72482906 RUTINITAS MEDIA DAN PEMBENTUKAN NEWS JUDGEMENT SEORANG JURNALIS

RUTINITAS MEDIA
DAN
PEMBENTUKAN NEW S JUDGEMENT SEORANG JURNALIS

MAKALAH AKHIR:
Seminar Sosiologi Media

Instructor : Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, MA.

Penulis:
Adi Wibowo Octavianto
(0806439171)

Program Pascasarjana Departemen Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia
Juni 2009

ABSTRAK
Terdapat perdebatan antara para praktisi jurnalis dengan ilmuwan sosial
berkenaan dengan netralitas kegiatan jurnalistik. Para ilmuwan meyakini bahwa

berita merupakan hasil konstruksi jurnalis dan itu terkait dengan cara pandang
jurnalis tentang dunia dan aktivitas jurnalistk itu sendiri, karenanya berita
memiliki kandungan subjektivitas yang cukup tinggi. Sementara jurnalis menolak
bahwa berita merupakan hasil konstruksi atau rekayasa, karena jurnalis hanya
melaporkan fakta apa adanya saja. Program berita di ANTV merupakan salah satu
contoh hasil karya para jurnalis yang dapat kita jadikan referensi untuk
mengamati perdebatan ini lebih lanjut.
Pada level mikro, keputusan untuk memilih, memilah dan menonjolkan data
dan fakta dalam suatu berita, itu berada di tangan reporter lapangan. Melalui kasus
salah seorang reporter ANTV, penelitian ini akan mempertanyakan, “Bagaimana
rutinitas media membentuk news judment reporter dalam menghasilkan karya
jurnalistik?” Pertanyaan turunan untuk mengeksplorasinya adalah: 1) Bagaimana
suatu peristiwa menjadi berita? 2) Bagaimana reporter merespon rutinitas media?
3) Bagaimana konten dipengaruhi oleh kepemilikan media?
Produksi berita di stasiun televisi melibatkan kerjasama tim yang cukup
kompleks. Karenanya terjadi interaksi dan tawar-menawar di dalam organisasi
mengenai pemahaman tentang objektivitas dan standar kualitas karya jurnalistik
televisi. Tesis makalah ini adalah: Jurnalis bekerja dalam kerangka ilusi mengenai
objektivitas dan pandangan normatif mengenai kerja jurnalistik, ilusi tersebut
terbentuk melalui rutinitas organisasi berita yang bersangkutan.

Makalah ini menggunakan pandangan teoretis Shoemaker yang melihat
bahwa media membentuk rutinitas-rutinitas untuk mengatasi dan beradaptasi
dengan keterbatasan-keterbatasan fisik dalam merespon banjir peristiwa dalam
realitas sebenarnya. Rutinitas ini kemudian membatasi kemampuan jurnalis untuk
melihat dunia secara utuh (Shoemaker & Reese, 1996).
Penelitian ini akan membedah rutinitas media terutama yang berkaitan
dengan; pandangan tentang nilai berita, prosedur kerja, nilai ekslusif berita,
hubungan dengan jurnalis dari media lain, hubungan dengan nara sumber.
Rutinitas media tersebut kemudian akan dicari kaitannya dengan news judgment
jurnalis dalam proses produksi berita. Data diperoleh melalui wawancara terhadap
seorang reporter ANTV.
Analisis penelitian akan mengungkapkan bahwa rutinitas media seperti
yang dikatakan Shoemaker memang mempengaruhi news judgment jurnalis dalam
menghasilkan karya jurnalistiknya. Pandangan seorang jurnalis mengenai apa itu
objektivitas, nilai berita, dan nara sumber akan terbentuk berdasarkan rutinitas
media tempat dimana jurnalis itu bekerja.
Objektivitas telah lama menjadi unsur terpenting dalam aktivitas
jurnalistik. Penelitian ini menunjukkan bahwa objektivitas dalam paham
jurnalisme klasik sulit dicapai, sebab cara pandang tentang objektivitas pun
terbentuk secara subjektif melalui salah satu diantaranya, rutinitas media.

Karenanya sebagai konsumen berita kita harus menyadari bahwa bagaimana pun
media berusaha untuk tidak memihak dan objektif, tetap saja akan terjadi bias
dalam pemberitaan yang dimaksud.



PENDAHULUAN
Suatu berita harus objektif dan tidak memihak. Setiap mahasiswa
jurnalistik dan para calon wartawan selalu diperkenalkan pada prinsip dasar
jurnalistik tersebut. Berita, sebagai karya jurnalistik bukan hanya pemaparan fakta
dan informasi, lebih dari itu, berita adalah informasi yang mempengaruhi
kehidupan kita. Cara kita membuat keputusan dan menjalani hidup, sedikit banyak
dipengaruhi oleh berita-berita yang kita konsumsi melalui media massa. Karena
itu lah berita harus dipresentasikan tanpa sudut pandang tertentu. Tujuan
departemen media semata-mata adalah memberikan informasi yang objektif
(Keller & Hawkins, 2002; p.2).
Objektif artinya memeriksa fakta atau peristiwa tanpa melibatkan
campurtangan perasaan atau opini. Sebenarnya objektivitas mungkin saja mustahil
dicapai, namun reporter yang bertanggung jawab harus mencoba sebisanya agar
bias dan keyakinan personal tidak masuk dalam berita yang dibuatnya (Keller &

Hawkins, 2002; p.6).
Sebagai hasil dari indoktrinasi mengenai pentingnya objektivitas tersebut,
pada tataran praktis sebagian besar para jurnalis percaya bahwa konten media
sebagai produk aktivitas jurnalisme adalah bebas nilai. Berita dipercaya
merupakan laporan faktual mengenai realitas yang tidak memihak dan bebas dari
bias personal.
Namun kalangan ilmuwan seperti James Curran, Gurevitch, Shoemaker
dan lainnya memiliki pendapat yang berbeda. Berita merupakan hasil konstruksi
jurnalis sesuai dengan nilai personal dan nilai-nilai sosial yang berpengaruh di
sekitarnya (Scudson, 1992). Lebih jauh dari itu Shoemaker mengemukakan bahwa



upaya media dalam mengatasi keterbatasan sumber daya produksi, organisasi
media akan membentuk rutinitas kerja yang kemudian akan berpengaruh pada
definisi dan cara pandang jurnalis terhadap apa yang disebut sebagai berita dan
apa yang dianggap sebagai aktivitas jurnalistik. Ini berarti pandangan mengenai
objektivitas dan bagaimana sebaiknya berita dipresentasikan pada masyarakat
sebenarnya turut dibentuk oleh rutinitas media (Shoemaker & Reese, 1996).
Perbedaan pendapat antara para praktisi jurnalis dan ilmuwan sosial ini lah

yang melatarbelakangi eksplorasi masalah dalam makalah ini. Pertanyaan
penelitian yang akan dicari jawabannya adalah: ““Bagaimana rutinitas media
membentuk news judment reporter dalam menghasilkan karya jurnalistik?”
Pertanyaan turunan untuk mengeksplorasinya adalah: 1) Bagaimana suatu
peristiwa menjadi berita? 2) Bagaimana reporter merespon rutinitas media? 3)
Bagaimana konten dipengaruhi oleh kepemilikan media?
Tesis makalah ini dengan demikian adalah: “Jurnalis bekerja dalam
kerangka ilusi mengenai objektivitas dan pandangan normatif mengenai kerja
jurnalistik, ilusi tersebut terbentuk melalui rutinitas organisasi berita yang
bersangkutan”.



PEMBAHASAN
Kerangka Teori dan Metodologi
Gieber (1964), Fishman (1980), Cohen and Young (1973) mewakili suarasuara ilmuwan sosial lain yang menyebutkan bahwa jurnalis sebenarnya
membangun berita, membuat berita, membangun realitas sosial melalui beritaberita yang dibuatnya. Tentu saja argumen itu dibantah para jurnalis dengan
argumen klasik bahwa jurnalis pada dasarnya hanya melaporkan fakta
sebagaimana adanya. Bias dalam pemberitaan sesekali ada, namun jurnalis yang
bertanggung jawab tidak akan pernah memalsukan berita. Ilmuwan kemudian

menegaskan bahwa yang dimaksud tentu saja bukan memalsukan berita,
melainkan membuat berita.
Kajian terhadap produksi berita telah lama dilakukan. Max Weber
(1921,1946), Robert Park (1923), Helen MacGill Hughes (1940) telah
menyinggung permasalahan ini. Namun penelitian formal tentang bagaimana
organisasi berita menghasilkan produk-produk berita, diawali oleh penelitian
mengenai gatekeepers (1950-an).
Istilah gatekeeper dipercaya disebutkan pertama kali oleh Kurt Lewin,
kemudian beberapa ilmuwan sosial menggunakannya dalam dunia jurnalistik.
David Manning White berupaya mengetahui latar belakang pemilihan suatu berita
dengan cara mengamati seorang editor surat kabar yang disebutnya sebagai Mr
Gates. Mr Gates mengakui selain dari penolakan yang didorong alasan teknis,
seperti; tidak cukup tempat atau gaya tulisan yang membosankan. Penolakan
terhadap topik berita mungkin saja dipengaruhi oleh ketidaksukaannya terhadap



beberapa isu. White menyimpulkan temuan ini sebagai tanda bahwa berita sangat
tergantung pada subjektivitas dan referensi pengalaman gatekeeper-nya.
Walter Gieber melakukan penelitian ulang terhadap 16 editor, hasilnya

mengejutkan, ternyata semua editor tersebut pada dasarnya memilih berita dengan
cara yang sama. Pemilihan lebih didasarkan pada tekanan mekanis, lebih
terpengaruh pada tujuan-tujuan produksi, rutinitas birokrasi dan hubungan
interpersonal dalam newsroom.
Kedua penelitian tadi menunjukkan bahwa berita tidak sekedar dipilih
namun secara sosial dikonstruksikan, dan model gatekeeper tidak cukup untuk
menunjukkan proses itu. Secara sosial, industri media dan masyarakat membentuk
kategori yang harus dipenuhi agar suatu cerita dapat disebut berita.
Untuk melihat proses produksi berita lebih mendalam, Curran dan
Gurevitch menawarkan tiga perspektif yaitu: ekonomi-politik, sosiologi, dan
culturological (antrapologi).

Ekonomi-Politik Berita
Menurut Curran, perspektif ekonomi-politik sering diarahkan sebagai
bentuk teori konspirasi, dimana secara sederhana disebutkan banwa terdapat suatu
kelompok penguasa dalam kelas kapitalis yang mendiktekan kepada editor dan
reporter mengenai apa yang seharusnya dimuat pada suratkabar yang mereka
kelola. Kritik Curran terhadap perspektif ini adalah terlalu sederhana dan
mengabaikan fakta yag teramati bahwa para reporter seringkali memulai peliputan
atas inisiatif sendiri, dll.




Pertanyaan lain terhadap perspektif ini adalah, “jika berita digerakan oleh
kekuatan ekonomi-politik, mengapa dalam pemberitaan sering pula ditemukan
kritik terhadap dominasi ekonomi dan politik di wilayah itu?” Curran menyoroti
dalam wilayah-wilayah liberal organisasi berita cenderung lebih bebas dari
kendali politik sementara di negara-negara otoriter kebebasannya lebih terkekang.
Namun Daniel Hallin kemudian mengajuan suatu argumen menarik, media harus
menjaga integritas dan kredibilitas mereka, jika tidak, media akan gagal berfungsi
sebagai institusi ideologi dominan. Itu sebabnya media sering juga menampilkan
kritik terhadap sudut pandang ekonomi-politik yang dominan.

Organisasi Sosial Kerja Pemberitaan
Perspektif ini memandang bahwa keluaran berita lebih banyak dipengaruhi
oleh nilai-nilai dan rutinitas organisasi media yang bersangkutan. Jurnalis sebagai
individu secara perlahan, sadar atau tidak, akan menyesuaikan diri dengan
tuntutan organisasi berita tempat ia bekerja. Landasan pendekatan ini adalah;
pembatasan didorong oleh organisasi daripada oleh dorongan individu, kosntruksi
sosial tidak dapat dihindari. Apa yang disebut fakta oleh para jurnalis, dianggap

sebagai konstruksi sosial yang membentuk konvensi tentang apa yang dapat
disebut sebagai fakta dan apa yang tidak.

Pendekatan Culturological
Jika dalam perspektif organisasi, berita merupakan hasil determinasi
antara orang-orang dalam organisasi, maka culturological beranggapan bahwa
berita merupakan hasil determinasi simbol-simbol budaya. Agak sulit memang



membedakan keduanya, namun culturological merupakan perspektif yang bersifat
historis, yaitu ketika suatu masyarakat secara perlahan membangun nilai, praktek
sosial dan simbol-simbol budaya lain yang pada akhirnya akan menjadi acuan
untuk menentukan mana berita dan mana yang bukan. Dalam konteks ini realitas
yang dibangun oleh para jurnalis bukan hanya mengenai versi dan visi tentang
dunia tetapi juga tentang jurnalisme itu sendiri.

Rutinitas Organisasi Berita
Shoemaker menganalogikan organisasi dengan orang, yang selalu
membentuk pola, kebiasaan, dan cara-cara untuk melakukan sesuatu. Organisasi

media dengan demikian harus menemukan cara-cara efektif dalam mengumpulkan
dan mengevaluasi bahan mentah yang dimilikinya. Rutinitas semacam itu telah
menjadi bagian dari bisnis berita.
A. Studi Terhadap Mr.Gates
Seperti juga telah disebutkan dalam buku Curran, Shoemaker pun
menyinggung kajian terhadap gatekeeper yang diidentifikasikan sebagai Mr.
Gates. Studi David Manning White ini memang lebih terfokus pada individu
daripada news judgement yang menjadi rutin. Namun demikian kita dapat
menemukan banyak indikasi adanya batasan-batasan rutinitas dalam berbagai
pertimbangan Mr. Gates. Misalnya, Mr. Gates cenderung memilih berita-berita
yang sejalan dengan kebijakan editorial suratkabarnya. Bahkan pengamatan
lanjutan yang dilakukan oleh Walter Gieber (1960) terhadap 16 suratkabar, hanya
menemukan perbedaan kecil saja dalam hal pemilihan dan pemaparan berita.
Gieber menyimpulkan bahwa para editor 16 surat kabar tersebut memiliki



rutinitas tekanan birokratik yang sama.
Beberapa tahun terakhir ini ilmuwan menitikberatkan kajian pada lingkaran
batasan-batasan yang ada disekitar Mr. Gates. Perspektif seperti ini didorong pula

oleh adanya kemiripan agenda berita diantara media-media, walaupun setiap
media mempekerjakan gatekeeper masing-masing. Analisis ulang data penelitian
White oleh Hirsch (1977) menunjukkan bahwa Mr. Gates mengikuti proporsi
pemberitaan yang sama dengan proporsi berita yang datang dari kantor berita
langganan suratkabarnya. Penelitian lebih jauh oleh Whitney dan Becker (1982)
menunjukkan bahwa jika editor mendapat masukan berita dari kantor berita
dengan proporsi yang bervariasi, editor cenderung akan mengikuti proporsi
tersebut. Namun manakala editor mendapat asupan berita dari kantor berita
dengan proporsi berita yang sama, barulah editor menggunakan pertimbangan
subjektif untuk menentukan proporsinya sendiri.
B. Rutinitas dan Organisasi
Kantor berita mungkin saja membatasi pilihan editor, namun ini juga berarti
jaminan bahwa suratkabar akan selalu mendapat masukan berita-berita yang
terjamin kualitasnya. Organisasi media berita adalah organisasi yang kompleks
dan menghadapi deadline terus menerus. Organisasi ini harus bersikap rasional
dengan membuat suatu sistem yang mempermudah organisasi dalam merespon
berbagai peristiwa tidak terduga yang terjadi di dunia setiap harinya. Berbagai
peristiwa tidak terduga tersebut harus dapat dikategorikan, diurutkan, dan
diklasifikasikan berdasarkan kelayakan untuk dikejar sebagai berita.
Banyak rutinitas media dirancang untuk mengatasi batasan-batasan fisik.
Seperti ruang media misalnya, sangat terbatas sementara banyak peristiwa terjadi



sekaligus dan banyak diantaranya mengandung nilai berita. Walaupun terbatas,
ruang berita biasanya memiliki format yang tetap. Siaran berita seperti “Topik
Petang” memiliki durasi sekitar 24 menit (tanpa iklan) setiap harinya. Batasan
lainnya adalah waktu, yaitu deadline ketat yang mengharuskan jurnalis untuk
berhenti menggali informasi di titik tertentu dan mulai menyusun berita.
Intinya:
Rutinitas memiliki dampak yang penting dalam produksi konten media.
Rutinitas membentuk lingkungan yang akrab, tempat pekerja media menjalankan
tugas-tugasnya.
Media

membentuk

berbagai

rutinitas

untuk

mengatasi

berbagai

keterbatasan. Keterbatasan itu terkait dengan ruang media, batas waktu, dan
akurasi informasi. Beberapa hal yang terbentuk melalui rutinitas media antara
lain; pandangan mengenai apa itu berita dan nilai berita, hubungan diantara
jurnalis dan media lain, ekslusivitas berita, dan pandangan mengenai sumbersumber berita/nara sumber.

Tentang Nilai Berita
Kelayakan suatu peristiwa untuk diangkat menjadi berita dalam media
massa ditentukan berdasarkan judgment jurnalis dan media terhadap nilai berita
yang terkandung dalam peristiwa tersebut. Setiap jurnalis atau media biasanya
memiliki prioritas nilai berita yang berbeda sesuai dengan karakteristik media atau
personal value jurnalis yang bersangkutan.
Adapun yang dimaksud dengan nilai berita, dapat dibagi berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan berikut (Keller, 2002):



• Konflik: apakah peristiwa tersebut mengandung unsur konflik atau
pertentangan antara dua atau lebih pihak? Ketegangan yang
ditimbulkan dalam suatu konflik selalu menjadi daya tarik bagi
manusia. Itu sebabnya konflik menjadi suatu nilai berita yang harus
dipertimbangkan.
• Unik atau tidak biasa: sesuatu yang unik atau tidak biasa, diluar
kenormalan selalu menarik perhatian manusia. Suatu peristiwa yang
mengandung keunikan bisa dikatakan memiliki nilai berita ini. Unik
mungkin dapat tergambar dari ungkapan, “anjing menggigit orang
bukan berita, orang menggigit anjing baru itu berita.”
• Prominance: figur-figur terkenal dalam suatu peristiwa menjadi suatu
nilai berita yang layak dipertimbangkan. Hal-hal yang biasa seperti
pergi ke pasar, dapat menjadi berita yang luar biasa jika dilakukan
oleh sosok terkenal seperti artis atau presiden.
• Impact: semakin besar dampak suatu peristiwa bagi suatu masyarakat,
maka semakin besar pula nilai berita yang terkandung dalam peristiwa
tersebut. Peristiwa naik atau turunnya harga bahan bakar misalnya,
menjadi berita karena banyak orang yang terpengaruh oleh peristiwa
itu.
• Nilai berita lain yang layak dipertimbangkan adalah proximity
(kedekatan geografis atau psikologis) dengan audiens. Suatu peristiwa
yang terjadi di lingkungan tinggal audiens akan mendapat lebih
banyak perhatian dibandingkan dengan peristiwa di tempat yang jauh.
Peristiwa yang melibatkan sesuatu yang memiliki ikatan atau

10 

kedekatan emosional biasanya lebih menarik perhatian dibandingkan
dengan peristiwa yang tidak ada kaitannya langsung dengan
kehiduoan audiens.
• Human interest artinya suatu peristiwa mampu menggerakan emosi
audiens yang mengetahui peristiwa tersebut. Peristiwa-peristiwa
mengenai keberhasilan perjuangan berat orang lain merupakan contoh
peristiwa yang memiliki nilai human interest.

Kerangka Metodologi
Penelitian makalah ini akan mengeksplorasi data kualitatif yang diperoleh
melalui wawancara mendalam terhadap seorang reporter televisi untuk membedah
rutinitas media terutama yang berkaitan dengan; pandangan tentang nilai berita,
prosedur kerja, nilai ekslusif berita, hubungan dengan jurnalis dari media lain,
hubungan dengan nara sumber. Pola rutinitas media tersebut kemudian akan dicari
kaitannya terhadap news judgment jurnalis dalam proses produksi berita.
Pemilihan informan dalam penelitian ini dilakukan secara purposif dan
convenient. Informan dipilih karena telah cukup lama menjalani profesi sebagai
reporter televisi, sekaligus mudah diakses oleh peneliti.
Informan bernama Abie Besman, telah menjadi jurnalis televisi di stasiun
ANTV semenjak Maret 2005. Latar belakang pendidikan informan adalah S1
Ilmu Komunikasi pada program studi Jurnalistik. Pengalaman liputan informan
cukup kaya, termasuk diantaranya peliputan kerusuhan Poso. Pemilihan informan
yang berkerja sebagai reporter televisi di ANTV dianggap akan menghasilkan
temuan yang menarik, mengingat ANTV dimiliki oleh Group Perusahaan Bakrie.

11

Group ini memiliki anak perusahaan, yaitu Lapindo Brantas yang sampai saat ini
masih menghadapi masalah serius terkait dengan bencana lumpur di Sidoarjo.
Bencana ini menjadi topik pemberitaan nasional. Menarik untuk menggali
bagaimana rutinitas kebijakan berita yang terbentuk di ANTV sehubungan dengan
isu-isu yang terkait dengan kepentingan Group Bakrie.
Data-data yang diperoleh dari informan melalui wawancara mendalam
akan diolah dan dianalisis dengan metode narasi, yaitu metode yang memaparkan
temuan penelitian dalam suatu alur penuturan yang runut dan membentuk tema
tertentu.
 
Pembahasan dan Analisis 
Departemen  berita  di  ANTV  mengelola  peliputan  berdasarkan  desk 
yang  ada,  misalnya;  ekonomi,  politik,  hukum,  dan  sebagainya.  Setiap  hari 
para jurnalis dibagi dalam 4 shift kerja, yaitu; pagi, siang, malam, dan subuh. 
Masing‐masing  shift  diawali  oleh  rapat  redaksi  yang  dipimpin  oleh 
koordinator liputan (koorlip).  
Peliputan  tim  Electronic  News  Gathering  (ENG)  dapat  berdasarkan 
penugasan  dari  koorlip  atau  atas  inisiatif  usulan  reporter.  Sebagian  besar 
liputan, yaitu sekitar 75 % adalah penugasan dari koorlip. 
Semua  peliputan  berita  lazimnya  disesuaikan  dengan  hasil  rapat 
agenda setting. Rapat agenda setting adalah rapat antara Pemimpin Redaksi  
(pemred)  dengan  para  produser  untuk  menentukan;  news  topics  of  the  day, 
apa yang mau digali, dan angle liputan. Rapat ini diadakan rutin baik secara 
harian  maupun  mingguan.  Rapat  harian  diadakan  sejam  sebelum 

12 

pemberangkatan  tim  liputan,  sementara  rapat  mingguan  diadakan  setiap 
Rabu. 
Menurut  informan,  kebijakan  pemberitaan  ANTV  lebih  banyak 
memprioritaskan pelaporan peristiwa dibandingkan mengangkat isu. Tema‐
tema  sosial  dan  politik  biasanya  diutamakan  dibandingkan  ekonomi  dan 
lingkungan  hidup.  Nilai  berita  yang  menjadi  pedoman  liputan  sama  seperti 
yang  diberikan  pada  masa  pendidikan  di  universitas.  Nilai  berita  yang 
dimaksud yaitu; proximity, prominance, human interest, conflict, impact, dsb. 
Namun  terdapat  pula  nilai  berita  yang  khas  ada  di  ANTV,  yaitu  conflict  of 
interest  selama  itu  berkaitan  dengan  isu‐isu  seputar  Lapindo,  Bakrie,  dan 
Golkar. 
Pada masa awal karirnya di ANTV, informan menjalani masa pelatihan 
selama 2 minggu, ditambah sebulan tandem liputan dengan reporter senior. 
Pelatihan tersebut tidak menyinggung masalah prioritas nilai berita di ANTV. 
Pemahaman  terhadap  mana  nilai  berita  yang  menjadi  prioritas  utama  dan 
mana  yang  kurang  menjadi  prioritaskan  terbentuk  dengan  sendirinya 
melalui pengalaman lapangan. 
Mengenai  ekslusivitas  berita,  terjadi  perubahan.  Dahulu  ekslusif  bagi 
ANTV sama dengan informasi ekslusif dari polisi. Semenjak Karni Ilyas tidak 
lagi menjadi Pemimpin Redaksi, ekslusivitas semacam itu tidak lagi menjadi 
prioritas. 
Menurut  informan,  jurnalis  televisi  seringkali  menjalin  kerjasama 
mutualisme dengan jurnalis cetak dan radio, terutama radio. Namun dengan 
jurnalis  televisi  dari  stasiun  lainnya  mereka  saling  menjaga  jarak,  karena 

13

terkait  dengan  masalah  persaingan  bisnis  antar  stasiun  televisi.  Kerjasama 
dengan  jurnalis  dari  bentuk  media  lain  biasanya  berkaitan  dengan 
pertukaran informasi dan kontak nara sumber. Masing‐masing reporter akan 
membentuk  jejaring  kerjasamanya  sendiri  seiring  pengalaman  liputannya. 
Secara kelembagaan ANTV tidak memiliki pandangan tertentu terhadap pola 
kerjasama  di  lapangan  ini.  Kerjasama  seperti  itu  menurut  informan,  murni 
terbentuk  di  lapangan  karena  adanya  kebutuhan  yang  sama  diantara  para 
jurnalis dari jenis media yang berbeda. 
Jejaring  dengan  nara  sumber  berita  pun  terbentuk  secara  alami  di 
lapangan. Tidak ada training khusus tentang itu, namun melalui pengamatan 
dan  bagi  pengalaman  dari  jurnalis  senior  maka  jurnalis‐jurnalis  televisi 
junior  akan  mengembangkan  keterampilan  untuk  membangun  hubungan 
kerja dengan para nara sumber. 
Secara umum informan berpendapat banyak kebiasaan dan aturan di 
ANTV  secara  perlahan  membentuk  cara  kerja  informan  dalam  melakukan 
peliputan.  Misalnya  dengan  mengamati  bagaimana  jurnalis  senior  memilih, 
menilai dan membangun hubungan dengan nara sumber, maka informan pun 
belajar memilih, menilai, dan membangun jejaring nara sumbernya sendiri. 
Melalui  pengalaman  pula  informan  dapat  mengetahui  bahwa  liputan 
yang  berkaitan  dengan  Lapindo,  Bakrie,  dan  Golkar  harus  diperlakukan 
dengan  hati‐hati.  Liputan  demo  Lapindo  misalnya,  kemungkinannya  kecil 
sekali  ditayangkan  dalam  program  berita  ANTV,  karena  akan  bertentangan 
dengan kepentingan bisnis pemilik ANTV, yaitu Group Bakrie. 

14 

Data‐data  diatas  telah  mengukuhkan  argumen  Shoemaker  bahwa 
rutinitas  kerja  suatu  media  memang  akan  berdampak  pada  pola  kerja 
jurnalis dalam melakukan peliputan/produksi berita. 
News  judgment  adalah  pertimbangan  seorang  jurnalis  untuk  menilai 
apakah  suatu  peristiwa  layak  untuk  diliput  sebagai  berita  atau  tidak. 
Pertimbangan kelayakan berita ini secara teoretis biasanya dipengaruhi oleh 
bobot  news  value  (nilai  berita)  yang  terkandung  pada  peristiwa.  Ini  berarti 
news  judgment  seorang  jurnalis  sangat  berkaitan  erat  dengan  prioritas  dan 
bobot news value yang dianut oleh seorang jurnalis.  
Berkaitan dengan nilai berita misalnya, karena ANTV secara kontinyu 
selalu  mengedepankan  tema‐tema  berita  yang  berkaitan  dengan  isu  sosial 
dan  politik,  maka  dalam  aktivitas  peliputannya  informan  lebih  banyak 
mendahulukan  tema‐tema  tersebut.  Ketika  dihadapkan  pada  berbagai 
peristiwa  yang  dapat  diangkat  menjadi  sebuah  berita,  maka  informan  akan 
mendahulukan  peristiwa‐peristiwa  yang  bertema  sosial  dan  politik.  ANTV 
pun  secara  kontinyu  memperlakukan  isu‐isu  yang  terkait  dengan  Lapindo, 
Grup  Bakrie,  dan  Golkar  dengan  hati‐hati.  Ini  terkait  dengan  kepemilikan 
ANTV.  Semua  pemberitaan  yang  dapat  memojokkan  ketiga  pihak  tersebut 
biasanya  tidak  akan  naik  siar.  Dengan  demikian  informan  belajar  untuk 
menghindari peliputan isu‐isu semacam itu. 
Dalam melaksanakan tugasnya seorang jurnalis bergantung pula pada 
nose  of  news  atau  naluri  untuk  menemukan  peristiwa  yang  memiliki  nilai 
berita  tinggi.  Nose  of  news  ini  akan  semakin  tajam  manakala  jurnalis  yang 
bersangkutan  memiliki  akses  atau  jejaring  informasi  yang  membuatnya 

15

dapat  mengetahui  informasi  berbagai  peristiwa  dengan  cepat.  Informan 
membentuk  jejaring  informasi  ini  melalui  pembentukkan  hubungan 
mutualisme dengan para jurnalis lain dari media radio dan surat kabar, serta 
dengan  membentuk  pola  hubungan  profesional  dengan  berbagai  nara 
sumber. 
Jaringan‐jaringan  informasi  itu  terbentuk  dengan  sendirinya 
berdasarkan pengalaman lapangan. Informan belajar menbentuk jaringannya 
sendiri  melalui  rutinitas  kerja  yang  dihadapinya  setiap  hari,  melalui 
pengamatan  dan  masukan  dari  jurnalis‐jurnalis  senior.  Karena  jurnalis 
bergantung  pada  jejaring  informasi  yang  dimilikinya  dalam  melakukan 
eksplorasi  peliputan,  maka  rutinitas  interaksi  antara  informan  dengan 
jurnalis  media  lain  dan  dengan  nara  sumber,  tampaknya  mempengaruhi 
bagaimana informan memilih dan menentukan kelayakan suatu berita. 
 
 

16 

 

KESIMPULAN 
 
Rutinitas yang terjadi dalam suatu organisasi berita seperti ANTV
terbentuk berdasarkan kepentingan organisasi berita tersebut untuk menghasilkan
produk jurnalisme yang dianggap baik sekaligus untuk melindungi kepentingan
pemilik modal. Ini dapat kita lihat dari pernyataan informan yang menyatakan
bahwa nilai berita di ANTV memiliki dimensi conflict of interest dimana tematema yang berkaitan dengan Grup Bakri, Lapindo, dan Golkal harus mendapat
perlakukan yang hati-hati.
Melalui kebiasaan-kebiasan rutin dalam operasional harian media berita,
seorang jurnalis tampaknya akan membentuk news judgment yang disesuaikan
dengan kebiasaan-kebiasaan rutin media tersebut. Jika hal ini tidak dilakukan
liputan jurnalis akan sulit mencapai kesesuaian dengan kepentingan dan news
judgement media yang bersangkutan. Walaupun menurut informan objektivitas itu
berada pada level individu, namun mau tidak mau ia akan menyesuaikan diri
dengan aturan dan rutinitas media tempat dia bekerja.
Secara lebih detail, penelitian ini memperoleh kesimpulan bahwa:


Suatu peristiwa menjadi berita di ANTV apabila peristiwa tersebut
memiliki nilai berita dan sesuai dengan agenda setting yang telah
ditetapkan melalui rapat harian dan mingguan. Infoman kesulitan
menentukan nilai berita yang diutamakan di ANTV, namun tematema sosial dan politik hampir selalu mendapat prioritas utama.
Pelaporan peristiwa pun lebih banyak dijadikan prioritas
dibandingkan

pengangkatan

isu

berdasarkan

investigative

reporting.

17



Informan merespon rutinitas organisasi berita dengan beradaptasi.
Informan

mengamati,

mempelajari

dan

mengembangkan

keterampilan jurnalisme berdasarkan pengalaman harian dan
interaksinya dengan para jurnalis lain di media tersebut.
Berdasarkan

pengalaman

itu,

informan

mengembangkan

keterampilan membangun jejaring dengan jurnalis dari media lain,
memilah perlakuan yang berbeda untuk jurnalis media televisi
pesaing dan dengan jurnalis radio dan cetak. Melalu pengalaman
dan rutinitas kerja, informan menyadari bahwa liputan yang
merugikan kepentingan Lapindo, Bakrie, dan Golkar biasanya sulit
bia ditayangkan.


Kepemilikan modal ternyata mempengaruhi bagaimana rutinitas
media terbentuk. Ini pada akhirnya akan mempengaruhi juga
konten media yang bersangkutan. Kepemilikan ANTV saat ini
mayoritas dikuasai oleh Grup Bakri, dimana Abdurizal Bakrie juga
menjadi kader Partai Politik Golkar. Pengaruh kepemilikan modal
terhadap rutinitas media dan konten dapat kita lihat dari kesaksian
informan yang menyatakan bahwa isu-isu seputar Bakrie, Lapindo
(anak perusahaan Grup Bakrie), dan Golkar mendapat perlakuan
khusus.

18 

Bibliography
Keller, T., & Hawkins, S. A. (2002). Television News: A Handbook for
Writing, Reporting, Shooting, and Editing. Arizona: Holcomb
Hathaway Publisher, Inc.
Scudson, M. (1992). The Sociology of News Production Revisited. In J.
Curran & M. Gurevitch (Eds.), Mass Media and Society (pp. 141).
New York: Edward Arnold.
Shoemaker, P. J., & Reese, S. D. (1996). Mediating The Message (2nd
ed.). New York: Longman.