IMPLEMENTASI PRINSIP CEPAT, SEDERHANA DAN BIAYA RINGAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA HUBUNGAN INDUSTRIAL DI INDONESIA Maswandi Fakultas Hukum Universitas Medan Area maswandi128@gmail.com ABSTRACT - PRINSIP CEPAT SENGKETA INDUSTRIAL

  

IMPLEMENTASI PRINSIP CEPAT, SEDERHANA DAN BIAYA RINGAN

DALAM PENYELESAIAN SENGKETA HUBUNGAN INDUSTRIAL DI

  

INDONESIA

Maswandi

  Fakultas Hukum Universitas Medan Area

  

ABSTRACT

The genesis of law No. 2 of 2004 Concerning Industrial Relations Dispute

  

Settlement can not be separated from the Indonesian government’s efforts to meet the

aspirations of people who crave the industrial relations dispute settlement to avoid

protracted and can be completed as simple as possible and at a low cost. Aspirations of the

people is of course not independent due during the industrial relations dispute settlement

through Law No. 22 of 1957 on the Settlement of Labour Dispute take quite some time until

many years and involve many agencies and require no small cost, so that the judicial

settlement of disputes with the principle of last, simple and low cost as desired Law 48 of

2009 instead of Law No. 4 of 2004 on Judicial Power has not done well.

  Keywords : Principles Fast, Simple and Cost Lightweigh, Industrial Relations Disputes.

I. PENDAHULUAN

  Pasal 2 ayat 4 UU No. 48 Tahun 2009 sebagai pengganti UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan “Peradilan dilakukan dengan Sederhana,

Cepat dan Biaya Ringan”, jadi semua sengketa dalam ruang lingkup peradilan menganut

prinsip ini, apakah Peradilan Umum yang didalamnya terdapat pengadilan-pengadilan khusus diantaranya adalah Pengadilan Hubungan Industrial, atau peradilan-peradilan lain keseluruhannya berada di bawah Mahkamah Agung. Dengan demikian s etiap badan

  

peradilan tetap akan menerapkan prinsip cepat, sederhana dan biaya ringan ini dalam proses

penanganan perkara sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dengan adanya prinsip-prinsip tersebut

dimaksudkan agar para pihak yang bersengketa memperoleh kemanfaatan, kepastian hukum

serta keadilan dalam menyelesaikan perkara di pengadilan terutama Pengadilan Hubungan

Industrial.

  Prinsip cepat dimaksudkan agar dalam penanganan perkara dapat diselesaikan dalam

waktu yang singkat, memang berapa lama waktu singkat itu tidak ditentukan dalam peraturan

manapun, namun dapat dirasakan sesuai dengan rasa kepatutan dimasyarakat, sehingga tidak

memakan waktu yang lama dan berlarut-larut seolah-olah perkara yang dihadapi tidak

  

berujung. Sedangkan prinsip sederhana berkaitan dengan bukti dan instansi yang terkait dalam

penyelesaian sengketa itu sendiri yang memiliki tujuan agar dalam proses persidangan tidak

berbelit-belit dan mudah diselesaikan sehingga dengan sendirinya penerapan prinsip cepat

dapat terlaksana. Sementara mengenai prinsip biaya ringan tergantung dari kedua prinsip

sebelumnya yaitu jika dalam penanganan perkara dapat diselesaikan dengan cepat dan tidak

berbelit-beli dengan pembuktian dan proses perkara yang sederhana dengan tidak banyak

melibatkan instansi lain, maka dengan sendirinya biaya akan ringan, apalagi diperjelas didalam

ketentuan bahwa dalam penanganan perkara tidak dikenakan suatu pembayaran apapun. Jadi

terhadap biaya ringan selain dari apakah penanganan perkara tersebut cepat dan tidak berbelit-

belit, baik terhadap proses maupun pembuktiannya, terhadap penanganan perkaranya tidak

dikenakan biaya apapun atau dengan biaya yang murah. Mengenai biaya ini biasanya dalam

setiap beracara di pengadilan pasti diperlukan, apalagi dalam menangani perkara hubungan

industrial secara tegas dinyatakan dalam Pasal 58 UUPPHI pihak-pihak yang berperkara tidak

dikenakan biaya yang nilai gugatannya dibawah Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta).

Sebelum adanya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Pemungutan

Biaya Perkara, pembayaran biaya perkara langsung melalui pengadilan yang bersangkutan,

tetapi setelah adanya Surat Edaran tersebut dikeluarkan pembayaran biaya perkara dibayarkan

melalui bank yang telah ditunjuk oleh pengadilan yang bersangkutan.

  Salah satu pertimbangan hukum lahirnya Undang-Undang Nomor : 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU-PPHI) pada huruf b menyebutkan bahwa “Dalam era industrialiasasi, masalah perselisihan hubungan

  

industrial menjadi semakin meningkat dan kompleks, sehingga diperlukan institusi dan

mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang Cepat, Tepat, Adil dan

Murah”. Adanya kata Cepat dan Murah membuktikan bahwa undang-undang ini telah

  mengakomodir prinsip Cepat dan Biaya Ringan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat 4 UU No. 48 Tahun 2009 sebagai pengganti UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, sedangkan terhadap prinsip Sederhana dapat dilihat secara normatif dalam Pasal 83 UUPPHI yang menentukan bahwa setiap gugatan cukup hanya melampirkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi. Dengan demikian secara normatif UUPPHI telah mengimplementasi ketiga prinsip tersebut sekaligus.

  Penerapan prinsip cepat, sederhana dan biaya ringan sebagaimana tercantum dalam pertimbangan dan norma hukum disebabkan karena penyelesaian sengketa hubungan industrial sebelum berlakunya UU PPHI ini melalui UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dapat memakan waktu yang cukup lama (tidak cepat) dan berbelit-belit (tidak sederhana). Di katakan lama disebabkan tidak terdapatnya pengaturan pembatasan waktu dalam penyelesaian sengketa hubungan industrial ini, sehingga kadangkala bisa memakan waktu sampai bertahun-tahun bahkan puluhan tahun, dan mengingat tidak adanya pembatasan waktu ini, tidak menapik kemungkinan dalam penyelesaian sengketa hubungan industrial ini bagaikan tidak berujung dan tidak berakhir. Sementara dikatakan berbelit-belit disebabkan banyaknya lembaga yang terlibat dalam penyelesaian sengketa hubungan industrial ini, mulai dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4-D), Lembaga Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4-P), Menteri Tenaga Kerja, Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dan Mahkamah Agung.

  Lama dan berbelit-belitnya penyelesaian sengketa hubungan industrial ini tentu akan merugikan semua pihak, terutama bagi pekerja/buruh itu sendiri yaitu selain pekerja tidak dapat menikmati hak-haknya yang telah bekerja pada perusahaan/majikan selama bertahun- tahun atau puluhan tahun, pekerja juga dalam berperkara mengeluarkan biaya yang tidak ringan karena harus bolak balik menghadiri persidangan dan mengurus perkaranya. Dengan demikian boleh dikatakan penyelesaian sengketa hubungan industrial ini ternyata bertentangan dengan prinsip cepat, sederhana dan biaya ringan, untuk itulah keberadaan UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI ini sangat diperlukan.

  Masyarakat Indonesia tentu merasa bergembira dengan lahirnya UU-PPHI, terutama pemerintah, pengusaha/majikan dan pekerja/buruh yang sangat berharap dengan keberadaan UU-PPHI ini agar dapat menyelesaikan sengketa hubungan industrial dalam waktu yang singkat dan tidak berbelit-belit serta biaya yang ringan. Menurut ketentuan dari industrial secara teori sudah harus selesai dalam jangka waktu 110 hari (± 3 bulan 10 hari) mulai dari Mediasi melalui Dinas Tenaga Kerja (Pasal 15) selesai selama 30 hari, Pengadilan Hubungan Industrial (Pasal 103) selesai selama 50 hari, sampai pada Mahkamah Agung (Pasal 115) selesai selama 30 hari. Namun dalam praktiknya ternyata kasus-kasus yang berkaitan dengan hubungan industrial khususnya dalam sengketa Pemutusan Hubungan Kerja memakan waktu yang lama dan berbelit-belit, seperti misalnya dalam kasus perkara Nomor : 76/G/2007/PHI.Mdn antara Erwin Sihombing lawan PT

  

Rimba Melati, perkara ini memakan waktu sudah 8 (delapan) tahun dan sampai saat

  sekarang inipun masih belum diputus oleh Mahkamah Agung atas Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh perusahaan/majikan, jadi seolah-olah terhadap kasus hubungan industrial khususnya terhadap perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak memiliki batas waktu sebagaimana berlakunya UU No. 22 Tahun 1957. Kalaulah demikian berarti prinsip cepat, sederhana dan biaya ringan sebagaimana yang diinginkan menurut UU No. 48 Tahun 2009 dalam praktiknya tidak terlaksana juga sesuai dalam pertimbangan hukum UU-PPHI sebagaimana mestinya.

  Jadi implementasi prinsip cepat, sederhana dan biaya ringan dalam penyelesaian sengketa ketenagakerjaan (sengketa hubungan industrial) di Indonesia boleh dikatakan belum terlaksana. Sejatinya prinsip ini memberi keuntungan bagi pihak-pihak yang berperkara namun antara teori dengan praktik (das sein en das sollen) sangat bertentangan satu sama lain, secara teori normatif sesuai dengan prinsip cepat, sederhana dan biaya ringan dalam penyelesaian sengketa perkara hubungan industrial diharapkan dapat selesai dalam waktu yang singkat dan murah, namun praktiknya ternyata tidaklah demikian, sehingga menimbulkan kekecewaan bagi individu atau kelompok masyarakat khususnya bagi tenaga kerja yang menginginkan kepastian hukum yang cepat dan tidak berlarut-larut.

TUJUAN PENULISAN

  Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui tentang penerapan prinsip cepat, sederhana dan biaya ringan sebagaimana yang ditentukan dalam UU No. 48 Tahun 2009 sebagai pengganti UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman dalam kaitannya dengan penyelesaian sengketa hubungan industrial di Indonesia.

  URAIAN TEORETIS Pemahaman Terhadap Prinsip Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan.

  sebagai tumpuan, sebagai tempat untuk menyandarkan, untuk mengembalikan sesuatu hal

  

  yang hendak kita jelaskaSementara itu menurut Satjipto Rahardjo mengartikan prinsip itu berfungsi sebagai jantungnya peraturan hukum dan ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, yang berarti bahwa peraturan-peraturan hukum

  

  itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebutSedangkan Sudikno Mertukusumo berpendapat bahwa prinsip itu bukanlah peraturan hukum konkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum 1 2 Mahadi, Filsafat Hukum, Suatu Pengantar, Alumni, Bandung, 1991, hlm. 19.

  positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret

  

  Sementara itu perkataan cepat merupakan sesuatu yang berkaitan dengan waktu atau “dalam tenggang waktu yang pantas” mengacu pada “tempo”, cepat atau lambatnya, penyelesaian suatu perkara pengertian sederhana mengacu pada “complicated” penyelesaian suatu perkara yaitu tidak berbelit-belit baik terhadap instansi yang menanganinya maupun terhadap bukti-bukti dalam penangan perkara, sedangkan perkataan “biaya ringan“ mengacu pada banyak atau sedikitnya biaya yang harus dikeluarkan oleh para pencari keadilan dalam menyelesaikan sengketanya didepan peradilan. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Materil Republik Indonesia”. Sedangkan tujuan Negara Hukum Materil (welvaarstaats) atau Negara kesejahteraan (verzorgingstaats) sebagaimana yang telah disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu Negara melindungi seluruh warga Negara Indonesia, menjaga ketertiban umum dan mewujudkan keadilan sosial.

  Prinsip cepat menunjuk kepada jalannya peradilan, terlalu banyak formalitas merupakan hambatan bagi jalannya peradilan. Dalam hal ini bukan hanya jalannya peradilan dalam pemeriksaan di muka persidangan saja, tetapi juga penyelesaian berita acara pemeriksaan di persidangan sampai dengan penandatanganan oleh Hakim dan pelaksanaannya atau pengiriman dan pemberitahuan berkas banding (kasasi) pada para pihak. Tidak jarang perkara tertunda-tunda sampai puluhan tahun karena saksi tidak datang ahli warisnya. Dapat disimpulkan bahwa cepatnya proses peradilan akan meningkatkan kewibawaan pengadilan dan menambah kepercayaan masyarakat kepada pengadilan.

  Prinsip sederhana adalah acara yang jelas, mudah difahami dan tidak berbelit-belit, dan cukup one stop service (penyelesaian sengketa cukup diselesaikan melalui satu lembaga peradilan). Semakin sedikit dan sederhana formalitas-formalitas yang diwajibkan atau diperlukan dalam beracara di muka pengadilan, semakin baik. Terlalu banyak formalitas yang sukar difahami, sehinggga memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran, kurang menjamin adanya kepastian hukum dan menyebabkan keengganan atau ketakutan untuk beracara di muka pengadilan. Sementara itu prinsip biaya ringan dalam beracara di pengadilan maksudnya agar para pihak dalam berperkara dapat memikul dan 3 menjangkaunya, sehingga para pihak dapat memperoleh kepastian hukum dan keadilan sekaligus. Biaya yang tinggi akibat proses yang lama kebanyakan menyebabkan pihak yang berkepentingan enggan untuk mengajukan tuntutan hak kepada pengadilan, akhirnya ketika terjadi peristiwa hukum, pihak yang merasakan dalam berperkara memerlukan biaya yang besar tidak akan mau mengajukan perkaranya ke Pengadilan sebagai upaya mencari keadilan.

  Jadi ketiga prinsip ini, yaitu cepat, sederhana dan biaya ringan merupakan asas yang tidak dapat dipisahkan. Adanya prinsip biaya ringan disebabkan karena dalam penyelesaian perkara tidak berbelit-belit karena baik institusi dan bukti-bukti dalam penyelesaiannya harus sederhana, sedangkan sederhananya suatu perkara tidak terlepas dari seberapa lama waktu yang diberikan oleh ketentuan secara normatif, sehingga ketiga prinsip ini saling mendukung satu sama lainnya, dan yang lebih menariknya lagi bahwa prinsip ini tidak kalah pentingnya dengan prinsip-prinsip lain yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

  Adapun makna dan tujuan prinsip cepat, sederhana dan biaya ringan bukan hanya sekedar menitik beratkan unsur kecepatan dan biaya ringan. Bukan berarti pemeriksaan perkara dilakukan bagaikan sulap dengan menyebut bim salabin atau abra kadabra lalu selesai. Tentu tidak demikian maknanya, asas ini bukan bertujuan untuk menyuruh Hakim agar memeriksa dan memutus perkara dalam tempo satu hari atau dua hari saja. Tujuan asas ini adalah suatu proses yang relative singkat dan tidak memakan jangka waktu lama sampai bertahun-tahun sesuai dengan kesederhanaan hukum acara itu sendiri. Apa yang sudah memang sederhana, jangan dipersulit oleh Hakim ke arah proses yang berbelit-belit dan dalam proses persidangan, akan tetapi tidak terlepas juga proses administrasi peradilan itu sendiri. Sementara bagi Hakim dalam hal ini yang dituntut adalah untuk dapat melakukan penerapan asas ini ialah sikap “moderasi”. Tidak cenderung secara ekstrim melakukan pemeriksaan yang tergopoh-gopoh tak ubahnya sebuah mesin, sehingga jalannya pemeriksaan meninggalkan harkat dan derajat kemanusiaan. Tetapi jangan pula ada kesengajaan untuk dilambat-lambatkan. Lakukan pemeriksaan yang seksama dan wajar, rasional dan objektif dengan cara memberi kesempatan yang berimbang dan sepatutnya

   4 Audi Et Alteram Paterm merupakan suatu asas yang mengandung arti bahwa seorang Hakim yang

mengadili suatu perkara harus mendengarkan keterangan kedua belah pihak, lihat M. Yahya Harahap, Dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang dimaksud dengan sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efesien dan efektif. Sedangkan biaya ringan adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Namun demikian, asas sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara di pengadilan tidak mengenyampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan.

  Sengketa Hubungan Industrial

  Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, jadi hubungan industrial ini adanya keterkaitan secara tripartit, yaitu Pengusaha sebagai pemberi pekerjaan dan kesejahteraan, Buruh sebagai pekerja dengan menerima upah dan memiliki kewajiban dan Pemerintah sebagai pihak yang mewakili masyarakat dengan menetapkan peraturan perundang- undangan ketenagakerjaan serta melakukan pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran peraturan, sehingga ketiga komponen ini saling berinteraksi satu sama lainnya Interaksi antara pemerintah, pengusaha dan pekerja dalam membina hubungan kerja yang

  

  Keterkaitan adanya sengketa dalam hubungan industrial di awali karena terdapatnya suatu perbedaan pendapat antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh disebabkan karena adanya perselisihan hak,

  

  serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaaJadi dalam melaksanakan hubungan industrial ini, pihak pengusaha dan organisasi pengusahanya mempunyai fungsi untuk menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara luas, demokratis, dan berkeadilan. Demikian pula dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruhnya dalam melaksanakan hubungan industrial mempunyai fungsi untuk menjalankan pekerjaan sesuai

  5 Supomo Suparman, Hukum Acara Peradilan Hubungan Industrial, Jala Permata Aksara, Jakarta, 2009, hlm, 3. 6 Lilik Mulyadi dan Agus Subroto, Penyelesaian Perkara Pengadilan Hubungan Industrial Dalam dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, meningkatkan etos

  

  Dalam menjalankan fungsi masing-masing dari pengusaha dan pekerja ini sebagaimana yang telah ditentukan, kadangkala dilanggar oleh salah satu pihak dan akibatnya tentu akan menimbulkan suatu perselisihan (sengketa) diantara mereka. Pihak yang merasa haknya dilanggar dapat menuntut haknya tersebut, demikian sebaliknya. Akhirnya para pihak tidak lagi sependapat dan menganggap hubungan antara mereka tidak harmonis lagi, maka masing-masing pihak yang merasa dirugikan akan menggunakan haknya mengajukan perkaranya ke pengadilan hubungan industrial, jadi adanya perbedaan pendapat yang melahirkan ketidak harmonisan hubungan diantara pengusaha dan pekerja atau serikatnya masing-masing didalam ruang lingkup perusahaan dan melimpahkan perkaranya melalui Pengadilan Hubungan Industrial inilah yang disebut dengan Sengketa

  Teori Kepastian Hukum.

  Tujuan hukum adalah selain dari memberi manfaat bagi masyarakat juga dapat mewujudkan suatu keadilan, hukum juga bertujuan untuk menciptakan adanya suatu kepastian, lahirnya UU No. 2 Tahun 2004 tidak terlepas dari tujuan hukum itu sendiri yaitu menjamin adanya suatu kepastian, apalagi peraturan yang selama ini yaitu UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, belum dirasakan adanya suatu kepastian, sehingga prinsip cepat, sederhana dan biaya ringan yang harus dijadikan dasar dalam penyelesaian sengketa hubungan industrial sebagaimana yang diinginkan menurut

  Pemahaman terhadap teori kepastian hukum ini mulai muncul di abad 19 yang dikenal dengan Aliran Positivistik yaitu terpisahnya secara tegas antara hukum yang berlaku (das sein) dengan hukum yang seharusnya (das sollen), hukum dipandang identik

  

  Bagi pengikut paham ini menyebutkan bahwa tidak ada hukum selain hukum yang positif yaitu hukum yang didasarkan pada otoritas yang berdaulat (sovereign), arti berdaulat disini bahwa hukum berasal dari pemerintah sebagai pihak yang berkuasa untuk membuat 7 Ugo & Pujiyo, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm, 4. 8 9 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm, 104.

  Muhammad Erwin, Filsafat Hukum, Refleksi Kritis Terhadap Hukum, PT Raja Grafindo Persada, undang-undang, hal ini sejalan dengan ungkapan dari John Austin yang menyebutkan hukum adalah perintah (command) yaitu sesuatu yang jelas dan tegas keberadaannya, yang merupakan suatu produk dari kekuatan politik berasal dari penguasa (pemerintah). Penguasa sebagai pihak yang berdaulat untuk melakukan suatu perintah dengan menerbitkan undang-undang untuk wajib dipatuhi oleh masyarakat, jika tidak akan diberi sanksi, sebagaimana yang diungkapkannya : “the evil which will probably be incured in

  

case a command be disobyed or in case a duty be broken, is frequently called a sanction, or

  

11 Sementara menurut Lili Rasjidi yang mencoba untuk merumuskan inti dari

  pandangan John Austin adalah sebagai berikut :

  1. Hakekat dari hukum adalah perintah. Semua hukum positif adalah perintah dari yang berkuasa.

  2. Hukum terpisah dari moral.

  3. Kedaulatan adalah berada pada dunia politik atau sosiologis karenanya tidak perlu dipersoalkan sebab dianggap sebagai suatu yang telah ada dalam kenyataan.

  4. Ajaran John Austin tidak memberi tempay bagi hukum yang hidup dalam masyarakat.

  Dalam kaitannya dengan penyelesaian sengketa hubungan industrial, tidak terdapat suatu kepastian hukum, hal mana tidak diaturnya beberapa ketentuan yang dapat mendukung prinsip cepat, sederhana dan biaya ringan, meskipun ada ketentuan yang mendukung prinsip tersebut diantaranya adalah tidak adanya upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi dalam penyelesaian sengketa hubungan industrial ini dan terdapatnya batas waktu tertentu terhadap putusan perkara yang ditangani oleh Hakim baik di hukum sangat relevan sebagai pisau analisis untuk membahas tulisan ini.

  Jadi keberadaan UU No. 2 Tahun 2004 ini, jelas merupakan peraturan yang memberikan suatu kepastian bagi pencari keadilan, teruma bagi pekerja dan pengusaha, karena dengan keberadaan undang-undang ini tidak ada lagi kekhawatiran yang selama ini dirasakan bahwa penyelesaian sengketa PHK tidak memiliki batas waktu yang jelas, seperti bak kata slogan yang menyebutkan penyelesaian sengketa PHK bagaikan “penantian yang tak berujung”, dengan adanya suatu kepastian hukum akhirnya keberadaan undang-undang ini dapat memberikan kemanfaatan bagi pemerintah, masyarakat dan individu, 10 Jhon Austin, The Province of Jurisprudence Determined, Wilfrid E. Rumble Ed, Cambridge, University Press, 1995, hlm. 22. 11 persoalannya sekarang, apakah di dalam praktiknya UU No. 2 Tahun 2004 ini benar-benar telah memberikan suatu kepastian hukum bagi pencari keadilan.

  PEMBAHASAN

Prinsip Cepat Dalam Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial Menurut UU-PPHI

  Setiap orang akan mendambakan adanya suatu kepastian dalam penyelesaian sengketa dan tidak akan ada yang berkeinginan dalam penyelesaian sengketa apapun baik dalam ruang lingkup pidana maupun perdata penyelesaiannya berlarut-larut. Khusus dalam penyelesaian sengketa Hubungan Industrial didalam Pasal 57 UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI menyebutkan : “Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan

  

Industrial adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan

peradilan umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini”, jadi

  UUPPHI merupakan peraturan khusus, dikatakan khusus dapat dilihat dari Pasal 55 UUPPHI menyebutkan “Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus

  

yang berada pada lingkungan peradilan umum”. Jadi Pasal 55 dan 57 ini dapat ditafsirkan

  bahwa hukum acara yang berlaku dalam penyelesaian sengketa Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdata (lex generalis) dan Hukum Acara PPHI (lex specialis).

  Berhubung hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Peradilan Umum, sementara sumber hukum yang dijadikan dasar dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku umum itu adalah :

  1. HIR (Herziene Indonesisch Reglement), yaitu hukum acara perdata yang berlaku untuk daerah Jawa dan Madura. daerah luar Jawa dan Madura.

  3. BW (Burgelijke Wetboek voor Indonesia) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya tentang Pembuktian.

  4. UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

  5. UU No. 2 Tahun 1986 Jo. UU No. 8 Tahun 2004 Jo. UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum.

  6. UU No. 14 Tahun 1985 Jo. UU No. 5 Tahun 2004 Jo. UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.

  7. Yurisprudensi (putusan Hakim yang diikuti dengan putusan Hakim lainnya).

  Maka dengan serta merta dalam penanganan sengketa Hubungan Industrial ketentuan hukum acara perdata yang berlaku umum tersebut dengan sendirinya berlaku, selain dari UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI. Jadi semua peraturan perundang-undangan tersebut saling isi mengisi satu sama lainnya, mulai dari gugatan, pemeriksaan perkara, putusan, upaya hukum yaitu berupa upaya hukum biasa seperti Banding, Kasasi dan Perlawanan (verzet), dan upaya hukum luar biasa seperti Peninjauan Kembali (rekecivil) dan eksekusi.

  Menurut ketentuan Hukum Acara Perdata yang berlaku secara umum, proses penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan Hubungan Industrial dapat dilihat dari mulai gugatan, banding, kasasi, perlawanan (verzet) dan peninjauan kembali (PK), ironisnya dalam proses ini tidak ditentukan batas waktu penyelesaian perkara, sehingga jika berpedoman kepada ketentuan Hukum Acara Perdata umum ini penanganan perkara memakan waktu yang lama sampai bertahun-tahun. Hal ini dijadikan dasar lahirnya UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI yang berlaku secara khusus, yaitu mengkhususkan hal-hal yang tidak ada ditentukan dalam ketentuan umum, misalnya tidak adanya upaya hukum banding dalam penanganan perkara yang berkaitan dengan Perselisihan Hak dan Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), kemudian ditentukannya batas waktu penyelesaian disemua tingkat, misalnya di Pengadilan Hubungan Industrial ditentukan bahwa Hakim sudah harus memutus perkara selama 50 (lima puluh) hari kerja (Pasal 103 UUPPHI), sedangkan di Mahkamah Agung selama 30 (tiga puluh) hari kerja (Pasal 115 UUPPHI), jadi dalam tenggang waktu 80 (delapan puluh) hari kerja ditambah dengan proses perkara di Dinas Tenaga Kerja (tripartit) selama 30 (tiga puluh) hari kerja (Pasal 15 Jo. Pasal 25 UUPPHI), maka dalam tenggang waktu 110 (seratus sepuluh) hari kerja sengketa hubungan industrial sudah harus berakhir. perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja memakan waktu yang cukup lama, misalnya dalam perkara Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Erwin Sihombing selaku pekerja yang telah di PHK oleh PT Rimba Melati dalam perkara nomor : 76/G/2007/PHI.Mdn, dimana pekerja yang mengalami kecelakaan kerja telah mengakibatkan telunjuk jari sebelah kiri pekerja putus karena terpotong oleh mesin pemotong kaleng, sehingga pekerja tidak dapat bekerja seperti biasanya.pada bulan pertama sampai dengan bulan ketiga perusahaan masih memberi gaji, namun pada bulan ke empat dan seterusnya perusahaan tidak lagi memberi gaji, dengan demikian secara hukum perusahaan telah melakukan PHK secara sepihak tanpa memberi hak-hak berupa pesangon dan uang jasa pekerja yang sudah bekerja selama 8 (delapan tahun) yaitu sejak tahun 1999 sampai dengan 2007. Berhubung perusahaan telah mem PHK pekerja, maka pada bulan Mei 2007 pekerja mengajukan gugatan ke PHI dan Hakim PHI telah memberikan keputusannya pada bulan Juli 2007 dengan mengabulkan tuntutan dari pekerja, lalu perusahaan Kasasi ke Mahkamah Agung dan Hakim Mahkamah Agung telah memutus pada bulan Maret 2008 dengan menguatkan putusan PHI, lalu atas putusan Kasasi dari Mahkamah Agung tersebut perusahaan mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung pada tahun 2009 dan sampai saat sekarang ini Mahkamah Agung dalam perkara Peninjauan Kembali tersebut belum mengeluarkan putusannya (± sudah 8 tahun).

  Jika dilihat dari kasus tersebut yang memakan waktu sudah 8 tahun, jelas prinsip cepat sebagaimana yang diinginkan dari undang-undang tidak tercapai, berlakunya asas prorogasi yaitu suatu asas meniadakan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi dengan cara melompati dan langsung ke Mahkamah Agung guna mempercepat penyelesaian suatu perkara sebenarnya merupakan salah satu asas yang mendukung prinsip cepat. Mekanisme terhadap proses penyelesaian dengan memberlakukan asas prorogasi ini dalam praktiknya terhadap penyelesaian sengketa hubungan industrial perlu dipertahankan guna mendukung prinsip cepat. Semula asas prorogasi ini hanya berlaku untuk golongan Eropah di zaman kolonial dahulu, namun saat sekarang ini sudah ada keberanian pemerintah untuk memberlakukan asas prorogasi ini melalui undang-undang sebagaimana yang diatur menurut UU No. 2 Tahun 2004, tidak dibenarkannya banding dan langsung kasasi terhadap putusan Hakim PHI secara normatif telah ditentukan dalam Pasal 110 UUPPHI yang menyebutkan bahwa “Putusan PHI pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan hak

  

dan perselisihan pemutusan hubungan kerja asas inilah yang mendukung prinsip cepat

  sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat 4 UU No. 48 Tahun 2009 sebagai

  

Prinsip Sederhana Dalam Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial Menurut UU-

PPHI

  Kesederhanaan dalam penyelesaian sengketa apapun dapat dilihat dari 2 (dua) dimensi, yaitu dilihat dari persyaratannya dan dilihat dari seberapa banyak institusi yang berwenang dalam menanganinya. UUPPHI secara normatif telah mengatur tentang persyaratan untuk mengajukan gugatan, salah satu pihak yang mengajukan setiap gugatan harus melampirkan risalah penyelesaian sengketa yang ditangani baik melalui Mediator

   12 Pasal 83 ayat (1) UUPPHI menyebutkan : “Pengajuan gugatan yang Mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan,

sedangkan Konsiliator adalah seseorang yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator berdasarkan

  

tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui Mediasi atau Konsiliasi, maka Hakim

Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan Penggugat”, jadi bilamana

  dalam sengketa hubungan industrial terutama yang berkaitan dengan perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja, salah satu pihak, apakah pihak pekerja atau pihak perusahaan yang mengajukan gugatannya, cukup dengan melampirkan risalah yang dikeluarkan oleh Mediator atau Konsiliator manakala dalam penyelesaian melalui Konsiliasi atau Mediasi tidak tercapai kata sepakat, dan hal ini merupakan suatu persyaratan baik bagi para pihak yang bersengketa maupun bagi Hakim PHI untuk dapat menyelesaikan dan memutus gugatan yang diajukan padanya, jika risalah dari Mediator dan Konsiliator ini tidak ada, maka Hakim tidak dibenarkan dan harus mengembalikan gugatan tersebut kepada Penggugat.

  Terbitnya risalah dari Mediator atau Konsiliator ternyata tidak berdiri sendiri, ternyata sebelum Mediator atau Konsiliator menerbitkan risalahnya sebagai lampiran dalam gugatan, Mediator atau Konsiliator dalam menyelesaikan sengketa secara tripartit ini terlebih dahulu menerima risalah penyelesaian bipartit yang ditanda tangani oleh para pihak yang bersengketa, jika tidak maka Mediator atau Konsiliator harus mengembalikan berkasnya kepada para pihak untuk dilengkapi, risalah mana didalamnya termuat :

  1. Nama lengkap dan alamat para pihak.

  2. Tanggal dan tempat perundingan.

  3. Pokok masalah atau alasan perselisihan.

  4. Pendapat para pihak.

  5. Kesimpulan atau hasil perundingan, dan Setelah Mediator atau Konsiliator menerima risalah ini, barulah mereka dapat menindak lanjuti dan menyelesaikan perselisihan para pihak secara tripartit, sehingga boleh dikatakan risalah yang ditandatangani para pihak menjadi dasar bagi Mediator atau Konsiliator untuk menerbitkan risalahnya, sedangkan risalah Mediator atau Konsiliator ini dijadikan dasar pula bagi Hakim dalam menangani perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja. Terkaitnya kedua perselisihan ini disebabkan karena baik perselisihan hak maupun perselisihan pemutusan hubungan kerja disebabkan karena kedua perselisihan ini tidak berakhir pada Pengadilan Hubungan Industrial tingkat pertama saja, akan tetapi masih terdapat upaya hukum lain yaitu kasasi dan peninjauan kembali, sehingga kedua perselisihan ini menjadi barometer dalam prinsip sederhana.

  Pasal 56 UUPPHI menyebutkan bahwa PHI bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus :

  1. Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak.

  2. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan.

  3. Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja.

  4. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

  Dilihat dari dimensi institusi yang berwenang dalam penanganan perselisihan hubungan industrial, maka prinsip sederhana berlaku pada perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja karena sengketa ini hanya berakhir pada PHI saja, jadi tidak banyak institusi lain yang terlibat, sedangkan terhadap perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja tidak berlaku prinsip sederhana ini, karena putusan Hakim PHI bukanlah putusan yang terakhir dan masih dibenarkan para pihak mengajukan upaya hukum lain berupa kasasi dan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, dengan demikian prinsip sederhana tidak berlaku dalam perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja karena dalam penyelesaian sengketa hubungan industrial ini banyak melibatkan instansi yaitu PHI, Mahkamah Agung proses kasasi dan Mahkamah Agung dalam proses peninjauan kembali, ditambah lagi dengan proses eksekusi yang juga melibatkan Kantor Lelang Negara.

  UU-PPHI

  Pasal 58 UUPPHI menyebutkan bahwa “Dalam proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial, pihak-pihak yang berperkara tidak dikenakan biaya termasuk biaya

  

eksekusi yang nilai gugatannya dibawah Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta

rupiah)”, ketentuan ini berkaitan dengan penghasilan atau gaji dari pekerja, adalah suatu

  hal yang mustahil bilamana penghasilan pekerja mengacu kepada upah minimum provinsi (UMP) di Sumatera Utara misalnya yang saat sekarang ini sebesar Rp. 1.625.000,- mengajukan gugatan dengan nilai melebihi 150.000.000,-, kecuali pekerja mengajukan gugatan secara kolektif sebanyak 5 sampai dengan 10 orang, nilai gugatan bisa mencapai lebih dari Rp. 150.000.000,-, sehingga bilamana pekerja yang semula mengajukan perkaranya secara kolektif melalui Dinas Tenaga Kerja (Mediator atau Konsiliator), maka setelah risalah Mediator atau Konsiliator terbit dan tidak diterimanya risalah tersebut oleh salah satu pihak, maka pihak pekerja akan mengajukan perkaranya tidak secara kolektif dan memecahnya kadang sampai 2 atau 3 perkara dengan nilai gugatan dibawah Rp. 150.000.000,-, tujuannya guna menghindari biaya, ironis memang.

  Ketentuan ini jelas menghalangi bagi pekerja untuk mengajukan perkaranya secara kolektif, dan untuk mengatasinya biasanya pekerja akan memecah perkaranya agar nilai gugatannya tidak mencapai Rp. 150.000.000,-, ironisnya lagi bilamana pekerja memecah perkaranya menjadi 3 bagian, putusannya masing-masing akan berbeda, ada putusan Hakim PHI yang mengabulkan gugatan pekerja dan ada pula yang menolak gugatan pekerja, sehingga terkesan tidak ada suatu kepastian hukum bagi Hakim yang memutus suatu perkara. Hal ini bisa saja terjadi mengingat dalam prinsip penanganan perkara di Indonesia tidak mengenal prinsip stare decisi seperti yang berlaku di negara-negara yang menganut

  

  sistem hukum anglo saxonHakim tidak harus tunduk pada putusan Hakim yang lain, meskipun dalam pokok perkaranya (fundamentum petendi) adalah sama. Jadi dengan adanya pembatasan nilai gugatan, maka dengan serta merta pekerja harus membatasi pula kolektivitas mereka untuk mengajukan gugatan dengan nilaii gugatan dibawah Rp. 150.000.000,-.

  Setelah gugatan dimasukkan ke PHI, maka dalam jangka waktu 50 hari kerja sejak sidang pertama dimulai Hakim PHI sudah harus menyelesaikan perkaranya, sementara untuk sidang pertama dimulai waktunya dihitung selambat-lambatnya 7 hari hari kerja sejak Penetapan Majelis Hakim, dengan demikian berarti ketika gugatan dimasukkan, maka dalam jangka waktu 57 hari kerja Hakim PHI sudah memutus perkaranya. Namun siapa harus dilalui para pihak sekurang-kurangnya 8 (delapan) kali persidangan, yaitu mulai dari sidang pembacaan gugatan Penggugat, jawaban Tergugat, Raplik Penggugat, Duplik Tergugat, Pembuktian Penggugat, Pembuktian Tergugat, Kesimpulan (konklusi) dan Putusan Hakim. Jadi selama delapan kali bersidang para pihak harus bolak balik memenuhi persidangan di PHI, hal demikian tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit bagi kedua belah pihak.

  Memang secara teori, terhadap sengketa hubungan industrial yang nilai gugatannya tidak mencapai Rp. 150.000.000,- tidak dipungut biaya sepeserpun, namun mengingat 13 Stare decisis atau presedent merupakan salah satu prinsip yang berlaku di negara-negara yang

  

menganut sistem hukum anglo saxon atau common law, dimana putusan Hakim dalam kasus yang sama,

harus diputus sama pula seperti yang pernah diputus pada masa lalu. Lihat prosedur persidangan yang memakan waktu sampai delapan kali sidang dan pengetahuan penanganan perkara yang tidak semua pekerja memahaminya, maka kadangkala si pekerja selain tidak paham dalam berperkara, pekerja juga disibukkan dengan mencari nafkah karena PHK, adalah sesuatu hal yang tidak mungkin bagi pekerja secara terus menerus menghadapi perkaranya untuk bersidang di PHI tanpa lagi memperhatikan yang lain untuk memberi nafkah bagi keluarganya, sehingga kadangkala pekerja akan menggunakan jasa pihak lain untuk menyelesaikannya, hal demikian juga tentu memerlukan biaya, apalagi dalam penyelesaian tersebut menggunakan jasa Advokat tentu pakai biaya yang tidak sedikit, dengan demikian secara praktik penyelesaian sengketa hubungan industrial ini jelas memerlukan biaya yang tidak ringan.

  Selain dari itu, jika perkara sudah diputus oleh Hakim PHI dan bilamana salah satu pihak tidak menerimanya, maka bagi pihak yang tidak terima dapat mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Demikian pula terhadap putusan kasasi dari Mahkamah Agung juga tidak diterima oleh salah satu pihak, tentu pihak yang tidak terima masih dibenarkan untuk mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung melalui PHI, kemudian eksekusi yang dilakukan oleh PHI dengan melibatkan Kantor Lelang Negara. Jadi jika dilihat dalam proses sengketa hubungan industrial ini yang melibatkan banyaknya instansi dan lamanya waktu yang dibutuhkan, hal demikian secara simultan akhirnya membawa pengaruh bagi pekerja dalam penggunaan biaya selain dari biaya perkara, tentu juga tidak terlepas biaya ebutuhan keluarga dalam masa tunggu dari penyelesaian perkara tersebut.

  Kesimpulan

  1. Sengketa hubungan industrial mengadili 4 (empat) perselisihan yaitu Perselisihan Hak, Perselisihan Kepentingan, Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja dan Perselisihan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam satu perusahaan. Prinsip cepat secara normatif hanya berlaku terhadap penyelesaian perselisihan kepentingan dan perselisihan serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan saja karena terhadap perkara ini tidak diatur upaya hukum lain seperti Kasasi dan Peninjauan Kembali, sedangkan dalam perkara perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja masih dapat dilakukan upaya hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali, meskipun UUPPHI menentukan jangka waktu penyelesaian perkara di tingkat pertama (PHI), di Mahkamah Agung (kasasi), namun UUPPHI tidak ada mengatur jangka waktu penyelesaian perkara di Mahkamah

  Agung dalam proses Peninjauan Kembali dan tidak ada juga mengatur proses administrasi pengiriman berkas kasasi dari PHI ke Mahkamah Agung serta tidak ada mengatur sanksi bagi Hakim yang memutus perkara melebihi waktu yang ditentukan, sehingga prinsip cepat tidak terlaksana sebagaimana mestinya.

  2. Kesederhanaan dalam sengketa hubungan industrial dapat dilihat dari 2 dimensi yaitu dimensi persyaratan pembuktian dan dimensi tidak banyaknya instansi yang terlibat, dan meskipun persyaratan untuk mengajukan perkara hubungan industrial sangat sederhana yaitu cukup berupa risalah yang diterbitkan dari Mediator atau Konsiliator, Hakimsudah dapat memproses perkara yang diajukan padanya, namun dalam proses penyelesaian sengketa hubungan industrial ini banyak melibatkan instansi lain diluar PHI yaitu mulai Dinas Tenaga Kerja, Mahkamah Agung dalam perkara Kasasi, Mahkamah Agung dalam proses Peninjauan Kembali dan Kantor Lelang Negara dalam proses eksekusi, sehingga dengan banyaknya terlibat beberapa instansi tersebut menjadikan prinsip sederhana ini menjadi tidak sederhana lagi.

  3. Proses persidangan PHI yang harus dijalankan oleh pekerja dan perusahaan sekurang- kurangnya 8 (delapan) kali bersidang ditambah dengan masa tunggu dalam proses perkara Kasasi dan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung yang tidak ada ketentuan batas waktunya, kemudian masa tunggu proses administrasi Kasasi dan Peninjauan Kembali yang juga tidak ada batas waktunya, maka rangkaian banyaknya persidangan dan lamanya jangka waktu proses Kasasi, Peninjauan Kembali sampai kepada eksekusi tentu secara simultan kesemuanya itu memerlukan biaya yang tidak sedikit, sehingga boleh dikatakan secara teori tidak terdapat biaya dalam penanganan perkara, namun prinsip biaya ringan inipun tidak terlaksana.

  Saran

  UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial keberadaannya tidak sepenuhnya melaksanakan prinsip cepat, sederhana dan biaya ringan disebabkan karena tidak terdapatnya beberapa aturan normatif yang harus dicantumkan agar prinsip cepat, sederhana dan biaya ringan dapat terlaksana dengan baik. Untuk itu sudah waktunya pemerintah merevisi undang-undang ini dengan mencantumkan peraturan secara normatif, diantaranya :

  1. Ketentuan tentang batas waktu pengiriman berkas secara administrasi dari Pengadilan Hubungan Industrial ke Mahkamah Agung dalam proses kasasi terhadap perkara perselisihan hak dan perseisihan pemutusan hubungan kerja.

  2. Ketentuan batas waktu pengiriman berkas administrasi dari PHI ke Mahkamah Agung dalam proses Peninjauan Kembali.