Bab II Tinjauan Pustaka - Analisa Jaringan Sosial antara Yayasan Compassion Indonesia dan Gereje Penyebaran Injil melalui Child Sponsorship Program di Pusat Pengembangan Anak IO-552
Bab II Tinjauan Pustaka
2.1 Kesejahteraan Sosial
Secara konseptual, kesejahteraan sosial memiliki beberapa makna. Midgley (1997) dalam Adi (2005:16) mengartikan kesejahteraan sosial sebagai: a state or
condition of human well being that exist when social problems are managed, when
humans needs are met, and when social oppurtunities are maximized . Definisi ini
dapat diterjemahkan sebagai berikut : “suatu keadaan atau kondisi kehidupan manusia yang tercipta ketika berbagai permasalahan sosial dapat dikelola dengan baik, kebutuhan manusia dapat terpenuhi dan ketika kesempatan sosial dapat dimaksimalkan.
Kemudian menurut Suradi dalam Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial (2007:1) mengemukakan bahwa dalam perspektif teoritis kesejahteraan sosial sebagai kondisi kehidupan dan penghidupan mencakup: (1) kemampuan setiap orang dalam menghadapi masalah; (2) kemampuan setiap orang dalam memenuhi kebutuhan; dan (3) kemampuan setiap orang dalam melaksanakan peran sosialnya dengan menjunjung tinggi hak-hak.
Di Indonesia, istilah kesejahteraan sosial dirumuskan dalam UU RI No. 11 tahun 2009 Bab 1 Pasal 1, yang didefenisikan sebagai : kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga neara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
Beberapa pengertian sebelumnya memiliki substansi yang sama dimana kesejahteraan sosial merupakan suatu kondisi atau tata kehidupan dimana setiap orang, setiap keluarga, setiap golongan atau masyarakat, selalu dapat merasakan adanya keselamatan lahir batin, mampu memenuhi kebutuhan hidupnya (baik material maupun spiritual) serta menjalankan peran sosialnya dengan baik.
Menurut Suharto (2005) selain sebagai kondisi, kesejahteraan sosial juga didefinisikan sebagai arena atau domain utama tempat berkiprahnya pekerja sosial.
Pemaknaan kesejahteraan sosial sebagai alat (means) untuk mencapai tujuan pembangunan. Selain sebagai tujuan akhir dan sebagai arena utama berkiprahnya pekerja sosial, kesejahteraan sosial juga merupakan kegiatan yang teroranisasi.
Kesejahteraan sosial merupakan tujuan akhir pembangunan nasional yang dicapai melalui serangkaian program terorganisir yang diselengarakan pemerintah pusat, daerah dan masyarakat. Menurut Suharto (2006) kesejahteraan sosial memiliki dua dimensi:
1. State of human well-being, dimana kesejahteraan sosial dipandang sebagai kebaikan sosial yang dalam bahasa Inggris dinamakan social well-fare sebagai lawan dari social ill-fare (ketidaksehataan sosial). Artinya, kesejhateraan sosial menunjuk pada kondisi kehidupan sejahtera, kebaikan sosial, keadaan yan baik, kemakmuran, kebahagiaan, yang ditandai dengan terpenuhinya kebutuhan dasar manusia. Sebagai contoh, orang memiliki kesejahteraan sosial jika memiliki tubuh yang sehat, penghasilan yang memadai, rumah yang layak huni, ketrampilan dan pengetahuan dasar, serta dapat berinteraksi dengan linkungan sosialnya.
2. System of social services, dimana kesejahteraan sosial diartikan sebagai sebuah sistem keigiatan pelayanan sosial yang dilakukan oleh lembaga pemerintah maupun non pemerintah (civil society). Di Inggris, Australia dan
Selandia Baru, pelayanan sosial umumnya mencakup lima bentuk antara lain jaminan sosial (social security), perawatan kesehatan penyediaan pendidikan dasar dan khusus, penyediaan perumahan publik, dan pelayanan sosial personal (personal social services)
2.2.Pembangunan Sosial dan Usaha Kesejahteraan Sosial
2.2.1. Pembangunan Sosial
Pada awalnya, pembangunan sosial sebagai salah satu pendekatan dalam pembangunan seringkali dipertentangkan dengan pembangunan ekonomi (Adi, 2005).
Hal ini disebabkan oleh pemahaman banyak orang yang menggunakan istilah ‘pembangunan’ sebagai perubahan ekonomi dengan munculnya industrialisasi.
Seiring dengan perkembangan globalisasi sekarang ini, pembangunan sosial menjadi suatu agenda penting dengan semakin besarnya perhatian pada hak-hak asasi manusia, demokratisaso dan civil society.
Seperti dikemukakan Midgley dalam Adi (2002: 118), pembangunan sosial merupakan “suatu proses perubahan sosial yang terencana dan dirancang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sebagai suatu keutuhan, dimana pembangunan ini dilakukan untuk saling melengkapi dengan dinamika pembangunan ekonomi”.
Dalam pembangunan sosial sebagai penyelenggaraan kesejahteraan sosial diperlukan peran masyarakat yang seluas-luasnya, baik perseorangan, keluarga, organisasi keagamaan, organisasi sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarkat, organisasi profesi, badan usaha, lembaga kesejahteraan sosial, demi terselenggaranya kesejahteraan sosial yang terarah, terpadu dan berkelanjutan.
Adapun level pembangunan sosial terbagi menjadi 4, sebagai berikut : (Adi 2002:138) 1.
Pembangunan di level individu dan keluarga (level mikro) Pembangunan ini lebih mengarah pada fungsi rehabilitative dan remedial dimana individu ataupun keluara yang bermasalah menjadi fokus penanganan.
2. Pembangunan di level organisasi dan komunitas (level mezzo) Pembangunan ini lebih mengarah pada program bersifat kreatif, proaktif dan preventif yang biasanya dilakukan melalui intervensi kounitas seperti pengembangan masyarakat (community development), pendekatan pelayanan masyarakat (community services approach), dan pendidikan masyarakat (community education).
3. Pembangunan di level provinsi, regional ataupun nasional (level makro) Pembangunan ini merupakan pembangunan pada level normative dimana agen perubahan berusaha melibatkan diri pada upaya perencanaan dan pembuatan kebijakan sosial.
4. Pembangunan di level internasional (level global) Pembangunan ini menitikberatkan pada peran agen perubahan (change agent) dalam mempengaruhi kebijakan di tingkat antar negara) Mengacu pada buku Charles Zastrow (2000), Introduction to Social Work and
Social Welfare, ada tiga pendekatan dalam pembangunan kesejahteraan sosial, yaitu perspektif residual, institusional dan pengembangan (Suharto. 2005:10) a.
Pendekatan Residual Pelayanan sosial diberikan hanya apabila kebutuhan individu tidak dapat dipenuhi dengan baik oleh lembaga-lembaga yang ada di masyarakat, seperti institusi keluarga, dan ekonomi pasar. Bantuan financial dan sosial sebiknya diberikan dalam jangka pendek, pada masa kedaruratan dan harus dihentikan manakala individu atau lembaga-lembaga kemasyarakatan tadi dapat berfungsi kembali.
Perspektif residual disebut sebagai pendekatan yang menyalahkan korban atau blaming the victim approach. Masalah sosial termasuk kemiskinan disebabkan oleh kesalahan-kesalahan individu dan karenanya menjadi tanggun jawab dirinya, bukan sistem sosial b.
Pendekatan Institusional Berbeda dengan perspektif residual yang memandang pelayanan sosial sebagai charity for unfortunates, pendekatan institusional melihat sistem dan usaha kesejahteraan sosial sebagai fungsi yang tepat dan sah dalam masyarakat modern. Pelayanan sosial dipandang sebagai hak warga negara. Kemiskinan bukan disebabkan oleh kesalahan individu. Melainkan, produk dari sistem sosial yang tidak adil, menindas, sexist, dan rasis yang kemudian membentuk sistem kapitalis. Metode pekerjaan sosial yang sering digunakan mencakup program-program pencegahan, pendidikan, pemberdayaan dan penguatan struktur-struktur kesempatan.
c.
Pendekatan Pengembangan Perspektif pengembangan sejalan dengan ideologi liberal dengan ideologi liberal dan pendekatan institusional. Ia mendukung pengembangan program- progran kesejahteraan sosial, peran aktif pemerintah serta pelibatan-pelibatan tenaga professional dalam perencanaan sosial. Menurut Midgley (2005:205) : Selain memfasilitasi dan mengarahkan pembangunan sosial, pemerintah jua seharusnya memberikan kontribusi langsung pada pembangunan sosial lewat bermacam kebijakan dan program sector publik. Perspektif institusional membutuhkan bentuk organisasi formal yang bertanggung jawab untuk mengatur usaha pembangunan sosial dan mengharmoniskan implementasi berbagai pendekatan strategis yang berbeda. Organisasi seperti ini berada pada tingkat yang berbeda tetapi tetap harus dikoordinasikan pada tingkat nasional. Mereka juga mempekerjakan tenaga spesialis yang telah terlatih dan terampil untuk mendukung tercapainya tujuan pembangunan sosial.
Dalam Pembangunan sosial, pemahaman terhadap unsur-unsur yang ada dalam suatu community tidak mungkin untuk ditingalkan. Secara historik, pelayanan oleh masyarakat, lebih dahulu tampil mengedapan dibanding dengan usaha manusia. Hal ini didasarkan pada nilai-nilai yang telah berakar lama dalam tata kehidupan masyarakat. Sejak berabad-abad dibeberapa negara “kesejahteran masyarakat” dipelopori, diperjuangkan oleh kelompok-kelompok tenaga pelaksana sukarela (administrative volunteer) yang menjalankan badan-badan kesejahteraan sosial swasta (sukarela). Dengan dasar swadaya, sumber-sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat digali dan dimobilisasi serta diorganisasi oleh mereka sendiri untuk kepentingan bersama dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok anggotanya.
Keberhasilan pembangunan ditunjang oleh beberapa faktor yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Sebagaimana yang dikemukakan oleh T. Sumarnugroho sebagai berikut (1993:71-73) : 1.
Kemampuan masyarakat mengenal masalah mereka sendiri. Masyarakat seringkali tidak memahami permasalahan yang ada pada linkungannya. Hal ini timbul bisa juga karena permasalahan tersebut merupakan sesuatu yang sudah biasa terjadi, menyerah kepada nasib atau menganggap itu bukan sebagai suatu masalah. Dari sebab-sebab tersebut terdapat dua pokok yang mendasar, yaitu adanya kepekaaan terhadap linkungan sosial dan kedua rasa ketidakberdayaan.
2. Keinginan dan ikut sertanya masyarakat untuk mencari alternatif pemecahan masalah. Dalam mencari alternatif pemecahan masalah, masyarakat munkin mmerlukan bantuan dari para pelaku perubahan. Wujud bantuannya adalah masayarakat memulai menyelesaikan masalahnya dari gaasaga berbahingn mereka sendiri berbagai kegiatan pengulangan masalah dan usaha-usaha keejahteraan sosial menjadi milik dalam kehidupan mereka sehari-hari.
3. Keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan usaha kesejahteraan sosial.
Masyarakat dilibatkan dalam mengadakan, memulai, melaksanakan dan mengevaluasi program kegiatan. Dengan keterlibatannya ini masyarakat akan menganggap sebagai suatu kewajiban atau kesaadaran karena merupakan kepentingan bersama.
4. Penyebaran metode swadaya berswadaya. Beberapa hal yang berkaitan dengan metode berswadaya adalah: a.
Pemahaman terhadap kebutuhan manusia yang mencakup aspek fisik, psikologi dan sosial b.
Pengembangan leadership untuk menggali, memobilisasi dan mendistribusikan sumber-sumber daya.
c.
Kemampuan yang diperlukan untuk menjadi administrator yang cakap dalam mengelola berbagai kegiatan d.
Kemampuan untuk mengadakan studi kelayakan, menyusun program dan menyesuaikan perkembangan-perkembangan baru.
5. Bimbingan dan bantuan dari pemerintah. Dalam pelaksanaan kegiatan kesejahteraan sosial didasarkan pada suatu kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini pemerintah tetap memegang peranan penting dalam memberikan bantuan dan bimbingannya dalam: a.
Penggunaan prosedur berdasarkan perundang-undangan dan peraturan yang ada b.
Penetapan standar pelayanan c. Bimbingan dan pengarahan teknis.
d.
Bantuan/ subsidi untuk meningkatkan mutu pelayanan
2.2.2 Usaha Kesejahteraan Sosial
Usaha kesejahteraan sosial memberikan sumbangan untuk mewujudkan kesejahteraan fisik, mental dan sosial setiap warga dari segala lapisan. Leonard Schneiderman dalam Sistem Intervensi Kesejahteraan Sosial, mengemukakan bahwa kesejahteraan sosial mempunyai tujuan, yakni system maintenance, system control dan system change.
Untuk mewujudkan tujuan dari kesejahteraan sosial sebagaimana telah dikemukakan, perlu disusun suatu program-program dan kegiatan yang bermuara pada tujuan kesejahteraan sosial. Program-program itulah yang kemudian disebut sebagai Usaha Kesejahteraan Sosial yang meliputi semua upaya, program dan kegiatan yang ditujukan untuk mewujudkan, membina, memelihara, memulihkan dan mengembangkan kesejahteraan sosial, sebagaimana tertuang dalam UU RI No.6 Tahun 1974, Pasal 2 ayat 2 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.
Wilensky dan Lebeaux dalam Industrial Society and Social Welfare mengemukakan lima kriteria untuk untuk menentukan kegiatan yang dapat disebut sebagai Usaha Kesejahteraan Sosial.
1. Formal Organization. Usaha-usaha kesejahteraan sosial merupakan suatu organisasi yang formal. Pemberian bantuan dan amal perorangan, walaupun mereka mengadakan usaha kesejahteraan, namun demikian tidak terorganisasi secara formal. Juga pelayanan-pelayanan dan bantuan dalam hubungan saling tolong menolong seperti keluarga, sahabat-sahabat, tetangga dan semacamnya tidak termasuk dalam pengertian struktur kesejahteraan sosial (sebagai sistem untuk memenuhi kebutuhan manusia) 2. Social Sponsorship and Accountability. Usaha Kesejahteraan Sosial diselenggarakan oleh masyarakat atas dukungan masyarakat. Pelaksanaan usaha kesejahteraan sosial harus pula dipertanggunjawabkan kepada masyarakat. Jika pengerakan sumber-sumber daya untuk mencapai kebutuhan manusia tidak dapat dipenuhi oleh keluarga maupun ekonomi pasar, beberapa jenis organisasi yang ketiga harus tersedia dan hal ini merupakan suatu usaha masyarakat secara keseluruhan diwakili oleh pemerintah atau masyarakat kecil yang beroperasi melalui badan-badan sosial swasta.
3. Absence of Provit Motive as Dominant Program Purpose. Tidak ada motif untung sebagai tujuan yang menonjol dalam suatu program. Pelayanan- pelayanan dan produksi jasa dari ekonomi pasar ataupun melalui jalan pembelian oleh perorangan dengan penyerahan uang yang bersifat persaingan dalam segi ekonomi bukan merupakan Usaha Kesejahteraan Sosil. Demikian pula segala usaha yang menekankan keuntungan dan pembayaran yang tinggi
4. Fuctional generalization: An Integrative View of Human Needs. Memiliki fungsi yang bersifat umum, yaitu ada kenultan pandangan tentang kebutuhan- kebutuhan manusia yang memerlukan bantuan dan perlu dipenuhi. Bertitik tolak dari sudut struktur kesejahteraan sosial sebagai suatu keseluruhan, kegiatan-keiatan tdapat menggambarkan fungsi umum sebagaimana mestinya, jikalau pelayanan-pelayanan kesejahteraan bukan hanya diselenggarakan untuk mengisi kekurangan-kekurangan atau karena lembaga-lembaga lain seperti lembaga mendidik, keluarga, pendidikan, industry tidak dapat memenuhi kebutuhan.
5. Direct Concern with Human Consumption Needs. Secara langsung berhubungan dengan konsumsi kebutuhan-kebutuhan manusia. Untuk menjelaskan pengertian ini dapat diberikan gambaran akan perbedaan fungsi pelayanan-pelayanan pemerintah (government services) dengan pelayanan- pelayanan kesejahteraan yang diselenggarakan pemerintah (government welfare services) yang semuanya mendapatkan dukungan dari pemerintah.Government services pada umumnya bersifat regular misalnya, soal pertahanan negara, pemeliharaan hukum dan tata tertib, adminstrasi pengadilan dan semacamnya. Sedangkan pelayanan dalam konteks stuktur kesejahteraan sosial merupakan pelayanan langsung yang menyangkut konsumsi kebutuhan manusia yang mempunyai efek terhadap kesejahteraan dan kesehatan individu serta keluarga-keluarganya.
2.3. Modal Sosial
Modal sosial adalah salah satu konsep baru yang digunakan untuk mengukur kualitas hubungan dalam komunitas, organisasi, dan masyarakat. Menurut Putnam
activities, or relations that bind people together as a community via certain norms
and psychological capacities, notably trust, which are essential for civil society and
productive of future collective action or goods, in the manner of other forms of
capital”. Putnam (1993, 1996, 2000) menyatakan bahwa modal sosial mengacu pada
esensi dari organisasi sosial, seperti trust, norma dan jaringan sosial yang memungkinkan pelaksanaan kegiatan lebih terkoordinasi, dan anggota masyarakat dapat berpartisipasi dan bekerjasama secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan bersama, dan mempengaruhi produktifitas secara individual maupun berkelompok.
Sependapat dengan Putnam, Bourdieu dan Wacquant (1992) menyatakan bahwa “ Modal Sosial adalah jumlah sumber-sumber daya, actual atau virtual (tersirat) yang berkembang pada seorang individu atau sekelompok individu karena kemampuan untuk memiliki suatu jaringan yang dapat bertahan lama dalam hubungan-hubungan yang lebih kurang telah diinstitusikan berdasarkan pengetahuan dan pengenalan timbale balik”. (Field, 2005: 20-21)
Fukuyama (1999) menambahkan norma-norma informal dapat mendorong kerjasama antara dua atau beberapa orang. Norma-norma yang mengandung modal sosial memiliki ruang lingkup yang cukup luas, mulai dari nilai-nilai resiprokal antara teman, sampai dengan yang sangat kompleks dan mengandung nilai-nilai keagamaan.
Menurut Narayan dan Pritchett (1999:872-873), modal sosial dapat mempengaruhi berbagai bentuk keluaran (outcomes) bagi masyarakat melalui lima mekanisme, yakni (1) dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memonitor berbagai kegiatan atau kebijakan pemerintah melalui jaringan sosial (social network) ; (2) dapat meningkatkan berbagai bentuk tindakan atau kebijakan bersama dlam memecahkan berbagai persoalan dalam masyarakat; (3) dapat memudahkan berbagai bentuk difusi inovasi melalui peningkatan hubungan antar individu; (4) dapat mengurangi ketidaksempurnaan informasi yang diterima masyarakat, seperti dalam pemanfaatan fasilitas kredit, berbagai bentuk produksi, lahan pertanian dan lapangan kerja; dan dapat meningkatkan asuransi informal (informal insurance) bagi rumah tangga. Berdasarkan definisi tersebut, modal sosial dapat disimpulkan sebagai jaringan dan nilai-nilai sosial yang dapat memfasilitasi individu dan komunitas untuk mencapai tujuan bersama secara efektif dan efisien.
Dalam pengertian yang luas, modal sosial bisa berbentuk jaringan sosial atau sekelompok orang yang dihubungkan oleh perasaan simpati, kewajiban, norma pertukaran, dan civic engagementyang kemudian diorganisasikan menjadi sebuah institusi yang memberikan perlakuan khsusus terhadap mereka yang dibentuk oleh jaringan untuk mendapatkan modal sosial dari jaringan tersebut.
Modal sosial diukur atas dasar (1) generalized trust, (2) norms, (3) reciprocity,
dan (4) networks . Generalized trust adalah inti dari modal social. Generalized trust
merupakan indikasi dari potensi kesiapan masyarakat untuk bekerjasama satu sama lain. Kerjasama ini melampaui batasan kekeluargaan dan pertemanan serta batasan persamaan. Dalam arena sosial, generalized trust mempermudah kehidupan dalam masyarakat yang beragam, mendorong perilaku toleransi, dan menerima perbedaan.
Sehingga hidup menjadi lebih mudah, lebih bahagia, dan lebih nyaman dengan keberadaan generalized trust dalam masyarakat yang heterogen. Pendapat Putnam, Rothstein dan Stolle diperkuat dengan pendapat Uslaner yang menyatakan bahwa “Trust in other people is a key factor in many forms of participation. As trust in others
falls, so does participation in civic activities”
Norma-norma, kepercayaan antarpersonal, jejaring sosial, dan organisasi sosial sebagai bentuk modal sosial sangatlah penting tidak hanya bagi masyarakat tapi juga bagi pertumbuhan ekonomi (Coleman, 1988:96). Sejumlah penelitian yang dilakukan Ben Porath (1980), Oliver Williamson (1975, 1981), Baker (1983) dan Granovetter (1985) (dalam Coleman) mendukung pernyataan Coleman tersebut, bahwa keterkaitan antar-organisasi sosial akan mempengaruhi berfungsinya aktivitas ekonomi.
Woolcock (1998) mengajukan tiga dimensi dari modal sosial, yaitu: bonding, bridging dan linking. Menurut Woolcock : , (1) Modal sosial yang bersifat mengikat (bonding social capital) merujuk pada hubungan antar individu yang berada dalam kelompok primer atau lingkungan ketetanggaan yang saling berdekatan. Komunitas-komunitas yang menunjukkan kohesi internal yang kuat akan lebih mudah dan lancar dalam berbagi pengetahuan.
(2) Modal sosial yang bersifat menjembatani (bridging social capital) adalah hubungan yang terjalin di antara orang-orang yang berbeda, termasuk pula orang- orang dari komunitas, budaya, atau latar belakang sosial-ekonomi yang berbeda. Individu-individu dalam komunitas yang mencerminkan dimensi modal sosial yang bersifat menjembatani akan mudah mengumpulkan informasi dan pengetahuan dari lingkungan luar komunitasnya dan tetap memperoleh informasi yang aktual dari luar kelompoknya. Tipe modal sosial ini menunjuk pada hubungan antarindividu yang memiliki kekuasaan atau akses pada bisnis dan hubungan sosial melalui kelompok- kelompok sekunder.
(3) Modal sosial yang bersifat mengaitkan (linking social capital) memungkinkan dan pengetahuan dalam suatu komunitas atau kelompok pada level pembentukan dan partisipasi dalam organisasi formal.
2.4. Analisa Jaringan Sosial
2.4.1 Analisa
Analisa dapat dilakukan terhadap berbagai segi aspek kehidupan manusia, baik ekonomi, politik maupun hal lainnya. Analisa oleh para ahli diartikan cukup beragam. Analisa menurut Dale Yoder diartikan sebagai prosedur melalui fakta-fakta yang berhubungan dengan setiap pengamatan yang diperoleh dan dicatat secara sistematis
2.4.2. Jaringan Sosial
Jaringan sosial (social network) adalah sebuah struktur sosial yang tercipta dari individu-individu atau organisasi yang lazim disebut “nodes” yang terikat atau terhubung oleh satu atau lebih karakteristik interdepensi tertentu diantara mereka. Beberapa contoh dari jaringan sosial antara lain, persahabatan, kekerabatan, pertukaran financial , hubungan ketaksukaan, hubungan seksual atau hubungan kepercayaan, pengetahuan atau prestise. (Lawang; 2005)
Jaringan sosial merupakan salah satu dimensi modal sosial selain kepercayaan dan norma. Ide sentral dari modal sosial adalah bahwa jaringan-jaringan sosial merupakan suatu aset yang bernilai (Field, 2005:16) jaringan-jaringan menyediakan suatu basis bagi kohesi sosial karena menyanggupkan orang untuk bekerjasama satu sama lain dan bukan hanya dengan orang yang mereka kenal secara langsung agar saling menguntungkan.
Konsep jaringan dalam modal sosial lebih memfokuskan pada aspek ikatan antar simpul yang bisa berupa orang atau kelompok (organisasi). Dalam hal ini terdapat pengertian adanya hubungan sosial yang diikat oleh adanya kepercayaan yang mana kepercayaan itu dipertahankan dan dijaga oleh norma yang ada. Pada konsep jaringan ini, terdapat unsur kerja, yang melalui media hubungan sosial menjadi kerja sama. Intinya, konsep dalam jaringan sosial menunjuk pada semua hubungan dengan orang atau kelompok lain yang memungkinkan kejadian dapat berjalan secara efisien dan efektif. Selanjutnya jaringan itu sendiri dapat terbentuk dari hubungan antar personal, antar individu dengan individu, serta jaringan antar institusi. (Lawang, 2005)
Jaringan hubungan sosial biasanya akan diwarnai oleh suatu tipologi khas sejalan dengan karakteristik dan orientasi kelompok. Pada kelompok sosial yang biasanya terbentuk secara tradisional atas dasar kesamaan garis keturunan (liniage), pengalaman-pengalaman sosial turun temurun (repeated social experiences),dan kesamaan kepercayaan pada dimensi Ketuhanan (religious belief)cenderung memiliki kohesifitas yang tinggi, tetapi rentang jaringan maupun trust yang terbangun sangat sempit. Sebaliknya, pada kelompok yang dibangun atas dasar kesamaan orientasi dan tujuan dengan ciri pengelolaan organisasi yang lebih modern akan memiliki tingkat partisipasi anggota yang lebih baik dan memiliki rentang jaringan yang lebih luas.
Menurut Stone (2001), Stone dan Hugkes (2002), terdapat tiga tipe jaringan sosial (social networks), yakni: (1) jaringan informal (informal ties): hubungan dalam anggota rumahtangga, teman, tetangga dekat dan teman kerja, (2) jaringan sosial dalam masyarakat: hubungan antar masyarakat lokal, antar wilayah dan kelompok lain, dan (3) jaringan sosial dalam institusi: (institusional relationship): sistem
Jaringan Sosial atau social network merupakan elemen penting dalam pengembangan masyarakat, termasuk dalam perancangan strategi penanggulangan kemiskinan di tingkat lokal. Pengembangan masyarakat sebagai sebuah metode seringkali menekankan pentingnya warga masyarakat dan lembaga-lembaga tingkat lokal sebagai inisiator, kolaborator dan sumber yang dapat dijadikan sarana pencapaian tujuan program.
Jaringan diantara lembaga-lembaga masyarakat dapat menggambarkan kondisi dan dinamika kehidupan sosial masyarakat, termasuk tingkat standar hidup, partisipasi sosial, dan pola-pola relasi sosial diantara mereka. Lembaga-lembaga sosial lokal baik yang bersifat tradisional maupun modern yang berada pada sebuah komunitas lokal merupakan kendaraan dengan mana perubahan sosial dan aksi sosial berlangsung (Robert, 1995; Dershem dan Gzirishvili, 1998; Reingold, 1999) 21 november 2013)
Jaringan sosial terdiri dari lima unsur yang meliputi: adanya partisipasi, pertukaran timbal balik, solidaritas, kerjasama dan keadilan (Lubis, 2001).
A. Partisipasi Berdasarkan sistem dan mekanisme partisipasi, Cohen dan Uphoff
(dalam Ndraha, 1990), membedakan partisipasi atas 4 jenis:
a) Participation in decision making
Partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan keputusan dan kebijakan organisasi. Partisipasi dalam pembuatan keputusan adalah dalam bentuk program yang disesuaikan dengan kepentingan masyarakat.
b) participation in implementation Partisipasi atau keikutertaan masyarakat dalam kegiatan operasional pembangunan berdasarkan program yang telah ditetapkan. Dalam pelaksanaan program pembangunan bentuk partisipasi masyarakat dapat dilihat dari jumlah banyaknya yang aktif dalam partisipasi, bentuk-bentuk yang dipartisipasikan misalnyatenaga, bahan, uang, semuanya atau sebagian-sebagian, partisipasi langsung atau tidak langsung , semangat berpartisipasi, sekali-sekali atau berulang-ulang
c) participation in benefit Partisipasi masyarakat dalam menikmati atau memanfaatkan hasil- hasil pembangunan. Partisipasi pemanfaatan ini selain dapat dilihat dari penikmatan hasil-hasil pembangunan, juga terlihat pada dampak hasil pembangunan terhadap tingkat kesehatan masyarakat, peningkatan pembangunan berikutnya dan partisipasi dalam pemeliharaan dan perawatan hasil-hasil pembangunan.
d) participation in evaluation.
Partisipasi masyarakat dalam bentuk keikutsertaan menilai serta mengawasi kegiatan pembangunan serta hasilnya. Penilaian ini dilakukan secara lansung misalnya dengan ikut serta dalam mengawasi dan menilai atau secara tidak langsung, misalnya memberikan saran-saran , kritikan atau protes. Menurut Oakley (1991) partisipasi diartikan kedalam tiga bentuk, yaitu:
1. Partisipasi sebagai bentuk kontribusi, yaitu interpretasi dominan dari partisipasi dalam pembangunan di dunia ketiga adalah melihatnya sebagai suatu keterlibatan secara sukarela atau bentuk kontribusi lainnya dari masyarakat
2. Partisipasi sebagai organisasi, meskipun diwarnai dengan perdebatan yang panjang diantara para praktisi dan teoritisi mengenai organisasi sebagai instrument yang fundamental bagi partisipasi, namun dapat dikemukakan bahwa perbedaan organisasi dan partisipasi terletak pada hakekat bentuk oraganisasional sebagai sarana partisipasi, seperti organisasi organisasi biasa dibentuk organisasi yang muncul dan dibentuk sebagai hasil dari adanya proses partisipasi . Selanjutnya dalam melaksanakan partisipasi masyarakat dapat melakukannya melalui beberapa dimensi yaitu : a. Sumbangan pikiran (idea tau gagasan)
b. Sumbangan materi (dana, barang, alat)
c. Sumbangan tenaga (bekerja atau memberi kerja)
d. Memanfaatkan/ melaksanakan pelayanan
3. Partisipasi sebagai pemberdayaan, partisipasi merupakan latihan pemberdayaan bagi masyarakat, meskipun sulit untuk didefenisikan , akan tetapi pemberdayaan maerupakan upaya untuk mengembangkan ketrampilan dan kemampuan masyarakat untuk memutuskan dan ikut terlibat dalam pembangunan.
B. Pertukaran Timbal Balik Konsep pertukaran timbal balik dapat di jelaskan oleh teori pertukaran sosial.. Thibault dan Kelly menjelaskan bahwa terdapat empat konsep pokok dalam teori pertukaran sosial, yaitu (Rahmat, 2002: 121) :
1. Ganjaran ialah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dalam suatu hubungan. Ganjaran berupa uang, penerimaan sosial atau dukungan terhadap nilai yang dipegangnya. Nilai suatu ganjaran berbeda beda antara seseorang dengan yang lain, dan berlainan antara waktu yang satu dengan waktu yang lain.
2. Biaya adalah akibat yang dinilai negatif yang terjadi dalam suatu hubungan. Biaya itu dapat berupa waktu, usaha, konflik, kecemasan dan keruntuhan harga diri dan kondisi-kondisi lain yang dapat menghabiskan sumber kekayaan individu atau dapat menimbulkan efek-efek yang tidak menyenangkan. Seperti ganjaran, biaya pun berubah-ubah sesuai dengan waktu dan orang yang terlibat didalamnya.
3. Hasil dan laba adalah ganjaran dikurangi biaya. Bila dalam suatu hubungan seorang individu merasa bahwa ia tidak memperoleh laba sama sekali, ia akan mencari hubungan lain yang mendatangkan laba.
4. Tingkat perbandingan menunjukkan ukuran baku (standar) yang dipakai sebagai kriteria dalam menilai hubungan individu pada masa lalu atau alternatif hubungan lain yang terbuka baginya. Bila pada masa lalu seorang individu mengalami hubungan yang memuaskan, tingkat perbandingannya menurun.
C. Solidaritas Konsep solidaritas sosial merupakan kepedulian secara bersama kelompok yang menunjukkan pada suatu keadaan hubungan antara individu dan/atau kelompok yang didasarkan pada persamaan moral, kolektif yang sama dan kepercayaan yang dianut serta diperkuat oleh pengalaman emosional. (Nasution 2009:9) Bagi Emile Durkheim, agama memainkan peranan yang fungsional karena agama adalah prinsip solidaritas masyarakat (Syamsuddin, 1997: 31).
Solidaritas sosial juga dipengaruhi interaksi sosial yang berlangsung karena ikatan kultural yang pada dasarnya disebabkan munculnya sentimen komunitas (community sentiment), unsur-unsurnya meliputi: 1.
Seperasaan, yaitu karena seseorang mengidentifikasi dirinya dengan sebanyak mungkin orang dalam kelompok tersebut
2. Sepenanggungan, yaitu setiap individu sadar akan peranannya dalam kelompok yang dijalankan
3. Saling butuh, yaitu individu yang tergantung dalam masyarakat setempat merasakan dirinya tergantung pada komunitasnya D. Kerjasama Kerjasama pada hakikatnya mengindikasikan adanya dua pihak atau lebih yang berinteraksi atau menjalin hubungan-hubungan yang bersifat dinamis untuk mencapai suatu tujuan bersama. Disini terlihat ada tiga unsur pokok yang melekat pada suatu kerangka kerjasama yaitu unsur dua pihak atau lebih; unsur interaksi; dan unsur tujuan bersama. (Pamudi, 1985: 12-13)
- Unsur dua pihak atau lebih biasanya menggambarkan suatu himpunan dari kepentingan-kepentingan yang satu sama lain saling mempengaruhi sehingga berinteraksi untuk mewujudkan suatu tujuan bersama.
- Kerjasama senantiasa menempatkan pihak-pihak yang berinteraksi itu pada posisi yang seimbang serasi dan selaras
- Suatu interaksi yang dapat dikategorikan sebagai kerjasama harus pula memuat unsur tercapainya tujuan bersama didalam keseimbangan, keserasian dan keselarasan.
Jika merujuk pada Peraturan Menteri Dalam Negeri no.6:1975 pasal 4 ayat (2) beberapa hal yang mutlak dibicarakan dalam suatu prosedur kerjasama adala sebagai berikut (Pamudi, 1985: 30-32): 1.
Ruang lingkup bidang-bidang yang dikerjasamakan Disini harus disepakati tentang bidang-bidang apa saja yang akan tercakup dalam kerangka kerjasama, serta disepakati pula batas-batas teknis dimana kerangka kerjasama itu dapat menjangkau aspek-aspek tertentu dari bidang kegiatan yang
2. Susunan organisasi dan personalia Penetapan susunan organisasi ini perlu, oleh karena mereka inilah yang akan melaksanakan wewenang operasional dan realisasi kerjasama itu.
3. Tata cara dan ketentuan-ketentuan teknis Pelaksanaan kerjasama Kejelasan tentang detail-detail tata cara dan teknis pelaksanaan kerjasama sangat diperlukan untuk menghindari adanya kesimpangsiuran dalam operasionalisasi rencana-rencana yang ditetapkan
4. Pembiayaan Oleh karena setiap kerjasama selalu mengandung konsekuensi- konsekuensi keuangan, maka pembahasan tentang faktor biaya yang akan dikeluarkan dalam rangka kerjasama ini sangat perlu dilakukan. Kesepakatan di sektor pembiayaan akan mencakup jumlah keseluruhan biaya yang diproyeksikan dalam kerangka kerjasama ini serta beban yang dipikul oleh masing-masing pihak.
5. Jangka waktu Suatu kerjasama tentu saja hanya diproyeksiakan pada suatu obyek tertentu dan obyek yang dikerjasamakan biasanya akan selesai mencapai targetnya pasa suatu waktu tertentu 6. Ketentuan-ketentuan lain yang dipandang perlu
Yang dimaksud disini adalah pengaturan tentang hal-hal diluar pokok yang dikemukakan mulai dari angka 1 s/d 5 tersebut. E. Keadilan Leventhal mengemukakan adanya tiga justices rules yang seringkali dipakai sebagai standar untuk menilai keadilan dalam konteks hubungan sosial. Ketiga standar ini adalah contribution rule, needs rule, equality rule. Contribution rule didasarkan atas investasi yang diberikan dalam hubungan sosial. Menurut Standard ini suatu hubungan di anggap adil bila semua individu yang terlibat mendapatkan imbalan yang sebanding dengan kontribusi yang diberikannya dalam hubungan sosial tersebut. Hal ini berarti bahwa yang memberikan kontribusi terbesar mendapat imbalan yang terbanyak. Tidak ada persyaratan bahwa kontribusi partisipan harus sama tetapi ratio dari kontribusi terhadap imbalan harus sebanding.
Standar kedua, needs rule, menyatakan bahwa imbalan harus didistribusikan menurut kebutuhan relatif dari individu yang bersangkutan.
Standar ini tercakup dalam norma tanggung jawab sosial dimana kita dituntut untuk menanggapi kebutuhan yang sah dari pihak lain. Menurut standar ini distribusi imbalan yang adil adalah yang memenuhi kebutuhan yang sah dari pihak lain agar terhindar dari kesukaran dan atau penderitaan
Standar ketiga, equality rule, menyatakan bahwa imbalan harus didistribusikan secara adil/ setara diantara partisipan yang terlibat dalam suatu hubungan sosial terlepas dari perbedaan yang ada. ( Kompas Media Nusantara, 2004:14-15)
2.5. Pranata/ Lembaga Sosial
Pranata atau lembaga adalah sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakat itu untuk berinteraksi menurut pola-pola resmi (Soekanto, 2003). Di dalam pranata warga masyarakat dapat berinteraksi satu sama lain, tetapi sudah diikat oleh aturan-aturan yang telah disepakati bersama.
Lembaga sosial atau pranata sosial memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Beberapa diantara lembaga sosial yang turut ambil andil dalam usaha kesejahteraan sosial adalah Lembaga Swadaya Masyarakat dan Lembaga Sosial Lokal.
a. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Menurut Peter Hannan (1988), seorang pakar ilmu-ilmu sosial dari
Australia yang pernah melakukan penelitian tentang LSM di Indonesia pada tahun 1986, menyebutkan bahwa LSM adalah organisasi yang bertujuan untuk mengembangkan pembangunan di tingkat grassroots, biasanya melalui penciptaan dan dukungan terhadap kelompok-kelompok swadaya lokal.
Menurut Korten (2001:5), identitas LSM tersebut dapat dilihat melalui pengelompokan atau pengklasifikasian LSM, yaitu sebagai berikut:
1. Organisasi Sukarela (Voluntary Organization atau VO) yang melakukan misi sosial, terdorong oleh suatu komitmen kepada nilai- nilai yang sama
2. Organisasi Rakyat (People’s Organization atau PO) yang mewakili kepentingan anggotanya, mempunyai pimpinan yang bertanggun jawab
3. Kontraktor Pelayanan Umum (Public Service Contractor atau PSC) yang berfungsi sebagai usaha tanpa laba, berorientasi pasar untuk melayani kepentingan umum.
4. Lembaga swadaya masyarakat pemerintah (Government Non Government atau GONGO) dibentuk oleh pemerintah dan berfungsi sebagai alat kebijakan pemerintah.
Dalam buku The State and NGOs (2002:165) dikatakan bahwa kebanyakan LSM di Indonesia berbentuk Yayasan. Yayasan merupakan suatu hunian dan perkumpulan yang berbentuk badan hukum dengan pengertian yang dinyatakan dalam pasal 1 butir 1 Undang-undang No.16 Tahun 2001 tentang yayasan yaitu suatu badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota. Berdasarkan defenesi tersebut yayasan memiliki ciri-ciri khas, yaitu :
1. Bersifat dan bertujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan.
2. Tidak semata-mata mengutamakan keuntungan atau mencuri penghasilan yang sebesar-besarnya.
3. Tidak mempunyai anggota
b. Lembaga sosial lokal Lembaga sosial pada tingkat lokal telah diakui memainkan peran penting dalam proses pembangunan di masyarakat. Lembaga ini pada hakekatnya menunjuk pada organisasi informal yang tumbuh di lingkungan yang secara geografis dan kultural merepresentasikan komunitas setempat yang kecil dan terbatas.
Organisasi ini biasanya dibentuk secara swadaya untuk menyelenggarakan pelayanan sosial atau merespon permasalahan sosial berbasiskan pada sumber-sumber setempat. Kepengurusan dan fungsi dari lembaga ini umumnya tidak kaku seperti pada organisasi-organisasi formal.
21 november 2013) Mengacu pada World Bank (1998: 3) mengenai yayasan dan lembaga kemasyarakatan, maka sedikitnya ada enam kriteria yang dapat dijadikan patokan mendefinisikan lembaga sosial lokal: 1.
Grantmaking 2. Fund raising (both local and external to community) 3. Broadly defined vision 4. Local Board of trustees reflective of community 5. Serving geographical defined community 6. Building endowment
Beberapa contoh lembaga sosial lokal dapat berupa organisasi semi- pemerintah, seperti Karang Taruna, Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, Posyandu, atau murni mewakili kepentingan masyarakat madani, semisal Mitra Cai, Kelompok Pengajian, dan Kelompok Arisan. mber 2013)
Menurut Yayasan Compassion Indonesia (2007:6) Gereja bukan semata-mata lembaga agama melainkan bagian dari lembaga sosial lokal.
Gereja adalah lembaga unik secara lokal dan juga global. Karena gereja adalah bagian dari masyarakat dimana ia berada, gereja memiliki pengetahuan dan rasa hormat mendalam terhadap kebudayaan dan konteks setempat dan juga dapat mencerminkan inisiatif local sesungguhnya. Pernyataan ini juga didukung melalui buku The Social Web an Introduction to Sociology (1988: 316), bahwa, A church is a religious organization that is thoroughly
institutionalized and well integrated into the social and economic order of society
2.6 Pelayanan Sosial
Alfred J. Khan memberikan pengertian pelayanan sosial sebagai berikut: “ Pelayanan sosial terdiri dari program-program yang diadakan tanpa mempertimbangkan kriteria pasar untuk menjamin suatu tingkatan dasar dalam penyediaan fasilitas pemenuhan kebutuhan akan kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat serta kemampuan perorangan untuk pelaksanaan fungsi-fungsinya, untuk memperlancar kemampuan menjangkau dan menggunakan pelayanan-pelayanan serta lembaga-lembaga yang telah ada dan membantu warga masyarakat yang mengalami kesulitan dan keterlantaran” (Soetarso,1982:34).
Pelayanan sosial pada hakekatnya dibuat untuk memberikan bantuan kepada individu dan masyarakat untuk menghadapi permasalahan-permasalahan yang semakin rumit. Y.B.Suparlan mengatakan bahwa, “ Pelayanan adalah usaha untuk materi agar orang lain dapat mengatasi masalahnya sendiri”(Suparlan, 1983:91). Pada umumnya pelayanan sosial yang dikembangkan dan diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Kesejahteraan keluarga
2. Pelayanan pendidikan orang tua
3. Pelayanan penitipan bayi atau anak
4. Pelayanan kesejahteraan anak
5. Pelayanan-pelayanan kepada lanjut usia
6. Pelayanan rehabilitasi bagi penderita cacat dan pelanggar hukum
7. Pelayanan bagi para migrant dan pengungsi
8. Kegiatan kelompok bagi para remaja
9. Pekerjaan sosial medis
10. Pusat-pusat pelayanan kesejahteraan sosial masyarakat 11. Pelayanan sosial yang berhubungan dengan proyek-proyek perumahan.
Fungsi pelayanan sosial dapat dibagi menjadi berbagai cara, bergantung kepada tujuan pembagian itu. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengemukakan fungsi-fungsi pelayanan sosial sebagai berikut:
1. Perbaikan secara progresif dari pada kondisi-kondisi kehidupan orang
2. Pengembangan terhadap perubahan sosial dan penyesuaian diri
3. Penggerakan dan penciptaan sumber-sumber komunitas untuk tujuan- tujuan pembangunan
4. Penyediaan struktur–struktur institusional untuk pelayanan-pelayanan yang terorganisir lainnya(Soetarso, 1981:41).
Bentuk-bentuk pelayanan sosial sesuai dengan fungsi-fungsinya adalah
1. Pelayanan Akses: mencakup pelayanan informasi, rujukan pemerintah, nasehat dan partisipasi. Tujuannya membantu orang agar dapat mencapai atau menggunakan pelayanan yang tersedia.
2. Pelayanan Terapi: mencakup pertolongan dan terapi ataurehabilitasi, termasuk didalamnya perlindungan dan perawatan. Misalnya pelayanan yang diberikan oleh badan-badan yang menyediakan konseling, pelayanan kesejahteraan anak, pelayanan kesejahteraan sosial mendidik dan sekolah, perawatan bagi orang-orang jompo dan lanjut usia.
3. Pelayanan sosialisasi dan pengembangan, misalnya taman penitipan bayi dan anak, keluarga bencana, pendidikan keluarga, pelayanan reaksi bagi pemudah dan masyarakat yang dipusatkan atau community centre (Nurdin, 1989:50).
2.7 Kerangka Pemikiran
Kesejahteraan sebagai suatu kondisi adalah cita-cita Indonesia yang sudah tertuang dalam pembukaan UUD. Namun kemiskinan masih menjadi masalah sosial yang menghambat Indonesia untuk mensejahterakan masyarakatnya. Sebagai Negara kesejahteraan, sudah barang tentu pemerintah wajib mensejahterakan masyarakatnya melalui pembangunan sosial yang diwujudkan kedalam usaha-usaha kesejahteraan sosial.
Dewasa ini berbagai usaha kesejahteraan sosial tidak hanya dilaksanakan oleh pemerintah semata, pihak non pemerintah juga turut melakukan kegiatan-kegiatan yang bermuatan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebagai bagian dari masyarakat, baik organisasi lokal maupun LSM memiliki tanggung jawab sebagai pilar-pilar yang mendukung kesuksesan pembangunan sosial.
Modal sosial merupakan suatu konsep yang mendukung penelitian tentang bagaimana suatu lembaga sosial mampu menjadi sumber kesejahteraan. Salah satu unsur yang ada dalam modal sosial adalah Jaringan Sosial. Dewasa ini LSM yang bergerak dalam bidang peningkatan kesejahteraan masyarakat melakukan strategi partisipatif dengan organisasi lokal yang ada dalam masyarakat. Hubungan sosial inilah yang hendak dianalisis dalam jaringan sosial, yakni gambaran unsur-unsur jaringan sosial yang meliputi partisipasi, pertukaran timbal balik, solidaritas, kerja sama dan keadilan.
Salah satu LSM yang berbentuk Yayasan yakni Yayasan Compassion Indonesia (YCI) memberikan program pelayanan sosial kepada anak yang berasal dari keluarga miskin. Progran yang dimaksud adalah Child Sponsorship Program (CSP), pelaksanaan CSP tidak langsung diberikan oleh Yayasan Compassion Indonesia kepada anak. Namun melalui perantara yakni Gereja Penyebaran Injil yang dipandang sebagai organisasi lokal yang memahami kebutuhan masyarakatnya.
Kemitraan antara Yayasan Compassion Indonesia dengan Gereja Penyebaran Injil membentuk suatu lembaga baru yang disebut Pusat Pengembangan Anak (PPA-
IO 552). PPA kemudian yang menjadi tempat dimana anak terdaftar dan berhak menerima segala bentuk kegiatan dari CSP.
Gambar 1.1 Kesejahteraan sosial Pembangunan sosial dan Usaha Kesejahteraan sosial Konsep Modal Sosial
Jaringan Sosial antar
lembaga
1)Partisipasi ; 2) Pertukaran Timbal Balik ;
3) Solidaritas; 4) Kerjasama ; 5) Keadilan
Yayasan Gereja Penyebaran Injil Compassion Indonesia (YCI)
Child Sponsorship Program di Pusat Pengembangan Anak (PPA-
IO 552) :
2.8. Defenisi Konsep
Defenisi Konsep merupakan sejumlah pengertian atau ciri-ciri yang berkaitan dengan berbagai peristiwa, objek, kondisi, situasi dan hal-hal lain sejenis. Konsep diciptakan dengan mengelompokkan objek-objek atau peristiwa-peristiwa yang mempunyai ciri-ciri yang sama. Definisi konsep bertujuan untuk merumuskan sejumlah pengertian yang digunakan secara mendasar dan menyamakan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian ( Silalahi, 2009:112)
Untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep-konsep yang dijadikan obyek penelitian, maka seorang peneliti harus menegaskan dan membatasi makna-makna konsep yang diteliti. Proses dan upaya penegasan dan pembatasan makna konsep dalam suatu penelitian disebut dengan definisi konsep. Secara sederhana defenisi ini diartikan sebagai batasan arti. Defenisi konsep adalah pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian.
(Siagian, 2011: 138) Adapun batasan konsep dalam penelitian ini adalah:
a. Analisa dalam penelitian ini adalah prosedur penelitian melalui fakta-fakta yang berhubungan dengan setiap pengamatan yang diperoleh dan dicatat secara sistematis
b. Jaringan sosial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jaringan sosial dalam masyarakat: hubungan antar kelompok yaitu Yayasan Compassion Indonesia (YCI) dan Gereja Penyebaran Injil (GPI)
C. Analisa jaringan sosial dalam penelitian ini adalah analisa terhadap unsur-
unsur jaringan sosial antar lembaga yakni :
1. Partisipasi
2. Pertukaran timbal balik
3. Solidaritas
4. Kerjasama
5. Keadilan