Analisa Jaringan Sosial antara Yayasan Compassion Indonesia dan Gereje Penyebaran Injil melalui Child Sponsorship Program di Pusat Pengembangan Anak IO-552

(1)

Analisa Jaringan Sosial antara Yayasan Compassion Indonesia dan

Gereje Penyebaran Injil melalui Child Sponsorship Program di

Pusat Pengembangan Anak IO-552

SKRIPSI

DIAJUKAN GUNA

MEMENUHI SALAH SATU SYARAT UNTUK MEMPEROLEH GELAR SARJANA

OLEH:

HANA ANGGRENI SEMBIRING 100902036

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

Kata Pengantar

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus, atas segala Anugrah dan Kasih Setia-Nya yang telah memberikan kesehatan dan hikmat kepada penulis, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik sesuai dengan waktu yang telah direncanakan.

Skripsi berjudul “Analisa Jaringan Sosial antara Yayasan Compassion Indonesia dengan Gereja Penyebaran Injil melalui Child Sponsorship Program di Pusat Pengembangan Anak IO-552”, disusun untuk memperoleh gelar Sarjana strata-1 (S-1) pada Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Semoga skripsi ini dapat menambah wawasan dan informasi pembaca mengenai jaringan sosial. Jika terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini, penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya. Demikianlah kata pengantar yang bisa penulis paparkan, terima kasih atas perhatian pembaca. Tuhan Yesus Memberkati.

Medan, Mei 2014


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL dan ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Nama : Hana Anggreni

NIM : 100902036

ABSTRAK

Analisa Jaringan Sosial antara Yayasan Compassion Indonesia dengan Gereja Penyebaran Injil melalui Child Sponsorship Program di PPA IO-552

Tujuan-tujuan kesetaraan sosial, capaian dan pemeliharaan provisi standar minimum serta pemeliharaan kohesi sosial dan tanggung jawab kolektif dari negara kesejahteraan, dalam kondisi paling baik hanya secara parsial. Dewasa ini konsep Jaringan sosial dapat menjadi alternatif baru dalam usaha kesejahteraan sosial dan pembangunan sosial di tingkat grassroots.. Fakta yang terjadi adalah para pembuat kebijakan, donor dan pembuat keputusan sangat mendorong penggunaan kemitraan sebagai suatu strategi dalam usaha kesejahteraan sosial Seperti halnya yang dilakukan oleh Yayasan Compassion Indonesia dan Gereja Penyebaran Injil yang bermitra melalui Child Sponsorship Program di Pusat Pengembangan Anak (PPA) IO-552. Oleh karenanya Unsur- unsur yang melekat pada jaringan sosial seperti, partisipasi, pertukaran timbal balik, solidaritas, kerjasama dan keadilan, menjadi isu yang menarik untuk dibahas dalam rangka memahami kekuatan jaringan sosial.

Penelitian ini tergolong tipe penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini akan dilakukan di Pusat Pengembangan Anak IO 552. Peneliti memperoleh data dari Penelitian Kepustakaan dan Penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan yakni dari buku ilmiah, Buku Panduan Kemitraan Compassion dan Buku Kerja PPA IO-552 Tahun 2013-2014. Penelitian lapangan yakni melalui observasi dan wawancara dengan Komisi PPA dan Koordinator PPA.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa jaringan sosial antara Yayasan Compasiion Indonesia dengan Gereja Penyebaran Injil diikat oleh solidaritas karena kesamaan doktrin kepercayaan. Kemudian rasa solidaritas mendorong partisipasi dan kerjasama dalam pelaksanaan Child Sponsorship Program di Pusat Pengembangan Anak IO-552. Partisipasi dan aturan kerjasama mendukung keefektifan pelayanan sosial dan pencapaian tujuan. Sementara Pertukaran timbal balik dan keadilan yang memuat unsur kewajiban dan pemenuhan hak akan menjaga kelangenggan hubungan kemitraan YCI dan GPI. Jaringan sosial antara Yayasan Compassion Indonesia dan Gereja Penyebaran Injil melalui Child Sponsorship Program telah memberikan kesempatan bagi 123 anak dari keluarga miskin untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Dengan strategi kegiatan pengembangan holistik yakni spiritual, kognitif, fisik, dan sosio-emosional yang diberikan, anak diproyeksikan mampu berfungsi sosial tanpa terisolasi oleh kemiskinan. Dari jaringan sosial antara Yayasan Compassion Indonesia dan Gereja Penyebaran Injil peneliti melihat bahwa Jaringan Sosial sebagai bagian modal sosial sangat berpotensi besar dalam upaya meningkatkan kesejahteraan sosial di tingkat grassroots. Kata kunci : Analisa, Jaringan Sosial


(4)

University of North Sumatra Faculty of Social and Politic Studies

Department of Social Welfare Hana Anggreni

100902036

Social Network Analysis between Yayasan Compassion Indonesia with Gereja Penyebaran Injil through the Child Sponsorship Program in PPA IO-552

ABSTRACT

Social equity objectives, the achievement and maintenance of the minimum standard of provision and maintenance of social cohesion and collective responsibility of the welfare state, in the best conditions only partially. Today the concept of a social network can be a new alternative in the social welfare and social development at the grassroots level .. The fact that there are policy-makers, donors and decision-makers strongly encourage the use of partnerships as a strategy for social welfare As performed by Yayasan Compassion Indonesia (foundation) and Gereja Penyebaran Injil (Church) partnered through Child Sponsorship Program at the Child Development Center (Pusat Pengembangan Anak/ PPA) IO-552. Therefore elements inherent in social networks,such participation, exchange of reciprocity, solidarity, cooperation and justice, be an interesting issue to be addressed in order to understand the power of social networking.

This study classified the type of descriptive study with a qualitative approach. This study will be conducted at the Child Development Center (PPA) IO -552. Researchers obtained data from the research literature and field research. Research literature that is of a scientific book, Compassion Partnership Handbook and Workbook PPA IO-552 Years 2013-2014. The field research through observation and interviews with Commission PPA and PPA Coordinator.

Based on the survey results revealed that the social networks among Yayasan Compassion Indonesia with Gereja Penyebaran Injil bound by the doctrine of solidarity because of the similarity of confidence . Then a sense of solidarity to encourage participation and cooperation in the implementation of the Child Sponsorship Program at the PPA IO - 552 . Participation and cooperation rules support the effectiveness of social services and the achievement of goals . While the mutual exchange and justice which contains elements of the obligation and the right fulfillment will maintain partnerships between Yayasan Compassion Indonesia and Gereja Penyebaran Injil . Social networking between Yayasan Compassion Indonesia and Gereja Penyebaran Injil through Child Sponsorship Program has provided an opportunity for 123 children from poor families to get out of the cycle of poverty . With a holistic development strategy that is spiritual activities , cognitive , physical , emotional and socio - given , children projected to be able to function socially without being isolated by poverty . From the social network between Yayasan Compassion Indonesiaa with Gereja Penyebaran Injil of researchers noticed that the social networking as part of social capital is potentially large in an effort to improve social welfare at the grassroots level .


(5)

Daftar Isi Bab I. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang……….. 1

1.2. Perumusan Masalah……….. 9

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian………. 10

1.4. Sistematika Penulisan………. 11

Bab II. Tinjauan Pustaka 2.1 Kesejahteraan Sosial……….13

2.2. Pembangunan Sosial dan Usaha Kesejahteraan Sosial 2.2.1. Pembangunan Sosial……….. ……15

2.2.2. Usaha Kesejahteraan Sosial……… …………. 21

2.3. Modal Sosial………. 23

2.4. Analisa Jaringan Sosial………. 27

A. Partisipasi……… ………30

B. Pertukaran Timbal Balik………. 32

C. Solidaritas ………. 33

D. Kerjasama………34

E. Keadilan……….. 36

2.5. Pranata/ Lembaga Sosial………... 37

2.6. Pelayanan Sosial……… …41

2.7. Kerangka Pemikiran………... …..43

2.8. Defenisi Konsep……….... 46

Bab III. Metode Penelitian 3.1 Tipe Penelitian……….. 48

3.2 Lokasi Penelitian………. ….48


(6)

3.4 Teknik Pengumpulan Data……….. 50

3.5 Teknik Analisa Data……… 51

Bab IV. Deskripsi Penelitian 4.1 Lokasi Penelitian………. 52

4.2 Sejarah Berdirinya PPA IO-552……… 52

4.3 Tugas dan Fungsi……… 53

4.4 Struktur Organisasi ………. 55

4.5 Keadaan PPA dan Anak……….. 57

4.6 Kegiatan Pelayanan………. 57

Bab V. Analisa Data………..63

5.1. Partisipasi 5.1.1 Partisipasi oleh YCI………65

5.1.2 Partisipasi oleh GPI……….. 76

5.2 Pertukaram Timbal Balik……… 88

5.3 Solidaritas……… 91

5.4 Kerjasama……… 95

5.4.1 Bidang-bidang yang dikerjasamakan………. 95

5.4.2 Struktur kerjasama YCI dan GPI……….. 97

5.4.3 Tata Cara dan Ketentuan Teknis Pelayanan……….. 99

5.4.4. Sistem Keuangan……… …120

5.4.5 Jangka Waktu……….. 126

5.5 Keadilan………... 128

Bab VI. Kesimpulan dan Saran 6.1. Kesimpulan……… 133


(7)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL dan ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Nama : Hana Anggreni

NIM : 100902036

ABSTRAK

Analisa Jaringan Sosial antara Yayasan Compassion Indonesia dengan Gereja Penyebaran Injil melalui Child Sponsorship Program di PPA IO-552

Tujuan-tujuan kesetaraan sosial, capaian dan pemeliharaan provisi standar minimum serta pemeliharaan kohesi sosial dan tanggung jawab kolektif dari negara kesejahteraan, dalam kondisi paling baik hanya secara parsial. Dewasa ini konsep Jaringan sosial dapat menjadi alternatif baru dalam usaha kesejahteraan sosial dan pembangunan sosial di tingkat grassroots.. Fakta yang terjadi adalah para pembuat kebijakan, donor dan pembuat keputusan sangat mendorong penggunaan kemitraan sebagai suatu strategi dalam usaha kesejahteraan sosial Seperti halnya yang dilakukan oleh Yayasan Compassion Indonesia dan Gereja Penyebaran Injil yang bermitra melalui Child Sponsorship Program di Pusat Pengembangan Anak (PPA) IO-552. Oleh karenanya Unsur- unsur yang melekat pada jaringan sosial seperti, partisipasi, pertukaran timbal balik, solidaritas, kerjasama dan keadilan, menjadi isu yang menarik untuk dibahas dalam rangka memahami kekuatan jaringan sosial.

Penelitian ini tergolong tipe penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini akan dilakukan di Pusat Pengembangan Anak IO 552. Peneliti memperoleh data dari Penelitian Kepustakaan dan Penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan yakni dari buku ilmiah, Buku Panduan Kemitraan Compassion dan Buku Kerja PPA IO-552 Tahun 2013-2014. Penelitian lapangan yakni melalui observasi dan wawancara dengan Komisi PPA dan Koordinator PPA.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa jaringan sosial antara Yayasan Compasiion Indonesia dengan Gereja Penyebaran Injil diikat oleh solidaritas karena kesamaan doktrin kepercayaan. Kemudian rasa solidaritas mendorong partisipasi dan kerjasama dalam pelaksanaan Child Sponsorship Program di Pusat Pengembangan Anak IO-552. Partisipasi dan aturan kerjasama mendukung keefektifan pelayanan sosial dan pencapaian tujuan. Sementara Pertukaran timbal balik dan keadilan yang memuat unsur kewajiban dan pemenuhan hak akan menjaga kelangenggan hubungan kemitraan YCI dan GPI. Jaringan sosial antara Yayasan Compassion Indonesia dan Gereja Penyebaran Injil melalui Child Sponsorship Program telah memberikan kesempatan bagi 123 anak dari keluarga miskin untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Dengan strategi kegiatan pengembangan holistik yakni spiritual, kognitif, fisik, dan sosio-emosional yang diberikan, anak diproyeksikan mampu berfungsi sosial tanpa terisolasi oleh kemiskinan. Dari jaringan sosial antara Yayasan Compassion Indonesia dan Gereja Penyebaran Injil peneliti melihat bahwa Jaringan Sosial sebagai bagian modal sosial sangat berpotensi besar dalam upaya meningkatkan kesejahteraan sosial di tingkat grassroots. Kata kunci : Analisa, Jaringan Sosial


(8)

University of North Sumatra Faculty of Social and Politic Studies

Department of Social Welfare Hana Anggreni

100902036

Social Network Analysis between Yayasan Compassion Indonesia with Gereja Penyebaran Injil through the Child Sponsorship Program in PPA IO-552

ABSTRACT

Social equity objectives, the achievement and maintenance of the minimum standard of provision and maintenance of social cohesion and collective responsibility of the welfare state, in the best conditions only partially. Today the concept of a social network can be a new alternative in the social welfare and social development at the grassroots level .. The fact that there are policy-makers, donors and decision-makers strongly encourage the use of partnerships as a strategy for social welfare As performed by Yayasan Compassion Indonesia (foundation) and Gereja Penyebaran Injil (Church) partnered through Child Sponsorship Program at the Child Development Center (Pusat Pengembangan Anak/ PPA) IO-552. Therefore elements inherent in social networks,such participation, exchange of reciprocity, solidarity, cooperation and justice, be an interesting issue to be addressed in order to understand the power of social networking.

This study classified the type of descriptive study with a qualitative approach. This study will be conducted at the Child Development Center (PPA) IO -552. Researchers obtained data from the research literature and field research. Research literature that is of a scientific book, Compassion Partnership Handbook and Workbook PPA IO-552 Years 2013-2014. The field research through observation and interviews with Commission PPA and PPA Coordinator.

Based on the survey results revealed that the social networks among Yayasan Compassion Indonesia with Gereja Penyebaran Injil bound by the doctrine of solidarity because of the similarity of confidence . Then a sense of solidarity to encourage participation and cooperation in the implementation of the Child Sponsorship Program at the PPA IO - 552 . Participation and cooperation rules support the effectiveness of social services and the achievement of goals . While the mutual exchange and justice which contains elements of the obligation and the right fulfillment will maintain partnerships between Yayasan Compassion Indonesia and Gereja Penyebaran Injil . Social networking between Yayasan Compassion Indonesia and Gereja Penyebaran Injil through Child Sponsorship Program has provided an opportunity for 123 children from poor families to get out of the cycle of poverty . With a holistic development strategy that is spiritual activities , cognitive , physical , emotional and socio - given , children projected to be able to function socially without being isolated by poverty . From the social network between Yayasan Compassion Indonesiaa with Gereja Penyebaran Injil of researchers noticed that the social networking as part of social capital is potentially large in an effort to improve social welfare at the grassroots level .


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Masalah kemiskinan telah lama ada. Pada masa lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalam bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan modern pada masa kini, kemiskinan sebagai akibat mereka tidak dapat menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahan- kemudahan lain yang tersedia pada jaman modern. Kemiskinan merupakan masalah multidimensi dan lintas sektor yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan antara lain, tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan akses terhadap barang dan jasa, lokasi, geografis, gender dan kondisi lingkungan.

Sampai saat ini jumlah penduduk miskin di Indonesia masih cukup banyak. Jika menggunakan definisi Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2012, penduduk miskin sekitar 12,5 persen atau 29,13 juta jiwa. Sementara pada 2013 pada angka 11,23%. Persentase ini setara dengan 27,48 juta penduduk. Jika menanut makna kemiskinan versi Bank Dunia, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada 2013 mencapai 97,9 juta jiwa. Atau setara dengan 40 persen pendud pada 14:45, Rabu 8 Januari 2014) . Jumlah penduduk miskin yang masih cukup besar serta permasalahan kemiskinan yang kompleks dan luas menuntut penanganan yang komprehensif dan berkelanjutan dalam menurunkan jumlah penduduk miskin.

Penanganan masalah kemiskinan merupakan masalah sosial yang serius dan krusial untuk ditangani oleh negara berkembang seperti Indonesia. Sebagaimana


(10)

menurut Hadirman dan Midgley (1982) dan Jones (1990), pekerjaan sosial di Dunia ketiga seharusnya lebih memfokuskan pada penanganan masalah sosial yang bersifat makro, seperti kemiskinan. (Suharto :2005, 143). Kemiskinan menjadi suatu bentuk kondisi yang menghambat masyarakat untuk dapat menjalankan fungsi sosialnya, dan sebagai akibatnya dapat memunculkan masalah sosial yang baru.

Kehidupan yang menjadi dambaan masyarakat adalah kehidupan yang sejahtera. Saat ada kondisi yang menunjukkan taraf hidup yang rendah maka adalah tepat untuk menjadikan kondisi ini sebagai sasaran utama dalam berbagai pelaksanaan usaha perbaikan dan peningkatan kesejahteraan. Kondisi kemiskinan dengan berbagai dimensi dan implikasinya merupakan salah satu bentuk masalah sosial yang menggambarkan kondisi kesejahteraan yang rendah. Oleh sebab itu wajar bila kemiskinan menjadi pendorong berbagai tindakan perubahan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat ( Soetomo, 2008 :307).

Sebagaimana diamanatkan pada pembukaan UUD 1945 yang berbunyi “…Pemerintah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dapat ditarik kesimpulan bahwa Indonesia telah menunjukkan niat dan tujuan membentuk Negara Kesejahteraan (welfare state) (Husodo, 2006:3). Oleh karenanya Indonesia sebagai negara kesejahteraan harus ambil bagian dalam penanganan masalah sosial (Suharto, 2005:10)

Usaha pembangunan kesejahteraan sosial yang telah diupayakan pemerintah, dapat dilihat dari berbagai program penanggulangan kemiskinan. Adapun beberapa contoh program yang bertujuan untuk mengurangi angka kemiskinan, adalah sebagai berikut : Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM), Program


(11)

Keluarga Harapan (PKH), Program Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin), (Kredit Usaha Rakyat (KUR). Menurut Rinekso Kartono (Tim Dosen IKS UMM, 2007:110), persoalan pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia, sesungguhnya bukan terletak pada masalah regulasi dan konsep, akan tetapi telah bergeser pada masalah sistem dan komitmen yang belum terbentuk.

Beranjak dari keruwetan yang menjadi hambatan pemerintah dalam melaksanaan kesejahteraan sosial. Penelitian telah dengan jelas menunjukkan bahwa tujuan-tujuan kesetaraan sosial, capaian dan pemeliharaan provisi standar minimum dan pemeliharaan kohesi sosial dan tanggung jawab kolektif dari negara kesejahteraan, dalam kondisi paling baik hanya secara parsial (Ife,2008: 5). Oleh karenanya perlu ada alternatif yang lain yang mampu mendukung pemerintah dalam tugas pembangunan kesejahteraaan sosial.

Dalam pembangunan kesejahteraan sosial, bukan hanya Pemerintah sendiri yang bertanggung jawab, tetapi masyarakat juga memiliki tanggung jawab yang sama dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dalam pasal 38 disebutkan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Dengan demikian masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk mendukung keberhasilan pembangunan kesejahteraan sosial.

Konsep Modal Sosial menjadi salah satu isu yang tak terpisahkan dari upaya pembangunan kesejahteraan sosial berbasis masyarakat. Menurut Fukuyama, modal sosial bersumber dari agama, tradisi dan pengalaman-pengalaman bersama yang


(12)

selalu berulang ditengah masyarakat, dan ini diluar kemampuan dan kontrol pemerintah (Mutis,2009:174).

Pada tahun-tahun terakhir ini terdapat peningkatan minat pada gagasan-gagasan modal sosial. Modal sosial dapat dilihat sebagai ‘perekat’ yang menyatukan masyarakat- hubungan-hubungan antarmanusia, orang melakukan apa yang dilakukannya terhadap sesama karena adanya kewajiban sosial dan timbal-balik, solidaritas sosial dan komunitas (Ife,2008:35).

Konsep modal sosial banyak menjadi perhatian dan kajian pada berbagai lembaga atau institusi termasuk lembaga riset. Seperti Putnam, Leonardi dan Naneti (Hobbs, 2000) melihat bahwa di masyarakat modern Italia, modal sosial: “corak organisasi sosial, kepercayaan, norma dan jaringan sosial dapat meningkatkan efesiensi dan kemudahan berbagai kehidupan masyarakat melalui pemanfaatan fasilitas bersama”. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Bank Dunia (2000), bahwa institusi, hubungan kemasyarakatan, dan norma dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas interaksi sosial masyarakat sehingga pada gilirannya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat baik dalam keperluan individu maupun kepentingan bersama. Demikian pula dikemukakan oleh Grootaert (Lawang, 2005), bahwa kapital sosial yang menunjuk pada institusi, kepercayaan, jaringan, sikap dan nilai dapat memberikan kontribusi pada perkembangan ekonomi dan sosial.

Menurut Jamaludin Ancok, modal sosial akan semakin kuat apabila sebuah komunitas atau organisasi memiliki jaringan sosial baik secara internal komunitas/ organisasi, atau hubungan kerjasama yang bersifat antar komunitas/ organisasi. Jaringan sosial yang sinergetik yang merupakan modal sosial akan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan bersama. (Mutis, 2009: 170).


(13)

Jaringan sosial pada bidang ilmu sosiologi maupun antropologi, digunakan untuk membantu dalam pemahaman fenomena urban dan fenomena-fenomena sosial yang kompleks serta memahami perilaku masyarakat. (Agusyanto, 2007: 28). Sementara pada bidang ilmu politik, jaringan sosial memiliki kegunaan praktis untuk mencari ‘main actor’ yang memiliki pengaruh dalam suatu kelompok masyarakat.

Lalu bagaimana praktisi ilmu kesejahteraan sosial memanfaatkan konsep jaringan sosial? Beberapa penelitian menunjukkan bahwa jaringan sosial memiliki kekuatan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat. Seperti yang ditegaskan Putnam, bahwa masyarakat yang berhubungan dengan baik dapat melaksanakan ekonomi secara menyeluruh daripada masyarakat yang tidak saling berhubungan. Selain itu jaringan sosial juga memberi manfaat untuk kesehatan dan kesejahteraan. Hal ini terjadi karena orang-orang yang berada dalam komunitas-komunitas yang terhubung dengan baik berada pada posisi yang tepat untuk mendapatkan informasi mengenai jasa-jasa kesehatan dan mengaksesnya. (Field, 2005:84)

Fakta dan fenomena sosial yang diinterpretasikan dengan konsep jaringan sosial ini, kemudian membuka mata akademisi dan praktisi ilmu kesejahteraan sosial bahwa jaringan sosial dapat menjadi alternatif baru dalam usaha kesejahteraan sosial. Buktinya, dewasa ini para pembuat kebijakan, donor dan pembuat keputusan sangat mendorong penggunaan kemitraan sebagai suatu strategi dalam usaha kesejahteraan sosial (Ife, 2008: 323). Unsur- unsur yang melekat pada jaringan sosial seperti, partisipasi, pertukaran timbal balik, solidaritas, kerjasama dan keadilan, menjadi isu yang menarik untuk dibahas dalam rangka memahami kekuatan jaringan sosial.


(14)

Usaha kesejahteraan sosial yang tercipta dari jaringan sosial antar organisasi dapat kita lihat dari perkembangan organisasi sosial itu sendiri. Saat ini keterlibatan organisasi sosial yang berbasis masyarakat semakin memiliki kedudukan, peran dan fungsi yang strategis. Pada masyarakat Indonesia, organisasi sosial lokal baik di perkotaan maupun di pedesaan sudah ada sejak lama secara turun temurun dan berfungsi sebagai wahana pemecahan masalah sosial. Sebagian dari organisasi sosial tersebut tumbuh dari masyarakat yang dilandasi oleh nilai dan adat istiadat. Sedangkan sebagian lagi ditumbuhkan dari luar sebagai media menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat (Markus, 2002). .

Pertumbuhan jumlah organisasi sosial di Indonesia, tidak dapat dipisahkan dalam upaya mengatasi masalah-masalah pembangunan.. Terbukti sejak pertengahan tahun 1990-an jumlah organisasi sosial, dalam hal ini adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau yang disebut dengan NGO (Non Government Organization) mengalami peningkatan jumlah. LSM berusaha menanggapi pelbagai kebutuhan organisasi akar rumput dengan dukungan lembaga kerjasama pembangunan internasional atau lembaga dana (funding agencies). (Fakih, 1996: 3)

Gambaran perkembangan LSM di Indonesia dapat dilihat dalam buku The State and NGO’s Perspective of Asia (2002: 165). “ (1) the estimates of the number of NGOs in mid- 1990s range from 6.000-7.000 to over 12,000. (2) Most Indonesia NGOs have been incorporated and take the organizational form of foundation (yayasan). (3)Almost all Indonesian NGOs consist of small groups of members working to directly meet the needs of local communities (4) Although all NGOs are developing various funding channels, there is still a heavy dependence on outside funds.(5) range of activities are quite varied, with a single NGO being involved in a number of fields, overall NGOs dealing with social and economic development are still the most numerous. ”


(15)

Salah satu LSM yang berbentuk yayasan di Indonesia adalah Yayasan Compassion Indonesia (YCI). Yayasan Compassion Indonesia berdiri di Indonesia sejak tahun 1968. Yayasan Compassion Indonesia merupakan sebuah lembaga kesejahteraan sosial anak yang berbasis internasional. Yayasan Compassion Indonesia memberikan pelayanan sosial kepada anak yang berasal dari keluarga miskin dan mengalami social abuse. Dalam artian anak tersebut tidak menerima pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak sebagai akibat dari kemiskinan.

Salah satu pelayanan sosial anak yang dilakukan oleh Yayasan Compassion Indonesia adalah pelaksanaan program CSP (Child Sponsorship Program). Program CSP bertujuan memperbesar kesempatan kepada anak yang berasal dari keluarga miskin untuk menikmati fasilitas pendidikan dan kesehatan yang layak. Kegiatan yang terangkum dalam CSP meliputi pengembangan kognitif, pengembangan sosial-emosional, pengembangan spiritual dan pengembangan fisik. Kegiatan ini berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, yakni 19 tahun lama maksimal.

Pelayanan yang diberikan oleh Yayasan Compassion Indonesia berbeda dari lembaga kesejahteraan sosial anak pada umumnya. Yayasan Compassion Indonesia melakukan penggalangan dana dari para sponsor tetap yang berasal seluruh negara mitra compassion (Partner Country/PACO) yang meliputi Negara Australia, Kanada, Prancis, Belanda, Italia, Selandia Baru, Korea Selatan, Swiss, Kerajaan Inggris, dan Amerika Serikat. Para sponsor tetap ini berkomitmen untuk membayar paling sedikit satu bulan komitmen pensponsoran dan terhubung dengan anak yang dibantu Yayasan Compassion Indonesia.

Bentuk perbedaan yang khas lainnya dari pelaksanaan program CSP adalah adanya kerjasama Yayasan Compassion Indonesia dengan Organisasi lokal, yaitu


(16)

gereja local. Gereja local dianggap sebagai lembaga yang unik secara local dan juga global. Karena gereja adalah bagian dari masyarakat dimana ia berada, gereja memiliki pengetahuan dan rasa hormat yang mendalam terhadap kebudayaan dan konteks setempat dan juga dapat mencerminkan inisiatif local yang sesungguhnya.

Sejarah lahirnya negara kesejahteraan di Eropa tidak terlepas dari nilai-nilai agama Kristen dan pengaruh doktrin karitatif (social charity) gereja (Tim Dosen IKS UMM, 2007:100). Dalam Buku The Social Web an Introduction to Sociology (1988: 316), dikatakan bahwa, A church is a religious organization that is thoroughly institutionalized and well integrated into the social and economic order of society. Maka adalah fenomena yang benar jika gereja ikut ambil bagian dalam melakukan pelayanan kemanusiaan atau aktivitas yang mengarah kepada usaha kesejahteraan sosial.

Kemitraan antara Yayasan Compassion Indonesia dengan gereja lokal dipandang sebagai sebuah strategi untuk mengefektifkan pelaksanaan program CSP. Adapun Gereja lokal yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah Gereja Penyebaran Injil. Hasil kemitraan antara Yayasan Compassion Indonesia dengan Gereja Penyebaran Injil membentuk lembaga baru yang disebut Pusat Pengembangan Anak (PPA) IO-552. PPA merupakan pusat kegiatan bagi pelaksanaan CSP.

Hubungan kemitraan antar organisasi ini mengindikasikan adanya sebuah jaringan sosial sebagai bagian dari modal sosial yang dapat menjadi alternatif baru bagi usaha kesejahteraan sosial. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul Analisa Jaringan Sosial antara Yayasan Compassion Indonesia dan Gereje Penyebaran Injil melalui Child Sponsorship Program di Pusat Pengembangan Anak IO-552


(17)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka masalah yang dapat dirumuskan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah “ Bagaimana gambaran unsur-unsur pembentuk jaringan sosial antara Yayasan Compassion Indonesia dengan Gereja Penyebaran Injil Haleluya melalui Child Sponsorship Program di Pusat Pengembangan Anak IO 552? “

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi dari tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis unsur-unsur pembentuk jaringan sosial antara Yayasan Compassion Indonesia dengan Gereja Penyebaran Injil Haleluya melalui Child Sponsorship Program di Pusat Pengembangan Anak IO 552

1.3.2. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

a. Manfaat Praktis

Menambah pengetahuan mengenai unsur pembentuk jaringan sosial serta menunjukkan model baru usaha kesejahteraan sosial

b. Manfaat Teoritis

Menambah konsep-konsep dan teori keilmuan mengenai modal sosial dan jaringan sosial


(18)

1.4 Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian

BAB II : Tinjauan Pustaka

Bab ini berisikan teori-teori yang berkaitan dengan penelitian, dan kerangka pemikiran, defenisi konsep dan defenisi operasional

BAB III : Metode Penelitian

Bab ini berisikan uraian metodologi penelitian yang terdiri dari tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data

Bab IV : Deskripsi Lokasi Penelitian

Bab ini berisikan uraian sejarah geographis dan gambaran umum tentang lokasi dimana peneliti melakukan penelitian

Bab V : Analisa Data

Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian beserta analisisnya.

BAB VI : Penutup

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran atas penelitian yang dilakukan.


(19)

Bab II

Tinjauan Pustaka

2.1 Kesejahteraan Sosial

Secara konseptual, kesejahteraan sosial memiliki beberapa makna. Midgley (1997) dalam Adi (2005:16) mengartikan kesejahteraan sosial sebagai: a state or condition of human well being that exist when social problems are managed, when humans needs are met, and when social oppurtunities are maximized. Definisi ini dapat diterjemahkan sebagai berikut : “suatu keadaan atau kondisi kehidupan manusia yang tercipta ketika berbagai permasalahan sosial dapat dikelola dengan baik, kebutuhan manusia dapat terpenuhi dan ketika kesempatan sosial dapat dimaksimalkan.

Kemudian menurut Suradi dalam Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial (2007:1) mengemukakan bahwa dalam perspektif teoritis kesejahteraan sosial sebagai kondisi kehidupan dan penghidupan mencakup: (1) kemampuan setiap orang dalam menghadapi masalah; (2) kemampuan setiap orang dalam memenuhi kebutuhan; dan (3) kemampuan setiap orang dalam melaksanakan peran sosialnya dengan menjunjung tinggi hak-hak.

Di Indonesia, istilah kesejahteraan sosial dirumuskan dalam UU RI No. 11 tahun 2009 Bab 1 Pasal 1, yang didefenisikan sebagai : kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga neara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Beberapa pengertian sebelumnya memiliki substansi yang sama dimana kesejahteraan sosial merupakan suatu kondisi atau tata kehidupan dimana setiap orang, setiap


(20)

keluarga, setiap golongan atau masyarakat, selalu dapat merasakan adanya keselamatan lahir batin, mampu memenuhi kebutuhan hidupnya (baik material maupun spiritual) serta menjalankan peran sosialnya dengan baik.

Menurut Suharto (2005) selain sebagai kondisi, kesejahteraan sosial juga didefinisikan sebagai arena atau domain utama tempat berkiprahnya pekerja sosial. Pemaknaan kesejahteraan sosial sebagai alat (means) untuk mencapai tujuan pembangunan. Selain sebagai tujuan akhir dan sebagai arena utama berkiprahnya pekerja sosial, kesejahteraan sosial juga merupakan kegiatan yang teroranisasi.

Kesejahteraan sosial merupakan tujuan akhir pembangunan nasional yang dicapai melalui serangkaian program terorganisir yang diselengarakan pemerintah pusat, daerah dan masyarakat. Menurut Suharto (2006) kesejahteraan sosial memiliki dua dimensi:

1. State of human well-being, dimana kesejahteraan sosial dipandang sebagai kebaikan sosial yang dalam bahasa Inggris dinamakan social well-fare sebagai lawan dari social ill-fare (ketidaksehataan sosial). Artinya, kesejhateraan sosial menunjuk pada kondisi kehidupan sejahtera, kebaikan sosial, keadaan yan baik, kemakmuran, kebahagiaan, yang ditandai dengan terpenuhinya kebutuhan dasar manusia. Sebagai contoh, orang memiliki kesejahteraan sosial jika memiliki tubuh yang sehat, penghasilan yang memadai, rumah yang layak huni, ketrampilan dan pengetahuan dasar, serta dapat berinteraksi dengan linkungan sosialnya.

2. System of social services, dimana kesejahteraan sosial diartikan sebagai sebuah sistem keigiatan pelayanan sosial yang dilakukan oleh lembaga pemerintah maupun non pemerintah (civil society). Di Inggris, Australia dan


(21)

Selandia Baru, pelayanan sosial umumnya mencakup lima bentuk antara lain jaminan sosial (social security), perawatan kesehatan penyediaan pendidikan dasar dan khusus, penyediaan perumahan publik, dan pelayanan sosial personal (personal social services)

2.2.Pembangunan Sosial dan Usaha Kesejahteraan Sosial

2.2.1. Pembangunan Sosial

Pada awalnya, pembangunan sosial sebagai salah satu pendekatan dalam pembangunan seringkali dipertentangkan dengan pembangunan ekonomi (Adi, 2005). Hal ini disebabkan oleh pemahaman banyak orang yang menggunakan istilah ‘pembangunan’ sebagai perubahan ekonomi dengan munculnya industrialisasi. Seiring dengan perkembangan globalisasi sekarang ini, pembangunan sosial menjadi suatu agenda penting dengan semakin besarnya perhatian pada hak-hak asasi manusia, demokratisaso dan civil society.

Seperti dikemukakan Midgley dalam Adi (2002: 118), pembangunan sosial merupakan “suatu proses perubahan sosial yang terencana dan dirancang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sebagai suatu keutuhan, dimana pembangunan ini dilakukan untuk saling melengkapi dengan dinamika pembangunan ekonomi”.

Dalam pembangunan sosial sebagai penyelenggaraan kesejahteraan sosial diperlukan peran masyarakat yang seluas-luasnya, baik perseorangan, keluarga, organisasi keagamaan, organisasi sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarkat, organisasi profesi, badan usaha, lembaga kesejahteraan sosial, demi terselenggaranya kesejahteraan sosial yang terarah, terpadu dan berkelanjutan.


(22)

Adapun level pembangunan sosial terbagi menjadi 4, sebagai berikut : (Adi 2002:138)

1. Pembangunan di level individu dan keluarga (level mikro)

Pembangunan ini lebih mengarah pada fungsi rehabilitative dan remedial dimana individu ataupun keluara yang bermasalah menjadi fokus penanganan. 2. Pembangunan di level organisasi dan komunitas (level mezzo)

Pembangunan ini lebih mengarah pada program bersifat kreatif, proaktif dan preventif yang biasanya dilakukan melalui intervensi kounitas seperti pengembangan masyarakat (community development), pendekatan pelayanan masyarakat (community services approach), dan pendidikan masyarakat (community education).

3. Pembangunan di level provinsi, regional ataupun nasional (level makro) Pembangunan ini merupakan pembangunan pada level normative dimana agen perubahan berusaha melibatkan diri pada upaya perencanaan dan pembuatan kebijakan sosial.

4. Pembangunan di level internasional (level global)

Pembangunan ini menitikberatkan pada peran agen perubahan (change agent) dalam mempengaruhi kebijakan di tingkat antar negara)

Mengacu pada buku Charles Zastrow (2000), Introduction to Social Work and Social Welfare, ada tiga pendekatan dalam pembangunan kesejahteraan sosial, yaitu perspektif residual, institusional dan pengembangan (Suharto. 2005:10)

a. Pendekatan Residual

Pelayanan sosial diberikan hanya apabila kebutuhan individu tidak dapat dipenuhi dengan baik oleh lembaga-lembaga yang ada di masyarakat, seperti


(23)

institusi keluarga, dan ekonomi pasar. Bantuan financial dan sosial sebiknya diberikan dalam jangka pendek, pada masa kedaruratan dan harus dihentikan manakala individu atau lembaga-lembaga kemasyarakatan tadi dapat berfungsi kembali.

Perspektif residual disebut sebagai pendekatan yang menyalahkan korban atau blaming the victim approach. Masalah sosial termasuk kemiskinan disebabkan oleh kesalahan-kesalahan individu dan karenanya menjadi tanggun jawab dirinya, bukan sistem sosial

b. Pendekatan Institusional

Berbeda dengan perspektif residual yang memandang pelayanan sosial sebagai charity for unfortunates, pendekatan institusional melihat sistem dan usaha kesejahteraan sosial sebagai fungsi yang tepat dan sah dalam masyarakat modern. Pelayanan sosial dipandang sebagai hak warga negara. Kemiskinan bukan disebabkan oleh kesalahan individu. Melainkan, produk dari sistem sosial yang tidak adil, menindas, sexist, dan rasis yang kemudian membentuk sistem kapitalis. Metode pekerjaan sosial yang sering digunakan mencakup program-program pencegahan, pendidikan, pemberdayaan dan penguatan struktur-struktur kesempatan.

c. Pendekatan Pengembangan

Perspektif pengembangan sejalan dengan ideologi liberal dengan ideologi liberal dan pendekatan institusional. Ia mendukung pengembangan program-progran kesejahteraan sosial, peran aktif pemerintah serta pelibatan-pelibatan tenaga professional dalam perencanaan sosial. Menurut Midgley (2005:205) : Selain memfasilitasi dan mengarahkan pembangunan sosial, pemerintah jua seharusnya memberikan kontribusi langsung pada pembangunan sosial lewat


(24)

bermacam kebijakan dan program sector publik. Perspektif institusional membutuhkan bentuk organisasi formal yang bertanggung jawab untuk mengatur usaha pembangunan sosial dan mengharmoniskan implementasi berbagai pendekatan strategis yang berbeda. Organisasi seperti ini berada pada tingkat yang berbeda tetapi tetap harus dikoordinasikan pada tingkat nasional. Mereka juga mempekerjakan tenaga spesialis yang telah terlatih dan terampil untuk mendukung tercapainya tujuan pembangunan sosial.

Dalam Pembangunan sosial, pemahaman terhadap unsur-unsur yang ada dalam suatu community tidak mungkin untuk ditingalkan. Secara historik, pelayanan oleh masyarakat, lebih dahulu tampil mengedapan dibanding dengan usaha manusia. Hal ini didasarkan pada nilai-nilai yang telah berakar lama dalam tata kehidupan masyarakat. Sejak berabad-abad dibeberapa negara “kesejahteran masyarakat” dipelopori, diperjuangkan oleh kelompok-kelompok tenaga pelaksana sukarela (administrative volunteer) yang menjalankan badan-badan kesejahteraan sosial swasta (sukarela). Dengan dasar swadaya, sumber-sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat digali dan dimobilisasi serta diorganisasi oleh mereka sendiri untuk kepentingan bersama dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok anggotanya.

Keberhasilan pembangunan ditunjang oleh beberapa faktor yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Sebagaimana yang dikemukakan oleh T. Sumarnugroho sebagai berikut (1993:71-73) :

1. Kemampuan masyarakat mengenal masalah mereka sendiri. Masyarakat seringkali tidak memahami permasalahan yang ada pada linkungannya. Hal ini timbul bisa juga karena permasalahan tersebut merupakan sesuatu yang sudah biasa terjadi, menyerah kepada nasib atau menganggap itu bukan


(25)

sebagai suatu masalah. Dari sebab-sebab tersebut terdapat dua pokok yang mendasar, yaitu adanya kepekaaan terhadap linkungan sosial dan kedua rasa ketidakberdayaan.

2. Keinginan dan ikut sertanya masyarakat untuk mencari alternatif pemecahan masalah. Dalam mencari alternatif pemecahan masalah, masyarakat munkin mmerlukan bantuan dari para pelaku perubahan. Wujud bantuannya adalah masayarakat memulai menyelesaikan masalahnya dari gaasaga berbahingn mereka sendiri berbagai kegiatan pengulangan masalah dan usaha-usaha keejahteraan sosial menjadi milik dalam kehidupan mereka sehari-hari.

3. Keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan usaha kesejahteraan sosial. Masyarakat dilibatkan dalam mengadakan, memulai, melaksanakan dan mengevaluasi program kegiatan. Dengan keterlibatannya ini masyarakat akan menganggap sebagai suatu kewajiban atau kesaadaran karena merupakan kepentingan bersama.

4. Penyebaran metode swadaya berswadaya. Beberapa hal yang berkaitan dengan metode berswadaya adalah:

a. Pemahaman terhadap kebutuhan manusia yang mencakup aspek fisik, psikologi dan sosial

b. Pengembangan leadership untuk menggali, memobilisasi dan mendistribusikan sumber-sumber daya.

c. Kemampuan yang diperlukan untuk menjadi administrator yang cakap dalam mengelola berbagai kegiatan

d. Kemampuan untuk mengadakan studi kelayakan, menyusun program dan menyesuaikan perkembangan-perkembangan baru.


(26)

5. Bimbingan dan bantuan dari pemerintah. Dalam pelaksanaan kegiatan kesejahteraan sosial didasarkan pada suatu kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini pemerintah tetap memegang peranan penting dalam memberikan bantuan dan bimbingannya dalam:

a. Penggunaan prosedur berdasarkan perundang-undangan dan peraturan yang ada

b. Penetapan standar pelayanan c. Bimbingan dan pengarahan teknis.

d. Bantuan/ subsidi untuk meningkatkan mutu pelayanan

2.2.2 Usaha Kesejahteraan Sosial

Usaha kesejahteraan sosial memberikan sumbangan untuk mewujudkan kesejahteraan fisik, mental dan sosial setiap warga dari segala lapisan. Leonard Schneiderman dalam Sistem Intervensi Kesejahteraan Sosial, mengemukakan bahwa kesejahteraan sosial mempunyai tujuan, yakni system maintenance, system control dan system change.

Untuk mewujudkan tujuan dari kesejahteraan sosial sebagaimana telah dikemukakan, perlu disusun suatu program-program dan kegiatan yang bermuara pada tujuan kesejahteraan sosial. Program-program itulah yang kemudian disebut sebagai Usaha Kesejahteraan Sosial yang meliputi semua upaya, program dan kegiatan yang ditujukan untuk mewujudkan, membina, memelihara, memulihkan dan mengembangkan kesejahteraan sosial, sebagaimana tertuang dalam UU RI No.6 Tahun 1974, Pasal 2 ayat 2 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.


(27)

Wilensky dan Lebeaux dalam Industrial Society and Social Welfare mengemukakan lima kriteria untuk untuk menentukan kegiatan yang dapat disebut sebagai Usaha Kesejahteraan Sosial.

1. Formal Organization. Usaha-usaha kesejahteraan sosial merupakan suatu organisasi yang formal. Pemberian bantuan dan amal perorangan, walaupun mereka mengadakan usaha kesejahteraan, namun demikian tidak terorganisasi secara formal. Juga pelayanan-pelayanan dan bantuan dalam hubungan saling tolong menolong seperti keluarga, sahabat-sahabat, tetangga dan semacamnya tidak termasuk dalam pengertian struktur kesejahteraan sosial (sebagai sistem untuk memenuhi kebutuhan manusia)

2. Social Sponsorship and Accountability. Usaha Kesejahteraan Sosial diselenggarakan oleh masyarakat atas dukungan masyarakat. Pelaksanaan usaha kesejahteraan sosial harus pula dipertanggunjawabkan kepada masyarakat. Jika pengerakan sumber-sumber daya untuk mencapai kebutuhan manusia tidak dapat dipenuhi oleh keluarga maupun ekonomi pasar, beberapa jenis organisasi yang ketiga harus tersedia dan hal ini merupakan suatu usaha masyarakat secara keseluruhan diwakili oleh pemerintah atau masyarakat kecil yang beroperasi melalui badan-badan sosial swasta.

3. Absence of Provit Motive as Dominant Program Purpose. Tidak ada motif untung sebagai tujuan yang menonjol dalam suatu program. Pelayanan-pelayanan dan produksi jasa dari ekonomi pasar ataupun melalui jalan pembelian oleh perorangan dengan penyerahan uang yang bersifat persaingan dalam segi ekonomi bukan merupakan Usaha Kesejahteraan Sosil. Demikian pula segala usaha yang menekankan keuntungan dan pembayaran yang tinggi untuk jasa pelayanan.


(28)

4. Fuctional generalization: An Integrative View of Human Needs. Memiliki fungsi yang bersifat umum, yaitu ada kenultan pandangan tentang kebutuhan-kebutuhan manusia yang memerlukan bantuan dan perlu dipenuhi. Bertitik tolak dari sudut struktur kesejahteraan sosial sebagai suatu keseluruhan, kegiatan-keiatan tdapat menggambarkan fungsi umum sebagaimana mestinya, jikalau pelayanan-pelayanan kesejahteraan bukan hanya diselenggarakan untuk mengisi kekurangan-kekurangan atau karena lembaga-lembaga lain seperti lembaga mendidik, keluarga, pendidikan, industry tidak dapat memenuhi kebutuhan.

5. Direct Concern with Human Consumption Needs. Secara langsung berhubungan dengan konsumsi kebutuhan-kebutuhan manusia. Untuk menjelaskan pengertian ini dapat diberikan gambaran akan perbedaan fungsi pelayanan pemerintah (government services) dengan pelayanan-pelayanan kesejahteraan yang diselenggarakan pemerintah (government welfare services) yang semuanya mendapatkan dukungan dari pemerintah.Government services pada umumnya bersifat regular misalnya, soal pertahanan negara, pemeliharaan hukum dan tata tertib, adminstrasi pengadilan dan semacamnya. Sedangkan pelayanan dalam konteks stuktur kesejahteraan sosial merupakan pelayanan langsung yang menyangkut konsumsi kebutuhan manusia yang mempunyai efek terhadap kesejahteraan dan kesehatan individu serta keluarga-keluarganya.

2.3. Modal Sosial

Modal sosial adalah salah satu konsep baru yang digunakan untuk mengukur kualitas hubungan dalam komunitas, organisasi, dan masyarakat. Menurut Putnam modal sosial adalah “complexly conceptualized as the network of associations,


(29)

activities, or relations that bind people together as a community via certain norms and psychological capacities, notably trust, which are essential for civil society and productive of future collective action or goods, in the manner of other forms of capital”. Putnam (1993, 1996, 2000) menyatakan bahwa modal sosial mengacu pada esensi dari organisasi sosial, seperti trust, norma dan jaringan sosial yang memungkinkan pelaksanaan kegiatan lebih terkoordinasi, dan anggota masyarakat dapat berpartisipasi dan bekerjasama secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan bersama, dan mempengaruhi produktifitas secara individual maupun berkelompok.

Sependapat dengan Putnam, Bourdieu dan Wacquant (1992) menyatakan bahwa “ Modal Sosial adalah jumlah sumber-sumber daya, actual atau virtual (tersirat) yang berkembang pada seorang individu atau sekelompok individu karena kemampuan untuk memiliki suatu jaringan yang dapat bertahan lama dalam hubungan-hubungan yang lebih kurang telah diinstitusikan berdasarkan pengetahuan dan pengenalan timbale balik”. (Field, 2005: 20-21)

Fukuyama (1999) menambahkan norma-norma informal dapat mendorong kerjasama antara dua atau beberapa orang. Norma-norma yang mengandung modal sosial memiliki ruang lingkup yang cukup luas, mulai dari nilai-nilai resiprokal antara teman, sampai dengan yang sangat kompleks dan mengandung nilai-nilai keagamaan.

Menurut Narayan dan Pritchett (1999:872-873), modal sosial dapat mempengaruhi berbagai bentuk keluaran (outcomes) bagi masyarakat melalui lima mekanisme, yakni (1) dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memonitor berbagai kegiatan atau kebijakan pemerintah melalui jaringan sosial (social network) ; (2) dapat meningkatkan berbagai bentuk tindakan atau kebijakan bersama dlam


(30)

memecahkan berbagai persoalan dalam masyarakat; (3) dapat memudahkan berbagai bentuk difusi inovasi melalui peningkatan hubungan antar individu; (4) dapat mengurangi ketidaksempurnaan informasi yang diterima masyarakat, seperti dalam pemanfaatan fasilitas kredit, berbagai bentuk produksi, lahan pertanian dan lapangan kerja; dan dapat meningkatkan asuransi informal (informal insurance) bagi rumah tangga. Berdasarkan definisi tersebut, modal sosial dapat disimpulkan sebagai jaringan dan nilai-nilai sosial yang dapat memfasilitasi individu dan komunitas untuk mencapai tujuan bersama secara efektif dan efisien.

Dalam pengertian yang luas, modal sosial bisa berbentuk jaringan sosial atau sekelompok orang yang dihubungkan oleh perasaan simpati, kewajiban, norma pertukaran, dan civic engagementyang kemudian diorganisasikan menjadi sebuah institusi yang memberikan perlakuan khsusus terhadap mereka yang dibentuk oleh jaringan untuk mendapatkan modal sosial dari jaringan tersebut.

Modal sosial diukur atas dasar (1) generalized trust, (2) norms, (3) reciprocity, dan (4) networks. Generalized trust adalah inti dari modal social. Generalized trust merupakan indikasi dari potensi kesiapan masyarakat untuk bekerjasama satu sama lain. Kerjasama ini melampaui batasan kekeluargaan dan pertemanan serta batasan persamaan. Dalam arena sosial, generalized trust mempermudah kehidupan dalam masyarakat yang beragam, mendorong perilaku toleransi, dan menerima perbedaan. Sehingga hidup menjadi lebih mudah, lebih bahagia, dan lebih nyaman dengan keberadaan generalized trust dalam masyarakat yang heterogen. Pendapat Putnam, Rothstein dan Stolle diperkuat dengan pendapat Uslaner yang menyatakan bahwa “Trust in other people is a key factor in many forms of participation. As trust in others falls, so does participation in civic activities”


(31)

Norma-norma, kepercayaan antarpersonal, jejaring sosial, dan organisasi sosial sebagai bentuk modal sosial sangatlah penting tidak hanya bagi masyarakat tapi juga bagi pertumbuhan ekonomi (Coleman, 1988:96). Sejumlah penelitian yang dilakukan Ben Porath (1980), Oliver Williamson (1975, 1981), Baker (1983) dan Granovetter (1985) (dalam Coleman) mendukung pernyataan Coleman tersebut, bahwa keterkaitan antar-organisasi sosial akan mempengaruhi berfungsinya aktivitas ekonomi.

Woolcock (1998) mengajukan tiga dimensi dari modal sosial, yaitu: bonding, bridging dan linking. Menurut Woolcock :

, (1) Modal sosial yang bersifat mengikat (bonding social capital) merujuk pada hubungan antar individu yang berada dalam kelompok primer atau lingkungan ketetanggaan yang saling berdekatan. Komunitas-komunitas yang menunjukkan kohesi internal yang kuat akan lebih mudah dan lancar dalam berbagi pengetahuan.

(2) Modal sosial yang bersifat menjembatani (bridging social capital) adalah hubungan yang terjalin di antara orang yang berbeda, termasuk pula orang-orang dari komunitas, budaya, atau latar belakang sosial-ekonomi yang berbeda. Individu-individu dalam komunitas yang mencerminkan dimensi modal sosial yang bersifat menjembatani akan mudah mengumpulkan informasi dan pengetahuan dari lingkungan luar komunitasnya dan tetap memperoleh informasi yang aktual dari luar kelompoknya. Tipe modal sosial ini menunjuk pada hubungan antarindividu yang memiliki kekuasaan atau akses pada bisnis dan hubungan sosial melalui kelompok-kelompok sekunder.

(3) Modal sosial yang bersifat mengaitkan (linking social capital) memungkinkan individu-individu untuk menggali dan mengelola sumber-sumberdaya, ide, informasi,


(32)

dan pengetahuan dalam suatu komunitas atau kelompok pada level pembentukan dan partisipasi dalam organisasi formal.

2.4. Analisa Jaringan Sosial

2.4.1 Analisa

Analisa dapat dilakukan terhadap berbagai segi aspek kehidupan manusia, baik ekonomi, politik maupun hal lainnya. Analisa oleh para ahli diartikan cukup beragam. Analisa menurut Dale Yoder diartikan sebagai prosedur melalui fakta-fakta yang berhubungan dengan setiap pengamatan yang diperoleh dan dicatat secara sistematis

2.4.2. Jaringan Sosial

Jaringan sosial (social network) adalah sebuah struktur sosial yang tercipta dari individu-individu atau organisasi yang lazim disebut “nodes” yang terikat atau terhubung oleh satu atau lebih karakteristik interdepensi tertentu diantara mereka. Beberapa contoh dari jaringan sosial antara lain, persahabatan, kekerabatan, pertukaran financial , hubungan ketaksukaan, hubungan seksual atau hubungan kepercayaan, pengetahuan atau prestise. (Lawang; 2005)

Jaringan sosial merupakan salah satu dimensi modal sosial selain kepercayaan dan norma. Ide sentral dari modal sosial adalah bahwa jaringan-jaringan sosial merupakan suatu aset yang bernilai (Field, 2005:16) jaringan-jaringan menyediakan suatu basis bagi kohesi sosial karena menyanggupkan orang untuk bekerjasama satu sama lain dan bukan hanya dengan orang yang mereka kenal secara langsung agar saling menguntungkan. Keterkaitan jaringan dan kelompok merupakan aspek vital dari modal sosial.


(33)

Konsep jaringan dalam modal sosial lebih memfokuskan pada aspek ikatan antar simpul yang bisa berupa orang atau kelompok (organisasi). Dalam hal ini terdapat pengertian adanya hubungan sosial yang diikat oleh adanya kepercayaan yang mana kepercayaan itu dipertahankan dan dijaga oleh norma yang ada. Pada konsep jaringan ini, terdapat unsur kerja, yang melalui media hubungan sosial menjadi kerja sama. Intinya, konsep dalam jaringan sosial menunjuk pada semua hubungan dengan orang atau kelompok lain yang memungkinkan kejadian dapat berjalan secara efisien dan efektif. Selanjutnya jaringan itu sendiri dapat terbentuk dari hubungan antar personal, antar individu dengan individu, serta jaringan antar institusi. (Lawang, 2005)

Jaringan hubungan sosial biasanya akan diwarnai oleh suatu tipologi khas sejalan dengan karakteristik dan orientasi kelompok. Pada kelompok sosial yang biasanya terbentuk secara tradisional atas dasar kesamaan garis keturunan (liniage), pengalaman-pengalaman sosial turun temurun (repeated social experiences),dan kesamaan kepercayaan pada dimensi Ketuhanan (religious belief)cenderung memiliki kohesifitas yang tinggi, tetapi rentang jaringan maupun trust yang terbangun sangat sempit. Sebaliknya, pada kelompok yang dibangun atas dasar kesamaan orientasi dan tujuan dengan ciri pengelolaan organisasi yang lebih modern akan memiliki tingkat partisipasi anggota yang lebih baik dan memiliki rentang jaringan yang lebih luas.

Menurut Stone (2001), Stone dan Hugkes (2002), terdapat tiga tipe jaringan sosial (social networks), yakni: (1) jaringan informal (informal ties): hubungan dalam anggota rumahtangga, teman, tetangga dekat dan teman kerja, (2) jaringan sosial dalam masyarakat: hubungan antar masyarakat lokal, antar wilayah dan kelompok lain, dan (3) jaringan sosial dalam institusi: (institusional relationship): sistem pemerintahan, partai, perguruan tinggi dan lain-lain.


(34)

Jaringan Sosial atau social network merupakan elemen penting dalam pengembangan masyarakat, termasuk dalam perancangan strategi penanggulangan kemiskinan di tingkat lokal. Pengembangan masyarakat sebagai sebuah metode seringkali menekankan pentingnya warga masyarakat dan lembaga-lembaga tingkat lokal sebagai inisiator, kolaborator dan sumber yang dapat dijadikan sarana pencapaian tujuan program.

Jaringan diantara lembaga-lembaga masyarakat dapat menggambarkan kondisi dan dinamika kehidupan sosial masyarakat, termasuk tingkat standar hidup, partisipasi sosial, dan pola-pola relasi sosial diantara mereka. Lembaga-lembaga sosial lokal baik yang bersifat tradisional maupun modern yang berada pada sebuah komunitas lokal merupakan kendaraan dengan mana perubahan sosial dan aksi sosial berlangsung (Robert, 1995; Dershem dan Gzirishvili, 1998; Reingold, 1999) november 2013)

Jaringan sosial terdiri dari lima unsur yang meliputi: adanya partisipasi, pertukaran timbal balik, solidaritas, kerjasama dan keadilan (Lubis, 2001).

A. Partisipasi

Berdasarkan sistem dan mekanisme partisipasi, Cohen dan Uphoff (dalam Ndraha, 1990), membedakan partisipasi atas 4 jenis:

a) Participation in decision making

Partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan keputusan dan kebijakan organisasi. Partisipasi dalam pembuatan keputusan adalah proses dimana prioritas prioritas pembangunan dipilih dan dituangkan


(35)

dalam bentuk program yang disesuaikan dengan kepentingan masyarakat.

b) participation in implementation

Partisipasi atau keikutertaan masyarakat dalam kegiatan operasional pembangunan berdasarkan program yang telah ditetapkan. Dalam pelaksanaan program pembangunan bentuk partisipasi masyarakat dapat dilihat dari jumlah banyaknya yang aktif dalam partisipasi, bentuk-bentuk yang dipartisipasikan misalnyatenaga, bahan, uang, semuanya atau sebagian-sebagian, partisipasi langsung atau tidak langsung , semangat berpartisipasi, sekali-sekali atau berulang-ulang c) participation in benefit

Partisipasi masyarakat dalam menikmati atau memanfaatkan hasil-hasil pembangunan. Partisipasi pemanfaatan ini selain dapat dilihat dari penikmatan hasil-hasil pembangunan, juga terlihat pada dampak hasil pembangunan terhadap tingkat kesehatan masyarakat, peningkatan pembangunan berikutnya dan partisipasi dalam pemeliharaan dan perawatan hasil-hasil pembangunan.

d) participation in evaluation.

Partisipasi masyarakat dalam bentuk keikutsertaan menilai serta mengawasi kegiatan pembangunan serta hasilnya. Penilaian ini dilakukan secara lansung misalnya dengan ikut serta dalam mengawasi dan menilai atau secara tidak langsung, misalnya memberikan saran-saran , kritikan atau protes.


(36)

Menurut Oakley (1991) partisipasi diartikan kedalam tiga bentuk, yaitu:

1. Partisipasi sebagai bentuk kontribusi, yaitu interpretasi dominan dari partisipasi dalam pembangunan di dunia ketiga adalah melihatnya sebagai suatu keterlibatan secara sukarela atau bentuk kontribusi lainnya dari masyarakat

2. Partisipasi sebagai organisasi, meskipun diwarnai dengan perdebatan yang panjang diantara para praktisi dan teoritisi mengenai organisasi sebagai instrument yang fundamental bagi partisipasi, namun dapat dikemukakan bahwa perbedaan organisasi dan partisipasi terletak pada hakekat bentuk oraganisasional sebagai sarana partisipasi, seperti organisasi organisasi biasa dibentuk organisasi yang muncul dan dibentuk sebagai hasil dari adanya proses partisipasi . Selanjutnya dalam melaksanakan partisipasi masyarakat dapat melakukannya melalui beberapa dimensi yaitu :

a. Sumbangan pikiran (idea tau gagasan) b. Sumbangan materi (dana, barang, alat)

c. Sumbangan tenaga (bekerja atau memberi kerja) d. Memanfaatkan/ melaksanakan pelayanan

3. Partisipasi sebagai pemberdayaan, partisipasi merupakan latihan pemberdayaan bagi masyarakat, meskipun sulit untuk didefenisikan , akan tetapi pemberdayaan maerupakan upaya untuk mengembangkan ketrampilan dan kemampuan masyarakat untuk memutuskan dan ikut terlibat dalam pembangunan.


(37)

B. Pertukaran Timbal Balik

Konsep pertukaran timbal balik dapat di jelaskan oleh teori pertukaran sosial.. Thibault dan Kelly menjelaskan bahwa terdapat empat konsep pokok dalam teori pertukaran sosial, yaitu (Rahmat, 2002: 121) :

1. Ganjaran ialah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dalam suatu hubungan. Ganjaran berupa uang, penerimaan sosial atau dukungan terhadap nilai yang dipegangnya. Nilai suatu ganjaran berbeda beda antara seseorang dengan yang lain, dan berlainan antara waktu yang satu dengan waktu yang lain.

2. Biaya adalah akibat yang dinilai negatif yang terjadi dalam suatu hubungan. Biaya itu dapat berupa waktu, usaha, konflik, kecemasan dan keruntuhan harga diri dan kondisi-kondisi lain yang dapat menghabiskan sumber kekayaan individu atau dapat menimbulkan efek-efek yang tidak menyenangkan. Seperti ganjaran, biaya pun berubah-ubah sesuai dengan waktu dan orang yang terlibat didalamnya.

3. Hasil dan laba adalah ganjaran dikurangi biaya. Bila dalam suatu hubungan seorang individu merasa bahwa ia tidak memperoleh laba sama sekali, ia akan mencari hubungan lain yang mendatangkan laba. 4. Tingkat perbandingan menunjukkan ukuran baku (standar) yang dipakai sebagai kriteria dalam menilai hubungan individu pada masa lalu atau alternatif hubungan lain yang terbuka baginya. Bila pada masa lalu


(38)

seorang individu mengalami hubungan yang memuaskan, tingkat perbandingannya menurun.

C. Solidaritas

Konsep solidaritas sosial merupakan kepedulian secara bersama kelompok yang menunjukkan pada suatu keadaan hubungan antara individu dan/atau kelompok yang didasarkan pada persamaan moral, kolektif yang sama dan kepercayaan yang dianut serta diperkuat oleh pengalaman emosional. (Nasution 2009:9) Bagi Emile Durkheim, agama memainkan peranan yang fungsional karena agama adalah prinsip solidaritas masyarakat (Syamsuddin, 1997: 31).

Solidaritas sosial juga dipengaruhi interaksi sosial yang berlangsung karena ikatan kultural yang pada dasarnya disebabkan munculnya sentimen komunitas (community sentiment), unsur-unsurnya meliputi:

1. Seperasaan, yaitu karena seseorang mengidentifikasi dirinya dengan sebanyak mungkin orang dalam kelompok tersebut

2. Sepenanggungan, yaitu setiap individu sadar akan peranannya dalam kelompok yang dijalankan

3. Saling butuh, yaitu individu yang tergantung dalam masyarakat setempat merasakan dirinya tergantung pada komunitasnya


(39)

D. Kerjasama

Kerjasama pada hakikatnya mengindikasikan adanya dua pihak atau lebih yang berinteraksi atau menjalin hubungan-hubungan yang bersifat dinamis untuk mencapai suatu tujuan bersama. Disini terlihat ada tiga unsur pokok yang melekat pada suatu kerangka kerjasama yaitu unsur dua pihak atau lebih; unsur interaksi; dan unsur tujuan bersama. (Pamudi, 1985: 12-13)

• Unsur dua pihak atau lebih biasanya menggambarkan suatu himpunan dari kepentingan-kepentingan yang satu sama lain saling mempengaruhi sehingga berinteraksi untuk mewujudkan suatu tujuan bersama.

• Kerjasama senantiasa menempatkan pihak-pihak yang berinteraksi itu pada posisi yang seimbang serasi dan selaras • Suatu interaksi yang dapat dikategorikan sebagai kerjasama

harus pula memuat unsur tercapainya tujuan bersama didalam keseimbangan, keserasian dan keselarasan.

Jika merujuk pada Peraturan Menteri Dalam Negeri no.6:1975 pasal 4 ayat (2) beberapa hal yang mutlak dibicarakan dalam suatu prosedur kerjasama adala sebagai berikut (Pamudi, 1985: 30-32):

1. Ruang lingkup bidang-bidang yang dikerjasamakan

Disini harus disepakati tentang bidang-bidang apa saja yang akan tercakup dalam kerangka kerjasama, serta disepakati pula batas-batas teknis dimana kerangka kerjasama itu dapat menjangkau aspek-aspek tertentu dari bidang kegiatan yang dikerjasamakan


(40)

2. Susunan organisasi dan personalia

Penetapan susunan organisasi ini perlu, oleh karena mereka inilah yang akan melaksanakan wewenang operasional dan realisasi kerjasama itu.

3. Tata cara dan ketentuan-ketentuan teknis Pelaksanaan kerjasama

Kejelasan tentang detail-detail tata cara dan teknis pelaksanaan kerjasama sangat diperlukan untuk menghindari adanya kesimpangsiuran dalam operasionalisasi rencana-rencana yang ditetapkan

4. Pembiayaan

Oleh karena setiap kerjasama selalu mengandung konsekuensi-konsekuensi keuangan, maka pembahasan tentang faktor biaya yang akan dikeluarkan dalam rangka kerjasama ini sangat perlu dilakukan. Kesepakatan di sektor pembiayaan akan mencakup jumlah keseluruhan biaya yang diproyeksikan dalam kerangka kerjasama ini serta beban yang dipikul oleh masing-masing pihak.

5. Jangka waktu

Suatu kerjasama tentu saja hanya diproyeksiakan pada suatu obyek tertentu dan obyek yang dikerjasamakan biasanya akan selesai mencapai targetnya pasa suatu waktu tertentu

6. Ketentuan-ketentuan lain yang dipandang perlu

Yang dimaksud disini adalah pengaturan tentang hal-hal diluar pokok yang dikemukakan mulai dari angka 1 s/d 5 tersebut.


(41)

E. Keadilan

Leventhal mengemukakan adanya tiga justices rules yang seringkali dipakai sebagai standar untuk menilai keadilan dalam konteks hubungan sosial. Ketiga standar ini adalah contribution rule, needs rule, equality rule. Contribution rule didasarkan atas investasi yang diberikan dalam hubungan sosial. Menurut Standard ini suatu hubungan di anggap adil bila semua individu yang terlibat mendapatkan imbalan yang sebanding dengan kontribusi yang diberikannya dalam hubungan sosial tersebut. Hal ini berarti bahwa yang memberikan kontribusi terbesar mendapat imbalan yang terbanyak. Tidak ada persyaratan bahwa kontribusi partisipan harus sama tetapi ratio dari kontribusi terhadap imbalan harus sebanding.

Standar kedua, needs rule, menyatakan bahwa imbalan harus didistribusikan menurut kebutuhan relatif dari individu yang bersangkutan. Standar ini tercakup dalam norma tanggung jawab sosial dimana kita dituntut untuk menanggapi kebutuhan yang sah dari pihak lain. Menurut standar ini distribusi imbalan yang adil adalah yang memenuhi kebutuhan yang sah dari pihak lain agar terhindar dari kesukaran dan atau penderitaan

Standar ketiga, equality rule, menyatakan bahwa imbalan harus didistribusikan secara adil/ setara diantara partisipan yang terlibat dalam suatu hubungan sosial terlepas dari perbedaan yang ada. ( Kompas Media Nusantara, 2004:14-15)


(42)

2.5. Pranata/ Lembaga Sosial

Pranata atau lembaga adalah sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakat itu untuk berinteraksi menurut pola-pola resmi (Soekanto, 2003). Di dalam pranata warga masyarakat dapat berinteraksi satu sama lain, tetapi sudah diikat oleh aturan-aturan yang telah disepakati bersama.

Lembaga sosial atau pranata sosial memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Beberapa diantara lembaga sosial yang turut ambil andil dalam usaha kesejahteraan sosial adalah Lembaga Swadaya Masyarakat dan Lembaga Sosial Lokal.

a. Lembaga swadaya masyarakat (LSM)

Menurut Peter Hannan (1988), seorang pakar ilmu-ilmu sosial dari Australia yang pernah melakukan penelitian tentang LSM di Indonesia pada tahun 1986, menyebutkan bahwa LSM adalah organisasi yang bertujuan untuk mengembangkan pembangunan di tingkat grassroots, biasanya melalui penciptaan dan dukungan terhadap kelompok-kelompok swadaya lokal.

Menurut Korten (2001:5), identitas LSM tersebut dapat dilihat melalui pengelompokan atau pengklasifikasian LSM, yaitu sebagai berikut:

1. Organisasi Sukarela (Voluntary Organization atau VO) yang melakukan misi sosial, terdorong oleh suatu komitmen kepada nilai-nilai yang sama

2. Organisasi Rakyat (People’s Organization atau PO) yang mewakili kepentingan anggotanya, mempunyai pimpinan yang bertanggun jawab kepada anggota dan cukup mandiri.


(43)

3. Kontraktor Pelayanan Umum (Public Service Contractor atau PSC) yang berfungsi sebagai usaha tanpa laba, berorientasi pasar untuk melayani kepentingan umum.

4. Lembaga swadaya masyarakat pemerintah (Government Non Government atau GONGO) dibentuk oleh pemerintah dan berfungsi sebagai alat kebijakan pemerintah.

Dalam buku The State and NGOs (2002:165) dikatakan bahwa kebanyakan LSM di Indonesia berbentuk Yayasan. Yayasan merupakan suatu hunian dan perkumpulan yang berbentuk badan hukum dengan pengertian yang dinyatakan dalam pasal 1 butir 1 Undang-undang No.16 Tahun 2001 tentang yayasan yaitu suatu badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota. Berdasarkan defenesi tersebut yayasan memiliki ciri-ciri khas, yaitu :

1. Bersifat dan bertujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan.

2. Tidak semata-mata mengutamakan keuntungan atau mencuri penghasilan yang sebesar-besarnya.

3. Tidak mempunyai anggota

b. Lembaga sosial lokal

Lembaga sosial pada tingkat lokal telah diakui memainkan peran penting dalam proses pembangunan di masyarakat. Lembaga ini pada hakekatnya menunjuk pada organisasi informal yang tumbuh di lingkungan


(44)

yang secara geografis dan kultural merepresentasikan komunitas setempat yang kecil dan terbatas.

Organisasi ini biasanya dibentuk secara swadaya untuk menyelenggarakan pelayanan sosial atau merespon permasalahan sosial berbasiskan pada sumber-sumber setempat. Kepengurusan dan fungsi dari lembaga ini umumnya tidak kaku seperti pada organisasi-organisasi formal. 21 november 2013)

Mengacu pada World Bank (1998: 3) mengenai yayasan dan lembaga kemasyarakatan, maka sedikitnya ada enam kriteria yang dapat dijadikan patokan mendefinisikan lembaga sosial lokal:

1. Grantmaking

2. Fund raising (both local and external to community) 3. Broadly defined vision

4. Local Board of trustees reflective of community 5. Serving geographical defined community 6. Building endowment

Beberapa contoh lembaga sosial lokal dapat berupa organisasi semi-pemerintah, seperti Karang Taruna, Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, Posyandu, atau murni mewakili kepentingan masyarakat madani, semisal Mitra Cai, Kelompok Pengajian, dan Kelompok Arisan.


(45)

Menurut Yayasan Compassion Indonesia (2007:6) Gereja bukan semata-mata lembaga agama melainkan bagian dari lembaga sosial lokal. Gereja adalah lembaga unik secara lokal dan juga global. Karena gereja adalah bagian dari masyarakat dimana ia berada, gereja memiliki pengetahuan dan rasa hormat mendalam terhadap kebudayaan dan konteks setempat dan juga dapat mencerminkan inisiatif local sesungguhnya. Pernyataan ini juga didukung melalui buku The Social Web an Introduction to Sociology (1988: 316), bahwa, A church is a religious organization that is thoroughly institutionalized and well integrated into the social and economic order of society

2.6 Pelayanan Sosial

Alfred J. Khan memberikan pengertian pelayanan sosial sebagai berikut: “ Pelayanan sosial terdiri dari program-program yang diadakan tanpa mempertimbangkan kriteria pasar untuk menjamin suatu tingkatan dasar dalam penyediaan fasilitas pemenuhan kebutuhan akan kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat serta kemampuan perorangan untuk pelaksanaan fungsi-fungsinya, untuk memperlancar kemampuan menjangkau dan menggunakan pelayanan-pelayanan serta lembaga-lembaga yang telah ada dan membantu warga masyarakat yang mengalami kesulitan dan keterlantaran” (Soetarso,1982:34).

Pelayanan sosial pada hakekatnya dibuat untuk memberikan bantuan kepada individu dan masyarakat untuk menghadapi permasalahan-permasalahan yang semakin rumit. Y.B.Suparlan mengatakan bahwa, “ Pelayanan adalah usaha untuk memberikan bantuan atau pertolongan kepada orang lain baik materi maupun non


(46)

materi agar orang lain dapat mengatasi masalahnya sendiri”(Suparlan, 1983:91). Pada umumnya pelayanan sosial yang dikembangkan dan diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Kesejahteraan keluarga

2. Pelayanan pendidikan orang tua 3. Pelayanan penitipan bayi atau anak 4. Pelayanan kesejahteraan anak

5. Pelayanan-pelayanan kepada lanjut usia

6. Pelayanan rehabilitasi bagi penderita cacat dan pelanggar hukum 7. Pelayanan bagi para migrant dan pengungsi

8. Kegiatan kelompok bagi para remaja 9. Pekerjaan sosial medis

10. Pusat-pusat pelayanan kesejahteraan sosial masyarakat

11. Pelayanan sosial yang berhubungan dengan proyek-proyek perumahan.

Fungsi pelayanan sosial dapat dibagi menjadi berbagai cara, bergantung kepada tujuan pembagian itu. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengemukakan fungsi-fungsi pelayanan sosial sebagai berikut:

1. Perbaikan secara progresif dari pada kondisi-kondisi kehidupan orang 2. Pengembangan terhadap perubahan sosial dan penyesuaian diri 3. Penggerakan dan penciptaan sumber-sumber komunitas untuk tujuan-tujuan pembangunan

4. Penyediaan struktur–struktur institusional untuk pelayanan-pelayanan yang terorganisir lainnya(Soetarso, 1981:41).

Bentuk-bentuk pelayanan sosial sesuai dengan fungsi-fungsinya adalah sebagai berikut:


(47)

1. Pelayanan Akses: mencakup pelayanan informasi, rujukan pemerintah, nasehat dan partisipasi. Tujuannya membantu orang agar dapat mencapai atau menggunakan pelayanan yang tersedia.

2. Pelayanan Terapi: mencakup pertolongan dan terapi ataurehabilitasi, termasuk didalamnya perlindungan dan perawatan. Misalnya pelayanan yang diberikan oleh badan-badan yang menyediakan konseling, pelayanan

kesejahteraan anak, pelayanan kesejahteraan sosial mendidik dan sekolah, perawatan bagi orang-orang jompo dan lanjut usia.

3. Pelayanan sosialisasi dan pengembangan, misalnya taman penitipan bayi dan anak, keluarga bencana, pendidikan keluarga, pelayanan reaksi bagi pemudah dan masyarakat yang dipusatkan atau community centre (Nurdin, 1989:50).

2.7 Kerangka Pemikiran

Kesejahteraan sebagai suatu kondisi adalah cita-cita Indonesia yang sudah tertuang dalam pembukaan UUD. Namun kemiskinan masih menjadi masalah sosial yang menghambat Indonesia untuk mensejahterakan masyarakatnya. Sebagai Negara kesejahteraan, sudah barang tentu pemerintah wajib mensejahterakan masyarakatnya melalui pembangunan sosial yang diwujudkan kedalam usaha-usaha kesejahteraan sosial.

Dewasa ini berbagai usaha kesejahteraan sosial tidak hanya dilaksanakan oleh pemerintah semata, pihak non pemerintah juga turut melakukan kegiatan-kegiatan yang bermuatan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebagai bagian dari masyarakat, baik organisasi lokal maupun LSM memiliki tanggung jawab sebagai pilar-pilar yang mendukung kesuksesan pembangunan sosial.


(48)

Modal sosial merupakan suatu konsep yang mendukung penelitian tentang bagaimana suatu lembaga sosial mampu menjadi sumber kesejahteraan. Salah satu unsur yang ada dalam modal sosial adalah Jaringan Sosial. Dewasa ini LSM yang bergerak dalam bidang peningkatan kesejahteraan masyarakat melakukan strategi partisipatif dengan organisasi lokal yang ada dalam masyarakat. Hubungan sosial inilah yang hendak dianalisis dalam jaringan sosial, yakni gambaran unsur-unsur jaringan sosial yang meliputi partisipasi, pertukaran timbal balik, solidaritas, kerja sama dan keadilan.

Salah satu LSM yang berbentuk Yayasan yakni Yayasan Compassion Indonesia (YCI) memberikan program pelayanan sosial kepada anak yang berasal dari keluarga miskin. Progran yang dimaksud adalah Child Sponsorship Program (CSP), pelaksanaan CSP tidak langsung diberikan oleh Yayasan Compassion Indonesia kepada anak. Namun melalui perantara yakni Gereja Penyebaran Injil yang dipandang sebagai organisasi lokal yang memahami kebutuhan masyarakatnya.

Kemitraan antara Yayasan Compassion Indonesia dengan Gereja Penyebaran Injil membentuk suatu lembaga baru yang disebut Pusat Pengembangan Anak (PPA-IO 552). PPA kemudian yang menjadi tempat dimana anak terdaftar dan berhak menerima segala bentuk kegiatan dari CSP.

Gambar 1.1


(49)

2.8. Defenisi Konsep

Kesejahteraan sosial

Pembangunan sosial dan Usaha Kesejahteraan sosial

Konsep Modal Sosial

Gereja Penyebaran Injil Compassion Yayasan Indonesia (YCI)

Child Sponsorship Program di Pusat Pengembangan Anak (PPA-

IO 552) :

Jaringan Sosial antar

lembaga

1)Partisipasi ; 2) Pertukaran Timbal Balik ; 3) Solidaritas; 4) Kerjasama ; 5) Keadilan


(50)

Defenisi Konsep merupakan sejumlah pengertian atau ciri-ciri yang berkaitan dengan berbagai peristiwa, objek, kondisi, situasi dan hal-hal lain sejenis. Konsep diciptakan dengan mengelompokkan objek-objek atau peristiwa-peristiwa yang mempunyai ciri-ciri yang sama. Definisi konsep bertujuan untuk merumuskan sejumlah pengertian yang digunakan secara mendasar dan menyamakan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian ( Silalahi, 2009:112)

Untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep-konsep yang dijadikan obyek penelitian, maka seorang peneliti harus menegaskan dan membatasi makna-makna konsep yang diteliti. Proses dan upaya penegasan dan pembatasan makna konsep dalam suatu penelitian disebut dengan definisi konsep. Secara sederhana defenisi ini diartikan sebagai batasan arti. Defenisi konsep adalah pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian. (Siagian, 2011: 138)

Adapun batasan konsep dalam penelitian ini adalah:

a. Analisa dalam penelitian ini adalah prosedur penelitian melalui fakta-fakta yang berhubungan dengan setiap pengamatan yang diperoleh dan dicatat secara sistematis

b. Jaringan sosial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jaringan sosial dalam masyarakat: hubungan antar kelompok yaitu Yayasan Compassion Indonesia (YCI) dan Gereja Penyebaran Injil (GPI)

C. Analisa jaringan sosial dalam penelitian ini adalah analisa terhadap unsur-unsur jaringan sosial antar lembaga yakni :


(51)

1. Partisipasi

2. Pertukaran timbal balik

3. Solidaritas

4. Kerjasama


(52)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tipe Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian ini tergolong tipe penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian desktiptif adalah penelitian yang dilakukan dengan tujuan menggambarkan atau mendeskripsikan obyek dan fenomena yang ingin diteliti. Termasuk didalamnya bagaimana unsur-unsur yang ada dalam variabel penelitian itu berinteraksi satu sana lain dan apa pula produk interaksi yang berlangsung (Siagian, 2011:52). Pendekatan kualitatif secara umum dapat digunakan untuk penelitian tentang kehidupan masyarakat, sejarah tingkah laku, fungsionalisasi organisasi, aktivitas sosial dan lain-lain.

Melalui penelitian ini, penulis ingin membuat gambaran mengenai unsur-unsur yang membentuk jaringan sosial yaitu partisipasi, pertukaran timbal balik, solidaritas, kerjasama dan keadilan.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Pusat Pengembangan Anak IO 552 yang beralamat di Jalan Kapiten Purba GG. Gereja No. 7, Perumnas Simalingkar Medan. Adapun yang menjadi alasan pemilihan lokasi ini dikarenakan PPA-IO 552 merupakan lembaga yang terbentuk oleh kemitraan Yayasan Compassion Indonesia Dan Gereja Penyebaran Injil berdiri sejak Maret 2007. Selama 7 tahun, Anak yang terdaftar di PPA IO 552 sudah mencapai 213 anak


(53)

3.3. Unit Analisis dan Informan 3.3.1 Unit Analisis

Unit Analisis dalam penelitian adalah satuan tertentu yan diperhitungkan sebagai subjek penelitian. Unit analisis suatu penelitian dapat berupa individu, kelompok, organisasi benda, wilayah dan waktu tertentu sesuai dengan fokus permasalahannya. Penentuan unit analisis menjadi faktor yang utama untuk mendapatkan informasi dan data yang akurat dilapangan. Adapun yang menjadi unit analisis atau sumber kajian dari penelitian ini adalah Yayasan Compassion Indonesia dan Gereja Penyebaran Injil.

3.3.2. Informan

Sampel pada penelitian kualitatif disebut informan. Informan adalah orang-orang yang dipilih untuk diwawancarai atau diobservasi sesuai tujuan peneliti untuk dapat memberikan informasi, data ataupun fakta dari suatu objek penelitian. Informan dalam penelitian ini terdapat atas dua jenis yaitu informan kunci, informan utama.

1. Informan Kunci (Key Informan) adalah orang yang dianggap mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian. Informan kunci dalam penelitian ini adalah Komisi PPA

2. Informan Utama adalah orang yang terlibat secara langsung dalam interaksi sosial yang diteliti. Informan utama dalam penelitian ini adalah Koordinator PPA.


(54)

Metode Pengumpulan data adalah teknik atau cara-cara yang dapat digunakan peneliti untuk mengumpulkan data. Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik sebagai berikut:

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Merupakan cara mengumpulkan data yang ada mengenai permasalahan dalam penelitian dengan mengolah berbagai sumber kepustakaan seperti buku ilmiah, makalah, media massa, media elektronik serta bentuk tulisan ilmiah lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

b. Penelitian Lapangan

Merupakan pengumpulan data yang diperoleh melalui penelitian dengan turun langsung ke lokasi penelitian untuk mencari fakta yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, yang terdiri dari :

• Metode pengamatan terlibat merupakan teknik pengumpulan data yang mengharuskan si peneliti melibatkan diri dalam kehidupan masyarakat yang ditelitinya untuk dapat melihat, mendengar, dan memahami gejala-gejala yang ada, sesuai dengan makna yang diberikan atau yang dipahami oleh masyarakat yang diteliti

• Wawancara dengan pedoman merupakan suatu teknik pengumpulan data atau informasi dengan teknik bertanya bebas, tetapi berdasarkan atas suatu pedoman (sesuai dengan ruang lingkup penelitian) guna mendapatkan informasi khusus, bukan respon (Agusyanto, 2007:83)


(55)

Dalam penelitian ini digunakan teknik analisis domain (Domain Analysis). Teknik analisis domain digunakan untuk menganalisis gambaran gambaran objek penelitian secara umum ditingkat permukaan namun relatif utuh tentang objek penelitian tersebut. Teknik analisis domain dalam penelitian ini dipakai untuk tujuan deskritif. Artinya analisis hasil penelitian ini hanya ditargetkan untuk memperoleh gambaran seutuhnya dari objek yang diteliti. (Bungin, 2013:284)

Adapun langkah yang digunakan dalam teknik analisis domain (Bungin 2013:285) adalah

1. Memilih bahasan tertentu atas dasar informasi atau fakta yang tersedia dalam catatan harian peneliti dilapangan

2. Menyiapkan lembaran kerja analisis domain

3. Memilih kesamaan data dari catatan harian peneliti di lapangan

4. Mencari konsep konsep induk dari domain tertentu yang sesuai dengan hal yang ingin di analisis

5. Menyusun pertanyaan structural untuk masing-masing domain 6. Membuat daftar keseluruhan domain dari seluruh data yang ada.


(1)

kegiatan agar Pelaksanaan CSP efektif dan efisien. Selain itu diperlukan pelatihan assessment bagi staff pengajar dalam hal ini mentor anak agar dapat menilai perkembangan anak secara benar tanpa bias.

3. Gereja Penyebaran Injil sebagai pihak yang difasilitasi oleh Yayasan Compassion Indonesia perlu menjaga hubungan kemitraan ini dengan baik, karena jika hubungan kemitraan memberatkan pihak Yayasan Compassion Indonesia maka bukan hanya Gereja Penyebaran Injil yang menanggung resiko melainkan anak yang terdaftar di PPA IO 552 akan turut menanggung resikonya.

4. Tidak dipungkiri bahwa beberapa pihak meragukan keprofesionalan lembaga penyedia layanan sosial yang dikelola oleh lembaga agama, oleh karenanya baik Gereja Penyebaran Injil dan Yayasan Compassion Indonesia perlu menggunakan jasa tenaga ahli seperti Pekerja Sosial dalam melaksanakan Child Sponsorship Program.

5. Program yang dikerjasamakan oleh Yayasan Compassion Indonesia dengan Gereja Penyebaran Injil bukan sekedar program residual, tetapi berdampak untuk jangka panjang. Oleh karenanya pihak Gereja Penyebaran Injil melalui Pusat Pengembangan Anak harus mampu memanfaatkan program-program yang ditawarkan oleh Yayasan Compassion Indonesia. Terkhusus dalam memanfaatkan program pemberdayaan orang tua seperti yang telah diatur dalam Program Enhancement Activities Program yakni Microenterprise/ Income Generation- IGP (Usaha Kecil/ Peningkatan Penghasilan).

6. Keadilan memuat unsur kewajiban dan pemenuhan hak yang penting bagi kelanggengan hubungan kemitraan, oleh karenanya pihak Gereja Penyebaran Injil dan Yayasan Compassion Indonesia harus mampu memberikan dampak


(2)

positif yang seimbang sesuai dengan pengorbanan yang dilakukan kedua pihak. Gereja penyebaran injil sebagai pihak yang difasilitasi harus menunjukkan hasil operasional yang memuaskan Yayasan Compassion Indonesia.

Daftar Pustaka

Sumber Buku

Abdullah, Syamsuddin (1997). Agama dan Masyarakat Pendekatan Sosiologi Agama. Logos Wacana Ilmu. Jakarta


(3)

Adi, Isbandi Rukminto. (2005). Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Soisal. FISIP UI Press. Jakarta

Agusyanto Ruddy, (2007). Jaringan Sosial dalam Organisasi. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Bungin H.M Burhan, 2013. Metode Penelitian Sosial dan Ekonomi. Kencana Prenada Media Group : Jakarta

Field, John. (2005). Modal Sosial. Bina Media Perintis.Medan.

Fukuyama, Francis (1999). The End of History and The last Man: Kemenangan

Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Penerbit Qalam. Yogyakarta

Ife Jim, Frank Tesoriero, (2006). Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era

Globalisasi Community Development. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Kymlicka, Will. (2004). Pengantar Filsafat Politik Kontemporer Kajian Khusus

Teori-teori Keadilan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta

Lawang Robert MZ. (2005). Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologi. Fisip UI Press. Jakarta

Lubis, Zulkifli B dan Fikarwan Zuska, 2001. Resistensi Persisteni dan Modal

Transmisi Modal Sosial dalam Pengelolaan Sumber Daya Milik Bersama,

Laporan Penelitian, Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia

Mutis, (2009). Manajemen Kemajemukan Sebuah Keniscayaan untuk Mengelola

kebhinnekaan Manusia Indonesia Visi 2030. Universitas Trisakti : Jakarta


(4)

Nasution, Zulkarnain (2009). Solidaritas Sosial dan Partisipasi Masyarakat Desa

Transisi (Suatu Tinjauan Sosiologis). UMM Press. Malang

Ndraha, Talizuduhu (1987). Pembangunan Masyarakat Mempersiapkan Masyarakat

Tinggal Landas. Bina Aksara. Jakarta

Neuman, W. Lawrance (2007). Basics of Social Research Qualitative and

Quantitative Approaches Second Edition. Pearson Education, Inc. Boston

Pamudji S. (1985). Kerjasama Antar Daerah dalam Rangka Pembinaan Wilayah. Bina Aksara. Jakarta

Perry. A John, Erna K. Perry (1988) The Social Web an Introduction to Sociology. Harper & Row. New York

PPA. 2013. Buku Kerja. Medan

Shigetomi, Shinichi (2002). The State and NGOs: Perspective From Asia. Sasakawa Peace Foundation, Tokyo.

Siagian M (2012) Kemiskinan dan Solusi. Grasindo Monoratama. Medan

Siagian M, (2011). Metode Penelitian Sosial. Grasindo Monoratama. Medan

Siagian M, Agus Suriadi, (2010) Tanggung Jawab Sosial Perusahaan CSR Perspektif

Pekerjaan Sosial. Fisip Usu Press. Medan

Soetomo, (2008). Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Pustaka Pelajar : Yogyakarta

Soetomo, 2006. Strategi-Strategi Pembangunan Masyarakat. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.


(5)

Suharto, Edy (2006b) Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat : Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial (cetakan

kedua), Refika Aditama. Bandung

Suharto, Edy. (2005) Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Refika Aditama. Bandung.

Suparlan Y.B. 1983. Kamus Istilah Kesejahteraan Sosial. Yogyakarta: Pustaka pengarang

Susianna Sali. (2000). Pembangunan Sosial, Teori dan Implikasi Kebijakan. Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI

T. Sumarnogroho, (1993) Sistem Intervensi Kesejahteraan Sosial, Hanandita. Jogakarta.

Tim Dosen IKS UMM, (2007). Beberapa Pemikiran Tentang Pembangunan

Kesejahteraan Sosial. UMM Press. Malang.

Woolcock, Michael, 2002. “Social Capital Theory and Practice” in Social Capital and Poverty Reduction Which Role of the Civil Society Organizations and

State”.UNESCO

YCI, 2007. Buku Panduan Kemitraan Compassion. Bandung


(6)

Suradi. (2007). Pembangunan manusia, kemiskinan dan kesejahteraan sosial, kajian tentang kebijakan pembangunan kesejahteraan sosial di Nusa Tenggara Barat.

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, 12, 1-11

Sumber Lainnya