sejarah Gerakan Mahasiswa di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Gerakan mahasiswa sangat identik dengan gerakannya yang masif dan
berperan dalam mengoreksi setiap penyimpangan sosial dan politik serta berani
membela rakyat yang tertindas atas dasar keadilan. Hal inilah yang memicu
kuatnya identitas gerakan sosial pada gerakan mahasiswa sehingga dapat menjadi
kekuatan pendobrak dalam proses perubahan di masyarakat. Sejarah telah
mencatat bahwa gerakan mahasiswa memiliki andil yang sangat besar pada
beberapa proses transisi di negara ini.
Jika kita melihat sejarah gerakan pemuda dan mahasiswa di Indonesia, kita
akan melihat peran penting yang selalu dimainkannya ketika bangsa ini sedang
mengalami keadaan yang kritis. Para pemuda dan mahasiswa adalah pencetus
Sumpah Pemuda tahun 1928. Kemudian kita kembali melihat peran mereka dalam
gerakan-gerakan untuk memperjuangkan kemerdekaan sebelum tahun 1940-an
dan juga ketika revolusi kemerdekaan tahun 1945 dicetuskan. (Ingat, Soekarno
dan Hatta diculik oleh para pemuda dan dibawa ke Rengasdengklok untuk

“dipaksa” membacakan Proklamasi Kemerdekaan bangsa ini pada tanggal 17
Agustus 1945). Mereka kemudian muncul lagi pada tahun 1966, dan yang juga
menarik perhatian adalah mereka –meminjam istilah Arief Budiman- sebagai
bintang lapangan dalam peristiwa reformasi 1998 dalam menggulingkan Rezim
Soeharto (Budiman dalam Sanit, 1999: 12).

Peristiwa 1998 di saat barisan mahasiswa berhasil menumbangkan
Presiden Soeharto dan menaklukkan Orde Baru, semakin mengukuhkan
kebenaran predikat mahasiswa sebagai agent of change. Tumbangnya Soeharto
merupakan buah estafet dari beberapa peristiwa gerakan mahasiswa, mulai
angkatan 1928, 1974, 1977/1978, 1980-an dan 1990-an; yang didukung oleh
elemen pro demokrasi lainnya. Masing-masing angkatan sedikit atau banyak
memiliki kontribusi dalam perjuangan melengserkan Soeharto. Pada masa
angkatan 1974, gerakan mahasiswa sudah muncul dengan mengoreksi kinerja
pemerintahan Soeharto. Gerakan mahasiswa angkatan 1977/1978, sudah
menyuarakan perlunya meminta tanggung jawab Soeharto sebagai Presiden (Lihat
Budiyarso : 2000). Hanya saja, berbeda dengan angkatan 1998, gerakan
mahasiswa sebelumnya tidak mampu mencari garis kemenangan karena kapasitas
perlawanan mereka belum sebanding dengan kekuatan Orba. Oleh sebab itu,
mahasiswa generasi 1998 sangat tepat jika disebut “generasi pemetik bunga” (A.

Prasetantoko, Ign, dkk, 2001 : 75). Keberhasilan mereka dimungkinkan oleh
pematangan situasi, yaitu didukung oleh krisis ekonomi, konflik politik elit dan
delegitimasi rezim, serta dukungan yang luas dari hampir seluruh elemen rakyat.
Jatuhnya Soeharto bukanlah tujuan akhir perjuangan mahasiswa. Tapi
karena Soeharto diyakini sebagai pusat segala persoalan, maka jatuhnya Soeharto
berarti sebuah perintang utama mencapai perubahan telah disingkirkan. Gerakan
mahasiswa sejak era transisi terus berlanjut, kendati gelombang pasang surut.
Pada masa pemerintahan Habibie, resistensi mahasiswa masih berada dalam
gelombang pasang. Meskipun begitu, skala keterlibatannya dalam aksi-aksi telah

menyusut secara signifikan. Peran mahasiswa saat penggulingan Soeharto yang
melibatkan seluruh eksponen mahasiswa di Indonesia. Yang tersisa kemudian
hanyalah sebagian kecil mahasiswa, yang tersebar di sejumlah kota di mana
Jakarta paling dominan (Manan, 2005 : 179)
Kenyataan kemudian adalah semangat perjuangan mahasiswa pada era
transisi

menyurut

padam.


Gerakan

mahasiswa

mengalami

disorientasi,

fragmentasi, dan berkurangnya militansi. Disorientasi terjadi terutama disebabkan
raibnya common enemy (Soeharto) yang sebelumnya mempersatukan mereka.
Setelah Soeharto runtuh, gerakan mahasiswa kehilangan isu sentral untuk menjaga
jalinan kebersamaan yang sudah terbangun.
Amien Rais menilai gerakan mahasiswa pascakejatuhan rezim Soeharto
telah mengalami perubahan besar, perubahan yang justru tidak menuju ke arah
yang baik. Gerakan mahasiswa kini seolah-olah mati suri. Aksi-aksi demonstrasi
yang dilakukan dalam menyikapi kebijakan pemerintah tak lagi banyak digelar
(Kompas 19 Desember 2005). Bila melihat informasi yang sering diberitakan di
media, memang ada kecenderungan menurun bila dilihat dari kuantitas dan
kualitas aksi mahasiswa. Berdasarkan penelurusan dokumentasi media, aksi-aksi

mahasiswa sangatlah menyeruak menjelang reformasi. Kuantitas massa aksi
antara 100 hingga 50.000 orang (penulusuran Kompas tahun 1998). Saat
menjelang reformasi, masyarakat dan beberapa kalangan elite pun juga turut
mendukung bahkan ikut turun ke jalan. Semisal aksi mahasiswa UI pada tanggal
25 Februari 1998 yang diikuti oleh sesepuh UI dan beberapa Guru Besar
(Kompas, 26 Februari 1998). Juga Aksi mahasiswa Unair pada tanggal 28

Februari 1998 juga dihadiri oleh Guru Besar dan Pengajar di kampus tersebut
(Kompas, 29 Februari 1998).
Pasca Reformasi, praktis terjadi penurunan jumlah massa aksi dan kualitas
aksi itu sendiri. Berdasarkan penelurusan dokumentasi media antara edisi sesudah
tahun 1998, jumlah massa aksi yang turut menjadi peserta hanya antara 50 (atau
bahkan lebih sedikit dari itu) sampai 1500 orang.
Sebagai salah satu tokoh yang terlibat langsung dalam proses reformasi
1998, bisa dimengerti bila Amien gelisah dengan perkembangan gerakan
mahasiswa akhir-akhir ini. Kegelisahan atas menurunnya aktivisme gerakan
mahasiswa dirasakan bukan hanya oleh tokoh-tokoh seperti Amien Rais atau para
aktivis yang pernah terlibat langsung dalam menurunkan rezim Soeharto, tetapi
juga oleh para aktivis gerakan mahasiswa yang masih terlibat aktif berorganisasi.
Artinya, selain pihak “luar”, aktivis gerakan mahasiswa sendiri turut merasakan

adanya penurunan elan vital aktivismenya. Indikator yang digunakan Amien Rais
untuk menyimpulkan bahwa gerakan mahasiswa seolah-olah mati suri memang
tertuju pada kuantitas aksi gerakan mahasiswa yang makin menurun pada era
reformasi ini. Tidak hanya kuantitas, kualitas dari aksi-aksi yang digelar gerakan
mahasiswa pun perlu dicermati. Sebab, bila indikator untuk menilai aktivisme
gerakan mahasiswa hanya terkonsentrasi pada kuantitas demonstrasi yang
dilakukan dalam sebuah periode tertentu, realitas yang ada dalam dinamika
gerakan mahasiswa tidak akan tertangkap seluruhnya. Konkretnya, ukuran
banyaknya aksi bisa jadi bukan menggambarkan realitas sesungguhnya dari
dinamika gerakan mahasiswa. Di era yang relatif semakin terbuka untuk

menyuarakan pendapatnya, mengukur kondisi gerakan mahasiswa hanya pada
kuantitas aksi demonstrasi bisa menghasilkan kesimpulan yang bias.
Lantas, menjadi menarik untuk mengkaji kembali tentang aktivisme
gerakan mahasiswa pasca reformasi dalam konteks kekinian. Pernyataan Amien
Rais yang menyatakan bahwa gerakan mahasiswa telah mati suri sepertinya perlu
dikaji ulang. Atau bisa jadi, bentuk aksi kolektif gerakan mahasiswa berupa aksi
demontrasi, sudah bereproduksi ke dalam bentuk-bentuk aksi kolektif lainnya,
sekalipun demonstrasi tetap menjadi salah satu aksi kolektif yang dipertahankan.
Mengingat gerakan mahasiswa saat ini sudah semakin jauh fragmentasinya, maka

yang bisa dilakukan adalah meneliti lebih dalam salah satu kelompok yang pernah
menjadi aktor reformasi 1998 yang bentuk organisasinya masih bisa dilacak
hingga saat ini. Salah satu kelompok tersebut adalah Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia (KAMMI).
KAMMI dijadikan sebagai obyek dalam penelitian mengingat ormas ini
lahir dan bergerak pertama kalinya di masa reformasi dan pasca reformasi hingga
saat ini masih terus berjalan dan berkembang. Yang menjadi menarik adalah
KAMMI terkenal di masa reformasi dahulu sebagai ormas yang bermassa paling
besar dalam aksi-aksi demonstrasi yang menguatkan jati diri sebagai suatu
gerakan mahasiswa yang layak diperhitungkan. Akan tetapi, mengikut fenomena
menurunnya gerakan mahasiswa seperti yang diuraikan tadi, KAMMI pun tak
luput dari sorotan. Oleh karena itu, menjadi relevan untuk dilakukan penelitian
tentang gerakan KAMMI pasca reformasi.

BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gerakan sosial adalah tindakan
atau agitasi terencana yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat yang
disertai program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai

gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga masyarakat yang
ada.
Perlawanan

atau desakan untuk mengadakan perubahan dapat

dikategorikan sebuah Gerakan Sosial. Gerakan sosial lahir dari situasi yang
dihadapi masyarakat karena adanya ketidakdilan dan sikap sewenang-wenang
terhadap rakyat. Dengan kata lain, gerakan sosial lahir sebagai reaksi terhadap
sesuatu yang tidak diinginkan rakyat atau menginginkan perubahan kebijakan
karena dinilai tidak adil. Berbagai gerakan sosial contohnya seperti gerakan
mahasiswa memberikan indikasi untuk mengadakan perbaikan sistem atau
struktur yang cacat.
Gerakan Sosial secara teoritis merupakan sebuah gerakan yang lahir dari
dan atas prakarsa masyarakat dalam usaha menuntut perubahan dalam institusi,
kebijakan atau struktur pemerintah. Di sini terlihat tuntutan perubahan itu
biasanya karena kebijakan pemerintah tidak sesuai lagi dengan konteks
masyarakat yang ada atau kebijakan itu bertentangan dengan kehendak sebagian
rakyat. Karena gerakan sosial lahir dari masyarakat maka kekurangan apapun
ditubuh pemerintah menjadi sorotannya. Dari literatur defenisi tentang gerakan


sosial, adapula yang mengartikan gerakan sosial sebagai sebuah gerakan yang
anti pemerintah dan juga pro pemerintah. Ini berarti tidak selalu gerakan sosial
itu muncul dari masyarakat tapi bisa juga hasil rekayasa para pejabat pemerintah
atau penguasam (Sudarsono, 1976: 24-25).
Jurgen Habermas, sebagaimana dikutip oleh Pasuk Phongpaichit (2004)
menyatakan bahwa Gerakan Sosial adalah adalah hubungan defensive individuindividu untuk melindungi ruang publik dan private mereka dengan melawan
serbuan dari sistem negara dan pasar.
Anthony
kolektif

Giddens

menyatakan

Gerakan

Sosial

sebagai


upaya

untuk mengejar kepentingan bersama atau gerakan mencapai tujuan

bersama atau gerakan bersama melalui tindakan kolektif diluar ruang lingkup
lembaga- lembaga yang mapan (Putra, 2006: 1). Sedangkan Mansoer Fakih
menyatakan bahwa Gerakan Sosial dapat diartikan sebagai kelompok yang
terorganisir secara tidak ketat dalam rangka tujuan sosial terutama dalam usaha
merubah struktur maupun nilai sosial (Fakih dalam Zubir, 2002: 27)
Sejalan dengan pengertian Gerakan Sosial di atas, Herbert Blumer
merumuskan Gerakan Sosial sebagai sejumlah besar orang yang bertindak
bersama atas nama sejumlah tujuan atau gagasan. Robert Misel dalam bukunya
yang berjudul Teori Pergerakan Sosial mendefenisikan Gerakan Sosial sebagai
seperangkat keyakinan dan tindakan yang tak terlembaga yang dilakukan oleh
sekelompok orang untuk memajukan atau menghalangi perubahan dalam
masyarakat (Misel, 2004: 6 dan 7).

BAB III
PEMBAHASAN


A.

Gerakan Mahasiswa Bandung 1928

Pada pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam
Indonesische Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia)
kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan
perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik yang di hadapi, mereka
membentuk kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh, karena keaktifannya
dalam diskursus kebangsaan saat itu. Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia
(Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober
1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club)
direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di
Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.
Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung,
menyusul kemudian Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe
organisasi yang menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat
kebangsaan tahun 1926, Kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi wadah
mahasiswa Katolik, Cristelijke Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa

Kristen, dan Studenten Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun
1930-an.
Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis
pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia yang memunculkan

Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan
melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober
1928, dimotori oleh PPPI.

B.

Gerakan Mahasiswa Bandung 1945-1950

Dibawah kesadaran keadaan Dunia yang sedang bergejolak antara lain
dengan Mendaratnya pasukan-pasukan Amerika di pulau Leyte telah mensinyalir
akan tanda-tanda kehancuran Fasis Jepang. Serangan Inggris di Birma dengan
cepat memperoleh kemajuan, di bawah keadaan itu menjadi lebih mendesaklah
mengadakan pertemuan untuk Menghimpun dukungan rakyat setempat di pulau
Jawa. Dengan memberikan wawasan yg lebih luas kepada perasaan Nasionalis
kedudukan tawar-menawar dari pada nasionalis Indonesia, baik golongan muda
maupun tua bertambah baik. Salah satu dari tanda-tanda yang paling nyata dari
perubahan ini adalah kongres Pemuda yang di liangsungkan di VILLA Isoha,
Bandung 16-18 Mei 1945. Sidang Kongres itu sebagai tanda dari kemajuan dan
keikhlasan pemuda. Kongres itu di sponsori oleh Pemimpin-pemimpin muda yang
pertama sejak pendudukan Jepang di Jawa. Setelah melalui perdebatan 3 hari,
pemuda memutuskan dua Resolusi penting, yaitu :
1.Seluruh golongan Indonesia harus di persatukan dan di sentralisasikan
dalam satu kepemimpinan.
2.Kemerdekaan Indonesia harus di wujudkan secepat mungkin, Angkatan
Muda harus selalu siap mengabdikan Tenaga, Jiwa dan Raganya Ke arah
pengkoordinasian seluruh upaya untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.

Tekanan semakin Keras yang dilakukan oleh para pemuda lebih terlihat
pada sidang Ke-8 dari Dewan Pertimbangan Pusat (Chuo Sangi In), dimana
pemuda mendesak Jepang supaya membawa lebih banyak Pemuda kedalam
kerangka pemerintahan. Kemudian mendesak Jepang untuk mengembangkan
pelatihan daam Kepemimpinan Gerakan Rakyat Baru (GRB/suatu organisasi
Massa yang telah diumumkan oleh Jepang akan didirikan pada bulan Juli 1945).
Pada waktu yang sama terdapat sekelompok kecil Pemuda (sekitar 100
orang tokoh pemuda) yang diKetuai oleh B.M Diah seorang wartawan di Surat
Kabar Metropolitan Asia Raya yang dapat mencari Informasi secara mendetail
tentang perkembangan situasi Perang dengan cepat sehingga informasi kemajuan
sekutu di Asia dan kekalahan Jepang di Pasifik samar-samar sudah terdengar.
Sukarni, Sudiro (Mbah), Sjarif Thayeb Cs, para pemuda terkemuka di
Jakarta mengadakan pertemuan untuk membentuk kelompok Penghubung Poliik
tak Resmi yang bernama Angkatan Baru. “Kelompok inilah yg Kemudian
membentuk Gerakan Angkatan Baru Indonesia yg menggerakkan Menteng 31”.
6 Juli saat sidang itu di buka pemimpin-pemimpin angkatan baru bertemu
untuk membahas kedudukan mereka. Persoalan pokok timbul dalam pembahasan
Rancangan Piagam GRB, dimana Pemuda Menuntut supaya Kota-kota Republik
Indonesia disiapkan, tentu saja tidak dapat diterima Jepang karena :
1. Tokyo sendiri belum membuat keputusan terakhir mengenai kapan
dan dengan bentuk apa kemerdekaan akan diberikan kepada
Indonesia.

2. Badan Penyelidik yg membahas apakah Indonesia akan menjadi
negara Monarki atau Repulik.
Akibat hasil rapat tersebut hanya menimbulkan makian, kekecewaan yang
besar pada diri tiap Para Pemuda. Desas-desus Jepang yang sudah hampir
menyerah kepada Sekutu melalui para Pemuda yang bekerja di SenDenBu dari
siaran radio San Fransisco, bahwa Fasis Jepang telah menyerah tanpa syarat
kepada Imperialis Sekutu dan pengumuman resmi penyerahan tanpa syarat itu di
umumkan pada tanggal 15 Agustus 1945. Siaran Kaisar Hirohito di terima di
Jakarta, sementara itu berita dengan cepat menyebar degan cepat melalui jaringan
Pemuda di seluruh pelosok.
Atas

prakarsa

Mahasiswa

FK,

rapat

Darurat

dilangsungkan

di

Laboratorium Bakteriologi Pegangsaan yang dihadiri pula oleh Kelompok
Menteng 31, disitu diputuskan untuk mengirim suatu delegasi yang dipimpin
Wikana untuk menjumpai Soekarno malam itu juga agar mendesak membuat
Proklamasi, namun Soekarno menolak dan menimbulkan ketegangan dan suasana
emosional, mereka menyatakan Soekarno telah gagal menjadi Bapak, akan terjadi
pembunuhan dan pertumpahan darah apabila tidak mau mengumumkan
pernyataan itu.
Penghinaan pribadi terhadap Wikana telah menimbulkan jarak yang
semakin dalam antara Golongan Tua dan Muda dan sebagai tantangan bersama.
Atas prakarsa Sukarni, penculikan terhadap Soekarno-Hatta terjadi, kira-kira
pukul 04. pagi dini hari 16-08-45. Soekarno-Hatta dilarikan ke Rengasdengklok,
atas kawalan Peta Jakarta Raya yang dipimpin oleh Sodanco Singgih dan

pimpinan Peta Rengkasdengklok Sudanco Umar Bachsan (beliau adalah salah
seorang pendiri Lembaga Kebudayaan Rakyat –LEKRA-). Disana terjadi desakan
untuk memproklamasikan kemerdekaan yang akhirnya menimbulkan perdebatan
antara pemuda dan Soekarno-Hatta. Akhir dari perdebatan itu hanya kebuntuan.
Akhirnya Soekarno-Hatta dikembalikan ke Jakarta oleh para pemuda.
Pada 8 Juni 1950, bergabung pula Badan Kongres Mahasiswa Indonesia
(BKMI), Federasi dari 5 organisasi mahasiswa lokal yang berada dibawah
pendudukan Belanda pada masa perang kemerdekaan seperti Perhimpunan
Mahasiswa Indonesia Bandung (PMIB) yang kemudian berkembang menjadi
Perhimbunan Mahasiswa Bandung (PMB) dan Ikatan Mahasiswa Bandung
(IMABA), Perhimpunan Mahasiswa Surabaya (PMS) yang kemudian berubah
menjadi Gerakan Mahasiswa Surabaya (GMS), Perhimpunan Mahasiswa Bogor
(PMS) kemudian menjadi Masyarakat Mahasiswa Bogor (MMB), Perhimpunan
Mahasiswa Indonesia Jakarta (PMIJ) kemudian menjadi Gerakan Mahasiswa
Djakarta (GMD), Ikatan Mahasiswa Djakarta (IMADA), serta Perhimpunan
Mahasiswa Makasar.

C.

Gerakan Mahasiswa Bandung 1966

Indonesia memasuki fase ketiga setelah kemerdekaan. Fase dimana
pemerintahan Orde Lama tidak dapat meningkatkan ekonomi Indonesia sehingga
kemiskinan

semakn

parah.

Jatuh

bangun

kabinet

dalam

pemerintahan

menyebabkan kinerja tidak stabil ditambah kehadiran ideologi lain dalam
pemerintah

menyebabkan

ideologi

Pancasila

mengalami

kemunduran.

Kemunculan kembali aliran Sayap Kiri faham ideologi komunis ditubuh partai
komunis terbesar di Asia Tenggara yaitu PKI. PKI yang dulu sempat ditumpas
kesatuan Siliwangi tumbuh lagi menjadi lebih subur dari sebelumnya. Mereka
sekarang telah mempergunakanstrategi baru untuk mendekati pemerintahan lewat
kedekatannya dengan Presiden pertama Indonesia.
Memasuki 1966 pemuda Indonesia melakukan manifestasi politik
menurunkan Orde lama karena dianggap tidak mampu menyelesaikan persolaan
PKI dan ekonomi negara. Mahasiswa telah mengerti peran mereka sebagai “agent
of change”. Deputi Menteri Perguruan Tinggi, Mashoeri juru bicara angkatan ‟66
bahkan meminta Mahasiswa Indonesia membantu mengumandangkan suara baru.
Mulai dari situ dipelopori pembentukan kesatuan aksi pemuda Mahasiswa dan
Pelajar seperti KAPPI, KAMI ,KAPI, KABI (Buruh), KASI (Sarjana), KAWI
(wanita) dan KAGI (Guru). Kesatuan itu menyatukan pendapat dalam Tri
Tuntutan Hati Nurani Rakyat (TRITURA) pada 12 Januari 1966. TRITURA
inilah yang menyebabkan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966.
Di Bandung Mahasiswa Indonesia mendapatkan dukungan dari Dharsono.
Dharsono bahkan dipandang sebagai “radikal Orde Baru” karena mendorong agar
Mahasiswa Indonesia untuk tidak segan mengkritik Orde Lama dengan
mempergunakan fungsi sosial kontrol masyarakat sebaik-baiknya (Francois, 1985:
40). Kedekatan Dharsono dengan Mahasiswa telah tercipta sejak munculnya sikap
patnership melawan Orde Lama. Dharsono percaya akan pentingnya mahasiswa
dalam pergerakkan di Indonesia. Sama pentingnya seperti yang Dharsono dan
teman-temannya lakukan dulu sebagai tentara pelajar. Mahasiswa bagi Dharsono

adalah sebagai penggerak fungsi sosial kontrol masyarakat berbeda prinsip dengan
kebanyakan tentara lainnya yang lebih mengutamakan unsur militer saja. Pada
1966 ini Angkatan Baru mengemban “tugas suci” yaitu menyelamatkan Indonesia
dari, dekadensi dan krisis‟ (Francois, 1985: 42).
Pasca kejadian G30S muncul tokoh utama Orde Baru yaitu Soeharto yang
mendapat tugas menangkap seluruh petinggi PKI serta memulihkan keadaan,
tugas itu membuat popularitasnya naik. Belum lagi dukung kesatuan aksi seperti
KAMI, KAPPI, KASI dan lain sebagainya terhadap Orde Baru. Hubungan
patnership ini digunakan demi membuat kekuatan Soekarno menjadi lemah.
Dukungan PKI telah dihancurkan sehingga Soekarno berupaya mencari dukungan
lewat “Barisan Soekarno”. Seruan Barisan Soekarno menyebabkan kemunculan
sekelompok orang di berbagai daerah khususnya Jawa Barat yang mengaku
sebagai barisan Soekarno. Kehadiran Barisan Soekarno membuat jurang
perpecahan diantara golongan pendukung Orde Baru dan pendukung Orde lama
semakin melebar. Pada 9 Februari 1966 Lembaga pembinaan kesatuan Bangsa
wilayah Jawa Barat menyatakan kesetiaan rakyat Jawa Barat terhadap Bung
Karno adalah dalam pengertian pengamalan dan pengamanan Pancasila. Demi
menyelesaikan Revolusi Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur materil
spiritual, masyarakat sosialisme Indonesia. Dikeluarkan surat dari PEPELRADA
Jawa Barat mengenai pelarangan membentuk Barisan Soekarno (Tim sejarah
militer Kodam, 1968: 415). Jawa Barat mengenai pelarangan membentuk Barisan
Soekarno (Tim sejarah militer Kodam, 1968: 415).
Pada 5 Juli 1966 setelah sidang umum MPRS, A.H.Nasution selaku

Ketua MPRS men–sahkan Surat Perintah 11 Maret 1966 sebagai surat
perlimpahan wewenang Soekarno kepada Soeharto dalam pemerintahan. Surat
perintah 11 Maret 1966 oleh Soekarno sebenarnya dikeluarkan untuk menumpas
PKI namun, digunakan Soeharto untuk menduduki jabatan kepresidenan.
Banyaknya petinggi militer yang telah diganti menjadi orang-orang Orde Baru
membuat Soekarno terpojok. Mereka yang setia pada Soekarno didalam jajaran
TNI diganti oleh orang-orang yang loyal pada Orde Baru. Hal ini terjadi di
Bandung dimana Pangdam Siliwangi ke 8 Ibrahim Adjie yang sebenarnya
seorang anti-Komunisme tapi karena dianggap terlalu dekat dengan Soekarno
maka dimutasi oleh Soeharto (Francois, 1985: 40) Digantikanlah Ibrahim Adjie
dengan Dharsono sebagai Pangdam Siliwangi ke 9 pada 20 Juli 1966. Serah
terima tersebut langsung dilakukan Soeharto sebagai Panglima tertinggi TNI
masa itu. Nama Dharsono mulai terkenal ditingkat nasional sebagai Pangadam
Siliwangi yang dekat dengan mahasiswa.

Foto 1.1
Serah terima Panglima Siliwangi ke 8 Mayor Jenderal TNI Ibrahim
Adjie, kepada Panglima Siliwangi ke 9, Mayor Jenderal TNI Hartono Rekso
Dharsono pada tanggal 20 Juli 1966.

Sumber : Album Kenangan Kodam VI Siliwangi 1946-1977

Keadaan di Bandung semakin kacau semejak masa yang terdiri dari
Mahasiswa/Pelajar KAMI dan kesatuan aksi lainnya kecewa pada Soekarno
turun ke jalan melancarkan aksi menyongsong hari kemerdekaan 17 Agustus.
Pada 15 Agustus 1966 mereka turun ke jalan untuk berpawai (Kompas, 22
Agustus 1966: 2&3). Pawai yang disebut sebagai Pawai Alegoris menjadi
penyebab awal kericuhan kedua golongan pro-Soekarno dan pro-Orde Baru. Hal
ini karena di dalam Pawai, massa anti–Soekarno menampilkan anekdot Soekarno
“Pecinta wanita” lewat sebuah patung mirip Soekarno yang dikelilingi sejumlah
wanita cantik berkebaya atau berpakaian kimono Jepang. Kendaraan pengangkut
patung itu berjalan lambat-lambat dengan ditarik sejumlah manusia kurus kering,
berbaju gembel tanda kelaparan. Patung arak-arakan itu menyinggung perasaan
Soekarno dan aparat keamanan sehingga dirampas sejumlah petugas di depan
Gedung MPRS yang lebih dikenal sebagai Gedung Merdeka. Mendapat
perlakuan tersebut Mahasiswa mogok menuntut patung dikembalikan hingga
beberapa perwira Kodam
patung

Siliwangi

turun tangan

untuk

mengembalikan

itu. Terlihat besarnya dukungan Kodam Siliwangi dalam membantu

usaha mahasiswa menancapkan pengaruh Orde baru di Bandung sebagai pusat
dari Jawa barat. Sejumlah anggota KAPPI yang berpawai bahkan terlihat datang
dengan mengendarai kendaraan lapis baja milik kesatuan Siliwangi. Dukungan
Siliwangi terhadap aksi mahasiswa tidak terlepas dari keterlibatan Dharsono
selaku Pangdam Siliwangi untuk membantu menancapkan benih-benih Orde
Baru.

Foto 1.2
Panglima Siliwangi ke 9 Hartono Rekso Dharsono dalam membina
Orde Baru di Jawa Barat bersama angkatan 66 yang terdiri dari
Mahasiswa/Pelajar.

Sumber: Album Kenangan Kodam VI/Siliwangi 1946-1977
Pada 17 Agustus 1966 dirayakan hari ulang tahun RI ke 21 yang paling
kontroversial. Upacara bendera dilaksanakan di Istana Merdeka digunakan
Soekarno untuk membela diri dalam pidatonya yang berjudul “Jangan sekali–kali
meninggalkan sejarah” disingkat Jas Merah. Di dalamnya Soekarno mengkritik
keputusan MPRS mengenai surat perintah 11 Maret 1966 yang dikeluarkan
sebagai surat pengalihan kekuasaan, tapi hanya pengalihan wewenang demi
memelihara keamaan dalam negeri (Francois, 1985: 49). Soekarno menyebut
1966

sebagai

tahun

yang

gawat

dengan

menunjuk

adanya

gerakan

kaum Revolusioner palsu sebagai penyebabnya. Presiden Soekarno menyebutnyebut Panji Azimat Revolusi dan mengagungkan persatuan berdasarkan
NASAKOM. Tetapi bagian yang paling „kontroversial‟ ialah ketika Soekarno
melontarkan tuduhan terhadap arus penentangan dirinya dan NASAKOM
sebagai sikap revolusioner palsu. Semua mengerti bahwa yang dimaksudkan

terutama adalah kesatuan-kesatuan aksi alhasil pidato Jas Merah Soekarno
memberikan reaksi besar yang merupakan cikal bakal keributan yang terjadi
pada 19 Agustus 1966 di Bandung (Tim sejarah militer Kodam, 1968: 420).
Seusai pidato Soekarno, sekelompok orang melakukan serangan bersenjata api
dan senjata tajam ke Markas KAPPI di Jalan Kebon Jati Bandung. Sore harinya
melakukan teror terhadap barisan KAMI dan KAPI yang ikut dalam pawai 17an. Seluruh kampus di Bandung dijaga ketat oleh barisan tentara pelajar
Mahawarman juga mendapat serangan namun, dapat diatasi.
Keesokan harinya 18 Agustus 1966 terjadi aksi penyobekan dan
penurunan potret Soekarno oleh anggota KAMI/ KAPI Bandung yang dipelopori
oleh Sugeng Suryadi. Sugeng Suryadi adalah Ketua Dewan Mahasiswa
Universitas Padjadjaran yang memulai aksi penyobekan gambar Soekarno
sewaktu berlangsung apel masa mahasiswa dan pelajar di markas KAMI Jalan
Lembong. Seusai apel mahasiswa bergerak memasuki kantor-kantor di Bandung
untuk menjalankan apa yang dianjurkannya. Penurunan dan penyobekan gambar
Soekarno pada 18 Agustus 1966 menjadi gerakan paling terang-terangan untuk
pertama kali dilakukan di Indonesia terhadap Soekarno. Kejadian ini
menyebabkan

Kelompok

pro–Soekarno

yang

tergabung dalam

PNI/Marhaen terpicu kemarahan. Soekarno adalah orang yang harus di hormati sebagai
“Bapak Marhaen”.
Peristiwa ini mencapai puncaknya pada 19 Agustus 1966 dimana Markas KAMI/
KAPI konsultan Bandung Jalan Lembong dan kampus Universitas Parahyangan di Jalan
Merdeka didatangi segerombolan massa berjumlah kurang lebih 300 orang. Mereka
mengepung markas KAMI/KAPI pada pukul 08.00 pagi hingga dibubarkan paksa oleh

ABRI tanpa menimbulkan korban (Kompas, 23 Agustus 1966: 1). Gerombolan yang
mengaku sebagai pengikut Bung Karno bergerak dengan membawa senjata tajam seperti
golok (Kompas, 22 Agustus 1966: 2&3). Mereka merusak markas, menurunkan benderabendera dan papan nama KAMI/KAPI, serta menyerang sejumlah anggota KAMI dan
KAPI yang berada di tempat dengan senjata tajam sehingga menyebabkan beberapa orang
terluka.
Setelah dibubarkan Kodam Siliwangi pukul 10.00, kampus Univeristas
Parahyangan Jalan Merdeka dikepung. Terjadi bentorkan fisik antara mahasiswa yang
berada di tempat dengan gerombolan pengacau. Penyerang tersebut dapat dihalau
mahasiswa sampai ke Jalan Perapatan Merdeka atau Jalan Aceh. Tanpa diduga datang
bantuan dari penyerang dengan menggunakan senjata api. Menembaki mahasiswa dari
jarak 100 meter sebelah utara kampus. Mengakibatkan gugurnya anggota Mahawarman
Julius Usman selaku mahasiswa Fakultas Ekonomi

Universitas Parahyangan

yang merupakan anggota KAMI Konsulat Bandung (Kompas, 23 Agustus 1969:
1).
Kesatuan Siliwangi dibawah pimpinan Dharsono bergerak cepat
mengamankan keadaan. Dilakukan pengamanan terhadap beberapa perguruan
tinggai seperti ITB, Universitas Pasundan, Universitas Padjadjaran (kampus
5

Dipati Ukur), IKIP serta lainnya. Serangan Lengkong Besar dapat di gagalkan
dan gerombolan pengacau dihalau mundur. Demikian juga terhadap kampus
ITB serangan yang terjadi pada pukul 20.00 malam dapat digagalkan oleh ABRI,
gerombolan yang ingin mengacau datang dari arah Bandung Utara (Tim sejarah
militer Kodam, 1968: 419)
Saat terjadi serangan di markas KAMI pada 19 Agustus 1966 tanpa

diketahui Dharsono, ada keterlibatan beberapa perwira tentara Kodim Siliwangi
Pro-Soekarno. Sejumlah aktivis mahasiswa di markas KAMI dibawa untuk
diamankan petugas Garnisun Bandung di kantor instansi militer selama beberapa
jam. Mereka ditanyai macam-macam seolah-olah para aktivis mahasiswa
tersebut adalah tersangka. Beruntung petang hari, Dharsono mencium gelagat
tidak beres yang dilakukan sejumlah perwira bawahannya berdasarkan laporan
dari seorang mahasiswa. Sehingga keadaan berbalik, para aktivis kesatuan aksi
dibebaskan dan sejumlah perwira di Garnisun ditangkap.
Dharsono kecewa kepada para Staf Kodim Bandung yang berpihak pada
gerombolan anarkis. Dharsono memutuskan untuk menindak tegas dengan
membersihkan Staf Kodim 0618 kota Madya Bandung dan Jon lidam
VI/Siliwangi dari unsur Pro-Soekarno. Pembersihan dilakukan dengan
membebaskan beberapa orang perwira menegah dan pertama dari tugas
dan jabatannya kemudian menahan dan memeriksa mereka secara intensif
(Kompas, 24 Agustus 1966: 1). Nama perwira yang ditangkap adalah Achmad
Santoso selaku Mayor Infanteri dengan jabatan Kasdim 0618 Kota Madya
Bandung, Lily Buchor selaku Mayor Infanteri dengan jabatan Ka Lidam
VI/Siliwangi, Sunarto selaku Kapten Infanteri dengan jabatan kepala seksi I
Skodim 0619 Kota Madya Bandung dan Oking selaku Kapten Infanteri yang
menjabat sebagai Kepala Seksi 2 Skodim 0618 Kota Madya Bandung (Kompas,
24 Agustus 1966: 1). Mereka ditangkap bersama dengan ditangkapnya ratusan
orang yang terlibat dalam peristiwa anarkis di Bandung termasuk beberapa
pengurus PNI Cabang Bandung. Secara internal PNI Bandung sendiri telah

melakukan pemecatan-pemecatan atas mereka yang terlibat pemberontakan
seperti Nunung Satia selaku Ketua III, Jatna Ibing selaku sekretari I dan Atma
Achmad selaku sekretari II. Divisi Siliwangi juga membekukan Gerakan Pemuda
Marhaenis Bandung.
Kabar duka akibat peristiwa 19 Agustus 1966 dirasakan keluarga
almarhum Julius Usman. Demi menghormati jasanya pada sabtu 20 Agustus
1966 pukul 14.00 Julius Usman di kebumikan di Taman makam Pahlwan
Cikutra Bandung dengan upacara militer. Pemakaman dilakukan di Taman
Pahlawan atas keputusan Dharsono yang mengangkat Julius Usman menjadi
pahlawan AMPERA. Dharsono selaku Pangdam Siliwangi menyampaikan
sambutan tertulisnya yang dibacarakan inspektur Upacara, Himawan Soetanto
yang saat itu menjabat sebagai letnan Kolonel (Tim sejarah militer Kodam,
1968: 422). Pemakaman di Taman Makam Pahlawan Cikutra diberikan kepada
Julius Usman bukan
penghormatan

karena

berstatus

tentara

namun,

sebagai

wujud

kepada anggota Resimen Mahawarman. Julius Usman gugur

dalam melaksanakan tugasnya sebagai tentara pelajar Bandung angkatan 66.
Resimen Mahawarman secara langsung berada dibawah binaan KODAM
VI/Siliwang (Tim sejarah militer Kodam, 1968: 423). Penghargaan pada Julius
Usman dilihat Dharsono sebagai bentuk perjuangan Mahasiswa dalam membela
Orde Baru. Bukti pengorbanan Angkatan 66 sebagai salah satu komponen Orde
Baru. Dharsono meyakini Corps Siliwangi dan Angkatan 66 merupakan CoPartnership dalam perjuangan menyusun Orde Baru (Tim sejarah militer
Kodam, 1968: 423).

Kekuasaan Soeharto masih belum kuat dalam pemerintahan maka sikap
hati-hati mengenai langkah yang akan di ambil sedang di jalankan. Berdirinya
Orde Baru membuat hubungan KAMI dan militer Rerformis kesatuan Siliwangi
pimpinan Dharsono harus mengambil langkah yang tepat dalam hubungan yang
sempat terikat kuat karena tujuan yang sama. KAMI memiliki sikap antara
mendukung dan mengkritik kebijakan pemerintah Orde Baru yang baru berdiri.
Pentingnya militer Orde Baru mengambil sikap dalam menghadapi sikap labil
KAMI. Hal ini yang diambil Dharsono untuk tetap bersikap Patnership.
Runtuhnya Orde Lama menjadikan hubungan Patnership kedua kubu militer
dan mahasiswa menjadi berkurang. Dharsono menyadari hal itu sehingga
Dharsono melakukan pendekatan dengan tetap bersikap Patnership. Terutama
ditegaskan dengan isi pidatonya pada sidang Dewan Pleno Badan Pembinaan
Corps Karyawan TNI kodam Siliwangi pada 2 Mei 1967.
“..... Siliwangi berada didalam slagorde Orde Baru dengan
mengadakan Patnership terutama sebagai modal yang pertama
daripada kekuatan Orde Baru ialah dengan Angkatan 66 khususnya
yang di wakili oleh kesatuan kesatuan Aksi baik Mahasiswa,
Pelajar maupun kesatuan Aksi lainnya......
...... Kekuatan yang ada, mungkin sepintas lalu didasarkan sebagai
suatu situasi yang stabil, akan tetapi sebenarnya imbangan
kekuatan ini merupakan suatu hal yang labil dan memberikan
kemungkinan
kepada
orang-orang
yang
bisa
mempergunakan keseimbangan kekuatan ini. .....” (Salinan Pidato
H.R.Dharsono, 2 Mei 1967).
Dharsono menilai untuk lebih menguatkan hubungan perlu ada saling
keterikatan yang menjadikan Orde Baru wadah kehidupan sosial politik
masyarakat dan wadah kehidupan sosial ekonomi. Usaha pembersihan Barisan
Soekarno masih terus diupayakan Dharsono. Pemberontakan untuk memulihkan

Soekarno ke tampuk kepemimpinan masih terus dilakukan beberapa kelompok
Barisan Soekarno. Pada September 1967. Siliwangi berhasil menangkap
“Gurame” dan “Kancra Gede” yang merupakan oknum-oknum yang berusaha
mengembalikan Orde Lama. Penangkapan kelompok Soekarno ini terjadi di
daerah Priangan Timur.

“Gurame”

yang merupakan panggilan dari A.

Pandi alias Sukhro yang pernah menjadi pemimpin kader SOBSI Pusat
merangkap pembelaan SOBSI Rangkasbitung, Banten (Tim sejarah militer
Kodam, 1968: 426). SOBSI sendiri dicurigai sebagai underbow partai PKI
karena banyaknya pejabat SOBSI termasuk Anggota PKI. Pada awalnya A.Pandi
berhasil meloloskan diri dari kejaran Siliwangi namun, akhirnya berhasil
ditangkap di Pasar Tasikmalaya (Tim sejarah militer Kodam, 1968: 426).
“Kancra Gede” merupakan julukan Karim bekas pimpinan Biro Daerah IV/Biro
Khusus PKI-bayangan yang mempunyai hubungan langsung dengan

Syam

seorang gembong PKI yang telah dijatuhi hukuman mati. Sebenarnya Biro
Khusus PKI-bayangan telah berhasil membuat grup yang terdiri dari 5 orang
anggotanya sebanyak 80% terdiri dari anggota PNI-Asu. Daerah yang
mereka garap adalah Ciamis Selatan ke Tasikmalaya sampai Garut. Bersama
dengan gembong PKI lainya telah diciduk sekitar 184 orang (Tim sejarah militer
Kodam, 1968: 426). Operasi demi operasi terus dilaksanakan untuk
memperjuangkan Orde Baru di tanah Priangan. Dharsono selalu melantangkan
kesiapan tempur Siliwangi dalam menebas akar-akar PKI dan Orde Lama. Hal
ini guna memberikan peringatan kepada mereka yang mencoba mengadakan
intimidasi fisik terhadap Siliwangi serta himbauan agar warga Jawa Barat ikut

serta dalam membangun Orde Baru.
Banyak cara yang dilakukan Dharsono untuk dapat dekat dengan rakyat
Jawa Barat dengan sukarela Dharsono mau ikut mendengar langsung keluhan
yang terjadi dalam masyarakat. Disela kesibukannya sebagai Pangdam
Siliwangi, Dharsono menyempatkan diri berkomunikasi langsung dengan
masyarakat Jawa Barat tanpa mengungkapkan identitasnya. Hal ini dilakukan
sebagai penyiar radio salah satu radio bentukan mahasiswa Bandung.
Meleburkan diri menjadi penyiar biasa demi mendengarkan aspirasi masyarakat
Bandung. Dharsono menggunakan nama samaran “Bang kalong” yang dalam
bahasa Indonesia “abang” merupakan sebutan untuk memangil seorang laki-laki
yang lebih tua dan “kalong” sebutan untuk menyebut kelelawar karena dirinya
selalu datang di malam hari. Dharsono tampil sebagai sosok yang unik, terbuka
dalam membicarkan masalah sosial, mendengarkan komplain masyarakat dan
menghibur masyarakat Bandung lewat lagu-lagu kesukaannya.
Dharsono

dengan

masyarakat

inilah

yang

Kedekatan

tidak disuka Pemerintah

Soeharto maka Dharsono dipindah tugaskan menjadi duta besar RI yang bekerja
di luar negeri jauh dari negaranya.

D.

Gerakan Mahasiswa Bandung 1974

Realitas berbeda yang dihadapi antara gerakan mahasiswa 1966 dan
1974, adalah bahwa jika generasi 1966 memiliki hubungan yang erat dengan
kekuatan militer, untuk generasi 1974 yang dialami adalah konfrontasi dengan
militer.

Sebelum gerakan mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum menginjak
awal 1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan
koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru, seperti:
1. Golput yang menentang pelaksanaan pemilu pertama pada masa
Orde Baru pada 1972 karena Golkar dinilai curang.
2. Gerakan menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah
pada 1972 yang menggusur banyak rakyat kecil yang tinggal di
lokasi tersebut.
Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak
(BBM), aksi protes lainnya yang paling mengemuka disuarakan mahasiswa
adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya apa yang disebut
gerakan "Mahasiswa Menggugat" yang dimotori Arif Budiman yang progaram
utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM, dan korupsi.
Dalam tahun 1972, mahasiswa juga telah melancarkan berbagai protes
terhadap pemborosan anggaran negara yang digunakan untuk proyek-proyek
eksklusif yang dinilai tidak mendesak dalam pembangunan,misalnya terhadap
proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di saat Indonesia
haus akan bantuan luar negeri.
Protes terus berlanjut. Tahun 1972, dengan isu harga beras naik,
berikutnya tahun 1973 selalu diwarnai dengan isu korupsi sampai dengan
meletusnya demonstrasi memprotes PM Jepang Kakuei Tanaka yang datang ke
Indonesia dan peristiwa Malari pada 15 Januari 1974. Gerakan mahasiswa di
Jakarta meneriakan isu "ganyang korupsi" sebagai salah satu tuntutan "Tritura

Baru" disamping dua tuntutan lainnya Bubarkan Asisten Pribadi dan Turunkan
Harga; sebuah versi terakhir Tritura yang muncul setelah versi koran Mahasiswa
Indonesia di Bandung sebelumnya. Gerakan ini berbuntut dihapuskannya jabatan
Asisten Pribadi Presiden.

E.

Gerakan Mahasiswa Bandung 1977-1978

Setelah peristiwa Malari, hingga tahun 1975 dan 1976, berita tentang aksi
protes mahasiswa nyaris sepi. Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan
kampus disamping kuliah sebagain kegiatan rutin, dihiasi dengan aktivitas kerja
sosial, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies Natalis, acara penerimaan mahasiswa
baru, dan wisuda sarjana. Meskipun disana-sini aksi protes kecil tetap ada.
Awalnya, pemerintah berusaha untuk melakukan pendekatan terhadap
mahasiswa, maka pada tanggal 24 Juli 1977 dibentuklah Tim Dialog Pemerintah
yang akan berkampanye di berbagai perguruan tinggi. Namun demikian, upaya
tim ini ditolak oleh mahasiswa. Pada periode ini terjadinya pendudukan militer
atas

kampus-kampus

karena

mahasiswa

dianggap

telah

melakukan

pembangkangan politik, penyebab lain adalah karena gerakan mahasiswa 1978
lebih banyak berkonsentrasi dalam melakukan aksi diwilayah kampus. Karena
gerakan mahasiswa tidak terpancing keluar kampus untuk menghindari peristiwa
tahun 1974, maka akhirnya mereka diserbu militer dengan cara yang brutal. Hal
ini kemudian diikuti oleh dihapuskannya Dewan Mahasiswa dan diterapkannya
kebijakan NKK/BKK di seluruh Indonesia.

Gerakan mahasiswa tahun 1977/1978 ini tidak hanya berporos di Jakarta
dan Bandung saja namun meluas secara nasional meliputi kampus-kampus di kota
Surabaya, Medan, Bogor, Ujungpandang (sekarang Makassar), dan Palembang.
Pada 28 Oktober 1977, delapan ribu anak muda menyemut di depan kampus ITB.
Mereka berikrar satu suara, "Turunkan Suharto!". Besoknya, semua yang
berteriak, raib ditelan terali besi. Kampus segera berstatus darurat perang. Namun,
sekejap kembali tentram.
Sejak awal 1978, 200 aktivis mahasiswa ditahan tanpa sebab. Bukan hanya
dikurung, sebagian mereka diintimidasi lewat interogasi. Banyak yang dipaksa
mengaku pemberontak negara. Tentara pun tidak sungkan lagi masuk kampus.
Berikutnya, ITB kedatangan pria loreng bersenjata. Rumah rektornya secara
misterius ditembaki orang tak dikenal.
F.

Gerakan Mahasiswa Bandung 1985

Gerakan pada era ini tidak popular, karena lebih terfokus pada perguruan
tinggi besar saja. Puncaknya tahun 1985 ketika Mendagri (Menteri Dalam Negeri)
Saat itu Rudini berkunjung ke ITB. Kedatangan Mendagri disambut dengan Demo
Mahasiswa dan terjadi peristiwa pelemparan terhadap Mendagri. Buntutnya
Pelaku pelemparan yaitu Jumhur Hidayat terkena sanksi DO (Droup Out) oleh
pihak ITB.

G.
Ketika

Gerakan Mahasiswa Bandung 1998
pertengahan

Agustus1997,

secara

perlahan

perekonomian

Indonesia tengah mengarah kepada krisis, mahasiswa Bandung telah melihat

situasi tersebut akan membuat bangsa ini terpuruk dalam kubangan krisis ekonomi
dan politik yang akut. Meski ketika itu banyak pengamat ekonomi melihat bahwa
situasi tersebut hanyalah bagian dari efek kejut saja bagi Indonesia, yang ketika
itu menjadi salah satu Macan Asia, karena pertumbuhan dan stabilitas ekonomi
yang mantap versi Majalah Far East Economic Review (FEER). Akan tetapi
pembacaan situasi dan analisis yang dilakukan oleh mahasiswa Bandung ternyata
lebih mengarah kepada kebenaran, perlahan tapi pasti perekonomian Indonesia
memasuki fase krisis. Hal ini ditandai dengan melemahnya nilai tukar Rupiah dari
mata uang asing lainnya, khususnya Dollar Amerika Serikat. Beberapa universitas
yang memiliki tradisi pergerakan mahasiswa di Bandung telah mulai mengeliat,
selain Universitas Padjadjaran, dan ITB, ada juga Universitas Parahyangan
(Unpar), Universitas Islam Bandung (Unisba), IAIN Bandung, dan Universitas
Pasundan (Unpas), juga beberapa kampus yang selama ini tradisi pergerakannya
kurang mengakar. Meski begitu, baru beberapa kampus saja yang sepakat dengan
berbagai tuntutan yang mengarah kepada pergantian kepemimpinan nasional.
Ketika itu baru Unpad yang menyuarakan agar pergantian kepemimpinan nasional
merupakan solusi bagi krisis ekonomi yang menyengsarakan rakyat.
Secara harfiah pergerakan mahasiswa di Bandung pada tahun 1998 terbagi
dalam empat kelompok, yakni: Pertama, kelompok mahasiswa yang tergabung
dalam organisasi ”Cipayung”, seperti HMI, PMII, GMKI, PMKRI, dan lain
sebagainya. Kelompok ini relatif tidak muncul sebagai salah satu kelompok yang
secara sistematis melakukan tutntutan dan mengorganisasi mahasiswa di internal
kampus. Bahkan cenderung kelompok ini membatasi diri dengan elemen gerakan

mahasiswa lain yang ada di Bandung, meski tuntutannya sama. Namun begitu,
menjelang kejatuhan Soeharto, kelompok ini akhirnya juga mengorganisir massa
mahasiswa di kampus, dan berinteraksi secara ekstrim dengan berbagai elemen
mahasiswa, baik yang intra kampus, maupun elemen mahasiswa pro demokrasi.

Kedua, kelompok mahasiswa internal kampus. Kelompok ini banyak
melakukan aktivitas di kampus, namun tidak cukup mengikat mahasiswa lainnya
untuk terlibat. Hal ini disebabkan karena kelambanan dan tuntutan yang
dikumandangkan bersifat formalitas. Tak heran, mengingat kelompok mahasiswa
ini cenderung terbelenggu oleh birokrasi kampus. Kecenderungan situasi tersebut
membuat para penggiat di bawahnya membangun oposisi terhadap organisasi
yang ada di atasnya. Sekedar contoh misalnya kelahiran Forum Lembaga
Mahasiswa Universitas Padjadjaran (FLMUP) yang merupakan antitesis dari
kelambanan Senat Mahasiswa Unpad (SMUP) dalam merespon setiap
perkembangan yang ada di mahasiswa dan masyarakat.
Ketiga, kelompok mahasiswa eksternal non-Cipayung. Keberadaan
kelompok ini sejatinya merupakan bagian dari upaya meradikalisasi kampus agar
lebih berpihak ke masyarakat. Perlu juga diketahui, banyak dari aktivis dari
kelompok ini melakukan advokasi, pengorganisasian, dan pendidikan politik
masyarakat, khususnya petani dan buruh, yang ada di sekitar Bandung, dan Jawa
Barat. Di Unpad misalnya ada Keluarga Aktivis Universitas Padjadjaran (KA
Unpad), di Unisba ada Forum Aktivis Mahasiswa Unisba (FAMU), di Unpas ada
Himpunan Mahasiswa Revolusioner (HMR), di Universitas Pendidikan Indonesia

(UPI) ada Serikat Mahasiswa Peduli Rakyat (SMPR). Sementara organisasi di
tingkat Bandung ada Front Indonesia Muda Bandung (FIM-B), Solidaritas
Pemuda dan Mahasiswa Bandung (SPMB), Komite Pemuda dan Mahasiswa
Bandung (KPMB), dan Forum Komunikasi Mahasiswa Bandung (FKMB). Harus
diakui, meski dua kelompok di atas memiliki basis dan organisasi yang lebih kuat
dan mapan, namun upaya radikalisasi kampus banyak dilakukan oleh kelompok
mahasiswa ini. Bahkan langkah taktis dan strategis juga secara mapan dilakukan
untuk mendorong agar unjuk rasa mahasiswa menyentuh isu-isu kerakyatan dan
lebih membasis di tingkat rakyat.
Sedangkan kelompok keempat adalah kelompok mahasiswa yang
cenderung memiliki basis ideologi seperti Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk
Demokrasi (SMID) yang merupakan organisasi payung dari Partai Rakyat
Demokratik (PRD) yang ketika itu dilarang, serta Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia (KAMMI), yang membangun basisnya di Lembaga Dakwah
Kampus (LDK). Akan tetapi selama kurun waktu antara September 1997 hingga
kejatuhan Soeharto pada Mei 1998, dua elemen mahasiswa tersebut tidak cukup
signifikan memiliki andil dalam pengorganisasian mahasiswa menumbangkan
Rejim Orde Baru di Bandung.

Bersatu Karena Isu

Satu penyakit yang mengakar kuat sejak Angkatan ’66 di Bandung adalah
adanya sikap kehati-hatian yang bisa dibilang sangat kronis. Bahkan dalam

konteks pengorganisasian elemen mahasiswa untuk menyatukan barisan sebagai
respon dari krisis ekonomi di pertengahan tahun 1997 juga berujung pada
ketidaksamaan dalam merumuskan agenda aksi bersama. Ada kecurigaan antara
elemen mahasiswa satu dengan yang lain, baik masalah membangun eksistensi
kampus-kampus, maupun ideologi mahasiswa. Sebagaimana diketahui, dua
kampus besar yang dianggap memiliki tradisi pergerakan mahasiswa; Unpad dan
ITB dicurigai memiliki ambisi mengukuhkan eksistensi kampusnya dalam
pergerakan mahasiswa di Bandung, bahkan ketika berbagai usulan agenda aksi
yang diusung oleh kedua kampus tersebut dimentahkan dan dipatahkan. Sehingga
terlepas pembagian kelompok mahasiswa di atas, muncul juga poros kampus yang
makin membuat kompleks gerakan mahasiswa di Bandung. Poros pertama, adalah
poros kampus besar, dan memiliki tradisi pergerakan mahasiswa yang mengakar
seperti Unpad dan ITB. Sedangkan poros kedua adalah beberapa kampus swasta
yang menggalang dan mengorganisasi kampusnya dan sedapat mungkin untuk
menghindari beraliansi dengan Unpad ataupun ITB.
Akan tetapi hal tersebut hanya berlangsung beberapa saat saja. Situasi dan
kondisi yang memaksa aliansi dan koalisi yang lebih ketat dan kokoh bagi
perjuangan untuk menuntut Reformasi di segala bidang, dan berujung pada
pergantian kepemimpinan nasional. Yang patut ditegaskan di sini adalah, bahwa
gerakan dengan memakai almamater kampus khususnya di Bandung baru terjadi
pada awal Januari 1998. sebelumnya, unjuk rasa dan demonstrasi dilakukan
dengan memakai bendera masing-masing elemen, baik dari organisasi Cipayung,
maupun organisasi mahasiswa pro demokrasi, seperti FIM Bandung, SPMB,

KPMB, dan lain-lainnya. Sementara organisasi kampus seperti Senat Mahasiswa
sendiri lebih banyak terkungkung oleh aturan dan ketakutan sebagian besar karena
adanya ancaman sanksi dan skorsing dari birokrat kampus.
Serangkaian pertemuan antar elemen mahasiswa dari berbagai kampus
maupun organisasi ekstra kampus lainnya merumuskan satu agenda aksi bersama
di tiap kampus, dengan bendera di tingkat Bandungnya bernama ’Mahasiswa
Bandung’. Yang menarik dari kondisi ini adalah bahwa rangkaian unjuk rasa yang
dilakukan secara bergilir dari kampus ke kampus mampu meningkatkan
solidaritas antar mahasiswa dan kampus. Jadwal unjuk rasa yang terorganisir di
Bandung dengan nama ’Mahasiswa Bandung’ dari Senin hingga Jum’at membuka
ruang bagi kampus-kampus yang tidak memiliki tradisi pergerakan mahasiswa
ikut dalam unjuk rasa menuntut ’Reformasi Ekonomi Politik Sekarang’, serta
’Ganti Kepemimpinan Nasional’. Hari Senin unjuk rasa di lakukan di IKIP/UPI
Bandung dan Unpas Setiabudhi, hari Selasa unjuk rasa dilakukan di Unpas Taman
Sari dan Unpas Lengkong, dan Unisba. Sementara hari Rabu unjuk rasa dilakukan
di ITB dan Unpad Dipati Ukur, sedangkan unjuk rasa di Unpad Jatinangor,
Universitas Winaya Mukti, Ikopin dilakukan pada hari Kamis. Pada hari Jum’at
demonstrasi dilakukan di IAIN Bandung, Uninus, STSI, STISI, dan STT
Mandala. Akan tetapi, perlu juga digarisbawahi, meski jadwal unjuk rasa dan
demotrasi telah dibuat, namun bukan berarti di luar hari yang telah disepakati
masing-masing kampus tidak melakukan unjuk rasa di kampusnya. Justru langkah
untuk menjadwalkan hari-hari demonstrasi di Bandung agar stamina mahasiswa
dan peliputan media tetap ada. Sehingga akan memberikan efek positif bagi

pembesaran massa dan solidaritas mahasiswa, dan masyarakat untuk menyuarakan
tuntutan reformasi di bidang ekonomi dan politik, di mana salah satu tuntutan agar
Soeharto mundur sebagai Presiden. Dari berbagai unjuk rasa ini juga terjadi
bentrokan antara mahasiswa dengan aparat keamanan, baik Polri maupun TNI.
Alhasil, dorongan agar gerakan menuntut reformasi berlangsung secara simultan,
dan mengundang simpati dari masyarakat luas dapat terjadi.
’Mahasiswa Bandung’ yang merupakan aliansi berbagai kampus di
Bandung tersebut pada akhirnya terbelah menjadi tiga menjelang Sidang MPR
pada Maret 1998, yakni; Blok mahasiswa Bandung Utara yang dipimpin oleh
ITB, Maranatha, dan UPI. Blok mahasiswa Bandung Selatan yang dipimpin oleh
Unpad, IAIN, Uninus, dan Ikopin. Sedangkan blok yang ketiga adalah kumpulan
kampus-kampus swasta yang tidak mau dipimpin oleh ITB ataup

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24