BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gaya Kepemimpinan 2.1.1. Pengertian Gaya Kepemimpinan - PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN DEMOKRATIS DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KINERJA KARYAWAN DENGAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING PADA PT MADUBARU PG PS MADUKISMO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gaya Kepemimpinan 2.1.1. Pengertian Gaya Kepemimpinan Gaya kepemimpinan merupakan cara yang digunakan seorang

  pemimpin untuk mempengaruhi perilaku bawahannya dimana gaya kepemimpinan ini bertujuan untuk membimbing serta memotivasi karyawan sehingga diharapkan akan menghasilkan produktivitas yang tinggi. Gaya kepemimpinan (leadership style) seorang pemimpin akan sangat berpengaruh pada kinerja karyawan atau bawahan. Pemimpin harus dapat memilih gaya kepemimpinan sesuai dengan situasi yang ada, jika gaya kepemimpinan yang diterapkan benar dan tepat maka akan dapat mengarahkan pencapaian tujuan organisasi maupun perorangan. Sebaliknya jika gaya kepemimpinan yang dipilih salah dan tidak sesuai dengan situasi yang ada maka akan dapat mengakibatkan sulitnya pencapaian tujuan organisasi.

  Menurut Davis dan Newstrom (1995) “Gaya kepemimpinan merupakan pola tindakan pemimpin secara keseluruhan seperti yang dipersepsikan para pegawainya. Gaya kepemimpinan mewakili filsafat, keterampilan, dan sikap pemimpin. Gaya kepemimpinan tersebut berbeda-beda atas dasar motivasi, kuasa atau orientasi terhadap berbagai pegawai, masing-masing gaya dibahas secara terpisah untuk menyoroti perbedaannya.” Kartono (2008:34) menyatakan gaya kepemimpinan adalah sifat, kebiasaan, tempramen, watak dan kepribadian yang membedakan seorang pemimpin dalam berinteraksi dengan orang lain. Thoha (2010:49) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan merupakan norma prilaku yang digunakan oleh seseorang pada saaat orang tersebut mencoba mempengaruhi prilaku orang lain atau bawahan. Menurut Herujito (2006:188) mengartikan gaya kepemimpinan bukan bakat, oleh karena itu gaya kepemimpinan dipelajari dan dipraktekan dalam penerapannya harus sesuai dengan situasi yang dihadapi. Sedangkan menurut Supardo (2006:4), mengungkapkan bahwa gaya kepemimpinan adalah suatu cara dan porses kompleks dimana seseorang mempengaruhi orang-orang lain untuk mencapai suatu misi, tugas atau suatu sasaran dan mengarahkan Instansi dengan cara yang lebih masuk akal.

  Handoko (2001) mengemukakan tiga implikasi penting dari definisi kepemimpinan yakni :

1. Kepemimpinan menyangkut orang lain, bawahan atau pengikut.

  Pemimpin mengatur bawahan dengan memberikan pengarahan- pengarahan dan motivasi kerja sehingga para karyawan dapat bekerjasama dengan atasan untuk mewujudkan tujuan bersama. pengarahan dari pimpinan dipengaruhi berdasarkan seberapa besar kedekatan antara karyawan dan pemimpin dimana karyawan membantu pemimpin dalam proses pengambilan keputusan meskipun pengambilan keputusan sendiri ditentukan oleh pemimpin dan membantu proses kepemimpinan dapat berjalan sesuai dengan apa yang dikehendaki.

  2. Kepemimpinan menyangkut suatu pembagian kekuasaan yang tidak seimbang antara para pemimpin dan karyawan. Pemimpin mempunyai wewenang utuk mengarahkan dan dalam pengambilan keputusan keputusan terletak di tangan pemimpin sehingga karyawan tidak memiliki peranan di dalam menentukan kebijakan yang ada. Para karyawan tidak dapat memberikan ide atau gagasannya dalam proses pengambilan keputusan secara langsung.

  3. Kepemimpinan menyangkut pengaruh terhadap anggota kelompok. Pemimpin tidak hanya dapat memberikan perintah kepada para karyawan tetapi juga pemimpin harus dapat melaksanakan perintahnya. Seorang pemimpin sangat berpengaruh di dalam organisasi, begitu juga karyawan. Jika di dalam organisasi tidak ada salah satu dari pelaksana organisasi, maka dapat di pastikan organisasi tersebut tidak akan dapat berjalan sesuai tujuan yang di tentukan. Karyawan diberikan sebagai pengawasnya agar para karywan dapat lebih bertanggung jawab atas keputusan yang ada.

  Dari ketiga implikasi tersebut diatas, Handoko (2001) menyimpulkan bahwa terdapat tiga gaya kepemimpinan yang umumnya di pakai dalam organisasi yaitu: Gaya Kepemimpinan Demokratis, Gaya Kepemimpinan Otoriter dan Gaya Kepemimpinan Bebas.

2.1.2. Jenis-jenis Gaya Kepemimpinan

  White dan Lippit dalam Reksohadiprodjo (2001) mengemukakan tiga (3) gaya kepemimpinan yaitu demokratis, otoriter, dan bebas. Berikut ini merupakan penjelasan dari ketiga gaya kepemimpinan tersebut: a.

  Gaya Kepemimpinan Demokratis Kepemimpianan demokratis ditandai dengan adanya suatu struktur yang pengembangannya menggunakan pendekatan pengambilan keputusan yang kooperatif yang artinya atasan menolak segala bentuk persaingan dan atasan dapat bekerjasama dengan karyawan dalam mengambil keputusan. Dibawah kepemimpinan demokratis bawahan cenderung bermoral tinggi, dapat bekerja sama, mengutamakan mutu kerja dan dapat mengarahkan diri sendiri. Kepemimpinan demokratis ialah kepemimpinan yang aktif, dinamis dan terarah. Aktif dalam menggerakkan dan memotivasi (Rivai, 2010).

  Seorang pemimpin yang memiliki karakteristik gaya untuk dapat meningkatkan kinerja dari karyawan tersebut. Dinamis dalam mengembangkan dan memajukan organisasi. Terarah pada tujuan bersama yang jelas. Pada gaya kepemimpinan ini memungkinkan setiap anggota untuk berpartisipasi secara aktif dalam pertukaran pendapat, gagasan dan pandangan untuk dapat memecahkan suatu permasalahan yang terjadi pada organisasi.

  Dalam gaya kepemimpinan demokratis pemimpin mengutamakan hubungan antar manusia yaitu hubungan antara bawahan dan atasan yang memiliki tujuan untuk meningkatkan produktivitas pegawai dengan sering mendorong bawahan untuk ikut andil dalam menentukan pengambilan keputusan yang tepat.

  Penerapan gaya kepemimpinan demokratis ini dapat mempererat hubungan antar atasan dan bawahan, tumbuhnya rasa saling memiliki dan terbinanya moral yang tinggi. Selain itu dalam gaya kepemimpinan ini komunikasi dan koordinasi sangatlah penting untuk dapat menentukan sebuah keputusan. Pada gaya kepemimpinan demokratis ini proses pengambilan keputusan membutuhkan waktu yang relatif lama karena harus menentukan titik temu dari ide atau gagasan yang di ajukan dan diperlukan adanya toleransi yang tinggi agar tidak terjadi perselisih pemahaman. b.

  Gaya kepemimpinan Otoriter (otokratis) Menurut Rivai (2010), kepemimpinan otoriter adalah gaya kepemimpinan yang menggunakan metode pendekatan kekuasaan dalam mencapai keputusan dan pengembangan strukturnya, sehingga kekuasaanlah yang paling diuntungkan dalam organisasi.

  Kepemimpinan otoriter ialah kepemimpinan yang memusatkan kuasa dan pengambilan keputusan ditetapkan oleh pemimpin sendiri tanpa adanya diskusi maupun pertukaran pendapat dengan bawahan. Dalam kepemimpinan otoriter ini pemimpin sebagai pemikul tanggung jawab penuh atas keputusan yang telah di ambilnya. Bawahan hanya bertugas sebagai pelaksana atas keputusan yang telah ditetapkan pemimpin. Penerapan gaya kepemimpinan ini dapat menjadikan karyawan untuk lebih disiplin, dan tidak bergantung terhadap atasan kerja. Selain itu, pada gaya kepemimpinan ini keputusan dapat diambil secara cepat karena tidak melalui proses diskusi terlebih dahulu. Dengan tidak diikutsertakan bawahan dalam pengambilan keputusan maka bawahan tidak akan dapat belajar mengenai hal tersebut sehingga produktivitas karyawan tidak akan cepat meningkat. Pada gaya kepemimpinan ini, pemimpin sering bersikap individualis dimana pemimpin tersebut sangat jarang untuk berkomunikasi dengan bawahan sehingga hubungan antara pemimpin dan bawahan jika organisasi menghadapai keadaan darurat sehingga kinerja karyawan dapat naik.

  c.

  Gaya Kepemimpinan Bebas (Laissez faire) Gaya kepemimpinan bebas (Laissez faire) adalah cara seorang pimpinan dalam menghadapi bawahannya dengan memakai metode pemberian keleluasaan pada bawahan. Pada gaya kepemimpinan bebas ini pemimpin memberikan kebebasan secara mutlak kepada bawahannya sedangkan pemimpin sendiri hanya memainkan peranan kecil, pemimpin memfungsikan dirinya sebagai penasihat yang dilakukan dengan memberi kesempatan berkompromi atau bertanya bagi anggota kelompok yang memerlukan. Bawahan memiliki kebebasan penuh untuk proses pengambilan keputusan dan meneyelesaikan pekerjaan dengan cara yang menurut karyawan paling sesuai dengan partisipasi minimal dari pemimpin. Pemimpin tidak pernah melakukan pengawasan terhadap sikap, tingkah laku perbuatan dan kegiatan bawahan karena pemimpin telah percaya dan menyerahkan sepenuhnya wewenang kepada bawahan sehingga pemimpin tidak mengambil andil dalam proses kepemimpinannya.

  Gaya kepemimpinan ini dapat mengembangkan dan meningkatkan kemampuan karyawan dalam pengambilan keputusan yang tepat serta kreativitas untuk memecahkan suatu karyawan dapat menunjukkan persoalan yang dianggap penting di dalam organisasi dan tidak selalu bergantung pada atasan. Gaya kepemimpinan ini juga memiliki sisi negatif yaitu, jika karyawan terlalu bebas tanpa ada pengawasan yang kuat dari atasan, ada kemungkinan penyimpangan dari peraturan dan prosedur yang ada dapat terjadi. Pengambilan keputusan yang dapat memakan banyak waktu bila karyawan kurang berpengalaman dan dapat terjadi salah tindak.

2.2. Gaya Kepemimpinan Demokratis 2.2.1. Pengertian Gaya Kepemimpinan Demokratis

  Pemimpin sering disebut sebagai penghulu, pemuka, pelopor, pembina, panutan, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala, penuntun, dan sebagainya. Menurut Siagian (2002:62), pemimpin merupakan kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain.

  Dalam hal ini mempengaruhi para bawahannya sedemikian rupa sehingga orang lain mau melakukan kehendak pemimpin meskipun secara pribadi hal itu tidak disenanginya, sedangkan Robbins (2003:163) mengungkapkan kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi suatu kelompok kearah pencapaian tujuan.

  Winardi (2000:78) mengemukakan gaya kepemimpinan demokratis adalah kepemimpinan yang aktif, dinamis, dan terarah.

  Kegiatan pengendalian dilaksanakan secara tertib dan wewenang dan tanggungjawab yang jelas, memungkinkan setiap anggota berpartisipasi secara aktif. Dengan kata lain, setiap anggota mengetahui secara pasti sumbangan yang dapat diberikannya untuk mencapai tujuan kelompok atau organisasinya. Selain itu dapat diketahui bagaimana melaksanakannya secara efektif dan efisien. Menurut Robbins (2003:167) gaya kepemimpinan demokratis menggambarkan pemimpin yang cenderung melibatkan karyawan dalam mengambil keputusan, mendelegasikan wewenang, mendorong partisipasi dalam memutuskan metode dan sasaran kerja, dan menggunakan umpan balik sebagai peluang untuk melatih karyawan.

2.2.2. Ciri-Ciri Gaya Kepemimpinan Demokratis

  Pemimpin yang memiliki gaya kepemimpinan demokratis menempatkan dirinya sebagai moderator ataupun koordinator. Berikut ada beberapa ciri-ciri gaya kepemimpinan demokratis menurut Robbins (2003:168): a.

  Semua kebijakan terjadi pada kelompok diskusi dan keputusan diambil dengan dorongan dan bantuan pemimpin.

  b.

  Kegiatan-kegiatan didiskusikan, langkah-langkah umum untuk tujuan kelompok dibuat dan jika dibutuhkan petunjuk-petunjuk teknis, pemimpin menyarankan dua atau lebih alternatif prosedur yang dapat dipilih.

  c.

  Para anggota bebas bekerja dengan siapa saja yang mereka pilih d.

  Lebih memperhatikan bawahan untuk mencapai tujuan organisasi.

  e.

  Menekankan dua hal yaitu bawahan dan tugas.

2.2.3. Dimensi Gaya Kepemimpinan Demokratis

  Seorang pemimpin bukanlah hanya seseorang yang dapat memimpin saja, tetapi harus memiliki kekuatan, semangat untuk mengubah sikap sehingga pegawai menjadi conform dengan pemimpin. Berikut ini beberapa dimensi kepemimpinan demokratis menurut Robbins (2009:187): a.

  Perilaku Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas.

  b.

  Komunikasi Komunikasi adalah suatu proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada penerima atau dari pimpinan kepada bawahan dan sebaliknya dengan maksud untuk mengubah tingkah laku penerima.

  c.

  Kemampuan Kemampuan adalah kapasitas seorang individu untuk melakukan suatu aktivitas.

  d.

  Kualitas Kualitas adalah suatu nilai yang melekat pada seseorang. e.

  Pengembangan Diri Pengembangan diri adalah pengembangan potensi diri dan kepribadian seseorang untuk tujuan tertentu yang ingin dicapai.

2.3. Budaya Organisasi 2.3.1. Pengertian Budaya Organisasi

  Menurut Robbins (2006), budaya perusahaan merupakan persepsi bersama atau suatu sistem dari makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dengan organisasi lain. Sondang (2006) memberikan pengertian budaya organisasi sebagai persepsi yang sama dikalangan anggota organisasi tentang makna kehidupan bersama dalam organisasi. Hal ini tercermin pada cara berperilaku pegawai dalam organisasi. Salah satu implikasi seseorang agar diakui dan diterima sebagai anggota organisasi adalah pegawai bersedia dan mampu melakukan berbagai penyesuaian yang diperlukan sehingga tercipta kesepakatan bersama. Budaya organisasi merupakan suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu suatu sistem dari makna bersama.

  Menurut Robbins (2006), peran atau fungsi budaya didalam suatu organisasi adalah: a.

  Sebagai tapal batas yang membedakan secara jelas suatu organisasi dengan organisasi lainnya. c.

  Memudahkan penerusan komitmen hingga mencapai batasan yang lebih luas daripada kepentingan individu.

  d.

  Mendorong stabilitas sistem sosial, merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi.

  e.

  Membentuk rasa dan kendali yang memberikan panduan dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.

2.3.2. Fungsi dan Karakteristik Budaya Organisasi

  Fungsi budaya yang lainnya pada organisasi, menurut Tika (2006) yaitu sebagai pola perilaku, yang berisi norma tingkah laku dan menggariskan batas-batas toleransi sosial dan juga sebagai alat komunikasi antara atasan dan bawahan maupun sebaliknya. Budaya organisasi dapat diukur melalui karakteristik-karakteristik yang nampak dalam sebuah organisasi. Robbins (2006) memberikan karakteristik budaya organisasi sebagai berikut: a.

  Inovasi dan keberanian mengambil resiko (Inovation and risk

  taking ), adalah sejauh mana organisasi mendorong para karyawan bersikap inovatif dan berani mengambil resiko.

  b.

  Perhatian terhadap detil (Attention to detail), adalah sejauh mana organisasi mengharapkan karyawan memperlihatkan kecermatan, analisis, dan perhatian terhadap rincian.

  c.

  Berorientasi kepada hasil (Outcome orientation), adalah sejauh mana manajemen memusatkan perhatian pada hasil dibandingkan perhatian pada teknik dan proses yang digunakan untuk meraih hasil tersebut.

  d.

  Berorientasi kepada manusia (People orientation), adalah sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil-hasil pada orang-orang didalam organisasi.

  e.

  Berorientasi tim (Team orientation), adalah sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim hanya pada individu- individu untuk mendukung kerjasama.

  f.

  Agresifitas (Aggressiveness), adalah sejauh mana orang-orang dalam organisasi itu agresif dan kompetitif untuk menjalankan budaya organisasi sebaik-baiknya.

  g.

  Stabilitas (Stability), adalah sejauh mana kegiatan organisasi menekankan status quo sebagai kontras dari pertumbuhan.

  Miller (1987), yang menyebutkan bahwa ada delapan nilai yang menjadi karakteristik budaya perusahaan, yaitu: a.

  Asas Tujuan, yaitu seberapa jauh karyawan memahami tujuan yang hendak dicapai perusahaan.

  b.

  Asas Konsensus, yaitu seberapa jauh perusahaan memberi kesempatan kepada karyawan untuk turut serta dalam proses pengambilan keputusan.

  c.

  Asas Keunggulan, yaitu seberapa besar kemampuan perusahaan menumbuhkan sikap untuk selalu menjadi yang terbaik dan d.

  Asas Kesatuan, yaitu suatu sikap perusahaan tentang keadilan dan pemihakan terhadap karyawan dan kelompok karyawan.

  e.

  Asas Prestasi, yaitu sikap perusahaan terhadap prestasi karyawannya.

  f.

  Asas Empirik, yaitu sejauh mana perusahaan mau menggunakan bukti-bukti empirik dalam pengambilan keputusan.

  g.

  Asas Keakraban, yaitu kondisi pergaulan sosial antar karyawan dalam perusahaan.

  h.

  Asas Integritas, yaitu sejauh mana perusahaan mau bekerja dengan sunguh-sungguh dalam mencapai tujuan perusahaan.

2.3.3. Dimensi Budaya Organisasi

  Denison dalam Sobirin, (2007:194), diungkapkan bahwa Denison mengaitkan budaya dengan efektivitas organisasi, dengan penjelasan secara teoritik bahwa efektifitas organisasi dipengaruhi oleh empat faktor sebagai berikut : a.

  Fungsi dari nilai-nilai dan keyakinan para anggota organisasi.

  b.

  Fungsi dari kebijakan dan praktik organisasi.

  c.

  Fungsi dari nilai-nilai inti dan keyakinan organisasi yang diterjemahkan ke dalam kebijakan dan praktik organisasi.

  d.

  Fungsi dari hubungan antara nilai-nilai inti dan keyakinan organisasi, kebijakan dan praktik organisasi serta lingkungan organisasi.

  Berdasarkan kerangka pikir tersebut, Denison selanjutnya mengemukakan adanya empat dimensi budaya organisasi yang terkait dengan tingkat efektivitas organisasi. Keempat dimensi budaya tersebut adalah: a

  Involvement Merupakan dimensi budaya organisasi yang menunjukkan tingkat partisipasi karyawan (Anggota Organisasi) dalam proses pengambilan keputusan. Dimensi ini mempengaruhi efektivitas organisasi melalui mekanisme informal dan struktur formal organisasi. b

  Consistency Menunjukkan tingkat kesepakatan anggota organisasi terhadap asumsi dasar dan nilai-nilai inti organisasi. Dimensi ini mempengaruhi efektivitas melalui integrasi normatif yang direfleksikan dalam kecocokan antara ideology dengan praktik sehari-hari dan tingkat predictability system organisasi. c

  Adaptability Kemampuan organisasi dalam merespon perubahan-perubahan lingkungan eksternal dengan melakukan perubahan internal organisasi. Dimensi ini mempengaruhi efektivitas organisasi melalui tingkat fleksibilitas kondisi internal organisasi dan fokus organisasi terhadap aspek eksternal. d Mission

  Dimensi budaya yang menunjukkan tujuan inti organisasi yang menjadikan anggota organisasi teguh dan fokus terhadap apa yang dianggap penting oleh organisasi, dalam hal ini yang dimaksud dalam mission adalah komitmen atau keteguhan anggota organisasi terhadap suatu misi (Mission) yang merupakan pengejawantahan dari sebuah nilai-nilai yang dibangun oleh suatu perusahaan. Dimensi ini mempengaruhi efektivitas organisasi melalui pemaknaan yang dilakukan oleh anggota organisasi (pegawai/karyawan) terhadap eksistensi organisasi dan arah kebijakan organisasi.

  Dalam penelitian ini penulis memilih karakteristik budaya organisasi menurut Denison untuk digunakan sebagai indikator dalam melakukan pengukuran terhadap budaya organisasi. Hal ini dikarenakan penjelasan yang lebih mendalam jika dibandingkan dengan karakteristik budaya perusahaan menurut pendapat lain. Budaya organsasi meliputi/terdiri dari (McShane & Glinow, Ann. 2008:261) adalah:

  1) Budaya pengendalian

  Bagaimana peran eksekutif senior dalam memimpin organisasi, tujuan dari budaya ini adalah untuk mengendalikan semua karyawan (McShane & Glinow, Ann. 2008:261). Budaya a.

  Pimpinan memelihara pemahaman tatanan di tempat kerja b.

  Eksekutif senior menerima manfaat khusus yang tidak tersedia bagi karyawan lain c.

  Eksekutif senior dihormati oleh para karyawan d.

  Karyawan bekerja dalam aturan perusahaan e. Sebagian besar keputusan perusahaan dibuat oleh eksekutif puncak f.

  Pihak manajemen menjaga segala sesuatunya dibawah kendali 2)

  Budaya kinerja Mengukur nilai kinerja setiap individu maupun organisasi untuk bekerja secara efektif dan efisien (McShane & Glinow, Ann.

  2008:262). Budaya kinerja meliputi: a.

  Perusahan selalu menghasilkan produk atau jasa yang sangat dihormati pesaingnya b.

  Karyawan secara terus-menerus selalu mencari cara untuk bekerja secara lebih efektif c.

  Merasa bangga ketika perusahaan mencapai tujuan kinerjanya.

  d.

  Karyawan yang berkinerja terbaik dibayar paling banyak e. Karyawan menyelesaikan pekerjaan mereka tepat waktu f. Karyawan untuk mengeluarkan 110 persen untuk mencapai kinerja puncaknya

  3) Budaya hubungan

  Yang berkaitan dengan pemeliharaan hubungan komunikasi, kerjasama, dan saling bertukar pendapat maupun saran (McShane & Glinow, Ann. 2008:262). Budaya hubungan meliputi: a.

  Karyawan selalu bekerja bersama dengan baik dalam tim b.

  Karyawan diperlakukan secara adil oleh perusahaan c. Perusahaan bekerja dengan keras untuk membuat para karyawan selalu bahagia d.

  Perusahaan menyediakan bimbingan konseling untuk para karyawan.

  e.

  Karyawan selalu mendapat informasi tentang apa yang terjadi di dalam perusahaan f.

  Selalu mendengarkan konsumen dan merespon secara cepat pada kebutuhan konsumen 4)

  Budaya responsive Budaya yang menilai kemampuan untuk menjaga perbaikan dengan lingkungan luar mencakup persaingan dan mendapatkan peluang (McShane & Glinow, Ann. 2008:262). Budaya

  responsive meliputi: a.

  Karyawan beradaptasi secara cepat pada lingkungan yang baru b.

  Perusahaan sedang berada dipuncak dari inovasi baru dalam industri c.

  Perusahaan selalu bereksperimen dengan gagasan-gagasan baru di pasar d.

  Perusahaan dimana perusahaan selalu memanfaatkan peluang- peluang yang ada di pasar.

  e.

  Perusahaan selalu bisa secara cepat mersepon pada hambatan kompetitif.

2.4. Kepuasan Kerja 2.4.1. Pengertian Kepuasan Kerja

  Menurut Malthis and Jackson (2011) kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang positif dari mengevaluasi pengalaman kerja seseorang. Kepuasan kerja mempunyai banyak dimensi, secara umum adalah kepuasan dalam pekerjaan itu sendiri, gaji, pengakuan, hubungan antara supervisor dengan tenaga kerja, dan kesempatan untuk maju.

  Menurut Wibowo (2012: 503), kepuasan kerja memiliki dua teori, dalam pendapatnya dikatakan bahwa teori kepuasan kerja mencoba mengungkapkan apa yang membuat sebagian orang lebih puas terhadap pekerjaanya daripada beberapa lainnya. Teori ini juga mencari landasan tentang proses perasaan orang terhadap kepuasan kerja. Di antara teori kepuasan kerja adalah two- factor theory dan

  value theory .

1. Two- Factor Theory

  Teori dua faktor ini merupakan teori kepuasan kerja yang mengusulkan bahwa satisfaction (kepuasan) dan dissatisfaction (ketidakpuasan) adalah bagian dari kelompok variabel yang berbeda yaitu, motivators dan hygiene factors.

  Pada teori ini, ketidakpuasan dihubungkan dengan kondisi di sekitar pekerjaan itu seperti misalnya kondisi kerja, upah, keamanan, hubungan antar karyawan dan atasan. Sebaliknya, kepuasan ditarik dari faktor yang berkaitan dengan pekerjaan itu sendiri atau hasil langsung dari pada pekerjaan itu seperti misalnya sifat pekerjaan, prestasi dalam pekerjaan, promosi, pengembangan karir dan acknowledgement.

2. Value Theory

  Pada teori ini, kepuasan terjadi pada tingkat dimana hasil pekerjaan diterima individu seperti yang diharapkan. Semakin banyak orang yang menerima hasil, maka akan semakin puas. Semakin dikit orang yang menerima, maka akan kurang puas.

  Implikasi teori ini menekankan bahwa aspek pekerjaan perlu diubah untuk mendapatkan kepuasan kerja. Teori ini juga mengusulkan bahwa kepuasan kerja dapat diperoleh dari banyak faktor. Oleh karena itu, Wibowo (2012:504) menganjurkan bahwa cara yang efektif untuk memuaskan pekerja adalah dengan menemukan apa yang mereka inginkan dan apabila mungkin memberikannya.

2.4.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

  Menurut Sutrisno (2009:80) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu: a.

  Faktor psikologi Merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan, yang meliputi minat, ketentraman dalam kerja, sikap terhadap kerja, bakat dan keterampilan.

  b.

  Faktor sosial Merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial antar karyawan maupun karyawan dengan atasan.

  c.

  Faktor fisik Merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik karyawan, meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan, umur, dan sebagainya.

  d.

  Faktor finansial Merupakan faktor berhubungan dengan jaminan serta kesehatan karyawan, yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminan sosial, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi, dan

  Menurut Kreitner dan Kinicki dalam Wibowo (2012: 504-505) terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya kepuasan kerja, yaitu sebagai berikut: a.

  Need Fulfillment (pemenuhan kebutuhan) Kepuasan ditentukan oleh tingkatan karakteristik pekerjaan memberikan kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya.

  b.

  Discrepancies (perbedaan) Kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan dan yang diperoleh individu dari pekerjaan. Apabila harapan lebih besar daripada apa yang diterima, orang akan tidak puas. Sebaliknya diperkirakan individu akan puas apabila mereka menerima manfaat di atas harapan.

  c.

  Value attainment (pencapaian nilai)

  Value attainment atau pencapaian nilai adalah bahwa kepuasan

  merupakan hasil dari persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang penting.

  d.

  Equity (keadilan) Kepuasan terdapat dari seberapa adil seorang individu diperlakukan di tempatnya bekerja. e.

  Dispositional / genetic components (komponen genetik) Kepuasan kerja sebagian merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. Perbedaan individu mempunyai arti penting dalam menentukan kepuasan kerja seperti halnya karakteristik lingkungan.

  Aspek-aspek lain yang mempengaruhi kepuasan kerja yang disebutkan oleh Robbins (2009:121): a.

  Kerja yang secara mental menantang Pegawai cenderung menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan tugas, kebebasan, dan umpan balik mengenai betapa baik mereka mengerjakannya.

  Contoh: Target yang harus dicapai agar mendapat promosi jabatan.

  b.

  Ganjaran yang pantas Para pegawai menginginkan balas jasa yang adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu.

  Contoh: Upah yang adil dan layak, promosi jabatan c. Kondisi kerja yang mendukung

  Pegawai peduli akan lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi maupun memudahkan mengerjakan tugas.

  Contoh: Temperatur (suhu), cahaya, kebisingan. d.

  Rekan kerja yang mendukung Orang-orang mendapatkan lebih daripada sekedar uang atau potensi yang berwujud dari dalam kerja. Bagi kebanyakan pegawai, bekerja juga mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Contoh: Rekan kerja yang ramah dan perilaku atasan e. Kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan

  Pada hakikatnya orang yang tipe kepribadiannya kongruen (sama dan sebangun) dengan pekerjaan yang mereka pilih seharusnya mendapatkan bahwa mereka mempunyai bakat dan kemampuan yang tepat untuk memenuhi tuntutan dari pekerjaan mereka.

  Contoh: Pegawai yang ramah dan murah senyum cocok menjadi customer service.

2.4.3. Manfaat Kepuasan Kerja

  Kepuasan kerja mempunyai arti penting baik bagi pegawai maupun perusahaan/kantor, terutama untuk menciptakan keadaan positif di dalam lingkungan kerja. Berikut ini manfaat kepuasan kerja bagi pegawai dan perusahaan/kantor:

  1) Bagi pegawai: a.

  Pegawai lebih produktif.

  b.

  Pegawai akan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap perusahaan/kantor tempat mereka bekerja.

  c.

  Pegawai memiliki komitmen yang tinggi terhadap pekerjaan d.

  Pegawai akan loyal terhadap perusahaan.

  d.

  2.4.5. Ketidakpuasan Kerja Karyawan

  Pekerjaan, Rekan kerja, Gaji/upah, Promosi, Kondisi kerja dan Pengakuan.

  Descriptive Index). Ada 6 (enam) dimensi kepuasan kerja yaitu:

  Kepuasan merupakan suatu sikap yang dimiliki oleh individu sehubungan dengan jabatan atau pekerjaan mereka. Kepuasan timbul karena aneka macam dari pekerjaan. Winardi (2009:217) mengatakan kepuasan kerja diukur menggunakan Indeks Deskriptif Jabatan (Job

  2.4.4. Dimensi Kepuasan Kerja

  Terhindar dari permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh pegawai.

  Mempertahankan pegawai untuk tetap bekerja di perusahaan terutama pegawai ahli/profesional yang sangat besar peranannya demi kemajuan perusahaan.

  e.

  c.

  Membangkitkan semangat kerja dan kedisiplinan pegawai.

  b.

  Menarik dan memelihara pegawai yang berkualitas.

  Bagi perusahaan/kantor: a.

  Pegawai akan menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan standart waktu yang telah ditentukan sehingga menghemat waktu. 2)

  Ketidakpuasan karyawan dapat dinyatakan dengan sejumlah mencuri milik organisasi, atau mengelakkan sebagian dari tanggung jawab kerja mereka. Robbins dan Judge dalam Wibowo (2012: 515- 516) menunjukkan empat respon atau tanggapan yang berbeda satu sama lain, yang dapat didefinisikan sebagai berikut: a.

  Exit (keluar) Ketidakpuasan ditunjukkan melalui perilaku diarahkan pada meninggalkan organisasi, termasuk mencari posisi baru atau mengundurkan diri.

  b.

  Voice (suara) Ketidakpuasan ditunjukkan melalui usaha secara aktif dan konstuktif untuk memperbaiki keadaan, termasuk menyarankan perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasan, dan berbagai bentuk cara lainnya.

  c.

  Loyalty (kesetiaan) Ketidakpuasan ditunjukkan secara pasif, tetapi dengan menunggu secara optimistik hingga membaiknya kondisi, termasuk dengan berbicara bagi organisasi dihadapan kritik luar dan mempercayai organisasi dan manajemennya untuk melakukan hal yang terbaik dan tepat.

  d.

  Neglect (pengabaian) Ketidakpuasan ditunjukkan dengan membiarkan kondisi memburuk, termasuk keterlambatan atau tingkat absen yang

2.5. Kinerja Karyawan 2.5.1. Pengertian Kinerja Karyawan

  Keberhasilan suatu organisasi dipengaruhi oleh kinerja (job

  performance ) karyawan, untuk itu setiap perusahaan akan berusaha

  untuk meningkatkan kinerja karyawannya dalam mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Budaya organisasi yang tumbuh dan terpelihara dengan baik akan mampu memacu organisasi kearah perkembangan yang lebih baik. Di sisi lain, kemampuan pemimpin dalam menggerakkan dan memberdayakan karyawan akan mempengaruhi kinerja. Menurut Bangun (2012:231) kinerja karyawan adalah hasil pekerjaan yang dicapai seseorang berdasarkan persyaratan-persyaratan pekerjaan (job requirement). Suatu pekerjaan mempunyai persyaratan tertentu untuk dapat dilakukan dalam mencapai tujuan yang disebut juga sebagai standar pekerjaan (job

  standart ).

  Menurut Suwarto (2014:76) kinerja adalah tentang perilaku atau apa yang dilakukan karyawan, bukan tentang apa yang dihasilkan atau diakibatkan dari kerja mereka. Sistem manajemen kinerja secara khas mencakup pengukuran kinerja dan hasil (yakni, bagaimana pengeraanya dan apa hasil kerjanya). Kinerja bersifat evaluatif (apakah membantu memajukan atau justru menghambat tujuan organisasi) dan bersifat multi dimensional (yakni, diperlukan banyak

  Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa dengan hasil kerja yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melakukan suatu pekerjaan dapat dievaluasi tingkat kinerja pegawainya, maka kinerja karyawan harus dapat ditentukan dengan pencapain target selama periode waktu yang dicapai organisasi.

  Menurut Simanjuntak (2001) kinerja dipengaruhi oleh: a. Kualitas dan kemampuan pegawai. Yaitu hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan/pelatihan, etos kerja, motivasi kerja, sikap mental dan kondisi fisik pegawai.

  b.

  Sarana pendukung, yaitu hal yang berhubungan dengan lingkungan kerja (keselamatan kerja, kesehatan kerja, sarana produksi, teknologi) dan hal-hal yang berhubungan dengan kesejahteraan pegawai (upah/gaji, jaminan sosial, keamanan kerja).

  c.

  Supra sarana, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan kebijaksanaan pemerintah dan hubungan industrial manajemen.

2.5.2. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Kinerja

  Menurut Mangkunegara (2005: 14), kinerja (performance) dipengaruhi oleh tiga faktor:

  1. Faktor individual yang terdiri dari; Kemampuan dan keahlian, latar belakang, dan demografi.

  2. Faktor psikologis yang terdiri dari; Persepsi, attitude (sikap),

personality (kepribadian), pembelajaran dan motivasi.

3. Faktor organisasi yang terdiri dari; Sumber daya, kepemimpinan, penghargaan, struktur dan job-design.

  Kinerja karyawan adalah tingkat keberhasilan karyawan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Kinerja karyawan secara umum dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal (Taurisa dan Ratnawati, 2012: 170).

  a.

  Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri karyawan, yang meliputi: kepuasan kerja dan komitmen organisasional.

  b.

  Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri karyawan, antara lain meliputi: kepemimpinan, keamanan dan keselamatan kerja, serta budaya organisasi.

2.6. Hubungan Antar Variabel 2.6.1. Pengaruh Gaya Kepemimpinan Demokratis terhadap Kinerja Karyawan

  Dari penelitian terdahulu oleh Yugusna, Fathoni dan Andi T.H (2016) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan demokratis berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja karyawan.

  Berdasarkan hasil penelitian terdahulu oleh Mardiana (2014) menunjukan bahwa gaya kepemimpinan demokratis yang terdiri dari indikator pemimpin dan bawahan sama-sama terlibat dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, hubungan dengan bawahan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja pegawai yang terdiri dari indikator ketepatan hasil kerja, ketelitian hasil kerja, dan kerapian hasil kerja.

  2.6.2. Pengaruh Gaya Kepemimpinan Demokratis terhadap Kepuasan Kerja

  Penelitian terdahulu oleh Anitha D.A, Muhammad Syaharudin dan Markus Apriono (2015) menemukan bahwa gaya kepemimpinan demokratis, lingkungan kerja fisik, lingkungan kerja psikis dan motivasi berpengaruh signifikan secara parsial dan simultan terhadap kepuasan kerja karyawan. Penelitian yang dilakukan oleh Ruslan Rusady (2014) mengemukakan hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel gaya kepemimpinan otokratis, demokratis, dan bebas berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja. dan variabel yang memiliki pengaruh paling dominan terhadap kepuasan kerja adalah gaya kepemimpinan demokratis. Athanasios dan Belias (2014) juga mengatakan bahwa gaya kepemimpinan demokratis berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja. Penelitian yang dilakukan pada perawat di pusat pelayanan kesehatan menunjukkan adanya pengaruh yang negatif antara gaya kepemimpinan demokratis dan kepuasan kerja (Wong, 2007).

  2.6.3. Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja Karyawan

  Penelitian Yuwalliatin (2006), menunjukkan budaya kinerja karyawan. Berdasarkan hasil analisis deskriptif oleh Adriyanti (2014) hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel budaya organisasi memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Arif (2010) mengatakan budaya organisasi berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan, artinya apabila budaya organisasi meningkat, maka kinerja karyawan akan meningkat.

  2.6.4. Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kepuasan Kerja

  Berdasarkan penelitian oleh Koesmono (2005) dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi berpengaruh terhadap motivasi dan kepuasan kerja serta kinerja pada karyawan. Berdasarkan penelitian oleh Ida dan Suprayetno (2008) menunjukkan bahwa budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan.

  2.6.5. Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Kinerja Karyawan

  Dalam penelitian Chaterina (2012), membuktikan bahwa terdapat pengaruh yang searah antara kepuasan kerja dan kinerja karyawan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kepuasan kerja yang dirasakan oleh karyawan, maka semakin tinggi tingkat kinerja karyawannya. Indikator kepuasan kerja yang paling mendominasi adalah kepuasan terhadap rekan kerja, dimana hal ini menunjukkan bahwa ketika seorang karyawan merasa puas terhadap rekan kerja mereka, maka ketika itu pula karyawan memandang pekerjaannya sebagai sesuatu yang menyenangkan dan cenderung memiliki kinerja yang baik.

  Gaya Kepemimpinan

  H1

  Demokratis (X1) H2

  H3

  Kinerja Karyawan Kepuasan Kerja (Z)

  (Y) H4

  Budaya Organisasi

  H5

  (X2)

Gambar 2.1 Model Penelitian

2.7. Hipotesis Penelitian

  Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah tersebut dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Juga dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian, belum jawaban yang empirik dengan data.

  (Sugiyono, 2015). Hipotesis dalam penelitian ini adalah : H1: Diduga gaya kepemimpinan demokratis mempunyai pengaruh tidak langsung yang signifikan terhadap kinerja karyawan karena dimediasi oleh kepuasan kerja pada PT Madubaru PG PS Madukismo.

  H2: Diduga gaya kepemimpinan demokratis mempunyai pengaruh langsung yang signifikan terhadap kinerja karyawan pada PT Madubaru PG PS Madukismo. H3: Diduga kepuasan kerja mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja karyawan pada PT Madubaru PG PS Madukismo.

  H4: Diduga budaya organisasi mempunyai pengaruh tidak langsung yang signifikan terhadap kinerja karyawan karena dimediasi oleh kepuasan kerja pada PT Madubaru PG PS Madukismo. H5: Diduga budaya organisasi mempunyai pengaruh langsung yang signifikan terhadap kinerja karyawan pada PT Madubaru PG PS

  Madukismo.

Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KINERJA KARYAWAN DENGAN MOTIVASI SEBAGAI VARIABEL INTERVENING

0 19 21

PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KINERJA GURU DENGAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING (STUDI PADA GURU SDN SE-KECAMATAN PASAMAN) ARTIKEL

0 2 18

PENGARUH KONFLIK PEKERJAAN-KELUARGA DAN KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI DENGAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING ARTIKEL

0 5 18

PENGARUH BUDAYA ORGANISASI, KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN SELF EFFICACY TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI DENGAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING

0 0 14

PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KINERJA DOSEN DENGAN MOTIVASI SEBAGAI VARIABEL INTERVENING Sundari, Marginingsih

0 0 12

PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN LINGKUNGAN KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI STAIN KERINCI DENGAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING

0 0 17

PENGARUH KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KINERJA PEGAWAI DENGAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING PADA DINAS PERHUBUNGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA KABUPATEN KEPULAUAN MENTAWAI ARTIKEL

0 0 16

PENGARUH MOTIVASI KERJA, KEPEMIMPINAN DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KINERJA PERAWAT DENGAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING : STUDI PADA RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN

0 1 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gaya Kepemimpinan Transformasional 2.1.1 Definisi Gaya Kepemimpinan Transformasional - Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Lingkungan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan pada PT PLN(Persero) Area Medan

0 8 32

BAB II GAYA KEPEMIMPINAN DAN KINERJA KARYAWAN A. Gaya kepemimpinan 1. Pengertian gaya Kepemimpinan - GAYA KEPEMIMPINAN PADA RUMAH MAKAN PUTI MINANG CABANG HAJI MENA NATAR LAMPUNG SELATAN DALAM MENINGKATKAN KINERJA KARYAWAN - Raden Intan Repository

0 0 21