Peran Gerwani dalam Pembantaian Dewan Je

Afina Mahardhikaning Emas
1306402936
Ujian Tengah Semester Sastra Sejarah

Peran Gerwani dalam Pembantaian Dewan Jenderal:
Tinjauan Sastra Sejarah Cerpen “Burung Api Siti” Karya Triyanto Triwikromo

Pengantar
Penulisan sejarah selama ini tidak hanya didominasi oleh penulisan ilmiah. Sejarah
dapat dituliskan dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah sastra. Pada awalnya,
karya sastra sejarah lebih sering disebut hikayat (Liaw, 1982:203). Karena ditulis
dengan gaya sastra, selama ini sastra sejarah kerap dipertanyakan keabsahannya
sebagai sumber sejarah.
Seiring perkembangan kesusastraan di Indonesia, bentuk penulisan sastra
sejarah juga mengalami perkembangan. Menurut Junus (1989) sejarah selalu
dihubungkan dengan manusia terutama berhubungan dengan pemegang kekuasaan.
Pendapat tersebut sesuai dengan kenyataan bahwa karya sastra sejarah juga tunduk
pada kekuasaan yang tengah memimpin. Karya-karya sastrawan di Indonesia selama
ini tidak pernah lepas dari peristiwa sejarah. Salah satu peristiwa sejarah yang
menjadi bahasan populer di Indonesia adalah peristiwa 30 September 1965
(selanjutnya disebut sebagai G30S). Peristiwa ini telah banyak memberi banyak

pengaruh bagi perkembangan kesusastraan.
Pada masa Orde Baru, penulisan sejarah terkait G30S harus tunduk pada
perspektif pemerintah. Partai Komunis Indonesia (selanjutnya diebut sebagai PKI)
ditekan dan dianggap telah mengkhianati negara. Namun, setelah Reformasi, karya

sastra sejarah mulai banyak membahas anti-tesis dari perspektif yang dibentuk oleh
Orde Baru. Salah satu karya yang menarik perhatian penulis adalah cerpen berjudul
“Burung Api Siti” karya Triyanto Triwikromo yang pernah diterbitkan Harian
Kompas pada tahun 2011.
Cerpen “Burung Api Siti” secara luas menceritakan tentang pembantaian yang
dilakukan warga anti-PKI terhadap tokoh yang menentang pembunuhan terhadap
PKI. Cerpen tersebut juga menyebutkan tentang pembunuhan yang dilakukan PKI
terhadap 7 anggota Dewan Jenderal. Dalam salah satu fragmen cerita, pengarang
menyebutkan adanya keterlibatan perempuan dalam upaya pembunuhan 7 Dewan
Jenderal. Ditilik dalam sejarah G30S versi Orde Baru, perempuan yang terlibat dalam
pembunuhan 7 Dewan Jenderal adalah Gerakan Wanita Indonesia (selanjutnya akan
disebut Gerwani).
Esai ini akan membahas tentang peran Gerwani dalam upaya pembunuhan
Dewan Jenderal. Penulis akan memaparkan keterlibatan Gerwani versi yang
diceritakan oleh pengarang dan versi sejarah setelah Reformasi. Pada bagian akhir,

penulis juga akan memaparkan simpulan dari perbandingan sejarah dalam cerpen dan
penelitian sejarah termutakhir.
Peran Gerwani dalam Pembantaian Dewan Jenderal
Cerpen “Burung Api Siti” menceritakan tentang seorang anak lelaki berusia 10 tahun
bernama Siti yang menjadi saksi peristiwa G30S. Cerita berawal dari rasa kagum Siti
pada tarian burung-burung bangau yang indah. Namun, bangau-bangau yang tadinya
saling bercumbu dan menari dengan indah, pada suatu ketika terdiam dan tidak
bersuara seperti biasanya. Siti membayangkan adanya seekor ular yang menyerang
bangau-bangaunya di rawa. Namun, saat Siti ingin melihat lebih dekat, pepohonan di
rawa-rawa menghalangi pandangan Siti. Pada akhirnya, Siti tidak mendapati ular
seperti yang ia bayangkan. Siti tidak melihat adanya darah bangau di sekitar rawa.

Suatu malam pada bulan Oktober, percakapan Siti dan ayahnya, Azwar, harus
terhenti karena teriakan orang-orang di luar rumah. Azwar lalu keluar untuk menemui
orang-orang yang tengah dikuasai amarah tersebut. Mereka meneriakan nama Allah
dan menghujat Azwar. Orang-orang tersebut tengah membersihkan desa mereka dari
anggota PKI. Azwar, salah satu warga yang tidak berpihak pada PKI dan tidak juga
berpihak pada pembantaian terhadap PKI, turut menjadi korban. Azwar dianggap
telah membela PKI karena Azwar tidak ikut memerangi PKI.
Siti, pada saat itu berada di dalam rumah, tidak dapat menyaksikan

pembunuhan yang dilakukan warga pada ayahnya. Pandangan Siti dihalangi oleh
bangau-bangau yang membela Azwar. Di mata Siti, keributan yang terjadi tersebut
tampak seperti burung-burung bangau yang berubah menjadi burung api. Keesokan
harinya, tidak tampak bekas pembunuhan massal yang dilakukan warga terhadap
simpatisan PKI di desa tersebut.
Penulis menginterpretasikan cerpen “Burung Api Siti” sebagai penggambaran
peristiwa 30 September 1965. Penggambaran tokoh Siti yang tidak dapat
menyaksikan kejadian pembunuhan memiliki makna masyarakat Indonesia yang
dibutakan oleh rezim Orde Baru. Rezim ini telah menciptakan perspektif sejarah
versinya sendiri untuk menggambarkan peristiwa G30S. Perspektif yang diciptakan
adalah perspektif yang menggambarkan bahwa PKI telah berbuat salah dan TNI telah
mengupayakan kemanan negara dengan menangkap anggota PKI. Selain itu,
penggambaran masyarakat yang menyerang tokoh Azwar juga menjadi cerminan
peristiwa setelah G30S. Pihak-pihak yang diduga terlibat dalam PKI telah menjadi
korban masyarakat yang menentang PKI.
Dalam hemat penulis, kelebihan cerpen ini adalah semiotika yang diterapkan
oleh pengarang. Pengarang memberikan pemisalan-pemisalan pada tragedi yang
terjadi pada peristiwa G30S. Penerapan semiotika pada cerpen menimbulkan kesan
indah saat membaca cerpen.


Namun, semiotika ini juga dapat menjadi kekurangan dari cerpen. Tidak
semua pembaca mampu menangkap maksud pengarang yang menggambarkan
peristiwa 1965. Kemungkinan lain adalah pembaca akan menginterpretasikan cerpen
ini dengan cara yang berbeda. Interpretasi tentang peristiwa 1965 akan didapatkan
oleh pembaca apabila pembaca memang sebelumnya telah mengetahui peristiwa
sejarah tahun 1965.
Seperti yang telah disebutkan, cerpen “Burung Api Siti” mengisahkan tentang
tragedi pembunuhan terhadap anggota PKI, cerpen ini juga mengandung unsur-unsur
sejarah lainnya. Salah satu unsur sejarah yang menarik perhatian penulis adalah peran
perempuan dalam pembunuhan 7 Dewan Jenderal.
“Tak ada keindahan seanggun tarian burung bangau yang sedang
bercumbu. Dan Siti menatap takjub beratus-ratus pasangan bangau yang
sedang berkencan itu. Burung-burung itu serempak mencericitkan kicau mirip
tangisan paling pedih yang memekakkan telinga tetapi pada saat sama mereka
bergerak mirip penari keraton.” (Triwikromo, 2011)
Dalam cerpen tersebut, penulis menginterpretasikan bahwa bangau adalah
pemisalan bagi anggota PKI. Pengarang juga menyebutkan adanya bangau
perempuan dan laki-laki. Hal ini sama dengan sejarah versi Orde Baru yang
menyebutkan bahwa pembunuhan terhadap Dewan Jenderal dilakukan oleh lelaki
PKI. Perempuan yang tergabung dalam Gerwani juga ikut dalam penyiksaan terhadap

Dewan Jenderal.
“Dan yang membuat lelaki kencur 10 tahun itu lebih takjub, bangaubangau itu berdiri tegap saling menatap dengan paruh menusuk ke langit. Ia
tak tahu kenapa sang pejantan hanya mengeluarkan suara sekali dan para
betina berkali-kali.” (Triwikromo, 2011).
Dalam artikel tanggal 30 September 2015 yang dimuat laman berita BBC,
anggota Gerwani dituduh telah melakukan kekerasan terhadap 7 Dewan Jenderal
yang diculik PKI. Gerwani digambarkan melukai alat kelamin dan mencungkil mata
Dewan Jenderal. Selain itu, film Pengkhianat G30S/PKI yang wajib ditonton pada
masa Orde Baru juga menggambarkan kekejaman yang dilakukan Gerwani terhadap

Dewan Jenderal. Kekejaman-kekejaman yang dilakukan Gerwani ini tergambar
dalam nukilan cerpen “…sang pejantan hanya mengeluarkan suara sekali dan para
betina berkali-kali.” (Triwikromo, 2011).
Namun, diketahui kemudian bahwa segala tuduhan terhadap Gerwani di
Lubang Buaya adalah kebohongan, dan perempuan-perempuan yang menjadi saksi
untuk memperkuat peristiwa Lubang Buaya kenyataannya tidak berada di Lubang
Buaya pada hari kejadian (Wieringa, 1999:458). Media BBC dalam artikel tanggal 30
September 2015 juga menyebutkan berbagai kesaksian yang dialami pihak-pihak
yang dituduh sebagai Gerwani dan telah melakukan kejahatan terhadap Dewan
Jenderal.

Penutup
Setelah melakukan tinjauan perbandingan kandungan sejarah dalam cerpen dengan
bukti sejarah, penulis dapat mengambil dua simpulan. Simpulan pertama penulis
berkaitan dengan sudut pandang pengarang dalam memberi respon pada peristiwa
G30S. Triyanto Triwikromo menuliskan tentang keterlibatan Gerwani dalam
penyiksaan terhadap Dewan Jenderal, tetapi pada kanyataannya tidak terdapat
keterlibatan Gerwani dalam peristiwa tersebut. Hal ini mengindikasikan Triyanto
Triwikromo masih menggunakan perspektif sejarah versi Orde Baru.
Namun, di lain sisi, Triyanto Triwikromo juga menggambarkan bahwa orangorang yang terlibat dan dituduh sebagai PKI telah menjadi korban. Pembunuhan yang
dilakukan terhadap tokoh Azwar menjadi cerminan pembunuhan yang dilakukan pada
anggota PKI yang hingga kini tidak meninggalkan bukti yang dianggap kuat.
Penggambaran kekejaman masyarakat terhadap PKI mengindikasikan keberpihakan
Triyanto Triwikromo pada perlawanan terhadap kekerasan HAM.
Sebagai simpulan kedua, dalam hemat penulis, cerpen ini menjadi bukti
bahwa sastra adalah sarana ekspresi pengarang dalam mengemukakan idenya secara
bebas. Pengarang dapat menjabarkan kembali sejarah yang dianggap tabu dengan

indah karena penggunaan metafora. Sebagai genre sastra sejarah, Triyanto
Triwikromo mampu menggabungkan fiksi dan sejarah. Untuk itu, keabsahan
kebenaran cerpen ini tidak perlu dipertanyakan. Pengarang dapat secara bebas

membuat cerita carangan dari kejadian masa lampau.

Daftar Acuan:
Diniah, Hikmah. 2007. Gerwani Bukan PKI: Sebuah Gerakan Feminisme Terbesar
di Indonesia. Yogyakarta: CarasvatiBooks.
Liaw, Yock Fang. 1982. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Pustaka
Nasional.
Maksum, dkk. 1990. Lubang-lubang Pembantaian: Petualangan PKI di Madiun.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Wieringa, Saskia Eleonora. 1999. Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik
Seksual di Indonesia Pasca Kejatuhan PKI. Jakarta: Galangpress.
http://www.balisruti.com/gerwani-cerita-dibalik-sejarah.html
November 2016 pukul 13.54 WIB.

diakses

pada

2


http://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2015/09/150918_indonesia_lapsus_ke
saksianekstapol diakses pada 1 November 2016 pukul 13.50 WIB.
http://indoprogress.com/2013/10/gerwani-dan-perjuangan-politik-perempuan/ diakses
pada 1 November 2016 pukul 13.50 WIB.
http://www.rappler.com/indonesia/121070-suti-aktivis-gerwani-penyintas-tragedi1965 diakses pada 1 November 2016 pukul 13.49 WIB.