Pelayanan Sosial Yayasan Agape Dalam Meningkatkan Keterampilan Anak Jalanan (Studi Deskriptif Program Pelayanan Yayasan Agape Medan).

(1)

PELAYANAN SOSIAL YAYASAN AGAPE

DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN

ANAK JALANAN

SKRIPSI

DISUSUN OLEH:

AIDA TIO FITRINA MARBUN

040902062

Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

Medan


(2)

ABSTRAK Aida Tio Fitrina Marbun

040902062

PELAYANAN SOSIAL YAYASAN AGAPE DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN ANAK JALANAN (Studi Deskriptif Program Pelayanan Yayasan AGAPE Medan).

Adapun masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah program pelayanan sosial yayasan AGAPE dalam meningkatkan keterampilan anak jalanan. Sementara tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pelayanan yayasan AGAPE dalam meningkatkan keterampilan anak jalanan. Manfaat penelitian ini adalah, secara teoritis dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan terutama mengenai yayasan AGAPE yang selama ini belum begitu dikenal masyarakat. Dari segi praktisnya, diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat, pemerintah, lembaga-lembaga sosial dengan memberikan gambaran bahwa tujuan dibentuknya suatu lembaga sosial seperti yayasan AGAPE adalah untuk membantu anak jalanan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Populasi dalam penelitian ini adalah 120 orang. Teknik pengambilan sampel dengan cara purposif sampel, menarik sampel dengan menentukan kriteria-kriteria dengan tujuan kepentingan penelitian. Adapun kriterianya adalah anak jalanan yang terdaftar di yayasan AGAPE, anak jalanan yang beraktifitas di kawasan Terminal Terpadu Amplas, anak berusia 10 tahun keatas, dan aktif hadir sampai bulan Desember 2007. Setelah disesuaikan dengan kriteria tersebut maka sampel berjumlah 20 orang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan mentabulasikan data berdasarkan penyebaran angket penelitian.

Berdasarkan analisa data diperoleh hasil bahwa upaya yang dilakukan yayasan AGAPE dalam meningkatkan keterampilan anak jalanan yaitu dengan memberikan pelatihan-pelatihan dan bimbingan-bimbingan bagi anak jalanan tersebut. Adapun pelatihan keteerampilan yang diberikan meliputi; keterampilan sablon, salon, tenun, bermain musik, mengemudi dan menjahit. Hasil yang dicapai ditandai dengan bertambahnya pengetahuan umum, adanya motivasi belajar mandiri dan mental yang kuat, terutama kemampuan anak dalam menangani bidang-bidang tertentu (mempunyai life skill). Dapat disimpulkan bahwa apa yang telah dilaksanakan dan diberikan oleh pihak yayasan terhadap perkembangan dan peningkatan keterampilan anak jalanan sudah berdampak positif.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat kasih karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (FISIP USU),

dengan judul PELAYANAN SOSIAL YAYASAN AGAPE DALAM

MENINGKATKAN KETERAMPILAN ANAK JALANAN.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan sebagaimana layaknya skripsi yang bagus. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan masukan yang bersifat membangun dari para pembaca yang pada intinya merupakan perbaikan kepada penulis sehingga skripsi ini bisa menjadi lebih sempurna. Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan serta bimbingan hingga selesainya skripsi ini.

Penulis ucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Drs. Matias Siagiaan, Msi selaku Ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan. 3. Ibu Dr. Risnawati Sinulingga, M.Th, selaku dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktu, pikiran dan perhatian untuk membimbing dan mengarahkan penulis dari persiapan hingga penyempurnaan skripsi ini.


(4)

4. Semua Dosen serta staff pengajar tanpa terkecuali di FISIP USU, dan di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial khususnya yang telah banyak membantu penulis, mengarahkan, memberikan pandangan, membuka wawasan penulis sejak awal perkuliahan sampai akhir.

5. Ka Ita dan Ka Juraida yang telah bersedia mengurus surat-surat yang diperlukan oleh penulis.

6. Ibu Dra. Libora Lumban Toruan selaku direktur yayasan AGAPE yang telah memberikan izin bagi penulis untuk melakukan penelitian di yayasan AGAPE dan telah banyak memberi masukan dalam mengerjakan skripsi ini.

7. Semua staff karyawan yang ada di yayasan AGAPE yang telah banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian.

8. Adik-adik yang ada di yayasan AGAPE yang telah bersedia membantu penulis dalam melakukan penelitian.

9. Senior ku stambuk “02, 03” (ka Doris, ka Evy Telambanua, ka Rohdo, B’Martupa, B’Jonggala, B’Berwadin) yang telah banyak membantu dan mengarahkan penulis pada masa-masa perkuliahan dulu.

10.Teman-teman Kessos yang baik hati (Taty, Rini, Lusiana, Deswita, Betty, Ivana, Oktavia, Argentina, Priska, Yaniza, Elsa, Juni, Butet, Tere, Diana, Amedeo, Rosi) dan semua angkatan ‘04’ tanpa terkecuali, terima kasih atas kebersamaan kita selama masa perkuliahan.

11.Adik-adik Kessos stambuk “05-07” semangat terus ya…tetap kembangkan IMIKS.


(5)

12.Saudara/i ku di KMK (Keluarga Mahasiswa Katolik) – St. Albertus Magnus USU dan St. Yohannes Don Bosco khususnya, yang telah penulis jadikan keluarga sejak penulis memulai perkuliahan di USU….Ad Maiorem Dei Gloriam.

13.Rekan-rekan juang PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) Cabang Medan – St. Bonaventura atas dukungan dan dorongan yang begitu besar sehingga penulis tetap semangat dalam penyelesaian skripsi ini, khususnya teman-teman DPC (Chandra Mahulae, Tolopi Marbun, Ida Royani Silalahi, Meylina Situmorang, Hotman Manik, Lelyta Girsang, Elsy D. Sembiring dan semua teman-teman DPC yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu) terima kasih atas pengertiannya dan dorongan yang begitu besar buat penulis. PMKRI merupakan tempat penulis selama ini mengasah mental, mengembangkan pribadi, memperluas wawasan, belajar dan berjuang, mencari saudara dan relasi untuk itu penulis akan tetap berdoa buat perhimpunan tercinta “PMKRI tetaplah mekar dan jaya untuk selamanya”. Satu harapan berupa untaian kata dari penulis buat rekan juang PMKRI “Teman…. Yakinlah bahwa kelak kita akan berhasil dan menjadi yang terbaik untuk selamanya.

14.Teristimewa buat kedua orang tuaku yang tercinta Ayahanda B. Marbun dan Ibunda R. Simatupang yang telah mengasuh, membesarkan, mendidik penulis dengan cucuran keringat serta linangan air mata dengan penuh kesabaran dan ketabahan, yang juga telah mengorbankan segalanya demi kami anakmu, yang selalu memberikan doa, motivasi, materi serta kasih sayang yang tak terhingga kepada penulis dari dulu, sekarang, dan selamanya hingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan dengan penuh suka dan duka. Terimakasih Ayah…


(6)

Terimakasih Bunda… tiada yang bisa ananda persembahkan selain doa, semoga Ayah dan Bunda selalu diberkati oleh Allah Bapa Yang Maha Pengasih, beroleh umur yang panjang serta sehat selalu, Amin. Itulah doa dari ananda mu.

15.Buat saudara/i yang sangat penulis sayangi dan cintai; Kakanda Swarni Leonarda, Kakanda Hotdiasnita, Kakanda Roslan Anagisa, Adinda Jono Binsar Pardamean, Adinda Sosto Brandino dan juga Adinda ku sayang Joice Grace Polma, atas doa dan dorongan semangat yang diberikan kepada penulis dari dulu sampai sekarang. I Love You All… Now and Forever. God Bless Us All, Amin.

16.Buat Ompung, Tulang - Nantulang, Pak tua - Mak tua, Uda – Inanguda, Kakak – Abang – Adik, serta semua keluarga yang lain, pendidikan ini saya dapat berkat dorongan dan doa kalian semua.

Tiada untaian kata yang terindah yang dapat penulis berikan selain ucapan terimakasih dan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberikan Berkat dan Anugerah-Nya atas kebaikan dan dukungan yang diberikan kepada penulis.

Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terutama kepada penulis. Semoga berkat dan Kasih Karunia Tuhan Yang Maha Kuasa menyertai kita semua.

Medan, Mei 2008 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR BAGAN ... vii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

C.1. Tujuan Penelitian ... 9

C.2. Manfaat ... 9

D. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA A. Anak, Hak-hak Anak dan Kedudukannya Dalam Aspek Sosiologis ... 12

A.1. Defenisi Anak dan Anak Jalanan ... 12

A.2. Hak-hak Anak ... 13

A.3. Kedudukan Anak Dalam Aspek Sosiologis ... 15

B. Anak Jalanan, Penyebab dan Pengelompokannya ... 15


(8)

B.1.1. Anak Jalanan... 15

B.1.2. Pengelompokan Anak Jalanan ... 16

B.2. Penyebab Munculnya Anak Jalanan ... 18

B.3. Permasalahan Anak Jalanan ... 21

C. Pelayanan Sosial Bagi Anak Jalanan ... 25

D. Rumah Singgah Sebagai Salah Satu Bentuk Pelayanan Sosial Bagi Anak Jalanan ... 29

E. Keterampilan Sebagai Salah Satu Faktor Pemberdayaan Anak Jalanan ... 34

F. Kerangka Pemikiran ... 37

G. Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional... 39

G.1. Defenisi Konsep ... 39

G.2. Defenisi Operasional ... 40

BAB III: METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian ... 42

B. Lokasi Penelitian... 42

C. Populasi dan Sampel ... 43

C.1. Populasi ... 43

C.2. Sampel ... 43

D. Teknik Pengumpulan Data ... 44


(9)

BAB IV: DESKRIPSI LOKASI

A. Sejarah Singkat Berdirinya Yayasan AGAPE Medan ... 46

B. Visi dan Misi Yayasan AGAPE ... 46

B.1. Visi Yayasan AGAPE ... 46

B.2. Misi Yayasan AGAPE ... 47

C. Maksud dan Tujuan Didirikannya Yayasan AGAPE... 47

C.1. Maksud Didirikannya Yayasan AGAPE ... 47

C.2. Tujuan Didirikannya Yayasan AGAPE ... 48

D. Program Pelayanan Yayasan AGAPE ... 48

E. Pelaksanaan Program Yayasan AGAPE... 49

F. Struktur Organisasi dan Pembagian Tugas Manajemen Yayasan AGAPE Medan... 54

F.1. Struktur Organisasi ... 54

F.2. Pembagian Tugas Manajemen Yayasan AGAPE ... 55

G. Sumber Daya dan Pengelola Yayasan AGAPE ... 56

G.1. Jumlah Pengurus dan Tenaga Kerja Yayasan ... 56

G.2. Sarana dan Prasarana Yayasan AGAPE ... 57

H. Keadaan Dana Yayasan AGAPE ... 59

I. Keadaan Umum Anak Jalanan Binaan Yayasan AGAPE ... 60

BAB V: ANALISA DATA A. Karakteristik Umum Responden ... 62


(10)

C. Pekerjaan/Profesi Responden ... 68 D. Keberadaan atau Pelayanan Rumah Singgah Terhadap Responden... 74 E. Tanggapan Responden Tentang Pelayanan Yayasan Secara Umum ... 101

BAB VI: PENUTUP

A. Kesimpulan ... 104 B. Saran ... 106 DAFTAR PUSTAKA


(11)

DAFTAR TABEL

Bab IV: Tabel1. Identifikasi Anak ... Tabel 2. Resosialisasi ... Tabel 3. Pemberdayaan ... Tabel 4. Terminasi ... Tabel 6. Data pengelola, penyelenggara, tutor, pekerja sosial,

instruktur life skill, yayasan AGAPE ... Tabel 7. Sarana dan prasarana yayasan AGAPE ...

Bab V: A. Karakteristik Umum Responden

Tabel 1. Karakteristik Responden Berdasarkan Kelompok Usia ... Tabel 2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... Tabel 3. Karakteristik Responden Berdasarkan Agama ... Tabel 4. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan ... Tabel 5. Karakteristik Responden Berdasarkan Suku...

B. Keadaan Keluarga Responden

Tabel 6. Status Keluarga ... 64 Tabel 7. Responden Tinggal Dengan Siapa ... 64


(12)

Tabel 8. Jenis Pekerjaan Tetap Responden ... 65 Tabel 9. Rata-rata Penghasilan Responden Dalam Satu

Hari ... 66 Tabel 10. Alokasi Penghasilan yang Diperoleh Responden ... 66 Tabel 11. Distribusi Anak Jalanan Menurut Lamanya

Bekerja di Jalanan Dalam Sehari ... 68 Tabel 12. Distribusi Anak Jalanan Menurut Lamanya

Berada/Berstatuskan Sebagai Anak Jalanan ... 68 Tabel 13. Persepsi Responden Tentang Pekerjaannya ... 69

D. Keberadaan atau Pelayanan Rumah Singgah Terhadap Responden

Tabel 14.Tanggapan Responden Terhadap Pelayanan

Rumah Singgah ... 70 D.1. Penjangkauan dan Pendampingan Anak Jalanan

Tabel 15. Tanggapan Responden Tentang Pernah/Tidaknya Melihat Brosur Yayasan Beredar di Jalanan atau Pekerja Sosial yang Langsung Turun ke Jalan Melakukan Penjangkauan, Pendampingan dan

Sosialisasi kepada Anak Jalanan ... 71 Tabel 16. Tanggapan Responden Terhadap Pendampingan

Rumah Singgah AGAPE Ketika Responden


(13)

Tabel 17.Jawaban Responden Terhadap Kesediaan Yayasan Untuk Membantu Keluarga Responden

Ketika Mendapat Masalah ... 72 Tabel 18. Bentuk Bantuan Yang Diterima Responden ... 72 Tabel 19. Tanggapan Responden Terhadap Manfaat Dari

Bantuan Yang Diberikan Oleh Yayasan ... 73 D.2. Identifikasi Anak Oleh Yayasan

Tabel 20. Tanggapan Responden Terhadap Adanya

Pengidentifikasian Anak Oleh Yayasan AGAPE... 74 Tabel 21. Tanggapan Responden Tentang Pernah/Tidaknya

Yayasan Menanyakan Keadaan Keluarga si Anak... 74 D.3. Resosialisasi Lembaga

Tabel 22. Tanggapan Responden Tentang Pengenalannya Yang Lebih Jauh Terhadap Lembaga Atas

Pemberitahuan Oleh Lembaga ... 75 Tabel 23. Tanggapan Responden Tentang Pernah/Tidaknya

Diminta Oleh Lembaga Untuk Sosialisasikan Keberadaan Lembaga Kepada Anak –anak yang

Belum Bergabung ... 76 D.4. Pelayanan Konseling Bagi Anak

Tabel 24. Jawaban Responden Terhadap Yayasan AGAPE

Dalam Mengikuti Program Konseling ... 76 D.5. Pelayanan Dalam Memberikan Motivasi Bagi Anak


(14)

Tabel 25. Tanggapan Responden Tentang Pernah/Tidaknya Yayasan AGAPE Memberikan Motivasi Belajar

dan Bekerja Bagi Anak ... 77 Tabel 26. Jawaban Responden Terhadap Manfaat

Pemberian Motivasi ... 78 D.6. Pelayanan Bimbingan Secara Umum Bagi Anak

Tabel 27. Jawaban Responden Dalam Mendapatkan

Bimbingan Moral di Yayasan AGAPE ... 78 Tabel 28. Tanggapan Responden Terhadap Pemberian

Bimbingan-bimbingan yang Dilakukan Oleh

Yayasan AGAPE ... 79 D.7. Pelayanan Bantuan Modal Usaha Bagi Anak Jalanan

dan Keluarga

Tabel 29. Jawaban Responden Terhadap Yayasan AGAPE Dalam Memberikan Bantuan Modal Usaha

Kepada Responden ... 79 Tabel 30 Jawaban Responden Terhadap Yayasan AGAPE

Dalam Memberikan Bantuan Modal Usaha

Kepada Orangtua/Keluarga Responden ... 80 D.8. Pelayanan Kesehatan Bagi Anak

Tabel 31. Jawaban Responden Tentang Pernah/Tidaknya Mendapat Pelayanan Kesehatan dari Rumah


(15)

Tabel 32. Pelayanan Kesehatan yang Diperoleh di Yayasan

AGAPE ... 81 Tabel 33. Pendapat Responden Tentang Pelayanan

Kesehatan yang Diterima ... 82 Tabel 34. Tempat Pemberian Pelayanan Kesehatan ... 83 D.9. Keadaan dan pelayanan Keterampilan Responden

Tabel 35. Keadaan Keterampilan Responden Sebelum Jadi

Anak Binaan Yayasan AGAPE ... 83 Tabel 36. Keadaan Keterampilan Responden Setelah Jadi

Anak Binaan Yayasan AGAPE ... 84 Tabel 37. Bentuk Keterampilan yang Diterima Oleh Anak ... 85 Tabel 38. Tanggapan Responden Terhadap

Keikutsertaannya Dalam Keterampilan Sablon

yang Diberikan Yayasan AGAPE ... 86 Tabel 39. Tanggapan Responden Terhadap

Keikutsertaannya Dalam Keterampilan Salon

yang Diberikan Yayasan AGAPE ... 86 Tabel 40. Tanggapan Responden Terhadap

Keikutsertaannya Dalam Keterampilan Kerajinan

Tangan yang Diberikan Yayasan AGAPE... 87 Tabel 41. Tanggapan Responden Terhadap

Keikutsertaannya Dalam Keterampilan Bermain


(16)

Tabel 42. Tanggapan Responden Terhadap Keikutsertaannya Dalam Keterampilan

Mengemudi ... 88 Tabel 43. Tanggapan Responden Terhadap

Keikutsertaannya Dalam Keterampilan Menjahit ... 88 Tabel 44. Pendapat Responden Tentang Sarana Kegiatan

Keterampilan ... 89 Tabel 45. Tanggapan Responden Tentang Keterampilan

yang Diberikan Yayasan AGAPE ... 90 Tabel 46. Pendapat Responden Tentang Fasilitas (Gedung,

Perlengkapan Keterampilan, Perlengkapan Belajar) yang Terdapat di Rumah Singgah

AGAPE ... 90 D.10. Pendidikan Lain Bagi Anak di Yayasan AGAPE

Tabel 47. Tanggapan Responden Tentang Adanya

Pendidikan Lain yang Didapat dari AGAPE ... 91

E. Tanggapan Responden Tentang Pelayanan Yayasan AGAPE Secara Umum

Tabel 48. Jawaban Responden Tentang Senang/Tidaknya

Dengan Program yang Dilaksanakan ... 92 Tabel 49. Tanggapan Responden Tentang Pelayanan


(17)

Kepada Satu Anak Saja atau Kepada Semua Anak


(18)

DAFTAR BAGAN

Bab II bagan 1. Kerangka Pemikiran ... 39 Bab IV bagan1. Struktur Organisasi Yayasan AGAPE... 54


(19)

ABSTRAK Aida Tio Fitrina Marbun

040902062

PELAYANAN SOSIAL YAYASAN AGAPE DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN ANAK JALANAN (Studi Deskriptif Program Pelayanan Yayasan AGAPE Medan).

Adapun masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah program pelayanan sosial yayasan AGAPE dalam meningkatkan keterampilan anak jalanan. Sementara tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pelayanan yayasan AGAPE dalam meningkatkan keterampilan anak jalanan. Manfaat penelitian ini adalah, secara teoritis dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan terutama mengenai yayasan AGAPE yang selama ini belum begitu dikenal masyarakat. Dari segi praktisnya, diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat, pemerintah, lembaga-lembaga sosial dengan memberikan gambaran bahwa tujuan dibentuknya suatu lembaga sosial seperti yayasan AGAPE adalah untuk membantu anak jalanan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Populasi dalam penelitian ini adalah 120 orang. Teknik pengambilan sampel dengan cara purposif sampel, menarik sampel dengan menentukan kriteria-kriteria dengan tujuan kepentingan penelitian. Adapun kriterianya adalah anak jalanan yang terdaftar di yayasan AGAPE, anak jalanan yang beraktifitas di kawasan Terminal Terpadu Amplas, anak berusia 10 tahun keatas, dan aktif hadir sampai bulan Desember 2007. Setelah disesuaikan dengan kriteria tersebut maka sampel berjumlah 20 orang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan mentabulasikan data berdasarkan penyebaran angket penelitian.

Berdasarkan analisa data diperoleh hasil bahwa upaya yang dilakukan yayasan AGAPE dalam meningkatkan keterampilan anak jalanan yaitu dengan memberikan pelatihan-pelatihan dan bimbingan-bimbingan bagi anak jalanan tersebut. Adapun pelatihan keteerampilan yang diberikan meliputi; keterampilan sablon, salon, tenun, bermain musik, mengemudi dan menjahit. Hasil yang dicapai ditandai dengan bertambahnya pengetahuan umum, adanya motivasi belajar mandiri dan mental yang kuat, terutama kemampuan anak dalam menangani bidang-bidang tertentu (mempunyai life skill). Dapat disimpulkan bahwa apa yang telah dilaksanakan dan diberikan oleh pihak yayasan terhadap perkembangan dan peningkatan keterampilan anak jalanan sudah berdampak positif.


(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan sosial budaya , politik, ekonomi, teknologi serta pertumbuhan

penduduk yang cukup cepat, langsung atau tidak langsung telah mempengaruhi tatanan sistem nilai dan budaya suatu bangsa. Arus perkembangan dan pertumbuhan tersebut seolah-olah berjalan dengan mulus dan menjadi kebanggaan suatu Negara. Kenyataan sebenarnya telah terjadi kesenjangan yang sangat mencolok. Di satu pihak telah terwujud bangunan-bangunan mewah yang dapat dibanggakan dan menjadi pusat perhatian. Tetapi di pihak lain, tidak jauh dari area tersebut tumbuh perkampungan kumuh yang sangat menyedihkan dan perlu mendapat perhatian khusus. Dalam perkampungan kumuh di Indonesia hampir 2/3 jumlah penduduknya adalah anak-anak, mereka pada umumnya tergolong anak-anak yang rentan permasalahan sosial dan perlu mendapat perlindungan khusus untuk menyelamatkannya (Prijono Tjiptoherijanto, 2003;15).

Anak jalanan adalah istilah yang sudah sangat akrab bagi kita. Manakala menyebut anak jalanan, perhatian kita akan tertuju pada sosok-sosok kumuh, dekil, liar, nakal dan selalu hadir di perempatan jalan, tumpukan sampah, pusat-pusat hiburan, keramaian atau terminal-terminal. Sosok anak jalanan, hingga kini merupakan manusia yang menempati kedudukan sangat hina di mata masyarakat umum. Penampilannya yang jorok, ekonomi keluarganya yang miskin, lingkungan pemukimannya di daerah-daerah kumuh atau bahkan sama sekali tidak mempunyai tempat tinggal tetap, perangainya yang liar dan sering melakukan kejahatan dan kekhasan lain anak jalanan, menyebabkan pandangan masyarakat


(21)

terhadapnya sangat rendah. Ironisnya lagi, masyarakat bahkan tidak menganggap mereka sebagai manusia lazimnya. Sebab dalam anggapan mereka, anak jalanan adalah sampah yang tidak lagi mempunyai masa depan, tidak bisa diharapkan sebagai generasi penerus pembangunan dan tidak mempunyai manfaat bagi masyarakat (Frans van Dijk, 1993;11).

Statusnya sebagai anak jalanan, menyebabkan anak-anak itu harus rela dengan berbagai hinaan, cacian, makian, kekejaman, kekerasan dan image-image buruk masyarakat. Itu artinya ketika permasalahan sosial menimpa keluarga dan dirinya, dengan sendirinya ia mengalami penghilangan hak sebagai manusia dan hak sebagai anak oleh masyarakat. Anak jalanan merupakan anak-anak marginal yang terpaksa atau dipaksa mencari nafkah bagi diri, keluarga atau orang lain dengan berjualan koran, menyemir sepatu, pemulung, tukang sapu atau lap mobil, pedagang asongan, pengemis dan berbagai pekerjaan yang dapat menghasilkan uang lainnya. Perampasan terhadap hak-hak anak ini tanpa disadari telah terjadi secara besar-besaran, dimana anak-anak yang tengah menikmati pendidikan di sekolah-sekolah formal pun; mulai terancam dan bahkan tidak sedikit yang

droup out. Kesempatan untuk bermain dan tumbuh kembang sudah mulai hilang. Kondisi seperti itu, merupakan akibat dari ketidakberdayaan orang tua untuk melindungi anaknya, sehingga anak-anak dijadikan tumpuan untuk membantu pemenuhan kebutuhan keluarga (Frans van Dijk, 1999;12).

Sejak krisis ekonomi tahun 1999, jumlah anak jalanan di Indonesia diperkirakan meningkat 85 persen menurut data yang dikumpulkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2002, dan anak jalanan tercatat ada 9.674 anak. Masalah anak di Indonesia seperti kekerasan pada anak, anak jalanan, anak terlantar dan sebagainya masih cukup tinggi. Menurut hasil ekspos Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara tahun 2006 ada 86.000


(22)

anak usia 7-15 tahun putus sekolah, hasil ekspos Kepala BKKBN kota Medan terdapat 3.600 anak usia 7-15 tahun. Menurut ekspos Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara terdapat 60.000 anak jalanan, 4.200 anak terlantar dan 2.600 anak tertinggal. Menurut Sartono Mukaddis data-data di atas hanyalah fenomena secara fisik (child abuse). Ada eksploitasi lain yang tidak kalah bahayanya, yaitu eksploitasi dan pengabaian secara psikologi. Eksploitasi dan pengabaian ini sebenarnya dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan terhadap anak. Bentuknya bisa pemakaian labeling atau pencitraan buruk, memarahi anak dengan kata-kata yang tidak pantas, bisa pula memperlakukan anak sebagai unwanted child

(anak yang tidak diinginkan kelahirannya) dengan menitipkannya di panti asuhan. Dan menurut perkiraan dalam setiap 1-2 menit terjadi kekerasan pada anak di Indonesia. Jelas anak-anak yang berada dalam lingkungan seperti ini sangat rawan tindak kekerasan, pengabaian, dan eksploitasi. Bila hal ini terus dibiarkan, maka akibatnya akan sangat fatal, yaitu hilangnya generasi beradab di Indonesia. Masa depan bangsa kita dua sampai tiga puluh tahun yang akan datang akan sangat tergantung pada kualitas anak-anak yang kini berusia 0-18 tahun (Mukkadis, 2007, http:www.republika co id.htm

Anak-anak adalah masa depan. Dengan demikian, upaya mewujudkan masyarakat yang madani dan beradab haruslah mempertimbangkan keberadaan anak dengan segala persoalan yang melingkupinya. Sebab jika tidak, akan sukarlah diproyeksikan masyarakat macam apa yang akan lahir kelak. Masyarakat yang sakit, yang mentolerir kekerasan

).

Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia yang berkualitas, kelangsungan hidup dan pengembangan fisik, mental serta perlindungan dari berbagai marabahaya yang dapat mengancam integritas dan masa depan mereka, perlu adanya upaya pembinaan yang berkesinambungan dan terpadu.


(23)

terhadap anak-anaknya sendiri, sang generasi pewaris, besar kemungkinan akan melahirkan masyarakat bar-bar (Frans van Dijk,1999;19).

Faktor utama yang menyebabkan munculnya anak jalanan adalah kemiskinan. Keadaan masyarakat yang miskin akan sangat menunjang banyaknya anak yang lebih memilih untuk hidup di jalan (Fanggidae, 1993:117). Begitu juga halnya dengan masyarakat miskin yang tinggal di pedesaan berusaha untuk memperbaiki hidupnya dengan cara pindah ke kota, dengan harapan sesampainya di kota mereka akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Akan tetapi, karena mereka ke kota dengan tidak berbekal pendidikan dan hanya berbekal semangat maka pekerjaaan yang dapat mereka lakukan seperti menjadi buruh kasar, pemulung, penjual koran, pengemis dan sebagainya. Selain faktor ekonomi keluarga seperti yang dijelaskan di atas, anak-anak tersebut turun kejalan juga bisa disebabkan oleh tidak betah di rumah, karena broken home, pertengkaran dalam keluarga, kekerasan fisik yang dialami anak, terpengaruh oleh teman atau lingkungannya, dan ingin merasakan hidup yang bebas tanpa ada aturan atau perintah.

Penyalahgunaan hak dan proses perkembangan anak pun sering terjadi terhadap mereka. Penyalahgunaan hak oleh orang tua di lingkungan keluarga akan sangat merugikan bagi kehidupan masyarakat. Banyak sekali didapati anak yang berusia di bawah 18 tahun yang semestinya berada di lingkungan keluarganya terlihat di pojok-pojok gang, di pinggiran jalan ataupun tempat-tempat umum lainnya, bergelut dengan nasibnya sendiri, dengan menyemir sepatu, menjajakan Koran atau rokok, menyapu mobil, menjajakan minuman ringan dan sebagainya.

Dengan pekerjaan tersebut, tentu saja akan menimbulkan permasalahan pada hubungan antara anak-anak dengan keluarga lainnya. Selain itu perlindungan keluarga


(24)

terhadap anak akan semakin menurun. Hal ini dapat dilihat dari sikap orang tua yang mengharuskan anak-anaknya bekerja di jalanan yang kita ketahui akan sering berhubungan dengan tindak kekerasan. Anak-anak tersebut akan memperoleh pengaruh atau perlakuan yang buruk, seperti diperas, dicabuli ataupun tindak kekerasan lainnya, (Robinson dkk,2003; 62).

Hal ini merupakan suatu keadaan yang tidak selayaknya terjadi di Indonesia, karena Indonesia merupakan salah satu Negara yang meratifikasi Konvensi Hak Anak oleh PBB melalui Keppres No. 36 tahun 1990. Apabila ada Negara yang melanggar konvensi ini maka Negara tersebut akan mendapat sanksi moral. Konvensi Hak Anak tersebut menyatakan bahwa setiap anak memiliki hak yaitu: hak untuk hidup, hak untuk tumbuh dan berkembang, hak untuk memperoleh perlindungan, hak untuk berpartisipasi (Konvensi Hak Anak, 1999).

Dengan adanya penjelasan tentang hak-hak anak oleh konvensi hak anak, maka masalah yang bertentangan dengan pelanggaran hak anak sudah seharusnya dihapuskan. Kompleksitas permasalahan yang dihadapi anak jalanan ini membutuhkan berbagai strategi pendekatan yang sesuai dan efektif untuk menjangkau akar permasalahannya. Pendekatan yang selama ini dipakai oleh LSM-LSM untuk menjangkau kelompok sasaran antara lain: Community-based, Street based, Centre based, Family based dan kombinasi dari pendekatan-pendekatan tersebut. Masing-masing pendekatan mewakili sifat penanganan seperti Community based yang lebih bersifat preventif, Street based bersifat kuratif, Centre based bersifat rehabilitatif dan Family based dapat bersifat ketiga-tiganya, (Robinson dkk,2003;62).


(25)

Lemahnya posisi anak dan tingginya resiko eksploitasi terhadap mereka mendorong dilaksanakannya program pemberdayaan (empowerment) yaitu mendorong orang untuk menampilkan dan merasakan hak-hak asasinya. Upaya pemberdayaan ini menjadi agenda LSM-LSM untuk program-program penanganan anak jalanan dan pekerja anak dewasa ini. Proses pemberdayaan mengutamakan partisipasi aktif orang untuk meraih keberdayaannya sendiri. Agar proses ini terlaksana ada tiga kondisi yang harus dipenuhi yaitu: pertemanan, kesetaraan dan partisipasi. Prinsip kesetaraan sangat penting karena dengan sendirinya dapat membebaskan buruh anak dari dominasi orang dewasa. Perwujudan prinsip kesetaraan melalui pertemanan ini terbukti efektif untuk menarik anak-anak agar terlibat dalam kegiatan ini.

Tata Sudrajat menjabarkan wujud kegiatan pemberdayaan yang banyak dilakukan LSM yaitu: bimbingan sosial, pendidikan jalanan, ekonomi jalanan, bimbingan keluarga, kesenian dan advokasi. Kesemuanya ini bertujuan untuk membentuk rasa percaya diri anak. Berkaitan dengan program penanganan anak jalanan dan pekerja anak, Indrasari Tjandraningsih (1998) mengatakan kegiatan pendampingan dengan metode pendekatan Top Down, seperti program-program pemerintah, seringkali tidak menampakkan hasil nyata. Beberapa kegiatan yang semula dianggap dapat bermanfaat bagi buruh anak ternyata justru mereka tolak karena mereka dipandang kurang relevan dengan kenyataan yang mereka hadapi sehari-hari. Misalnya keterampilan kerja menjahit, bertenun, pertukangan dan lain-lain. Anak-anak yang sudah jenuh dengan kehidupan kerja menganggap kegiatan ini tidak menarik, karena itu program-program yang berisi pendidikan formal maupun keterampilan kurang diminati oleh mereka. Di sini kemudian diketahui kegiatan yang mereka minati yaitu kegiatan yang menyediakan kebutuhan untuk mengekspresikan diri dan kebutuhan


(26)

untuk didengar, sesuatu yang tidak pernah mereka dapatkan dalam kehidupan sehari-hari. Program-program seperti kesenian, rekreasi, bercerita dan lain-lain lebih banyak mengundang minat mereka untuk berpartisipasi di dalamnya. Jenis kegiatan kesenian dan berunsur ekspresi kemudian diterapkan oleh banyak LSM karena telah dapat diidentifikasikan manfaatnya untuk mengukur tingkat keberdayaan kelompok sasaran, terutama dari daya kritis yang terus berkembang.

Dalam hal aktivitasnya di jalanan, anak memerlukan keterampilan khusus guna menyambung roda kehidupan. Untuk itulah diperlukan relawan-relawan atau pekerja-pekerja sosial untuk membimbing dan mendidik anak jalanan, agar anak jalanan dapat mengaktualisasikan diri dalam lingkungan masyarakat luas. Keterampilan yang umumnya digemari oleh anak jalanan seperti bermain musik (guitar, drum, dll), olah raga (sepak bola, dll) bagi anak laki-laki dan bagi anak perempuan keterampilan yang cocok seperti kursus menjahit, bercocok tanam bunga, tenun, dan salon kecantikan.

Berkaitan dengan usia minimal anak bekerja, ada tiga metode pendekatan yang dianggap sebagai solusi menangani masalah anak jalanan, yaitu: pertama, open house system yaitu rumah singgah yang sifatnya sementara. Di sini anak-anak dibina, dikenalkan dengan moral yang baik, menjadi anak yang sehat, beriman, disiplin, bersih. Kedua, Rumah singgah, anak yang ingin sekolah dicarikan sekolah dan dirumah ini ia tinggal hanya singgah, lalu kembali ke orang tuanya. Fungsinya untuk kembali kemasyarakat. Sedangkan yang ketiga, Boarding house system adalah rumah tunggu sementara, misalnya panti sosial remaja, selama 6 bulan dia diberi makan, diberi tempat tinggal, diberikan latihan sampai ia mendapat pekerjaan.


(27)

Rumah singgah sebagai salah satu metode pendekatan terhadap anak jalanan menjalankan berbagai macam program pelayanan untuk anak jalanan. Setiap program yang dilaksanakan haruslah mendatangkan manfaat dan kebutuhan anak jalanan itu sendiri. Rumah singgah yang menjadi tumpuan dalam penelitian ini adalah Rumah singgah AGAPE, yang merupakan salah satu dari beberapa lembaga sosial yang ada di kota Medan. Yayasan AGAPE sebagai lembaga sosial non pemerintahan yang bergerak melakukan pembinaan terhadap anak jalanan serta memonitoring perkembangan dan hambatan-hambatan yang dialami mereka. Selanjutnya yayasan AGAPE juga memberikan pelayanan sosial melalui open house (Rumah singgah). Dan masih ada kegiatan yang lain yaitu menangani dan membina anak miskin kota, anak-anak putus sekolah dengan menyediakan pendidikan luar sekolah melalui pusat kegiatan belajar masyarakat/PKBM setara SD, setara SLTP dan setara SMU, menyelenggarakan kegiatan pelatihan ketrampilan, pembinaan ekonomi produktif dan taman bacaan seputar di kota Medan khususnya di kecamatan Medan Amplas. Dengan melihat program pelayanan yang diberikan kepada anak jalanan menunjukkan bahwa rumah singgah AGAPE cukup layak dijadikan tempat untuk melihat keefektifan pelayanan suatu rumah singgah. Adapun anak-anak yang menjadi tanggungan rumah singgah ini berada di seputaran Terminal Terpadu Amplas dan sekitar jalan Panglima Denai Medan, Sumatera Utara.

Keberhasilan suatu rumah singgah dapat dilihat dari keberhasilan program-program yang dilaksanakan. Untuk itu dalam penelitian ini, penulis ingin mengetahui pelayanan suatu rumah singgah dalam melaksanakan programnya terhadap keterampilan individu anak jalanan. Maka untuk mengetahui sejauh mana pelayanan yayasan AGAPE dalam menangani anak jalanan ini maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul


(28)

Pelayanan Sosial Rumah Singgah AGAPE Medan dalam meningkatkan keterampilan anak jalanan”.

B.Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan langkah penting untuk membatasi masalah yang akan diteliti. Masalah adalah bagian pokok dari kegiatan penelitian (Arikunto, 1992;47). Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan diatas yang menyangkut kehidupan anak jalanan, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah pelayanan yang diberikan oleh Rumah singgah AGAPE dalam meningkatkan keterampilan anak jalanan di kawasan kecamatan Medan Amplas”.

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian C.1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui sejauh mana pelayanan rumah singgah AGAPE dalam meningkatkan keterampilan anak jalanan.

2. Untuk mengetahui manfaat pelayanan rumah singgah AGAPE Medan terhadap keterampilan anak jalanan.

C.2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat:

1. Secara akademis, dapat menjadi bahan bagi pengembangan Ilmu Kesejahteraan Sosial secara nyata dalam mengembangkan bentuk-bentuk pelayanan sosial, baik


(29)

dalam lembaga-lembaga tertentu maupun dalam masyarakat luas, khususnya mengenai pentingnya pelayanan sosial bagi anak jalanan sehingga dapat menjalankan fungsi sosialnya secara nyata di masyarakat.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan atau sumbangan pemikiran bagi Yayasan AGAPE secara khusus dan bagi instansi terkait, pemerintah, maupun pihak-pihak luar secara umum dalam hal menangani permasalahan yang dihadapi dalam proses penigkatan keterampilan anak jalanan. 3. Secara teoritis, melatih diri dan mengembangkan pemahaman kemampuan berfikir

penulis melalui penulisan karya ilmiah mengenai pelayanan sosial bagi anak jalanan di Yayasan AGAPE Medan dengan menerapkan pengetahuan yang diperoleh selama belajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial USU.

D. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan tentang uraian dan teori-teori yang berkaitan dengan objek yang akan diteliti, kerangka pemikiran, definisi konsep dan definisi

operasional.

BAB III METODE PENELITIAN


(30)

sampel penelitian, teknik pengumpulan data, serta teknik analisa data. BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang sejarah geografis dan gambaran umum lokasi penelitian yang berhubungan dengan masalah objek yang diteliti.

BAB V ANALISIS DATA

Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dalam penelitian beserta analisisnya.

BAB VI PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran atas penelitian yang telah dilaksanakan.


(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anak, Hak-hak Anak dan Kedudukannya dalam Aspek Sosiologis A.1. Defenisi Anak dan Anak Jalanan

Konsep “anak” didefenisikan dan dipahami secara bervariasi dan berbeda sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan yang beragam. Menurut UU No.4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak: anak adalah seseorang yang berusia di bawah 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan menurut UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak: anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dapat disimpulkan bahwa, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun yang belum mampu bertanggungjawab terhadap diri-sendiri dan masih berada di bawah tanggungan orang lain yaitu keluarga, masyarakat maupun pemerintah.

Anak adalah aset bangsa sebagai bagian dari generasi muda, anak berperan besar sabagai generasi penerus bangsa. Peran strategi ini telah dikenal oleh masyarakat internasional untuk melahirkan sebuah deklarasi dan konvensi yang intinya menekankan posisi anak sebagai mahkluk yang harus mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya. Anak adalah orang yang dianggap belum mampu bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan masih berada di bawah tanggungan orang lain yaitu keluarga (orang tua), masyarakat, pemerintah. Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita-cita perjuangan bangsa dan Sumber Daya Manusia yang berkualitas (Frans van Dijk,1999;3).

Anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya berada di jalanan atau di tempat-tempat umum, yang masih berusia antara 5 sampai dengan 18 tahun, melakukan


(32)

kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilan yang tidak terurus dan mobilitasnya tinggi. Anak jalanan juga merupakan kelompok anak marginal perkotaan, yang melakukan kegiatan di jalan, pasar, terminal, tempat-tempat umum, baik mereka yang masih tinggal dengan orang tua maupun tidak (Depsos kerjasama YKAI,1999;57).

Anak jalanan merupakan istilah yang sudah sangat akrab bagi kita. Manakala menyebut anak jalanan, perhatian kita akan tertuju pada sosok-sosok kumuh, dekil, liar, nakal dan selalu hadir di perempatan jalan, tumpukan sampah, pusat-pusat hiburan, keramaian atau terminal-terminal.

A.2. Hak-Hak Anak

Dalam Keputusan Presiden No.36 tahun 1990 tentang hak-hak anak, dinyatakan seperti juga halnya orang dewasa memiliki hak dasar sebagai manusia. Akan tetapi karena kebutuhan-kebutuhan dan kerawanannya maka hak-hak anak perlu diperlakukan dan diperhatikan secara khusus. Dalam Keputusan ini Konvensi Hak Anak menyatakan bahwa setiap anak memiliki hak-hak sebagai berikut, yaitu:

Pertama, hak untuk hidup. Setiap anak di dunia ini berhak untuk mendapatkan akses atau pelayanan kesehatan dan menikmati standard hidup yang layak, termasuk makanan yang cukup, air bersih dan tempat tinggal. Anak juga berhak memperoleh nama dan kewarganegaraan.

Kedua, hak untuk tumbuh dan berkembang. Setiap anak berhak memperoleh kesempatan untuk mengembangkan potensinya semaksimal mungkin. Anak berhak memperoleh pendidikan baik formal maupun informal secara memadai. Konkritnya anak berhak diberi kesempatan untuk bermain, berkreasi, dan beristirahat.


(33)

Ketiga, hak untuk memperoleh perlindungan. Artinya setiap anak berhak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan seksual, kekerasan fisik atau mental, penangkapan atau penahanan yang sewenang-wenang dari segala bentuk diskriminasi. Ini juga berlaku bagi anak yang tidak lagi mempunyai orang tua dan anak-anak yang berada di kampung pengungsian. Mereka berhak mendapatkan perlindungan.

Keempat, hak untuk berpartisipasi. Artinya setiap anak diberi kesempatan menyuarakan pandangan dan ide-idenya, terutama berbagai persoalan yang berkaitan dengan anak (Konvensi Hak Anak, 1999).

Dalam UU RI No.4 tentang Kesejahteraan Anak, menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warga yang baik dan berguna. Anak juga berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. Anak juga berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar (Liliawaty M,1999;57).

Jadi, pada dasarnya hak-hak pokok anak adalah hak untuk hidup yang layak, hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar, hak untuk dilindungi, hak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk menjadi warga yang baik dan berguna, hak untuk berperan serta, dan hak untuk memperoleh pendidikan.


(34)

A.3. Kedudukan anak dalam aspek sosiologis

Kedudukan anak dalam aspek sosiologis menunjukkan anak sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa berinteraksi dengan lingkungan masyarakat. Menurut kodratnya anak manusia adalah mahkluk sosial, dapat dibuktikan dimana ketidakberdayaannya terutama pada masa bayi dan kanak-kanak yang menuntut adanya perlindungan dan bantuan dari orang tua. Anak selalu membutuhkan tuntunan dan pertolongan orang lain untuk menjadi manusia yang bulat dan paripurna.

Menurut Kartini Kartono (1998:125), anak manusia tidak mungkin hidup tanpa masyarakat, tanpa lingkungan sosial tertentu. Anak dilahirkan, dirawat, dididik, tumbuh, berkembang dan bertingkah laku sesuai dengan martabat manusia di dalam lingkungan

cultural sekelompok manusia, tak dapat dibayangkan adanya anak tanpa sesuatu lingkungan tertentu, karena anak sebagai individu tidak mungkin bisa berkembang tanpa bantuan orang lain. Kehidupan anak bisa berlangsung apabila ia ada bersama orang lain. Asosiasi dengan pendapat ini dikemukakan bahwa anak manusia itu bisa memasuki dunia manusia jika dibawa atau dimasukkan kedalam lingkungan manusia lain. Itulah sebabnya diperlukan pendidikan.

B. Anak Jalanan, Penyebab dan Permasalahannya B.1. Anak Jalanan dan Pengelompokannya

B.1.1. Anak Jalanan

Bicara anak jalanan sudah merupakan kata yang biasa bagi kita. Manakala menyebut anak jalanan, perhatian kita akan tertuju pada sosok-sosok kumuh, dekil, liar, nakal dan selalu hadir di perempatan jalan, tumpukan sampah, pusat-pusat hiburan,


(35)

keramaian atau terminal-terminal. Sosok anak jalanan, hingga kini merupakan manusia yang menempati kedudukan sangat hina di mata masyarakat umum. Penampilannya yang jorok, ekonomi keluarganya yang miskin, lingkungan pemukimannya di daerah-daerah kumuh atau bahkan sama sekali tidak mempunyai tempat tinggal tetap, perangainya yang liar dan sering melakukan kejahatan dan kekhasan lain anak jalanan, menyebabkan pandangan masyarakat terhadapnya sangat rendah. Ironisnya lagi, masyarakat bahkan tidak menganggap mereka sebagai manusia lazimnya. Sebab dalam anggapan mereka, anak jalanan adalah sampah yang tidak lagi mempunyai masa depan, tidak bisa diharapkan sebagai generasi penerus pembangunan dan tidak mempunyai manfaat bagi masyarakat (Frans van Dijk, 1993;11). Jadi, anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya berada di jalanan, masih berusia 5-18 tahun dan melakukan kegiatan di jalanan, pasar, terminal dan tempat-tempat umum lainnya.

B.1.2. Pengelompokan Anak Jalanan

Menurut yayasan kesejahteraan anak Indonesia (1999:22-24) anak jalanan dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu:

1. Anak-anak yang tidak berhubungan lagi dengan orang tuanya (children of the street). Mereka tinggal 24 jam di jalanan dan menggunakan semua fasilitas jalanan sebagai ruang hidupnya. Hubungan dengan keluarga sudah terputus. Kelompok anak ini disebabkan oleh faktor sosial psikologis keluarga, mereka mengalami kekerasan, penolakan, penyiksaan dan perceraian orang tua. Umumnya mereka tidak mau kembali kerumah, kehidupan jalanan dan solidaritas sesama temannya telah menjadi ikatan mereka.


(36)

2. Anak-anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tua. Mereka adalah anak yang bekerja di jalanan (children on the street). Mereka sering kali diidentikkan sebagai pekerja migrant kota, yang pulang tidak teratur kepada orang tuanya di kampung. Pada umumnya mereka bekerja dari pagi sampai sore hari seperti menyemir sepatu, pengasong, pengamen, tukang ojek, penyapu mobil dan kuli panggul. Tempat tinggal mereka di lingkungan kumuh bersama dengan saudara atau teman-teman senasibnya. 3. Anak-anak yang berhubungan teratur dengan orang tuanya. Mereka tinggal dengan

orang tuanya, mereka berada di jalanan sebelum atau sesudah sekolah. Motivasi mereka kejalan karena terbawa teman, belajar mandiri, membantu orang tua dan disuruh orang tua. Aktivitas usaha mereka yang paling menyolok adalah berjualan Koran.

4. Anak-anak jalanan yang berusia di atas 16 tahun. Mereka berada di jalanan untuk mencari kerja, atau masih labil suatu pekerjaan. Umumnya mereka telah lulus SD bahkan ada yang SLTP. Mereka biasanya kaum urban yang mengikuti orang dewasa (orang tua ataupun saudaranya) kekota. Pekerjaan mereka biasanya mencuci bus menyemir sepatu, membawa barang belanjaan (kuli panggul), pengasong, pengamen, pengemis dan pemulung.

Berdasarkan kajian di lapangan, secara garis besar anak jalanan dibagi kedalam tiga kelompok (Surbakti dalam Suyanto, 2001;41) yaitu :

Pertama, children on the street, yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi sebagai pekerja anak di jalan, namun masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua mereka. Sebagian penghasilan mereka di jalan diberikan kepada orang tuanya. Anak jalanan pada kelompok ini membantu memperkuat penyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan.


(37)

Kedua, children of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa anak masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu. Biasanya anak turun kejalanan disebabkan oleh kekerasan yang dilakukan oleh keluarga. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang pada kategori ini sangat rawan terhadap perilaku menyimpang, baik secara sosial, emosional, fisik maupun seksual.

Ketiga, children from families on the street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan. Walaupun anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain dengan segala resikonya.

B.2. Penyebab Munculnya Anak Jalanan

Faktor utama yang menyebabkan munculnya anak jalanan adalah kemiskinan. Keadaan ekonomi keluarga miskin akan menghasilkan daya beli keluarga yang lemah, kebutuhan pokoknya saja tidak dapat terpenuhi dengan baik. Kondisi seperti ini akan sangat rawan, terlebih jika keluarga tidak mampu mendiami rumah yang layak, bahkan hanya menempati gubuk darurat yang umumnya tersebar dalam kawasan daerah kumuh, maka hal ini sangat menunjang banyaknya anak yang lebih memilih untuk hidup di jalan (Fanggidae, 1993:117).

Kemiskinan keluarga telah mendorong orang tua untuk memaksa anak bekerja. Kurangnya keterampilan dan pendidikan merupakan alasan mengapa mereka kemudian terjun ke sektor informal yang seringkali menuntut mereka untuk bekerja tanpa batas waktu, sehingga keberadaan anak-anak di jalanan dalam jangka waktu yang lama menjadi


(38)

tidak terelakkan. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan munculnya masalah-masalah sosial yang akut diantaranya banyaknya anak yang putus sekolah atau sama sekali tidak sekolah. Pergaulan lingkungan jalanan juga membawa perubahan perilaku kearah pelecehan, pelanggaran norma dan hukum. Kemudian mulai terbentuknya komunitas sebaya (Peer Group) sebagai keluarga kedua yang seringkali dimanfaatkan oleh anak-anak itu sendiri atau oleh orang lain untuk tujuan kriminal atau asusila.

Kemiskinan yang membuat masyarakat semakin terpuruk, juga disebabkan oleh pembangunan yang dilaksanakan tidak merata, yang semestinya ditujukan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat. Tetapi kenyataan yang terjadi justru sebaliknya yaitu masih banyaknya masyarakat yang tidak tersentuh dengan pembangunan dan sebagian masyarakat hanya menjadi “tumbal” dari pembangunan itu sendiri. Ini membuat masyarakat semakin tertindas dan terpuruk dalam kemiskinan.

Jumlah penduduk miskin di Indonesia saat ini diperkirakan bertambah sangat besar dalam kurun waktu yang relatif singkat. Data terakhir BPS memperkirakan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada pertengahan tahun 1998 mencapai 79,4 juta jiwa yakni sekitar 39,1% dari jumlah penduduk miskin secara absolut di Indonesia meningkat sebanyak 56,9 juta jiwa sejak tahun 1996. Pada tahun 1996, jumlah penduduk dibawah garis kemiskinan sebesar 22,5 juta jiwa. Dari jumlah tersebut 7,2 juta orang merupakan penduduk miskin di daerah perkotaan dan 15,3 juta jiwa tersebar di wilayah pedesaan. Pada tahun 1998 diperkirakan jumlah penduduk miskin didaerah perkotaan sebanyak 22,6 juta jiwa dan di daerah pedesaan 56,8 juta jiwa (Tambunan, 1999;78).

Selain faktor ekonomi keluarga seperti yang dijelaskan di atas, anak-anak tersebut turun kejalan juga bisa disebabkan oleh tidak betah di rumah, karena broken home,


(39)

pertengkaran dalam keluarga, dan kekerasan fisik yang dialami anak. Anak jalanan murni yang sudah lepas dari keluarga, itu biasanya berawal dari kebiasaan “nongkrong” di jalanan. Akhirnya keterusan, lebih senang tidur di jalanan sehingga lama kelamaan lepas dari orang tuanya. Mereka masih anak-anak, masih butuh perlindungan. Mereka seharusnya menikmati masa kanak-kanak dengan bermain, belajar dan mengembangkan diri seperti yang dilakukan oleh teman-teman seusianya yang lebih beruntung (Hariady, 2002:33).

Faktor yang mendorong anak turun ke jalan juga dikemukakan oleh Surjana, dimana faktor tersebut terbagi dalam tiga tingkatan, sebagai berikut:

a. Tingkatan mikro (immediate causes), yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarganya. Sebab-sebab yang bisa diidentifikasikan dari anak adalah lari dari rumah atau keluarga, disuruh bekerja dengan kondisi masih sekolah atau disuruh untuk putus sekolah. Sebab-sebab yang berasal dari keluarga adalah ketidakmampuan orang tua menyediakan kebutuhan dasar, kondisi psikologis seperti ditolak orang tua, salah didikan dari orang tua sehingga mengalami kekerasan di rumah (child abuse), kesulitan berhubungan dengan keluarga karena terpisah dari orang tua. Permasalahan atau sebab-sebab yang timbul baik dari anak maupun keluarga ini, saling terkait satu sama lain.

b. Tingkat Meso (underlying causes), yaitu faktor agar berhubungan dengan struktur masyarakat. Sebab-sebab yang dapat diidentifikasikan ialah pada komunitas masyarakat miskin, anak-anak adalah asset untuk membantu meningkatkan ekonomi keluarga, oleh karena itu anak-anak diajarkan untuk bekerja pada masyarakat lain. Pergi ke kota untuk bekerja adalah kebiasaan masyarakat dewasa dan anak-anak.


(40)

c. Tingkat makro (basic causes), yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur masyarakat. Sebab yang dapat diidentifikasi secara ekonomi adalah membutuhkan modal dan keahlian besar. Untuk memperoleh uang yang lebih banyak mereka harus lama bekerja di jalanan dan meninggalkan bangku sekolah. Secara ekonomi ketimpangan desa dan kota turut menyebabkan urbanisasi penduduknya yang mau tak mau diikuti oleh anak – anak mereka.

Kesimpulannya, banyak faktor yang saling mempengaruhi dalam meningkatnya anak jalanan. Meningkatnya “gejala” masalah keluarga seperti kemiskinan, pengangguran, perceraian, kawin muda serta kekerasan dalam keluarga sebagai akibat dari memburuknya kondisi ekonomi dan politik di Indonesia membuat keluarga tidak memiliki keberdayaan dalam melindungi anggota keluarganya. Semakin menyudutnya ketidakberdayaan masyarakat, kasus-kasus penggusuran dan pengusiran keluarga miskin dari tanah/rumah mereka dengan alasan “demi pembangunan” merupakan salah satu sebab meningkatnya jumlah anak yang turun ke jalan.

B.3. Permasalahan Anak Jalanan

Jalanan sebagai sebuah tempat bagi orang-orang “terbuang” adalah sebuah fakta sosial yang muncul sebagai akibat derasnya arus modernisasi yang menggilas mereka yang tidak mampu mengikutinya. Krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini, tentu memberikan kontribusi yang buruk pada hampir segala sektor kehidupan di Indonesia. Beberapa indikator yang dapat dilihat adalah menurunnya daya beli masyarakat. Anak jalanan pada umumnya mempunyai keluarga dari golongan yang kurang mampu secara materi, sehingga anak-anak mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarga.


(41)

Sedangkan orang tuanya tidak berperan secara maksimal, hal ini dapat dilihat manakala orang tua sangat mendukung untuk anaknya bekerja.

Menurut Gosita, Arief (1985;34) permasalahan anak jalanan dapat dipetakan sebagai berikut:

a. Anak jalanan turun ke jalan karena adanya desakan ekonomi keluarga sehingga justru orang tua menyuruh anaknya untuk turun ke jalan guna mencari tambahan untuk keluarga. Hal ini terjadi karena ketidakberfungsian keluarga dalam memenuhi kebutuhan keluarga.

b. Rumah atau tempat tinggal yang kumuh membuat ketidakbetahan anak berada di rumah, sehingga perumahan kumuh menjadi salah satu faktor pendorong untuk anak turun ke jalan.

c. Rendahnya pendidikan orangtua anak jalanan sehingga mereka tidak mengetahui fungsi dan peran sebagai orangtua dan juga ketidaktahuannya mengenai hak-hak anak.

d. Belum adanya payung kebijakan mengenai anak yang turun ke jalan baik kebijakan dari kepolisian, pemda, maupun Departemen Sosial.

e. Belum optimalnya sosial control di dalam masyarakat.

Dalam banyak kasus, anak jalanan ini awalnya tidak terjun begitu saja ke jalanan. Biasanya mereka melakukan proses pembelajaran secara bertahap. Awalnya mereka lari dari rumah, satu dua hari bahkan sampai seminggu kemudian pulang, lalu lari lagi selama dua minggu bahkan berbulan-bulan sampai akhirnya benar-benar lari, tidak lagi kembali selama setahun-dua tahun. Proses tahap kedua yang harus dijalani adalah proses “inisiasi”.


(42)

Biasanya anak-anak yang baru akan menjadi objek pengompasan anak jalanan yang lebih dewasa (Hariadi, 2001;213).

Sejumlah studi menemukan, anak-anak jalanan yang kecil biasanya sering “ditampar” oleh yang lebih besar. Selain itu preman yang ada di sekitarnya tak segan merampas barang dagangan atau meminta uang. Intimidasi adalah peristiwa sehari-hari yang dapat kita lihat menjadi “makanan” anak jalanan. Dalam beberapa kasus dan kesempatan memang anak jalanan itu mampu mengembangkan mekanismenya sendiri guna menghindari intimidasi dan ancaman kekerasan. Tetapi yang sering terjadi mereka hanya pasrah terhadap ancaman kekerasan yang dialaminya (Suyanto,2001;135).

Marginal, rentan dan eksploitasi adalah istilah-istilah yang dapat menggambarkan kondisi dan kehidupan anak jalanan. Marginal karena mereka melakukan jenis pekerjaan yang tidak jelas jenjang kariernya, tidak dihargai dan umumnya juga tidak menjanjikan prospek apapun kemasa depan. Rentan karena resiko yang harus ditanggung akibat jam kerja yang sangat panjang yang dilihat dari segi kesehatan maupun sosial sangatlah rawan. Eksploitasi karena mereka biasanya memiliki posisi tawar-menawar (bargaining position) yang sangat lemah, tersubordinasi cenderung menjadi objek perlakuan yang semena-mena dari ulah preman dan oknum-oknum lain yang tidak bertanggungjawab. Sebagai bagian dari pekerja anak (child labour), anak jalanan bukanlah kelompok yang homogen. Mereka cukup beragam, dan dapat dibedakan atas pekerjaannya, hubungan dengan orang tua atau orang dewasa terdekat, waktu dan jenis kegiatannya di jalanan serta jenis kelaminnya.

Anak-anak jalanan adalah anak-anak yang mengalami penderitaan ganda. Bukan saja menjadi objek kekerasan otoritas, tetapi juga akses mereka untuk berkembang semakin tertutup seiring dengan penderitaan yang dialami orang tua mereka. Maka, dalam konteks


(43)

piramida penderitaan, anak-anak jalanan berada dilapisan terujung/terendah. Anak jalanan bukanlah kriminal yang harus terus diburu. Mereka adalah anggota masyarakat yang mengalami korban keresahan dan kemiskinan keluarga yang perlu ditangani. Oleh karena itu security approach (pendekatan keamanan) tidak mencukupi lagi dan tidak akan pernah betul-betul menyapu anak di jalanan. Prosperity approach (pendekatan kesejahteraan) melalui kebijakan nasional dan lokal (pemda) hendaknya mulai dipikirkan (ISJ,1997;29).

Eksploitasi dan ancaman adalah dua hal yang sekaligus dialami oleh anak jalanan. Mereka sudah biasa mengalami tipuan oleh teman sendiri, caci maki bahkan menjadi korban pelecehan seksual oleh orang yang lebih dewasa, dipukuli petugas, barang dagangan dirampas oleh preman (Irwanto,1998;120). Peristiwa demi peristiwa kekerasan yang dihadapi anak jalanan justru mencerminkan adanya kecenderungan menjadikan anak-anak jalanan sebagai objek kekerasan dari pemegang otoritas, seperti orang tua, preman, orang yang lebih dewasa dan petugas keamanan. Rasa keadilan dan peri kemanusiaan apalagi kepastian hukum seakan enggan menjamah anak jalanan. Kekerasan yang sering terjadi pada anak jalanan akan memberikan dampak atau pengaruh dalam kehidupan anak jalanan tersebut. Maka tidak jarang anak jalanan cenderung untuk terjerumus dalam tindakan patologis, seperti studi yang dilakukan oleh Hadi Utomo pada tahun1998. salah satu perilaku yang popular menyimpang adalah “ngelem”, yang secara harafiah berarti mengisap lem. Diperkirakan sekitar 60-75% anak yang seharian hidup mencari nafkah di jalanan menggunakan zat ini (Irwanto, dalam Adi, 2002;43).

Anak jalanan merupakan salah satu potret penderitaan dan kemiskinan, sedang penderitaan dan kemiskinan adalah produk dari ketidakadilan pembangunan. Kebijaksanaan pembangunan selama ini dimulai dari rezim orde baru hanya menyentuh


(44)

warga perkotaan. Sementara warga desa terabaikan, dampaknya muncul kesenjangan sosial ekonomi atau labelisasi kaya-miskin atau maju-terbelakang. Kesenjangan pembangunan antara desa dan kota ini, juga mengakibatkan banyak penduduk desa berduyun-duyun pergi ke kota untuk mengadu nasib, namun karena tidak cukupnya bekal pengetahuan serta keahlian membuat sebagian dari mereka terlempar dari persaingan dan dengan terpaksa hidup di tempat-tempat kumuh, bahkan di kolong-kolong jembatan untuk mempertahankan hidup. Buruknya lagi mereka datang dengan anak-anak mereka. Dengan kondisi mereka yang buruk, mengakibatkan anak-anak dipaksa untuk ikut menanggung beban hidup keluarga (Fanggidae, 1993;104).

Pembangunan juga telah mengorbankan ruang bermain bagi anak (lapangan, taman dan lahan-lahan kosong). Dampaknya sangat terasa pada daerah-daerah kumuh perkotaan dimana anak-anak menjadikan jalanan sebagai ajang bermain dan bekerja. Selain hal tersebut, meningkatnya angka anak putus sekolah juga telah mengakibatkan sebagian anak mencari pekerjaan, dan jalanan mereka jadikan sebagai salah satu tempat untuk mencari uang. Fenomena keberadaan mereka semakin dirasakan ketika krisis ekonomi menghantam Indonesia pada tahun 1997. Berdasarkan penelitian diperoleh gambaran umum yang menunjukkan 60% anak jalanan telah putus sekolah dan 80% anak jalanan masih tinggal dengan orang tua mereka (Depsos kerjasama YKAI, 1999;61).

C. Pelayanan Sosial Bagi Anak Jalanan

Pada hakekatnya manusia atau lebih khususnya lagi anak jalanan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, ia pasti membutuhkan orang lain dan lingkungannya, sebab pada awalnya manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang harus


(45)

hidup berdampingan dengan orang lain. Seiring dengan perkembangan teknologi maka banyak yang menjadi tuntutan kebutuhan hidup manusia. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut manusia mempunyai keterbatasan, oleh karena itu manusia membutuhkan pelayanan sosial, baik yang diberikan oleh perorangan, masyarakat, ataupun lembaga tertentu.

Alfred J. Khan (dalam Sumarnugroho 1987;35) memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai pengertian pelayanan sosial sebagi berikut:

“Pelayanan sosial terdiri dari program-program yang diadakan tanpa mempertimbangkan kriteria pasar untuk menjamin suatu tingkatan dasar dalam penyediaan fasilitas pemenuhan kebutuhan akan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan untuk meningkatkan kehidupan bermasyarakat serta kemampuan perorangan untuk memperlancar kemampuan menjangkau dan menggunakan pelayanan-pelayanan serta lembaga-lembaga yang telah ada, dan membantu warga masyarakat yang mengalami kesulitan dan keterlantaran”.

Defenisi di atas menjelaskan adanya kewajiban dan keyakinan masyarakat akan perlunya penyediaan fasilitas pemenuhan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kemampuan setiap warga negara untuk menjangkau dan menggunakan setiap pelayanan yang sudah menjadi haknya. Disamping itu pelayanan sosial hanya diberikan kepada sekelompok orang atau masyarakat yang memang secara sosial tidak dapat atau terhambat dalam menjalankan fungsinya.

Pelayanan sosial meliputi kegiatan-kegiatan atau intervensi-intervensi kasus yang dilaksanakan secara diindividualisasikan langsung dan terorganisasi, yang bertujuan membantu individu atau kelompok dan lingkungan sosial dalam upaya saling penyesuaian. Disebut pelayanan dalam arti bahwa program ini memberikan jasa kepada orang-orang dan membantu mewujudkan tujuan-tujuan mereka, bukan untuk kepentingan atau keuntungan sendiri (Nurdin, 1990;50).


(46)

Pelaksanaan pelayanan sosial mencakup adanya perbuatan yang aktif antara pemberi dan penerima. Bahwa untuk mencapai sasaran sebaik mungkin maka pelaksanaan pelayanan sosial mempergunakan sumber-sumber tersedia sehingga benar-benar efisien dan tepat guna. Dalam pelaksanaan pelayanan sosial maka adanya metode akan mempermudah pelaksanaan suatu pekerjaan guna mencapai suatu tujuan.

Menurut Kamus Bahasa Indonesia, metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan (Salim, 2002;973).

Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka metode adalah cara teratur yang paling mudah dan efisien yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan guna mencapai suatu tujuan. Tujuan memakai metode adalah supaya setiap kegiatan dapat terlaksana dengan baik, rasional, dan terarah sehingga dapat diperoleh hasil yang maksimal dan optimal. Dalam melaksanakan usaha untuk mengembalikan fungsi sosial seseorang atau sekelompok orang maka harus ada usaha atau cara tertentu yang disebut metode yang harus diberikan, demikian halnya dalam usaha menangani masalah anak jalanan. Setiap lembaga sosial atau panti dan yayasan yang menangani kasus anak jalanan juga memiliki metode sendiri dalam memberikan pelayanan terhadap kliennya.

Menurut Dra. Susilawati, M.Si seorang staf pengajar sosiologi di Universitas Indonesia dalam membantu kehidupan anak jalanan ada tiga metode pendekatan yaitu:

Pertama, eliminasi yaitu berangkat dari asumsi bahwa kehidupan keluarga adalah kehidupan yang ideal bagi pertumbuhan dan perkembangan seorang anak, untuk itu seorang anak yang selama ini telah meninggalkan rumah, harus ditarik lagi kembali ke rumah dan


(47)

melakukan reintegrasi dengan keluarga. Oleh karena itu pendekatan ini lebih menenkankan pada bagaimana anak dapat kembali ditarik kerumah.

Kedua, pendekatan penguatan komunitas atau yang biasa dikenal dengan subkultur, ini adalah kebalikan dari pendekatan eliminasi. Gagasan ini lebih dekat dengan gerakan budaya yang telah terbangun di jalanan. Pendekatan ini lebih menekankan bagaimana membangun dan mengembangkan komunitas dan budaya di jalan dimana tempat tersebut sebagai tempat dan sekaligus media untuk mengembangkan segala potensi dan nilai-nilai yang dibangun secara bersama oleh anak jalanan.

Ketiga, yaitu pendekatan yang lebih menekankan pada pengembangan skill dan kemampuan anak. Gagasan ini dilatar belakangi oleh asumsi bahwa siapapuan orangnya. Jika memiliki keterampilan dan kemampuan, maka ia akan dapat lebih mandiri. Media-media pengembangan dapat dilakukan dengan Media-media, melukis, musik, bengkel. Titik tekan dari pendekatan ini adalah bagaimana anak lebih berdaya dengan skill dan dengan kemampuan yang dimilikinya. Idealnya dalam program anak jalanan ini melibatkan multi disiplin agar bisa berhasil sesuai harapan. Untuk mengangkat ekonomi anak jalanan, maka organisasi masyarakat juga bisa memberdayakan dan memberikan pendidikan serta meningkatkan kualitas SDM mereka agar tidak terbuka pikirannya untuk tidak melakukan aktifitas ekonomi di jalanan (Susilawaty, 2007 http//www.pikiranrakyat.com)

Untuk menjalankan ketiga metode diatas tersebut maka ada dua metode pekerja sosial seperti yang dinyatakan oleh Warner dan Walter berikut: Warner Boehm (1959:44), menyatakan bahwa bimbingan sosial perseorangan merupakan suatu metode pekerja sosial yang melakukan intervensinya dalam aspek-aspek psikologis dari kehidupan seseorang untuk meningkatkan, memperbaiki, memulihkan atau mengembangkan fungsionalitas


(48)

sosialnya melalui peningkatan kemampuannya untuk melaksanakan peranannya sesuai dengan statusnya. Dari defenisi Boehm dapat disimpulkan bahwa bimbingan sosial perseorangan merupakan suatu metode pekerja sosial yang menjadikan individu sebagai sasaran pelayanan dan bertujuan untuk memperbaiki atau meningkatkan keberfungsian seseorang dan juga memusatkan perhatian pada interaksi diantara individu dengan individu lain dan dengan lingkungan sosialnya. Sedangkan, Walter menyatakan bahwa metode pokok untuk membantu seseorang dalam masalahnya adalah social group work atau bimbingan sosial kelompok dimana dapat diuraikan bahwa social group work mempunyai sasaran ganda yaitu: individu sebagai anggota kelompok dan kelompok sebagai tempat individu bernaung, dan disini lebih menekankan pengembangan individu/pribadi agar mampu berpartisipasi dengan sempurna didalam kelompok atau masyarakat dimana ia menjadi anggotanya.

D. Rumah Singgah sebagai Salah Satu Bentuk Pelayanan Sosial bagi Anak Jalanan

Rumah singgah merupakan proses informal yang memberikan suasana resosialisasi kepada anak jalanan terhadap sistem nilai dan norma yang berlaku di masyarakat setempat. Rumah singgah merupakan tahap awal bagi seorang anak untuk memperoleh pelayanan selanjutnya, oleh karenanya penting menciptakan rumah singgah sebagai tempat yang aman, nyaman, menarik, dan menyenangkan bagi anak jalanan. Rumah singgah juga ibarat sebuah keluarga dimana pekerja sosial bertindak sebagai orang tua atau kakak untuk anak jalanan. Dalam sebuah keluarga, hubungan yang terjadi bersifat informal dimana satu sama lain saling mengasihi dan memperhatikan kesulitan. Sebagai orang tua, para pekerja sosial membimbing anak jalanan kearah perilaku sehari-hari yang sesuai dengan norma. Salah


(49)

satu usaha untuk mewujudkan kesejahteraan anak khususnya anak jalanan adalah didirikannya rumah singgah yang empat-lima tahun belakangan ini mulai bermunculan di Indonesia. Rumah singgah didefenisikan sebagai suatu “wahana yang dipersiapkan sebagai perantara antara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu mereka (Gosita,1991;22).

Tujuan umum rumah singgah adalah membantu anak jalanan menagatasi masalah-masalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sedangkan tujuan khususnya adalah membentuk sikap dan perilaku anak yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat; mengupayakan anak-anak kembali ke rumah jika memungkinkan atau ke panti dan lembaga-lembaga pengganti lainnya jika diperlukan; dan memberikan berbagai alteratif pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan anak dan menyiapkan masa depannya sehingga menjadi warga yang produktif.

Rumah singgah memiliki fungsi sebagai berikut:

a). Tempat pertemuan pekerja sosial dengan anak jalanan untuk menciptakan persahabatan, mengkaji kebutuhan dan melakukan kegiatan program, dimana pekerja sosial melakukan pendekatan sebagai tahap awal dan selanjutnya dapat menganalisa apa yang menjadi kebutuhan dari anak jalanan.

b). Tempat untuk mengkaji masalah anak agar dapat diketahui seperti apa pelayanan yang harus diberikan.

c).Rumah singgah merupakan tempat perlindungan bagi anak dari

kekerasan/penyalahgunaan seks, ekonomi, dan bentuk-bentuk kriminal lainnya yang terjadi di jalanan.


(50)

d). Pusat informasi berbagai hal yang berkaitan dengan kepentingan anak jalanan seperti data dan informasi tentang anak jalanan, bursa kerja, pendidikan, kursus keterampilan dan lain-lain.

e). Tempat untuk mengembalikan dan menanamkan fungsi sosial anak, dimana para pekerja sosial diharapkan mampu mengatasi permasalahan anak jalanan dan membetulkan sikap dan perilaku sehari-hari yang akhirnya akan mampu menumbuhkan keberfungsian sosial anak.

Prinsip-prinsip rumah singgah yang disusun sesuai dengan karakteristik pribadi kehidupan anak jalanan, adalah:

a). Semi institusional; anak jalanan sebagai penerima pelayanan boleh bebas keluar masuk baik untuk tinggal sementara maupun hanya mengikuti kegiatan.

b). Pusat kegiatan; merupakan tempat kegiatan, pusat informasi dan akses seluruh kegiatan yang dilakukan di dalam maupun di luar rumah singgah, terbuka 24 jam, anak jalanan boleh datang kapan saja, siang hari maupun malam hari terutama bagi anak jalanan yang baru mengenal rumah singgah.

c). Hubungan informal (kekeluargaan); anak jalanan dibimbing sebagai anggota keluarga besar, dimana para pekerja sosial berperan sebagai teman, saudara/kakak atau orang tua. Hubungan ini membuat anak merasa diperlakukan seperti anak lainnya dalam sebuah keluarga dan merasa sejajar karena pekerja sosial menempatkan diri sebagai teman dan sahabat; bebas untuk apa saja bagi anak, mereka dibebaskan untuk melakukan apa saja, seperti tidur, bermain, bercanda, mandi dan sebagainya.

d). Persinggahan dari jalanan kerumah singgah atau ke alternatif lain, misalnya kembali kerumah, mengikuti saudara, masuk panti, kembali bersekolah dan sebagainya.


(51)

Rumah singgah sebagai salah satu bentuk pelayanan untuk anak jalanan memiliki program untuk membina dan mengembangkan kemampuan diri anak jalanan. Program secara harafiah diartikan sebagai rencana kegiatan dalam suatu wadah tertentu. Dari batasan tersebut terlihat bahwa program itu berhubungan dengan suatu kegiatan yang akan dilaksanakan sebagai wujud dari suatu rencana. Program juga sebagai suatu rencana yang diolah dengan memperhatikan faktor kemampuan ruang, waktu dan urutan-urutan penyelenggaraan secara tegas dan teratur sehingga menjawab pertanyaan tentang siapa, dimana, dan bagaimana. Suatu program ditujukan untuk mengubah/meningkatkan pengetahuan, sikap atau tingkah laku seseorang, mengubah institusi dimana dilakukan untuk perubahan masyarakat ke yang lebih baik.

Rumah singgah dalam memberikan pelayanan kepada anak jalanan, dilihat dari pengertian pelayanan sosial seperti yang dikemukakan oleh Alfred J Khan dalam Sumarnonugroho (1991) harus memperhatikan beberapa prinsip, yaitu:

Pertama, prinsip pencegahan; dimana anak jalanan yang terlanjur ke jalanan diupayakan ditarik kembali kepada keluarganya dan anak-anak yang masih tinggal dengan keluarganya diupayakan jangan sampai ke jalanan. Untuk mengatasi penyebabnya, diselenggarakan program pemberdayaan keluarga untuk anak sendiri seperti modal dan beasiswa bagi anak yang masih sekolah.

Kedua, prinsip penyembuhan; ini ditujukan kepada anak jalanan yang memiliki perilaku menyimpang. Bersama pekerja sosial, anak belajar untuk terlibat dalam memahami masalah, merencanakan dan melaksanakan penanganannya. Anak dilatih bertanggungjawab dalam memecahkan masalahnya.


(52)

Ketiga, prinsip pengembangan; dimana anak jalanan memiliki potensi, aspirasi, dan inisiatif juga daya tahan yang kuat, kemauan keras dan tidak putus asa. Dalam prinsip pengembangan ini, anak bersama pekerja sosial mengembangkan potensinya untuk mengatasi masalah dan berguna bagi masa depannya.

Adapun program pelayanan dan kegiatan yang seharusnya dilakukan oleh rumah singgah adalah:

a. Penjangkauan dan pendampingan di jalanan. Meliputi kunjungan lapangan dan perkenalan, pemeliharaan hubungan dengan anak, pembentukan kelompok jalann, serta konseling dan mendampingi kegiatan anak jalanan.

b. Identifikasi anak. Meliputi pengisian file profil anak, pengisian file monitoring

perkembangan anak. Ini dilakukan untuk mengetahui secarajelas mengenai anak jalanan yang akan diberi bimbingan di suatu rumah singgah.

c. Resosialisasi. Meliputi pengenalan kegiatan keagamaan, pengajaran dan diskusi tentang norma sosial, permainan, pertunjukan seni dan olah raga, membaca buku, majalah, membimbing sosial perilaku sehari-hari, bimbingan sosial kasus, pemeliharaan kesehatan, penyatuan kembali dengan keluarga, kunjungan kerumah orang tua anak jalanan, pertemuan dengan warga sekitar rumah singgah.

d. Pemberdayaan anak jalanan. Meliputi pendidikan, pelatihan, pelayanan keterampilan kerja, bantuan modal usaha dan membantu anak menemukan pekerjaan lain.

e. Pemberdayaan untuk orang tua anak jalanan. Pengertian pemberdayaan orang tua anak binaan adalah kegiatan bantuan modal usaha kepada para orang tua anak jalanan yang bersekolah. Tujuannya membantu orang tua meneruskan usahanya dan


(53)

meningkatkan pendapatan orang tua. Sasaran program ini adalah orang tua yang anaknya dibina dirumah singgah, mempunyai kegiatan usaha dan berpotensi untuk dikembangkan, orang tua yang mendapat pemberdayaan adalah orang tua perempuan. Adapun kegiatan yang dilakukan meliputi bimbingan dan penyuluhan, pemberian modal dan bimbingan usaha.

f. Terminasi (pengakhiran pelayanan) dilakukan untuk mengakhiri proses penanganan anak jalanan. Kegiatan ini dilakukan agar anak jalann tidak selalu menggantungkan diri mereka pada rumah singgah, sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang secara mandiri (Sumarnonugroho.1999;43).

Dr. Inanam Kardono juga mengemukakan suatu program penanggulangan anak jalanan yaitu melalui penyantunan dan pengentasan anak. Penyantunan dan pengentasan anak terlantar dimaksud sebagai upaya pembinaan kesejahteraan sosial anak yang bersifat pencegahan, pemulihan atau penyantunan dan pengembangan dengan cara meningkatkan kemampuan anak, meningkatkan fungsi-fungsi dan peranan keluarga, masyarakat sehingga tercipta kondisi sosial yang dinamis yang memungkinkan anak dapat tumbuh dan berkembang secara wajar (Kardono, 2007 http//www.suaramerdeka.com.htm).

E. Keterampilan sebagai Salah Satu Faktor Pemberdayaan Anak Jalanan

Keterampilan merupakan kemampuan yang berasal dari pengetahuan, latihan, belajar, bakat untuk melakukan sesuatu yang baik. Keahlian khusus untuk melakukan sesuatu yang baik diperoleh dari belajar dan latihan, untuk itu anak jalanan sangat memerlukan bimbingan khusus agar memperoleh keterampilan dalam bekerja. Anak jalanan juga harus mendapat bimbingan dalam orientasi dan mobilitas, dimana dengan


(54)

orientasi dan mobilitas serta pemahaman konsep-konsep anak jalanan mampu berjalan menuju dunia baru dengan percaya diri, antusias, dan mandiri.

A. Mangunharjana (1984;165), mengemukakan bahwa program penanggulangan anak jalanan tidak terlepas dari proses pemberdayaan dan peningkatan skill dari anak jalanan tersebut. Pemberdayaan dan peningkatan skill adalah mengembangkan individu atau klien dari keadaan kurang mampu menjadi mampu, dan yang belum tahu menjadi tahu. Seperti yang dikemukakan oleh Sumarnonugroho, pemberdayaan untuk anak jalanan meliputi bantuan modal usaha, pendidikan, pelatihan dan keterampilan kerja sehingga anak jalanan akan menemukan pekerjaan lain. Karna itu suatu proses peningkatan keterampilan pada intinya ditujukan guna “individu memperoleh kemampuan untuk melakukan dan mengerjakan suatu kegiatan yang dapat membantu kelangsungan hidupnya”. Peningkatan keterampilan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan dan membuat suatu usaha untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka (Shadow, dalam Adi, 2002;93).

Adapun upaya dalam peningkatan keterampilan anak jalanan yaitu adanya partisipasi dari berbagai pihak dalam menangani masalah anak jalanan yaitu, keluarga, tokoh agama, tokoh akademisi, aparat keamanan, aktivis LSM, masyarakat dan pemerintah. Menurut Soerdijan (1990;10) menyebutkan bahwa program peningkatan keterampilan anak jalanan adalah:

1. Memberikan pendidikan bagi individu atau anak tentang keterampilan-keterampilan agar individu tersebut mempunyai keahlian guna memperoleh pekerjaan yang lebih layak.


(55)

2. Memberikan pelayanan/fasilitas yang memadai bagi anak jalanan guna kelancaran akan pengetahuan tentang keterampilan.

3. Memberikan bimbingan yang maksimal bagi anak jalanan dalam pendidikan dan keterampilan.

Keberhasilan dalam memberikan pelayanan yang dapat menunjang atau meningkatkan daya kreatifitas ataupun keterampilan anak sangat ditentukan oleh kualitas pelayanan sosial dan fasilitas yang ada sebagai pendukung pelayanan program kerja yang jelas yakni sebagai berikut:

1. Keterampilan yang terdiri dari keterampilan olah raga, kesenian.

2. Dalam pendidikan, seperti pemberian beasiswa (uang SPP), Pendidikan Luar Sekolah (paket A,B,C) yang bekerjasama dengan Badan Pelatihan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (BPPLSP).

3. Keterampilan Lifeskill seperti: pelatihan sablon, belajar mengemudi, belajar komputer, salon, menjahit, tenun, dll.

4. Bidang kesehatan seperti pemeriksaan kesehatan yang dilakukan 1 kali dalam seminggu, pemberian makanan tambahan (PMT) kerjasama dengan Depkes.

Keterampilan yang diperoleh anak dari rumah singgah akan dapat menjadi bekal hidup yang berharga kelak bila sudah keluar dari dunia anak jalanan. Pelayanan-pelayanan yang diberikan kepada anak akan sangat mendorong kelancaran proses tumbuh kembang yang pada gilirannya dapat ikut serta dalam pembangunan nasional dengan melaksanakan peran dan tugas sebagai generasi penerus bangsa.


(56)

F. Kerangka Pemikiran

Jumlah anak jalanan yang bertambah banyak sekarang ini salah satunya disebabkan keadaan ekonomi di Negara kita yang tidak jelas kapan akan membaik. Keadaan tersebut membuat semakin banyak keluarga yang tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada akhirnya seluruh anggota keluarga harus mencari nafkah termasuk anak-anak, banyak anak-anak yang bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Mereka adalah anak yang berusia dibawah 18 tahun, tingkat pendidikannya rendah serta tidak memiliki keterampilan yang memadai, membuat mereka sulit mencari nafkah disektor formal sehingga terpaksa mencari nafkah di sektor informal seperti jalanan. Pekerjaan tersebut kerapkali berkaitan dengan perlakuan kasar atau perbuatan buruk dari segolongan orang seperti diperas, dicabuli ataupun tindakan kekerasan lainnya. Mereka sering menyaksikan perilaku-perilaku menyimpang. Ini secara tidak langsung akan mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan kepribadian anak.

Walaupun demikian, mereka yang menjadi anak jalanan bukan saja berasal dari keluarga miskin. Ada juga mereka yang berasal dari keluarga kaya tetapi tidak terjadi keharmonisan didalam keluarga tersebut. Sehingga membuat anak merasa tidak bahagia dan tidak merasa betah berada di lingkungan keluarga. Ini membuat mereka mencari pelarian kejalanan. Mereka bergabung dengan ank-anak jalanan untuk bekerja dengan tujuan untuk mencari kesenangan yang tidak diperoleh dalam keluarga. Oleh karena itu, setiap anak jalanan yang menjadi anak jalanan memiliki beberapa sebab yang berbeda.

Lembaga atau yayasan yang turun langsung untuk membantu mereka sangat diperlukan. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan adanya suatu lembaga atau yayasan yang memperhatikan hak-hak anak dan


(57)

kesenjangan anak khususnya anak jalanan akan membuat anak jalanan merasa aman. Lembaga atau yayasan yang sesuai dengan hal diatas adalah rumah singgah anak jalanan. Suatu rumah singgah mempunyai fungsi sebagai perantara antara anak jalanan dengan pihak-pihak yang berhubungan dengan mereka seperti keluarga.

Kondisi rumah singgah akan mempengaruhi anak jalanan yang singgah ditempat tersebut. Perkembangan anak jalanan berhubungan dengan akses negatif dari strategi pengembangan kawasan perkotaan, pertambahan anak-anak yang putus sekolah, terjadinya disharmonisasi keluarga, lemahnya faktor ekonomi serta adanya rangsang konsumtif anak. Keberhasilan suatu rumah singah dalam memberikan pelayanan yang dapat menunjang atau meningkatkan daya kreatifitas ataupun keterampilan anak sangat ditentukan oleh kualitas pelayanan sosial, fasilitas yang ada sebagai pendukung pelayanan program kerja yang jelas seperti: pertama, keterampilan yang terdiri dari keterampilan olah raga (sepak bola), kesenian (seni musik). Kedua: pendidikan seperti pemberian beasiswa (uang SPP), pendidikan Luar Sekolah (paket A,B,C) bekerja sama dengan Badan Pelatihan Pendidikan luar Sekolah dan Pemuda (BPPLSP). Ketiga: keterampilan life skill seperti pelatihan sablon, belajar mengemudi, menjahit, saloon, tenun dan lain-lain. Keempat, bidang kesehatan seperti pemeriksaan kesehatan yang dilakukan 1 kali dalam seminggu dan pemberian makanan tambahan 1 kali dalam 1 bulan.

Keefektifan pelayanan rumah singgah serta kelengkapan sarana dan prasarana yang tersedia akan sangat meningkatkan kualitas keahlian dan keterampilan anak jalanan. Keterampilan yang diperoleh anak dari rumah singgah akan dapat menjadi bekal hidup yang berharga kelak bila sudah keluar dari dunia anak jalanan. Penyediaan rumah singgah merupakan upaya agar hak-hak anak dari anak jalanan dapat terpenuhi dan dapat


(1)

BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan

Anak-anak adalah aset Negara dan merupakan salah satu sumber daya manusia untuk mewujudkan cita-cita pembangunan bangsa Indonesia yaitu masyarakat adil dan makmur, merata material dan spiritual yang nantinya dapat menggantikan para pelopor dan pejuang pembangunan di negeri ini untuk mengisi dan melanjutkan pembangunan. Oleh karena itu, sebagai generasi penerus bangsa anak perlu dibina, diarahkan dan diupayakan penanggulangannya sedini mungkin baik dari segi pendidikan, keterampilan maupun pemberdayaan anak secara mandiri dan produktif.

Dalam realitas yang sebenarnya keberadaan anak di Indonesia tidak boleh dipandang sama dan senasib, karena tidak sedikit anak Indonesia yang mengalami kesulitan maupun masalah baik itu dari segi sosial atau ekonomi. Sehingga apa yang seharusnya dimiliki mereka tidak tercapai, membuat mereka akhirnya turun kejalan untuk mencari nafkah dalam menghidupi diri sendiri maupun keluarga termasuk di dalamnya biaya sekolah bagi mereka yang masih sekolah.

Berbagai cara dilakkan untuk mengatasi masalah anak jalanan sebagaimana diembankan oleh UU No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak dalam menciptakan suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik secara mental, jasmani, rohani, maupun sosial. Dalam penanganan masalah anak jalanan, rumah singgah merupakan wadah yang sesuai karena rumah singgah jika ditempatkan di wilayah yang dekat bagi anak jalanan dapat dipandang


(2)

106

Tekanan rumah singgah yang lebih penting adalah mempertahankan kemampuan anak dimana penanggulangannya berdasarkan aspirasi da potensi yang dimiliki anak. Para pekerja sosial dalam berkerja lebih banyak berprinsip perkawanan dalam pendampingan yang sejajar sebagai seorang sahabat. Penyediaan rumah singgah merupakan upaya agar hak-hak dari para anak jalanan dapat terpenuhi. Hal ini akan mendorong kelancaran proses tumbuh kembang anak, yang pada gilirannya dapat ikut serta dalam pembangunan nasional dengan melaksanakan peran serta dan tugas sebagai anak.

Rumah singgah merupakan proses informal yang memberikan suasana resosialisasi anak jalanan terhadap system nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Rumah singgah juga merupakan tahap awal bagi seorang anak untuk memperoleh pelayanan selanjutnya. Oleh karena itu penting menciptakan rumah singgah sebagai tempat yang aman, nyaman, menarik dan menyenangkan bagi anak jalanan.

Pengamatan di lapangan memperlihatkan jumlah anak laki-laki lebih banyak dari pada anak perempuan. Hal ini karena anak laki-laki dianggap sebagai calon pemimpin keluarga sehingga harus lebih bertanggung jawab kepada keluarganya kelak dari pada anak perempuan, daya tahan tubuh anak laki-laki lebih kuat dibandingkan anak perempuan, selain itu nak perempuan sering mendapatkan perlakuan kasar dari anak laki-laki sehingga anak perempuan menjadi malas turun ke jalan.

Secara umum program pelayanan rumah singgah sudah dirancang dengan baik, tetapi ditingkat pelaksanaan program belum terlihat secara utuh dan masih banyak program-program yang dikerjakan tidak sepenuhnya. Hal ini terjadi antara lain karena:


(3)

1. Konsistensi para pekerja sosial terhadap program pelayanan masih rendah. Terlalu banyaknya program membuat pihak rumah singgah tidak maksimal dalam melaksanakannya. Hal ini terjadi karena kurangnya sumber daya manusia yang berkualitas.

2. Kesulitan dalam mengorganisir anak-anak jalanan yang tingkat keberadaannya dirumah singgah sangat terbatas, membuat pihak rumah singgah kurang bisa melaksanakan program yang sebenarnya sudah dirancang bagi anak jalanan tersebut. Hal ini disebabkan banyaknya jumlah anak jalanan yang telah dijangkau oleh rumah singgah.

3. Kurangnya sarana dan prasarana untuk menciptakan keahlian baru bagi anak jalanan. Dengan perlengkapan yang kurang maka program pelayanan akan kurang efektif, oleh sebab itu perlu ada sarana dan prasarana yang memadai dalam melaksanakan program pelayanan khusus bagi anak jalanan.

B. Saran-Saran

Adapun saran-saran yang perlu dipertimbangkan untuk lebih mengoptimalkan kinerja rumah singgah adalah sebagai berikut:

1. Perlu adanya Up grading bagi pekerja sosial, agar mereka memiliki keahlian dalam menangani masalah yang sering dihadapi anak-anak jalanan. Setidaknya setiap pekerja sosial dirumah singgah pernah mengikuti pelatihan dalam mengelola rumah singgah yang baik, sehingga pendekatan yang mereka lakukan langsung dirasakan oleh anak jalanan.


(4)

108

2. Perlu alokasi dana dari pihak-pihak lain. Lembaga harus sedapat mungkin berupaya mencari solusi terbaik untuk mengatasi hambatan-hambatan maupun kekurangan sarana dan prasarana pendukung rumah singgah sehingga program pelayanan yang dilaksanakan dapat efektif.

3. Penajaman prioritas yang telah ada. Maksudnya adalah program pelayanan yang dirasakan cukup efektif harus terus diupayakan dan dilaksanakan dengan baik. Ini akan menjadi nilai lebih bagi rumah singgah, sehingga pihak luar percaya dengan rumah singgah tersebut.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsini, Prosedur Penelitian. Rineka Cipta, Jakarta,1993.

Departemen Sosial Republik Indonesia bekerja sama dengan YKAI, Modul Pelatihan Pemberdayaan Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah. Jakarta, 1999.

Departemen Sosial RI, Modul Pelatihan Pimpinan Rumah Singgah. Departemen Sosial RI, 1999.

Elfa Marlina, Pemberdayaan Anak Jalanan oleh Yayasan Econom disekitar Terminal Terpadu Amplas Medan. Skripsi (S1) tidak diterbitkan, Program Ilmu Kesejahteraan Sosial USU, Medan, 2007.

Fanggidae, Abraham, Memahami Masalah Kesejahteraan Anak. Puspa Swara, Jakarta, 1993.

Gosita, Arief, Masalah Perlindungan Anak, Akasemika, Jakarta, 1985.

Irma setyowati, Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak. Bumi Aksara, Jakarta, 1990.

Irwanto, M. Farid, Jefry Anwar. Anak Yang Membutuhkan Perlindungan Khusus di Indonesia; Analisis Situasi. PKPM Unika Atmajaya Jakarta kerja sama Depsos dan UNICEF.

Liliawaty M, Euginia. SH. Peraturan Perundang-undangan Tentang Perlindungan Anak. Harvarindo, Jakarta, 1998.

Mulyono, W. Kusumah, Hukum dan Hak-hak Anak, CV. Rajawali, Jakarta, 1986. Robinson, Isu Gender Dalam Implementasi Otonomi Daerah. Monora, Medan,2003. Singarimbun, Masri, Metode Penelitian Survey. LP3ES, Jakarta, 1995.


(6)

Singarimbun, Masri, Kelangsungan Hidup Anak, Gadjah Mada University Press,Yogyakarta, 1988.

Tambunan, Tulus, Drs, Perkembangan Industri Skala Kecil di Indonesia. PT. Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 1999.

Wadong, Maulana, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak. Jakarta, 2000

Sumber lain:

Mukkadis, Sartono, 2007, Metode Pendekatan dalam Penanganan Anak Jalanan,

Maruih, Sufandi, 2007 Anak-anak terlantar, http///www.republika.co.id

http//www.indomedia.com