BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Peranan Wali Nikah Menurut Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.261/K/AG/2009)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Allah SWT telah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk dapat
berhubungan satu sama lain sesuai dengan ajaran Islam dan dapat hidup secara damai sesuai perintah Allah SWT dan petunjuk Rasul-Nya.
Nabi Muhammad SAW memerintahkan kepada kaum Muslim agar segera menikah bila ia mampu. Keluarga adalah unit kecil dari masyarakat, dan hanya dengan menikah merupakan cara untuk membentuk lembaga dan untuk hubungan campur diluar itu termasuk hal yang terkutuk dan terlarang.
Pernikahan dalam literatur fiqih Islam disebut dengan dua kata yakni nikah atau zawaj.
Kedua kata ini terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi. Menurut hukum Islam nikah adalah akad yang mengandung kebolehan untuk bersetubuh dengan lafadz kata-kata nikah atau zawaj.
Islam menetapkan berbagai ketentuan untuk mengatur berfungsinya keluarga sehingga dengannya kedua belah pihak yaitu suami dan istri dapat memperoleh kedamaian, kecintaan, keamanan dan ikatan kekerabatan. Unsur-unsur ini sangat diperlukan untuk mencapai tujuan perkawinan yang paling besar, yaitu ibadah kepada Allah. Ibadah disini tak hanya upacara-upacara belaka seperti berhubungan suami istri, melainkan pada hakikatnya mencakup pula berbagai perilaku baik dalam seluruh
1 gerak kehidupan. Perkawinan adalah merupakan aspek penting dalam ajaran Islam. Di dalam Al’Qur’an dijumpai 70 ayat yang berbicara soal perkawinan, baik yang menggunakan kata nikah (berhimpun), maupun menggunakan kata zawwaja (berpasangan). Keseluruhan ayat tersebut memberikan tuntunan kepada manusia bagaimana seharusnya menjalani perkawinan agar perkawinan tersebut dapat menjadi jembatan yang mengantarkan manusia, laki-laki dan perempuan menuju kehidupan sakinah yang diridhai oleh Allah SWT. Islam telah merumuskan sejumlah ketentuan yang harus dipedomani, meliputi tata cara seleksi calon suami atau istri, peminangan,
ijab qabul hubungan suami istri, serta pengaturan hak-hak dan kewajiban keduanya
didalam rumah tangga.Dalam pandangan Islam perkawinan adalah salah satu cara yang berguna untuk menjaga kebahagiaan umat dari kerusakan dan kemerosotan akhlak. Selain itu perkawinan juga dapat menjaga keselamatan individu dari pengaruh kerusakan masyarakat karena kecenderungan nafsu kepada jenis kelamin yang berbeda dapat dipenuhi melalui perkawinan yang sah dan hubungan yang halal. Justru oleh karena itu Islam memberikan perhatian khusus kepada kaum muda mengenai masalah perkawinan, untuk menyelamatkan jiwa mereka dari
1 perbuatan dan kerusakan akhlak seperti zinah dan seumpamanya.
Perkawinan adalah suatu akad suci yang mengandung serangkaian perjanjian diantara kedua belah pihak yaitu antara suami dan istri. Al Qur’an menyebutkan bahwa perkawinan sebagai miitsaqan ghalizhan (perjanjian yang kokoh) seperti yang termaktub dalam QS An Nisa’4/21 yang artinya:
1 Iman Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Keluarga Poligami, Pustaka
Bangsa, Jakarta, 2003, hal.1
“Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan pada istrimu, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami
2 istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”.
Di Indonesia ketentuan yang berhubungan dengan perkawinan telah diatur dalam peraturan perundangan Negara yang khusus berlaku bagi warga Negara Indonesia. Aturan perkawinan yang dimaksud adalah dalam bentuk Undang- undang yaitu Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975. Undang-Undang ini merupakan hukum materiil dari perkawinan, sedangkan hukum formalnya
3 ditetapkan dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1989.
Di samping peraturan perundang-undangan negara yang disebutkan di atas dimasukkan pula dalam pengertian Undang-Undang Perkawinan dalam bahasan ini diatur atau ketentuan yang secara efektif telah dijadikan oleh hakim di Pengadilan Agama sebagai pedoman yang harus diikuti dalam penyelesaian perkara perkawinan, yaitu Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang penyebarluasannya dilakukan melalui Instruksi Presiden RI No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Kompilasi Hukum Islam disusun untuk melengkapi Undang-Undang Perkawinan dan diusahakan secara praktis mendudukkannya sebagai hukum perundang-undangan meskipun kedudukannya tidak sama dengan itu. Kompilasi Hukum Islam dengan demikian berinduk kepada Undang-Undang Perkawinan. Dalam kedudukannya sebagai pelaksanaan praktis dari Undang-Undang Perkawinan, 2 Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, Lembaga Kajian Agama dan Jender
Solidaritas Perempuan , Jakarta, 1999, hal 9-10 3 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Kencana Prenada Media Group, Cetakan 3, Jakarta, 2009, hal.1 maka materinya tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan. Seluruh materi Undang-Undang Perkawinan disalin ke dalam Kompilasi Hukum Islam meskipun dengan rumusan yang sedikit berbeda. Di samping itu dalam Kompilasi Hukum Islam ditambahkan materi lain yang prinsipnya tidak bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan.
Diharapkan dengan adanya aturan hukum tersebut, persoalan perkawinan yang terjadi di Indonesia dapat diselesaikan dengan baik berdasarkan hukum positif dan juga berdasarkan hukum agama (terutama Islam sebagai penganut mayoritas yang terdapat di Indonesia).
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pengertian perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam yang dituangkan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 yang menyebutkan bahwa pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang
4
menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum . Nikah sebagaimana halnya dengan perbuatan hukum lainnya, yaitu memerlukan kepada syarat dan rukun agar dapat dipandang sah menurut hukum Islam. 4 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Op.Cit, hal. 59
Adapun rukun perkawinan itu secara lengkap adalah sebagai berikut:
1. Calon mempelai laki-laki
2. Calon mempelai perempuan
3. Wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan perkawinan
4. Dua orang saksi
5. Ijab yang dilakukan oleh wali dan qabul yang dilakukan oleh suami Sedangkan yang menjadi syarat sahnya suatu pernikahan yaitu adanya kata sepakat di antara pihak-pihaknya, calon istri sudah baligh atau dewasa serta tidak ada hubungan atau halangan yang merintangi pernikahan.
Undang-Undang Perkawinan tidak membicarakan tentang rukun perkawinan tetapi hanya membicarakan tentang syarat-syarat perkawinan, dimana syarat-syarat tersebut lebih banyak berkenaan dengan unsur-unsur atau rukun perkawinan. Kompilasi Hukum Islam secara jelas membahas rukun perkawinan sebagaimana yang terdapat pada Pasal 14.
Adapun syarat-syarat dan rukun-rukun untuk sahnya suatu perkawinan menurut Hukum Islam, adalah wali nikah. Dalam suatu perkawinan, wali adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah dimana akad nikah tersebut dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu mempelai laki-laki dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya. Imam Syafi’i berpendapat bahwa perempuan yang kawin wajib mendapat izin dari wali dan wali itu merupakan syarat bagi sahnya suatu perkawinan. Adapun yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang seorang laki-laki yang
5 memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim dan akil baligh.
5 Mohd. Idris Ramulyo,Hukum Perkawinan Islam “Suatu Analisis dari Undang-Undang Nomor
1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam” Bumi Aksara, Jakarta, 2004, hal .74
Wali nikah terdiri atas:
a. Wali Nasab Yang terdiri atas empat kelompok dalam urutan kedudukan, dimana kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai urutan kekerabatan
6 dengan calon mempelai perempuan.
1. Kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
2. Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.
3. Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.
4. Kelompok saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka. Jika wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah maka wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat
7 berikutnya.
Orang-orang yang disebutkan di atas baru berhak menjadi wali apabila
8
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Telah dewasa dan berakal sehat dalam arti anak kecil atau orang gila tidak berhak menjadi wali.
2. Laki-laki. Perempuan tidak boleh menjadi wali.
3. Muslim. Tidak sah orang yang beragama non muslim menjadi wali untuk muslim.
4. Orang merdeka.
5. Tidak berada dalam pengampuan atau mahjur alaih
6. Berfikiran baik. Orang yang terganggu pikirannya karena ketuaannya tidak boleh menjadi wali karena dikhawatirkan tidak akan mendatangkan maslahat dalam perkawinan tersebut.
7. Adil dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak sering terlibat dengan dosa kecil serta tetap memelihara muruah atau sopan santun.
8. Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji dan umrah. 6 7 Mohd.Idris Ramulyo, Op.Cit, hal.74 , hal.75 8 Ibid
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih , Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hal.93-94 b. Wali Hakim yaitu wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak
9 sebagai wali.
Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adhal (enggan). Dalam hal wali adhal (enggan) maka wali hakim dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan
10 Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Dalam Hadist Rasulullah terlihat bahwa seorang perempuan yang hendak menikah harus memakai wali, berarti bila tanpa wali maka nikah itu adalah batal menurut Islam atau nikahnya tidak sah. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Hadist Rasulullah SAW sebagai berikut:
“Bagaimanapun perempuan yang menikah dengan tanpa izin walinya, maka
11
nikah itu batal.” Abu Hanifah berpendapat bahwa seorang perempuan yang hendak nikah dengan seorang laki-laki dia harus mempunyai wali. Wali disini tidak memandang syarat-syaratnya, baik ia mulia maupun hina tetapi sahnya perkawinan itu dengan adanya wali, mereka ini mengkiaskan, seperti menjual barang, disini tidak memandang kepada si penjual baik dia bodoh maupun dia
12 itu pandai, soalnya perbuatan menjual itu bagus pelaksanaannya.
Keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah sesuatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali ditempatkan sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip. Dalam akad perkawinan itu sendiri wali berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang diminta
13 9 persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan tersebut. 10 Pasal 1 huruf b Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 11 Pasal 23 ayat 1dan 2 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Hasballah Thaib dan Marahalim Harahap, Hukum Keluarga dalam Syariat Islam,Universitas Al Azhar, Medan, 2010, hal.82 12 , hal 77 13 Ibid
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,Op.Cit, hal.69 Imam Idris As Syafii beserta para penganutnya bertitik tolak dari Hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam ahmad dan Al Tirmidzi berasal dari
14 Siti Aisyah (istri Rasulullah) berbunyi seperti di bawah ini:
“Barangsiapa di antara perempuan yang nikah dengan tidak seizin walinya,
15
nikahnya itu batal.” Adapun dari Hadist Rasulullah yang lain Rawahul Imam Ahmad, dikatakan oleh Rasulullah bahwa:
16 a. Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan 2 (dua) orang saksi yang adil.
b. Jangan menikahkan perempuan akan perempuan yang lain dan jangan pula seorang perempuan menikahkan dirinya (Rawahul Daruquty), diriwayatkan
17 lagi oleh Ibnu Majah.
c. Tiap-tiap wanita yang menikah tanpa izin walinya, nikahnya adalah batal, batal, batal, tiga kali kata-kata batal itu diucapkan oleh Rasulullah untuk menguatkan kebatalan nikah tanpa izin wali pihak perempuan (berasal dari
18 istri Rasulullah: Siti Aisyah).
d. Apabila mereka berselisih paham tentang wali, maka wali nikah bagi wanita itu adalah “Sulthan” atau “Wali Hakim”, begitupun apabila wanita itu tidak
14 15 Mohd. Idris Ramulyo,Op.Cit, hal.216 16 Rasyid H.Sulaiman , Fiqih Islam, Attahiriyah, Jakarta,1995, hal.362 , hal.368 17 Ibid , hal.363 18 Ibid Ibid , hal.363 ada wali sama sekali, (Rawahul Abu Daud,Al Tirmidzi, Ibnu Majah dan
19 Imam Ahmad).
Seorang wali hakim baru dapat bertindak sebagi wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat
20 tinggalnya atau walinya ghaib atau adhal (enggan).
Pindahnya hak wali nasab kepada wali hakim karena hendak menolong supaya pernikahan antara wanita dengan pemuda itu tidak menjadi terhalangi. Walinya si perempuan kebetulan ghaib, artinya berada jauh dari tempat si wanita karena suatu
21
pekerjaan, urusan perdagangan dan sebagainya. Namun bila bukan walinya yang tidak ada di tempat, melainkan justru wanitanya lah yang dipindahkan tempatnya, jauh dari keberadaan walinya. Sehingga wali si wanita itu otomotis akan berpindah
22
kepada hakim. Disini terlihat bahwa maksud dan tujuan yang baik itu ternyata telah
23 disalahgunakan.
Sebelum perang dunia kedua, oleh Adviseur voor Islamitische Zaken di Jakarta, telah ditulis suatu surat edaran yang ditujukan kepada semua Kepala Daerah untuk menertibkan persoalan ini. Karena katanya, kawin yang seperti itu disebut kawin lari. Kawin yang dilakukan diluar dari kebiasaan. Sebab
24 menjauhkan wanita dari walinya, bukan tujuan dari hukum Islam.
Dalam Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 23 ayat 2 menyatakan bahwa seorang wali hakim baru dapat bertindak sebagi wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat 19 tinggalnya atau walinya ghaib atau adhal (enggan). Bagaimana cara 20 Rasyid H.Sulaiman ,Op.Cit, hal 368 21 Pasal 23 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam 22 Peraturan Menteri Agama No.1/1952 atau No.4/1952 T.Jafizham, Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, PT.Mestika,
Jakarta, 2006, hal.217 23 , hal.217 24 Ibid Ibid , hal.216 menetapkan nikah dengan wali hakim? Apakah cukup dengan pengakuan calon pengantin perempuan atau keluarganya bahwa walinya tidak bisa hadir atau enggan menikahkannya. Kepala KUA atau petugas di lapangan harus ekstra hati-hati menyelidiki kebenaran fakta yang sesungguhnya bahwa seorang wali nasab tidak dapat melaksanakan perwaliannya. Perlu ada langkah yang hati-hati dan penuh pertimbangan dari sisi hukum syar’iyyah dan peraturan perundang- undangan, agar nikah dengan wali hakim tidak digugat dibelakang hari.
25 Dalam hukum Islam ditetapkan, bila seorang wanita berpindah walinya kepada
Hakim, itu kalau secara kebetulan wali keluarga itu sedang berada di suatu tempat karena urusan yang tidak bisa ditinggalkan.
26
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui tentang pentingnya peranandan keberadaan wali nikah atas keabsahan pernikahan. Hal ini mendorong penulis untuk mengetahui dan mempelajari mengenai peranan wali nikah atas keabsahan pernikahan tersebut.
Adapun yang diteliti dalam kasus ini adalah mengenai pembatalan pernikahan yang dilangsungkan oleh wali hakim (kepala KUA) tanpa adanya pelimpahan dari wali nasabnya yaitu Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.261/ K/AG/2009.
Kasus ini bermula dari perkawinan M (Penggugat) dengan istrinya R, telah lahir tiga orang anak dan diantaranya adalah anak perempuan LW (Tergugat I) yang lahir pada tanggal 19 November 1981 di Makassar. Bahwa selaku orang tua, Penggugat menyadari kewajban untuk memelihara, mendidik dan memenuhi kebutuhan hidup 25 Nawawi N., Kedudukan Wali Hakim Dalam Pernikahan
http://bdkpalembang.kemenag.go.id/kedudukan-wali-hakim-dalam-pernikahan, diakses pada tanggal
17 Januari 2013 26 Ibid , hal.216
Tergugat I, sehingga Tergugat I dapat menyelesaikan pendidikan hingga ke Perguruan Tinggi dengan menyandang gelar sarjana (S1) dan telah bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Selayar. Pada tanggal 25 November 2007 Tergugat I meninggalkan tugas bahkan tidak diketahui keberadaannya. Belakangan diketahui bahwa Tergugat I pergi ke Kolaka, Sulawesi Tenggara. Bahwa Tergugat I tidak pergi sendirian tetapi dengan seorang laki-laki SJ (Tergugat II).
Kemudian diketahui kabar bahwa Tergugat I dan Tergugat II telah menikah di Kolaka sebagaimana tercatat pada Kutipan Akta Nikah Nomor 10/10/I/2008 tanggal 7 Januari 2008. Tergugat I dan Tergugat II dinikahkan oleh wali hakim yang bernama S S.Ag, sebagai Kepala Kantor Urusan Agama di Kecamatan Samaturu, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Adapun yang menjadi pokok masalah dalam perkara ini adalah Penggugat menuntut untuk dibatalkan perkawinan Tergugat I dan Tergugat II. Bahwa meskipun tercatat pada Kantor Urusan Agama dimana perkawinan itu berlangsung, tidak sah menurut hukum dengan alasan dinikahkan dengan wali yang tidak sah.
Berdasarkan uraian sebagaimana yang disebutkan di atas, maka dilakukan penelahaan lebih lanjut tentang peranan wali nikah menurut Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam. Penelitian ini kemudian dituangkan dalam tesis dengan judul “Analisis Yuridis Peranan Wali Nikah Menurut Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 261/K/AG/2009)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan beberapa masalah yang harus dibahas dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana peranan wali nikah menurut Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam?
2. Alasan-alasan apa yang membenarkan wali hakim dapat menjadi wali nikah dari seorang perempuan?
3. Apakah yang menjadi pertimbangan hukum Hakim dalam memutuskan perkara Nomor 261/K/AG/2009 tentang pembatalan pernikahan?
C. Tujuan Penelitian
Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis peranan wali nikah menurut Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis alasan yang dimiliki oleh wali hakim menjadi wali nikah seorang perempuan yang akan menikah.
3. Untuk mengetahui hal-hal yang menjadi pertimbangan hukum bagi Hakim dalam memutus perkara Nomor 261/K/AG/2009 tentang pembatalan pernikahan.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat bagi semua pihak bagi peneliti, para pihak yang nantinya dihadapkan dalam keadaan untuk mengetahui peranan wali nikah menurut perspektif Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam.
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah masukan bagi ilmu pengetahuan hukum dan pemahaman yang lebih mendalam kepada pembaca tentang peranan wali nikah menurut Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi kalangan praktisi dalam menangani suatu perkara tentang peranan wali nikah menurut Fiqih Islam dan kompilasi Hukum Islam yang terjadi di masyarakat. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan masukan bagi praktisi hukum, pengacara, mahasiswa dan masyarakat umum.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan sementara di Lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya dilingkungan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan beberapa judul tesis yang berhubungan dengan judul topik dalam tesis ini antara lain:
1. Penelitian dengan judul “Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim
Ditinjau Dari Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia“ oleh
Marahalim Nim 057005037/HK. Rumusan masalah yang dibahas adalah:
a. Bagaimanakah pengangkatan Wali Hakim dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 dan hukum Islam? b. Bagaimana fungsi Wali Hakim dalam perkawinan? c. Bagaimana pertimbangan Wali Hakim dalam menikahkan seorang perempuan yang memiliki Wali Nasab serta keabsahan Wali Hakim dalam pernikahan tersebut.
2. Penelitian dengan judul ”Tanggung Jawab Balai Harta Peninggalan Selaku
Wali Pengawas Terhadap Harta Anak Dibawah Umur (Studi Mengenai Eksistensi Balai Harta Peninggalan Medan sebagai Wali Pengawas)” oleh
Siti Hafsah Ramadhany Nim.027011062/MKn. Rumusan yang dibahas adalah:
a. Mengapa fungsi Wali Pengawas dalam penyelesaian warisan yang atasnya turut berhak anak di bawah umur tidak berjalan sebagaimana mestinya? b. Apakah fungsi Wali Pengawas ini dapat diperluas daya berlakunya sehingga dapat diperlakukan terhadap Golongan Pribumi? c. Bagaimana pengaruh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan terhadap eksistensi Balai Harta Peninggalan (BHP) sebagai Wali Pengawas, khususnya bagi Warga Negara Indonesia yang tunduk kepada KUH/Perdata?
3. Penelitian dengan judul ”Penyelesaian Sengketa Wali Adhal dan Kaitannya
dengan Keabsahan Perkawinan (Studi Terhadap Penetapan No.215/Pdt.P/2011/P.A. Jakarta Selatan)” oleh Sylvana Amelia Fauzi
Nim.107011033/MKn. Rumusan yang dibahas adalah:
a. Apakah yang menjadi faktor penyebab terjadinya wali adhal?
b. Bagaimana keabsahan perkawinan jika terjadi wali adhal berdasarkan penetapan No.215/Pdt.P/2011/P.A. Jakarta Selatan? c. Bagaimana status perkawinan yang timbul dari perkawinan adhal?
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan ilmu yang tersusun secara sistematis dengan penggunaan kekuatan, pemikiran, pengetahuan mana senantiasa dapat diperiksa dan ditelaah secara kritis, akan berkembang terus atas dasar penelitian-penelitian. Hal ini disebabkan karena penggunaan ilmu pengetahuan bertujuan agar manusia lebih mengetahui dan lebih mendalami.
Ilmu hukum mempunyai karakeristik sebagai ilmu yang bersifat perspektif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat perspektif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standart
27 prosedur, ketentuan-ketentuan,rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum.
Ilmu hukum tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai bidang ilmu termasuk ketergantungan pada metodologi, karena aktivitas penelitian hukum dan
28 imajinasi sosial juga sangat ditentukan oleh teori.
Hukum ada pada setiap masyarakat dimana pun juga. Bagaimanapun primitifnya dan modernnya suatu masyarakat pasti mempunyai hukum. Sehingga 27 28 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hal.22 M.Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta,
1996, hal 203 keberadaan (eksistensi) hukum sifatnya universal. Hukum tidak bisa dipisahkan
29 dengan masyarakat, tetapi justru memiliki hubungan timbal balik.
Hukum memiliki 3 (tiga) peranan utama dalam masyarakat:
1. Sebagai sarana pengendalian sosial
2. Sebagai sarana memperlancar proses interaksi sosial
3. Sebagai sarana untuk menciptakan keadaan tertentu Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, atau teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan
30 perbandingan, pegangan teoritis.
Teori atau kerangka teoritis mempunyai beberapa kegunaan paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut :
1. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.
2. Teori sangat berguna didalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur-struktur konsep serta mengembangkan definisi-definisi.
3. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut obyek yang diteliti.
4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor- faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang. 29 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Edisi Revisi, PT.Citra Aditya
Bakti,Bandung, 2004, hal 27 30 M.Solly Lubis, Filsafat dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal.80
5. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti.
Penelitian ini membahas tentang peranan wali nikah nikah menurut perspektif
fiqih
Islam dan Kompilasi Hukum Islam. Dalam kasus ini Penggugat (orang tua Tergugat I) mengajukan gugatan atas pernikahan Tergugat I dengan Tergugat II.
Adapun teori yang dikaitkan dengan permasalahan dalam penelitian adalah teori Maqasid Al-Syari’ah dan teori Perwalian.
Teori Maqasid Al-Syari’ah dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Syathibi, yaitu tujuan akhir hukum adalah maslahah atau kebaikan dan kesejahteraan manusia. Tidak satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan. Hukum-hukum Allah dalam Al Qur’an mengandung kemaslahatan.
31 Teori Maqasid Al-Syari’ah hanya dapat dilaksanakan oleh pemerintah dan
masyarakat yang mengetahui dan memahami. Demikian juga yang menciptakan hukum-hukum yang termuat dalam Al Qur’an adalah Allah SWT. Berdasarkan pemahaman tersebut, akan muncul kesadaran bahwa Allah SWT yang paling mengetahui berkenaan hukum yang dibutuhkan oleh manusia, baik yang berhubungan dengan kehidupannya didunia maupun di akhirat. Kesadaran hukum pihak pemerintah dan masyarakat tersebut, akan melahirkan keyakinan untuk menerapkan hukum Allah SWT, bila menginginkan terwujudnya kemaslahatan bagi kehidupan manusia.
32 31 Asfari Jaya Bakri, Konsep Maqasid Al-Syari’ah (Disertasi Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatulah, Jakarta, 1994, hal. 96) 32 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum,Sinar Grafika, Jakarta,2009,hal.86 Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, berdasarkan penelitian para ahli ushul fiqih, unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan
33
yaitu:
a. Memelihara agama
b. Memelihara jiwa
c. Memelihara akal
d. Memelihara harta
e. Memelihara keturunan
f. Memelihara kehormatan Peranan wali nikah ini berkaitan dengan salah satu tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dalam hukum Islam yaitu untuk memelihara keturunan. Dengan pemeliharaan keturunan, maka kemurnian darah dapat dijaga dan kelanjutan umat manusia dapat diteruskan dengan sebaik-baiknya.
Teori berikutnya yang menjadi pendukung dari Maqasid Al-Syari’ah adalah teori Perwalian. Teori ini penting diikutsertakan dalam penelitian karena pada dasarnya semua orang harus memiliki wali, termasuk wali nikah dalam pernikahan. Salah satu rukun pernikahan dalam agama Islam adalah wali. Perwalian dalam nikah adalah kekuatan untuk melangsungkan akad nikah.
Suatu pernikahan tidak dipandang sah kecuali ada wali sebagaimana dinyatakan dalam Firman Allah dan Hadistt sebagai berikut : Surat al-Baqarah (2) ayat 221:
33 Fitri Zakiyah, Tesis Perbandingan Status Hak Waris Anak Luar Kawin Antara Kompilasi
Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Hukum Islam (KHI) Dengan Hukum Perdata (BW), Universitas Sumatera Utara, Medan, 2010, hal.21
“Janganlah kamu mengawinkan anak-anak perempuanmu dengan laki-laki
musyrik . Sesungguhnya hamba sahaya mukmin lebih baik daripada orang musyrik
34 Surat an-Nur (24) ayat 32:
walaupun ia menarik hatimu.”
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang- orang yang layak (untuk kawin) di antara hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. jika mereka miskin Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.”
35 Rasulullah SAW bersabda:
“Siapapun perempuan yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil. Apabila sang suami menggaulinya maka ia harus menerima mas kawin karena menghalalkan kemaluannya. Apabila terjadi perselisihan maka seorang penguasa (hakim) adalah wali bagi yang tidak memiliki wali.”
36 Juga Hadistt Aisyah, Nabi bersabda:
“Wanita manapun yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahannya batal.”(HR.Empat orang Ahli Hadistt kecuali Nasai)
37 Berkaitan dengan pernyataan di atas menunjukkan bahwa kedudukan dan keberadaan wali memang harus ada bagi setiap wanita dan tidak boleh diabaikan.
34 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Op.Cit, hal.70 35 Ibid 36 Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, Era Intermedia, Solo, 2005, hal.178 37 M.Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Prenada, hal.72
2. Kerangka Konsepsi
Suatu kerangka konsepsi merupakan kerangka yang menggambarkan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti. Suatu konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut. Adapun untuk lebih menjelaskannya, maka didalam penelitian biasanya dibedakan 3 (tiga) yakni :
38 1. Referens atau acuan, yakni hak aktual yang menjadi ruang lingkup penelitian.
2. Symbol atau kata atau istilah, yaitu sesuatu yang dipergunakan untuk mengindetifikasikan referens atau acuan.
3. Konsep yang merupakan kumpulan atau arti-arti yang berkaitan dengan istilah. Dengan demikian maka konsep sangat penting bagi cara pemikiran maupun komunikasi dalam penelitian. Kerangka konsepsi merupakan alat yang dipakai oleh hukum di samping yang lain-lain seperti asas dan standar. Sehingga kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya oleh hukum.
39 Kerangka
konsepsi mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.
40 Sehingga dalam penelitian ini dirumuskan kerangka konsepsi sebagai berikut:
a. Wali adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua.
41
b. Wali Nikah adalah orang yang berhak menikahkan anak wanita dengan calon suaminya.
42
38 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press Jakarta,1984, hal. 132 39 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal 397 40 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1995, hal.7 41 Pasal 1 huruf h Kompilasi Hukum Islam 42 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut : Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama , CV.Mandar Maju, Bandung, 2007 c. Wali Nasab adalah wali yang behubungan tali kekeluargaan dengan
43 perempuan yang akan kawin.
d. Wali Hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk
44 bertindak sebagai wali nikah.
e. Sah adalah dilakukan menurut hukum (undang-undang, peraturan) yang berlaku.
f. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah
45 tangga) yang bahagia, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat
miitsaqan ghalizhan
kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan
46
melaksanakannya merupakan ibadah.g. Akil baligh adalah telah dewasa.
h. Fiqih Islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Illahi dan penjelasannya dalam sunah Nabi tentang tingkah laku manusia mukallaf yang
47 diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam.
i. Kompilasi Hukum Islam adalah mazhab para hakim di Pengadilan Agama.
48 j. Ijab adalah penyerahan dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki. 43 44 Amir Syarifuddin , Hukum Perkawinan di Indonesia, Op.Cit, hal.75 45 Pasal 1 huruf b Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 46 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 47 Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam.
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Op.Cit, hal.4
49 k. Qabul adalah penerimaan dari pihak laki-laki.
l. Tinjauan Yuridis adalah pandangan menurut hukum; berdasarkan ketentuan hukum.
G. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang
50 bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan sesuatu pemecahan atas permasalahan-
51 permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.
Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itulah, penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-how didalam hukum. Hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu yang diajukan. Mengingat penelitian hukum merupakan suatu kegiatan dalam kerangka know-
how,
isu hukum hanya dapat didentifikasi oleh ahli hukum dan tidak mungkin oleh ahli lain. Sebagaimana dikemukakan oleh Cohen bahwa hanya mereka yang mempunyai expertise dalam menganalisa hukum yang mampu melakukan
52 penelitian hukum.
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian yang menggambarkan, menganalisa dan menjelaskan permasalahan yang akan dikemukakan dalam penelitian ini. 48 49 Ibid , hal.62 50 Ibid 51 Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal.42 52 Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal.43 Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, hal.41
Jenis penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisa hukum yang tertulis dari bahan pustaka atau data sekunder belaka yang lebih dikenal dengan nama bahan sekunder dan bahan acauan dalam bidang hukum atau bahan rujukan
53 bidang hukum.
Karena jenis penelitian menggunakan penelitian hukum normatif maka secara
54
garis besar digunakan pendekatan-pendekatan sebagai berikut:
a. Pendekatan dengan mengkaji asas-asas hukum, yaitu penelitian tentang keterkaitan asas-asas dan doktrin hukum dengan hukum positif, maupun hukum yang hidup dalam masyarakat.
b. Pendekatan terhadap sistematika hukum, yaitu penelitian dengan menelusuri secara sistematik keterkaitan antara hukum dasar, hukum yang sifatnya instrumental dan operasional.
c. Pendekatan sinkronisasi hukum, yaitu penelaan hukum dengan mengsinkronisasi hukum secara vertikal melalui asas atribusi, delegasi dan mandat. Sedangkan pada sinkronisasi horizontal melalui asas delegasi.
d. Pendekatan sejarah hukum, merupakan penelaan yang menitikberatkan pada sejarah masa lalu, kemudian perkembangan masa kini dan antisipasi masa yang akan datang.
e. Pendekatan perbandingan hukum, merupakan penelaan yang menggunakan dua atau lebih sistem hukum untuk dibandingkan apakah mengenai perbedaan atau persamaannya.
2. Sumber Data
Data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder berasal dari penelitian kepustakaan (library research) yang diperoleh dari:
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang terdiri dari : a. Al Qur’an dan Hadistt.
b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 53
c. Kompilasi Hukum Islam 54 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit, hal 33 Meray Hendrik Mezak, Jenis, Metode dan Pendekatan Dalam Penelitian Hukum, Law
Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan Vol.V No.3, Maret, Jakarta, 2006, hal.92 d. Rechtreglemen Buitengewesten (R.Bg)
e. Peraturan Menteri Agama RI No.2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim
f. Peraturan Menteri Agama RI No.30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim
g. Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
h. Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama i. Undang-Undang No.50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama j. Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Perkawinan k. Putusan MARI No.261/K/AG/2009
2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer misalnya buku-buku yang berhubungan dengan permasalahan, tulisan para ahli, makalah, hasil penelitian, karya ilmiah atau hasil-hasil seminar yang relevan dengan penelitian ini.
3. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan informasi dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder misal kamus hukum, kamus fiqih, majalah, surat kabar, kamus bahasa Indonesia, internet, jurnal-jurnal.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Adapun untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti dan dikaitkan dengan jenis penelitian hukum yang bersifat normatif maka tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu pengumpulan data dilakukan dengan cara menghimpun data yang bersala dari kepustakaan, berupa peraturan perundang- undangan, buku-buku atau literatur, jurnal ilmiah, majalah-majalah, artikel, putusan pengadilan yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti serta tulisan-tulisan yang terkait dengan peranan wali dalam keabsahan nikah menurut hukum Islam.
4. Alat Pengumpulan Data
Pengumpulan data diawali dengan kegiatan penelusuran peraturan perundang- undangan dan sumber hukum postif lain dari sistem hukum yang dianggap relevan
55 dengan pokok persoalan hukum yang sedang dihadapi.
Berdasarkan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini maka alat pengumpulan data yang digunakan yaitu studi dokumen dengan meneliti dokumen- dokumen tentang hukum Islam. Dokumen ini merupakan sumber informasi penting.
5. Analisis Data
Puncak kegiatan pada suatu penelitian ilmiah hukum adalah menganalisis data
56 yang merupakan hasil penelitian yang telah dilakukan.
Analisa data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema
57 dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.
Penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif adalah penelitian yang mengacu pada hukum yang terdapat dalam peraturan peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam
58 masyarakat.
55 56 Zainuddin Ali, Op.Cit, hal.109 57 Tampil Anshari Siregar, Metodoogi Penelitian Hukum, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2007, hal.104 58 Lexy J.Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya , Bandung ,2002, hal. 101 Zainuddin Ali, Op.Cit, hal.105
Berdasarkan sifat penelitian yang menggunakan metode penelitian bersifat deskriptif analitis, analisis data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif
59 terhadap data sekunder.
60 Adapun tahap-tahap dalam melakukan analisis secara kualitatif adalah:
a. Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.
b. Memilih kaidah-kaidah hukum atau doktrin yang sesuai dengan penelitian.
c. Mensistematisasikan kaidah-kaidah hukum, asas atau doktrin.
d. Menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, pasal, atau doktrin yang ada.
e. Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif.
Dengan demikian kegiatan analisis data ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif yang diharapkan dapat memberikan kesimpulan yang dilakukan dengan memakai analisa deduktif yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya mengambil hal-hal yang khusus sebagai kesimpulan dari permasalahan dan tujuan penelitian ini.
59 , hal.107 60 Ibid
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal.45