Memaknai lebaran dari sudut pandang priayi dan wong cilik dalam kumpulan cerpen Lebaran di Karet, di Karet...karya Umar Kayam tinjauan sosiologi sastra - USD Repository

  

MEMAKNAI LEBARAN DARI SUDUT PANDANG

PRIAYI DAN WONG CILIK DALAM KUMPULAN CERPEN

LEBARAN DI KARET, DI KARET… KARYA UMAR KAYAM

  SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

  Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Sastra Indonesia

  Oleh Kenas Witriasari

  NIM: 014114042

  

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2006

  

(Astuti Yudhiasari)

(Astuti Yudhiasari) Puji syukur karena Tuhan Yesus Kristus telah selalu memberi berkat dan kuasa- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “Memaknai Lebaran Dari Sudut Pandang Priayi Dan Wong Cilik Dalam Kumpulan Cerpen Lebaran

  Di karet, Di Karet… karya Umar Kayam Suatu Tinjauan Sosiologis”

  Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak dapat diselesaikan tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada.

  1. Bpk. Drs. B. Rahmanto, M. Hum selaku dosen Pembimbing I, terima kasih atas bimbingan dan dukungannya selama ini berupa nasihat, kritik membangun, pengertian serta kesediaan Bapak meluangkan waktu sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.

  2. Ibu S. E. Peni Adji, S.S., M. Hum selaku dosen Pembimbing II, terima kasih atas bimbingan dan dukungannya selama ini berupa petunjuk, dorongan serta koreksinya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.

  3. Bapak dan Ibu dosen program studi Sastra Indonesia yang telah mendidik dan membimbing saya dalam menempuh pendidikan di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma.

  4. Pegawai dan Staf Sekretariat Fakultas Sastra atas bantuannya memberikan informasi yang dibutuhkan penulis sebagai penunjang dalam menyelesaikan skripsi ini.

  5. Pegawai dan Staf Perpustakaan Universitas Sanata Dharma atas bantuannya dalam mencari buku-buku sebagai referensi dalam menyelesaikan skripsi ini.

  6. Ayahku Wiji Rusmanto dan Ibuku Yayik Ismiyati, terima kasih atas kasih sayang, doa serta dorongan baik moral maupun material untuk penulis segera menyelesaikan skripsi ini.

  7. Adikku Yunas Isdwiantoro, sepupu-sepupuku Sinta, Berta, Yason, Glory, dan Priskaku yang lucu serta seluruh keluarga besarku, terima kasih untuk semuanya.

  8. Petrus Ruddy Eppata, kekasih hatiku sekaligus teman terbaik dalam suka dukaku, thank’s for everything. Kata-katamu selalu memberi arti buat semangatku bahwa “KEYAKINAN akan sesuatu hal akan mendatangkan suatu KEBENARAN”.

  9. Thank,s to Mas Febby yang telah membantuku disaat aku mengalami kekritisan

  10. Novi, Kingkin, dan Sherly terima kasih atas dukungan dan semangat buatku untuk mengejar ketinggalan ini. Keceriaan dan kebersamaan yang terjalin sangat indah dan penuh makna telah mewarnai hari-hariku.

  11. Teman-teman seperjuanganku, Yuni, Atik, Martina, Indah, Zhita, Antok, Dwik, Gogon, Parto, dan seluruh teman-teman Sastra Indonesia angkatan 2001 yang tidak bisa kusebutkan satu persatu, terima kasih atas kebersamaannya selama ini.

  12. Anak-anak kos Gatotkaca 4B (Anggi, Feni, Celsi, Nancy, dan Itin), terima kasih atas persahabatan yang sudah terjalin.

  13. Semua pihak (tanpa terkecuali) yang telah membantu dan mendukung sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih banyak…

  Penulis menyadari sepenuhnya skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, segala saran dan kritik dari berbagai pihak akan penulis terima dengan senang hati.

  Harapannya penulis dapat lebih meningkatkan dan menyempurnakan penelitian ini. Penulis juga berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

  Yogyakarta, 24 November 2006 Penulis Dengan sepenuh hati dan sesungguhnya, saya menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya orang lain kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

  Yogyakarta, 24 November 2006 Penulis Kenas Witriasari

  

ABSTRAK

  Witriasari, Kenas. 2006. Memaknai Lebaran dari Sudut Pandang Priayi dan Wong Cilik dalam Kumpulan Cerpen Lebaran di Karet, di Karet… Karya Umar Kayam Tinjauan Sosiologi Sastra. Skripsi. Yogyakarta: Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

  Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana memaknai Lebaran dari sudut pandang priayi dan wong cilik dalam kumpulan cerpen Lebaran di Karet, di

  

Karet… karya Umar Kayam. Metode yang digunakan adalah metode kepustakaan dan

deskriptif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologis.

  Dalam menganalisis permasalahan, tahap pertama yang diambil adalah mendeskripsikan alur dan tokoh. Kemudian alur dan tokoh tersebut dideskripsikan melalui priayi dan wong cilik dalam memaknai Lebaran.

  Hasil penelitian ini dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. Pertama, terdapat perbedaan antara priayi dan wong cilik dalam memaknai Lebaran. Kedua, dari sudut pandang priayi dapat diketahui bahwa pemahaman terhadap makna Lebaran sudah semakin luntur. Lebaran tidak lagi menjadi penanda religiusitas, melainkan telah menjadi simbol kesepian, kehampaan, kerepotan rumah tangga. Ketiga, dari sudut pandang wong

  

cilik , Lebaran menyisakan berbagai masalah ekonomi, sosial, dan lain-lain. Lebaran bagi

  bukan hanya sekadar mudik/pulang kampung sebagai kebahagiaan, melainkan

  wong cilik

  tempat segala persoalan muncul, seperti kemelaratan, kemiskinan, dan duka sebelum maupun sesudah Lebaran.

  

ABSTRACT

  Witriasari, Kenas. 2006. The Significance of Lebaran From The Point of View of The Priayi And Wong Cilik As Seen In The Collection of Short Stories Lebaran di By Umar Kayam, A Review of Literature Sociology. S1.

  Karet, di Karet…

  Yogyakarta: Indonesian Literature, Faculty of Literature, Sanata Dharma University .

  The objective of this study is to knowing the significance of Lebaran from the point of view of the priayi and wong cilik as seen in the collection of short stories

  

Lebaran di Karet, di Karet… by Umar Kayam. Meanwhile, the approach used in this

study is sociology approach.

  In analyzing the problems, the writer firstly describes the plot and the characters in the collection of short stories Lebaran di Karet, di Karet…. Subsequently, the writer describes the plot and the characters in the story through priayi and wong cilik in viewing Lebaran . .

  The result of this study can be concluded as follows. First, there are differences between priayi and wong cilik in understanding Lebaran. Second, the comprehension priayi towards Lebaran has been undermining. Lebaran is no longer valued as sign of religiosity; instead it has symbolized loneliness, emptiness, and household bustle. Meanwhile, the Third is Lebaran from the understanding wong cilik has left problems in economic, social and others. They have not viewed Lebaran as the happy annual returning home to their village again, but it has also been the time when problem, such as poverty is arising.

  DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL ……………………………………………………... i HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ……………………... ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ……………………………... iii HALAMAN PERSEMBAHAN …………………………………….. iv MOTTO …………………………………………………………….. v KATA PENGANTAR …………………………………………….. vi PERNYATAAN KEASLIAN …………………………………….. ix ABSTRAK …………………………………………………………….. x

  

ABSTRACT …………………………………………………………….. xi

  DAFTAR ISI …………………………………………………………….. xii BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………..

  1 1.1 Latar Belakang ……………………………………………...

  1

  1.2 Rumusan Masalah ………………………………………

  3 1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………………...

  3 1.4 Manfaat Penelitian ……………………………………...

  4 1.5 Tinjauan Pustaka ……………………………………………...

  4 1.6 Landasan Teori ……………………………………………...

  6 1.6.1 Sosiologi Sastra ……………………………..

  6 1.6.2 Sosiologi Kebudayaan ……………………..

  8 1.6.2.1 Priayi dan Wong Cilik ……………………..

  8 1.6.2.2 Makna Lebaran ……………………………..

  10

  1.6.3 Alur ……………………………………………...

  11 1.6.4 Tokoh ……………………………………………...

  14

  1.7 Metode Penelitian …………………………………………

  16 1.7.1 Sumber Data ……………………………………........

  16 1.7.2 Metode Penelitian ……………………………........

  16 1.7.3 Populasi dan Sampel Penelitian ……………........

  16

  1.8 Sistematika Penyajian …………………………………………

  17 BAB II ANALISIS ALUR DAN TOKOH DALAM KUMPULAN CERPEN

  LEBARAN DI KARET, DI KARET… KARYA UMAR KAYAM 2.1 “Ke Solo, Ke Njati” ……………………………………..

  19 2.1.1 Alur ……………………………………………...

  19 2.1.2 Tokoh ……………………………………………...

  23 2.2 “Ziarah Lebaran” ………………………………………

  25 2.2.1 Alur ……………………………………………...

  25

  2.2.2 Tokoh ………………………………………………

  29 2.3 “Menjelang Lebaran” ………………………………………

  31

  2.3.1 Alur ………………………………………………

  31

  2.3.2 Tokoh ………………………………………………

  32 2.4 “Lebaran Ini, Saya Harus Pulang” ………………………

  33

  2.4.1 Alur ………………………………………………

  33

  2.4.2 Tokoh ………………………………………………

  37

  2.5 “Marti” ……………………………………………………….

  39 2.5.1 Alur ……………………………………………….

  39 2.5.2 Tokoh ……………………………………………….

  41 2.6 “Mbok Jah” ………………………………………………

  42 2.6.1 Alur ………………………………………………..

  42 2.6.2 Tokoh ………………………………………………..

  45 ` 2.7 “Lebaran di Karet, di Karet”……………………………………

  46 2.7.1 Alur ………………………………………………..

  46 2.7.2 Tokoh ………………………………………………..

  48 2.8 “Sardi” ………………………………………………………....

  50

  2.8.1 Alur …………………………………………………

  50

  2.8.2 Tokoh …………………………………………………

  51 BAB III MEMAKNAI LEBARAN DARI SUDUT PANDANG PRIAYI DAN WONG

  CILIK DALAM KUMPULAN CERPEN LEBARAN DI KARET, DI KARET…

  KARYA UMAR KAYAM …………………………………………

  53

  3.1 Lebaran dari Sudut Pandang Priayi …………………………

  55

  3.1.1 Kehampaan dan Kesepian …………………………

  55

  3.1.2 Kerepotan Rumah Tangga/ Pembantu Mudik …………

  59

  3.2 Lebaran dari Sudut Pandang Wong Cilik …………………………

  62

  3.2.1 Pulang Kampung …………………………………

  62

  3.2.2 Kemelaratan …………………………………………

  65

  3.2.3 Duka Lebaran …………………………………………

  68 BAB IV PENUTUP …………………………………………………………

  70

  4.1 Kesimpulan …………………………………………………

  70

  4.2 Saran …………………………………………………………

  71 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………

  72 DAFTAR RIWAYAT …………………………………………………

  74 Karya sastra merupakan media penyampaian yang sifatnya universal artinya karya sastra dapat menggambarkan keadaan sosial masyarakat atau penyampaian suatu pokok permasalahan dalam bentuk cerita. Sebagai karya fiksi, cerpen lebih menggambarkan sebuah cerita serba ringkas tidak sampai pada detail-detail khusus yang “kurang penting”. Segala hal dikemukakan secara implisit. Karya sastra fiksi menyaran pada suatu karya yang menceritakan sesuatu bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh, sehingga ia tidak perlu dicari kebenarannya (Nurgiyantoro, 1995: 2).

  Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama. Karya sastra merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Karya sastra merupakan karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas sebagai karya seni. Oleh karena itu, bagaimanapun, fiksi merupakan sebuah cerita, dan karenanya terkandung juga di dalamnya tujuan memberikan hiburan kepada pembaca di samping adanya tujuan estetik (Nurgiyantoro, 1995: 3).

  Hampir setiap majalah, juga majalah yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kesusastraan ataupun kebudayaan umumnya memuat cerpen setiap terbit, atau bahkan mempunyai ruangan untuk cerpen, walaupun sering cerpen yang dimuatnya bukanlah cerpen yang berkadar sastra sama sekali. Minat yang berlebih-lebihan terhadap cerpen ini, bisalah diartikan sebagai tanda bahwa cerpen adalah bentuk sastra yang paling digemari, lagi pula lapangan pembacanya lebih, bahkan jauh lebih luas daripada puisi (Rosidi via Eneste, 1983: 15).

  Bentuknya yang pendek dan selalu berbicara secara prosaik, di samping pesona yang diberikannya, mengakibatkan cerita pendek mudah dibaca, mudah diikuti dan mudah dinikmati (Sumardjo via Eneste, 1983: 29). Dalam penelitian ini, penulis mengangkat cerita dari kumpulan cerpen karya Umar Kayam yang berjudul

  

Lebaran di Karet, di Karet ... . Ada tigabelas cerpen di dalam kumpulannya, namun

  peneliti hanya mengambil delapan cerita saja dalam kumpulan ini. Delapan cerpen yang akan diteliti mempunyai keterkaitan cerita yang hampir sama, yaitu sama-sama menceritakan mengenai lebaran. Delapan cerpen dalam kumpulan cerpen Lebaran di

  

Karet, di Karet... berkisah seputar Lebaran dengan segala liku-likunya. Segala liku-

liku dalam memaknai Lebaran dari sudut pandang priayi dan wong cilik.

  Ada beberapa faktor mengapa penulis memilih kumpulan cerpen Lebaran di

  

Karet, di Karet... karya Umar Kayam. Pertama, dalam cerpen-cerpennya, Umar

  Kayam senantiasa menunjukkan simpatinya yang besar terhadap nyaris semua tokohnya. Ia mencoba memahami dan bertepa selira dengan nasib serta situasi tokoh- tokohnya. Berbagai peristiwa juga disajikan dalam urutan tertentu, dan peristiwa yang diurutkan itu membangun tulang punggung cerita yaitu alur. Kedua, penulis ingin mengungkapkan secara rinci situasi dan kondisi saat lebaran tiba dari sudut pandang priayi dan wong cilik dalam kumpulan cerpen karya Umar Kayam. Priayi dan wong

  

cilik tidak bisa dilepaskan begitu saja dalam lingkungan kebudayaan Jawa. Priayi

  adalah lapisan atas dalam masyarakat Jawa, dan fungsinya baru jelas jika di sekelilingnya ada wong cilik. Ini sekaligus mengisyaratkan adanya suatu hal dalam kebudayaan Jawa, yaitu terlihat garis batas (yang sering sangat tegas) antara priayi dan wong cilik. Penulis ingin mengungkapkan antara priayi dan wong cilik dari segi mereka memaknai Lebaran dalam kumpulan cerpen ini.

  1.2 Rumusan Masalah

  Untuk memudahkan penelitian dan merumuskan penelitian ini, penulis akan merumuskan masalah sebagai berikut.

  1.2.1 Bagaimanakah alur dan tokoh cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen

  Lebaran di Karet, di Karet... karya Umar Kayam?

  1.2.2 Bagaimanakah priayi dan wong cilik memandang dan memaknai Lebaran dalam kumpulan cerpen Lebaran di Karet, di Karet... karya Umar Kayam?

  1.3 Tujuan Penelitian

  Bertolak dari rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.3.1 mendeskripsikan alur dan tokoh cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen

  Lebaran di Karet, di Karet... karya Umar Kayam,

  1.3.2 mendeskripsikan priayi dan wong cilik memandang dan memaknai Lebaran dalam kumpulan cerpen Lebaran di Karet, di Karet... karya Umar Kayam.

  1.4 Manfaat Penelitian

  Suatu penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat, baik itu manfaat secara teoritis maupun secara praktis. Adapun manfaat penelitian tersebut sebagai berikut :

  1.4.1 Manfaat Teoritis Kumpulan cerpen Lebaran di Karet, di Karet... karya Umar Kayam dapat memberikan gambaran mengenai priayi dan wong cilik memaknai lebaran dalam kebudayaan Jawa. Penelitian ini adalah pengkajian mengenai bagaimana priayi dan

  

wong cilik memaknai, memahami, menghayati, serta menyiasati Lebaran. Hasil

  penelitian ini dimaksudkan untuk menambah dan memperkaya khasanah penelitian sastra Indonesia khususnya analisis kumpulan cerpen dengan pendekatan sosiologi sastra.

  1.4.2 Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan apa saja yang melatarbelakangi bagaimana cara priayi dan wong cilik memaknai, menghayati, serta menyiasati Lebaran dalam kumpulan cerpen Lebaran di Karet, di Karet... karya Umar Kayam. Manfaat praktis ini dapat dijadikan cermin dalam diri pembaca apabila menghadapi keadaan tersebut.

  1.6 Tinjauan Pustaka

  Mengutip ulasan kupas buku oleh Sjaiful Masri, Pengelola Situs Sriti.com dengan judul “Di Setiap Lebaran....” (Matabaca, November 2005) yang mengatakan bahwa Kayam menyimpan puasa dan Lebaran sebagai hal yang menghadirkan problem sosial. Kendati dengan cara yang sederhana, Kayam menyentuh Lebaran dengan kepekaannya sebagai pencerita ulung.

  Damono dengan “Glenyengan Umar Kayam” dalam buku Umar Kayam “Sugih Tanpa Banda: Mangan Ora Mangan Kumpul 2”, mengatakan bahwa

  

priyagung adalah lapisan atas dalam masyarakat Jawa. Dalam gleyengannya,

priayagung fungsinya baru jelas jika disekelilingnya ada wong cilik. Ini

  mensyaratkan kehadiran wong cilik, sebab glenyengan baru terasa kekhasan dan daya gunanya hanya jika berlangsung antara priayi dan wong cilik.

  Sobary dengan tulisannya “Ki Ageng Memandang Dunia” dalam buku Umar Kayam “Madhep Ngalor Sugih; Madhep Ngidul Sugih: Mangan Ora Mangan

  

Kumpul 3”, mengatakan bahwa tema dalam kolom-kolomnya sederhana. Tema,

  umumnya menyangkut perkara biasa dalam hidup sehari-hari. Tulisan-tulisannya menggambarkan model masyarakat dua kelas yaitu kelas priayi, yang menghuni struktur atas, dan kelas kawula, orang biasa, penghuni struktur bawah dalam masyarakat.

  Fahrizal dalam esainya “Para Priyayi Dalam Para Priyayi” (Horison-

  XXXIV/3/2001) menjelaskan tentang siapakah priayi itu? Kayam mendefinisikan priyayi sebagai orang Jawa yang berhasil duduk dalam jenjang pemerintahan, tidak peduli apakah pemerintahan gupermen atau kerajaan Jawa. Pada galibnya, bagi wong

  

cilik , di balik sebutan priyayi itu ada sejumlah obsesi dan ambisi, di samping sebuah

kata kunci: pencapaian.

  Rahman dalam esainya “Representasi Priyayi Dalam Dua Novel Kita” (Horison XXXIV/3/2001) menyimpulkan adanya dunia priayi dan wong cilik.

  Pertama, cita ideal priyayi adalah pengangkat derajat wong cilik. Sebagai kelas sosial yang lebih tinggi, secara moral, priayi bertanggungjawab untuk menyelamatkan lapisan sosial di bawah mereka, yang sangat tertinggal baik secara ekonomi maupun pendidkan. Kedua, kelas sosial priayi bukanlah monopoli orang-orang berdarah biru, melainkan dimungkinkan tumbuh dari keluarga berdarah non-biru, meskipun dalam hal ini “hanyalah” priayi rendah. Dengan begitu , priayi meliputi lingkup yang lebih luas, mencakup orang-orang terdidik.

  Rahmanto dalam bukunya yang membahas “Umar Kayam: Karya Dan

  

Dunianya ”, mengatakan bahwa ada hubungan antarmanusia dalam Lebaran Di Karet,

Di Karet...

  1.7.1 Sosiologi Sastra Sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat; telaah tentang lembaga dan proses sosial. Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain yang kesemuanya itu merupakan struktur sosial-kita mendapatkan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat di tempatnya masing-masing (Damono, 1979: 7).

  Tentang hubungan antara sosiologi dan sastra, (Swingewood via Damono 1972: 15) mengetengahkan pandangan yang lebih positif. Ia tidak berpihak pada pandangan yang menganggap sastra sebagai sekadar bahan sampingan saja.

  Swingewood menyadari bahwa sastra diciptakan pengarang dengan menggunakan seperangkat peralatan tertentu, dan seandainya sastra memang merupakan cermin masyarakatnya, apakah pencerminan itu tidak rusak oleh penggunaan alat-alat sastra itu secara murni? (Damono, 1979: 14).

  Pengarang besar tentu saja tidak sekadar menggambarkan dunia sosial secara mentah. Ia mengemban tugas yang mendesak: memainkan tokoh-tokoh ciptaannya itu dalam suatu situasi rekaan agar mencari “nasib” mereka sendiri-untuk selanjutnya menemukan nilai makna dalam dunia sosial. Sastra karya pengarang besar melukiskan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia; oleh karena itu barangkali, ia merupakan salah satu barometer sosiologis yang paling efektif untuk mengukur tanggapan terhadap kekuatan-kekuatan sosial. Selain itu, karena sastra juga akan selalu mencerminkan nilai-nilai dan perasaan sosial, dapat diramalkan bahwa semakin sulit nantinya mengadakan analisis terhadap sastra sebagai cermin masyarakatnya sebab masyarakat semakin sulit (Damono, 1979: 14).

  1.7.2 Alur Plot dalam cerpen umumnya tunggal, hanya terdiri dari satu urutan peristiwa yang diikuti sampai cerita berakhir (bukan selesai, sebab banyak cerpen, juga novel, yang tidak berisi penyelesaian yang jelas, penyelesaian diserahkan kepada interprestasi pembaca). Urutan peristiwa dapat dimulai dari mana saja, misalnya dari konflik yang telah meningkat, tidak harus bermula dari tahap perkenalan (para) tokoh atau latar. Kalaupun ada unsur perkenalan tokoh dan latar, biasanya tak berkepanjangan. Berhubung berplot tunggal, konflik yang dibangun dan klimaks yang akan diperoleh pun, biasanya, bersifat tunggal pula (Nurgiyantoro, 1995: 13).

  Pengertian plot itu sendiri adalah hubungan antarperistiwa yang dikisahkan itu haruslah bersebab akibat, tidak hanya sekadar berurutan secara kronologis saja.

  Berbagai pengertian tentang plot yang dikemukakan orang pun, walau berbeda dalam hal perumusan, biasanya mempergunakan kata “kunci” peristiwa-peristiwa yang berhubungan sebab akibat itu (Nurgiyantoro, 1995: 112-113).

  Peristiwa, konflik, dan klimaks merupakan tiga unsur yang amat esensial dalam pengembangan sebuah plot cerita. Eksistensi plot itu sendiri sangat ditentukan oleh ketiga unsur tersebut. Demikian pula halnya dengan masalah kualitas dan kadar kemenarikan sebuah cerita fiksi. Ketiga unsur itu mempunyai hubungan yang mengerucut : jumlah cerita dalam sebuah karya fiksi banyak sekali, namun belum tentu semuanya mengandung dan atau merupakan konflik, apalagi konflik utama.

  Jumlah konflik juga relatif masih banyak, namun hanya konflik(-konflik) utama tertentu yang dapat dipandang sebagai klimaks (Nurgiyantoro, 1995: 116-117 ).

  Peristiwa dapat diartikan sebagai peralihan dari satu keadaan ke keadaan yang lain (Luxemburg dkk via Nurgiyantoro, 1995: 117). Berdasarkan pengertian itu, kita akan dapat membedakan kalimat-kalimat tertentu yang menampilkan peristiwa dengan yang tidak. Peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam karya fiksi pastilah banyak sekali, namun tidak semua peristiwa tersebut berfungsi sebagai pendukung plot. (Nurgiyantoro, 1995: 117).

  Konflik (conflict), yang notabene adalah kejadian yang tergolong penting (jadi, ia akan berupa peristiwa fungsional, utama, atau kernel) merupakan unsur yang esensial dalam pengembangan plot. Pengembangan plot sebuah karya naratif akan dipengaruhi-untuk tidak dikatakan: ditentukan-oleh wujud dan isi konflik, bangunan konfik yang ditampilkan. Misalnya, peristiwa-peristiwa manusiawi yang seru, yang sensasional, yang saling berkaitan satu dengan yang lain dan menyebabkan munculnya konflik(-konflik) yang kompleks, biasanya cenderung disenangi pembaca.

  Peristiwa dan konfik biasanya berkaitan erat, dapat saling menyebabkan terjadinya satu dengan yang lain, bahkan konflik pun hakikatnya merupakan peristiwa. Ada peristiwa tertentu yang dapat menimbulkan terjadinya konflik. Sebaliknya, karena terjadi konfik, peristiwa-peristiwa lain pun dapat bermunculan, misalnya yang sebagai akibatnya. Konfik utama biasanya berhubungan erat dengan makna yang ingin dikemukakan pengarang: tema (utama) cerita. Usaha menemukan dan memahami konfik utama sebuah cerita, dengan demikian, amat membantu untuk menemukan dan memahami makna yang dikandungnya (Nurgiyantoro, 1995: 122- 124).

  Konflik dan klimaks merupakan hal yang amat penting dalam struktur plot, keduanya merupakan unsur utama plot pada karya fiksi. Klimaks hanya dimungkinkan ada dan terjadi jika ada konflik. Namun, tidak semua konflik harus mencapai klimaks-hal itu mungkin sejalan dengan keadaan bahwa tidak semua konflik harus mempunyai penyelesaian (Nurgiyantoro, 1995: 126-127).

  Klimaks menurut (Stanton via Nurgiyantoro 1995: 127), adalah saat konflik telah mencapai tingkat intensitas tertinggi, dan saat (hal) itu merupakan sesuatu yang tak dapat dihindari kejadiannya. Artinya, berdasarkan tuntutan dan kelogisan cerita, peristiwa dan saat itu memang harus terjadi, tidak boleh tidak. Klimaks sangat menentukan (arah) perkembangan plot. Klimaks merupakan titik pertemuan antara dua (atau lebih) hal (keadaan) yang dipertentangkan dan menentukan bagaimana permasalahan (konflik itu) akan diselesaikan (Nurgiyantoro, 1995: 127).

  Klimaks berbeda dengan yang ada pada cerita pendek. Pada cerpen, berhubung hanya menampilkan satu konflik utama, peristiwa mana yang dapat dipandang sebagai klimaks secara relatif lebih mudah ditentukan atau disepakati. Namun, sebagai bahan perhatian dan pertimbangan, klimaks (utama) sebuah cerita akan terdapat pada konflik utama, dan hal itu akan diperani oleh tokoh(-tokoh) utama cerita. Peristiwa-peristiwa-konflik itu biasanya tak mudah untuk dibedakan mana yang lebih penting (baca: lebih tepat untuk dinyatakan sebagai klimaks) dari yang lain, sehingga semuanya mempunyai peluang yang sama untuk dianggap sebagai klimaks. Dalam hal ini kejelian kita dituntut untuk menentukan konflik mana yang lebih penting dalam hubungannya dengan bangunan plot secara keseluruhan (Nurgiyantoro, 1995: 127-128).

  1.7.3 Tokoh Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita (Sudjiman, 1988: 16). Semua unsur cerita rekaan, termasuk tokohnya, bersifat rekaan semata-mata. Tokoh itu ada di dalam dunia nyata tidak ada. Boleh jadi ada kemiripan dengan individu tertentu di dalam hidup ini; artinya, ia memiliki sifat-sifat yang sama dengan seseorang yang kita kenal di dalam hidup kita. Memang, supaya tokoh dapat diterima pembaca, ia hendaklah memiliki sifat-sifat yang dikenal pembaca, yang tidak asing baginya, bahkan yang mungkin ada pada diri pembaca itu sendiri. Dengan kata lain harus ada relevansi tokoh itu dengan pembaca (Sudjiman, 1988: 17).

  Dilihat dari segi peranan dan tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, dibagi menjadi dua bagian, yaitu tokoh utama (main character) dan tokoh tambahan (peripheral character). Tokoh utama (main character) adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya. Ia merupakan tokoh yang paling sering diceritakan. Sedangkan tokoh tambahan (peripheral character) adalah tokoh yang hanya dimunculkan beberapa kali saja dan dalam porsi pendek (Nurgiyantoro, 1995: 176).

  Karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Ia selalu hadir sebagai pelaku, atau yang dikenai kejadian dan konflik, penting yang mempengaruhi perkembangan plot. Di pihak lain, pemunculan tokoh- tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama (Nurgiyantoro, 1995: 177).

  1.7.4 Priayi dan Wong Cilik Konsep priayi yang menunjuk kepada golongan sosio-kultural mengandung pengertian bahwa golongan itu perlu diidentifikasikan dengan lapisan atau kelas Di sini konsep pribumi jelas menunjukkan perbedaan antara priayi dan wong cilik. Kedudukan priayi sebagai golongan elit perlu ditinjau dalam konteks struktur sosial masyarakat tradisional-kolonial (Kartodirdjo, 1987: 1-2).

  Menurut van Niel (via Kartodirdjo, 1987: 4), golongan priayi sebagai kelompok sosial di sekitar tahun 1900 adalah golongan elit, yaitu siapa saja yang berdiri di atas rakyat jelata, yang dalam beberapa hal memimpin, memberi pengaruh, mengatur dan menuntun masyarakat. Administratur, pegawai pemerintahan dan orang-orang yang berpendidikan dan berkedudukan lebih baik, mereka adalah priayi. Keturunan tidak menjadi unsur penting; unsur yang terutama bagi golongan priayi adalah fungsi pada administrasi pemerintahan tertentu. Sedangkan menurut Greertz (via Kartodirdjo 1987: 9), priayi adalah kelompok sosial – dari mana asal warganya tidak menjadi soal – yang mempunyai tingkah laku dan mempunyai nilai-nilai hidup sendiri.

  Dalam bukunya Kebudayaan Jawa, Koentjaraningrat (via Kartodirdjo, 1987: 9-10) mengatakan bahwa pegawai-pegawai negeri sebelum Perang Dunia II dinamakan priyayi. Pada waktu itu dibedakan antara priayi pangrehpraja dan priayi bukan pangrehpraja. Golongan priayi pangrehpraja adalah pejabat-pejabat Pemerintahan Daerah, yaitu orang-orang yang terpenting dan yang paling tinggi gengsinya di antara priayi lainnya, yang disebabkan karena sifat kebangsawanan mereka. Golongan priayi yang kedua adalah golongan orang-orang terpelajar, yang berasal dari daerah pedesaan atau daerah golongan tiyang alit di kota yang berhasil mencapai kedudukan pegawai negeri melalui pendidikan (Mujiran,2006).

  Setiap kali Lebaran, pengalaman wong cilik saat masih tinggal di desa, sangat sederhana. Saat sebelum wong cilik belum mengadu nasib dan bekerja di Jakarta.

  Pengalamanan hidup di desa, hidup berdampingan dengan sesama saudara secara damai, penuh kebersamaan dan kekeluargaan. Kesederhanaan wong cilik sebagai orang desa tetap terlihat saat wong cilik bekerja di kota (Mujiran, 2006).

  Lebaran seperti ini biasanya dimulai dengan puasa Ramadhan yang dihormati semua kalangan. Kesederhanaan wong cilik sebagai orang desa, dan tantangan alam yang keras menyebabkan mereka harus survive bekerja di Jakarta. Wong cilik menghadapi kerasnya hidup, sukarnya bertahan hidup dalam kondisi sulit pada saat Lebaran tiba. Dalam kacamata wong cilik, semua masalah bisa dipecahkan, dicari jalan pemecahan yang berguna dalam hidup bersama (Mujiran, 2006).

  Sudah menjadi ciri masyarakat Jawa, kecenderungan menengok ke belakang, memandang masa lampau, dan menatap ke dalam sangat kuat. Koentjaraningrat (1969), membagi ciri mental manusia Indonesia menjadi dua, yaitu mental petani (wong cilik) dan priayi. Mental petani itu dicirikan dari anggapan bahwa hidup itu buruk, penuh dosa, dan kesengsaraan, tetapi wajib menyadari keburukan itu dengan berlaku prihatin, dan wajib berbuat sebaiknya dengan usaha dan ikhtiar (Subandriyo, 2005).

  1.7.5 Makna Lebaran Sesudah menjalani ibadah puasa selama sebulan penuh, umat Islam merayakan hari raya Idul Fitri atau Lebaran. Kira-kira seminggu sampai beberapa hari sebelum hari raya, banyak orang pulang kampung untuk merayakan Idul Fitri bersama dengan keluarga dan kerabat dekat. Tradisi pulang kampung ini disebut

  

mudik . Karena kebanyakan orang Indonesia mudik dengan transportasi umum

sebelum dan sesudah hari raya.

  Fenomena mudik yang telah berlangsung puluhan tahun ini juga menunjukkan bahwa hubungan emosional masyarakat dengan tempat kelahiran masih sangat kuat, tidak pernah terkikis oleh perjalanan waktu. Di negara maju, seperti Amerika Serikat (AS) juga terdapat tradisi semacam mudik seperti yang dilakukan masyarakat Indonesia dan dikenal dengan istilah home-coming. Fenomena mudik masyarakat Indonesia, utamanya masyarakat Jawa, juga dilatarbelakangi oleh kecenderungan inward-looking yang sangat kuat (Subandriyo, 2005).

  Momen Lebaran mampu menyedot perhatian semua kelompok dan lapisan masyarakat sehingga kedatangannya senantiasa dinanti-nanti. Daya tarik Lebaran bagi semua kelompok dan lapisan masyarakat ada dua hal. Pertama, momen Lebaran mampu menciptakan kembali suasana kehidupan yang penuh dengan rasa solidaritas sosial. Bagi masyarakat di abad milenium yang berhari-hari terbiasa hidup soliter, egois, dan tak saling menyapa, mereka niscaya akan merasakan kerinduan yang sama untuk membangun kembali suasana perjumpaan sosial yang pernah mereka rasakan ketika kecil atau pada saat mereka masih tinggal di desa. Untuk itulah, bisa kita pahami mengapa setiap kali Lebaran hendak tiba, puluhan juta penduduk tanpa kenal lelah dan tanpa berhitung panjang rela menghabiskan sebagian tabungannya yang telah susah payah dikumpulkan untuk biaya mereka pulang. Kedua, hal ini disebabkan pada hari Lebaran interaksi sosial yang terbangun layaknya sebuah zona sosial yang relatif netral (Suyanto,2004).

  Di hari Lebaran, tidak peduli apakah seseorang disebut santri, priayi, atau abangan, mereka semua memiliki kesempatan untuk saling menyapa dan bercengkerama layaknya kerabat dekat yang sudah sekian puluh tahun tak ketemu. Bahkan, orang yang berbeda ideologi dan berbeda partai politik, ketika Lebaran tiba, maka tiba-tiba saja batas itu menjadi lenyap. Hakikat Lebaran di sini memang bukan hanya berarti tercerahkannya kembali fitrah manusia. Namun, secara sosiologis, Lebaran juga bermakna terjalinnya kembali tali persaudaraan dan tumbuhnya semangat pluralisme (Suyanto, 2004).

  1.8.1 Sumber Data Sumber data penelitian ini berupa kumpulan cerpen, dengan spesifikasi sebagai berikut : a. Judul Buku : Lebaran di Karet, di Karet...

  b. Pengarang : Umar Kayam c. Terbitan : Penerbit Buku Kompas, Jakarta November 2002

  d. Tebal Buku : 99 halaman

  1.8.2 Metode Penelitian Metode penelitian dapat diperoleh melalui gabungan dua metode, dengan syarat kedua metode tidak bertentangan. Metode deskriptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan sesuatu hal yang kemudian disusul dengan analisis. Secara etimologis deskripsi dan analisis berarti menguraikan. Analisi yang berasal dari bahasa Yunani analyein (‘ana’ = atas, ‘lyein’ = lepas, urai), telah diberikan arti tambahan, tidak semata-mata menguraikan melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya (Ratna, 2004: 53).

  1.8.3 Populasi dan Sampel Penelitian Dalam penelitian ini, populasi penelitian adalah seluruh cerpen dalam kumpulan cerpen Lebaran di Karet, di Karet... karya Umar Kayam. Kumpulan cerpen terdiri dari tiga belas cerpen yang pernah dimuat dalam surat kabar kecuali “Sardi” yang belum pernah dipublikasikan, yaitu “Ke Solo, ke Njati” (Kompas, 21 April 1991), “Ziarah Lebaran” (Kompas, 20 Maret 1994) “Menjelang Lebaran” (Kompas,

  25 Januari 1998), “Lebaran Ini, Saya Harus Pulang” (Kompas, 17 Januari 1999),

  

“Marti” (Kompas, 5 Maret 1995), “Mbok Jah” (Republika, 20 Maret 1994),

“Lebaran di Karet, di Karet” (Kompas, 24 Desember 2000), “Sardi” (belum pernah

  dipulikasikan), “There Goes Tatum” (Kompas, 23 Maret 1970), “Sphinx” (Kompas,

  15 September 1996), “Raja Midas”(Kompas, 22 Desember 1996), “Parta Krama” (Kompas, 23 Feruari 1997), “Drs Citraksi & Drs Citraksa” (Kompas, 2 Maret 1997).

  Sampel dalam penelitian ini adalah delapan cerpen dari seluruh populasi. Delapan cerpen ini diambil penulis karena mempunyai keterkaitan cerita mengenai Lebaran.

  Delapan cerpen ini mengisahkan seputar Lebaran dengan segala liku-likunya. Liku- liku Lebaran dialami oleh priayi dan wong cilik dalam memaknai Lebaran.

  Kehampaan, kebahagiaan, kegalauan, kemelaratan, dan kemiskinan yang dialami oleh priayi dan wong cilik saat memaknai Lebaran diceritakan dalam kumpulan Lebaran