUSTAKAAN SEKOLAH DAN MINAT BACA TERHADAP HASIL BELAJAR IPS TERPADU SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 WAY

18 108 89

PENINGKATAN HASIL BELAJAR TEMA MAKANANKU SEHAT DAN BERGIZI MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE PADA SISWA KELAS IV SDN 2 LABUHAN RATU BANDAR LAMPUNG

3 72 62