Refleksi Kaum Marginal dalam Novel Laska

REFLEKSI KAUM MARGINAL DALAM NOVEL LASKAR PELANGI
KARYA ANDREA HIRATA: KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA
Shintya *)
ABSTRAK
Novel dapat merefleksikan perasaan, pikiran, dan keinginan
manusia. Novel juga dapat bercerita tentang situasi dan kondisi
yang dialami oleh masyarakat sebagai dokumen sosial. Penelitian
yang memandang karya sastra sebagai refleksi situasi pada masa
sastra tersebut diciptakan merupakan salah satu perspektif sosiologi
sastra. Lewat novel Laskar Pelangi, Andrea Hirata menggambarkan
kehidupan sehari-hari masyarakat Belitong beserta pergulatan
hidup yang mereka alami. Dalam novel tersebut digambarkan bahwa
masih banyak masyarakat Belitong yang hidup dalam garis
kemiskinan, padahal pulau yang mereka diami adalah pulau yang
dianugerahi kekayaan timah berlimpah. Penelitian ini
mendeskripsikan seberapa jauh Laskar Pelangi merefleksikan
keadaan yang sebenarnya terjadi di masyarakat.
Kata kunci: sosiologi sastra, novel, refleksi masyarakat
1. Pengantar
Sastra berbicara tentang hidup dan kehidupan, tentang berbagai persoalan hidup
manusia, tentang kehidupan di sekitar manusia, yang semuanya diungkapkan dengan

cara dan bahasa yang unik. Artinya, pengungkapan dalam bahasa sastra berbeda dengan
cara-cara pengungkapan bahasa selain sastra. Dalam bahasa sastra terkandung unsur dan
tujuan keindahan. Bahasa sastra lebih bernuansa keindahan (Nurgiyantoro, 2005:3).
Sejalan dengan pendapat tersebut, Jassin juga mendefinisikan kesusastraan sebagai suatu
gambaran tentang kehidupan. Kehidupan manusia dengan jiwa, pikiran, dan perasaannya
(Jassin, 1991:12).
Mengacu pada kedua pernyataan tersebut dapatlah dikatakan bahwa
kesusastraaan secara tidak langsung berpengaruh terhadap kehidupan atau sebaliknya.
Antara kehidupan dan kesusastraan terjadi hubungan timbal balik. Manusia dapat belajar
dari kesusastraan atau sebaliknya kesusastraan dihasilkan dengan melihat kehidupan.
Artinya, model-model kehidupan yang dikisahkan lewat cerita sastra merupakan kiasan,
simbolisasi, perbandingan, atau perumpamaan dari kehidupan yang sesungguhnya. Cerita
dalam sastra dikreasikan berdasarkan pengalaman hidup, pengamatan, pemahaman, dan
penghayatan terhadap berbagai peristiwa kehidupan yang secara faktual dijumpai di
masyarakat. Oleh karena itu, ia dapat dipandang sebagai salah satu interpretasi terhadap
kehidupan itu sendiri. Berbagai peristiwa dan alur cerita yang dikisahkan dalam karya
sastra secara logika memiliki potensi untuk dapat terjadi dalam kehidupan masyarakat
walau secara faktual tidak pernah ada dan terjadi (Nurgiyantoro, 2005:5).
1.1 Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra adalah ilmu yang membandingkan antara karya sastra dan

kehidupan nyata yang sehari-hari terjadi di masyarakat. Karya sastra dianggap
*) Tenaga Teknis Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah

merefleksikan apa yang dialami oleh masyarakat. Hal penting dalam sosiologi sastra
adalah konsep cermin (mirror). Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai tiruan
masyarakat (Endraswara, 2003:78). Hauser dalam Ratna (2007:336) menambahkan
bahwa karya sastra lebih jelas dalam mewakili ciri-ciri zamannya. Sejalan dengan itu,
menurut Laurenson dan Swingewood, ada tiga perspektif yang berkaitan dengan
sosiologi sastra, yaitu: (1) penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen
sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan,
(2) penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan (3)
penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan
sosial budaya (Endraswara, 2003:79).
Di antara genre utama karya sastra, yaitu puisi, prosa, dan drama, genre prosalah,
khususnya novel, yang dianggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur sosial.
Alasan yang dapat dikemukakan, di antaranya: a) novel menampilkan unsur-unsur cerita
yang paling lengkap, memiliki media yang paling luas, dan mampu menyajikan masalahmasalah kemasyarakatan yang paling luas, b) bahasa novel cenderung merupakan bahasa
sehari-hari yang paling umum digunakan dalam masyarakat (Ratna, 2007:335-336).
Di antara sekian banyak novel yang ada di Indonesia, novel Laskar Pelangi yang
dikarang oleh Andrea Hirata merupakan salah satu novel terlaris pada tahun 2006-2008.

Hal ini bisa dilihat dari angka penjualannya yang segera menembus angka setengah juta
eksemplar hanya untuk dalam negeri (www.jonru.net). Banyak orang tertarik membaca
novel tersebut karena tema yang diangkat berbeda dengan novel lainnya. Novel ini
ditulis berdasarkan sebuah pengalaman hidup yang nyata dialami oleh pengarangnya.
Laskar Pelangi mengangkat tema pendidikan dengan tokoh-tokoh manusia sederhana,
jujur, tulus, gigih, penuh dedikasi, dan yang pantang menyerah untuk berjuang. Andrea
menuturkan tema tersebut dengan bahasa yang indah dan cerdas. Padahal, Andrea tidak
memunyai latar belakang pendidikan bahasa dan sastra. Oleh karena itu, tulisan ini akan
mendeskripsikan seberapa jauh Laskar Pelangi merefleksikan keadaan yang sebenarnya
terjadi di masyarakat. Apakah masalah-masalah kemasyarakatan yang diangkat dalam
novel Laskar Pelangi masih relevan dengan kondisi masyarakat sekarang.
1.2 Sekilas tentang isi novel Laskar Pelangi
Laskar Pelangi merupakan pengalaman nyata masa kecil Andrea bersama
kesepuluh temannya saat bersekolah di sekolah kampung yang miskin di Pulau Belitong.
Andrea mengungkapkan pengalaman mereka dengan menggunakan sudut pandang orang
pertama. Di dalam novel tersebut Andrea merepresentasikan dirinya dengan tokoh
bernama Ikal.
Novel Laskar Pelangi diawali dengan cerita saat SD Muhammadiyah, sekolah
kampung di Belitong dengan fasilitas yang sangat terbatas, membuka pendaftaran untuk
murid baru kelas satu. Hingga saat-saat terakhir pendaftaran hanya sembilan anak yang

mendaftar dan siap masuk kelas pada hari pertama. Padahal, pengawas sekolah dari
Depdikbud Sumatera Selatan telah memperingatkan bahwa jika SD Muhammadiyah
hanya mendapat murid baru kurang dari sepuluh orang, sekolah tersebut harus ditutup
(Laskar Pelangi:5). Pada saat jam-jam terakhir batas waktu pendaftaran, tiba-tiba
datanglah Harun, seorang anak berusia 15 tahun dengan keterbelakangan mental. Harun
seharusnya disekolahkan di SLB (sekolah luar biasa). Akan tetapi, karena SLB itu hanya
ada di Pulau Bangka dan orang tuanya tidak memunyai biaya untuk menyekolahkannya
di sana, Harun didaftarkan di SD Muhammadiyah. Harun disekolahkan oleh ibunya agar
dia tidak cuma mengejar anak ayam di rumah. Oleh karena jumlah murid barunya sudah
78 A LA Y A SA STRA , V ol. 4, Oktober 2008: 77–84

ada sepuluh, SD tersebut tidak jadi ditutup (Laskar Pelangi:7). Kesepuluh murid itu
adalah Ikal, Lintang, Mahar, Syahdan, A Kiong, Kucai, Borek alias Samson, Sahara,
Trapani, dan Harun. Mereka menamakan diri mereka Laskar Pelangi.
Selanjutnya, novel Laskar Pelangi menceritakan tentang kisah-kisah kehidupan
dan petualangan yang dialami oleh masing-masing anggota. Novel ini menceritakan
Lintang, seorang anak yang sangat pandai, tetapi terpaksa harus berhenti bersekolah
karena tidak ada biaya. Tokoh Mahar adalah seorang anak yang memunyai kecerdasan
luar biasa dalam bidang seni dan memunyai ketertarikan yang sangat besar terhadap
segala hal yang berbau mistis. Tokoh Ikal diceritakan sebagai seorang anak Melayu asli

yang jatuh cinta kepada A Ling, anak pedagang Tionghoa. Laskar Pelangi akhirnya
berhasil mengangkat nama SD Muhammadiyah yang selama ini selalu dianggap remeh
dalam acara karnaval 17 Agustus dan lomba cerdas cermat.
Novel ini juga mengangkat tokoh-tokoh yang peduli pendidikan, walaupun
dalam keterbatasan. Tokoh-tokoh tersebut adalah Bapak Harfan Effendy Noor dan Ibu
Muslimah Hafsari atau yang akrab dipanggil Bu Mus. Pak Harfan adalah kepala sekolah
SD Muhammadiyah. Dia telah puluhan tahun mengajar di sana nyaris tanpa imbalan apa
pun. Bu Mus merupakan seorang ibu guru yang mengabdikan hidupnya untuk mendidik
anak-anak walaupun langkah yang ditempuh tersebut tidak memberikan materi yang
mencukupi. Bu Mus juga menjadi sosok wanita lembut penuh kasih, tetapi bisa tegas
ketika anak-anaknya melenceng dari jalur. Dia memberikan kesempatan kepada anak
didiknya untuk berkembang seluas-luasnya.
Pada bagian kedua, kisah ini melompat dua belas tahun kemudian saat anggota
Laskar Pelangi telah menjadi sosok-sosok dewasa. Masing-masing menjalani suratan
hidupnya. Ada yang berhasil mencapai cita-citanya dan ada yang tidak terduga
lompatannya. Namun, ada juga yang menyerah pada nasib yang sudah tergambar jelas
sejak dahulu.
2. Pembahasan
Dalam novel Laskar Pelangi, Andrea banyak menggambarkan permasalahan
sosial yang dialami oleh masyarakat Belitong. Permasalahan-permasalahan sosial

tersebut, antara lain, pendidikan yang tidak memihak kepada orang miskin.
Permasalahan monopoli dan eksploitasi kekayaaan alam Pulau Belitong secara besarbesaran juga diangkat dalam novel tersebut. Eksploitasi tersebut tidak membawa
keuntungan bagi penduduk pribumi—penduduk yang sudah mendiami pulau itu secara
turun-temurun, tetapi hanya menguntungkan staf-staf PN Timah. Permasalahan sosial
yang lain adalah adanya kesenjangan sosial yang dalam antara orang kaya dan orang
miskin serta hubungan cinta antarras yang ditentang.
Tidak semua permasalahan sosial yang tercermin dalam Laskar Pelangi tersebut
dibahas dalam tulisan ini. Namun, penelitian kali ini hanya membahas masalah
pendidikan yang tidak memihak pada orang miskin serta monopoli dan eksploitasi
kekayaaan alam Pulau Belitong secara besar-besaran yang digambarkan dalam novel
tersebut.
2.1 Pendidikan yang Tidak Memihak Orang Miskin
Pendidikan merupakan tema utama yang diangkat dalam novel Laskar Pelangi.
Andrea menggambarkan bahwa pendidikan di negeri ini masih tidak berpihak pada orang
miskin. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih hidup dalam garis
kemiskinan, pendidikan adalah sesuatu yang harus dibayar mahal. Oleh karena itu,
Refleksi Kaum Marginal dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata…(Shintya)

79


pendidikan untuk anak-anak seringkali diabaikan. Bukan karena mereka tidak menyadari
pentingnya pendidikan, tetapi uang yang mereka dapatkan seringkali hanya cukup untuk
biaya makan sehari-hari. Akibatnya, anak-anak mereka yang seharusnya masih belum
cukup umur untuk bekerja seringkali dipaksa mencari nafkah untuk membantu
menghidupi keluarganya. Dengan menyekolahkan anak, itu berarti tertutupnya
kesempatan untuk mempekerjakan si anak secara penuh waktu demi membantu
mengurangi beban hidup yang semakin berat. Mereka enggan menyekolahkan anaknya,
selain karena alasan ekonomi, juga karena anggapan bahwa pendidikan tidak dapat
mengubah nasib mereka lebih baik.
Hal yang demikian ini terjadi juga di Belitong. Banyak orang tua yang
menyerahkan anak laki-lakinya pada pedagang pasar untuk menjadi tukang parut atau
pada juragan pantai untuk menjadi kuli kopra agar dapat membantu ekonomi keluarga.
Di kalangan bawah, menyekolahkan anak berarti mengikatkan diri pada beban biaya
yang harus ditanggung selama belasan tahun dan hal itu bukan perkara gampang bagi
mereka. Para orang tua itu sama sekali tak yakin bahwa pendidikan anaknya yang hanya
mampu mereka biayai paling tinggi sampai SMP akan dapat mempercerah masa depan
keluarga (Laskar Pelangi:2-3).
Di antara sekian banyak penduduk miskin di Belitong yang percaya bahwa
pendidikan bukanlah hak asasi, ayah Lintang tidak termasuk di dalamnya. Dia
menginginkan perubahan dan ia memutuskan anak laki-laki tertuanya, Lintang, untuk

bersekolah. Keluarga Lintang berasal dari Tanjung Kelumpang, desa yang sangat
terpencil di pinggir laut. Kampung pesisir itu secara geografis dapat dikatakan sebagai
wilayah paling timur di Sumatera, daerah minus nun jauh masuk ke pedalaman Pulau
Belitong.
Dikisahkan, Lintang adalah anak supergenius didikan alam, yang rumahnya
berjarak 40 km dari sekolah dan dilaluinya dengan bersepeda setiap hari tanpa mengeluh.
Jika kegiatan sekolah berlangsung sampai sore, ia akan tiba malam hari di rumahnya.
Kesulitan itu belum termasuk jalan yang tergenang air, ban sepeda yang bocor, dan
musim hujan dengan petir yang menyambar-nyambar. Bahkan, ketika suatu hari rantai
sepedanya putus, dia rela berjalan kaki menuntun sepedanya ke sekolah. Dia pun merasa
bahagia karena masih mendapat kesempatan ikut menyanyikan lagu Padamu Negeri
pada jam pelajaran berakhir (Laskar Pelangi:94). Keterbatasan itu tidak membuat
Lintang malas-malasan. Hari demi hari semangat Lintang bukan semakin pudar, tetapi
malah semakin kuat karena ia sangat mencintai sekolah. Jika tiba di rumah ia tak
langsung beristirahat, melainkan segera bergabung dengan anak-anak seusia di
kampungnya untuk bekerja sebagai kuli kopra (Laskar Pelangi:95). Lintang baru dapat
belajar jika keadaan sudah larut malam, saat semua anggota keluarganya sudah tidur,
sehingga tidak ada kegaduhan. Lintang berasal dari keluarga miskin dan lahir dari
keluarga yang selama ini buta huruf serta hanya bisa belajar dari buku-buku pinjaman.
Akan tetapi, ajaibnya, dia dianugerahi otak yang cerdas luar biasa. Andrea

mengungkapkannya dalam kutipan sebagai berikut.
… Pada setiap rangkaian kata yang ditulisnya secara acak-acakan
tersirat kecemerlangan pemikiran yang gilang-gemilang. Di balik
tubuhnya yang tak terawat, kotor, miskin, serta berbau hangus, dia
memiliki an absolutely beautiful mind. Ia adalah buah akal yang
jenih, bibit genius asli, yang lahir di sebuah tempat nun jauh di
pingir laut, dari sebuah keluarga yang tak satu pun bisa membaca
(Laskar Pelangi:109).
80 A LA Y A SA STRA , V ol. 4, Oktober 2008: 77–84

Namun, sayangnya, kecerdasan Lintang itu tidak didukung oleh keadaan
keluarganya yang miskin. Ayahnya hanya seorang nelayan yang penghasilannya tidak
menentu dan harus menanggung kehidupan empat belas orang dalam keluarganya.
Setelah ayahnya meninggal, Lintang terpaksa harus berhenti bersekolah. Selain karena
sudah tidak ada lagi biaya, Lintang harus menggantikan tanggung jawab ayahnya untuk
mencari nafkah. Seorang anak laki-laki tertua keluarga pesisir miskin yang ditinggal mati
ayah harus menanggung nafkah ibu, banyak adik, kakek-nenek, dan paman-paman yang
tidak berdaya. Kematian ayahnya juga telah mengubur harapan Lintang untuk
menggapai cita-citanya. Tragedi itu terjadi hanya kurang empat bulan Lintang
menempuh ujian kelulusan SMP-nya (Laskar Pelangi:430).

Berhentinya Lintang dari sekolah sangat disesali oleh guru sekolah dan anggota
Laskar Pelangi lainnya. Penyesalan mereka disebabkan mereka tahu bahwa Lintang anak
yang sangat cerdas. Kecerdasannya itu layak mendapat kesempatan untuk
dikembangkan. Lintang bisa meraih hal-hal yang luar biasa jika ada kesempatan dan
bantuan baginya. Seorang anak yang sangat cerdas, seperti Lintang, tidak seharusnya
putus sekolah karena alasan ekonomi. Ironisnya, Lintang merupakan salah satu penduduk
Pulau Belitong yang terkenal akan kekayaan timahnya. Sebagai pulau yang kaya akan
bahan tambang, seharusnya tidak ada seorang pun penduduknya yang hidup dalam
keadaan kekurangan. Kesedihan itu diungkapkan dalam kutipan berikut.
Lintang seumpama bintang dalam rasi Cassiopeia yang meledak dini
hari ketika menyentuh atmosfer. Ketika orang-orang masih lelap
tertidur. Cahaya ledakannya menerangi angkasa raya, memberi
terang bagi kecemerlangan pikiran tanpa seorang pun tahu, tanpa ada
yang peduli. Bagai meteor pijar ia berkelana sendirian ke planetplanet pengetahuan, lalu kelipnya meredup dalam hitungan mundur
dan hari ini ia padam, tepat empat bulan sebelum ia menyelesaikan
SMP. Aku merasa amat pedih karena seorang anak supergenius,
penduduk asli sebuah pulau terkaya di Indonesia harus berhenti
sekolah karena kekurangan biaya. Hari ini, seekor tikus kecil mati
di lumbung padi yang berlimpah ruah (Laskar Pelangi:432).
“Hari ini, seekor tikus kecil mati di lumbung padi yang berlimpah ruah”, itulah

perumpamaan yang diungkapkan oleh Andrea untuk menggambarkan keadaan Lintang
yang memprihatinkan. “Tikus kecil” sebagai gambaran makhluk kecil yang tidak
berdaya, yang hidupnya selalu dikejar-kejar manusia untuk dibunuh, karena dianggap
kotor, pembawa penyakit, rakus, dan menjijikkan. “Tikus kecil” disamakan dengan
Lintang yang berasal dari keluarga yang miskin. Sementara itu, “lumbung padi yang
berlimpah ruah” merupakan gambaran Pulau Belitong yang berlimpah kekayaan alam
berupa timah yang menjadi sumber devisa bagi Indonesia.
Inti cerita tersebut adalah kekecewaan Andrea terhadap pupusnya nasib sahabat
sekaligus saingannya di kelas. Padahal, Lintang paling cerdas dan amat mungkin bisa
memberikan sesuatu yang berguna bagi negeri ini jika saja ia melanjutkan sekolahnya.
Kekecewaan Andrea terasa lebih berat karena ia juga menyadari bahwa ia tidak dapat
berbuat apa-apa untuk menolong Lintang. Mereka berdua berasal dari keluarga yang
sama-sama miskin, yang akhirnya hanya bisa pasrah menerima kekalahan mereka. Hal
tersebut tampak dalam kutipan berikut.

Refleksi Kaum Marginal dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata…(Shintya)

81

Inilah kisah klasik tentang anak pintar dari keluarga melarat. …,
karena kehilangan Lintang adalah kesia-siaan yang mahabesar. Ini
tidak adil. Aku benci pada mereka yang berpesta pora di Gedong
dan aku benci pada diriku sendiri yang tak berdaya menolong
Lintang karena keluarga kami sendiri melarat dan orangtuaorangtua kami harus berjuang setiap hari untuk sekadar menyambung
hidup (Laskar Pelangi:432-433).
Dua belas tahun kemudian, dikisahkan Lintang bekerja sebagai sopir tronton.
Keadaannya sangat menyedihkan. Ia kotor, miskin, hidup membujang, dan kurang gizi.
Dari wajahnya terlihat jelas bahwa ia kelelahan melawan nasib. Lengannya kaku seperti
besi karena kerja rodi, tubuhnya kurus dan ringkih. Lintang dalam kondisi tersebut
menimbulkan rasa iba karena kecerdasannya yang terbuang sia-sia (Laskar Pelangi:468).
Andrea lewat novel Laskar Pelangi mengkritik bahwa sebenarnya banyak anak
cerdas, tetapi tidak bisa bersekolah karena ketiadaan biaya. Sementara itu, di lain pihak
ada yang didukung dengan banyak fasilitas, tetapi tidak dimanfaatkan fasilitas tersebut
dengan maksimal. Mereka ini biasanya bersekolah hanya untuk formalitas, tidak benarbenar mencintai ilmu. Mereka cenderung bermalas-malasan, tidak mau belajar keras, dan
menempuh jalan pintas untuk mendapatkan nilai baik. Andrea menyatakan bahwa orangorang cerdas seperti Lintanglah yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah agar
mereka dapat mengembangkan potensi dirinya setinggi-tingginya. Kritik Andrea
terhadap kontradiksi tersebut terungkap dalam dua kutipan sebagai berikut.
Mungkin ia lebih berhak hilir mudik ke luar negeri, mendapat
beasiswa bergengsi, dibanding begitu banyak mereka yang
mengaku dirinya intelektual tapi tak lebih dari ilmuwan tanggung
tanpa kontribusi apa pun selain tugas-tugas akhir dan nilai-nilai
ujuan untuk dirinya sendiri (Laskar Pelangi:471).
Dan kata-kata itu semakin menghancurkan hatiku, maka sekarang
aku marah, aku kecewa pada kenyataan begitu banyak anak pintar
yang harus berhenti sekolah karena alasan ekonomi. Aku
mengutuki orang-orang bodoh sok pintar yang menyombongkan
diri, dan anak-anak orang kaya yang menyia-nyiakan kesempatan
pendidikan (Laskar Pelangi:472).
Dalam novel Laskar Pelangi, Lintang bukanlah satu-satunya tokoh pandai yang
mengalami nasib buruk. Mahar, seorang tokoh yang sangat cerdas dalam bidang seni,
juga tidak bisa mengembangkan potensi dirinya karena dia juga harus menggantikan
peran ayahnya dalam keluarga.
Ia hanya berijazah SMA. Nasibnya seperti Lintang. Mereka adalah
dua orang genius yang kemampuannya dinisbikan secara paksa
oleh tuntutan tanggung jawab pada keluarga. Mahar tak bisa
meninggalkan rumah untuk berkiprah di lingkungan yang lebih
mendukung bakatnya sejak ibunya sakit-sakitan karena tua.
Sebagai anak tunggal ia harus merawat ibunya siang malam karena
ayahnya telah meninggal (Laskar Pelangi:476).

82 A LA Y A SA STRA , V ol. 4, Oktober 2008: 77–84

Permasalahan pendidikan yang digambarkan Andrea dalam Laskar Pelangi
ternyata masih faktual dan relevan dengan keadaan masyarakat sekarang. Sistem
sosiokultural dan pendidikan negeri ini telah membuat seorang anak cerdas tetapi miskin
tidak dapat memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi setinggi-tingginya. Kita
sering mendengar bahwa ada orang tua yang bersedia membayar uang masuk sekolah
dengan harga tinggi agar anaknya dapat diterima di sekolah yang diinginkan. Mereka
menempuh segala macam cara untuk mengejar gengsi supaya anaknya diterima di
sekolah favorit. Padahal, sebenarnya kemampuan akademis anaknya tidak memenuhi jika
disekolahkan di sekolah favorit tersebut. Yang paling memprihatinkan adalah jika yang
menjadi standar masuk sekolah bukan lagi kemampuan akademik siswa, tetapi sebesar
apa kemampuan mereka membayar uang sekolah. Pendidikan ditempuh bukan lantaran
cinta dengan ilmu pengetahuan, tetapi keinginan untuk menembus level sosial yang lebih
tinggi. Akhirnya yang menjadi korban dalam sistem tersebut adalah anak-anak cerdas,
tetapi memunyai keterbatasan ekonomi. Anak-anak ini akhirnya akan mengalami nasib
yang sama dengan Lintang. Padahal, mereka juga berhak mengenyam pendidikan
setinggi-tingginya sesuai dengan kecerdasan yang mereka miliki.
2.2 Monopoli dan Eksploitasi Kekayaan Alam yang Berlebihan
Laskar Pelangi juga menceritakan eksploitasi besar-besaran kekayaan alam
Pulau Belitong. Kekayaan alam Pulau Belitong tersebut berupa timah. Timah-timah ini
dikelola dan dimonopoli oleh Perusahaan Negara Timah (PN Timah). PN Timah
merupakan perusahaan penghasil timah nasional terbesar yang memunyai tenaga kerja
sekitar 14.000 orang. Ia menyerap hampir seluruh angkatan kerja di Belitong dan
menghasilkan devisa jutaan dolar. PN Timah telah menjelma menjadi penguasa tunggal
Pulau Belitong. Lahan eksploitasinya tak terbatas. Lahan itu secara ketat dimonopoli.
Kekuasaan monopoli tersebut didapatkan dengan cara membayar royalti—lebih pas
disebut upeti—miliaran rupiah kepada pemerintah. PN Timah mengoperasikan 16 unit
kapal keruk. Kapal-kapal keruk dengan 150 buah mangkuk-mangkuk baja raksasa ini
baik siang maupun malam terus menggali timah, merambah laut, sungai, dan rawa-rawa.
PN Timah menjadikan Belitong menjadi sumber devisa dengan aset triliunan rupiah
(Laskar Pelangi:39).
Kekayaan alam Pulau Belitong yang berlimpah ini tidak otomatis membuat
penduduk pribumi menjadi makmur. Mereka tetap hidup dalam garis kemiskinan. Hal ini
disebabkan seluruh kekayaan alam Pulau Belitong dikuasai oleh PN Timah. Warga
pribumi tidak diperbolehkan untuk mengambil kekayaan alam tersebut tanpa seizin PN
Timah. Mereka tidak bisa menggali timah di mana pun mereka suka karena seluruh lahan
telah menjadi milik tunggal PN Timah. Dengan demikian, kekayaan itu hanya dinikmati
oleh staf-staf PN Timah. Penduduk asli Melayu Belitong bagaikan sekawanan tikus yang
paceklik di lumbung padi (Laskar Pelangi:39).
Cerita yang dipaparkan oleh Andrea tentang eksploitasi kekayaan alam besarbesaran oleh perusahaan tertentu dalam kenyataannya tidak saja ditemukan di Pulau
Belitong. Kenyataan tersebut masih dapat ditemui di Tembagapura, Papua, yang terkenal
dengan kekayaan alam tembaga. Walaupun berlimpah kekayaan alam dan menghasilkan
devisa jutaan dolar, warga pribumi juga masih hidup dalam keterbelakangan. Kondisi
tersebut selain di Tembagapura, mungkin masih dapat ditemukan juga di berbagai daerah
pelosok Aceh hingga Timika. Namun, selama ini jarang ada yang mengungkapkan secara
terbuka. Novel Laskar Pelangi dapat menjadi cermin keadaan masyarakat pribumi di
mana saja yang kekayaan alamnya dieksploitasi habis-habisan.
Refleksi Kaum Marginal dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata…(Shintya)

83

3. Penutup
Melalui novel Laskar Pelangi, dapat diungkap banyak hal. Nilai-nilai
persahabatan tercermin dalam keakraban dan kesetiaan kesepuluh anak yang tergabung
dalam Laskar Pelangi. Pelajaran penting lain yang dapat diambil adalah kerja keras dan
perjuangan, kerja keras untuk memperoleh pendidikan, kerja keras untuk menggapai
cinta, walaupun akhirnya kita hanya berpasrah pada Tuhan. Novel tersebut juga menguak
masih banyaknya anak cerdas yang terpaksa harus putus sekolah karena ketiadaan biaya.
Masih banyak anak yang memunyai kecerdasan luar biasa, tetapi terbuang sia-sia. Kita
yang kebetulan dianugerahi hidup dalam kecukupan diajar untuk berbagi dan membantu
mereka yang mengalami nasib ini. Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional
harus mampu menyentuh anak-anak ini.
Laskar Pelangi juga memberi makna bagaimana seharusnya mengolah kekayaan
alam dengan baik tanpa menimbulkan kesenjangan sosial yang dalam antara pemilik
modal dan penduduk pribumi. Jangan sampai penduduk pribumi yang kekayaan
alammya telah diambil habis tidak ikut merasakan kemajuan dan kesejahteraan atas
kekayaan alam tersebut. Jangan hanya kaum pengusaha yang berlimpah dengan
keuntungan, tetapi keuntungan itu juga harus dibagi dengan penduduk pribumi yang
seharusnya berhak ikut merasakannya.
Andrea lewat novel Laskar Pelangi mampu merefleksikan kondisi dan situasi
yang nyata dan benar-benar terjadi di masyarakat. Kemiskinan, ketidakadilan,
keserakahan, dan perjuangan hidup yang diungkapkan dalam novel tersebut akan selalu
terjadi di mana saja dan kapan saja. Tinggal bagaimana pembaca dapat belajar dan
memetik hikmah dari novel tersebut. Dari hal itulah kita berharap perubahan besar dapat
terwujud.

DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori,
dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Hirata, Andrea. 2006. Laskar Pelangi. Yogyakarta: Bentang.
Jassin, H. B. 1991. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: CV Haji Masagung.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: Dari
Strukturalisme Hingga Postrutkturalisme Perspektif Wacana Naratif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://www.jonru.net/laskar-pelangi-di-mataku-41k, diunduh pada 10 Juli 2008.
http://www.qyu.blogspot.com/2005/12/laskar-pelangi.html-37k, diunduh pada 11 Juli
2008.

84 A LA Y A SA STRA , V ol. 4, Oktober 2008: 77–84