Perang Salib dalam Perspektif Kristen Be
MARIA APRIANI DHAE | 00000010586
Perang Salib dalam Perspektif Kristen: "Benarkah Agama Menjadi Satu-satunya
Faktor Meletusnya Perang Salib?"
Umumnya suatu peperangan dilandasi oleh ambisi kekuasaan dan hegemoni suatu
bangsa tertentu. Namun realita menunjukkan adanya peperangan yang dilandasi oleh ajaran
agama yang dianut oleh kedua belah pihak yang di kenal dengan istilah perang agama. Untuk
beberapa kasus, perang agama berdampak lebih besar dan berlangsung sangat panjang bagi
kedua belah pihak yang berseteru, contohnya perang agama antara umat Yahudi Israel dan
umat Muslim Palestina yang menyebabkan kerugian dalam berbagai bidang kehidupan dan
berlangsung sangat panjang bahkan hingga saat ini. Perang agama di Indonesia sendiri terjadi
di Poso Maluku antara umat Muslim dan umat Kristen yang juga menyebabkan kerugian
dalam berbagai bidang kehidupan bahkan kematian.
Perang salib merupakan perang agama terbesar dalam sejarah yang melibatkan dua
agama terbesar, terbagi menjadi tiga periode dan berlangsung hampir dua abad lamanya
(1906-1291)[CITATION Syu11 \t \l 1057 ]. Perang salib pertama terjadi pada tahun 1906 dan
dilatarbelakangi oleh permohonan bala bantuan Kaisar Byzantin kepada Sri Paus (umat
Kristen Barat) atas kekalahannya melawan bangsa Turki Saljuk. Bangsa Turki Saljuk yang
beragama Islam, merupakan bangsa pengembara dari Asia Tengah yang berwatak kejam.
Bangsa ini berhasil menduduki Persia, Baghdad, Siria, Palestina dan Mesir, serta menyerang
Kekaisaran Byzantin dan mengancam Konstantinopel yang merupakan ibukota Kekaisaran
Byzantin dan pusat Gereja Timur [CITATION Ruc08 \p 72 \t \l 1057 ]. Kekuasaan Bangsa
Turki Saljuk atas Baitul Maqdis Yerussalem yang merupakan tempat suci umat Kristiani
mengambil kontribusi terbesar atas terjadinya perang salib pertama [ CITATION Nas85 \l
1057 ].
Motif inilah yang kemudian melatar belakangi Paus Urbanus II dalam pidatonya pada
tanggal 27 November 1905 di kota Clermont-Ferrand, Prancis [CITATION Col06 \p 108 \l
1057 ], kepada Uskup dan umat yang menghadiri konsili untuk mengangkat senjata di bawah
tanda salib, dengan tujuan utama menanggapi permohonan bala bantuan dari Kaisar Byzantin
untuk merebut kekuasaannya dan membebaskan umat Kristen Barat, serta merebut kembali
tanah suci Yerussalem atau Baitul Maqdis dari kekuasaan Bangsa Turki Saljuk yang
notabenenya merupakan kaum Muslim. Pidato tersebut langsung mendapat respon positif dari
umat yang menghadiri konsili, dengan seruan lantang “Deus Vult - Allah menghendakinya”.
Pernyataan ini menunjukkan kepercayaan mereka bahwa perang salib adalah perang yang
dikehendaki oleh Tuhan untuk dilakukan oleh umat-Nya.
1
MARIA APRIANI DHAE | 00000010586
Pernyataan tersebut menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat dunia,
bukankah Allah itu Maha baik, jika Allah Maha baik mungkinkah Ia menghendaki adanya
perang? Kitab Kejadian dengan jelas menegaskan bahwa awal penciptaan adalah “sangat
baik” (Kejadian 1:31), tidak ada dosa dan kejahatan bahkan perang sekalipun. Namun setelah
manusia pertama (Adam dan Hawa) menggunakan kehendak bebasnya untuk menentang
Allah, maka dosa hadir. Kejahatan adalah manifestasi dari dosa, dan perang merupakan
manifestasi dari kejahatan itu sendiri oleh karena itu perang salib tidak bisa dikatakan sebagai
kehendak Allah karena Allah tidak pernah menghendaki dosa namun mengijinkan terjadinya
dosa, sebab Allah adalah Kudus (1Ptr 1:16) jika Allah bergaul dengan dosa itu berarti Ia
melawan natur-Nya sendiri. Oleh karena itu perlu untuk menyelidiki faktor-faktor lain yang
turut berkontribusi dalam peristiwa perang salib sehingga tidak terjadi kebingungan atau
kesalahpahaman.
Berabad-abad lamanya, sejarawan dan masyarakat dunia menganggap pernyataan
umat Kristen “Deus Vult”, dan perang yang dilakukan di bawah tanda salib merupakan latar
belakang perang ini disebut perang salib yang merupakan konflik antar umat Muslim dan
umat Kristen yang dilandasi oleh nilai atau paham religius. Perang salib disebut juga perang
suci yang dilakukan oleh umat Kristiani kepada Umat Muslimin untuk memperoleh
kekuasaan atas tanah suci Yerussalem (Iqbal, 2010). Hal ini sesuai dengan pernyataan Syukur
[CITATION Syu11 \n \t \l 1057 ], bahwa perang salib merupakan konfrontasi antar kaum
Muslimin dan Kristiani yang dilandasi unsur-unsur religius dan merupakan motif
dicetuskannya perang yang melibatkan umat Kristiani Eropa yang disebut perang salib.
Argumen kedua ahli di atas jelas menunjukkan bahwa unsur religius mengambil kontribusi
terbesar terjadinya perang suci atau perang salib.
Kemudian benarkah unsur agama atau religiusitas menjadi satu-satunya faktor
penyebab terjadinya perang salib? Jika ditinjau lebih jauh, unsur agama atau religiusitas tidak
menjadi satu-satunya faktor terjadinya perang salib yang merupakan perang agama terdasyat
sepanjang sejarah tersebut. Faktor ekonomi dan politik masyarakat Eropa pada masa itu juga
perlu ditinjau dan dilihat relasinya dengan peristiwa perang salib. Hal ini sesuai dengan
pernyataan syukur [CITATION Syu14 \n \t \l 1057 ], bahwa untuk mengetahui penyebab
terjadinya perang salib tidak hanya ditinjau sebatas unsur agama saja tetapi perlu dilakukan
sebuah analisis mengenai keadaan masyarakat Eropa pada masa tersebut. Terdapat setidaknya
dua faktor yang turut mengambil bagian dalam terjadinya perang salib, yaitu faktor ekonomi
dan Politik Eropa.
2
MARIA APRIANI DHAE | 00000010586
Ditinjau dari faktor ekonomi,
keinginan bangsa Eropa untuk menguasai jalur
perdagangan Laut Tengah hingga ke arah Timur Laut Merah menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan pasukan Eropa ingin menguasai wilayah-wilayah Timur yang telah dikuasai
oleh kaum Muslimin melalui perang salib [ CITATION Red93 \l 1057 ]. Selain faktor agama,
lapisan masyarakat kurang mampu Eropa dengan kehidupan ekonomi yang jauh dari baik
termotivasi untuk menjarah daerah-daerah Islam yang akan dikuasai nantinya melalui perang
salib [ CITATION Roo17 \l 1057 ]. Hal ini sesuai dengan pernyataan [CITATION Ruc08 \n \t
\l 1057 ], bahwa selain motivasi agama prajurit perang salib termotivasi untuk menguasai
hasil jarahan daerah yang akan mereka kuasai melalui perang salib,mendapat penghapusan
dosa dari gereja, dan sebagai sarana pelarian diri karena telah berbuat jahat. Selain faktor
ekonomi, perang salib juga dilatarbelakangi oleh faktor politik Eropa saat itu. Gereja
Ortodoks Timur yang tidak mengakui Paus sebagai kepala seluruh gereja di Eropa dan
mengatur praktek Kekristenannya sendiri menimbulkan ketegangan antara Kekristenan di
wilayah Timur dan wilayah Barat, hingga tahun 1504 kedua pihak memproklamasikan
perpecahan secara resmi [ CITATION DeJ97 \l 1057 ]. Namun keadaan berubah ketika
Bangsa Turki Saljuk menguasai Kekaisaran Byzantin yang memaksa Kaisar Byzantin untuk
meminta bala bantuan kepada Paus. Permintaan ini direspon secara baik oleh Paus, dengan
tujuan memperluas kekuasaannya di wilayah Timur dan memperbaiki hubungan yang telah
rusak di antara Gereja Timur dan Gereja Barat.
Berdasarkan analisis penyebab terjadinya perang salib di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa perang salib tidak hanya dilatarbelakangi oleh faktor agama antara umat
Kristen dan Muslim, tetapi juga dilatarbelakangi oleh faktor politik dan ekonomi masyarakat
Eropa saat itu yang juga menjadi penggerak bagi Paus Urbanus II untuk mengangkat senjata
dan menyerukan perang salib. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lincoln, dkk [CITATION
Lin06 \n \t \l 1057 ], bahwa perang salib yang terjadi tidak terlepas dari dimensi religius
tetapi juga tidak terlepas dari semangat peperangan, dimensi ekonomi, dan dimensi politik
bangsa Eropa masa itu.
Pandangan masyarakat dunia dan ahli sejarah mengenai perang salib telah melahirkan
berjuta-juta buku yang terbatas pada penyebab perang salib ditinjau dari dimensi religius. Hal
ini menyebabkan masyarakat dunia, terutama para pelajar yang sejak dini ditanamkan
mindset bahwa unsur agama merupakan satu-satunya faktor penyebab perang agama terbesar
dalam sejarah, akibatnya sejak dini masyarakat dunia terutama para pelajar memiliki mindset
permusuhan antar agama terutama antara umat Muslim dan umat Kristen. Hal ini terbukti
dengan maraknya kasus konflik antar agama di Indonesia, seperti konflik Poso [ CITATION
3
MARIA APRIANI DHAE | 00000010586
Sub16 \l 1057 ] dan pembakaran masjid di Tolikora Papua [ CITATION Her15 \l 1057 ] yang
merupakan dua dari sekian banyak konflik agama yang terjadi di Indonesia. Masyarakat
dunia cenderung berpikir
Konflik agama yang terjadi terutama antara umat Muslim dan Kristen seharusnya bisa
diminimalisir dengan pendidikan yang benar melalui pemahaman guru dan pembelajaran
yang benar kepada siswa, terutama bagi seorang guru Kristen dalam menyampaikan materi
perang salib karena guru berperan sebagai gembala yang membawa siswa pada suatu
pemahaman yang benar mengenai Kristus [CITATION Van06 \p 44 \l 1057 ], sehingga
pemahaman siswa mengenai perang salib tidak hanya terbatas dalam dimensi agama saja,
tetapi juga meninjau faktor-faktor lain yang turut mengambil kontribusi terjadinya perang
salib untuk menghindari tersusunnya mindset bahwa agama yang satu lebih baik
dibandingkan agama lainnya, tetapi justru melihat dosa sebagai sesuatu yang menghancurkan
dan tidak pantas untuk dihidupi karena sebagai anak Allah yang telah ditebus dengan darahNya yang mahal, sudah seharusnya kita kudus sebab Allah adalah Kudus (1 Pet 1:16).
4
MARIA APRIANI DHAE | 00000010586
Daftar Pustaka
Collins, M., & Price, M. A. (2006). The Story of Christianity. Yogyakarta: Kanisius.
De Jonge, C., & End, T. V. (1997). Sejarah Perjumpaan Gereja dan Islam. Jakarta: Sekolah
Tinggi Teologi.
Herawati, Y. (2015, Juli 20). Pembakaran Masjid di Tolikara Picu Konflik Agama di Papua.
Dipetik
Januari
26,
2017,
dari
Berita
Benar:
http://www.benarnews.org/indonesian/berita/pembakaran_masjid_papua_memicu_ko
nflik-07202015182625.html
Iqbal, A. (2010). Perang-perang Paling Berpengaruh di Dunia. Yogyakarta: Jogja Bangkit
Publisher.
Lincoln, H., Leight, R., & Baigent, M. (2006). Holy Blood, Holy Grail (II ed.). Jakarta: Ufuk
Press.
Nasution, H. (1985). Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek Jilid I. Jakarta: UI Press.
Redaksi, D. (1993). Ensiklopedia Islam. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve.
Rooney, R., & Miller, A. (t.thn.). The Crusades: Motivations, Administration, and Cultural
Influence.
Dipetik
Januari
26,
2017,
dari
The
Newberry
Web
site:
http://dcc.newberry.org/collections/the-crusades-motivations-administration-andcultural-influence
Ruck, A. (2008). Sejarah Gereja Asia. Jakarta: Gunung Mulia.
Ruck, A. (2008). Sejarah Gereja Asia. Jakarta: Gunung Mulia.
Subarkah, M. (2016, Agustus 1). Neraka Poso: Konflik Islam-Kristen, Warga Keturunan,
Santoso, dan Tibo. Dipetik Januari 26, 2017, dari Nasional Republika News:
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/16/08/01/ob7tmj385-nerakaposo-konflik-islamkristen-warga-keturunan-santoso-dan-tibo
Syukur, S. (2011). PERANG SALIB DALAM BINGKAI SEJARAH. Jurnal Al- Ulum, 189204.
Syukur, S. (2014). Perang Salib dalam Bingkai Sejarah. Jurnal Rihlah, II(1).
Van Brummelen, H. (2006). Berjalan dengan Tuhan di dalam Kelas: Pendidikan Kristiani
untuk Pembelajaran. Jakarta: Universitas Pelita Harapan.
5
MARIA APRIANI DHAE | 00000010586
6
Perang Salib dalam Perspektif Kristen: "Benarkah Agama Menjadi Satu-satunya
Faktor Meletusnya Perang Salib?"
Umumnya suatu peperangan dilandasi oleh ambisi kekuasaan dan hegemoni suatu
bangsa tertentu. Namun realita menunjukkan adanya peperangan yang dilandasi oleh ajaran
agama yang dianut oleh kedua belah pihak yang di kenal dengan istilah perang agama. Untuk
beberapa kasus, perang agama berdampak lebih besar dan berlangsung sangat panjang bagi
kedua belah pihak yang berseteru, contohnya perang agama antara umat Yahudi Israel dan
umat Muslim Palestina yang menyebabkan kerugian dalam berbagai bidang kehidupan dan
berlangsung sangat panjang bahkan hingga saat ini. Perang agama di Indonesia sendiri terjadi
di Poso Maluku antara umat Muslim dan umat Kristen yang juga menyebabkan kerugian
dalam berbagai bidang kehidupan bahkan kematian.
Perang salib merupakan perang agama terbesar dalam sejarah yang melibatkan dua
agama terbesar, terbagi menjadi tiga periode dan berlangsung hampir dua abad lamanya
(1906-1291)[CITATION Syu11 \t \l 1057 ]. Perang salib pertama terjadi pada tahun 1906 dan
dilatarbelakangi oleh permohonan bala bantuan Kaisar Byzantin kepada Sri Paus (umat
Kristen Barat) atas kekalahannya melawan bangsa Turki Saljuk. Bangsa Turki Saljuk yang
beragama Islam, merupakan bangsa pengembara dari Asia Tengah yang berwatak kejam.
Bangsa ini berhasil menduduki Persia, Baghdad, Siria, Palestina dan Mesir, serta menyerang
Kekaisaran Byzantin dan mengancam Konstantinopel yang merupakan ibukota Kekaisaran
Byzantin dan pusat Gereja Timur [CITATION Ruc08 \p 72 \t \l 1057 ]. Kekuasaan Bangsa
Turki Saljuk atas Baitul Maqdis Yerussalem yang merupakan tempat suci umat Kristiani
mengambil kontribusi terbesar atas terjadinya perang salib pertama [ CITATION Nas85 \l
1057 ].
Motif inilah yang kemudian melatar belakangi Paus Urbanus II dalam pidatonya pada
tanggal 27 November 1905 di kota Clermont-Ferrand, Prancis [CITATION Col06 \p 108 \l
1057 ], kepada Uskup dan umat yang menghadiri konsili untuk mengangkat senjata di bawah
tanda salib, dengan tujuan utama menanggapi permohonan bala bantuan dari Kaisar Byzantin
untuk merebut kekuasaannya dan membebaskan umat Kristen Barat, serta merebut kembali
tanah suci Yerussalem atau Baitul Maqdis dari kekuasaan Bangsa Turki Saljuk yang
notabenenya merupakan kaum Muslim. Pidato tersebut langsung mendapat respon positif dari
umat yang menghadiri konsili, dengan seruan lantang “Deus Vult - Allah menghendakinya”.
Pernyataan ini menunjukkan kepercayaan mereka bahwa perang salib adalah perang yang
dikehendaki oleh Tuhan untuk dilakukan oleh umat-Nya.
1
MARIA APRIANI DHAE | 00000010586
Pernyataan tersebut menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat dunia,
bukankah Allah itu Maha baik, jika Allah Maha baik mungkinkah Ia menghendaki adanya
perang? Kitab Kejadian dengan jelas menegaskan bahwa awal penciptaan adalah “sangat
baik” (Kejadian 1:31), tidak ada dosa dan kejahatan bahkan perang sekalipun. Namun setelah
manusia pertama (Adam dan Hawa) menggunakan kehendak bebasnya untuk menentang
Allah, maka dosa hadir. Kejahatan adalah manifestasi dari dosa, dan perang merupakan
manifestasi dari kejahatan itu sendiri oleh karena itu perang salib tidak bisa dikatakan sebagai
kehendak Allah karena Allah tidak pernah menghendaki dosa namun mengijinkan terjadinya
dosa, sebab Allah adalah Kudus (1Ptr 1:16) jika Allah bergaul dengan dosa itu berarti Ia
melawan natur-Nya sendiri. Oleh karena itu perlu untuk menyelidiki faktor-faktor lain yang
turut berkontribusi dalam peristiwa perang salib sehingga tidak terjadi kebingungan atau
kesalahpahaman.
Berabad-abad lamanya, sejarawan dan masyarakat dunia menganggap pernyataan
umat Kristen “Deus Vult”, dan perang yang dilakukan di bawah tanda salib merupakan latar
belakang perang ini disebut perang salib yang merupakan konflik antar umat Muslim dan
umat Kristen yang dilandasi oleh nilai atau paham religius. Perang salib disebut juga perang
suci yang dilakukan oleh umat Kristiani kepada Umat Muslimin untuk memperoleh
kekuasaan atas tanah suci Yerussalem (Iqbal, 2010). Hal ini sesuai dengan pernyataan Syukur
[CITATION Syu11 \n \t \l 1057 ], bahwa perang salib merupakan konfrontasi antar kaum
Muslimin dan Kristiani yang dilandasi unsur-unsur religius dan merupakan motif
dicetuskannya perang yang melibatkan umat Kristiani Eropa yang disebut perang salib.
Argumen kedua ahli di atas jelas menunjukkan bahwa unsur religius mengambil kontribusi
terbesar terjadinya perang suci atau perang salib.
Kemudian benarkah unsur agama atau religiusitas menjadi satu-satunya faktor
penyebab terjadinya perang salib? Jika ditinjau lebih jauh, unsur agama atau religiusitas tidak
menjadi satu-satunya faktor terjadinya perang salib yang merupakan perang agama terdasyat
sepanjang sejarah tersebut. Faktor ekonomi dan politik masyarakat Eropa pada masa itu juga
perlu ditinjau dan dilihat relasinya dengan peristiwa perang salib. Hal ini sesuai dengan
pernyataan syukur [CITATION Syu14 \n \t \l 1057 ], bahwa untuk mengetahui penyebab
terjadinya perang salib tidak hanya ditinjau sebatas unsur agama saja tetapi perlu dilakukan
sebuah analisis mengenai keadaan masyarakat Eropa pada masa tersebut. Terdapat setidaknya
dua faktor yang turut mengambil bagian dalam terjadinya perang salib, yaitu faktor ekonomi
dan Politik Eropa.
2
MARIA APRIANI DHAE | 00000010586
Ditinjau dari faktor ekonomi,
keinginan bangsa Eropa untuk menguasai jalur
perdagangan Laut Tengah hingga ke arah Timur Laut Merah menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan pasukan Eropa ingin menguasai wilayah-wilayah Timur yang telah dikuasai
oleh kaum Muslimin melalui perang salib [ CITATION Red93 \l 1057 ]. Selain faktor agama,
lapisan masyarakat kurang mampu Eropa dengan kehidupan ekonomi yang jauh dari baik
termotivasi untuk menjarah daerah-daerah Islam yang akan dikuasai nantinya melalui perang
salib [ CITATION Roo17 \l 1057 ]. Hal ini sesuai dengan pernyataan [CITATION Ruc08 \n \t
\l 1057 ], bahwa selain motivasi agama prajurit perang salib termotivasi untuk menguasai
hasil jarahan daerah yang akan mereka kuasai melalui perang salib,mendapat penghapusan
dosa dari gereja, dan sebagai sarana pelarian diri karena telah berbuat jahat. Selain faktor
ekonomi, perang salib juga dilatarbelakangi oleh faktor politik Eropa saat itu. Gereja
Ortodoks Timur yang tidak mengakui Paus sebagai kepala seluruh gereja di Eropa dan
mengatur praktek Kekristenannya sendiri menimbulkan ketegangan antara Kekristenan di
wilayah Timur dan wilayah Barat, hingga tahun 1504 kedua pihak memproklamasikan
perpecahan secara resmi [ CITATION DeJ97 \l 1057 ]. Namun keadaan berubah ketika
Bangsa Turki Saljuk menguasai Kekaisaran Byzantin yang memaksa Kaisar Byzantin untuk
meminta bala bantuan kepada Paus. Permintaan ini direspon secara baik oleh Paus, dengan
tujuan memperluas kekuasaannya di wilayah Timur dan memperbaiki hubungan yang telah
rusak di antara Gereja Timur dan Gereja Barat.
Berdasarkan analisis penyebab terjadinya perang salib di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa perang salib tidak hanya dilatarbelakangi oleh faktor agama antara umat
Kristen dan Muslim, tetapi juga dilatarbelakangi oleh faktor politik dan ekonomi masyarakat
Eropa saat itu yang juga menjadi penggerak bagi Paus Urbanus II untuk mengangkat senjata
dan menyerukan perang salib. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lincoln, dkk [CITATION
Lin06 \n \t \l 1057 ], bahwa perang salib yang terjadi tidak terlepas dari dimensi religius
tetapi juga tidak terlepas dari semangat peperangan, dimensi ekonomi, dan dimensi politik
bangsa Eropa masa itu.
Pandangan masyarakat dunia dan ahli sejarah mengenai perang salib telah melahirkan
berjuta-juta buku yang terbatas pada penyebab perang salib ditinjau dari dimensi religius. Hal
ini menyebabkan masyarakat dunia, terutama para pelajar yang sejak dini ditanamkan
mindset bahwa unsur agama merupakan satu-satunya faktor penyebab perang agama terbesar
dalam sejarah, akibatnya sejak dini masyarakat dunia terutama para pelajar memiliki mindset
permusuhan antar agama terutama antara umat Muslim dan umat Kristen. Hal ini terbukti
dengan maraknya kasus konflik antar agama di Indonesia, seperti konflik Poso [ CITATION
3
MARIA APRIANI DHAE | 00000010586
Sub16 \l 1057 ] dan pembakaran masjid di Tolikora Papua [ CITATION Her15 \l 1057 ] yang
merupakan dua dari sekian banyak konflik agama yang terjadi di Indonesia. Masyarakat
dunia cenderung berpikir
Konflik agama yang terjadi terutama antara umat Muslim dan Kristen seharusnya bisa
diminimalisir dengan pendidikan yang benar melalui pemahaman guru dan pembelajaran
yang benar kepada siswa, terutama bagi seorang guru Kristen dalam menyampaikan materi
perang salib karena guru berperan sebagai gembala yang membawa siswa pada suatu
pemahaman yang benar mengenai Kristus [CITATION Van06 \p 44 \l 1057 ], sehingga
pemahaman siswa mengenai perang salib tidak hanya terbatas dalam dimensi agama saja,
tetapi juga meninjau faktor-faktor lain yang turut mengambil kontribusi terjadinya perang
salib untuk menghindari tersusunnya mindset bahwa agama yang satu lebih baik
dibandingkan agama lainnya, tetapi justru melihat dosa sebagai sesuatu yang menghancurkan
dan tidak pantas untuk dihidupi karena sebagai anak Allah yang telah ditebus dengan darahNya yang mahal, sudah seharusnya kita kudus sebab Allah adalah Kudus (1 Pet 1:16).
4
MARIA APRIANI DHAE | 00000010586
Daftar Pustaka
Collins, M., & Price, M. A. (2006). The Story of Christianity. Yogyakarta: Kanisius.
De Jonge, C., & End, T. V. (1997). Sejarah Perjumpaan Gereja dan Islam. Jakarta: Sekolah
Tinggi Teologi.
Herawati, Y. (2015, Juli 20). Pembakaran Masjid di Tolikara Picu Konflik Agama di Papua.
Dipetik
Januari
26,
2017,
dari
Berita
Benar:
http://www.benarnews.org/indonesian/berita/pembakaran_masjid_papua_memicu_ko
nflik-07202015182625.html
Iqbal, A. (2010). Perang-perang Paling Berpengaruh di Dunia. Yogyakarta: Jogja Bangkit
Publisher.
Lincoln, H., Leight, R., & Baigent, M. (2006). Holy Blood, Holy Grail (II ed.). Jakarta: Ufuk
Press.
Nasution, H. (1985). Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek Jilid I. Jakarta: UI Press.
Redaksi, D. (1993). Ensiklopedia Islam. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve.
Rooney, R., & Miller, A. (t.thn.). The Crusades: Motivations, Administration, and Cultural
Influence.
Dipetik
Januari
26,
2017,
dari
The
Newberry
Web
site:
http://dcc.newberry.org/collections/the-crusades-motivations-administration-andcultural-influence
Ruck, A. (2008). Sejarah Gereja Asia. Jakarta: Gunung Mulia.
Ruck, A. (2008). Sejarah Gereja Asia. Jakarta: Gunung Mulia.
Subarkah, M. (2016, Agustus 1). Neraka Poso: Konflik Islam-Kristen, Warga Keturunan,
Santoso, dan Tibo. Dipetik Januari 26, 2017, dari Nasional Republika News:
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/16/08/01/ob7tmj385-nerakaposo-konflik-islamkristen-warga-keturunan-santoso-dan-tibo
Syukur, S. (2011). PERANG SALIB DALAM BINGKAI SEJARAH. Jurnal Al- Ulum, 189204.
Syukur, S. (2014). Perang Salib dalam Bingkai Sejarah. Jurnal Rihlah, II(1).
Van Brummelen, H. (2006). Berjalan dengan Tuhan di dalam Kelas: Pendidikan Kristiani
untuk Pembelajaran. Jakarta: Universitas Pelita Harapan.
5
MARIA APRIANI DHAE | 00000010586
6