Indonesia di Mata Orang Kanada Kemungkin
Indonesia di Mata Orang Kanada:
Kemungkinan dan Keterbatasan Sastra Indonesia
di Pasar Kanada
Chris Woodrich
Abstract
Despite its large population and growing economy and global impact, Indonesia is
often little understood by the world at large, including Canadians, a people whose
government works closely with Indonesia but who have little understanding of the
island nation. What coverage is available is generally limited to issues such as
deforestation, disasters, and politics; where culture is discussed, it is usually limited
to the “exotic” traditional arts. The reality of life in Indonesia, as lived by its people,
is only rarely a part of day-to-day discourse, and as a result it is little understood.
Indonesian literature, perhaps more than Indonesian cinema, offers the possibility for
a greater individual understanding of various aspects of Indonesian culture, both
traditional and modern. Day-to-day issues, including but not limited to the role of
religion, the negotiation of modernity and tradition, and the social pressure to obey
one’s parents, can be brought to the forefront of discourse, allowing greater intercultural understanding. However, these worthy possibilities are limited by the
difficulty of Indonesian literature reaching the Canadian general populace. Language
barriers, distribution issues, and a lack of public awareness and interest all contribute
to Indonesian discourses on their country, together with the cultural and
psychological elements represented, being unheard in Canada. In order to promote
better cross-cultural understanding, and with it stronger international relations, we
recommend that the Indonesian and Canadian governments subsidize and help
market works of Indonesian literature.
Keywords: Indonesian literature, representation of Indonesia
Abstrak
Meskipun Indonesia memiliki jumlah penduduk yang banyak serta ekonomi dan
pengaruh global yang meningkat, ternyata masih banyak orang asing yang kurang
memahaminya. Ini termasuk orang Kanada: biarpun pemerintah mereka sudah sering
bekerja sama dengan Indonesia, masyarakatnya cenderung memiliki pengetahuan
terbatas tentang Nusantara. Berita-berita yang ada cenderung dibatasi pada masalahmasalah seperti deforestasi, bencana alam, dan politik; apabila kebudayaan dibahas,
yang diangkat biasanya kesenian tradisional yang “eksotis”. Kenyataan hidup yang
dijalani orang Indonesia pada umumnya jarang disinggung dalam wacana sehari-hari,
dan karena itu kenyataan hidup ini jarang dimengerti. Sastra Indonesia tepat untuk
mendidik masyarakat di luar negeri tentang kehidupan sehari-hari di Indonesia dan
kebudayaannya (baik yang modern maupun tradisional), bahkan lebih tepat daripada
sinema Indonesia. Masalah sehari-hari, seperti peran agama, peran takhayul,
1
negosiasi tradisi dan modernitas, dan tuntutan untuk selalu berpatuh kepada orang
tua dapat dikedepankan, sehingga ada pemahaman antar-bangsa yang lebih baik.
Namun, kemungkinan ini dibatasi oleh sukarnya menyampaikan sastra Indonesia
kepada pembaca-pembaca Kanada. Karena kendala bahasa, distribusi, dan kesadaran
serta ketertarikan atas karya-karya ini, wacana Indonesia tentang Indonesia (serta
unsur kultural dan psikologis yang direpresentasikannya) belum terdengar oleh
masyarakat awam Kanada. Supaya pemahaman antar-bangsa dapat ditingkatkan,
kami usulkan agar pemerintah Kanada dan Indonesia menyubsidi dan membantu
pemasaran karya sastra Indonesia.
Kata Kunci: Sastra Indonesia, representasi Indonesia
Pengantar
Indonesia merupakan salah satu negara terbesar di dunia, dengan lebih dari 250 juta
penduduk. Dengan PDB KKB setinggi $1.285 miliar dolar pada tahun 2013, ekonominya nomor
ke-16 paling besar di dunia, dan diperkirakan akan naik (CIA World Factbook). Karena itu, peran
negara kepulauan ini sangat besar di skala internasional, sehingga hubungan dengan Indonesia
menjadi satu prioritas besar untuk pemerintah-pemerintah asing, yang sering menjalani proyek
kerja sama dengan pemerintah Indonesia serta lembaga-lembaga yang ada. Pemerintah Kanada,
misalnya, sudah membantu dalam pendidikan (misalnya, mendidik dosen Indonesia di
universitas di Montreal, Guelph, dan kota lain) dan kebudayaan (misalnya, dengan mendanai
film The Mirror Never Lies, tentang suku Bajo).
Namun, masyarakat luas di negara-negara asing – bahkan pegawai sipilnya – kurang
memahami kehidupan ataupun kebudayaan di Indonesia. Hal tersebut mempersulit wacana antarnegara. Misalnya, ketika berita tentang Indonesia dimuat di Kanada, kerap kali ini terjadi akibat
bencana (gempa, letusan gunung api, dll.), kerusuhan, persoalan politik (a.l. korupsi atau
pemilu), atau masalah lingkungan. Kalaupun ada unsur kebudayaan yang dimunculkan, itu
biasanya
dibatasi pada kebudayaan-kebudayaan tradisional yang, meskipun memang
mencerminkan sifat orang Indonesia dan menjadi ciri khas bangsa ini, tidak menjadi representatif
dari keseluruhan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Karena itu, pencarian sumber pengetahuan tentang kebudayaan Indonesia untuk
masyarakat di luar, yang belum tentu dapat mengunjungi negara ini, menjadi penting. Film
merupakan suatu kemungkinan, sebab ia diproduksi secara massal dan dimaksud untuk ditonton
masyarakat luas. Film Indonesia juga sering ditayangkan di luar negeri. Sutradara seperti Garin
2
Nugroho dan Kamila Andini justru menghasilkan sebagian besar karya mereka untuk penonton
luar negeri, dan pelbagai film (seperti Berbagi Suami) dikirim ke luar negeri sebagai contoh
karya terbaik sinema Indonesia.
Namun, film ternyata kurang mampu mendidik masyarakat luar negeri mengenai dunia
batin orang Indonesia serta kenyataan hidup yang dihadapinya. Karena terbatas oleh frame,
waktu, dan konvensi sinematik, film tidak mudah mendalami krisis psikis yang dihadapi tokoh,
apalagi membayangkan atau mendalami latar sosial yang membentuk psikologi tokoh tersebut. 1
Dengan demikian, penonton yang belum terbiasa dengan latar sosio-budaya itu tidak akan
memperoleh pemahaman yang lebih baik. Sementara itu, film yang dinilai “baik” oleh sineas
Indonesia cenderung dikirim ke festival film, yang jarang didatangi oleh masyarakat awam. Film
yang dipasarkan untuk umum justru film-film yang dinilai tidak atau kurang baik, atau yang
hanya mencerminkan kebudayaan tertentu dalam konteks yang tidak sesuai dengan kenyataan.2
Sastra-lah yang dapat lebih mendalami dunia batin tokoh, serta situasi sosio-budaya yang
mempengaruhi pikiran mereka serta membentuk pendekatan mereka dalam mengatasi konflik.
Berbeda dari film, sastra tidak dibatasi oleh frame: boleh ada penjelasan sampingan. Karya sastra
juga boleh ditulis sesuai dengan keperluan naratif: panjangnya tidak dibatasi karena konvensi
pasar. Karena itu, dan karena kemudahan menampilkan pikiran tokoh yang intrinsik pada karya
sastra, masalah batin (rasa kurang percaya diri, rasa bersalah, dsb.) dapat diperdalam seperlunya,
sehingga pembaca dapat memahami dengan baik. Dalam penerjemahan novel (berbeda dari
film), kalau dianggap perlu bahkan dapat ditambahkan catatan kaki atau diberikan kata pengantar
yang mendalami isu-isu penting. Hal ini akan menambahkan wawasan pembacanya mengenai
apa yang dibacanya – yaitu kebudayaan Indonesia.
Dengan demikian, latar socio-budaya yang membentuk watak dan dunia batin orang
Indonesia dapat lebih dipahami oleh orang luar melalui karya sastra daripada film. Apalagi, di
negara Barat, termasuk Kanada, ada pasar yang cukup besar untuk karya sastra, baik karya
1
2
Contoh yang sangat jelas dari hal ini adalah Departures. Film Jepang yang memperoleh Piala Oscar ini
menceritakan bagaimana seorang nōkanshi (pengurus pemakaman) dibuang oleh rekan-rekannya karena
dianggap kotor (kegare). Beberapa kritikus yang tidak memahami latar kebudayaan ini, antara lain Keith Phipps
dan A. O. Scott, mengecam film ini karena alasan ini dinilai tidak realis dan dibuat-buat.
Misalnya, The Raid, yang dipasarkan dengan nama The Raid: Redemption, memperoleh lebih dari 4 juta
dolar AS selama diputar di bioskop Amerika Serikat (Box Office Mojo), tetapi merupakan suatu idealisasi ilmu
silat. Sementara itu, Leák (dengan judul Mystics in Bali) sampai tahun 2007 masih dirilis ulang dalam bentuk
DVD; ceritanya sepenuhnya terpusat pada hantu leyak, yang digambarkan sebagai kenyataan.
3
populer maupun karya susastra; di Amerika Serikat, misalnya, penjualan jutaan eksemplar novel
popular sudah biasa; karena itu, karya sastra Indonesia mungkin dibaca oleh masyarakat luas.
Makalah ini dimaksud untuk menjawab tiga pertanyaan: bagaimanakah pengertian
masyarakat Kanada tentang Kanada dapat dibentuk melalui karya sastra, apa saja halangan yang
dihadapi karya sastra Indonesia di pasar Kanada, dan bagaimanakah kendala-kendala itu dapat
diatasi? Untuk keperluan penelitian ini, Kanada dipilih untuk dua alasan. Pertama, peneliti,
sebagai orang Kanada, memiliki lebih banyak pengalaman dan pengetahuan empirik mengenai
negara tersebut, sehingga penelitian dapat dilaksanakan dengan lancar. Kedua, karena hubungan
antara Indonesia dan Kanada bersifat erat (sebagaimana yang dijelaskan di atas), pemahaman
antar-bangsa menjadi semakin penting.
Kemungkinan: Pengertian Indonesia Menurut Sastra, dalam Mata Orang Kanada
Pelbagai unsur kehidupan masyarakat Indonesia dapat dilihat melalui karya sastra, baik
yang kanon maupun yang bukan kanon. Hal ini disebabkan kecenderungan pengarang
memasukkan nilai kebudayaan dan sosial yang mereka mengetahui dan menganut, meskipun
mungkin mereka mengambil latar yang berbeda. Karena itu, karya sastra dapat digunakan
masyarakat Kanada untuk memperoleh gambaran mengenai kehidupan bermasyarakat bangsa
Indonesia, sebagaimana dipahami oleh pengarang-pengarangnya. Hal ini kemudian dapat
digunakan sebagai dasar pengertian tentang Indonesia itu sendiri.
Di sini akan dibahas empat aspek kebudayaan Indonesia yang penting untuk diketahui
orang Kanada, baik karena ia sangat berbeda dari situasi di Kanada, maupun karena ia menjadi
unsur yang berpengaruh besar dalam kebudayaan Indonesia dan watak masyarakatnya. Empat
unsur tersebut adalah peran Islam dalam kehidupan bermasyarakat, peran takhayul dan mitos
dalam pembentukan watak dan kebudayaan, negosiasi tradisi dan modernitas, dan tuntutan untuk
berpatuh pada orang tua (yang kemudian dapat mempengaruhi pengertian tentang hubungan
penguasa dan yang dikuasai).
Islam, agama yang dianut hampir 90% penduduk Indonesia, menjadi salah satu aspek
kebudayaan Indonesia yang tidak bisa diabaikan. Namun, pengertian orang Kanada – yang
mayoritasnya penganut agama Nasrani atau atheis, dengan pemerintah yang berazas pemisahan
urusan agama dan urusan negara – tentang Islam masih kurang, baik dari segi sejarah maupun
ajaran; pengaruh besarnya dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia juga berbeda dari
4
pengalaman mereka di Kanada. Bahkan, ada banyak kesalahpahaman yang muncul akibat
menyoloknya aksi-aksi teroris pada tahun 2000-an. Karena itu, demi kelancaran hubungan antara
Kanada dan Indonesia, buku-buku yang bertemakan Islam menjadi sumber yang sangat berharga.
Novel seperti Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, misalnya, dapat digunakan untuk
menolak isu bahwa Islam itu identik dengan keterbelakangan. Cerita mengenai anak-anak
pesantren ini dapat menunjukkan bahwa orang Muslim pada umumnya mengakui pengaruh
besarnya globalisasi (misalnya, karena belajar berbahasa Inggris, dan belajar menggunakan
teknologi yang sesuai dengan kaidah agama); bahwa mereka tidak menerima kebudayaan Barat
secara utuh bukan karena mereka “terbelakang”, tetapi karena ada hal-hal tertentu yang bertolak
belakang dengan ajaran agama mereka. Sementara itu, ajaran Islam tentang pengampunan dapat
ditunjukkan melalui novel seperti Kubah karya Ahmad Tohari. Cerita ini, yang berpusat pada
seorang tokoh PKI yang diasingkan tetapi akhirnya bisa diampuni dan membuat kubah masjid,
menunjukkan bahwa betapapun berat dosa orang (menurut pandangan masyarakat), ia tetap bisa
dimaafkan oleh Yang Maha-Kuasa dan kembali kepada-Nya.
Pentingnya agama Islam dalam wacana sehari-hari juga dapat dilihat dari pelbagai tokoh
Muslim dalam novel-novel Indonesia. Rasa bersalah karena sudah berdosa, misalnya, menjadi
unsur penting dalam Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis, misalnya, dan pentingnya
memiliki pasangan yang seagama menjadi salah satu konflik dalam Jendela-Jendela karya Fira
Basuki. Melalui karya-karya seperti yang disebut di atas, perlahan-lahan masyarakat Kanada
dapat memahami Islam sebagaimana dipraktekkan di Indonesia, dan melihat pengaruhnya yang
masuk ke setiap aspek kehidupan masyarakat.
Namun, masyarakat Indonesia tidak dapat dipahami sepenuhnya berdasarkan kaidah
agama. Dalam kehidupan orang Indonesia ada negosiasi antara takhayul dan ajaran agama, serta
rasionalisme sekular, yang menjadi lebih dominan daripada di Kanada, di mana takhayul
cenderung dianggap konyol dan tidak bermutu. Satu novel yang penting dalam mengedepankan
wacana tersebut adalah Harimau! Harimau!. Melalui perjalanan Buyung, seorang pendamar,
pembaca Kanada dapat melihat bukan hanya pandangan orang Muslim tentang dosa, tetapi juga
betapa kuatnya kepercayaan kepada takhayul, meskipun takhayul tersebut bertentangan dengan
ajaran agama serta rasionalisme. Novel Hamka Tuan Direktur juga dapat digunakan untuk
menunjukkan betapa kuatnya kepercayaan seperti itu di kota, dan menekankan bahwa takhayul
masih terus direproduksi meskipun masyarakat mulai memperoleh pendidikan. Novel yang lebih
5
baru, seperti Jendela-Jendela – di mana tokoh utama mendatangi dukun untuk berobat, karena
ibunya beranggapan bahwa ia kena guna-guna – dapat menunjukkan bahwa takhayul seperti ini
belum terhapus sampai sekarang, dan karena itu masih dapat mempengaruhi watak orang
Indonesia.
Masalah hubungan takhayul, agama, dan kehidupan duniawi menjadi hanya salah satu
bagian dari negosiasi yang lebih luas yang terdapat di seluruh lapisan masyarakat, yaitu antara
modernitas dan tradisi serta budaya Barat dan Timur. Negosiasi ini sudah tidak menjadi
persoalan yang banyak didebatkan orang Kanada, karena kebudayaan lokal (apalagi kebudayaan
suku pribumi) sudah sangat terbatas. Akibatnya, pentingnya kebudayaan lokal serta tradisi
masyarakat setempat harus ditekankan melalui karya sastra demi kelancaran hubungan Kanada–
Indonesia; harus ada pemahaman bagaimana modernisasi dan Baratisasi bukan hanya dipandang
secara positif, tetapi juga dianggap negatif. Hal ini penting karena dapat mempengaruhi
tanggapan orang Indonesia atas kebudayaan, teknologi, dan bantuan finansial dari luar.
Mungkin karya lama yang paling tepat untuk menggarisbawahi masalah ini adalah Salah
Asuhan-nya Abdoel Moeis. Novel terbitan Balai Pustaka ini dapat menekankan betapa lama
ketidakpercayaan terhadap modernisasi dan Baratisasi sudah mengakar di Indonesia, dan betapa
terkutuknya orang yang meninggalkan tradisi mereka sendiri demi “gaya” Barat menurut
pengarang dan orang lain yang mengutamakan tradisi. Betul, akan sulit untuk orang Kanada
percaya bahwa menikah karena cinta dan bukan karena dijodohkan dapat membuat orang
menjadi celaka, tetapi ketidakpercayaan atas keterjadian tersebut itu justru menekankan unsur
negatif modernisasi dalam novel tersebut, sebab perbedaan itu sangat mencolok.
Bahwa negosiasi modernisasi dan tradisi cenderung lebih moderat dapat pula dilihat
dalam novel-novel Saeroen,3 misalnya, yang menekankan bahwa pendidikan formal untuk
pemuda dan pemudi diperlukan untuk perkembangan bangsa, dan bahwa menikah demi cinta itu
hal yang wajar, tetapi juga mengimplikasikan bahwa nilai kapitalis dan hukum formal Barat
tidak cocok bagi bangsa Indonesia. Novel yang lebih modern pun, seperti Jatisaba karya
Ramadya Akmal, dapat digunakan pula untuk menunjukkan negosiasi ini; meskipun nilai
tradisional dalam desa Jatisaba tidak bisa dikatakan sepenuhnya baik, sikap Mae yang duniawi
dan metropolitan justru lebih buruk, sehingga pembaca menyadari bahwa sesuatu yang baru
belum tentu lebih baik. Hal ini dapat ditambahkan pula dengan karya-karya Fira Basuki, yang
3
Untuk pembahasan masalah modernisasi dalam karya-karya Saeroen, termasuk novelisasi filmnya, lihat
Woodrich (2014).
6
condong lebih modern lagi; Jendela-Jendela, misalnya, menunjukkan bahwa perempuan yang
hidup dengan cara bebas di Singapura masih, pada akhirnya, menjunjung tinggi nilai tradisional
seperti pernikahan, kesetiaan kepada suami, serta kepatuhan kepada orang tua.
Kepatuhan kepada orang tua, sampai anak rela berkorban demi mereka, menjadi sesuatu
yang harus digarisbawahi. Masyarakat individualis seperti Kanada, di mana anak-anak seringnya
sudah meninggalkan rumah sebelum berusia dua puluh tahun, dan restu orang tua atas karir atau
pilihan jodoh tidak diwajibkan, akan susah memahami betapa anak dibatasi oleh orang tua,
kecuali apabila ada contoh dalam karya sastra. Pemahaman seperti ini kemudian dapat ditarik
lebih lanjut, untuk menjelaskan kebiasaan mematuhi pihak yang berwenang, biarpun yang
diperintahkan belum tentu benar; ini tentu berpengaruh dalam masalah hubungan internasional.
Soal kepatuhan kepada orang tua sudah banyak dibahas dalam karya sastra Indonesia.
Dalam Sitti Nurbaya karya Marah Roesli, misalnya, ini terdapat dalam pengorbanan Sitti, yang
menikahi Datuk Meringgih (meskipun ia sudah jatuh cinta dengan Samsulbahri) supaya hutang
ayahnya bisa diampuni. Ini dijadikan lebih eksplisit dalam Melati van Agam karya Swan Pen,4 di
mana tokoh Norma – yang masih remaja – dinikahkan dengan seorang kepala sekolah bernama
Nazaruddin yang sudah lansia atas kehendak orang tua, meskipun ia sudah jatuh cinta dengan
seorang pemuda; biarpun Nazaruddin memperlakukan dia secara tidak lazim, Norma tetap
menjadi istri yang setia. Bahwa kepatuhan terhadap perintah atau saran orang tua masih
dianggap penting sampai sekarang dapat pula ditemukan dalam cerpen seperti “BH”-nya Agus
Noor, di mana seorang perempuan mengikuti usulan ibu tirinya meskipun merasa kurang yakin
tentang usulan tersebut. Dalam Jendela-Jendela hal ini terus ditunjukkan; tokoh utama June
merasa keberatan ketika ditegur ibunya, sehingga hendak membangkang, tetapi akhirnya
menyadari bahwa ia sudah bersalah dan ibunya yang benar.
Kendala: Masalah Bahasa, Akses, dan Pemasaran
Sebelum hal-hal di atas dapat disampaikan kepada masyarakat Kanada, ada pelbagai
kendala yang harus diatasi. Namun, mengingat terbatasnya ruang dan waktu, di sini hanya tiga
kendala utama, yaitu masalah bahasa, akses, dan pemasaran, akan dibahas.
Masalah bahasa mungkin merupakan masalah yang paling menonjol: sedikit sekali
penduduk Kanada yang mampu berbahasa Indonesia, apalagi dengan cukup baik sehingga
4
Nama pena dari Parada Harahap.
7
mereka dapat membaca suatu karya sastra. Dengan demikian, sebelum karya-karya Indonesia
dapat digunakan untuk mendidik masyarakat Kanada, karya-karya tersebut harus diterjemahkan,
baik ke dalam bahasa Inggris (yaitu bahasa yang paling banyak digunakan di Kanada, dengan
lebih dari 30 juta penutur) maupun bahasa Perancis (yaitu bahasa resmi yang lain, dengan lebih
dari 5 juta penutur). Yang dimaksud dengan penerjemahan di sini bukan hanyalah pengalihan
bahasa seperti biasanya, tetapi pengalihan bahasa yang diikuti dengan penulisan ulang, sehingga
karya sastra tetap terbaca sebagai karya sastra. Penerjemahan seperti ini membutuhkan bukan
hanya penerjemah yang memahami kedua bahasanya (atau, mengingat umumnya bahasa daerah
dalam karya sastra, kesemua bahasa yang digunakan), tetapi juga mampu menulis sebagai
layaknya seorang sastrawan.
Selain itu, penerjemahan karya sastra Indonesia yang baik, dan yang dibutuhkan untuk
mendidik masyarakat Kanada tentang keadaan di Indonesia, akan juga meliputi kontekstualisasi
budaya, dengan cara yang memudahkan pembaca untuk mengikuti cerita. Apabila tidak ada
kontekstualisasi, signifikansi dari unsur cerita akan hilang; misalnya, betapa beratnya dosa Pak
Haji, yang menjadi murtad (apostate) dalam Harimau! Harimau!, tidak akan dipahami oleh
orang Kanada yang cenderung sekular. Untuk itu, bisa digunakan metode catatan kaki, kata
pengantar, perpaduan keterangan dan cerita, atau kombinasi dari kesemua hal ini. Kalau
sasarannya masyarakat luas, maka gabungan kata pengantar dan perpaduan keterangan dan cerita
mungkin merupakan bentuk yang paling tepat. Ini supaya pembacaan karya tidak terganggu oleh
perlunya memeriksa catatan kaki setiap beberapa halaman.
Kendala yang lain adalah masalah akses. Sebagian besar penerbit Indonesia tidak punya
jaringan yang cukup baik untuk menerbitkan karya sastra Indonesia di luar negeri. Kalaupun ada
karya yang diterjemahkan oleh penerbit-penerbit ini, belum tentu karya tersebut dapat dibaca
oleh orang di luar negeri – termasuk di Kanada. Misalnya, terjemahan Jendela-Jendela karya
Fira Basuki oleh Norman Ince diterbitkan oleh Grasindo, tetapi hanya dijual di Indonesia; tidak
ada distribusi di luar, dan karena itu tidak ada pengaruh internasional. Laskar Pelangi karya
Andrea Hirata awalnya diterjemahkan pada tahun 2009 oleh Angie Kilbane dan diterbitkan oleh
Bentang, tetapi distribusi internasional harus akhirnya ditangani oleh Sarah Crichton Books di
Amerika pada tahun 2013; penerbit Indonesianya tidak sanggup menangani distribusi
internasional sendiri, sehingga melakukan perjuangan berat untuk mendapatkan penerbit luar.
8
Ada beberapa penerbit yang mulai menjual karya sastra Indonesia sampai luar negeri.
Yayasan Lontar, misalnya, sudah menerjemahkan dan menerbitkan lebih dari dua puluh judul,
termasuk Sitti Nurbaya dan Belenggu, dalam bahasa Inggris. Karya-karya terbitan Lontar
cenderung diterjemahkan dengan baik, dengan pengantar yang cukup mendalam untuk
menjelaskan kontekstualitas budaya karya yang dibaca. Namun, karya terjemahan Lontar (atau
penerbit lain, seperti Select Books di Singapura) jarang diterbitkan ulang, sehingga sukar dibeli.
Kalaupun buku-buku itu masih ada stok, penjualan internasional cenderung masih terbatas dalam
lingkungan Indonesianis atau penggemar sastra Indonesia. Jarang sekali ada pembeli buku yang
belum meminati sastra Indonesia, betapapun bagus terjemahan buku-buku itu atau baik resensi
karya-karyanya. 5
Alasannya, antara lain, karena pasar untuk karya-karya Indonesia di Kanada masih
kurang dikembangkan. Sebagaimana dinyatakan di atas, karya sastra Indonesia terjemahan
seringnya dibeli oleh orang yang sudah memiliki pengetahuan tentang Indonesia. Masyarakat
awam belum mengetahui judul karya-karya Indonesia yang baik dibaca, sehingga tidak mungkin
membeli; tanpa mengetahui nama karya, mereka tidak bisa mencarinya di internet. Misalnya,
terjemahan novel Negeri 5 Menara (karya A. Fuadi) oleh Angie Kilbane diterbitkan oleh
Gramedia dan dijual melalui Amazon.com, tetapi yang menulis resensi di situs web tersebut
sudah memiliki ketertarikan dengan Indonesia, atau bahkan berasal dari Indonesia (The Land of
Five Towers, Amazon.com).
Ini disebabkan oleh langkanya iklan atau marketing campaign untuk karya sastra
Indonesia terjemahan. Masyarakat awam cenderung tidak mengetahui banyak tentang Indonesia,
sehingga mereka tidak bisa mendapatkan karya sastra Indonesia tanpa diberitahukan; tanpa
periklanan, tidak ada pemberitahuan. Resensi karya terjemahan pun, yang mungkin menarik
pembaca yang mau mencari buku baru yang bagus, juga jarang dimuat di koran internasional; 6
dalam penelitian ini, ditemukan hanya satu resensi yang terbit di media massa Amerika Serikat
atau Kanada, yaitu resensi The Rainbow Troops dalam Los Angeles Review of Books (Aiyar,
2013). Tanpa periklanan, pasar buku Kanada (yang merupakan negara di mana banyak orang
membaca untuk mencari hiburan) tidak bisa diakses ataupun mempengaruhi masyarakat.
5
6
Lihat, misalnya, resensi Sitti Nurbaya dan The Rose of Cikembang di Amazon.com.
The Jakarta Post dan The Jakarta Globe juga memuat resensi, tetapi pembaca kedua koran itu biasanya
orang asing yang tinggal di Indonesia dan orang Indonesia yang hendak belajar bahasa Inggris.
9
Saran: Peran Pemerintah dan Lembaga
Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala ini, supaya kebudayaan
Indonesia yang direpresentasikan dalam sastra Indonesia dapat dibaca dan dinikmati (tapi juga
mendidik) pembaca di Kanada? Yang jelas, ini tidak bisa diatasi sepenuhnya oleh pengarang
sendiri. Yang diperlukan adalah bantuan dari pemerintah (baik pemerintah Kanada maupun
Indonesia) serta lembaga-lembaga (di Kanada ataupun di Indonesia). Diusulkan agar bantuan ini
diberikan dalam dua bentuk, yaitu subsidi dan pemasaran.
Subsidi setepatnya dilakukan oleh pemerintah, baik pemerintah Kanada (selaku
pemerintah yang mendidik masyarakatnya) maupun Indonesia (selaku pemerintah yang
merepresentasikan bangsanya di dunia luar). Subsidi yang dimaksud bukanlah subsidi dalam
bentuk honorarium kepada pengarang, yang bagaimanapun juga tetap akan menghasilkan karya,
tetapi honorarium untuk penerjemah yang berpengalaman dan profesional serta (pada langkah
awalnya) untuk penerbit asing.
Jasa penerjemah cukup mahal, apalagi penerjemah yang cukup berpengalaman dan
berkualitas untuk menerjemahkan karya sastra dengan baik, sehingga jarang ada penerbit yang
mau membayarnya. Penerjemah Indonesia–Inggris di Indonesia, menurut Peraturan Menteri
Keuangan PMK No. 53/PMK.02 Tahun 2014, harus dibayar 152,000 rupiah per halaman jadi
(spasi ganda, rata-rata 250 kata per halaman), sementara penerjemah Indonesia–Inggris di luar
Indonesia bisa minta lebih dari $25 (sekitar Rp. 275.000) per halaman. Kalaupun harga lebih
rendah diminta, belum ada jaminan kualitas terjemahannya (yang kemudian mempengaruhi
kualitas teks). Untuk meringankan biaya penerbitan, sekaligus meningkatkan kualitas
terjemahan, maka ada baiknya subsidi diberikan.
Sementara, pemerintah juga dapat menyubsidi ongkos penerbitan di luar negeri. Penerbit
cenderung menghindari hal-hal yang baru atau belum terbukti dapat membawa keuntungan;
penerbit, sebagaimana sudah diketahui, adalah bisnis. Kalaupun karya Indonesia diterbitkan,
harganya sering lebih mahal (karena dicetak dalam jumlah yang lebih kecil, dan dengan
demikian biaya produksi dan distrubusinya lebih mahal); hal ini kemudian dapat mengurangi niat
pembaca untuk membeli buku yang genre dan pengarangnya masih asing bagi mereka. Dengan
menyubsidi jasa penerjemahan dan (pada awalnya, sampai sastra Indonesia sudah ada pasar yang
sustainable di Kanada) penerbitan, diharapkan pemerintah akan membuat penerbit luar negeri
lebih tertarik untuk menerbitkan dan memasarkan karya sastra Indonesia secara massal.
10
Lembaga-lembaga, seperti penerbit, pun harus ikut serta dalam pendidikan masyarakat
Kanada mengenai Indonesia. Penerbit, terutama di luar negeri, harus lebih banyak mencari karya
yang layak diterjemahkan dan diterbitkan, karya yang, meskipun tidak termasuk dalam kanon
sastra, masih memiliki nilai edukatif. Dengan demikian, setelah buku-buku ini diterbitkan,
terjemahan karya sastra Indonesia dapat ditemukan bukan hanya di Indonesia, atau melalui
jaringan yang terbatas, tetapi juga di toko buku (baik yang fisik maupun yang online) di Kanada.
Dengan demikian, pembaca Kanada akan lebih mudah mengakses karya sastra Indonesia,
sehingga mereka menjadi lebih mudah dididik tentang negara dan bangsa ini.
Ketika karya didapatkan dan diterjemahkan, pemasarannya harus dilakukan dengan tepat,
tergantung pada genre karya yang dipasarkan. Bunga Roos dari Cikembang dan Sitti Nurbaya,
misalnya, dapat dipasarkan kepada para Indonesianis, atau pembaca novel romans; kalau novelnovel tersebut dipasarkan sebagai novel romans, dan dengan demikian dituju kepada pembaca
romans, maka iklan dan pemasaran harus menekankan unsur romans yang tragis daripada
masalah sosio-etnis yang melatarbelakanginya. Dengan pemasaran yang tepat, serta harga yang
tidak jauh berbeda dari harga mass paperback, diharapkan bahwa karya sastra Indonesia akan
semakin diminati.
Kesimpulan
Supaya dua bangsa dapat menciptakan dialog yang baik, mereka harus saling memahami.
Hubungan internasional yang baik tidak dapat didirikan atas mitos, ketidaktahuan, ataupun
fantasi. Dalam konteks hubungan Kanada dan Indonesia, ini berarti pengertian yang baik tentang
Indonesia – yang dapat tercapai melalui karya sastra – sangat penting. Karya-karya Indonesia
dapat menunjukkan kepada orang Kanada pelbagai hal, termasuk bagaimana Islam
mempengaruhi semua unsur kehidupan bermasyarakat (serta pengertian Islam itu sendiri, baik
dalam konteks Indonesia maupun di luar), bagaimana berbakti kepada orang tua menjadi hal
yang penting, bagaimana tradisi sering bertentangan (tetapi juga bernegosiasi) dengan
modernitas, dan bagaimana takhayul masih berperan besar dalam pemikiran masyarakat.
Kendala bahasa, akses, dan pemasaran dapat diatasi. Proyek penerjemahan, oleh orang
yang sudah akrab dengan kebudayaan Indonesia modern dan lampau, dapat mempermudah
pengertian teks sastra oleh pembaca yang hanya bisa berbahasa Inggris atau Perancis.
Pemerintah Kanada dan Indonesia dapat mempermudah akses dengan membangun jaringan
11
antara penerbit atau pengarang Indonesia dengan penerbit di Kanada, sehingga distribusi
diperlancar dan pembaca awam dapat menikmati karya yang sebelumnya terbatas pada kaum
akademik saja. Pemasaran yang tepat, dilakukan oleh orang yang memahami watak orang
Kanada, dapat menyadarkan masyarakat negara tersebut akan menariknya karya sastra Indonesia
– dan dengan demikian lebih memungkinkan mereka membaca karya-karya yang mendidik.
Sudah barang tentu bahwa usaha ini tidak mudah, dan saran-saran di atas perlu dirancang
secara lebih rinci. Akan diperlukan waktu, tenaga, dan modal yang tidak sedikit sebelum karya
sastra Indonesia dapat dibaca dan dinikmati oleh masyarakat awam Kanada secara massal, dan
lebih lama lagi sebelum dampaknya terasa dalam bidang politik dan sekitarnya. Bertahun-tahun.
Namun, pengertian tentang Indonesia yang ditawarkan karya-karya ini jauh lebih penting
daripada modalnya, karena pendidikan inilah akan memperlancar kerja sama, mengurangi
kesalahpahaman, dan mengeratkan hubungan antar-negara dan antar-masyarakat di masa depan.
Daftar Pustaka
Aiyar, Pallavi. “The Rainbow Troops: A Visit with Indonesia’s Bestselling Author”. The Los
Angeles Review of Books. 30 Agustus 2014. Diunduh dari
http://www.webcitation.org/6SnAJeUBQ pada tanggal 23 September 2014.
Akmal, Ramadya. 2011. Jatisaba. FIB UGM: Yogyakarta.
Amazon.com. “The Land of Five Towers”. Diunduh dari http://www.webcitation.org/6Sn7zxsYs
pada tanggal 23 September 2014.
Basuki, Fira dan Norman Ince (penerjemah). 2006. The Windows. Grasindo: Jakarta.
Box Office Mojo. “The Raid: Redemption”. Diunduh dari
http://www.webcitation.org/6Sn8TV9Ti pada tanggal 20 September 2014.
CIA. “World Factbook: Indonesia”. 22 Juni 2014. Diunduh dari
http://www.webcitation.org/6Sn8VLHwY pada tanggal 19 September 2014.
Fuadi, A. dan Angie Kilbane (penerjemah). 2011. The Land of Five Towers. Gramedia: Jakarta.
Hamka. 1961. Tuan Direktur. Djajamurni: Jakarta.
Kwee, Tek Hoay. 1930. Boenga Roos dari Tjikembang. Panorama: Batavia.
Lubis, Mochtar. 2008. Harimau! Harimau!. Balai Pustaka: Jakarta.
Mihardja, Achdiat K. 2009. Atheis. Balai Pustaka: Jakarta.
Moeis, Abdoel. 2008. Salah Asuhan. Balai Pustaka: Jakarta.
12
Noor, A. 2000. “BH”. Bapak Presiden yang Terhormat. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Pen, Swan. 1924. Melati van Agam. Geillustr. Weekblad Bintang Hindia: Weltevreden.
Peraturan Menteri Keuangan PMK No. 53/PMK.02 Tahun 2014. Diunduh dari
http://www.anggaran.depkeu.go.id/peraturan/PMK%2053-2014%20SBM%202015.pdf
pada tanggal 22 September 2014.
Rusli, Marah. 2008. Sitti Nurbaya. Balai Pustaka: Jakarta.
Tohari, Ahmad. 2012. Kubah. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Woodrich, Christopher. 2014. “Between the Village and the City: Representing Colonial
Indonesia in the Films of Saeroen”. Makalah disampaikan pada International Indonesia
Forum Ke-7, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung, tanggal 19
Agustus 2014.
13
Kemungkinan dan Keterbatasan Sastra Indonesia
di Pasar Kanada
Chris Woodrich
Abstract
Despite its large population and growing economy and global impact, Indonesia is
often little understood by the world at large, including Canadians, a people whose
government works closely with Indonesia but who have little understanding of the
island nation. What coverage is available is generally limited to issues such as
deforestation, disasters, and politics; where culture is discussed, it is usually limited
to the “exotic” traditional arts. The reality of life in Indonesia, as lived by its people,
is only rarely a part of day-to-day discourse, and as a result it is little understood.
Indonesian literature, perhaps more than Indonesian cinema, offers the possibility for
a greater individual understanding of various aspects of Indonesian culture, both
traditional and modern. Day-to-day issues, including but not limited to the role of
religion, the negotiation of modernity and tradition, and the social pressure to obey
one’s parents, can be brought to the forefront of discourse, allowing greater intercultural understanding. However, these worthy possibilities are limited by the
difficulty of Indonesian literature reaching the Canadian general populace. Language
barriers, distribution issues, and a lack of public awareness and interest all contribute
to Indonesian discourses on their country, together with the cultural and
psychological elements represented, being unheard in Canada. In order to promote
better cross-cultural understanding, and with it stronger international relations, we
recommend that the Indonesian and Canadian governments subsidize and help
market works of Indonesian literature.
Keywords: Indonesian literature, representation of Indonesia
Abstrak
Meskipun Indonesia memiliki jumlah penduduk yang banyak serta ekonomi dan
pengaruh global yang meningkat, ternyata masih banyak orang asing yang kurang
memahaminya. Ini termasuk orang Kanada: biarpun pemerintah mereka sudah sering
bekerja sama dengan Indonesia, masyarakatnya cenderung memiliki pengetahuan
terbatas tentang Nusantara. Berita-berita yang ada cenderung dibatasi pada masalahmasalah seperti deforestasi, bencana alam, dan politik; apabila kebudayaan dibahas,
yang diangkat biasanya kesenian tradisional yang “eksotis”. Kenyataan hidup yang
dijalani orang Indonesia pada umumnya jarang disinggung dalam wacana sehari-hari,
dan karena itu kenyataan hidup ini jarang dimengerti. Sastra Indonesia tepat untuk
mendidik masyarakat di luar negeri tentang kehidupan sehari-hari di Indonesia dan
kebudayaannya (baik yang modern maupun tradisional), bahkan lebih tepat daripada
sinema Indonesia. Masalah sehari-hari, seperti peran agama, peran takhayul,
1
negosiasi tradisi dan modernitas, dan tuntutan untuk selalu berpatuh kepada orang
tua dapat dikedepankan, sehingga ada pemahaman antar-bangsa yang lebih baik.
Namun, kemungkinan ini dibatasi oleh sukarnya menyampaikan sastra Indonesia
kepada pembaca-pembaca Kanada. Karena kendala bahasa, distribusi, dan kesadaran
serta ketertarikan atas karya-karya ini, wacana Indonesia tentang Indonesia (serta
unsur kultural dan psikologis yang direpresentasikannya) belum terdengar oleh
masyarakat awam Kanada. Supaya pemahaman antar-bangsa dapat ditingkatkan,
kami usulkan agar pemerintah Kanada dan Indonesia menyubsidi dan membantu
pemasaran karya sastra Indonesia.
Kata Kunci: Sastra Indonesia, representasi Indonesia
Pengantar
Indonesia merupakan salah satu negara terbesar di dunia, dengan lebih dari 250 juta
penduduk. Dengan PDB KKB setinggi $1.285 miliar dolar pada tahun 2013, ekonominya nomor
ke-16 paling besar di dunia, dan diperkirakan akan naik (CIA World Factbook). Karena itu, peran
negara kepulauan ini sangat besar di skala internasional, sehingga hubungan dengan Indonesia
menjadi satu prioritas besar untuk pemerintah-pemerintah asing, yang sering menjalani proyek
kerja sama dengan pemerintah Indonesia serta lembaga-lembaga yang ada. Pemerintah Kanada,
misalnya, sudah membantu dalam pendidikan (misalnya, mendidik dosen Indonesia di
universitas di Montreal, Guelph, dan kota lain) dan kebudayaan (misalnya, dengan mendanai
film The Mirror Never Lies, tentang suku Bajo).
Namun, masyarakat luas di negara-negara asing – bahkan pegawai sipilnya – kurang
memahami kehidupan ataupun kebudayaan di Indonesia. Hal tersebut mempersulit wacana antarnegara. Misalnya, ketika berita tentang Indonesia dimuat di Kanada, kerap kali ini terjadi akibat
bencana (gempa, letusan gunung api, dll.), kerusuhan, persoalan politik (a.l. korupsi atau
pemilu), atau masalah lingkungan. Kalaupun ada unsur kebudayaan yang dimunculkan, itu
biasanya
dibatasi pada kebudayaan-kebudayaan tradisional yang, meskipun memang
mencerminkan sifat orang Indonesia dan menjadi ciri khas bangsa ini, tidak menjadi representatif
dari keseluruhan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Karena itu, pencarian sumber pengetahuan tentang kebudayaan Indonesia untuk
masyarakat di luar, yang belum tentu dapat mengunjungi negara ini, menjadi penting. Film
merupakan suatu kemungkinan, sebab ia diproduksi secara massal dan dimaksud untuk ditonton
masyarakat luas. Film Indonesia juga sering ditayangkan di luar negeri. Sutradara seperti Garin
2
Nugroho dan Kamila Andini justru menghasilkan sebagian besar karya mereka untuk penonton
luar negeri, dan pelbagai film (seperti Berbagi Suami) dikirim ke luar negeri sebagai contoh
karya terbaik sinema Indonesia.
Namun, film ternyata kurang mampu mendidik masyarakat luar negeri mengenai dunia
batin orang Indonesia serta kenyataan hidup yang dihadapinya. Karena terbatas oleh frame,
waktu, dan konvensi sinematik, film tidak mudah mendalami krisis psikis yang dihadapi tokoh,
apalagi membayangkan atau mendalami latar sosial yang membentuk psikologi tokoh tersebut. 1
Dengan demikian, penonton yang belum terbiasa dengan latar sosio-budaya itu tidak akan
memperoleh pemahaman yang lebih baik. Sementara itu, film yang dinilai “baik” oleh sineas
Indonesia cenderung dikirim ke festival film, yang jarang didatangi oleh masyarakat awam. Film
yang dipasarkan untuk umum justru film-film yang dinilai tidak atau kurang baik, atau yang
hanya mencerminkan kebudayaan tertentu dalam konteks yang tidak sesuai dengan kenyataan.2
Sastra-lah yang dapat lebih mendalami dunia batin tokoh, serta situasi sosio-budaya yang
mempengaruhi pikiran mereka serta membentuk pendekatan mereka dalam mengatasi konflik.
Berbeda dari film, sastra tidak dibatasi oleh frame: boleh ada penjelasan sampingan. Karya sastra
juga boleh ditulis sesuai dengan keperluan naratif: panjangnya tidak dibatasi karena konvensi
pasar. Karena itu, dan karena kemudahan menampilkan pikiran tokoh yang intrinsik pada karya
sastra, masalah batin (rasa kurang percaya diri, rasa bersalah, dsb.) dapat diperdalam seperlunya,
sehingga pembaca dapat memahami dengan baik. Dalam penerjemahan novel (berbeda dari
film), kalau dianggap perlu bahkan dapat ditambahkan catatan kaki atau diberikan kata pengantar
yang mendalami isu-isu penting. Hal ini akan menambahkan wawasan pembacanya mengenai
apa yang dibacanya – yaitu kebudayaan Indonesia.
Dengan demikian, latar socio-budaya yang membentuk watak dan dunia batin orang
Indonesia dapat lebih dipahami oleh orang luar melalui karya sastra daripada film. Apalagi, di
negara Barat, termasuk Kanada, ada pasar yang cukup besar untuk karya sastra, baik karya
1
2
Contoh yang sangat jelas dari hal ini adalah Departures. Film Jepang yang memperoleh Piala Oscar ini
menceritakan bagaimana seorang nōkanshi (pengurus pemakaman) dibuang oleh rekan-rekannya karena
dianggap kotor (kegare). Beberapa kritikus yang tidak memahami latar kebudayaan ini, antara lain Keith Phipps
dan A. O. Scott, mengecam film ini karena alasan ini dinilai tidak realis dan dibuat-buat.
Misalnya, The Raid, yang dipasarkan dengan nama The Raid: Redemption, memperoleh lebih dari 4 juta
dolar AS selama diputar di bioskop Amerika Serikat (Box Office Mojo), tetapi merupakan suatu idealisasi ilmu
silat. Sementara itu, Leák (dengan judul Mystics in Bali) sampai tahun 2007 masih dirilis ulang dalam bentuk
DVD; ceritanya sepenuhnya terpusat pada hantu leyak, yang digambarkan sebagai kenyataan.
3
populer maupun karya susastra; di Amerika Serikat, misalnya, penjualan jutaan eksemplar novel
popular sudah biasa; karena itu, karya sastra Indonesia mungkin dibaca oleh masyarakat luas.
Makalah ini dimaksud untuk menjawab tiga pertanyaan: bagaimanakah pengertian
masyarakat Kanada tentang Kanada dapat dibentuk melalui karya sastra, apa saja halangan yang
dihadapi karya sastra Indonesia di pasar Kanada, dan bagaimanakah kendala-kendala itu dapat
diatasi? Untuk keperluan penelitian ini, Kanada dipilih untuk dua alasan. Pertama, peneliti,
sebagai orang Kanada, memiliki lebih banyak pengalaman dan pengetahuan empirik mengenai
negara tersebut, sehingga penelitian dapat dilaksanakan dengan lancar. Kedua, karena hubungan
antara Indonesia dan Kanada bersifat erat (sebagaimana yang dijelaskan di atas), pemahaman
antar-bangsa menjadi semakin penting.
Kemungkinan: Pengertian Indonesia Menurut Sastra, dalam Mata Orang Kanada
Pelbagai unsur kehidupan masyarakat Indonesia dapat dilihat melalui karya sastra, baik
yang kanon maupun yang bukan kanon. Hal ini disebabkan kecenderungan pengarang
memasukkan nilai kebudayaan dan sosial yang mereka mengetahui dan menganut, meskipun
mungkin mereka mengambil latar yang berbeda. Karena itu, karya sastra dapat digunakan
masyarakat Kanada untuk memperoleh gambaran mengenai kehidupan bermasyarakat bangsa
Indonesia, sebagaimana dipahami oleh pengarang-pengarangnya. Hal ini kemudian dapat
digunakan sebagai dasar pengertian tentang Indonesia itu sendiri.
Di sini akan dibahas empat aspek kebudayaan Indonesia yang penting untuk diketahui
orang Kanada, baik karena ia sangat berbeda dari situasi di Kanada, maupun karena ia menjadi
unsur yang berpengaruh besar dalam kebudayaan Indonesia dan watak masyarakatnya. Empat
unsur tersebut adalah peran Islam dalam kehidupan bermasyarakat, peran takhayul dan mitos
dalam pembentukan watak dan kebudayaan, negosiasi tradisi dan modernitas, dan tuntutan untuk
berpatuh pada orang tua (yang kemudian dapat mempengaruhi pengertian tentang hubungan
penguasa dan yang dikuasai).
Islam, agama yang dianut hampir 90% penduduk Indonesia, menjadi salah satu aspek
kebudayaan Indonesia yang tidak bisa diabaikan. Namun, pengertian orang Kanada – yang
mayoritasnya penganut agama Nasrani atau atheis, dengan pemerintah yang berazas pemisahan
urusan agama dan urusan negara – tentang Islam masih kurang, baik dari segi sejarah maupun
ajaran; pengaruh besarnya dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia juga berbeda dari
4
pengalaman mereka di Kanada. Bahkan, ada banyak kesalahpahaman yang muncul akibat
menyoloknya aksi-aksi teroris pada tahun 2000-an. Karena itu, demi kelancaran hubungan antara
Kanada dan Indonesia, buku-buku yang bertemakan Islam menjadi sumber yang sangat berharga.
Novel seperti Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, misalnya, dapat digunakan untuk
menolak isu bahwa Islam itu identik dengan keterbelakangan. Cerita mengenai anak-anak
pesantren ini dapat menunjukkan bahwa orang Muslim pada umumnya mengakui pengaruh
besarnya globalisasi (misalnya, karena belajar berbahasa Inggris, dan belajar menggunakan
teknologi yang sesuai dengan kaidah agama); bahwa mereka tidak menerima kebudayaan Barat
secara utuh bukan karena mereka “terbelakang”, tetapi karena ada hal-hal tertentu yang bertolak
belakang dengan ajaran agama mereka. Sementara itu, ajaran Islam tentang pengampunan dapat
ditunjukkan melalui novel seperti Kubah karya Ahmad Tohari. Cerita ini, yang berpusat pada
seorang tokoh PKI yang diasingkan tetapi akhirnya bisa diampuni dan membuat kubah masjid,
menunjukkan bahwa betapapun berat dosa orang (menurut pandangan masyarakat), ia tetap bisa
dimaafkan oleh Yang Maha-Kuasa dan kembali kepada-Nya.
Pentingnya agama Islam dalam wacana sehari-hari juga dapat dilihat dari pelbagai tokoh
Muslim dalam novel-novel Indonesia. Rasa bersalah karena sudah berdosa, misalnya, menjadi
unsur penting dalam Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis, misalnya, dan pentingnya
memiliki pasangan yang seagama menjadi salah satu konflik dalam Jendela-Jendela karya Fira
Basuki. Melalui karya-karya seperti yang disebut di atas, perlahan-lahan masyarakat Kanada
dapat memahami Islam sebagaimana dipraktekkan di Indonesia, dan melihat pengaruhnya yang
masuk ke setiap aspek kehidupan masyarakat.
Namun, masyarakat Indonesia tidak dapat dipahami sepenuhnya berdasarkan kaidah
agama. Dalam kehidupan orang Indonesia ada negosiasi antara takhayul dan ajaran agama, serta
rasionalisme sekular, yang menjadi lebih dominan daripada di Kanada, di mana takhayul
cenderung dianggap konyol dan tidak bermutu. Satu novel yang penting dalam mengedepankan
wacana tersebut adalah Harimau! Harimau!. Melalui perjalanan Buyung, seorang pendamar,
pembaca Kanada dapat melihat bukan hanya pandangan orang Muslim tentang dosa, tetapi juga
betapa kuatnya kepercayaan kepada takhayul, meskipun takhayul tersebut bertentangan dengan
ajaran agama serta rasionalisme. Novel Hamka Tuan Direktur juga dapat digunakan untuk
menunjukkan betapa kuatnya kepercayaan seperti itu di kota, dan menekankan bahwa takhayul
masih terus direproduksi meskipun masyarakat mulai memperoleh pendidikan. Novel yang lebih
5
baru, seperti Jendela-Jendela – di mana tokoh utama mendatangi dukun untuk berobat, karena
ibunya beranggapan bahwa ia kena guna-guna – dapat menunjukkan bahwa takhayul seperti ini
belum terhapus sampai sekarang, dan karena itu masih dapat mempengaruhi watak orang
Indonesia.
Masalah hubungan takhayul, agama, dan kehidupan duniawi menjadi hanya salah satu
bagian dari negosiasi yang lebih luas yang terdapat di seluruh lapisan masyarakat, yaitu antara
modernitas dan tradisi serta budaya Barat dan Timur. Negosiasi ini sudah tidak menjadi
persoalan yang banyak didebatkan orang Kanada, karena kebudayaan lokal (apalagi kebudayaan
suku pribumi) sudah sangat terbatas. Akibatnya, pentingnya kebudayaan lokal serta tradisi
masyarakat setempat harus ditekankan melalui karya sastra demi kelancaran hubungan Kanada–
Indonesia; harus ada pemahaman bagaimana modernisasi dan Baratisasi bukan hanya dipandang
secara positif, tetapi juga dianggap negatif. Hal ini penting karena dapat mempengaruhi
tanggapan orang Indonesia atas kebudayaan, teknologi, dan bantuan finansial dari luar.
Mungkin karya lama yang paling tepat untuk menggarisbawahi masalah ini adalah Salah
Asuhan-nya Abdoel Moeis. Novel terbitan Balai Pustaka ini dapat menekankan betapa lama
ketidakpercayaan terhadap modernisasi dan Baratisasi sudah mengakar di Indonesia, dan betapa
terkutuknya orang yang meninggalkan tradisi mereka sendiri demi “gaya” Barat menurut
pengarang dan orang lain yang mengutamakan tradisi. Betul, akan sulit untuk orang Kanada
percaya bahwa menikah karena cinta dan bukan karena dijodohkan dapat membuat orang
menjadi celaka, tetapi ketidakpercayaan atas keterjadian tersebut itu justru menekankan unsur
negatif modernisasi dalam novel tersebut, sebab perbedaan itu sangat mencolok.
Bahwa negosiasi modernisasi dan tradisi cenderung lebih moderat dapat pula dilihat
dalam novel-novel Saeroen,3 misalnya, yang menekankan bahwa pendidikan formal untuk
pemuda dan pemudi diperlukan untuk perkembangan bangsa, dan bahwa menikah demi cinta itu
hal yang wajar, tetapi juga mengimplikasikan bahwa nilai kapitalis dan hukum formal Barat
tidak cocok bagi bangsa Indonesia. Novel yang lebih modern pun, seperti Jatisaba karya
Ramadya Akmal, dapat digunakan pula untuk menunjukkan negosiasi ini; meskipun nilai
tradisional dalam desa Jatisaba tidak bisa dikatakan sepenuhnya baik, sikap Mae yang duniawi
dan metropolitan justru lebih buruk, sehingga pembaca menyadari bahwa sesuatu yang baru
belum tentu lebih baik. Hal ini dapat ditambahkan pula dengan karya-karya Fira Basuki, yang
3
Untuk pembahasan masalah modernisasi dalam karya-karya Saeroen, termasuk novelisasi filmnya, lihat
Woodrich (2014).
6
condong lebih modern lagi; Jendela-Jendela, misalnya, menunjukkan bahwa perempuan yang
hidup dengan cara bebas di Singapura masih, pada akhirnya, menjunjung tinggi nilai tradisional
seperti pernikahan, kesetiaan kepada suami, serta kepatuhan kepada orang tua.
Kepatuhan kepada orang tua, sampai anak rela berkorban demi mereka, menjadi sesuatu
yang harus digarisbawahi. Masyarakat individualis seperti Kanada, di mana anak-anak seringnya
sudah meninggalkan rumah sebelum berusia dua puluh tahun, dan restu orang tua atas karir atau
pilihan jodoh tidak diwajibkan, akan susah memahami betapa anak dibatasi oleh orang tua,
kecuali apabila ada contoh dalam karya sastra. Pemahaman seperti ini kemudian dapat ditarik
lebih lanjut, untuk menjelaskan kebiasaan mematuhi pihak yang berwenang, biarpun yang
diperintahkan belum tentu benar; ini tentu berpengaruh dalam masalah hubungan internasional.
Soal kepatuhan kepada orang tua sudah banyak dibahas dalam karya sastra Indonesia.
Dalam Sitti Nurbaya karya Marah Roesli, misalnya, ini terdapat dalam pengorbanan Sitti, yang
menikahi Datuk Meringgih (meskipun ia sudah jatuh cinta dengan Samsulbahri) supaya hutang
ayahnya bisa diampuni. Ini dijadikan lebih eksplisit dalam Melati van Agam karya Swan Pen,4 di
mana tokoh Norma – yang masih remaja – dinikahkan dengan seorang kepala sekolah bernama
Nazaruddin yang sudah lansia atas kehendak orang tua, meskipun ia sudah jatuh cinta dengan
seorang pemuda; biarpun Nazaruddin memperlakukan dia secara tidak lazim, Norma tetap
menjadi istri yang setia. Bahwa kepatuhan terhadap perintah atau saran orang tua masih
dianggap penting sampai sekarang dapat pula ditemukan dalam cerpen seperti “BH”-nya Agus
Noor, di mana seorang perempuan mengikuti usulan ibu tirinya meskipun merasa kurang yakin
tentang usulan tersebut. Dalam Jendela-Jendela hal ini terus ditunjukkan; tokoh utama June
merasa keberatan ketika ditegur ibunya, sehingga hendak membangkang, tetapi akhirnya
menyadari bahwa ia sudah bersalah dan ibunya yang benar.
Kendala: Masalah Bahasa, Akses, dan Pemasaran
Sebelum hal-hal di atas dapat disampaikan kepada masyarakat Kanada, ada pelbagai
kendala yang harus diatasi. Namun, mengingat terbatasnya ruang dan waktu, di sini hanya tiga
kendala utama, yaitu masalah bahasa, akses, dan pemasaran, akan dibahas.
Masalah bahasa mungkin merupakan masalah yang paling menonjol: sedikit sekali
penduduk Kanada yang mampu berbahasa Indonesia, apalagi dengan cukup baik sehingga
4
Nama pena dari Parada Harahap.
7
mereka dapat membaca suatu karya sastra. Dengan demikian, sebelum karya-karya Indonesia
dapat digunakan untuk mendidik masyarakat Kanada, karya-karya tersebut harus diterjemahkan,
baik ke dalam bahasa Inggris (yaitu bahasa yang paling banyak digunakan di Kanada, dengan
lebih dari 30 juta penutur) maupun bahasa Perancis (yaitu bahasa resmi yang lain, dengan lebih
dari 5 juta penutur). Yang dimaksud dengan penerjemahan di sini bukan hanyalah pengalihan
bahasa seperti biasanya, tetapi pengalihan bahasa yang diikuti dengan penulisan ulang, sehingga
karya sastra tetap terbaca sebagai karya sastra. Penerjemahan seperti ini membutuhkan bukan
hanya penerjemah yang memahami kedua bahasanya (atau, mengingat umumnya bahasa daerah
dalam karya sastra, kesemua bahasa yang digunakan), tetapi juga mampu menulis sebagai
layaknya seorang sastrawan.
Selain itu, penerjemahan karya sastra Indonesia yang baik, dan yang dibutuhkan untuk
mendidik masyarakat Kanada tentang keadaan di Indonesia, akan juga meliputi kontekstualisasi
budaya, dengan cara yang memudahkan pembaca untuk mengikuti cerita. Apabila tidak ada
kontekstualisasi, signifikansi dari unsur cerita akan hilang; misalnya, betapa beratnya dosa Pak
Haji, yang menjadi murtad (apostate) dalam Harimau! Harimau!, tidak akan dipahami oleh
orang Kanada yang cenderung sekular. Untuk itu, bisa digunakan metode catatan kaki, kata
pengantar, perpaduan keterangan dan cerita, atau kombinasi dari kesemua hal ini. Kalau
sasarannya masyarakat luas, maka gabungan kata pengantar dan perpaduan keterangan dan cerita
mungkin merupakan bentuk yang paling tepat. Ini supaya pembacaan karya tidak terganggu oleh
perlunya memeriksa catatan kaki setiap beberapa halaman.
Kendala yang lain adalah masalah akses. Sebagian besar penerbit Indonesia tidak punya
jaringan yang cukup baik untuk menerbitkan karya sastra Indonesia di luar negeri. Kalaupun ada
karya yang diterjemahkan oleh penerbit-penerbit ini, belum tentu karya tersebut dapat dibaca
oleh orang di luar negeri – termasuk di Kanada. Misalnya, terjemahan Jendela-Jendela karya
Fira Basuki oleh Norman Ince diterbitkan oleh Grasindo, tetapi hanya dijual di Indonesia; tidak
ada distribusi di luar, dan karena itu tidak ada pengaruh internasional. Laskar Pelangi karya
Andrea Hirata awalnya diterjemahkan pada tahun 2009 oleh Angie Kilbane dan diterbitkan oleh
Bentang, tetapi distribusi internasional harus akhirnya ditangani oleh Sarah Crichton Books di
Amerika pada tahun 2013; penerbit Indonesianya tidak sanggup menangani distribusi
internasional sendiri, sehingga melakukan perjuangan berat untuk mendapatkan penerbit luar.
8
Ada beberapa penerbit yang mulai menjual karya sastra Indonesia sampai luar negeri.
Yayasan Lontar, misalnya, sudah menerjemahkan dan menerbitkan lebih dari dua puluh judul,
termasuk Sitti Nurbaya dan Belenggu, dalam bahasa Inggris. Karya-karya terbitan Lontar
cenderung diterjemahkan dengan baik, dengan pengantar yang cukup mendalam untuk
menjelaskan kontekstualitas budaya karya yang dibaca. Namun, karya terjemahan Lontar (atau
penerbit lain, seperti Select Books di Singapura) jarang diterbitkan ulang, sehingga sukar dibeli.
Kalaupun buku-buku itu masih ada stok, penjualan internasional cenderung masih terbatas dalam
lingkungan Indonesianis atau penggemar sastra Indonesia. Jarang sekali ada pembeli buku yang
belum meminati sastra Indonesia, betapapun bagus terjemahan buku-buku itu atau baik resensi
karya-karyanya. 5
Alasannya, antara lain, karena pasar untuk karya-karya Indonesia di Kanada masih
kurang dikembangkan. Sebagaimana dinyatakan di atas, karya sastra Indonesia terjemahan
seringnya dibeli oleh orang yang sudah memiliki pengetahuan tentang Indonesia. Masyarakat
awam belum mengetahui judul karya-karya Indonesia yang baik dibaca, sehingga tidak mungkin
membeli; tanpa mengetahui nama karya, mereka tidak bisa mencarinya di internet. Misalnya,
terjemahan novel Negeri 5 Menara (karya A. Fuadi) oleh Angie Kilbane diterbitkan oleh
Gramedia dan dijual melalui Amazon.com, tetapi yang menulis resensi di situs web tersebut
sudah memiliki ketertarikan dengan Indonesia, atau bahkan berasal dari Indonesia (The Land of
Five Towers, Amazon.com).
Ini disebabkan oleh langkanya iklan atau marketing campaign untuk karya sastra
Indonesia terjemahan. Masyarakat awam cenderung tidak mengetahui banyak tentang Indonesia,
sehingga mereka tidak bisa mendapatkan karya sastra Indonesia tanpa diberitahukan; tanpa
periklanan, tidak ada pemberitahuan. Resensi karya terjemahan pun, yang mungkin menarik
pembaca yang mau mencari buku baru yang bagus, juga jarang dimuat di koran internasional; 6
dalam penelitian ini, ditemukan hanya satu resensi yang terbit di media massa Amerika Serikat
atau Kanada, yaitu resensi The Rainbow Troops dalam Los Angeles Review of Books (Aiyar,
2013). Tanpa periklanan, pasar buku Kanada (yang merupakan negara di mana banyak orang
membaca untuk mencari hiburan) tidak bisa diakses ataupun mempengaruhi masyarakat.
5
6
Lihat, misalnya, resensi Sitti Nurbaya dan The Rose of Cikembang di Amazon.com.
The Jakarta Post dan The Jakarta Globe juga memuat resensi, tetapi pembaca kedua koran itu biasanya
orang asing yang tinggal di Indonesia dan orang Indonesia yang hendak belajar bahasa Inggris.
9
Saran: Peran Pemerintah dan Lembaga
Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala ini, supaya kebudayaan
Indonesia yang direpresentasikan dalam sastra Indonesia dapat dibaca dan dinikmati (tapi juga
mendidik) pembaca di Kanada? Yang jelas, ini tidak bisa diatasi sepenuhnya oleh pengarang
sendiri. Yang diperlukan adalah bantuan dari pemerintah (baik pemerintah Kanada maupun
Indonesia) serta lembaga-lembaga (di Kanada ataupun di Indonesia). Diusulkan agar bantuan ini
diberikan dalam dua bentuk, yaitu subsidi dan pemasaran.
Subsidi setepatnya dilakukan oleh pemerintah, baik pemerintah Kanada (selaku
pemerintah yang mendidik masyarakatnya) maupun Indonesia (selaku pemerintah yang
merepresentasikan bangsanya di dunia luar). Subsidi yang dimaksud bukanlah subsidi dalam
bentuk honorarium kepada pengarang, yang bagaimanapun juga tetap akan menghasilkan karya,
tetapi honorarium untuk penerjemah yang berpengalaman dan profesional serta (pada langkah
awalnya) untuk penerbit asing.
Jasa penerjemah cukup mahal, apalagi penerjemah yang cukup berpengalaman dan
berkualitas untuk menerjemahkan karya sastra dengan baik, sehingga jarang ada penerbit yang
mau membayarnya. Penerjemah Indonesia–Inggris di Indonesia, menurut Peraturan Menteri
Keuangan PMK No. 53/PMK.02 Tahun 2014, harus dibayar 152,000 rupiah per halaman jadi
(spasi ganda, rata-rata 250 kata per halaman), sementara penerjemah Indonesia–Inggris di luar
Indonesia bisa minta lebih dari $25 (sekitar Rp. 275.000) per halaman. Kalaupun harga lebih
rendah diminta, belum ada jaminan kualitas terjemahannya (yang kemudian mempengaruhi
kualitas teks). Untuk meringankan biaya penerbitan, sekaligus meningkatkan kualitas
terjemahan, maka ada baiknya subsidi diberikan.
Sementara, pemerintah juga dapat menyubsidi ongkos penerbitan di luar negeri. Penerbit
cenderung menghindari hal-hal yang baru atau belum terbukti dapat membawa keuntungan;
penerbit, sebagaimana sudah diketahui, adalah bisnis. Kalaupun karya Indonesia diterbitkan,
harganya sering lebih mahal (karena dicetak dalam jumlah yang lebih kecil, dan dengan
demikian biaya produksi dan distrubusinya lebih mahal); hal ini kemudian dapat mengurangi niat
pembaca untuk membeli buku yang genre dan pengarangnya masih asing bagi mereka. Dengan
menyubsidi jasa penerjemahan dan (pada awalnya, sampai sastra Indonesia sudah ada pasar yang
sustainable di Kanada) penerbitan, diharapkan pemerintah akan membuat penerbit luar negeri
lebih tertarik untuk menerbitkan dan memasarkan karya sastra Indonesia secara massal.
10
Lembaga-lembaga, seperti penerbit, pun harus ikut serta dalam pendidikan masyarakat
Kanada mengenai Indonesia. Penerbit, terutama di luar negeri, harus lebih banyak mencari karya
yang layak diterjemahkan dan diterbitkan, karya yang, meskipun tidak termasuk dalam kanon
sastra, masih memiliki nilai edukatif. Dengan demikian, setelah buku-buku ini diterbitkan,
terjemahan karya sastra Indonesia dapat ditemukan bukan hanya di Indonesia, atau melalui
jaringan yang terbatas, tetapi juga di toko buku (baik yang fisik maupun yang online) di Kanada.
Dengan demikian, pembaca Kanada akan lebih mudah mengakses karya sastra Indonesia,
sehingga mereka menjadi lebih mudah dididik tentang negara dan bangsa ini.
Ketika karya didapatkan dan diterjemahkan, pemasarannya harus dilakukan dengan tepat,
tergantung pada genre karya yang dipasarkan. Bunga Roos dari Cikembang dan Sitti Nurbaya,
misalnya, dapat dipasarkan kepada para Indonesianis, atau pembaca novel romans; kalau novelnovel tersebut dipasarkan sebagai novel romans, dan dengan demikian dituju kepada pembaca
romans, maka iklan dan pemasaran harus menekankan unsur romans yang tragis daripada
masalah sosio-etnis yang melatarbelakanginya. Dengan pemasaran yang tepat, serta harga yang
tidak jauh berbeda dari harga mass paperback, diharapkan bahwa karya sastra Indonesia akan
semakin diminati.
Kesimpulan
Supaya dua bangsa dapat menciptakan dialog yang baik, mereka harus saling memahami.
Hubungan internasional yang baik tidak dapat didirikan atas mitos, ketidaktahuan, ataupun
fantasi. Dalam konteks hubungan Kanada dan Indonesia, ini berarti pengertian yang baik tentang
Indonesia – yang dapat tercapai melalui karya sastra – sangat penting. Karya-karya Indonesia
dapat menunjukkan kepada orang Kanada pelbagai hal, termasuk bagaimana Islam
mempengaruhi semua unsur kehidupan bermasyarakat (serta pengertian Islam itu sendiri, baik
dalam konteks Indonesia maupun di luar), bagaimana berbakti kepada orang tua menjadi hal
yang penting, bagaimana tradisi sering bertentangan (tetapi juga bernegosiasi) dengan
modernitas, dan bagaimana takhayul masih berperan besar dalam pemikiran masyarakat.
Kendala bahasa, akses, dan pemasaran dapat diatasi. Proyek penerjemahan, oleh orang
yang sudah akrab dengan kebudayaan Indonesia modern dan lampau, dapat mempermudah
pengertian teks sastra oleh pembaca yang hanya bisa berbahasa Inggris atau Perancis.
Pemerintah Kanada dan Indonesia dapat mempermudah akses dengan membangun jaringan
11
antara penerbit atau pengarang Indonesia dengan penerbit di Kanada, sehingga distribusi
diperlancar dan pembaca awam dapat menikmati karya yang sebelumnya terbatas pada kaum
akademik saja. Pemasaran yang tepat, dilakukan oleh orang yang memahami watak orang
Kanada, dapat menyadarkan masyarakat negara tersebut akan menariknya karya sastra Indonesia
– dan dengan demikian lebih memungkinkan mereka membaca karya-karya yang mendidik.
Sudah barang tentu bahwa usaha ini tidak mudah, dan saran-saran di atas perlu dirancang
secara lebih rinci. Akan diperlukan waktu, tenaga, dan modal yang tidak sedikit sebelum karya
sastra Indonesia dapat dibaca dan dinikmati oleh masyarakat awam Kanada secara massal, dan
lebih lama lagi sebelum dampaknya terasa dalam bidang politik dan sekitarnya. Bertahun-tahun.
Namun, pengertian tentang Indonesia yang ditawarkan karya-karya ini jauh lebih penting
daripada modalnya, karena pendidikan inilah akan memperlancar kerja sama, mengurangi
kesalahpahaman, dan mengeratkan hubungan antar-negara dan antar-masyarakat di masa depan.
Daftar Pustaka
Aiyar, Pallavi. “The Rainbow Troops: A Visit with Indonesia’s Bestselling Author”. The Los
Angeles Review of Books. 30 Agustus 2014. Diunduh dari
http://www.webcitation.org/6SnAJeUBQ pada tanggal 23 September 2014.
Akmal, Ramadya. 2011. Jatisaba. FIB UGM: Yogyakarta.
Amazon.com. “The Land of Five Towers”. Diunduh dari http://www.webcitation.org/6Sn7zxsYs
pada tanggal 23 September 2014.
Basuki, Fira dan Norman Ince (penerjemah). 2006. The Windows. Grasindo: Jakarta.
Box Office Mojo. “The Raid: Redemption”. Diunduh dari
http://www.webcitation.org/6Sn8TV9Ti pada tanggal 20 September 2014.
CIA. “World Factbook: Indonesia”. 22 Juni 2014. Diunduh dari
http://www.webcitation.org/6Sn8VLHwY pada tanggal 19 September 2014.
Fuadi, A. dan Angie Kilbane (penerjemah). 2011. The Land of Five Towers. Gramedia: Jakarta.
Hamka. 1961. Tuan Direktur. Djajamurni: Jakarta.
Kwee, Tek Hoay. 1930. Boenga Roos dari Tjikembang. Panorama: Batavia.
Lubis, Mochtar. 2008. Harimau! Harimau!. Balai Pustaka: Jakarta.
Mihardja, Achdiat K. 2009. Atheis. Balai Pustaka: Jakarta.
Moeis, Abdoel. 2008. Salah Asuhan. Balai Pustaka: Jakarta.
12
Noor, A. 2000. “BH”. Bapak Presiden yang Terhormat. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Pen, Swan. 1924. Melati van Agam. Geillustr. Weekblad Bintang Hindia: Weltevreden.
Peraturan Menteri Keuangan PMK No. 53/PMK.02 Tahun 2014. Diunduh dari
http://www.anggaran.depkeu.go.id/peraturan/PMK%2053-2014%20SBM%202015.pdf
pada tanggal 22 September 2014.
Rusli, Marah. 2008. Sitti Nurbaya. Balai Pustaka: Jakarta.
Tohari, Ahmad. 2012. Kubah. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Woodrich, Christopher. 2014. “Between the Village and the City: Representing Colonial
Indonesia in the Films of Saeroen”. Makalah disampaikan pada International Indonesia
Forum Ke-7, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung, tanggal 19
Agustus 2014.
13