EVALUASI PENERAPAN KURIKULUM BERWAWASAN peduli

EVALUASI PENERAPAN KURIKULUM
BERWAWASAN LINGKUNGAN HIDUP
DI JENJANG SEKOLAH MENENGAH PERTAMA
Oleh
Heppyan Redy1), Abdul Kadir Salam2), dan Dewi Agustina Iryani3), Sudjarwo4).
1) Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Lingkungan Universitas Lampung
2) Dosen Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Lampung
3) Dosen Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Lampung
4) Dosen Jurusan Magister Pendidikan IPS FKIP Universitas Lampung
Jln. Soemantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung
Email: heppyanredy@gmail.com
ABSTRAK

Karakter siswa di sekolah yang menerapkan kurikulum berwawasan lingkungan harus
dievaluasi. Penelitian ini difokuskan untuk: 1) mengevaluasi keefektifan pembentukan
karakter siswa peduli lingkungan hidup di SMP berkurikulum wawasan lingkungan hidup,
dan 2) membandingkan capaian kurikulum berwawasan lingkungan hidup di beberapa SMP
alam dan non-alam guna membentuk sebuah sekolah/lembaga. Penelitian ini dilakukan di
SMP Alam Lampung, SMPN 1 Jati Agung, SMP Al-Huda Jatimulyo, SMP Alam Palembang,
dan SMP Alam Bogor dari Juli sampai September 2016 menggunakan instrumen berupa
Angket Penilaian Sikap Siswa dan Angket Penilaian Piagam Bumi Pilar ke-2 “Keutuhan

Ekologi”. Hasil analisis terhadap Angket Penilaian Sikap Siswa menunjukkan bahwa sekolah
alam secara konsisten memiliki nilai rataan sikap baik (51,8), sedangkan non-sekolah alam
dengan nilai rataan cukup (37,4). Hasil analisis terhadap Angket Penilaian Piagam Bumi
Pilar ke-2, sekolah alam mendapat kriteria „terdapat bukti kepedulian yang minim dalam
upaya mendukung prinsip Piagam Bumi‟ (nilai 27,5), sedangkan non-sekolah alam mendapat
kriteria „tidak terlihat sikap peduli, sama sekali tidak ada kontribusi yang dapat dinilai‟
(9,68). Kelima sekolah yang diteliti belum mampu menjadi sekolah berbudaya lingkungan
ideal sebagaimana yang diharapkan UNESCO walaupun sekolah alam telah menunjukkan
tingkat kepedulian terhadap lingkungan hidup yang lebih baik daripada non-sekolah alam.
Kata kunci: Piagam Bumi, Pendidikan Lingkungan Hidup, Sekolah Alam.

ABSTRACT

The Characters of students in school which is applying environment-based curriculum must
be evaluated. This study focused on: 1) evaluate the effectiveness of the character building on
students in environment-based curriculum of junior high school, and 2) to compare the
achievement of environment-based curriculum in some “sekolah alam” and “non-sekolah
alam” junior high schools in creating a school/institution. This research was conducted in
SMP Alam Lampung, SMPN 1 Jati Agung, SMP Al-Huda Jatimulyo, SMP Alam Palembang,
1


and SMP Alam Bogor since July to September 2016 using The Student’s Attitude Assessment
Questionnaire and second Pillar (Ecological Integrity ) of The Earth Charter Ethic-Based
Assessment Tool. The result of The Student’s Attitude Assessment Questionnaire shows that
sekolah alam consistently have good attitude with an average value (51.8), while the nonsekolah alam have adequate attitude average value (37.4). The result of The Earth Charter
Ethic-Based Assessment Tool, sekolah alam gets the criteria of 'there are evidences of
minimal concern in support of the Earth Charter' (score 27.5), while the non-sekolah alam
gets the criteria of 'does not look a caring attitude, no contribution can be judged at all
'(9.68). Five schools in this research have not been able to become an ideal enviromental
cultured school as expected by UNESCO, although sekolah alam has shown the level of
concern for the environment with value better than non-sekolah alam.
Keywords : Earth Charter, Environmental Education, Sekolah Alam.

PENDAHULUAN

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Pasal 65: Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup,
akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat. Bahkan sejak Tahun Ajaran 1977-1978 pemerintah telah
memulainya dengan rintisan Garis‐Garis Besar Program Pengajaran Lingkungan Hidup,

Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) yang kemudian diujicobakan di 15 sekolah di Jakarta
(Surakusumah, 2009). Hingga kini pemerintah terus menggalakkan pembentukkan sekolah
yang berbudaya lingkungan melalui program Adiwiyata (Rahmah dkk., 2014).
Sistem pembelajaran yang berbasis pada tema lingkungan hidup dianggap lebih memudahkan
guru untuk menanamkan karakter peduli lingkungan pada siswa dan juga dapat meningkatkan
kualitas KBM kelas. Murdiyanto (2013) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa pada
pembelajaran IPA yang diintegrasikan dengan PLH, siswa menjadi lebih mudah memahami
pelajaran, kecakapan guru menjadi lebih baik, dan ketuntasan belajar meningkat setelah
disampaikan dengan metode diskusi berbasis lingkungan hidup. Pratomo (2006) dalam
penelitiannya juga menyimpulkan bahwa penyampaian materi lingkungan hidup dengan
metode tematik lebih memberikan pemahaman konsep yang utuh bagi siswa. Bahkan
menurut Affandi (2013) pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial yang berbasis lingkungan hidup
lebih mampu mewujudkan sekolah berbudaya lingkungan hidup. Ketiga penelitian tersebut
menunjukkan bahwa pembelajaran yang berbasis lingkungan hidup berhasil meningkatkan
prestasi siswa secara akademik dan mutu sekolah secara umum.
Ketiga penelitian itu juga menunjukkan bahwa metode PLH sangat baik bila diterapkan pada
beberapa mata pelajaran. Beberapa sekolah mengalami perbaikan nilai evaluasi siswa di
mata pelajaran yang terintegrasi dengan PLH. Namun sampai saat ini, belum pernah
dilakukan evaluasi terhadap karakter siswa dan sekolah yang kurikulumnya berwawasan
lingkungan hidup/PLH, untuk dibandingkan hasilnya dengan sekolah lain yang tidak

menerapkan kurikulum berwawasan lingkungan hidup.
Mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Murdiyanto (2013), terbukti bahwa
pembelajaran IPA mengalami peningkatan setelah disampaikan dengan metode diskusi
2

berbasis lingkungan hidup.
Sebagaimana Pratomo (2006) mengungkapkan dalam
penelitiannya bahwa penyampaian materi lingkungan hidup dengan metode tematik lebih
memberikan pemahaman konsep yang utuh bagi siswa. Hal itu didukung oleh Affandi (2013)
yang menyatakan bahwa dengan mengintegrasikan PLH ke dalam mata pelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS) memudahkan gerakan mewujudkan sekolah hijau. Selanjutnya
Purwanto (2012) menyimpulkan bahwa kemampuan mahasiswa memecahkan masalah
lingkungan yang memperoleh paket pembelajaran PLH terintegrasi lebih tinggi daripada
mahasiswa yang memperoleh paket pembelajaran PLH monolitik. Sebagian sekolah
berusaha menyiasati pembelajaran PLH yang dikemas dengan karya wisata, tetapi metode itu
ternyata hanya sedikit menghasilkan individu yang peduli lingkungan (Siswanto, 2010).
Walaupun aplikasi Piagam Bumi dalam dunia pendidikan di Indonesia belum dilakukan, telah
banyak pengajar di negara lain yang menjadikan Piagam Bumi sebagai panduan dalam
menentukan kegiatan belajar di dalam dan di luar kelas, sebagaimana diungkapkan Almeida
(2007), Medellin dkk. (2007), dan Ovsienko (2007) dalam penelitian mereka. Piagam Bumi

juga dapat dijadikan sebagai alat evaluasi sebuah lembaga terkait dengan prinsip yang dimuat
dalam Piagam Bumi. Bahkan Jimenez dan Korpela (2008) menggunakan angket Piagam
Bumi untuk mengevaluasi kinerja sektor pariwisata di Quepos, Costa Rika.
Penelitian ini bertujuan mempelajari ketercapaian kurikulum berwawasan lingkungan hidup
di beberapa SMP Alam untuk membentuk siswa yang berkarakter peduli lingkungan hidup
dan membandingkan capaian kurikulum berwawasan lingkungan hidup di beberapa SMP
untuk menciptakan sekolah/lembaga yang berbudaya lingkungan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di SMP Alam Lampung, SMPN 1 Jati Agung, SMP Al-Huda, SMP
Alam Palembang, dan SMP Alam Bogor (Tabel 1). Penelitian dilaksanakan dari Juli 2016
sampai dengan September 2016 selama 3 bulan.
Tabel 1. Sekolah contoh untuk penelitian “Evaluasi Penerapan Kurikulum Berwawasan
Lingkungan Hidup di Jenjang SMP”.
No

Nama Sekolah

Alamat


Keterangan

1

SMP Alam Lampung

Jln. Airan, Way Huwi, Jati
Agung, Lampung Selatan.

Kurikulum berbasis
lingkungan hidup

2

SMP Alam Bogor

Jln. P. Ash-Shogiri 150, Tanah
Baru, Bogor Utara, Jawa Barat.


Kurikulum berbasis
lingkungan
hidup
(percontohan)

3

SMP Alam Palembang

Jln. Gub. H.A. Bastari, RT.026,
Palembang, Sumatera Selatan

Kurikulum berbasis
lingkungan hidup

4

SMPN 1 Jati Agung

Jln. Merapi, Margo Agung, Jati

Agung, Lampung Selatan.

Kurikulum umum

5

SMP Al-Huda

Jln. Pesantren,
Kel. Jatimulyo, Lampung Selatan.

Kurikulum umum

3

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket/instrumen yang dibuat
peneliti untuk dijawab oleh responden dalam bentuk angket tertutup (terdapat alternatif
jawaban untuk dipilih), Angket Penilaian Piagam Bumi (The Earth Charter Ethic-Based
Assessment Tool) yang telah dikeluarkan oleh UNESCO melalui Komisi Piagam Bumi pada
tahun 2000 yang kemudian disusun oleh Atkisson dkk. (2008), Program SPSS 1.6 for

windows untuk mengolah data statistik hasil isian angket, dan siswa dan guru sekolah yang
dipilih. Subyek penelitian adalah guru mata pelajaran dan siswa-siswi sekolah yang dipilih
secara acak dan tersebar di kelas VII, VIII, dan IX. Penentuan jumlah contoh berdasarkan
Tabel Sampel Krejcie dan Morgan, disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah populasi dan contoh yang digunakan dalam penelitian “Evaluasi Penerapan
Kurikulum Berwawasan Lingkungan Hidup di Jenjang SMP”.
Jumlah Populasi
Guru Siswa Total
10
42
52

Jumlah Contoh
Guru Siswa Total
10
42
52

No


Nama Sekolah

1

SMP Alam Lampung

2

SMP Alam Bogor

18

137

155

18

102


120

3

SMP Alam Palembang

12

20

32

12

20

32

4

SMPN 1 Jati Agung

26

394

420

25

195

220

5

SMP Al-Huda

35

520

553

35

195

230

Penelitian ini dilakukan sebagai evaluasi terhadap kurikulum berbasis lingkungan hidup di
jenjang SMP untuk mempelajari apakah proses pendidikan di SMP telah berhasil membentuk
karakter siswa yang peduli lingkungan hidup. Untuk mengukur keberhasilan kurikulum itu,
digunakan sebuah instrumen baru dan instrumen Penilaian Piagam Bumi (The Earth Charter
Ethic-Based Assessment Tool) yang telah dikeluarkan oleh UNESCO melalui Komisi Piagam
Bumi pada tahun 2000 (disajikan dalam Tabel 3, Tabel 4, dan Tabel 5).
Sesuai dengan tujuan penelitian ini digunakan salah satu pilar dari 4 pilar dalam Piagam
Bumi, yaitu Pilar ke-2 tentang „Keutuhan Ekologi‟. Pilar ke-2 dipilih pada penelitian ini
untuk mendapatkan hasil yang lebih fokus pada pendidikan berbasis wawasan lingkungan
karena pilar yang lain dalam Piagam Bumi membahas tentang „Memelihara dan
Menghormati Komunitas Kehidupan‟ (Pilar ke-1), ‟Keadilan Sosial dan Ekonomi‟ (Pilar ke3), dan „Demokrasi, Antikekerasan, dan Perdamaian‟ (Pilar ke-4).
Angket yang digunakan pada penelitian ini diuji validitas dan reabilitas, sehingga dapat
diyakini bahwa angket tersebut memang layak digunakan untuk guru dan siswa di lingkungan
sekolah menengah pertama. Validitas adalah ketepatan alat pengukur serta ketelitian,
kesamaan atau ketepatan pengukuran apa yang sebenarnya diukur (Arikunto, 2005).
Reabilitas adalah stabilitas dan konsistensi suatu instrumen pengukuran sehingga dapat
membantu memperkirakan kebaikan suatu pengukuran sehingga diperoleh keajegan atau
ketetapan (Widoyoko, 2012). Hasil uji validitas dan reabilitas menunjukkan bahwa Angket
Penilaian Piagam Bumi Pilar ke-2 seluruhnya layak untuk digunankan dalam penelitian ini.
Beberapa butir pertanyaan pada Angket Penilaian Sikap Siswa yang tidak memenuhi uji
validasi dan reabilitas telah dikeluarkan dari angket penilaian.
4

Tabel 3.

Kriteria/kategori hasil evaluasi penerapan kurikulum berwawasan lingkungan
menurut Angket Piagam Bumi Pilar ke-2 Prinsip ke-5 sampai ke-8 untuk
penilaian „menunjukkan sikap peduli dengan pernyataan‟.

No

Nilai Kriteria

1

0,00 – 15,00

2

15,01 – 30,00

3

30,01 – 45,00

4

45,01 – 60,00

Tabel 4.

Kriteria/kategori hasil evaluasi penerapan kurikulum berwawasan lingkungan
menurut Angket Piagam Bumi Pilar ke-2 Prinsip ke-5 sampai ke-8 untuk
penilaian „menunjukkan sikap peduli dengan aksi‟.

No

Nilai Kriteria

1

0,00 – 15,00

2

15,01 – 30,00

3

30,01 – 45,00

4

45,01 – 60,00

Tabel 5.

Kriteria/ kategori
tidak terlihat sikap peduli, sama sekali tidak ada kontribusi
yang dapat dinilai.
Terdapat bukti kepedulian yang minim dalam upaya
mendukung prinsip Piagam Bumi.
Terdapat bukti kepedulian yang mulai berkembang dalam
upaya mendukung prinsip Piagam Bumi.
Terdapat bukti kepedulian yang sudah lebih maju dalam
upaya mendukung prinsip Piagam Bumi

Kriteria/ kategori
Aksi tidak terlihat, sama sekali tidak ada kontribusi yang
dapat dinilai
Terdapat bukti aksi yang minim dalam upaya mendukung
prinsip Piagam Bumi
Terdapat bukti aksi yang mulai berkembang dalam upaya
mendukung prinsip Piagam Bumi
Terdapat bukti aksi yang sudah lebih maju dalam upaya
mendukung prinsip Piagam Bumi

Kriteria/kategori hasil evaluasi penerapan kurikulum berwawasan lingkungan
menurut Angket Penilaian Sikap Siswa.

Skor
64,01 – 80,00
48,01 – 64,00

32,01 – 48,00

Kategori
Selalu (SL), yaitu menunjukkan sikap yang dimaksud
butir pertanyaan setiap kali diperlukan.
Sering (SR), yaitu menunjukkan sikap yang dimaksud
setiap kali diperlukan, akan tetapi dalam satu atau dua
kali kesempatan sikap itu pernah tidak ditunjukkan.
Kadang-kadang (KD), yaitu jika perkiraan jumlah
melakukan dan meninggalkan sikap yang dimaksud
dalam butir pertanyaan adalah seimbang.

Predikat
Sangat baik
Baik

Cukup

16,01 – 32,00

Jarang (JR), yaitu jika sikap dalam butir pertanyaan
hanya dilakukan sesekali saja atau ketika ada paksaan.

Kurang

0,00 – 16,00

Tidak Pernah (TD), yaitu jika tidak pernah
menunjukkan sikap yang dimaksud dalam butir
pertanyaan

Sangat Kurang

5

Pada akhir penelitian ini akan didapatkan kesimpulan yang dapat menjadi bahan perbaikan
bagi setiap sekolah. Diharapkan, kelak kurikulum berbasis lingkungan tersebut dapat
digunakan sebagai pemicu, acuan, ataupun contoh bagi guru dan sekolah lain demi membawa
„pelestarian lingkungan‟ ke dalam ruang kelas di sekolah masing-masing.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sikap Siswa
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekolah alam secara konsisten memiliki nilai rataan
sikap baik (51,8), sedangkan non-sekolah alam dengan nilai rataan cukup (37,4) (Tabel 6).
Sikap yang dinilai mencakup: pertanian organik (Sikap 1), memilah sampah (Sikap 2),
kampanye pelestarian lingkungan hidup (Sikap 3), dan menggunakan sumber daya dengan
efisien (Sikap 4).
Tabel 6. Nilai rataan sikap siswa.
Sekolah
Sikap
yang
Responden
Diamati
Umum
Sikap 1 Guru
Siswa
Rataan Sikap 1
Umum
Sikap 2 Guru
Siswa
Rataan Sikap 2
Umum
Sikap 3 Guru
Siswa
Rataan Sikap 3
Umum
Sikap 4 Guru
Siswa
Rataan Sikap 4
Rataan nilai
responden umum
Responden Guru
Responden Siswa
Sikap 1:
Sikap 2:
Sikap 3:
Sikap 4:

Sekolah Alam (SA)
SA
Bogor

44,4
48,0
43,8
47,4
53,0
45,4
45,9
58,8
43,6
57,9
61,3
57,3
48,9

SA
Lampung

SA
Palembang

55,0
55,7
54,9
47,5 (cukup)
57,8
58,6
57,6
50,8 (baik)
54,5
53,8
54,7
49,4 (baik)
55,7
53,9
56,1
57,4 (baik)
55,7
51,8 (baik)
53,9 (baik)
51,3 (baik)

pertanian organik.
memilah sampah.
kampanye pelestarian lingkungan hidup.
menggunakan sumber daya dengan efisien.

6

46,0
49,3
43,9
50,2
51,5
49,4
49,2
48,0
49,9
57,5
55,6
58,7
50,7

Non-Sekolah
Alam
SMPN1
SMP
Jati
Alhuda
Agung

52,6
33,0
52,6
34,8
52,6
32,6
42,6 (cukup)
27,9
28,3
28,2
27,2
25,7
28,5
27,1 (kurang)
39,0
38,1
39,2
34,9
37,2
38,7
37,9 (cukup)
41,5
38,7
41,0
39,0
45,4
38,7
42,1 (cukup)
40,2
34,5
37,4 (cukup)
37,2 (cukup)
37,4 (cukup)

Tabel 6 memperlihatkan nilai sikap siswa yang diberikan oleh responden siswa selalu lebih
kecil jika dibandingkan nilai yang diberikan oleh responden guru. Munculnya perbedaan
hasil penilaian sikap oleh guru dan siswa ini diduga terjadi karena adanya perbedaan
pemahaman tentang maksud butir soal dan kriteria frekuensi sikap. Siswa menganggap
bahwa sikap yang dimaksud dalam angket belum pernah mereka lakukan atau pernah
dilakukan tetapi dengan frekuensi yang jarang. Tetapi guru menganggap bahwa siswa telah
melakukannya dengan baik atau dengan frekuensi yang sering. Perbedaan persepsi ini
muncul karena tidak tersampaikannya pemaknaan sebuah kegiatan dari kepada siswa.
Terlihat bahwa untuk Sikap 1 (Kegiatan Pertanian Organik) sekolah alam dan non-sekolah
alam mendapatkan predikat „cukup‟, Sikap 1 untuk sekolah alam adalah 47,5 dan untuk nonsekolah alam (42,6). Porsi kegiatan pertanian organik di sekolah alam lebih banyak jika
dibandingkan dengan sekolah lain yang dijadikan sampel penelitian. Di sekolah alam,
kegiatan proyek siswa lebih banyak yang memilih tema pertanian, sedangkan di non-sekolah
alam walaupun tidak menerapkan sistem PLH terintegrasi, SMPN 1 Jati Agung merupakan
sekolah yang mayoritas profesi orang tua siswanya adalah petani, sehingga sekalipun
kegiatan pertanian organik di sekolah sangat kurang, kegiatan siswa di rumah bersama
keluarga yang dilakukan bertahun-tahun telah memberikan porsi yang cukup besar untuk
pertanian organik. Sedangkan SMP Al-Huda tidak memiliki kegiatan pertanian organik
kecuali hanya sebagai sisipan teori di beberapa bab dalam mapel tertentu. Profesi orang tua
siswa pun mayoritasnya adalah pedagang, sehingga di sekolah dan di rumah tidak cukup
didapatkan wawasan tentang pertanian organik. Hal itu sebagaimana dikemukakan oleh
Utami dkk. (2016) dalam penelitian mereka, bahwa kegiatan di sekolah dan profesi orang tua
memberi pengaruh pada perilaku sosial anak. Pengaruh orang tua terhadap anak akan
semakin kuat jika orang tua menerapkan pola asuh yang otoriter, sehingga anak tidak
memiliki pilihan kecuali menuruti kemauan orang tua (Widianingsih dan Widyarini, 2009).
Hasil penilaian Sikap 1 ini menunjukkan bahwa intensitas kegiatan pertanian organik yang
lebih tinggi (baik di rumah ataupun di sekolah) akan memberikan korelasi positif terhadap
sikap „menggunakan pertanian organik‟. Siswa yang di rumah atau di sekolah sering
melakukan kegiatan pertanian organik ternyata lebih sering mengkonsumsi produk pertanian
organik.
Pada Sikap 2 (Memilah Sampah), sekolah alam mendapatkan predikat „baik‟ (50,8),
sedangkan non-sekolah alam berpredikat „kurang‟ (27,1) (Tabel 6). Hasil penilaian Sikap 2
lebih banyak dipengaruhi poin pertanyaan yang berkenaan dengan bank sampah. Sekolah
alam sudah memiliki bank sampah yang rutin menerima sampah sebagai hasil memilah
sampah di rumah dan sampah anorganik yang terkumpul di bank sampah itu kemudian
dikreasikan oleh siswa menjadi kerajinan tangan. Adapun non-sekolah alam umumnya
belum memiliki bank sampah sekolah, kerajinan tangan dari barang bekas hanya dilakukan
sesekali di saat mata pelajaran Seni Budaya/Keterampilan. Pengelolaan sampah yang
dilakukan sekolah alam dengan bentuk bank sampah telah diupayakan untuk melibatkan
masyarakat sekitar sekolah, baik sebagai nasabah ataupun pengelola. Melibatkan masyarakat
dalam pengelolaan sampah akan menjadikan pengelolaan berjalan lebih efektif (Sahwan,
2002).
Pada Sikap 3 (Kampanye Pelestarian Lingkungan Hidup) sekolah alam mendapat predikat
„baik‟ (49,4), sedangkan non-sekolah alam mendapatkan predikat „cukup‟ (37,9) (Tabel 6).
7

Untuk non-sekolah alam mendapatkan nilai rendah pada Sikap 3 (Tabel 6) karena minimnya
aksi kampanye pelestarian lingkungan, sekolah belum memberikan porsi yang besar untuk
kegiatan ini.
Kegiatan sekolah lebih banyak berkonsentrasi pada peringatan hari
kepahlawanan, pendidikan, dan lainnya yang bukan hari peringatan bertema lingkungan
hidup, seperti Hari Air, Hari Sampah, Hari Kehutanan, dan lainnya (Redy, 2015).
Untuk Sikap 4 (Menggunakan Sumber Daya dengan Efisien), sekolah alam mendapat
predikat „baik‟ (57,4), sedangkan non-sekolah alam mendapatkan predikat „cukup‟ (42,1).
Pencapaian nilai pada Sikap 4 erat kaitannya dengan kebiasaan warga sekolah untuk
menghemat penggunaan listrik dan air. Setiap sekolah pada umumnya menghimbau
warganya untuk menghemat penggunaan air dan listrik, di sekolah alam himbauan tentang
penghematan sumber daya juga tentang penggunaan kemasan makanan dan minuman sekali
pakai yang harus dibatasi demi meminimalkan jumlah sampah kemasan di sekolah.
Walaupun di sekolah alam belum seluruh siswa melakukannya secara rutin, hal itu telah
mengurangi jumlah sampah sekolah. Sebagaimana dijelaskan oleh Mulyana (2009) bahwa
sekolah yang berbudaya lingkungan akan meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya
dan dana. Hal ini jarang ditemukan di non-sekolah alam, siswa lebih banyak menggunakan
wadah makanan sekali pakai untuk makanan dan minuman, sehingga jumlah sampah semakin
banyak.
Pada Sikap 4, nilai yang didapatkan oleh SMPN 1 Jati Agung dan SMP Al-Huda lebih kecil
dari pada nilai yang didapatkan oleh ketiga sekolah alam yang menjadi obyek penelitian. Hal
itu terutama karena penggunaan kendaraan ramah lingkungan yang mereka gunakan untuk
sarana pulang pergi ke sekolah. Pada ketiga sekolah alam, sekolah telah dapat diakses oleh
angkutan umum atau memiliki kendaraan antar-jemput siswa. SMPN 1 Jati Agung dan SMP
Al-Huda belum dapat diakses oleh angkutan umum dan tidak memiliki kendaraan antarjemput siswa, sehingga mayoritas siswa membawa kendaraan roda dua sebagai sarana pulang
pergi sekolah. Dengan keadaan tersebut, kedua non-sekolah alam tersebut lebih banyak
menggunakan kendaraan tidak ramah lingkungan, sehingga capaian nilai Sikap 4 pada nonsekolah alam menjadi lebih kecil.
Penilaian Piagam Bumi
Rataan nilai Piagam Bumi Pilar ke-2 (Keutuhan Ekologi) hasil olah data penelitian disajikan
pada Tabel 7. Terlihat pada Tabel 7, sekolah alam mendapat kriteria „terdapat bukti
kepedulian yang minim dalam upaya mendukung prinsip Piagam Bumi‟ (nilai 27,5),
sedangkan non-sekolah alam mendapat kriteria „tidak terlihat sikap peduli, sama sekali tidak
ada kontribusi yang dapat dinilai‟ (9,68).
Nilai sikap mendukung Piagam Bumi dalam bentuk „pernyataan‟ oleh sekolah ternyata
memberikan hasil yang nilainya berbeda dengan dukungan oleh sekolah dalam bentuk „aksi‟.
Nilai „pernyataan‟ cenderung lebih besar dari pada nilai „aksi‟ khususnya untuk non-sekolah
alam (Tabel 7, Tabel 8, dan Tabel 9). Hal ini umum terjadi, karena memberikan pernyataan
memang lebih mudah daripada langsung menunjukkannya dalam aksi. Untuk melakukan
aksi peduli pelestarian lingkungan tentu memerlukan persiapan di banyak hal, berupa: konsep
kegiatan, keterkaitan dengan KBM, dampak positif dan negatif yang ditimbulkan, SDM,
pendanaan, dan sebagainya. Dengan pertimbangan efisiensi dan konsentrasi, umumnya
sebuah lembaga pendidikan akan memilih untuk tidak banyak terlibat dalam sebuah aksi di
luar kegiatan yang sudah umum.

8

Tabel 7. Nilai Piagam Bumi Pilar ke-2 “Keutuhan Ekologi”.
Sekolah
Sekolah Alam (SA)
Pengamatan

SA
Bogor

SA
Lampung

SA
Palembang

26,1
22,5
24,3

28,7
28,7
28,7

30,2
29,0
29,6

Pernyataan
Aksi
Pilar ke-2
Rataan nilai Pilar ke2

Non-Sekolah Alam
SMPN 1
SMP
Jati
AlAgung
Huda
11,6
11,8
7,67
7,66
9,63
9,72

27,5

9,68

Tabel 8. Nilai Piagam Bumi Pilar ke-2 “Keutuhan Ekologi” untuk kolom menunjukkan sikap
peduli dengan pernyataan.
Prinsip yang
Diamati

Prinsip 5

Respon
den

Sekolah
Sekolah Alam (SA)
SA
Bogor

Umum
Guru
Siswa

27,4
36,0
25,9

Umum
Guru
Siswa

24,5
33,7
22,9

Rataan Prinsip 5
Prinsip 6
Rataan Prinsip 6
Prinsip 7

Umum
Guru
Siswa

28,1
38,2
26,3

Rataan Prinsip 7
Prinsip 8

Umum
Guru
Siswa

24,2
32,2
22,8

Rataan Prinsip 8
Rataan nilai:
Umum
Responden Guru
Responden Siswa
Prinsip 5:
Prinsip 6:
Prinsip 7:
Prinsip 8:

26,1

SA Lam
pung

26,4
32,5
24,9
26,4
26,5
34,2
24,6
24,5
30,7
34,8
29,8
29,1
31,1
32,0
30,8
27,5
28,7
28,3
33,7
26,9

Non-Sekolah Alam

SA Palem
bang

SMPN1 Jati
Agung

SMP AlHuda

30,5
33,8
28,5

8,84
8,78
9,20

8,96
9,43
8,82

27,2
29,0
26,1

9,95
9,92
10,2

9,01

10,1
31,6
32,1
31,2

18,2
18,1
18,7

18,3
18,8
18,2
18,4

31,4
35,9
29,0

9,39
9,32
10,0

9,74
10,3
9,62
9,81

30,2

11,6

Menjaga dan memulihkan kerusakan ekologi terutama keanekaragaman flora dan fauna dan
proses penting di lingkungan yang menunjang kelestariannya.
Mencegah kerusakan lingkungan dan menghindari dengan tindakan kehati-hatian.
Melakukan kegiatan produksi dan konsumsi yang memerhatikan prinsip keadilan dan
kesejahteraan masyarakat.
Meningkatkan pendidikan tentang ekologi yang berkelanjutan, secara luas dan terbuka.

9

10,1
10,4
10,0

11,8
11,7
11,9
11,8

Tabel 9. Nilai Piagam Bumi Pilar ke-2 “Keutuhan Ekologi” untuk kolom menunjukkan sikap
peduli dengan aksi.
Prinsip yang
Diamati

Respo
nden

Prinsip 5

Umum
Guru
Siswa

Sekolah
Sekolah Alam (SA)
SA
SA Lam
Bogor
pung

21,7
30,6
20,1

Rataan Prinsip 5
Prinsip 6

Umum
Guru
Siswa

21,6
31,2
19,8

Umum
Guru
Siswa

25,4
33,8
23,9

Rataan Prinsip 6
Prinsip 7
Rataan Prinsip 7
Umum
Guru
Siswa

Prinsip 8

21,4
32,2
19,5

Rataan Prinsip 8
Rataan nilai: Umum
Responden Guru
Responden Siswa
Prinsip 5:
Prinsip 6:
Prinsip 7:
Prinsip 8:

22,5

28,6
30,3
28,1
24,4
25,4
32,1
23,8
23,1
31,3
34,0
30,9
28,2
29,4
30,0
29,3
26,0
28,7
26,7
31,7
25,4

Non-Sekolah Alam

SA Palem
bang

SMPN1 Jati
Agung

SMP
Alhuda

27,4
31,2
25,1

8,22
8,21
8,30

8,09
8,36
8,01
8,16

26,9
29,0
25,7

8,18
8,19
8,16

30,3
31,3
29,7

10,7
10,7
10,9

8,15
8,49
8,07
8,12
10,6
10,5
10,6
10,8

31,4
35,0
29,2
29,0

3,59
3,65
3,20

3,83
4,00
3,81
3,51
7,67
7,66
7,70
7,63

7,66

Menjaga dan memulihkan kerusakan ekologi terutama keanekaragaman flora dan
fauna dan proses penting di lingkungan yang menunjang kelestariannya.
Mencegah kerusakan lingkungan dan menghindari dengan tindakan kehati-hatian.
Melakukan kegiatan produksi dan konsumsi yang memerhatikan prinsip keadilan
dan kesejahteraan masyarakat.
Meningkatkan pendidikan tentang ekologi yang berkelanjutan, secara luas dan
terbuka.

Hasil penilaian ini menunjukkan bahwa kelima sekolah yang dimaksud di atas belum mampu
menjadi sekolah berbudaya lingkungan ideal sebagaimana yang diharapkan UNESCO
melalui Piagam Bumi, walaupun sekolah alam telah menunjukkan tingkat kepedulian
terhadap lingkungan hidup. Kelima sekolah di atas terbukti lebih banyak memberikan
dukungan kepada prinsip-prinsip Piagam Bumi dalam bentuk pernyataan daripada aksi yang
memang akan lebih sulit untuk dilakukan. Semestinya sekolah sebagai lembaga pendidikan
mampu memberikan dukungan dalam bentuk aksi karena akan memberikan dampak yang
lebih besar bagi lingkungan dan pembentukan karakter siswa. Aksi itu akan terangkat
menjadi sebuah berita sebagai bagian dari kampanye lingkungan yang merupakan maksud
dari adanya sikap mendukung Piagam Bumi dengan „pernyataan‟.
Tabel 8 dan Tabel 9 memperlihatkan bahwa untuk Prinsip 5 hasil penilaian kolom
„menunjukkan sikap peduli dengan pernyataan‟ ataupun „menunjukkan sikap peduli dengan
aksi‟ sekolah alam mendapatkan kriteria „terdapat bukti aksi yang minim dalam upaya
10

mendukung prinsip Piagam Bumi‟ (nilai „pernyataan‟ 26,4 dan „aksi‟ 24,4). Sedangkan nonsekolah alam berkriteria „aksi tidak terlihat, sama sekali tidak ada kontribusi yang dapat
dinilai„ (nilai „pernyataan‟ 9,01 dan „aksi‟ 8,16), atau lebih kecil daripada nilai sekolah alam.
Sekolah alam selama ini memberikan pernyataan-pernyataan yang mendukung upaya untuk
menjaga dan memulihkan kerusakan ekologi, biasanya dalam bentuk poster dan film pendek
bertema lingkungan hidup yang dibuat oleh siswa, aksi simpatik pada Hari Ozon, Hari Cinta
Puspa dan Satwa Nasional, Hari Pohon Nasional, dan sebagainya. Di non-sekolah alam aksi
peduli lingkungan hidup lebih banyak berupa kerja bakti di lingkungan sekolah, dan sebagian
besar dilakukan melalui kegiatan pramuka yang tidak semua siswa aktif mengikuti organisasi
tersebut.
Tabel 8 dan Tabel 9 memperlihatkan bahwa pada Prinsip ke-6 (Mencegah Terjadinya
Kerusakan Lingkungan dan Menghindarinya dengan Tindakan Kehati-hatian), hasil penilaian
kolom „menunjukkan sikap peduli dengan pernyataan‟ ataupun „menunjukkan sikap peduli
dengan aksi‟ sekolah alam mendapatkan kriteria „terdapat bukti aksi yang minim dalam
upaya mendukung prinsip Piagam Bumi‟ (nilai „pernyataan‟ 24,5 dan „aksi‟ 23,1). Sedangkan
non-sekolah alam berkriteria „aksi tidak terlihat, sama sekali tidak ada kontribusi yang dapat
dinilai„ (nilai „pernyataan‟ 10,1 dan „aksi‟ 8,12), atau lebih rendah daripada sekolah alam.
Hal itu menunjukkan bahwa kelima sekolah tersebut belum memenuhi harapan UNESCO
untuk melakukan upaya kehati-hatian dalam setiap kegiatannya agar tidak terjadi kerusakan
lingkungan akibat kegiatan yang mereka lakukan. Di sekolah alam, tindakan seperti Prinsip
ke-6 ini misalnya dilakukan saat kegiatan berkemah dengan menghimbau siswa untuk tetap
menjaga lingkungan asri, tidak merusak/memangkas tanaman, dan sebagainya.
Tindakan berhati-hati agar kegiatan sekolah tidak merusak lingkungan harus selalu
ditekankan karena pada umumnya sebuah kawasan adalah lingkungan yang asri sampai
sebuah kegiatan/pembangunan (sekolah, perkantoran, pabrik, pasar, dan sebagainya) merubah
fungsi lahan yang memberi dampak positif dan negatif bagi lingkungan, yang jika dampak
negatif itu tidak ditanggulangi maka akan menimbulkan konflik dengan masyarakat sekitar
lingkungan (Lima dan Neto, 2015). Upaya ini dapat dipadukan dengan kebijakan pemerintah
menerapkan denda dan insentif bagi sekolah/lembaga lainnya terkait dilaksanakan atau
tidaknya kegiatan daur ulang sebagaimana telah diupayakan oleh pemerintah Brazil
(Murakami dkk., 2015).
Rendahnya capaian nilai pada Prinsip ke-6 ini disebabkan banyaknya penggunaan kendaraan
bermotor roda dua oleh siswa untuk transportasi ke sekolah dan belum pernahnya sekolah
melakukan penuntutan terhadap pihak-pihak yang melakukan pengrusakan lingkungan.
Tabel 8 dan Tabel 9 memperlihatkan bahwa pada Prinsip ke-7 (Melakukan Kegiatan Produksi
dan Konsumsi yang Memperhatikan Prinsip Keadilan dan Kesejahteraan Masyarakat), hasil
penilaian kolom „menunjukkan sikap peduli dengan pernyataan‟ ataupun „menunjukkan sikap
peduli dengan aksi‟ sekolah alam mendapatkan kriteria „terdapat bukti aksi yang minim
dalam upaya mendukung prinsip Piagam Bumi‟ (nilai „pernyataan‟ 29,1 dan „aksi‟ 28,2).
Sedangkan non-sekolah alam berkriteria „aksi tidak terlihat, sama sekali tidak ada kontribusi
yang dapat dinilai„ (nilai „pernyataan‟ 18,4 dan „aksi‟ 10,8).
Poin yang dimaksud dalam Prinsip ke-7 diantaranya adalah melakukan kegiatan 3R (reduce,
reuse, and recyle), menghemat sumber daya konvensional, mendukung energi ramah
lingkungan, menjadikan produk organik jadi lebih mahal daripada produk non-organik,
adanya pendidikan seks, dan menekankan gaya hidup yang sederhana. Untuk non-sekolah
alam, masih sangat perlu memasukkan kegiatan-kegiatan yang bertemakan pelestarian
11

lingkungan hidup ke dalam KBM. Kegiatan insidental yang selama ini mereka lakukan,
seperti kerja bakti, dan ekstrakurikuler Pramuka dan berkebun, ternyata masih jauh dari
cukup. Kegiatan 3R di sekolah alam ditopang oleh bank sampah dan pembuatan kerajinan
tangan dari barang bekas, adapun non-sekolah alam keberadaan bank sampah yang masih
jarang ditemui menjadikan kegiatan 3R lebih sulit untuk dilakukan. Jika setiap sekolah dan
lembaga lainnya menyelenggarakan kegiatan 3R maka akan ada begitu banyak dana yang
bisa dihemat karena efektifnya pemanfaatan sumber dana (Wilson dan Velis, 2015).
Tabel 8 dan Tabel 9 memperlihatkan bahwa hasil penilaian untuk Prinsip ke-8
(Meningkatkan Pendidikan tentang Ekologi yang Berkelanjutan, Secara Luas dan Terbuka)
penilaian kolom „menunjukkan sikap peduli dengan pernyataan‟ ataupun „menunjukkan sikap
peduli dengan aksi‟ sekolah alam mendapatkan kriteria „terdapat bukti aksi yang minim
dalam upaya mendukung prinsip Piagam Bumi‟ (nilai „pernyataan‟ 27,5 dan „aksi‟ 26,0).
Sedangkan non-sekolah alam berkriteria „aksi tidak terlihat, sama sekali tidak ada kontribusi
yang dapat dinilai„ (nilai „pernyataan‟ 9,81 dan „aksi‟ 3,51), atau lebih rendah dari sekolah
alam.
Pada Prinsip ke-8, sekolah alam terlihat tidak memiliki permasalahan selain perlunya upaya
untuk terus menggiatkan KBM berwawasan lingkungan hidup. Wawasan siswa sekolah alam
tentang pelestarian lingkungan hidup menjadi lebih baik daripada siswa non-sekolah alam
karena terintegrasinya PLH dengan KBM secara keseluruhan. Siswa non-sekolah alam
memiliki wawasan lingkungan hidup yang lebih sedikit karena keterbatasan informasi yang
mereka terima dan teralihkannya isu lingkungan hidup yang kalah dominan jika
dibandingkan dengan materi KBM yang bersifat umum.

KESIMPULAN

1. Kurikulum berbasis lingkungan hidup di sekolah alam telah berjalan baik dengan
rataan nilai sikap siswa 51,8.
2. Kelima sekolah yang dimaksud di atas belum mampu menjadi sekolah berbudaya
lingkungan ideal sebagaimana yang diharapkan UNESCO melalui Piagam Bumi,
walaupun sekolah alam telah menunjukkan tingkat kepedulian terhadap lingkungan
hidup yang lebih baik daripada non-sekolah alam.

DAFTAR PUSTAKA
Affandi, R. 2013. Integrasi pendidikan lingkungan hidup melalui pembelajaran IPS di
sekolah dasar sebagai alternatif menciptakan sekolah hijau. Pedagogia 2(1) 98-108.
Almeida, M. 2007. Enviromental Education and Sustainability Tool. Good Practice 3(1): 3439.
Arikunto, S. 2005. Manajemen Penelitian. Rineka Cipta, Jakarta.

12

Atkisson, A., Stucker, D., Wener, L. 2008. EC-Assess: The Earth Charter Ethics-Based
Assessment Tool Version 5. Earth Charter International Secretariat San José, Costa
Rica.
Jimenez, A., Koperla, D. 2008. Using EC-Assess to Evaluate Commitment and Action of
Tourism Stakeholders Towards Sustainability in Quepos, Costa Rica . EC International
Secretariat. Costa Rica.
Lima, RM., Neto, JS. 2015. Socio-environmental conflicts: environmental law as an
instrument for legitimizing the actions of public authorities. An intervention in Jardim
Icaraí, Curitiba, PR. Ambiente and Socieadade 18(2): 129-144.
Medellin, E., Ventura, G., McDermott, B. 2007. Earth Charter Booklets for Pre-scholl and
Primary-school Children. Good Practice 3(1): 60-66.
Mulyana, R. 2009. Penanaman etika lingkungan melalui sekolah perduli dan berbudaya
lingkungan. Jurnal Tabularasa PPS Unimed 6(2): 175-180.
Murakami, F., Sulzbach, A., Pereira, GM., Borchardt, M., Sellitto, MA. 2015. How the
Brazilian government can use public policies to induce recycling and still save money?
Journal of Cleaner Production 96: 94-101.
Murdiyanto, H. 2013. Peningkatan Kualitas Pembelajaran IPA Melalui Strategi Inkuiri
Berbasis Lingkungan Pada Siswa Kelas IV SD Negeri Tambakaji 03. UNS Press.
Semarang.
Ovsienko, L V. 2007. Reorienting Tatarstan’s Educational System Towards Educational for
Sustainability. Good Practice 3(1): 54-59
Pratomo, S. 2006. Jurnal Model Pembelajaran Tematik Dalam Pendidikan Lingkungan
Hidup (PLH) di Sekolah Dasar . UPI. Purwakarta.
Purwanto, A. 2012. Pengaruh paket pembelajaran pendidikan lingkungan hidup dan gaya
kognitif terhadap kemampuan memecahkan masalah Lingkungan. Jurnal FMIPA
13(1): 55-68.
Rahmah, YD., Indradi, SS., Riyanto. 2014. Implementasi program sekolah adiwiyata (studi
pada SDN Manukan Kulon III/540 Kota Surabaya). Jurnal Administrasi Publik 2(4):
753-757.
Redy, H. 2015. Dokumen 1 Kurikulum SMP Alam Lampung Tahun Ajaran 2015-2016. SAL
Publishing. Lampung Selatan.
Sahwan, FL., Wahyono, S. 2002. Pengelolaan sampah permukiman berbasis masyarakat,
studi kasus di Kampung Banjarsari, Cilandak - Jakarta Selatan. Jurnal Teknologi
Lingkungan 3(1): 7-12
Siswanto, H. 2010. Pengaruh metode pembelajaran dan persepsi lingkungan hidup terhadap
kepedulian taruna pada pelestarian laut. Jurnal Lingkungan 11(1): 49-70.
Surakusumah, W. 2009. Konsep pendidikan lingkungan di sekolah: model uji coba sekolah
berwawasan lingkungan. Jurnal UPI 12(2): 1-30.

13

Utami, NA., Hernawati, N., Alfiasari (2016). Pengasuhan orang tua yang seimbang sebagai
kunci penting pembentukan karakter remaja. Jurnal Pendidikan Karakter 6(1): 1-16.
Widianingsih, R., Widyarini, N. (2009). Dukungan orang tua dan penyesuaian diri remaja
mantan pengguna narkoba. Universitas Gunadarma. Jurnal Psikologi 3(1): 10-15
Widoyoko, E.P. 2012. Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian. Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Wilson, DC., Velis, CA. 2015. Waste management – still a global challenge in the 21st
century: An evidence-based call for action. Waste Management and Research 33(12):
1049-1051.

14