METODE PRO 3C FOR 3P UPAYA PERLINDUNGAN

METODE PRO 3C FOR 3P
UPAYA PERLINDUNGAN HAK PETANI KELAPA SAWIT
DAN PERKEBUNAN BERKELANJUTAN DI KALIMANTAN BARAT
Created by: Felicia Putri
Hampir setengah dari populasi dunia bermata pencaharian sebagai petani, baik sebagai petani
penggarap yang memiliki lahan sendiri dan lahan sewa, maupun buruh tani. Hasil tani dan
kebun pun menjadi sangat penting karena menyangkut pangan dan keberlangsungan hidup
umat manusia. Pangan bisa menjadi senjata (food weapon), ketika petani mogok
memproduksi dan menolak mendistribusikannya. Hal ini sangat berbahaya mengingat perang
pangan bisa terjadi dan mengancam keamanan dunia.
Hingga hari ini pun, Indonesia masih merupakan negara agraris dimana pertanian menjadi
pilar penting kehidupan. Data BPS tahun 2013 menunjukkan bahwa dari 114 juta jiwa tenaga
kerja Indonesia, 35% di antaranya bekerja di sektor pertanian. Pertanian bukan hanya
memainkan peran sentral dalam kedaulatan pangan, namun juga mendominasi pemasukan
devisa negara.
Namun, kenyataan pahit dirasakan oleh pahlawan pangan dunia. Fakta menyatakan bahwa
80% dari orang yang kelaparan ada di pedesaan, dan 50% adalah kaum tani. Secara historis
dan geografis, petani juga menderita diskriminasi dan pelanggaran hak asasi yang berulang
dan klasik. Pemerintah yang berdaulat kerap kali mempercayakan lahan kepada perusahaan
besar dan mengorbankan petani kecil yang menggantungkan kehidupannya pada pertanian.
Selain itu, konflik agraria tak pernah diusut sampai tuntas. Liberalisasi, deregulasi, dan

korporatisasi didengungkan untuk mendukung efisiensi dan pertumbuhan ekonomi.
Akibatnya, jutaan petani hidup dalam kemiskinan dan kelaparan. Semua bukan semata-mata
karena jumlah pangan yang ada tidak cukup, tapi karena sumber pangan dan distribusinya
didominasi oleh perusahaan transnasional yang mementingkan ekspor dibanding mencukupi
kebutuhan dalam negeri.
Hal yang sama juga terjadi pada petani Kalimantan Barat, khususnya petani sawit yang
dijebak dalam kemitraan inti-plasma dan pemerintah yang memperjualbelikan Izin Usaha
Perkebunan (IUP). Meskipun perkembangan ekonomi kelapa sawit saat ini sangat pesat,
namun struktur perkebunan tidak berbeda jauh dari masa kolonial. Jika dahulu penjajah
Belanda yang menguasai perkebunan di Indonesia, hari ini perusahaan swasta dan asing yang

memonopolinya. Masyarakat dan petani pun masih menjadi buruh di tanahnya sendiri. Petani
perkebunan sawit hanya menjadi penyedia bahan baku industri dengan harga yang tidak bisa
mereka tentukan.
Oleh karena itu, dengan melihat marginalisasi yang dialami oleh petani, kepedulian
masyarakat terhadap hak-hak asasi petani yang dilanggar oleh pemerintah dan perusahaan
besar menjadi sangat penting untuk diwujudkan. Pemerintah juga harus lebih pro aktif
terhadap upaya perlindungan hukum hak-hak petani perkebunan dalam rangka pembangunan
berkelanjutan.


Analisa dan Dukungan terhadap Perkebunan Kelapa Sawit sebagai Awal dari
Sustainable Agriculture
Sejarah awal mula masuknya kelapa sawit ke Indonesia bermula dari 4 pohon sawit pertama
yang dibawa Adrien Hallet, berkebangsaan Belgia dari Congo dan ditanam di Kebun Raya
Bogor untuk mengukur kecocokan iklim dan tanah di Indonesia. Hasil kebun sawit ini
kemudian menjadi cikal bakal perkebunan sawit pertama di Sumatera, SOCFINDO.
Hingga saat ini, pertumbuhan permintaan sawit dari pasar internasional sangatlah besar dan
cenderung meningkat pesat. Pemerintah dan investor besar melihat potensi meraup
keuntungan dari perkebunan sawit. Sehingga, isu pemerintah lebih pro kepada pihak swasta
semakin kencang beredar. Bukti yang jelas pun terlihat dari IUP (Izin Usaha Perkebunan)
yang diperjualbelikan, konversi lahan ke kebun sawit, sektor perkebunan kelapa sawit
berorientasi ekspor untuk memperoleh devisa tanpa terlebih dahulu mencukupi kebutuhan
domestik dan tarik ulur program PIR (Perusahan Inti Rakyat) yang tak kunjung usai, serta
pendistribusian benih transgenik dan hibrida yang tidak bisa diproduksi ulang.
Faktor-faktor tersebut menjadikan perkebunan kelapa sawit dibenci dan ditentang oleh
masyarakat pertanian. Lahan pertanian petani pangan dirampas oleh swasta dengan bantuan
pemerintah. Sebenarnya, bila pemerintah daerah mampu mengakomodir dua pihak yang
berseteru ini, perkebunan kelapa sawit dan pertanian dapat dipertahankan tanpa ada yang
merasa dikorbankan.
Terkait pemanasan global yang isunya disebabkan oleh emisi sawit, Penulis menemukan

fakta yang menyangkalnya. Sebaliknya, perkebunan sawit berpotensi mengurasi emisi GHG

(Green House Gases) khususnya CO2 melalui pengurangan BBF (Bahan Bakar Fosil),
berfungsi sebagai hutan, penyumbang devisa negara melalui industri hilir CPO (Crude Palm
Oil) dan penyerap netto CO2.
Pertama, sawit sebagai penghasil energi yang bisa diperbaharui. Kemampuan perkebunan
kelapa sawit dalam menyerap energi matahari – yang merupakan sumber energi abadi bagi
Bumi dan disimpan dalam energi biomass – dua kali lipat lebih besar dari hutan tropis.
Dikutip dari buku Comparative Eco-Physiology of Palm Oil and Tropical Forest, efisiensi
perkebunan kelapa sawit dalam fotosintesis dan konversi radiasi sebesar 3,18% dan 1,68g/m.
Sedangkan hutan tropis hanya 1,73% dan 0,86g/m. Kelapa sawit bisa menyerap sampah emisi
CO2 dan menukarnya dengan Bahan Bakar Nabati (BBN) dari minyak sawit yang menjadi
alternatif energi murah dan ramah lingkungan. Konsumsi BBF (Bahan Bakar Fosil) dapat
direduksi secara perlahan.
Kedua, perkebunan kelapa sawit berfungsi sebagai hutan. Kelapa sawit memiliki perakaran
padat dan berlapis serta permukaan tanah mengandung banyak bahan organik (batang,
pelepah) yang berfungsi sebagai konservasi tanah dan air seperti mengurangi aliran air
permukaan (water run-off). Kemampuan fotosintesis dan respirasi tanaman dalam mendaur
ulang CO2, O2 dan H2O pun lebih baik dibanding hutan tropis – sebagaimana dijabarkan
dalam poin pertama -.

Ketiga, sebagai penyumbang devisa negara melalui industri hilir CPO (Crude Palm Oil).
Hasil panen kelapa sawit mengalami peningkatan pesat di pasar internasional dan hal ini
menjadi pendapatan potensial bagi negara sebagai cadangan devisa. Namun, pemerintah tetap
harus menjaga kuota ekspor, agar konsumsi domestik terpenuhi dulu, barulah mengekspor
kelebihannya. Selain itu, pemerintah sudah seharusnya lebih cerdas dalam kebijakan ekspor.
Selama ini, proses produksi hanya sampai industri hulu, kemudian minyak mentah
dipasarkan. Fakta kronis menunjukkan bahwa Indonesia menjual minyak mentah pada
importir dan kemudian mengimpor minyak siap pakai dari pengimpor tersebut. Bila produsen
dan pemerintah mau mengolah sampai industri hilir dengan produk CPO siap pakai, negara
dapat meraup devisa yang lebih besar.
Keempat, sebagai penyerap netto CO2. Penghitungan penyerapan netto CO2 (Henson:1999)
diukur dari selisih fotosintesis dan respirasinya. Perkebunan kelapa sawit mampu menyerap
netto 64,5 CO2, sedangkan hutan alam tropis hanya netto 42,4. Hal ini dikarenakan

pertumbuhan biomas kelapa sawit sampai umur 25 tahun. Hutan alam tropis biasa hanya
sekitar 7-10 tahun (umur dewasa), kemudian fotosintesisnya akan berhenti atau mengecil.
Dengan ini, konversi hutan dewasa menjadi perkebunan bersifat afforestasi, yakni
membangun fungsi ekologis hutan di luar kawasan hutan.
Perkebunan sawit telah menjadi solusi implisit untuk berbagai masalah global dan nasional.
Dengan alternatif biofuel lewat minyak nabatinya dan kemampuan menyerap netto CO 2

terbesar, serta fungsi hutan sebagai sumber daya alam diperbaharui, perkebunan kelapa sawit
sangat mendukung kelangsungan sustainable agriculture yang dicanangkan oleh Indonesia.
Namun, pemerintah perlu menjaga kuota perkebunan kelapa sawit agar keseimbangan dengan
pertanian tetap terjaga. Karena, pada dasarnya, bukan seberapa besar lahan yang ada, tapi
seberapa tinggi kemampuan sumber daya manusianya dalam hal menciptakan kelestarian dan
keselarasan dengan alam demi menjaga keseimbangan ekosistem.
Namun, empat fungsi alternatif ini tidak menjadi alasan bagi perusahaan kelapa sawit
melakukan ekspansi besar-besaran. Karena, lahan masih dibutuhkan untuk produk pertanian.
Bilamana pemerintah tidak berperan sentral dalam pembatasan konversi lahan, konflik
agraria klasik akan terulang tanpa solusi pemecahan yang jelas. Kedaulatan pangan juga
terancam, karena kelapa sawit tidak berfungsi sebagai pasokan pangan global.

Tinjauan Kasus Pelanggaran Hak – Hak Petani Perkebunan Kelapa Sawit di Kal-Bar
Kesadaran akan pentingnya kualitas sumber daya manusia dalam mengolah SDA menjadi
tamparan bagi pemerintah dan perusahaan swasta yang kerap kali melanggar hak asasi petani.
Akibatnya, ratusan juta kaum tani hidup dalam kemelaratan dan malnutrisi. Hal ini
disebabkan oleh kapitalisasi, deregulasi dan korporatisasi yang juga didukung oleh WTO.
Sumber perkebunan banyak dikuasai oleh petani inti dan perusahaan transnasional. Petani
plasma tidak lagi memiliki nilai tawar dalam menentukan kehidupan dan haknya.
Neoliberalisme pun secara tidak langsung diwujudkan oleh orang kita sendiri.

Privatisasi tanah, layanan publik di pedesaan yang berantakan, kebijakan yang mendukung
komersialisasi produksi pertanian oleh petani kecil dan menengah, dukungan kuat atas ekspor
hasil perkebunan berbasis industri, dorongan terhadap liberalisasi perdagangan produksi
perkebunan dan kebijakan ketahanan pangan berbasis perdagangan internasional mendorong
petani-petani plasma ke arah kepunahan.

Petani sawit kehilangan benih lokal karena dipaksa untuk membeli benih yang dihasilkan
perusahaan multinasional demi keuntungan mereka semata. Perusahaan menjual benih
transgenik dan hibrida yang bermutu buruk, merusak tanah, dan tidak bisa diproduksi ulang.
Mereka memaksakan perkebunan monokultur yang menyebabkan punahnya berbagai spesies
dan keanekaragaman hayati. Hal ini didasari orientasi keuntungan agar semakin banyak benih
yang bisa dijual pada petani plasma. Sadar akan hal ini, pemerintah tak kunjung turun tangan,
namun malah lebih percaya kepada perusahaan transnasional.
Dalam Deklarasi Hak Asasi Petani Menuju Kovenan Internasional, FSPI (Federasi Serikat
Petani Indonesia) merumuskan hak asasi petani yang disetujui dalam Konferensi Regional
Asia Tenggara dan Asia Timur, yaitu sebagai berikut:
1. Hak atas Kehidupan yang Layak,
2. Hak Atas Tanah dan Teritori,
3. Hak Atas Kebebasan Budidaya Tanaman,
4. Hak Atas Modal dan Sarana Produksi,

5. Hak Atas Akses Informasi dan Teknologi,
6. Hak Atas Kebebasan Menentukan Harga dan Pasar Produksi,
7. Hak Atas Perlindungan Nilai – Nilai Budaya,
8. Hak Atas Keanekaragaman Hayati,
9. Hak Atas Kelestarian Lingkungan,
10. Hak Atas Kebebasan Berorganisasi.
Namun, Deklarasi ini tidak dipatuhi oleh sejumlah negara. Jumlah kasus pelanggaran HAP
(Hak Asasi Petani) meningkat dari 51 di tahun 2010 menjadi 144 di tahun 2011 dan 169 di
tahun 2012. Semisalnya kasus di Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, Kal-Bar, yang
melibatkan petani/masyarakat dengan PT. Sintang Raya, menyebabkan akses hak atas tanah
rakyat sekitar untuk penghidupan tidak terpenuhi untuk lahan 1.000 hektar. Ada pula kasus di
Ketapang pada Februari 2011, PT. Bangun Nusa Mandiri merusak wilayah adat 350 ha dan 2
orang dikriminalisasi. Hal yang sama pun terjadi di Kabupaten Bengkayang dimana PT. CP
mengambil 70 ha lahan petani plasma secara paksa.
Kasus penelantaran kebun sawit yang dilakukan oleh PT. Borneo Ketapang Permai (BKP)
telah menyengsarakan kurang lebih 2.000 petani plasma dalam kurun waktu 14 tahun. PT.
BKP dinyatakan lalai dalam pengembangan kebun di Kecamatan Beduai dan Kembayan,
Kab. Sanggau, Kal-Bar. Masyarakat menyerahkan 7.000 ha dan hanya 500 ha kebun yang

dioptimalkan secara produktif. PT. BKP juga tidak adil dalam pembagian hasil panen, yaitu

80% untuk perusahaan dan 20% untuk petani. Itu pun setelah dikurangin biaya operasional.
Petani ingin mengambil alih lahan namun selalu terbentur masalah IUP, walau sebenarnya
PT. BKP tidak memiliki HGU (Hak Guna Usaha). Tapi, mereka berhasil menguasai tanah
dan mendapat bekingan dari aparatur pemerintah daerah.
Ketua Dewan Pengurus Daerah Asosiasi Kakao Kalbar, Sy. Mochtaruddin mengungkapkan
bahwa petani mengalami kemunduran, salah satu penyebabnya ialah infrastruktur yang tidak
menunjang. Ia mengatakan bahwa petani sulit maju karena hasil perkebunan dijual melalui
mata rantai, atau bertangga-tangga, baru sampai ke pembeli
Pemerintah pusat yang berkoordinasi dengan pemerintah daerah pun tidak serius dalam
menjalankan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) dan Larasita (Layanan Rakyat
untuk Sertifikasi Tanah). Praktis tidak ada upaya serius dan sistematis yang bersifat problemsolving. Sebab, kedua program tersebut bersifat administratif, dan sertifikasi yang dibagikan
tidak disertai dengan tanah konkrit yang dijanjikan. Karenanya, SPI (Serikat Petani
Indonesia) mendesak pelaksanaan program Pembaruan Agraria Sejati untuk kedaulatan
pangan dan pengentasan kemiskinan dengan merealisasikan janji redistribusi tanah pada
rakyat miskin. Kasus ini terjadi pada 50 petani transmigran asal Kal-Bar yang dijanjikan
tanah pada program PIR (Perkebunan Inti Rakyat) di era Soeharto, namun tanah tidak pernah
dikonversi dan dialihtangankan, sehingga mereka melakukan protes di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan.
Praktik manajemen satu atap yang mengombinasikan petani inti-plasma pun hanya jebakan
agar perusahaan tidak mengeluarkan biaya investasi besar untuk penyediaan dan pengolahan

lahan, terlepas dari kesibukan produksi utama, mendapat hak monopoli pada komoditas yang
telah disepakati, dan isu pembangunan masyarakat. Jadi, seakan-akan, perusahaan
agroindustri berupaya meningkatkan derajat kehidupan sehingga mendapat citra positif dan
memudahkan mereka mendapat fasilitasi kredit lunak dari perbankan karena Corporate
Social Responsibility (CSR) terpenuhi.
Selain itu, banyak pula undang-undang dan peraturan pemerintah yang bertentangan antara
yang satu dan lainnya. Seperti UU Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007 yang menetapkan
bahwa HGU bisa mencapai 95 tahun turunannya di Sumbar melalui Perda Pemanfaatan
Tanah Ulayat melanggar UUPA No.5 Tahun 1960. Ada pula UUD 1945 pasal 33 ayat 2 dan

3, dimana dinyatakan bahwa cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara; dan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fakta
yang terjadi di lapangan bertolak belakang dengan ketentuan konstitusi, dimana 60%
perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat dimiliki oleh asing. Masyarakat asli dijajah
oleh perusahaan asing di rumahnya sendiri.
Ketika perkebunan kelapa sawit sedang menunjukkan perkembangan yang sangat bagus
dengan peningkatan permintaan pesat dari pasar internasional dan memiliki nilai jual strategis
di masa depan karena sumber daya alternatifnya, bagaimanakah nasib petani plasma yang
berjuang memproduksi dan menghasilkannya? Dengan pengorbanan dan penderitaan yang

dihadapi, semakin sejahtera dan makmurkah kehidupan mereka?

Metode PRO 3C for 3P – Solusi Perlindungan Hak Petani Sawit dan Perkebunan
Berkelanjutan
Indonesia punya banyak peraturan dan perundang-undangan yang melindungi hak-hak petani,
seperti Undang – Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria
sebagai implementasi konstitusi Indonesia pasal 33 UUD 1945. Ada pula TAP MPR No.
IX/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Yang terbaru, ada
RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (RUU Perlintan) yang baru saja disahkan
menjadi UU No. 19 Tahun 2013 oleh DPR RI di bulan Juli 2013 lalu.
Namun, tak banyak di antaranya yang berfungsi dengan baik. Banyak pelanggaran dan kasus
yang hanya merujuk pada satu pihak sebagai korban, yaitu petani. Pengabaian peraturan oleh
perusahaan besar tidak direspon oleh pemerintah berdaulat. Akibatnya, permasalahan selalu
terkait persoalan klasik yang berulang. Sesungguhnya, 1 peraturan sudah cukup, bila mampu
dioptimalkan dan dipatuhi dengan taat. Perundang-undangan yang terlalu banyak malah
mengakibatkan tumpang tindih dan kebingungan pelaksanaan.
Hanya 1 hal yang perlu dilakukan pemerintah, yaitu pro pada rakyat. Penulis mempercayai
bahwa dengan hal itu saja, banyak perubahan yang bisa diwujudkan. Ketika pemerintah
berorientasi kepada kesejahteraan rakyat, perusahaan transnasional takkan lagi bertindak


sewenang-wenang. Hasil panen sawit pun takkan langsung diekspor karena memprioritaskan
kebutuhan domestik terlebih dahulu.
Oleh karena itu, Penulis merumuskan metode 3C sebagai langkah awal pemerintah untuk
mengevaluasi diri dan melindungi hak petani sawit di Indonesia, yakni sebagai berikut:
Consistency, merujuk pada ketetapan dan keyakinan pemerintah untuk mempertahankan
keselarasan kebijakan yang telah dirumuskan. Ketidakkonsistenan pemerintah terlihat dari
banyaknya perundang-undangan yang disahkan, namun nihil hasilnya. Keseriusan dan
kepedulian sangat diperlukan dalam problem-solving. Semisalnya, program Go Organic yang
dicanangkan pemerintah di tahun 2010 dan PIR (Perkebunan Inti Rakyat) di Orde Baru.
Kedua program ini hanya semarak di awal, tapi tak kedengaran lagi kabarnya hingga kini.
Konflik agraria pun tak berujung pada penyelesaian dan rekonsiliasi, namun tergantunggantung nasibnya. Pada awalnya, pelaksanaan berjalan baik, namun lama-kelamaan,
pemerintah lepas tangan dan tidak memberikan kejelasan terhadap kelangsungan program.
Seakan-akan hanya untuk pencitraan positif di tahun-tahun awal, dan kemudian mulai
merubah orientasinya ke arah kepentingan pribadi dan golongan. Penulis menyarankan
supaya pemerintah fokus pada 1 atau 2 program, namun bersungguh-sungguh
mewujudkannya hingga tuntas.
Co-Operation, artinya membangun koordinasi dan kerjasama yang padu antar petani plasma,
perusahaan agroindustri, pemerintah dan pihak perbankan. Pemerintah harus berlaku sebagai
penengah yang sentral dan tegas agar terjalin kemitraan tanpa penyelewengan. Sebab pada
dasarnya, ada banyak potensi dari sinergi ini yang dapat dioptimalisasi. Seperti bagi petani
plasma, takkan ada benturan persaingan dengan petani inti, kemudahan kredit dari perbankan,
kesempatan untuk menggunakan teknologi dalam proses produksi, serta akses ke pasar
internasional. Bagi perusahaan agroindusti, yakni efisiensi dalam proses produksi, kepastian
suplai, menghindarkan diri dari spekulan sawit, dan corporate social responsibility.
Kerjasama yang apik juga dibutuhkan untuk menghubungkan lembaga-lembaga pemerintah
dan non-pemerintah, serta organisasi masyarakat. Penulis cenderung menyetujui penyerahan
peran yang lebih besar kepada ormas, karena mereka terbukti konsisten pada tujuan dan
berorientasi pada kepentingan umum. Bentuk pula kementrian dan pengadilan yang terfokus
pada pangan dan konflik agraria. Namun, poin terpenting ialah keseimbangan dan konsistensi
dalam menjaga keharmonisan di antara para pelakunya.

Creativity, artinya kemampuan pemerintah dalam mengakomodir aspirasi rakyat/ormas dan
mewujudkan kebijakan revitalisasi perkebunan. Misalnya, melalui pertanian berkelanjutan
berbasis keluarga yang dibeli oleh pemerintah dengan harga negosiasi tiap periodenya, sistem
perkebunan agroekologi dan pasar pangan lokal yang berorientasi pada kecukupan konsumsi
dalam negeri, kemudian konsep agrowisata sebagai salah satu kombinasi pariwisata dan
perkebunan dalam upaya menyejahterakan masyarakat adat sekitar dan tambahan pemasukan
negara, dimana perkebunan dirancang sedemikian rupa – tetap dalam basis perkebunan hijau
- sehingga menarik untuk dikunjungi oleh turis. Kemudian, lebih kreatif dalam pengolahan
kelapa sawit agar berlanjut sampai industri hilir dan pembatasan ha lahan untuk tiap KK dan
perusahaan agroindustri. Dengan kreativitas kebijakan, hak-hak petani dalam berorganisasi,
hidup yang layak, kelestarian lingkungan dan nilai – nilai kebudayaan dapat tetap terjaga.
Metode 3C diorientasikan untuk perkebunan berkelanjutan yang berbasis pada 3P, yaitu:
1. Profit, artinya kebijakan pemerintah tidak semata-mata hanya untuk perlindungan hak
asasi petani, tapi juga menyangkut hak ekonomi masyarakat sekitar yang
menggantungkan kehidupannya pada perkebunan sawit. Selain itu, tambahan devisa
dan pemasukan negara melalui ekspor produk industri hilir dan agrowisata juga
menjadi pilihan cermat.
2. People, artinya metode 3C diterapkan dengan prinsip berkeadilan sosial yang
memberdayakan dan menyejahterakan masyarakat, khususnya petani plasma tak
bertanah.
3. Planet, artinya ikut andil dalam pelestarian lingkungan hidup dan menjaga planet
Bumi agar berlanjut untuk generasi berikutnya.
Metode 3C dalam perkebunan kelapa sawit berkelanjutan diyakini akan berfungsi
sebagaimana mestinya bila semua pihak mengimplementasikannya dengan bijak dan
jujur, niscaya akan berujung pada peningkatan kualitas profit, people dan planet kelak.
Penutup
Bidang perkebunan telah menjadi pilar kehidupan Indonesia yang strategis dan sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi saat ini. Namun, praktek liberalisasi,
deregulasi dan korporatisasi yang mendapat bekingan pemerintah telah membuat bidang

perkebunan ditentang oleh banyak pihak karena permasalahan konversi lahan dan
pemanasan global.
Konflik agraria kerap terjadi dan korban utama tentulah petani plasma yang tidak
mempunyai posisi tawar di mata perusahaan agroindustri. Pelanggaran hak asasi petani
berulang kali terjadi dan tidak menemukan solusi yang tepat. Bila hal ini terus dibiarkan,
perang pangan dan demonstrasi anarkis oleh petani plasma bukan tak mungkin untuk
terjadi.
Oleh karena itu, metode 3C diyakini sebagai langkah tepat dalam mengevaluasi kebijakan
pemerintah yang membelot dan sebagai pedoman dalam perumusan kebijakan
selanjutnya. Consistency, Co-Operation dan Creativity mempunyai kekuatannya masingmasing untuk mengarahkan pemerintah dalam bertindak dan memutuskan. Niscaya, akan
terwujud profit berkepanjangan tanpa mengorbankan pihak lain, people yang berkualitas
dan beredukasi tinggi, serta planet hijau dengan basis perkebunan berkelanjutan.