Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam

(1)

ETIKA KEKUASAAN JAWA DALAM NOVEL

PARA PRIYAYI KARYA UMAR KAYAM

TESIS

Oleh

DEWI AYU LARASATI

NIM. 097009008/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

PROGRAM STUDI LINGUISTIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

ETIKA KEKUASAAN JAWA DALAM NOVEL

PARA PRIYAYI KARYA UMAR KAYAM

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora pada Program Studi Linguistik

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

DEWI AYU LARASATI

NIM. 097009008/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

PROGRAM STUDI LINGUISTIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(3)

Judul Tesis : ETIKA KEKUASAAN JAWA DALAM NOVEL

PARA PRIYAYI KARYA UMAR KAYAM

Nama Mahasiswa : Dewi Ayu Larasati Nomor Pokok : 097009008

Program Studi : Linguistik

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr.Ikhwanuddin Nasution, M.Si.) (Dr. T. Thyrhaya Zein Sinar, M.A.) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A, Ph. D) (Prof. Dr. Ir. Rahim Matondang, MSIE)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 12 Juli 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. Anggota : 1. Dr. T. Thyrhaya Zein Sinar, M.A. 2. Dr. Eddi Setia, M.Ed., TESP.


(5)

PERNYATAAN

Judul Tesis

ETIKA KEKUASAAN JAWA DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA UMAR KAYAM

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora pada Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri.

Adapun pengutipan yang saya lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penelitian Tesis ini, telah saya cantumkan secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian Tesis ini bukan hasil karya saya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 12 Juli 2011


(6)

RIWAYAT HIDUP

I. Data Pribadi

Nama Lengkap : Dewi Ayu Larasati

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat/Tgl. Lahir : P. Berandan/3 Mei 1979

Alamat : Komplek TASBI Blok AA NO. 26, Medan

Agama : Islam

Telp. : 0812 640 4498

Email : dewiayularasaty@yahoo.com

II. Riwayat Pendidikan

SD : SD Tamansiswa LNG Arun (Tamat 1991)

SMP : SMP Tamansiswa LNG Arun (Tamat 1994)

SMA : SMA Tamansiswa LNG Arun (Tamat 1997)

S1 : Sastra Inggris, Universitas Sumatera Utara

(Tamat 2001)

S2 : Program Studi Linguistik, Sekolah Pascasarjana


(7)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.,

Bicara mengenai etika adalah suatu hal yang tak terhindarkan bagi suatu masyarakat plural yang mau mencari orientasi nilai. Tesis ini berjudul Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam; yang mana memfokuskan analisis terhadap etika kekuasaan dalam budaya Jawa yang terdapat dalam sebuah karya sastra.

Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi sebagian persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Humaniora pada Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU).

Dengan diselesaikannya tesis ini, penulis berharap dapat memberikan suatu kontribusi ilmu pengetahuan yang berharga dan bermanfaat, terutama dalam ranah ilmu kesusastraan. Hasil penelitian diharapkan dapat menjembatani harapan dan keinginan banyak pihak untuk ‘menghidupkan’ dan ‘menghidupi’ nilai-nilai kearifan dalam budaya Jawa, khususnya dalam hal etika untuk mencapai dan menjalani kekuasaan.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa tesis ini belum dapat dikatakan sempurna dan juga belum sepenuhnya mampu menjawab keinginan pembaca: melainkan merupakan sebuah langkah awal untuk menumbuhkan minat pengkajian dan pendalaman ilmu kesusastraan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik


(8)

konstruktif ataupun ilham lainnya dari pembaca demi penyempurnaan pembahasan di lain waktu.

Medan, Juli 2011 Penulis


(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji dan syukur tercurah sepenuhnya kepada Allah SWT yang telah melimpahkan berkah, rahmat, dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul ‘Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi karya Umar Kayam.’ Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Rasulullah SAW, tauladan terbaik bagi seluruh umat manusia.

Dengan terselesainya penyusunan tesis ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya dan hormat atas segala bimbingan, pengarahan, serta dorongan yang telah diberikan kepada penulis, dan disertai doa semoga amal beliau diterima Allah SWT sebagai amalan yang shaleh kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc., (CTM), Sp.A(K) selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Ir. Rahim Matondang, MSIE, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph. D. dan Dr. Nurlela, M. Hum selaku Ketua

dan Sekretaris Program Studi Linguistik, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, MSi. dan Dr. T. Thyrhaya Zein Sinar, M.A.


(10)

5. Dr. Eddy Setia, M.Ed., TESP, dan Dr. Asmyta Surbakti, M.Si. selaku penguji yang telah memberikan koreksi dan masukan dalam penyempurnaan tesis ini.

6. Bapak dan ibu dosen Program Studi Linguistik Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara.

7. Orang tua penulis, Bapak H. Iman Soeryadhie. S dan Ibu Hj. Sari Mas Bulan,

serta Ibu mertua, Yohani Yanuar.

8. Suami penulis, Fadlan Lubis.

9. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini, yang tidak

bisa saya sebutkan satu persatu.

Akhirnya, semoga tesis ini membawa manfaat untuk pengembangan ilmu

pengetahuan. Amin.

Medan, Juli 2011


(11)

DAFTAR ISI

Hal.

KATA PENGANTAR…...i

UCAPAN TERIMA KASIH...iii

DAFTAR ISI...v

DAFTAR TABEL...ix

DAFTAR BAGAN...x

DAFTAR GAMBAR...xi

DAFTAR LAMPIRAN...xii

GLOSARIUM...xiii

ABSTRAK...xvii

ABSTRACT………...xviii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian...1

1.2 Identifikasi Masalah...8

1.3 Batasan Masalah...9

1.4 Perumusan Masalah...9

1.5 Tujuan Penelitian...9

1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat Teoretis...10


(12)

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORETIS

2.1 Kajian Pustaka………11

2.2 Konsep 2.2.1 Definisi Etika 2.2.1.1 Etika Jawa………16

2.2.1.2 Etika Jawa sebagai Kebijaksanaan Hidup………...18

2.2.2 Kekuasaan Jawa 2.2.2.1 Hakikat Kekuasaan………..20

2.2.2.2 Perspektif Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa………23

2.3 Landasan Teori………28

2.4 Model Penelitian………..31

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian………...34

3.2 Sumber Data dan Data……….35

3.3 Teknik Pengumpulan Data………..35

3.4 Teknik Analisis Data………...36

BAB IV ANALISIS DATA 4.1 Analisis Tokoh Utama yang Tergambar Melalui Konsep Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi………...40


(13)

4.1.2 Kharisma………..73

4.1.3 Wewenang………...80

4.1.4 Kemampuan Khusus………88

4.2 Analisis Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi………...91

4.2.1 Membangun Wibawa Kepemimpinan……….92

4.2.1.1 Menguasai Ilmu………...93

4.2.1.2 Bersikap Ksatria………106

4.2.2 Upaya Mendapatkan Kharisma………..113

4.2.2.1 Laku Badaniah………...117

4.2.2.2 Laku Kehendak………..118

4.2.2.3 Laku Jiwa………...119

4.2.2.4 Laku Religius...120

4.2.3 Menjalankan Wewenang Secara Optimal...122

4.2.3.1Bersikap Alus………..124

4.2.3.2Memenuhi Tanggung Jawab………...131

4.2.4 Memberdayakan Kemampuan...131

BAB V TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Konsep Kekuasaan Jawa yang Tergambar Melalui Tokoh Utama dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam...134


(14)

5.2 Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam...138 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan...142

6.2 Saran………...143


(15)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

1. Konsep Kekuasaan Jawa melalui Tokoh Utama ………..166


(16)

DAFTAR BAGAN

No. Judul Halaman


(17)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

1. Skema Komponen Kekuasaan Jawa Menurut Koentjaraningrat...26


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Biografi Pengarang………156

2. Sinopsis Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam………158

3. Kulit Sampul Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam………165

4. Kartu Ikhtisar Klasifikasi Data Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel


(19)

GLOSARIUM

No. Istilah Definisi

1 Anteng meneng sugeng jeneng tenang, halus, indah, tapi berbobot 2 Becik ketitik sing ala ketara,

titenana wong cidra mangsa langgenga, sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti

kebatilan pada akhirnya akan dikalahkan oleh kebenaran. Teguhlah pada pendirianmu

3 Berbudi bawa leksana berwatak konsekuen terhadap kata atau tindakan

4. Cegah dhahar lawan guling mengurangi makan dan tidur 5. Desa mawa cara, negara mawa

tata

lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Sadarlah situasi dimanapun kau berada. 6. Drajat-pangkat-semat derajat-pangkat-harta 7. Eling marang sapadha-padha ingat pada sesama manusia 8. Eling sangkan paraning dumadi ingat asal mula kehidupan

9. Empan papan sesuai dengan situasi, keadaan, waktu dan tempat

10. Hadiluhung tinggi mutunya


(20)

bersih, baik, suci, indah, cantik 12. Kasar alusing rasa sikap batin yang halus

13. Kawruh sangkan paraning dumadi pengetahuan tentang asal dan tujuan dari segala apa yang diciptakan 14. Kawruh jumbuhing kawula gusti bersatunya hamba atau manusia

dengan Tuhan

15. Satataning panembah menuju ketenangan jiwa dan ketentraman hati

16. Jugar genturing tapa menahan hawa nafsu

17. Jagad gedhe makrokosmos, jasad manusia, alam lahir

18. Jagad cilik mikrokosmos, dunia batin 19. Jagad Dewa Bathara, ora jagad

pramudita

mengutamakan kepentingan orang banyak diatas kepentingan pribadi 20. Mampir ngombe mampir minum

21. Memayu hayuning bawana mempercantik (memelihara) kelestarian dunia

22. Nastiti teliti

23. Nandhing sarira sikap untuk suka membanding-bandingkan ‘aku’ dengan orang lain, merupakan tingkatan yang paling


(21)

rendah dalam pengkajian diri

24. Ngelmu kasunyatan bagaimana seseorang “legowo” menjalani kenyataan dan tidak berputus asa terhadap apa yang ia peroleh sampai hari ini

25. Ningrat membumi (ning” atau “ana ing” =

berada di; rat = bumi)  

26. Pathet susunan nada dalam suatu laras yang dapat menimbulkan nuansa tertentu. Tiga macam pathet dalam laras selendro pathet sanga (9), selendro pathet nem (6) dan selendro pathet manyura.

27. Pitutur nasihat 28. Piweling pengingat

29. Samadya sesuai kemampuan diri (tidak memaksakan diri)

30. Taraf mulat sarira taraf pengendalian diri 31. Tembang lagu

32. Tepa sarira tenggang rasa


(22)

berbahasa

34. Wadhag kasar, jasmani, kasat mata, berzat 35. Wiku sapta ngesthi tunggal tahun Jawa 1877


(23)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan konsep kekuasaan Jawa lewat tokoh utama novel Para Priyayi karya Umar Kayam dan etika kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam berdasarkan teori satra dan pemikiran. Metode penelitian yang digunakan adalah metode Deskriptif Kualitatif.

Data penelitian ini adalah novel Para Priyayi karya Umar Kayam dan sejumlah buku acuan. Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian adalah pendekatan hermeneutika. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka. Strategi yang digunakan dalam menganalisis data adalah dengan metode analisis isi dan metode hermeneutika.

Berdasarkan hasil analisis ditemukan bahwa konsep kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam yang direalisasikan lewat tokoh utama memiliki empat komponen, yaitu wibawa, kharisma, wewenang dan kemampuan khusus. Sumber-sumber kewibawaan tersebut berasal dari ilmu, kesaktian, keturunan, serta sifat-sifat kepribadian. Etika kekuasaan Jawa diaktualisasikan dari konsep kekuasaan Jawa tersebut yaitu membangun wibawa kepemimpinan, upaya mendapatkan kharisma, menjalankan wewenang secara optimal, serta memberdayakan kemampuan. Untuk membangun wibawa, seorang pemimpin harus dapat menguasai ilmu dan bersikap ksatria. Upaya mendapatkan kharisma dapat dilakukan dengan menjalani empat tingkatan laku yaitu laku badaniah, laku kehendak, laki jiwa dan laku religius. Menjalankan wewenang secara optimal dapat dilakukan dengan bersikap halus dan memenuhi tanggung jawab. Memberdayakan kemampuan dapat ditempuh dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat kecil (wong cilik).


(24)

xviii 

 

ABSTRACT

The aims of this research are: (1) to describe the concepts of Javanese power through the main character of novel Para Priyayi by Umar Kayam; (2) to analyze the ethics of Javanese power in the novel Para Priyayi by Umar Kayam, based on the theory of literature and ideas. The research method used is Qualitative Descriptive.

The research data are Para Priyayi novel by Umar Kayam and a number of reference books. The approach used in this research is hermeneutics. The Technique of Data Collection is conducted by using document review (reading, observing, and taking notes). The Technique of Data Analysis is conducted with the method of Content Analysis.

The result of the analysis shows that the concepts of Javanese power in the novel Para Priyayi by Umar Kayam through the main character have four components, namely authority, charisma, power and special abilities. The sources of authority come from science, magic, heredity, and personality traits. The ethics of Javanese power are to build the leadership authority, to obtain charisma effectively, to run the power optimally, and to empower the capabilities. To build the authority, a leader must be able to master the science and be a gentleman. To achieve charisma, a leader must take four levels of behavior, namely physical behavior, mind behavior, spirit behavior and religious behavior. To run the authority optimally, a leader must behave smooth and fulfill the responsibilities. To empower the capability, a leader must improve the welfare of ordinary people.


(25)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan konsep kekuasaan Jawa lewat tokoh utama novel Para Priyayi karya Umar Kayam dan etika kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam berdasarkan teori satra dan pemikiran. Metode penelitian yang digunakan adalah metode Deskriptif Kualitatif.

Data penelitian ini adalah novel Para Priyayi karya Umar Kayam dan sejumlah buku acuan. Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian adalah pendekatan hermeneutika. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka. Strategi yang digunakan dalam menganalisis data adalah dengan metode analisis isi dan metode hermeneutika.

Berdasarkan hasil analisis ditemukan bahwa konsep kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam yang direalisasikan lewat tokoh utama memiliki empat komponen, yaitu wibawa, kharisma, wewenang dan kemampuan khusus. Sumber-sumber kewibawaan tersebut berasal dari ilmu, kesaktian, keturunan, serta sifat-sifat kepribadian. Etika kekuasaan Jawa diaktualisasikan dari konsep kekuasaan Jawa tersebut yaitu membangun wibawa kepemimpinan, upaya mendapatkan kharisma, menjalankan wewenang secara optimal, serta memberdayakan kemampuan. Untuk membangun wibawa, seorang pemimpin harus dapat menguasai ilmu dan bersikap ksatria. Upaya mendapatkan kharisma dapat dilakukan dengan menjalani empat tingkatan laku yaitu laku badaniah, laku kehendak, laki jiwa dan laku religius. Menjalankan wewenang secara optimal dapat dilakukan dengan bersikap halus dan memenuhi tanggung jawab. Memberdayakan kemampuan dapat ditempuh dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat kecil (wong cilik).


(26)

xviii 

 

ABSTRACT

The aims of this research are: (1) to describe the concepts of Javanese power through the main character of novel Para Priyayi by Umar Kayam; (2) to analyze the ethics of Javanese power in the novel Para Priyayi by Umar Kayam, based on the theory of literature and ideas. The research method used is Qualitative Descriptive.

The research data are Para Priyayi novel by Umar Kayam and a number of reference books. The approach used in this research is hermeneutics. The Technique of Data Collection is conducted by using document review (reading, observing, and taking notes). The Technique of Data Analysis is conducted with the method of Content Analysis.

The result of the analysis shows that the concepts of Javanese power in the novel Para Priyayi by Umar Kayam through the main character have four components, namely authority, charisma, power and special abilities. The sources of authority come from science, magic, heredity, and personality traits. The ethics of Javanese power are to build the leadership authority, to obtain charisma effectively, to run the power optimally, and to empower the capabilities. To build the authority, a leader must be able to master the science and be a gentleman. To achieve charisma, a leader must take four levels of behavior, namely physical behavior, mind behavior, spirit behavior and religious behavior. To run the authority optimally, a leader must behave smooth and fulfill the responsibilities. To empower the capability, a leader must improve the welfare of ordinary people.


(27)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Sastra dan filsafat (pemikiran) memiliki hubungan yang erat. Sastra dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan gagasan filsafat. Dengan demikian sastra dapat mengungkapkan berbagai ide atau gagasan tentang kehidupan. Sejalan dengan pendapat Wellek & Austin Warren (1989:134-135) yang mengemukakan bahwa sastra sering dilihat sebagai suatu bentuk filsafat atau sebagai pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus. Jadi, sastra dianalisis untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran hebat.

Sudah sejak lama (sejak zaman Yunani) sastra diperlakukan sebagai wahana pengungkapan dan pencetusan gagasan-gagasan filsafat. Banyak filsuf sekaligus sastrawan mengungkapkan dan mencetuskan gagasan-gagasan filosofisnya ke dalam sastra. Albert Camus, Sartre, Khalil Gibran, dan Muhammad Iqbal, misalnya, banyak mengungkapkan dan mencetuskan gagasan-gagasan filsafatnya ke dalam novel-novel dan puisi-puisi mereka. Dalam hal ini, karya sastra dijadikan sebagai ‘alat’ untuk mengukuhkan gagasan filsafat yang hendak disampaikannya.

Malahan sebenarnya setiap sastra yang baik selalu menyajikan dan

menyuguhkan soal-soal filosofis. Hassan (1988:64) bahkan menegaskan bahwa dalam setiap karya sastra yang baik niscaya tersirat sikap filsafat tertentu; jejak-jejak filsafat itu cenderung tembus dari balik segi kebahasaan yang berwujud kesusastraan.


(28)

Darma (1984: 52) juga menegaskan bahwa setiap karya sastra yang baik selalu berfilsafat meskipun karya sastra bukan sebuah karya filsafat. Mangunwijaya (1988:3) menyatakan bahwa karya sastra yang baik selalu menyajikan permenungan-permenungan sekaligus relung-relung terdalam tentang manusia.

Dari pandangan-pandangan tersebut terlihat bahwa semua karya sastra yang bermutu akan selalu terkandung nilai-nilai filsafat, baik menyangkut sikap dan pandangan hidup tokoh yang digambarkannya maupun tema karya sastra itu sendiri. Semakin bermutu karya sastra itu, semakin mendalam pula kandungan filsafatnya. Oleh sebab itu, dalam karya sastra yang agung, nilai-nilai filsafat yang dikandungnya akan terasa lebih mendalam dan kaya. Sangat wajar jika kemudian orang mencoba mencari nilai-nilai filsafat pada karya sastra yang agung, dan bukan pada karya sastra picisan.

Umar Kayam (1932-2002) adalah sastrawan sekaligus filsuf Nusantara, khususnya Jawa, yang cukup terkenal dan berpengaruh sehingga karya-karyanya banyak dipelajari dan diminati sarjana atau ilmuwan baik dari dalam maupun luar negeri. Novel, sebagai salah satu genre sastra, digunakan oleh Umar Kayam untuk

merekam dan menafsirkan kembali hidup dan kehidupan.1 Sebagai salah satu wahana

ekspresi, baginya novel lebih efektif untuk memahami kehidupan secara tepat, dibanding apabila ditulis dalam bentuk tulisan ilmiah. Karya sastra itu dibangun oleh pengarangnya berdasarkan perenungan, penafsiran, dan penghayatannya terhadap

      

1

Lihat ulasannya dalam Umar Kayam. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan, hlm.88 


(29)

realitas sosial serta lingkungan sosial masyarakat di mana pengarang itu hidup dan bermasyarakat. Oleh karena itu, sastra yang bermutu, bagi Umar Kayam adalah karya sastra yang banyak memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba kemungkinan (Kayam, 1981:88).

Novel Para Priyayi (2000) merupakan novel pertama Umar Kayam yang sarat dengan muatan filsafat. Dalam hal ini Umar Kayam cenderung mengangkat filsafat lokal yaitu Jawa. Kejawaannya itu sendiri terlihat pada simbol-simbol dunia pewayangan, serta karya sastra yang dihasilkan para pujangga keraton diselusupkan ke dalam dialog maupun lakuan para tokohnya. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Mahayana (2007:288) “…saratnya novel Para Priyayi dengan filsafat Jawa dan simbol-simbol dunia pewayangan, serta sejumlah ungkapan yang khas mencerminkan pandangan hidup orang Jawa, menjadikan novel ini sangat bernuansa Jawa; sangat menjawa”.

Pada dasarnya, pemikiran filsafat Jawa bersifat mengakar yang mencoba memberikan jawaban menyeluruh terhadap hakikat kebenaran yang sedalam-dalamnya sehingga melintasi dimensi fisik dan teknik. Nilai-nilai filsafat ini merupakan jagad batin orang Jawa yang hadiluhung dan hadiningrat, mendalam serta yang sangat luas. Secara singkat dapat dikatakan bahwa filsafat Jawa adalah berfikir tentang sesuatu secara sistematis dan mendalam, terus menerus sampai menemukan jawaban atau hakekat kebenaran hidup. Karena itu, melalui filsafat dapat diketahui bagaimana manusia Jawa berpikir tentang hidup, manusia, dunia, dan Tuhan.


(30)

Filsafat Jawa tersebut juga didasari atas pola-pola pemikiran yang universal sebagai usaha manusia untuk mencapai kesempurnaan. Jadi filsafat Jawa bukan hanya diperuntukkan bagi masyarakat Jawa saja, tetapi juga bagi siapapun yang ingin mempelajarinya. Oleh karena itu, pada era reformasi dan demokratisasi, pola-pola yang universal itu bisa dipastikan tetap ada.

Dalam bingkai filsafat Jawa, moral erat kaitannya dengan kesusilaan dan kebiasaan yang berlaku pada suatu kelompok tertentu atau suatu ajaran tentang asas dan kaidah kesusilaan yang dipelajari secara sistematis dalam etika, filsafat moral,

dan teologi moral.2 Kesusilaan itu sendiri merupakan keseluruhan kaidah atau norma

yang menjadi acuan atau pedoman sikap dan perilaku manusia baik sebagai makluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa maupun sebagai makhuk individu, makhluk sosial, dan makhluk yang berpribadian, agar manusia dan masyarakat yang ada di bumi ini

memiliki budi bahasa, sopan santun, adab atau akhlak mulia.3

Etika kekuasaan Jawa sebagai bagian dari kajian filsafat Jawa adalah suatu konsepsi kepemimpinan yang tumbuh dari kultural masyarakat Jawa, nilai-nilai yang hidup di masyarakat Jawa (Anshoriy, 2008:7). Nilai-nilai luhur itu merupakan ekspresi kultural yang sarat kebijaksanaan, keteladanan, dan keluhuran. Apalagi di tengah kondisi sosial politik dan kekuasaan di Indonesia dewasa ini yang sedang memasuki fase yang amat mengkhawatirkan. Etika kekuasaan berbasis kebudayaan sesungguhnya bisa dijadikan acuan nilai yang relevan bagi para politisi sekarang agar

      

2

Telusuri http://arjana-stahn.blogspot.com/2010/01/pembinaan-moral-dalam-kajian-filsafat.html  3


(31)

segala kebijaksanaan yang dirumuskan tetap mempunyai akar sejarah, berbudaya, dan memanusiakan manusia. Umar Kayam menegaskan ‘perkembangan kebudayaan Indonesia modern harus tetap memberikan ruang gerak bagi kebudayaan tradisional’ (http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/06/26/0043.html). Oleh karena itu kebudayaan tradisional yang ditransformasikan ke kebudayaan modern pada akhirnya dapat membentuk nilai kepribadian bangsa. Dengan demikian, etika kekuasaan Jawa merupakan konsep yang berpengaruh terhadap upaya menumbuhkan demokrasi modern di tengah masyarakat Jawa khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Isu kekuasaan menjadi hal yang sangat krusial dalam novel Para Priyayi mengingat kaum priyayi identik dengan orang-orang birokrat yang menggunakan statusnya untuk menguasai orang lain. Menjadi priyayi tidak hanya berarti sebuah peningkatan dalam status sosial, melainkan juga peningkatan kekuasaan (Faruk dalam Salam, 1998:xxxiii). Bahkan menurut Koentjaraningrat, sebutan priyayi dalam masyarakat Jawa khususnya, menunjukkan suatu status sosial yang sangat tinggi,

bahkan cenderung sangat eksklusif.4

Para priyayi adalah kelompok sosial yang sejak tahun 1900-an menjadi elit birokrasi pemerintah. Merekalah yang memimpin, mengatur, memberi pengaruh, dan menuntun masyarakat. Semua orang yang duduk dalam jabatan administrasi

      

4 

Lihat Koentjaraningrat. 1987. Meningkatkan Kinerja BUMN: Antisipasi Terhadap Kompetisi dan

Kebijakan Deregulasi . Yogyakarta: JKAP.

   


(32)

pemerintah, para pegawai pemerintahan, dan orang-orang yang berpendidikan digolongkan kaum priyayi.

Mula-mula, priyayi adalah mereka yang memiliki garis keturunan dengan raja

atau adipati (dalam bahasa Jawa, priyayi adalah para yayi atau para adik raja).5 Akan

tetapi dengan semakin terdidiknya masyarakat biasa dan keberhasilan mereka memperoleh karir di berbagai bidang di pemerintahan, maka priyayi tidak harus memiliki darah bangsawan (Kartodirdjo, 1987:10). Kepada golongan elit inilah sesungguhnya Indonesia berkiblat.

Namun masih banyak golongan priyayi yang belum memahami benar makna kepriyayiannya itu dalam masyarakat. Selama ini stereotip priyayi selalu erat dengan orang-orang birokrat yang berjiwa anti-sosial dan arogan. Banyak nilai-nilai luhur priyayi telah menyimpang karena banyak kaum priyayi lebih mengutamakan status sosial, gaya hidup, dan nilai-nilai yang bersifat materi. Akibatnya sering terjadi penyalahgunaan legitimasi kekuasaan. Umar Kayam menggambarkan kondisi itu sebagai berikut.

…negara ini tidak dibuat sekali jadi…kekuasaan dibangun untuk dapat mensejahterakan rakyat…namun yang terjadi, kekuasaan diperebutkan untuk dapat mengatur sumber-sumber pendapatan, sehingga terjadi royokan, rebutan. Kalau sudah rebutan, maka yang brutal yang ‘menang’. Ini yang harus kita waspadai, harus kita jaga agar kekuasaan itu bisa diatur bersama-sama dengan baik…(Refleksi Umar Kayam di atas pembaringan beberapa hari sebelum wafat dalam Luthfi, 2007:82).

      

5

Asal mula priyayi adalah orang-orang yang terpakai oleh penguasa. Ini bisa terjadi karena hubungan kekerabatan atau karena pengabdian tradisional atau karena kecakapan dan menunjukkan kesetiannya kepada kepentingan penguasa. Dengan berbagai jalan, golongan ini mempertahankan diri dan memperbesar pengaruhnya. Ini dilakukan dengan mengikat diri lewat perkawinan, atau menerapkan kebudayaan dan tradisi kraton dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, mereka mengharuskan diri untuk hidup menurut tata cara yang baik.  


(33)

Novel Para Priyayi dianggap sebagai kritik Umar Kayam sebagai priyayi cendekiawan terhadap budaya priyayi yang tidak sesuai dengan esensi makna priyayi yang luhur. Bagaimana sebenarnya seorang yang dikatakan ‘priyayi’ yaitu seorang yang telah mencapai kekuasaan di masyarakat dapat menggunakan kekuasaannya itu berdasarkan etika kekuasaan, moral politik, dan cara-cara yang indah dalam melakukan pengabdian kepada masyarakat sehingga betul-betul untuk kepentingan publik atau masyarakat yang diwakili. Mochtar Pabottingi (dalam Rahmanto, 2004:73) memberi komentar ‘Priyayi Kayam adalah priyayi yang inklusif dan egaliter, tak bermaksud bersekutu sehidup-semati dengan kekuasaan, tetapi dengan kemanusiaan.’

Keunikan priyayi dalam novel Para Priyayi adalah munculnya priyayi yang datang dari kalangan rendah yakni orang-orang yang ingin menjadi priyayi lewat suatu proses pengabdian. Seperti yang diungkapkan Moertono dalam Rahmanto (2004:91) ‘golongan ini menjadi priyayi bukan karena warisan turun-temurun, tetapi lewat suatu perjuangan yang gigih berdasarkan kepandaian yang berhasil mereka kuasai lewat pendidikan, dan dalam suatu proses panjang pengabdian.’

Lewat kekayaan imajinasi dan keluasan pengetahuan, Umar Kayam berhasil menggambarkan dan memaparkan struktur kompleks kehidupan para tokohnya dalam menjalani kehidupan dan usaha membangun struktur dinasti priyayi. Mulai dari nol sebagai anggota keluarga abangan berstatus keluarga buruh, lalu menapaki perjalanan


(34)

status sosialnya sebagai perintis. Tidak saja bagi dirinya sendiri akan tetapi juga bagi

garis keturunannya.6

Berdasarkan hal tersebut, novel Para Priyayi sangat menarik untuk dikaji karena mengandung nilai kearifan lokal yang berhubungan dengan etika kekuasaan Jawa. Nilai-nilai luhur tersebut merupakan ekspresi kultural yang sarat kebijaksanaan, keteladanan dan keluhuran. Untaian kebijaksanaan hidup yang berkaitan dengan moralitas dirangkai dan disarikan dari kitab-kitab Jawa kuno karya pujangga agung serta ungkapan luhur yang diwariskan secara turun temurun.

Novel Para Priyayi juga dapat dijadikan salah satu rujukan bagaimana nilai-nilai humanisme telah dijadikan pegangan hidup oleh seorang priyayi dalam mendapatkan kekuasaan, mengelola dan menggunakan kekuasaannya.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada latar belakang masalah di atas, penulis dapat mengidentifikasi masalah-masalah yang muncul sebagai berikut:

1. Bagaimanakah konsep etika Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar

Kayam?

2. Bagaimanakah konsep kekuasaan Jawa yang tergambar melalui tokoh utama

dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam?

3. Bagaimanakah etika kekuasaan Jawa yang terdapat dalam novel Para Priyayi

karya Umar Kayam?

      

6


(35)

1.3 Batasan Masalah

Masalah-masalah yang diidentifikasikan penulis tidak dapat dibahas semua mengingat keterbatasan penulis dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini dibatasi pada beberapa pokok permasalahan saja, yaitu:

1. Konsep kekuasaan Jawa yang tergambar melalui tokoh utama dalam novel

Para Priyayi karya Umar Kayam.

2. Etika kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam.

1.4 Perumusan Masalah

Untuk mendapatkan hasil penelitian yang terarah, maka diperlukan suatu rumusan masalah. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah konsep kekuasaan Jawa yang tergambar melalui tokoh utama

dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam?

2. Bagaimanakah etika kekuasaan Jawa yang terdapat dalam novel Para Priyayi

karya Umar Kayam?

1.5 Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan konsep kekuasaan Jawa yang tergambar melalui tokoh

utama dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam.

2. Mendeskripsikan etika kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar


(36)

1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini diharapkan dapat membantu penelitian selanjutnya yang

terfokus pada unsur ekstrinsik, dalam hal ini menghubungkan sastra dengan pemikiran.

2. Sebagai salah satu sumbangan pemikiran untuk menambah khazanah

pengetahuan tentang perkembangan sastra Indonesia, khususnya karya-karya Umar Kayam.

1.6.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian ini adalah:

1. Membantu masyarakat untuk memahami etika kekuasaan Jawa.

2. Menegakkan prinsip-prinsip kekuasaan yang menempatkan kebenaran, moral,

dan etika kekuasaan sebagai sumber legitimasi.

3. Menumbuhkan semangat masyarakat untuk mencintai dan melestarikan


(37)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN

Di dalam Bab II ini diuraikan tentang (i) kajian pustaka, (ii) konsep, (iii) landasan teori dan (iv) model penelitian. Berikut adalah uraiannya.

2.1 Kajian Pustaka

Pada kajian pustaka ini dilakukan penelusuran atas penelitian-penelitian sebelumnya dan sebagian laporan penelitian itu telah dimuat dalam bentuk buku. Penelusuran penelitian tersebut dijelaskan sebagai berikut.

1. Rahmanto, tahun 1994 pernah menulis tentang novel Para Priyayi dalam

tesisnya yang berjudul Makna Penghambaan dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam: Analisis Semiotik. Ia menyimpulkan bahwa lewat tokoh-tokoh Sastrodarsono, Noegroho, Hardoyo, dan Lantip ditampilkan masalah penghambaan tokoh wayang Sumantri, Kumbakarna, dan Karna dalam transformasi budaya priyayi Jawa sejak masa penjajahan Belanda, Jepang, kemerdekaan, dan pascakemerdekaan. Penghambaan yang mirip dengan pola penghambaan Sumantri tampak pada penghambaan Atmokasan, Sastrodarsono, dan Lantip ketika masih muda. Penghambaan Kumbakarna tampak pada Noegroho, Harjono, Hardoyo, dan Lantip setelah dewasa, sedang penghambaan Karna terlihat pada pengabdian Lantip setelah dewasa. Sikap


(38)

penghambaan Lantip yang tulus, tanpa pamrih, tahu membalas budi, dan rendah hati, serta menekankan usaha menumbuhkembangkan pengabdian kepada masyarakat (rakyat kecil) tanpa pamrih merupakan gabungan dari ketiga sifat penghambaan ketiga tokoh wayang tersebut.

2. Rahmanto juga menulis buku yang berjudul Umar Kayam: Karya dan

Dunianya pada tahun 2004. Buku tersebut membicarakan hampir seluruh cerpen dan novel Umar Kayam: Sri Sumarah dan Bawuk (1975), Seribu Kunang-Kunang di Manhattan (1972), Istriku, Madame Schlitz, dan Sang Raksasa (1967), Sybil (1967), Secangkir Kopi dan Sepotong Donat (1986), Chief Sitting Bull (1986), There Goes Tatum (1986), Kimono Biru buat Istri (1986), Para Priyayi (1992), Jalan Menikung (1999), serta kumpulan cerpen Lebaran di Karet, di Karet…(2002). Dari buku tersebut diperoleh pengakuan Kayam bahwa penulisan novel Para Priyayi berawal dari kekecewaannya terhadap penafsiran yang keliru mengenai dunia priyayi Jawa oleh orang-orang non-Jawa dan para pakar asing. Dengan novel itulah Kayam ingin memahami dunia priyayi dari dalam dan ingin juga menggambarkan bagaimana dunia itu dihayati oleh orang-orang yang ingin menjadi priyayi. Kayam juga menjelaskan pilihan novel itu didasari keyakinan terhadap efektivitas novel sebagai sarana memahami kehidupan.

3. Selanjutnya, Najid tahun 2000 menulis tentang novel Para Priyayi dalam

tesisnya yang berjudul Perubahan Kebudayaan Jawa dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam. Penelitian ini menggunakan kerangka teori new


(39)

historicism yang dikemukakan oleh Stephen Greenbalt yang memandang kebudayaan sebagai suatu sistem yang memobilisasi dan sekaligus membatasi segala gerak dan pemikiran anggota masyarakat. Kebaruan pemikiran yang ditawarkan dalam novel Para Priyayi lebih dipumpunkan pada pergeseran permaknaan priyayi. Priyayi dalam novel Para Priyayi lebih ditekankan pada optimalisasi peran priyayi bagi masyarakat terutama wong cilik dan peran priyayi bagi kesejahteraan keluarga dan kehidupannya. Penelitian ini bermanfaat bagi penulis dalam memahami konsep priyayi yang ditawarkan oleh Umar Kayam.

4. Tanggapan terhadap novel Para Priyayi karya Umar Kayam melalui artikel,

dimulai dari Damono di Majalah Tempo pada tanggal 20 Juni 1992 lewat “Album Kehormatan Orang Jawa”. Menurut Damono, novel Para Priyayi menggambarkan proses menjadi priyayi yang dialami oleh sebuah keluarga besar dari generasi pertama priyayi. Priyayi yang digambarkan dalam novel tersebut adalah orang Jawa yang berasal dari lapisan rendah dalam masyarakat, petani, atau pedagang kecil. Dalam hal ini Umar Kayam telah menciptakan album besar untuk menampung segenap persoalan dunia priyayi. Setiap persoalan diungkapkan dalam episode atau potret. Dengan demikian, terungkaplah berbagai segi kehidupan priyayi di bidang agama, seks, politik, kesenian, pendidikan, etika, filsafat, dan lainnya.

5. Mohamad juga memberikan komentarnya di Majalah Tempo pada tanggal 29


(40)

‘membongkar’ mitos yang menjerat masyarakat Jawa selama ini. Novel tersebut menunjukkan bahwa kelas yang disebut ndoro itu, pada dasarnya punya sesuatu yang sama seperti orang dusun -- atau siapa pun yang hidup di Jawa yang dirundung kekacauan sejak abad ke-17 ini: semuanya punya rasa cemas untuk mengambil risiko, ekspresi dari ‘the moral economy of the peasant’. Tak aneh para priyayi, kecil atau besar, punya genesis yang sama dari orang ‘kebanyakan’. Ternyata di halaman-halaman yang menyimpan kenangan yang umumnya datar dan biasa-biasa saja itu ada sebuah cerita besar, meskipun tak mengejutkan: tidakkah ini kisah sebuah masyarakat yang terus menerus berpose, mengharapkan kelanggengan, tapi seharusnya bersyukur dengan perubahan.

6. Berikut Pabottingi memberikan ulasan terhadap novel Para Priyayi Umar

Kayam di Majalah Tempo 3 Oktober 1992 dalam “Pertandingan Priyayi”. Novel Umar Kayam ini telah memberi gambaran yang hidup tentang alam priyayi. Di sini priyayi memang tetap ditampilkan menjarak dari ortodoksi Islam, bertahan pada praktek olah-batin leluhur, mencintai kehalusan dan pewayangan, tapi tetap tegas menolak disebut bukan muslim. Tapi, berbeda dengan alam priayi pada karya Clifford Geertz, alam priyayi pada Kayam lebih merupakan sasaran mobilitas sosial dan lebih peka pada kepentingan wong cilik. ‘Priyayi’ Kayam adalah priyayi yang inklusif dan egaliter. Ia tak bermaksud bersekutu sehidup-semati dengan kekuasaan, melainkan dengan kemanusiaan.


(41)

7. Selanjutnya, Anshoriy pernah menulis tentang budaya Jawa dalam bukunya yang berjudul Neo Patriotisme: Etika Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa, terbit tahun 2008. Buku ini layak dijadikan referensi karena berisikan butir-butir kearifan lokal warisan nenek moyang mengenai etika kekuasaan yang dikaji dan digali dengan pendekatan ilmiah.

8. Koentjaraningrat dalam “Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa

Kini, Resmi dan Tak Resmi” (1984) menguraikan konsep kekuasaan Jawa yang bertentangan dengan B.R.O’G Anderson dalam “The Idea of Power in Javanese Culture” (1972). Koentjaraningrat mengungkapkan bahwa serupa dengan pemimpin dalam semua masyarakat di dunia, seorang pemimpin dalam suatu masyarakat yang berkebudayaan Jawa juga perlu memperhitungkan semua komponen kekuasaan yang diperlukan seorang pemimpin secara universal. Ia juga perlu memiliki semua sifat yang diperlukan sebagai syarat pemimpin yang bermutu. Hal itu dapat kita pelajari dengan membaca secara seksama buku-buku tradisional Jawa mengenai syarat-syarat kepemimpinan. Konsep inilah yang menjadi rujukan bagi penulis untuk menganalisis konsep kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam.

Penelitian-penelitian tersebut menjadi bacaan pendukung bagi penulis terkait dengan objek penelitian. Perbedaan penelitian yang dilakukan penulis dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah penelitian ini menganalisis etika kekuasaan


(42)

Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam dengan menggunakan teori hubungan kesusastraan dengan pemikiran. Konsep kekuasaan Jawa yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan empat komponen kekuasaan yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat dalam “Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi” (1984) yaitu wibawa, kharisma, wewenang dan kemampuan khusus.

2.2 Konsep 2.2.1 Definisi Etika 2.2.1.1 Etika Jawa

Etika merupakan ukuran peradaban sebuah bangsa (Purwadi, 2008:6). Tinggi rendahnya peradaban sebuah bangsa dapat dilihat dari seberapa jauh masing-masing warganya bertindak sesuai dengan aturan main yang telah disepakati bersama. Oleh karena produktifitas dan kreatifitas masyarakatnya akan terus berlanjut, tanpa ada hambatan yang berarti. Dengan mentaati norma dan etika, maka tingkah laku serta hubungan antar manusia akan berjalan secara wajar, yang memungkinkan untuk melakukan aktifitas secara efektif dan efisien.

Secara etimologi etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti sikap, cara berfikir, watak kesesuaian atau adat (Bertens, 1993:4). Ethos identik dengan moral, yang dalam Bahasa Indonesia berarti akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hidup.


(43)

Kata ‘etika’ dalam arti yang sebenarnya berarti ‘filsafat mengenai bidang moral’ (Bertens, 1993:6). Jadi, etika merupakan ilmu atau refleksi sistematik mengenai pendapat-pendapat, norma-norma, dan istilah-istilah moral. Suseno (1996:6) mempergunakan istilah etika dalam arti lebih luas, yaitu sebagai ‘keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya’; jadi di mana mereka menemukan jawaban pertanyaan: bagaimana saya harus membawa diri, sikap-sikap, dan tindakan-tindakan mana yang harus saya kembangkan agar hidup saya sebagai manusia berhasil.

Suseno membedakan antara pengertian ajaran moral dengan etika.7 Ajaran

moral adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khutbah-khutbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan, entah lisan atau tertulis, tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumbernya bisa guru, orang tua, pemuka agama atau orang bijak seperti pujangga Empu Kanwa, Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Darmaja, Empu Triguna, Empu Manoguna, Empu Prapanca, Empu Tantular, Yasadipura, Ranggawarsita, Paku Buwana IV, Sri Mangkunegara IV, Kyai Sindusastra, Kyai Kusumadilaga, Ki Padmasusastra, Ki Ageng Suryamentaram dan Ki Nartasabda.

Etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan

pandangan-      

7

Lihat Nasruddin Anshoriy, Dekonstruksi Kekuasaan: Konsolidasi Semangat Kebangsaan, Yogyakarta: LKiS, 2008, hlm. 30 


(44)

pandangan moral (Suseno, 1992:42). Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Etika dan ajaran moral tidak setingkat. Yang mengatakan bagaimana seseorang harus hidup adalah ajaran moral, bukan etika. Etika mau mengerti mengapa seseorang harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana seseorang dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1997 : 14). Tanggung jawab moral sangat penting dalam kehidupan kolektif.

Etika Jawa merupakan keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana seharusnya manusia menjalankan kehidupannya (Suseno, 1984:6).

2.2.1.2 Etika Jawa sebagai Kebijaksanaan Hidup

Bagi masyarakat Jawa etika itu kerap disebut dengan istilah pepali, unggah-ungguh, suba sita, tata krama, tata susila, sopan santun, budi pekerti, wulang wuruk, pranatan, pituduh, pitutur, wejangan, wulangan, wursita, wewarah, wedharan, duga prayoga, wewaler, dan pitungkas. Orang Jawa akan berhasil hidupnya dalam bermasyarakat kalau dapat empan papan, kalau dapat menempatkan diri dalam hal unggah-ungguhing basa, kasar alusing rasa, dan jugar genturing tapa.

Para pemimpin Jawa terutama raja dan punggawanya sejak dulu kala memahami benar tentang arti penting etika. Kehidupan berbangsa dan bernegara memang perlu diatur berdasarkan hukum yang memadai. Berhubung dengan itu, maka pujangga Jawa diberi tugas khusus untuk menyusun tata tertib sosial yang


(45)

mengikat semua penduduknya. Etika Jawa ini disusun berdasarkan nilai-nilai historis, sosiologis dan filosofis yang telah mengakar dalam masyarakat.

Dalam etika Jawa terdapat aliran yang mengandung nilai eudaemonisme theologis. Eudaemonisme berasal dari bahasa Yunani eudaemoni, artinya kebahagiaan. Eudaemonisme adalah teori dalam etika yang menyatakan bahwa suatu tujuan manusia adalah kesejahteraan pribadi atau kebahagiaan (Mudhofir, 1988: 26). Selanjutnya aliran theologi menyatakan bahwa suatu tindakan disebut bermoral jika tindakan itu sesuai dengan perintah Tuhan. Sedangkan tindakan buruk yaitu yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Tuntutan moral yang baik dalam hal ini telah digariskan oleh agama dan tertulis dalam kitab suci dari masing-masing agama (Suseno, 1997: 83). Bagi orang Jawa pada umumnya memang ditekankan keselarasan antara makrokosmos (jagad gedhe) dan mikrokosmos (jagad cilik). Aliran eudaemonisme theologis ini terdapat dalam ungkapan Serat Wedhatama yaitu agama ageming aji, bahwa agama merupakan sarana untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki.

Pusat etika Jawa adalah usaha untuk memelihara keselarasan dalam masyarakat dan alam raya dan keselarasan itu menjamin keadaan selamat yang dirasakan sebagai nilai pada dirinya sendiri. Namun keselarasan kosmis hanya dapat dipelihara apabila semua unsur dalam kosmos menempati tempatnya yang tepat. Maka kategori-meta etika Jawa yang terpenting adalah kategori tempat: sepi ing pamrih berarti menerima tempatnya sendiri, dan memenuhi kewajiban berarti


(46)

melakukan apa yang harus dilakukan manusia masing-masing menurut tempatnya dalam kosmos.

Batin manusia harus sedemikian peka terhadap kedudukannya dalam masyarakat dan kosmos, sehingga ia ‘mengerti’, bahwa ia harus memenuhi kewajiban-kewajibannya. Pengertian ini membuka diri dalam perasaan batin, dalam rasa. Makin halus perasaannya makin ia dapat menyadari dirinya sendiri, makin bersatu ia dengan kekuatan-kekuatan Ilahi kosmos, dan makin betul arah hidupnya.

2.2.3 Kekuasaan Jawa 2.2.3.1 Hakikat Kekuasaan

Setiap masyarakat, maupun setiap bangsa pasti memiliki konsep tentang kekuasaan (power). Hal ini disebabkan, karena kekuasaan erat kaitannya dengan masalah kepemimpinan, dan bahkan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Konsep kekuasaan antara masyarakat (bangsa) yang satu dengan masyarakat (bangsa) yang lain sudah barang tentu berbeda-beda. Perbedaan ini tidak lain, disebabkan oleh perbedaan latar belakang sosial budaya dan pandangan hidupnya.

Dalam masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan pandangan hidup, dengan sendirinya terdapat bermacam persepsi mengenai kekuasaan. Oleh karena itu, sebelum kita memulai analisis mengenai konsep kekuasaan Jawa, ada baiknya kita membicarakan terlebih dahulu beberapa aspek dan sifat kekuasaan secara umum; serta menelaah hubungannya dengan beberapa konsep yang sangat erat kaitan dengannya. Hal ini perlu, karena di antara konsep ilmu


(47)

politik, yang banyak dibahas dan dipermasalahkan, adalah kekuasaan. Hal ini disebabkan karena konsep ini bersifat sangat mendasar dalam ilmu sosial pada umumnya, dan ilmu politik pada khususnya. Malahan, pada suatu ketika, politik (politics) diangggap tidak lain dari sebuah kekuasaan belaka. Sekalipun pandangan ini telah lama ditinggalkan, akan tetapi kekuasaan tetap merupakan gejala yang

sangat sentral dalam ilmu politik.8

Ada beberapa pengertian yang diberikan oleh para ilmuwan mengenai definisi kekuasaan. Perbedaan pengertian ini, sesungguhnya dipengaruhi oleh ‘sikap jiwa pribadi’ dari pembahas yang bersangkutan. Apalagi jika yang dibahas itu gejala yang

sensitif, seperti halnya gejala yang menyangkut masalah kemanusiaan.9

Perbedaan dalam menganalisa kekuasaan sebagai sesuatu gejala sosial sudah mulai nampak, kalau kita memperhatikan bagaimana kekuasaan itu diartikan. Ada satu kelompok pendapat yang mengartikan kekuasaan itu sebagai suatu dominasi (dominance), dan ada yang pada hakekatnya bersifat ‘paksaan’ (coercion). Sebagai contoh, misalnya pendapat Strausz-Hupe, yang merumuskan kekuasaan sebagai ‘kemampuan untuk memaksakan kemauan kepada orang lain’. Pendapat senada dikemukakan oleh C. Wright Mills, yang mengatakan: ‘Kekuasaaan itu adalah dominasi yaitu kemampuan untuk melaksanakan kemauan kendatipun orang lain

      

8

Lihat Miriam Budiardjo, ‘Konsep Kekuasaan: Tinjauan Kepustakaan’, dalam Miriam Budiardjo (ed.), Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Sinar Harapan, 1984, hlm. 9. 

9

Lihat Soelaeman Soemardi, ‘Cara-Cara Pendekatan Terhadap Kekuasaan Sebagai Suatu Gejala Sosial’, dalam Ibid., hlm. 30. 


(48)

menentang’. Demikian pula Harold D. Laswell menganggapnya, ‘tidak lain dan tidak bukan adalah penggunaan paksaan yang kuat’ (Budiardjo, 1984:31).

Suatu pengertian yang lain tentang kekuasaan terlihat dalam karangan karangan Talcott Parsons, Robert S. Lynd, dan Marion Levy, Jr. Untuk kelompok yang kedua ini, pengertian pokok dari kekuasaan adalah ‘pengawasan’ (control). Akan tetapi fungsinya atau sifatnya tidaklah harus selalu merupakan paksaan. Untuk Parsons umpamanya, kekuasaan adalah ‘pemilikan fasilitas untuk mengawasi’. Akan tetapi keperluannya ialah untuk ‘pelaksanaan fungsi dalam dan untuk masyarakat sebagai suatu sistem, untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ataupun akan ditentukan secara mengikat oleh umum’. Seiring dengan ini, Robert Lynd mengumumkan bahwa: ‘kekuasaan sebagai suatu sumber sosial (social resource) yang utama untuk mengadakan pengawasan dapat beralih wujud dari suatu paksaan sampai dengan suatu kerja sama secara sukarela, tergantung daripada perumusan ketertiban dan kekacauan sebagaimana ditentukan, diubah dan dipelihara dalam suatu masyarakat tertentu’. Akhirnya, Marlon Levy menjelaskan bahwa: ‘penggunaan kekuatan fisik hanyalah merupakan suatu bentuk ekstrem dari cara penggunaan diktator dan pengawasan atas tindakan-tindakan orang lain’ (Budiardjo, 1984:32).

Dengan perkataan lain, persoalan pokok untuk kelompok paham terakhiri ini, ialah ‘legitimasi’ (legitimacy) atau ‘pembenaran’ dari ‘dasar’ kekuasaan. Sebagaimana dirumuskan oleh Parsons: ‘legitimasi dari pengawasan demikian itu mempunyai arti yang penting untuk kedudukan kekuasaan dalam masyarakat dalam hubungannya dengan sistem tujuan-tujuannya’. Selanjutnya Marlon Levy


(49)

menjelaskan, bahwa ‘kekuasaan selalu menyimpulkan imbangannya oleh tanggung jawab, yang berarti pertanggungan jawab dari individu terhadap individu-individu atau golongan-golongan lainnya atas tindakan-tindakannya sendiri dan tindakan- tindakan orang lain’ (Budiardjo, 1984:32).

Sekalipun ada banyak pandangan yang berbeda mengenai kekuasaan, akan tetapi agaknya ada satu inti yang terlihat dalam semua perumusan itu, yaitu bahwa kekuasaan dianggap sebagai kemampuan pelaku untuk mempengaruhi orang lain sedemikian rupa sehingga tingkah-laku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan (Budiardjo, 1984:9).

Konsep kekuasaan demikian, sebenarnya didasarkan atas fakta politik yang terjadi di negara-negara barat. Namun demikian, di Indonesia pun sebenarnya konsep kekuasaan juga senada dan seirama dengan pendapat Laswell, Kaplan, dan Parson. Hanya saja, cara mendapatkan kekuasaan dalam kancah politik, antara negara barat dan timur (Indonesia-Jawa) memang dimungkinkan ada perbedaan.

2.2.3.2 Perspektif Kekuasaan dalam Budaya Jawa

Anderson10, Indonesianis dari Cornell University yang melakukan penelitian

lapangan di Jawa, menulis dengan kegamblangan sebuah generalisasi, bahwa

      

10

Dalam karyanya “The Idea of Power in Javanese Culture” (“Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa”), Anderson membahas persistensi gagasan kekuasaan Jawa tradisional dan pengaruhnya terhadap kehidupan politik modern. Menurut Anderson, ada empat hal yang menjadi dasar pemikiran kekuasaan dalam perspektif kebudayaan Jawa. Keempat hal tersebut adalah: a. kekuasaan itu kongkret; b. kekuasaan itu homogen; c. jumlah kekuasaan dalam alam semesta selalu tetap; d. kekuasaan tidak mempersoalkan keabsahan. Lihat Anderson “Gagasan tentang Kekuasaan


(50)

kekuasaan dalam pandangan orang Jawa bersifat mutlak. Ia tidak memiliki dimensi etis apa pun, selain mempertahankan dan melestarikan kekuasaan. Ia juga semata-mata hanya mengabdi kepada kepentingan sang penguasa, melalui sejumlah perlambang, seperti kesaktian dan barang pusaka. Generalisasi seperti itu sejak semula memang patut dicurigai, karena menyembunyikan nuansa-nuansa halus dalam pandangan tentang kekuasaan. Kesalahan Anderson yang paling utama adalah kenekatannya membuat sebuah konstruk mutlak dari sebuah sudut pandangan belaka.

Kesalahan Anderson itu ‘dimanfaatkan’ oleh Koentjaraningrat, yang menyanggah gagasan Anderson bahwa kadigjayan sebagai satu-satunya komponen yang diperlukan untuk melaksanakan kekuasaan itu, ibarat kekuatan energi bersifat

sakti serta keramat yang dengan sendirinya dapat digunakan.11 Selanjutnya,

Koentjaraningrat berpendapat bahwa, seperti halnya pemimpin lain dari semua masyarakat dunia, seorang pemimpin dalam suatu masyarakat berkebudayaan Jawa perlu juga memperhitungkan semua komponen kekuasaan yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin secara universal.

Kita akan sesat apabila kita mengira bahwa orang Jawa menganggap kekuasaan identik dengan satu energi sakti yang dapat diraih dengan upacara atau bertapa. Konsepsi orang Jawa mengenai kekuasaan dan kepemimpinan jauh lebih kompleks dari itu; konsepsi masa kini sedang berkembang dari konsepsi tradisional, ke arah suatu konsepsi Indonesia masa kini. (Koentjaraningrat dalam Budiardjo, 1984:143).

      

dalam Kebudayaan Jawa” dalam Miriam Budiardjo (Ed.). 1984. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan

Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan. hlm. 51-52. 

11

Lihat Koentjaraningrat ‘Kepimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi’ dalam Miriam Budiardjo (Ed.), 1984. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, hlm. 128. 


(51)

Dengan hasil pengontrasan semacam itu, Koentjaraningrat menilai bahwa Anderson telah kehilangan kemampuannya untuk melihat gejala-gejala yang ditelitinya (konsep kekuasaan masyarakat Jawa) secara proporsional. Lebih lanjut, Anderson dianggap berlebihan dalam memandang konsep kekuasaan masyarakat Jawa. Anderson tidak cukup memahami orang Jawa dengan menganggap cerita-cerita dan ujaran, upacaranya sebagai suatu realitas. Menurut Koentjaraningrat, orang Jawa sering mengekspresikan diri dalam perilaku yang simbolis, termasuk konsep kekuasaan yang keramat dan sakti itu juga sebagai bagian dari konsepsi yang simbolis.

Menurut Koentjaraningrat, kesakten hanyalah salah satu syarat bagi pemimpin Jawa, tetapi bukan satu-satunya. Sebagai jalan keluarnya Prof. Koentjaraningrat menawarkan model kepemimpinan yang lebih universal dengan mengacu kepada data etnografi kebudayaan di Afrika, Asia dan daerah lautan Pasifik. Dalam menyusun kerangka teoritisnya, Koentjaraningrat mengkategorikan konsep kekuasaan dan kepemimpinan berdasarkan tingkat perkembangan masyarakat, yaitu masyarakat kecil dan masyarakat sedang, masyarakat negara-negara kuno, dan masyarakat negara kontemporer. Ada empat komponen yang senantiasa ada dalam tiap jenis masyarakat:

wibawa, kharisma, wewenang dan kemampuan khusus. Skemanya demikian:12

      

12

Lihat Koentjaraningrat “Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi” dalam Miriam Budiardjo (Ed.). 1984. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan. hlm. 128-143. 


(52)

Masyarakat Sederhana Masyarakat Tradisional Masyarakat Masa Kini

Wibawa Kharisma Wibawa

Wewenang Wewenang Wewenang

Kharisma Wibawa Kharisma

Kemampuan khusus Kemampuan khusus Kemampuan khusus

Gambar 1. Skema Komponen Kekuasaan Jawa Menurut Koentjaraningrat (1984:128-143)

Dalam masyarakat kecil atau sedang (disebut kerangka I) disimpulkan bahwa komponen-komponen yang menjadi landasan kekuasaan seorang pemimpin adalah kewibawaan, wewenang dan kekuasaan dalam arti khusus , serta sifat-sifat yang menjadi syarat bagi seseorang untuk muncul sebagai pemimpin. Kewibawaan yang dimaksud dikarenakan: kepandaian (berburu, bertani, berkebun), keterampilan berpidato, kemahiran berdiplomasi, sifat-sifatnya sesuai dengan cita-cita dan keyakinan masyarakatnya. Wewenang diperoleh karena kemampuannya untuk melakukan upacara intensifikasi. Sementara kharisma muncul karena dianggap memiliki kekuatan sakti.

Selanjutnya, komponen kekuasaan yang harus ada dalam masyarakat negara kuno (kerangka II) antara lain kharisma, kewibawaan, wewenang atau kekuasaan dalam arti khusus serta syarat-syarat yang memungkinkan seseorang menjadi raja atau pemimpin kelompok masyarakat ini. Kharisma diperoleh dengan klaim memiliki wahyu Tuhan atau dewa-dewa. Wewenang dimiliki seseorang karena memiliki


(53)

kekuatan sakti, mempunyai keturunan sah, mampu melaksanakan upacara intensifikasi dan memiliki pusaka-pusaka keramat. Semenatar kewibawaan diperoleh karena memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan cita-cita dan keyakinan masyarakat.

Dalam masyarakat negara kontemporer (kerangkan III) komponen-komponen kekuasaan yang dimiliki seorang pemimpin tetap sama seperti pada masyarakat sedang dan negara kuno, hanya saja tata urut pentingnya telah berubah. Hal itu dikerenakan sumber kekuasaannya adalah masyarakat itu sendiri, bukan dewa atau Tuhan. Kewibawaan diperoleh karena popularitas dan kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah sosial ekonomi dan politik (kecendiakawanan), serta memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan cita-cita dan kepercayaan masyarakat. Wewenang diperoleh melalui prosedur adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Sementara kharisma diperoleh karena memiliki lambang-lambang kepemimpinan dan ciri-ciri rohaniah yang disegani. Unsur-unsur kekuasaan tersebut juga bisa digunakan untuk membedakan antara pimpinan formal dan informal. Menurut Koentjaraningrat, pimpinan formal memiliki empat komponen kekuasaan, yaitu kewibawaan, wewenang, kharisma dan kekuasaan fisik. Sementara itu kekuasaan informal hanya memiliki tiga komponen kekuasaan, yaitu kewibawaan, kharisma dan kekuatan fisik.

Penelitian tentang etika kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam ini bertolak dari pandangan Koentjaraningrat di atas tentang konsep kekuasaan Jawa yang meliputi empat komponen yaitu: wibawa, kharisma, wewenang, dan kemampuan khusus.


(54)

2.3 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan hubungan teori sastra dan pemikiran (filsafat) yang dikemukakan oleh Wellek & Austin Warren terjemahan Budianta (1989:134-135).

‘Sastra sering dilihat sebagai bentuk filsafat, atau sebagai pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus. Jadi, sastra dianalisis untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran hebat. Meskipun sekarang ilmuwan sudah jenuh mengorek-ngorek hal-hal yang ilmiah dari karya sastra, sampai sekarang karya sastra masih sering dibahas sebagai karya filsafat…karya sastra dapat dianggap sebagai dokumen sejarah pemikiran dan filsafat, karena sejarah sastra sejajar dan mencerminkan sejarah pemikiran.’

Filsafat sebagai salah satu ilmu bantu sastra tentu relevan dalam pengkajian suatu karya sastra. Ilmu filsafat dapat digunakan sebagai optik untuk melihat anasir-anasir dari suatu karya sastra yang menjadi titik temu antara sastra dan filsafat. Hubungan simbiosis antara sastra dengan filsafat bukanlah suatu hal yang asing dalam ilmu sastra maupun dalam ilmu filsafat sendiri. Bahkan Ulrici, peneliti karya-karya Shakespeare dari Jerman, menyatakan hubungan sastra dengan filsafat secara gamblang (Wellek dan Austin Warren, 1989: 34). Ia mengatakan sastra dapat dilihat dalam bentuk filsafat atau sebagai bentuk pemikiran yang terbungkus.

Pernyataan Ulrici di atas ada kebenarannya. Apabila kita mensejajarkan antara sejarah sastra dengan sejarah pemikiran atau filsafat akan terlihat jelas hubungannya. Ini dikarenakan secara langsung atau melalui alusi-alusi dalam karyanya, kadang-kadang pengarang menyatakan bahwa ia penganut filsafat tertentu, mempunyai


(55)

hubungan yang dominan pada zamannya, atau paling tidak mengetahui garis besar ajaran paham-paham tersebut (Wellek dan Austin Warren, 1980: 38). Oleh karena adanya hubungan antara sastra dengan filsafat mendorong penulis untuk mengkaji suatu karya sastra dari sudut pandang filosofis.

Etika adalah bidang kajian filsafat yang terkait dengan persoalan nilai moral prilaku manusia. Dalam sistematika filsafat, ia merupakan bagian dari kajian aksiologi, yaitu cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai. Sebagai bagian dari kajian filsafat, etika merupakan pemikiran filosofis tentang nilai moral, bukan nilai moral itu sendiri (Bertens, 2007:6). Nilai moral adalah kualitas prilaku baik dari manusia. Ajaran yang memberi manusia tentang bagaimana berprilaku dengan kualitas baik adalah moralitas atau dalam Islam dikenal dengan akhlak.

Seorang akademisi dan rohaniwan Suseno (1992:42) mengatakan bahwa etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Yang memberi kita norma tentang bagaimana kita harus hidup adalah moralitas. Sedangkan etika justru hanya melakukan refleksi kritis atas norma atau ajaran moral tersebut atau kita juga bisa mengatakan bahwa moralitas adalah petunjuk konkret yang siap pakai tentang bagaimana kita harus hidup. Sedangkan etika adalah perwujudan dan pengejawantahan secara kritis dan rasional ajaran moral yang siap pakai. Keduanya mempunyai fungsi yang sama, yaitu memberi kita orientasi bagaimana dan ke mana kita harus melangkah dalam hidup ini. Tetapi bedanya moralitas langsung mengatakan kepada kita; inilah caranya anda harus melangkah. Sedangkan etika


(56)

harus mempersoalkan; apakah saya harus melangkah dengan cara itu dan mengapa harus dengan cara itu?

Etika dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan sering kali meliputi suatu sistem nilai dan norma sosial, dan etika selalu berlaku dalam suatu konteks budaya yang tertentu (Bertens, 2001:12). Etika Jawa merupakan keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana seharusnya manusia menjalankan kehidupannya (Suseno, 2003:6).

Etika kekuasaan Jawa sebagai bagian dari kajian filsafat Jawa adalah suatu konsep kepemimpinan yang tumbuh dari kehendak kultural masyarakat Jawa,

nilai-nilai yang hidup di masyarakat Jawa. 13 Nilai-nilai luhur itu merupakan ekspresi

kultural yang sarat kebijaksanaan, keteladanan dan keluhuran. Untaian kebijaksanaan hidup yang berkaitan dengan moralitas dirangkai dan disarikan dari kitab-kitab Jawa kuno karya para pujangga agung serta ungkapan luhur yang diwariskan secara turun temurun.

      

13

Lihat Nasruddin Anshoriy CH. 2008. Neo Patriotisme: Etika Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: LKiS. 


(57)

2.4 Model Penelitian

Berikut adalah bagan model penelitian:

INTRINSIK -TOKOH UTAMA (SASTRODARSONO)

ETIKA

ETIKA JAWA

1. WIBAWA

2. KHARISMA

3. WEWENANG

4. KEMAMPUAN

KHUSUS

ETIKA KEKUASAAN JAWA EKSTRINSIK

- PEMIKIRAN

(FILSAFAT) 

SASTRA (Novel Para Priyayi karya Umar Kayam)


(58)

Keterangan:

: tanda panah dua arah menunjukkan kesalinghubungan.

: tanda panah satu arah menunjukkan hubungan satu arah.

Penjelasan Model:

Novel Para Priyayi karya Umar Kayam dibahas menurut konsep pendekatan

yang dipelopori oleh Wellek dan Austin Warren (1989), yakni pendekatan intrinsik dan ekstrinsik yang dilakukan secara bersamaan. Pada pendekatan intrinsik dikaji penokohan, dalam hal ini tokoh utama yaitu Sastrodarsono (nama tua Soedarsono), sedangkan pada pendekatan instrinsik dikaji melalui hubungan sastra dan pemikiran (filsafat).

Etika adalah bidang kajian filsafat yang terkait dengan persoalan nilai moral prilaku manusia. Etika Jawa merupakan keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat Jawa untuk mengetahui bagaimana seharusnya manusia menjalankan kehidupannya.

Etika kekuasaan Jawa sebagai bagian dari kajian filsafat Jawa adalah suatu konsep kepemimpinan yang tumbuh dari kehendak kultural masyarakat Jawa, nilai-nilai yang hidup di masyarakat Jawa. Etika kekuasaan Jawa yang dianalisis dalam penelitian ini bersumber dari konsep kepemimpinan atau kekuasaan Jawa yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat dalam “Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi” tahun 1984. Konsep kekuasaan Jawa tersebut meliputi empat komponen yaitu: wibawa, kharisma, wewenang dan


(59)

kemampuan khusus. Keempat komponen kekuasaan tersebut terdapat dalam tokoh utama novel Para Priyayi (2000) karya Umar Kayam yaitu Sastrodarsono (nama tua Soedarsono).

Adapun etika kekuasaan Jawa yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi: membangun wibawa kepemimpinan, upaya mendapatkan kharisma, menjalankan wewenang secara optimal, dan memberdayakan kemampuan.


(60)

BAB III

METODE PENELITIAN

Di dalam Bab III ini diuraikan secara berurutan tentang metode penelitian yang mencakup: (i) rancangan penelitian, (ii) sumber data dan data, (iii) teknik pengumpulan data, dan (iv) teknik analisis data. Berikut uraiannya.

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan hermeneutika. Pendekatan hermeneutika merujuk kepada proses interpretasi atau penafsiran teks-teks. Pendekatan hermeneutika sangat relevan untuk menafsirkan berbagai gejala, peristiwa, simbol, nilai yang terkandung dalam ungkapan bahasa atau kebudayaan lainnya, yang muncul pada fenomena kehidupan manusia. Fenomena manusia tersebut antara lain berupa karya filsafat, simbol verbal yang berujud bahasa, atau simbol nonverbal, karya seni, tari-tarian, gamelan, ritual kepercayaan, pandangan hidup, upacara keagamaan, candi, etika, dan fenomena dalam kehidupan manusia lainnya (Kaelan, 2005:80).

Tujuan hermeneutika adalah untuk mencari dan menemukan makna yang terkandung dalam objek penelitian yang berupa fenomena kehidupan manusia, melalui pemahaman dan interpretasi. Dalam ruang lingkup kesusastraan, kebutuhan tentang hermeneutika sangatlah ditekankan, karena tanpa interpretasi atau penafsiran,


(61)

pembaca mungkin tidak akan mengerti atau menangkap jiwa zaman di mana kesusastraan itu dibuat (Muhadjir, 2002:314).

Dalam pandangan hermeneutika, konvensi keutuhan adalah dominan, semua bagian saling bertalian sehingga dimungkinkan untuk diadakan interpretasi. Adapun interpretasi teks bagian khusus ke umum dan pemahaman umum ke khusus.

3.2 Sumber Data dan Data

Sumber data penelitian ini adalah novel Para Priyayi karya Umar Kayam yang diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti cetakan ketujuh bulan November tahun 2000 setebal 308 halaman dengan soft cover. Dipilihnya novel tersebut karena mengandung unsur etika kekuasaan budaya Jawa dalam penceritaannya.

Adapun data primer dalam penelitian ini adalah data kutipan yang berupa teks atau wacana yang berhubungan dengan etika kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam. Di samping itu, data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari artikel-artikel dalam media massa maupun internet, baik yang berhubungan dengan pengarang maupun novelnya, dan bersifat mendukung data-data dalam objek penelitian. Data sekunder dalam penelitian ini berfungsi untuk mempertajam analisis data.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis isi. Prosedur analisis isi dalam bidang sastra hendaknya memenuhi syarat-syarat: (a)


(62)

teks sastra perlu diperoses secara sistematis, menggunakan teori yang telah dirancang sebelumnya, (b) teks tersebut dicari unit-unit analisis dan dikategorikan sesuai acuan teori, (c) proses analisis harus mampu menyumbangkan ke pemahaman teori, (d) proses analisis mendasarkan pada deskripsi, (e) analisis dilakukan secara kualitatif (Endraswara, 2008:162).

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara:

1. membaca novel Para Priyayi secara cermat dan berulang-ulang;

2. menuliskan temuan data dalam kartu ikhtisar dan dibagi ke dalam unit-unit

kecil sesuai klasifikasinya; kemudian data yang berwujud teks tersebut dicuplik dan dikumpulkan dalam kartu atau tabel.

3. pada saat yang bersamaan dilakukan reduksi data, yakni dengan cara

mengabaikan data-data yang tidak relevan dengan konstruk penelitian. Sedangkan data yang relevan diberi penekanan (garis bawah/penebalan), agar memudahkan peneliti menentukan indikator;

4. data-data yang telah direduksi atau diseleksi kemudian dilakukan pencatatan

dalam kartu ikhtisar.

3.4 Teknik Analisis Data

Menurut Bungin (2007:78), dalam penelitian kualitatif, terdapat keterkaitan antara teori, metode pengumpulan data, dan metode analisis data; di mana relasi metode pengumpulan data dan teknik-teknik analisis data dilakukan sekaligus secara


(63)

bersamaan, karena suatu metode pengumpulan data juga sekaligus adalah metode dan teknik analisis data.

Metode yang digunakan dalam menganalisis data penelitian ini adalah analisis isi (content analysis). Analisis isi merupakan model analisis yang digunakan untuk mengungkap, memahami, dan menangkap pesan karya sastra. Dalam karya sastra, isi yang dimaksud adalah pesan-pesan yang akan disampaikan oleh penulis melalui karya sastranya. Analisis isi didasarkan pada asumsi bahwa karya sastra yang bermutu adalah karya sastra yang mampu mencerminkan pesan positif kepada pembacanya. Hal yang penting adalah pesan-pesan yang terangkum dalam isi karya sastra itu dipahami secara keseluruhan (Endraswara, 2008:160).

Menurut Bungin (2007:156) dalam penelitian kualitatif, analisis isi ditekankan pada bagaimana peneliti melihat keajekan isi komunikasi secara kualitatif, pada bagaimana peneliti memaknakan isi komunikasi, membaca simbol-simbol, memaknakan isi interaksi simbolis yang terjadi dalam komunikasi. Lebih lanjut Bungin (2007:156) mengatakan bahwa penggunaan analisis isi untuk penelitian kualitatif tidak jauh berbeda dengan pendekatan lainnya. Awal mula harus ada fenomena komunikasi yang dapat diamati, dalam arti bahwa peneliti harus lebih dulu dapat merumuskan dengan tepat apa yang ingin diteliti dan semua tindakan harus didasarkan pada tujuan tersebut. Langkah berikutnya adalah memilih unit analisis yang akan dikaji, memilih objek penelitian yang menjadi sasaran analisis (Bungin, 2007:156).


(64)

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pada dasarnya metode-metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif adalah sama halnya dengan metode analisis data. Dalam hal ini, peneliti menggunakan metode analisis isi yang

mengambil langkah sebagai berikut:14

1. Identifikasi

Setelah data terkumpul, penulis mengidentifikasi data yang berhubungan dengan objek penelitian.

2. Klasifikasi

Setelah diidentifikasi, data diseleksi dan diklasifikasi berdasarkan unsur intrinsik yaitu tokoh utama dalam novel Para Priyayi, dan unsur ekstrinsik yaitu pemikiran yang berhubungan dengan konsep kekuasaan Jawa dan etika kekuasaan Jawa. Bentuk klasifikasi data adalah sebagai berikut:

1) Data yang diklasifikasikan berdasarkan tokoh utama dalam novel Para

Priyayi.

2) Data yang diklasifikasi berdasarkan konsep kekuasaan Jawa dalam novel

Para Priyayi yaitu wibawa, kharisma, wewenang, dan kemampuan khusus.

3) Data yang diklasifikasi berdasarkan etika kekuasaan Jawa dalam novel

Para Priyayi yaitu membangun wibawa kepemimpinan yang meliputi (i) menguasai ilmu dan (ii) bersikap ksatria; upaya mendapatkan kharisma yang meliputi (i) laku badaniah, (ii) laku kehendak, (iii) laku jiwa, (iv)

      

14


(65)

laku religius; menjalankan wewenang secara optimal yang meliputi (i) bersikap alus dan (ii) memenuhi tanggung jawab; serta memberdayakan kemampuan.

3. Analisis

Selanjutnya, seluruh data di dalam novel dianalisis dan ditafsirkan maknanya secara keseluruhan.

4. Deskripsi


(66)

BAB IV ANALISIS DATA

Di dalam Bab IV ini diuraikan analisis data yang merupakan jawaban terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dalam Bab Pendahuluan. Analisis data terdiri atas: (i) analisis tokoh utama yang tergambar melalui konsep kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi dan (ii) analisis etika kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi. Analisis tokoh utama yang tergambar melalui konsep kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi meliputi: wibawa, kharisma, wewenang, dan kemampuan khusus. Analisis terhadap etika kekuasaan Jawa dalam novel Para Priyayi meliputi: membangun wibawa kepemimpinan, upaya mendapatkan kharisma, menjalankan wewenang secara optimal, dan memberdayakan kemampuan. Berikut adalah uraian analisisnya.

4.1 Analisis Tokoh Utama yang Tergambar Melalui Konsep Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi

Pembahasan pada sub bab ini dilakukan dengan cara mencari data di dalam novel Para Priyayi yang menyiratkan adanya konsep kekuasaan Jawa melalui tokoh utama yaitu Sastrodarsono (nama tua dari Soedarsono). Konsep kekuasaan Jawa yang dianalisis pada sub bab 4.1 ini meliputi empat hal yaitu: (i) wibawa, (ii) kharisma, (iii) wewenang, dan (iv) kemampuan khusus.


(67)

Konsep kekuasaan Jawa yang dibahas dalam sub bab ini adalah kekuasaan Jawa yang didasarkan atas pendapat Koentjaraningrat dalam tulisannya “Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi” dalam buku Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa (1984). Ia menyanggah

gagasan Anderson15 yang menyatakan bahwa kekuasaan dalam pandangan orang

Jawa bersifat mutlak, tidak memiliki dimensi etis apa pun, selain mempertahankan dan melestarikan kekuasaan, juga semata-mata hanya mengabdi kepada kepentingan sang penguasa melalui sejumlah perlambang, seperti kesaktian dan barang pusaka. Sanggahan (tertulis) ini tergambar sebagai berikut.

Jelaslah bahwa uraian Anderson itu terlalu berlebihan mengenai konsep orang Jawa, yang menganggap bahwa kekuasaan itu ibarat kekuatan energi saja, dan dapat digunakan oleh manusia secara otomatis. Memang benar, di dalam cerita-ceritanya, upacaranya, dan kadang-kadang juga dalam ujarannya, orang Jawa sering kali menonjol-nonjolkan sifat sakti dan keramat dari kekuasaan ini, tetapi Anderson tidak cukup mengenal orang Jawa apabila ia mengira bahwa mereka juga menganggap bahwa apa yang ada dalam cerita-cerita itu merupakan realitas. Demikian juga bahwa orang Jawa sering kali mengekspresikan diri dalam tingkah laku upacara serta ujaran yang simbolis, agaknya luput dari perhatian Anderson. Konsepsi orang Jawa mengenai kekuasaan sebagai kekuatan energi yang sakti dan keramat itu juga tidak lain dari suatu konsepsi simbolis belaka. (Koentjaraningrat dalam Budiardjo, 1984:129)

Koentjaraningrat menolak konsepsi kekuasaan yang dikemukakan Anderson tersebut dengan pembuktian akan adanya variasi-variasi pandangan tentang kekuasaan di kalangan orang Jawa. Menurutnya, nilai-nilai luhur sangat dituntut dari

      

15

Lihat konsep kekuasaan Jawa menurut Anderson. 1990. ‘The Idea of Power in Javanese Culture’ dalam Language and Power, Exploring Political Cultures in Indonesia, USA: Cornell University. 


(68)

para penguasa Jawa, sehingga bagaimanapun juga mereka tidak berbuat sesuka hati.

Mereka harus memperhatikan ‘aturan permainan’ yang sarat nilai.16

Hal yang sama diungkapkan oleh Ginandjar Kartasasmita.17 Ia juga

menyatakan bahwa kita tidak boleh lupa bahwa bangsa Indonesia memiliki warisan dari para leluhur mengenai prinsip-prinsip kepemimpinan. Banyak di antaranya yang relevan sepanjang masa dan sekarang pun masih digunakan. Salah satu konsep kepemimpinan yang merupakan warisan kebudayaan bangsa adalah Hastha Brata,

atau delapan ajaran keutamaan, seperti yang ditunjukkan oleh sifat-sifat alam.18

Selain itu Ki Hadjar Dewantara juga merumuskan tiga unsur kepemimpinan melalui ungkapan yang sangat dalam maknanya, yaitu: (1) ing ngarso sung tulodo, (2) ing madyo mangunkarso, dan (3) tut wuri handayani.

      

16

Dalam kesusastraan Jawa misalnya ada buku-buku kuno seperti Niti Pradja, Kodja Djajahan, Serat

Rama (Ramayana: yang disebut Astabrata), dan sebagainya. Dalam buku-buku itu diajarkan hal-hal

mengenai kepemimpinan raja yang adil dan bermurah hati, yang menjaga keamanan dan ketentraman negara, tetapi juga masalah sumber dan cara-cara memelihara kekuasaan, hubungan dengan rakyat dan sebagainya.  

17

Pidato ini disampaikan pada Pembekalan Kepada Para Komandan Jajaran TNI Angkatan Udara dan Kohanudnas, Jakarta 3 Juli 1997 dengan judul ‘Kepemimpinan Menghadapi Masa Depan’. (http://www.ginandjar.com/public/15KepemimpinanMenghadapiMasaDepan.pdf, diunduh tanggal 1 Maret 2011) 

18

Hastha Brata adalah ajaran tentang prinsip-prinsip kepemimpinan yang disampaikan oleh Sri Rama kepada Bharata, adiknya, yang akan menjadi raja Ayodhya. Ini diceritakan dalam Ramayana Kakawin (cerita berbentuk puisi dalam bahasa Jawa kuno dari abad-10), yaitu ketika Rama harus meninggalkan istana untuk mengembara di hutan bersama Laksmana, adiknya, Dewi Shinta, istrinya. Atas permintaan ayahnya, Dastharata, Raja Ayodhya, Rama harus mengembara di hutan dahulu sebelum boleh menggantikannya. Di hutan itulah ia kehilangan Dewi Shinta karena mengejar Kijang Kencana, alat tipuan Dasamuka. Seorang pemimpin harus berwatak matahari, artinya memberi semangat, memberi kehidupan, dan memberi kekuatan bagi yang dipimpinnya. Harus mempunyai watak bulan, dapat menyenangkan dan memberi terang dalam kegelapan. Memiliki watak bintang, dapat menjadi pedoman. Berwatak angin, dapat melakukan tindakan secara teliti dan cermat. Harus berwatak mendung artinya bahwa pemimpin harus berwibawa, setiap tindakannya harus bermanfaat. Pemimpin harus berwatak api, yaitu bertindak adil, mempunyai prinsip, tegas, tanpa pandang bulu. Ia juga harus berwatak samudera, yaitu mempunyai pandangan luas, berisi, dan rata. Akhirnya seorang pemimpin harus memiliki watak bumi, yaitu budinya sentosa dan suci. Lihat Nasruddin Anshoriy. 2008. Neo


(1)

mengakibatkan terpisahnya Gadis dengan Hari. Mereka dipenjara di tempat yang berbeda. Kedua orang tua Hari benar-benar bingung menghadapi masalah itu. Berkat bantuan Lantip yang saat itu mempunyai kenalan beberapa perwira, Hari berhasil dibebaskan. Semua itu juga atas bantuan Noegroho. Namun, Hari masih menjalani hukuman dengan status tahanan rumah. Dalam kegoncangan pikirannya di rumah Hari selalu mengingat dan memikirkan Gadis serta anak yang dikandungnya yang diperkirakan berusia tujuh bulan. Sekali lagi, berkat usaha Lantip, Gadis dapat ditemukan. Noegroho pun berhasil membawa surat-surat untuk memindahkan status tahanan Gadis. Semua keluarga, kecuali Hari, pergi ke rumah tahanan Plantungan untuk menjemput Gadis, namun beberapa hari sebelum rombongan keluarga Hari datang, Gadis meninggal karena melahirkan sepasang bayi kembar, laki-laki dan perempuan.

Soemini, satu-satunya anak perempuan Sastrodarsono, bersuamikan Raden Harjono Cokrokoesoemo asisten Wedana Karanglo. Masalah yang dihadapi keluarga Soemini adalah adanya selir gelap suaminya seorang penyanyi keroncong. Harjono yang sudah menjadi pejabat tinggi kepala jawatan di kementrian dalam negeri sering berapat dan bekerja hingga larut malam. Soemini pun banyak terlibat dengan organisasi kewanitaan dan sering pulang terlambat. Harjono tampak kurang senang dengan semua itu dan sekali-kali juga menggerutu sebab setiap kali pulang istrinya belum berada di rumah.

Kegoncangan rumah tangga tersebut terjadi saat Soemini sudah bercucu dan Harjono berumur 51 tahun. Mungkin karena kesibukan masing-masing atau tekanan


(2)

pekerjaan yang membuat Harjono membutuhkan seorang teman perempuan yang lain. Masalah itu segera teratasi setelah Soemini dinasihati oleh ibunya. Soemini pun menyadari kekurangannya selama ini. Akhirnya keluarga Soemini hidup rukun kembali dan Harjono bisa melepaskan penyanyi keroncong yang bernama Sri Asih.

Tokoh Lantip merupakan satu-satunya tokoh yang tidak memiliki masalah pribadi yang terlalu berat ketika dewasa. Masa lalunya memang sangat mengenaskan. Sastrodarsono tidak habis-habisnya berucap syukur kepada Allah yang Maha Adil sebab anak jadah itu tumbuh sebagai anak yang sungguh baik dan amat berbakti kepada semua keluarga Sastrodarsono. Lantip selalu membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi keluarga besar Sastrodarsono dengan rasa rendah diri, penuh kesabaran, dan jauh dari rasa pamrih. Masalah demi masalah berhasil dia selesaikan sampai ia kurang begitu memperhatikan kepentingannya sendiri. Sampai usianya yang menjelang 31 tahun belum menemukan gadis yang cocok. Beberapa waktu kemudian Lantip bertunangan dengan Halimah rekan asisten asal Pariaman, Sumatra Barat. Pengabdian Lantip kepada keluarga besar Sastrodarsono untuk menyampaikan pidato selamat jalan kepada embah kakung di makam. Lantip dipilih sebagai wakil keluarga besar tersebut karena Lantip merupakan satu-satunya calon yang lebih pantas dan paling besar jasanya dalam keluarga besar Sastrodarsono. Dialah orang yang paling ikhlas, tulus, dan tanpa pamrih berbakti kepada keluarga tersebut.


(3)

Lampiran 3


(4)

Lampiran 4

Kartu Ikhtisar Klasifikasi Data Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam

Tabel 1 Konsep Kekuasaan Jawa melalui Tokoh Utama

NO. DATA KUTIPAN KODE DATA

(Sumber Data/ Halaman) 1. ....wibawa itu tidak membuat orang merasa

takut melainkan hormat.

[Novel Para Priyayi -157]

Wibawa 2. ….Bapak, adalah matahari tempat kami

berpaling. Seperti juga matahari, Bapak memang selalu menyilaukan mata kami…Dari mulutnya keluar sabda-sabda yang mengandung bobot yang berwibawa sekali bagi kami anak-anak. Kami menerima sabda atau fatwa itu tanpa reserve, tanpa berani menyanggahnya.

[Novel Para Priyayi  - 181]

Kharisma

3. Hari itu saya, Soedarsono, anak tunggal Mas Atmokasan, petani Desa Kedungsimo, pulang dari Madiun dengan berhasil mengantongi beslit guru bantu di Ploso. Guru Bantu. Itu berarti sayalah orang pertama dalam keluarga besar kami yang berhasil menjadi priyayi, meskipun priyayi yang paling rendah tingkatnya. Itu tidak mengapa. Yang penting kaki saya sudah melangkah masuk jenjang priyayi. Beberapa tahun lagi, kalau saya rajin dan setia kepada gupermen, saya akan menjadi guru penuh sekolah desa. Itu akan lebih memantapkan kedudukan saya sebagai priyayi, sebagai abdi gupermen. Dan kalau saya sudah menjadi mantra guru, wah, itu sudah boleh dikatakan menjadi priyayi yang

[Novel Para Priyayi - 29]


(5)

   

terpandang.

4. Di sekolah desa kami diperintahkan untuk sangat menekankan pengajaran kami di bidang-bidang berhitung, menulis, dan bahasa

[Novel Para Priyayi - 53]

Kemampuan Khusus

NO. DATA KUTIPAN KODE DATA

(Sumber Data/ Halaman) Jawa. Kami diperintahkan untuk sangat keras

dan tertib dalam mengajar bidang-bidang tersebut. Maka hasilnya pun kelihatan pada anak-anak desa yang tamat dari sekolah desa. Mereka, pada umumnya, sangat bagus tulisan tangannya dan pintar berhitung serta baik penguasaan bahasa Jawanya.

Tabel 2 Etika Kekuasaan Jawa

NO. DATA KUTIPAN KODE DATA

(Sumber Data / Halaman)

1. Ngelmu iku, kalakone kanti laku…(Ilmu itu

akan terlaksananya lewat upaya keras…)

[Novel Para Priyayi - 131]

Membangun Wibawa Kekuasaan

- Menguasai Ilmu 2. …pada setiap malam hari-hari yang dianggap

keramat oleh orang Jawa, misalnya, malam Selasa Kliwon atau malam Jumat Kliwon, banyak orang pada kungkum, berendam, di sungai itu.

[Novel Para Priyayi - 6] Upaya Mendapatkan Kharisma

- Laku badaniah 3. …sistem yang melahirkan penguasa-penguasa

yang kejam dan sewenang-wenang tidak mungkin mengangkat kehidupan orang kecil

[Novel Para Priyayi - 291]


(6)

   

168 

 

bagaimanapun sistem dan penguasanya mengira bisa begitu. Soalnya sistem dan penguasa begitu sesungguhnya tidak kenal akrab dengan kehidupan wong cilik.

Secara Optimal - Bersikap Alus

4. Warna semangat itu adalah warna pengabdian kepada masyarakat banyak, terutama kepada

wong cilik, tanpa pamrih…

[Novel Para Priyayi - 126]