Teori Interaksi Simmel dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam dan Implikasinya pada Pembelajaran Sastra di Sekolah
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Agnis Afriani NIM. 109013000099
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
(2)
(3)
(4)
(5)
i
Agnis Afriani NIM. 109013000099. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Skripsi, “Teori Interaksi Simmel dalam Novel Para Priyayi karya Umar Kayam dan Implikasinya pada Pembelajaran Sastra di Sekolah.” Pembimbing: Novi Diah Haryanti, M.Hum.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan teori interaksi dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam dan implikasinya pada pembelajaran sastra di sekolah. Hasil penelitian mendeskripsikan nilai-nilai sosial melalui interaksi sosial antara individu, keluarga, masyarakat, dan Negara. Nilai-nilai sosial, seperti nilai kepedulian, nilai kerukunan, nilai pengayoman, nilai ketuhanan, nilai keikhlasan, nilai kasih sayang, nilai kesopanan, nilai kebersamaan, nilai keakraban, nilai kebiasaan, dan nilai pengabdian terdapat pada kalimat-kalimat dalam dialog atau cerita para tokoh melalui interaksi sosial antara individu, keluarga, dan masyarakat dalam relasi-relasi yang terbagi menjadi enam kategori, yaitu 1) relasi individu dengan dirinya, 2) relasi individu dengan keluarga, 3) relasi individu dengan lembaga, 4) relasi individu dengan komunitas, 5) relasi individu dengan masyarakat, dan 6) relasi individu dengan nasion.
Pembahasan dan analisis penelitian novel Para Priyayi dapat diimplikasikan pada pembelajaran sastra di sekolah untuk materi menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia agar peserta didik dapat membangun karakter kritis, kreatif, baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotorik, melalui pemahaman tentang tokoh dan penokohan serta latar sosial. Peserta didik juga dapat belajar mengenai bagaimana harus bersikap, memilih jalan hidup, dan semangat mencapai cita-cita. Semuanya terdapat dalam kehidupan melalui interaksi sosial dengan menjalin relasi melalui sosialisasi antara individu dengan individu, keluarga, lembaga, komunitas, masyarakat, dan Negara.
(6)
ii
Agnis Afriani NIM. 109013000099. Department of Language and Literature Education of Indonesia. Faculty of Tarbiyah and Teaching. State Islamic University Syarif Hidayatullah, Jakarta. Thesis title, “Simmel‟s Theory of Interaction in the Novel Para Priyayi by Umar Kayam and Implications on Literature Learning in Schools.” The advisor: Diah Novi Haryanti, M.Hum.
This study aimed to describe the social values in the novel Para Priyayi by Umar Kayam and implications on teaching literature in Schools. The results of the study describes the social values through social interaction between individuals, families, communities, and country. Social values, such asconcern value, the value of harmony, the value of security, the value of the deity, the value of sincerity, the value of compassion, modesty value, the value of togetherness, closeness values, customs value, and the value of devotion found in the sentences in the dialogue or story figures through social interaction between individuals, families, and communities in relationships that are divided into six categories, namely 1) the relation of individual with himself, 2) the relation of individual with family, 3) the relation of individuals with institutions, 4) the relation of individuals with the community, 5) the relation of individuals with the community, and 6) the relation of individuals with the nation.
Discussion and research analysis can be implied novel Para Priyayi literature on learning in school to analyze the material elements of intrinsic and extrinsic Indonesian novel so that learners can build a critical character, creative, whether cognitive, affective, and psychomotor, through an understanding of the character and characterization as well as the background social. Learners can also learn about how to behave, choose a way of life, and the spirit of achieving goals. Everything is there in life through social interaction by building relationships through socialization among individuals with individuals, families, institutions, communities, society, and country.
(7)
iii
Segala puji hanya bagi Allah yang telah memberikan rahmat-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Teori Interaksi Simmel dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam dan Implikasinya pada Pembelajaran Sastra di Sekolah”. Rasa syukur kepada Allah dan Nabi Muhammad yang tak terhingga.
Penulis bersyukur karena akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini. Sungguh sebuah kerja keras yang luar biasa ditengah berbagai macam kendala yang penulis hadapi. Akan tetapi, berkat rahmat Allah dan dukungan dari berbagai pihak akhirnya karya ilmiah yang merupakan syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan ini dapat diselesaikan. Maka sudah seharusnya penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Nurlena Rifa‟i, M.A., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
2. Dra. Mahmudah Fitriyah Z.A., M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia sekaligus Penasihat Akademik Kelas C yang baik hati, bersahaja, dan selalu ringan tangan terhadap mahasiswa.
3. Novi Diah Haryanti, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing skripsi yang sangat mengayomi, sabar, dan tulus meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan serta pengarahan kepada saya dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu, namun tidak mengurangi rasa hormat saya kepada Bapak dan Ibu Dosen yang luar biasa baiknya.
5. Keluarga tercinta (Bapak Achmad Yani, Mama Yuyun, Adik-adikku, Ilmiah Hilwani, Sulton Rizky Muzayyin, dan Abdul Ghani Muhammad) dan seluruh keluarga besar saya yang selalu mendukung dan mendoakan yang terbaik untuk saya.
6. Ferry Abdullah yang selalu memberi semangat dan doa terbaik untuk penulis.
7. M. Sahrul Munir, S.S., yang baik hati telah meminjamkan beberapa buku referensi dan memberi semangat kepada penulis.
(8)
iv
Semoga selalu kompak, kawan.
11.Lenjee; Reny, Suci, Sasya, dan Dinda yang selalu memberikan semangat dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga kita dapat berkumpul berlima lagi.
12.TKost Annisa (Ibu Arab); Intan, Nia, Anita, Yeyen, Elsa, Dian, Wardah, Nisa, Trisni, dan Kiky.
13.Yonita, Wahyu, dan adik-adik Bimbel; Rini, Nabila, Opin, Dita, Ilham, Mayla, Deska, Nasya, Fajar, Sri, Refi, dan Rifqi. Terima kasih, Semestaku atas doa kalian. 14.Teman-teman PBSI angkatan 2009, khususnya kelas C yang memberikan semangat,
suka duka, canda tawa, persahabatan dan kenangan indah selama ini. 15.Teman-teman PPKT SMP Fatahillah, Pondok Pinang.
16.Uda Is, Bang Tyo, Riski, dan Uda Ade yang setia melayani foto kopi dan juga memberikan motivasi kepada penulis. Maju Jaya!
17.Rekan-rekan kerja di PT Christalenta Pratama dan PT Citra Gemilang Apik yang selalu memberi dukungan kepada penulis.
Akhirnya penulis hanya dapat mengharapkan semoga Allah membalas kebaikan semua pihak dengan balasan yang berlipat ganda. Semoga penelitian ini dapat menambah wawasan dan bermanfaat untuk yang memerlukannya.
Jakarta, 5 Juli 2014
(9)
v LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING LEMBAR PERNYATAAN KARYA ILMIAH LEMBAR UJIAN MUNAQASAH
ABSTRAK ……….. i
ABSTRACT ………... ii
KATA PENGANTAR ………... iii
DAFTAR ISI ……….. v
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 6
C.Batasan Masalah ... 7
D.Rumusan Masalah ... 7
E. Tujuan Penelitian... 7
F. Manfaat Penelitian ... 8
G.Metodologi Penelitian ... 8
BAB II KAJIAN TEORI A.Sosiologi Sastra ... 11
1. Pengertian Sosiologi Sastra ... 11
B. Novel ... 14
1. Pengertian Novel ... . 14
2. Unsur Novel ... 16
(10)
vi
F. Penelitian yang Relevan ... 31
BAB III TINJAUAN NOVEL DAN BIOGRAFI PENGARANG A.Tinjauan Internal ... 33
1. Sinopsis Novel Para Priyayi... 33
2. Gambaran Umum Novel Para Pyiyayi... 36
B. Tinjauan Eksternal ... 38
1. Biografi Umar Kayam ... 38
2. Karya-karya Umar Kayam ... 42
3. Pandangan Hidup Umar Kayam ... 44
BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS NILAI SOSIAL A.Unsur-unsur Intrinsik dalam Novel Para Priyayi... 49
B. Analisis Nilai Sosial dalam Novel Para Priyayi... 113
C.Implikasi pada Pembelajaran Sastra di Sekolah ... 129
BAB V PENUTUP A.Simpulan ... 138
B. Saran ... 138
DAFTAR PUSTAKA
LEMBAR UJI REFERENSI BIOGRAFI PENULIS
(11)
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Segala sesuatu yang diciptakan di muka bumi ini pasti memiliki nilai. Nilai merupakan hal yang penting bagi kehidupan, terutama dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai tidak pernah lepas dari kehidupan dan aktivitas manusia, terutama nilai-nilai kehidupan yang menjadi dasar kita dalam berinteraksi dengan sesama manusia, baik itu nilai sosial, moral, agama, maupun pendidikan. Nilai-nilai tersebut penting untuk generasi penerus bangsa dalam membentuk kepribadian yang cerdas, dan peka terhadap lingkungan sekitarnya.
Arus modernisasi telah banyak memberi perubahan dalam kehidupan bermasyarakat. Perubahan nilai yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya mengarah pada krisis moral. Krisis moral tersebut umumnya terjadi karena masalah pendidikan. Pendidikan seharusnya mampu membentuk generasi penerus bangsa yang dapat melanjutkan tonggak perjuangan di masa yang akan datang dan mampu mengubah suatu masyarakat menjadi lebih baik, sehingga pendidikan menjadi sangat penting dalam membentuk kepribadian seseorang.
Dunia pendidikan bukan satu-satunya yang patut dihakimi. Namun, mau tidak mau melalui pendidikanlah peradaban suatu masyarakat dapat terbentuk, bahkan disebut-sebut sebagai agent of change. Lembaga pendidikan diharapkan dapat membentuk manusia-manusia yang berjiwa luhur, berperikemanusiaan, tidak merampas hak orang lain, jujur, dan mandiri. Lembaga pendidikan diharapkan mampu menumbuhkan jiwa-jiwa kebaikan pada setiap manusia. Oleh karena itu, lembaga pendidikan yang berkualitas
(12)
mampu menghasilkan perubahan kepribadian dan peradaban setiap manusia bahkan bangsa yang lebih baik.
Guru adalah pengajar dan pendidik. Oleh karena itu, peran apa pun yang diberikan masyarakat kepada guru selalu memiliki kaitan dengan posisi pengajaran dan pendidikan dalam masyarakat itu. Kurangnya peran guru dapat menjadi salah satu penyebab perubahan nilai yang mengarah pada krisis moral. Guru seharusnya memberikan perhatian lebih kepada siswa dalam menggali nilai-nilai sosial dalam kehidupan bermasyarakat melalui pelajaran yang diajarkan, khususnya pada pembelajaran sastra Indonesia. Selain itu, guru dapat mengarahkan siswa pada hal-hal positif agar nantinya mereka menjadi anggota masyarakat dan warga negara yang baik dan berguna bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Beberapa hal dapat dilakukan untuk mencegah, bahkan mengatasi perubahan nilai yang mengarah pada krisis moral, yaitu dengan mengenalkan sastra, pendidikan sastra usia dini, dan memperbanyak porsi pengajaran sastra. Sastra yang diperkenalkan tentunya yang disesuaikan dengan perkembangan anak. Mengenalkan sastra kepada anak berarti mendekatkan nilai-nilai yang berguna untuk memahami kehidupan. Harus diakui tradisi mendongeng orang tua kepada anak yang sudah turun-temurun dimiliki negeri ini, kini sudah semakin terkikis. Selain itu, sedikitnya pendidikan usia dini yang berbasis sastra membuat semakin kurangnya pengetahuan anak mengenai sastra, bahkan sampai saat ini, porsi pengajaran sastra hanya mendapat bagian kecil dari pengajaran bahasa. Ketersediaan guru sastra yang kompeten di sekolah-sekolah juga sangat terbatas. Demikian pula dengan pemanfaatan bahan ajar sastra yang belum optimal.
Sastra sebagai hasil pekerjaan seni kreasi manusia tidak akan pernah lepas dari bahasa yang merupakan media utama dalam karya sastra. Sastra dan manusia erat kaitannya karena pada dasarnya keberadaan sastra sering bermula dari persoalan dan permasalahan yang ada pada manusia dan
(13)
lingkungannya. Kemudian dengan adanya imajinasi yang tinggi seorang pengarang menuangkan masalah-masalah yang ada disekitarnya menjadi sebuah karya sastra. Oleh karena itu, sastra merupakan suatu bentuk seni dan budaya yang hadir di tengah-tengah masyarakat dengan rangkaian bahasa yang indah serta mengandung nilai-nilai yang penting bagi kehidupan bermasyarakat.
Karya sastra adalah hasil pemikiran mengenai kehidupan. Karya sastra adalah sebuah karya fiksi yang berisi imajinasi seorang pengarang dalam menceritakan berbagai permasalahan dalam kehidupan manusia. Karya sastra bersifat imajinatif dan fiktif, yaitu suatu cerita rekaan yang berasal dari daya khayal seorang pengarang. Pengarang menyampaikan apa yang ia lihat, dengar, dan rasakan. Kemudian ia kemukan melalui karyanya. Cerita yang ditampilkan pengarang mengandung permasalahan yang sesuai dengan permasalahan masyarakat pada masa atau peristiwa tertentu. Maka, pengarang menyampaikan bagaimana keadaan atau situasi di mana ia berada melalui cerita pada karyanya.
Salah satu hasil karya sastra adalah novel. Novel merupakan salah satu karya sastra yang berjenis prosa. Novel juga merupakan bagian dari karya fiksi yang memuat khayalan dan kenyataan yang dialami oleh seorang pengarang. Dapat dikatakan bahwa novel adalah suatu gambaran dari kehidupan dan diwujudkan melalui bahasa yang indah. Sebagai karya fiksi hasil kreativitas seorang pengarang, novel mempunyai beberapa unsur pembangun di dalamnya, yaitu tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, amanat, dan gaya bahasa.
Novel menjadi cerminan dari persoalan sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat. Dengan kata lain, novel juga dapat berupa rekaman dari peristiwa sejarah yang telah dialami dan dirasakan oleh seorang pengarang. Melalui karya sastra, seperti novel, pengarang berusaha mengungkapkan peristiwa yang berisi persoalan sosial, baik suka maupun duka di dalam kehidupan
(14)
masyarakat. Pada umumnya, novel menceritakan tentang kehidupan manusia dan lingkungannya dengan berbagai macam konflik yang ada di dalamnya.
Horatius menyatakan bahwa fungsi sastra hendaknya memuat dulce (indah) dan utile (berguna). Ungkapan ini menunjukkan fungsi karya sastra tidak hanya sekedar untuk menghibur, tetapi juga mengajarkan sesuatu atau hal yang berguna. Karya sastra yang baik adalah karya yang dapat bermanfaat bagi pembaca, dengan kata lain pembaca mampu mengambil pelajaran dan mampu memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya.
Fungsi karya sastra (fiksi) merupakan sebuah cerita, dan karenanya terkandung juga di dalamnya tujuan memberikan hiburan kepada pembaca disamping adanya tujuan estetik. Membaca sebuah karya fiksi berarti menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin. Daya tarik cerita inilah yang pertama-tama akan memotivasi orang-orang yang membacanya. Hal itu dikarenakan pada dasarnya setiap orang senang cerita, apalagi yang sensasional, baik yang diperoleh dengan cara melihat maupun mendengarkan. Melalui cerita itulah pembaca secara tak langsung dapat belajar, merasakan, dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang sengaja ditawarkan pengarang. Hal itu disebabkan, cerita fiksi tersebut akan mendorong pembaca untuk ikut merenungkan masalah hidup dan kehidupan. Oleh karena itu, cerita fiksi atau kesastraan pada umumnya sering dianggap dapat membuat manusia lebih arif, atau dapat dikatakan sebagai “memanusiakan manusia”.1
Novel merupakan sebuah cerminan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam suatu masyarakat. Novel Para Priyayi merupakan novel yang mengandung nilai-nilai sosial yang berhasil menggambarkan keadaan sosial pada masa itu. Novel ini menceritakan perkembangan tiga generasi (tiga zaman). Berawal dari seorang petani kecil yang tinggal di Wanagalih bernama
1
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajan Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000), h. 3-4.
(15)
Soedarsono yang pada akhirnya berhasil menjadi seorang priyayi. Kemudian permasalah-permasalahan sosial muncul pada generasi-generasi penerusnya (keluarga Soedarsono), yaitu Hardojo dan Harimurti. Peristiwa yang dikisahkan dalam novel ini adalah masa prakemerdekaan sampai pascakemerdekaan yang di dalamnya terdapat masalah-masalah sosial dalam masyarakat.
Novel Para Priyayi yang ditulis oleh Umar Kayam di New Haven pada tahun 1991. Melalui novel ini Umar Kayam sebagai penulis ingin menyampaikan idealismenya mengenai kepriyayian, karena selama ini stereotip priyayi selalu erat dengan orang-orang birokrat yang menggunakan statusnya untuk menguasai orang lain, berjiwa anti-sosial dan arogan. Kemampuan Umar Kayam dalam mendeskripsikan kehidupan priyayi di dalam novel tersebut memang tampaknya tidak lepas dari pengalaman yang didapatnya semasa kecil sebagai anak priyayi. Dalam novel ini, Umar Kayam menggambarkan perjuangan seorang petani kecil yang ingin menaikkan status sosialnya menjadi seorang priyayi melalui pendidikan. Hampir seluruh cerita dikisahkan menjadi citraan sosial pada masa itu. Oleh karena itu, hampir setiap bagian dalam novel mengungkapkan nilai-nilai sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat.2 Melalui sastra, terutama novel kita dapat mengerti lebih banyak mengenai kehidupan manusia. Suatu karya sastra dapat memperkaya wawasan pembaca dengan berbagai sudut pandang, seperti psikologi, sejarah, sosial, politik, dan antropologi. Ketika membaca novel Para Priyayi karya Umar Kayam, pembaca akan merasakan bahwa novel ini sarat dengan unsur-unsur sosiologi karena latar sosial masyarakat Jawa yang sangat ditonjolkan. Selain itu, Para Priyayi sangat mendidik dan bagus untuk dijadikan bahan pembelajaran bagi siswa, karena
2
Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan Terjemahan dari Theory of Literature
(16)
dapat dijadikan sebagai sarana pendukung untuk memperkaya bacaan para siswa.
Pembelajaran sastra di sekolah dapat memberikan keseimbangan pada pengembangan kepribadian dan kecerdasan peserta didik. Pembelajaran sastra akan memberikan keseimbangan antara spiritual, emosional, etika, logika, estetika, dan kinestetika. Oleh karena itu, pembelajaran sastra tidak hanya berkaitan dengan estetika dan etika. Pembelajaran sastra sangat strategis digunakan untuk mengembangkan kompetensi atau kecerdasan spiritual, emosional; bahasa, atau untuk mengembangkan intelektual, dan kinestetika.
Sehubungan dengan pernyataan di atas, peneliti tertarik mengkaji “Nilai Sosial dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam dan Implikasinya pada Pembelajaran Sastra di Sekolah”. Suatu hal yang menarik untuk mampu memahami peranan priyayi dalam kehidupan masyarakat Jawa yang dijabarkan dalam novel Para Priyayi. Menarik untuk diteliti karena di dalamnya menceritakan realita kehidupan tokoh-tokohnya mengenai kehidupan keluarga besar priyayi Jawa dan masalah-masalah yang ada di dalamnya. Perjuangan hidup untuk membangun satu generasi priyayi yang berasal dari seorang petani kecil di Wanagalih. Tentunya perjuangan hidup yang sangat baik untuk diteladani. Hal ini akan dicapai melalui analisis sosiologi karya sastra. Kemudian dari isi cerita novel akan dicari dan dianalasis makna nilai sosial yang terkandung di dalamnya yang nantinya dapat dijadikan materi pembelajaran sastra Indonesia di sekolah.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah, yaitu sebagai berikut.
1. Perubahan nilai yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya mengarah pada krisis moral. Krisis moral tersebut umumnya terjadi karena masalah pendidikan.
(17)
2. Kurangnya peran orang tua dan guru sebagai agen perubahan dalam menggali nilai-nilai kehidupan, terutama guru dalam menggali nilai sosial dalam pembelajaran sastra di sekolah.
3. Kurangnya porsi pengajaran sastra dan terbatasnya ketersediaan guru-guru sastra yang memiliki kompetensi, serta pemanfaatan bahan ajar sastra yang belum optimal di sekolah.
C. Batasan Masalah
Untuk membatasi terlalu luasnya pembahasan, maka permasalahan pada penelitian ini akan difokuskan pada teori interaksi Simmel untuk menganalisis nilai-nilai sosial yang terdapat dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam melalui tinjauan sosiologi sastra dan implikasinya pada pembelajaran sastra di sekolah.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimana teori interaksi Simmel dalam menganalisis nilai sosial yang terkandung dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam?
2. Bagaimana implikasi nilai sosial dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam pada pembelajaran sastra di sekolah?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan teori interaksi Simmel untuk menganalisis nilai sosial yang terkandung dalam novel Para Priyayi karya Umar kayam.
2. Mendeskripsikan implikasi nilai sosial dalam novel Para Priyayi pada pembelajaran sastra di sekolah.
(18)
F. Manfaat Penelitian
Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan mengenai studi sastra Indonesia, khususnya dalam pembelajaran sastra di sekolah. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberi sumbangan dalam kajian sosiologi sastra dalam mengungkap novel Para Priyayi karya Umar Kayam, sedangkan secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk lebih memahami isi cerita dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam, terutama menguraikan cara pandang pengarang yang direpresentasikan dalam karyanya dengan pemanfaatan lintas disiplin ilmu yaitu sosiologi dan sastra.
G. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data ilmiah. Data berhubungan dengan konteks keberadaan melibatkan sejumlah besar gejala sosial yang relevan.3 Lebih tepatnya menggunakan penelitian kualitatif deskriptif dengan metode content analysis atau analisis isi. Penelitian ini mendeskripsikan teks yang telah dicari berupa masalah atau temuan, kemudian dianalisis dan ditafsirkan. Strategi yang digunakan adalah analisis isi, yaitu dengan mengkaji isi berdasarkan data yang didapatkan. Metode content analysis atau analisis isi dari suatu novel. Penelitian kualitatif deskriptif merupakan penelitian yang menyajikan temuannya dalam bentuk deskripsi kalimat yang rinci, lengkap, dan mendalam mengenai proses mengapa dan bagaimana sesuatu terjadi. Pengkajian deskriptif menyarankan pada pengkajian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta atau fenomena yang secara empiris hidup pada penuturnya (sastrawan). Artinya, yang dicatat dan dianalisis adalah
3
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 47.
(19)
unsur-unsur dalam karya sastra seperti apa adanya. Maka, jenis penelitian pada penelitian ini adalah penelitian dasar yang memfokuskan pada deskripsi mengenai nilai sosial yang terdapat dalam novel. Dengan demikian, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif.
Sesuai dengan tujuan penelitian, yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah teori interaksi Simmel untuk menganalisis nilai sosial yang terdapat dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam dan bagaimana implikasinya pada pembelajaran sastra di sekolah.
Data dalam penelitian ini berupa kata-kata, kalimat serta ungkapan yang ada dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam, sedangkan sumber data penelitian ini adalah novel Para Priyayi (data primer), dan buku literatur, serta artikel yang berkaitan dengan penelitian dan karya-karya Umar Kayam (data sekunder).
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra yang membahas tentang hubungan antarindividu, individu dengan keluarga, masyarakat, komunitas, lembaga, dan negara, karena dalam penelitian ini peneliti mencoba menguraikan berbagai nilai sosial yang terkandung dalam novel.
Adapun langkah-langkah pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Membaca secara cermat novel Para Priyayi karya Umar Kayam;
2. Mencatat kalimat yang berkaitan dengan struktur novel, dan kalimat yang menggambarkan nilai sosial dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam;
3. Hasil mencatat kalimat dijadikan sebagai data untuk menganalisis nilai sosial dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam;
4. Setelah melalui analisis yang mendalam, hasilnya digunakan sebagai data untuk mengimplikasikan nilai sosial dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam pada pembelajaran sastra di sekolah.
(20)
Adapun langkah-langkah yang digunakan untuk menganalisis data adalah:
1. Menganalisis novel Para Priyayi karya Umar Kayam dengan menggunakan analisis struktural. Analisis struktural dilakukan dengan membaca dan memahami kembali data yang sudah diperoleh. Selanjutnya, mengelompokkan kutipan-kutipan yang terdapat dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam yang mengandung unsur tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat;
2. Analisis dengan tinjauan sosiologi sastra dilakukan dengan membaca dan memahami kembali data yang diperoleh. Selanjutnya, mengelompokkan kutipan-kutipan yang diperoleh sesuai teori interaksi Simmel mengenai nilai sosial dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam;
3. Mengimplikasikan nilai sosial yang terdapat dalam novel Para Priyayi pada pembelajaran sastra di sekolah. Hal ini dilakukan dengan cara menghubungkan materi pelajaran sastra di sekolah.
(21)
11
A. Sosiologi Sastra
1. Pengertian Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak lahir dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial menjadi pemicu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses, yaitu yang mampu merefleksikan zamannya.
Ilmu sosiologi berkembang menjadi ilmu yang benar-benar otonom, meninggalkan kesusastraan yang dianggap sebagai bidang rumit dengan definisi yang sangat tidak pasti, dan yang dilindungi oleh semacam rasa hormat manusiawi.1
Dalam bukunya yang berjudul The Sociology of Literature, Swingewood (1972) dalam Faruk (1994) mendefinisikan sosiologi sebagai studi ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup,2 sedangkan sastra adalah ekspresi kehidupan manusia yang tak lepas dari akar kemasyarakatannya.3
1
Robert Escarpit, Sosiologi Sastra Penerjemah Ida Sundari Husen, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 8-9.
2
Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), h. 1.
3
Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Sastra, Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi, (Yogyakarta: CAPS, 2013), h. 78.
(22)
Seperti halnya sosiologi, sastra berurusan dengan manusia dan masyarakat: usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dalam hal isi, sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi masalah yang sama.4
Perbedaan antara keduanya adalah sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif, sedangkan novel menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya.5
Dengan demikian, Objek studi sastra adalah ekspresi kehidupan manusia yang tidak terlepas dari akar masyarakat di sekitarnya, sedangkan objek studi sosiologi adalah manusia.
Penelitian sosiologi sastra banyak membahas tentang kaitan pengarang dengan kehidupan sosialnya. Keduanya dapat saling melengkapi dalam kaitan cabang ilmu sosiologi sastra. Meskipun sosiologi dan sastra adalah dua cabang ilmu yang mempunyai perbedaan tertentu dan dianggap rumit, namun sosiologi dan sastra memperjuangkan masalah yang sama. Keduanya berurusan dengan masalah manusia dan masyarakat dalam proses-proses sosialnya dalam kehidupan.
Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat sebagai berikut.
a. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat.
4
Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979), h. 10.
5
(23)
b. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
c. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan.
d. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap tiga aspek tersebut.
e. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.6
Di antara genre utama karya sastra, yaitu puisi, prosa, dan drama, genre prosalah, khususnya novel, yang dianggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur sosial. Alasan yang dapat dikemukakan di antaranya: a) novel menampilkan unsur-unsur cerita paling lengkap, memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang juga paling luas, b) bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari, bahasa yang paling umum digunakan dalam masyarakat. Oleh karena itu, dikatakan bahwa novel merupakan genre yang paling sosiologis dan responsif, karena sangat peka terhadap fluktuasi sosiohistoris.7
Dengan demikian, dipilihlah novel Para Priyayi karya Umar Kayam sebagai objek penelitian. Novel Para Priyayi dipilih karena mampu mewakili perjuangan hidup manusia dalam mobilitas sosial sebuah keluarga di lingkungan masyarakat pada waktu itu. Selain itu, Para Priyayi memiliki
6
Nyoman Kuta Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 332-333.
7Ibid.,
(24)
unsur-unsur cerita yang lengkap, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang luas dengan bahasa sehari-hari yang sederhana dan yang paling umum digunakan dalam masyarakat Jawa. Gaya penulisannya sederhana, bernarasi Jawa yang akrab, mudah dicerna dengan kritik-kritik yang segera mengajak pembaca membuat perenungan yang sebenarnya memiliki kandungan makna dan filosofi kehidupan. Selain budaya pewayangan yang banyak diekspos dalam novel Para Priyayi, Umar Kayam juga menghadirkan nilai-nilai kehidupan sosial para tokoh yang sangat mencerminkan masyarakat sosial pada umumnya.
B. Novel
1. Pengertian Novel
Karya sastra merupakan sarana pendidikan yang memiliki bermacam-macam bentuk, seperti puisi, cerpen, novel, dan lain-lain. Dalam hal ini, penulis memfokuskan pada salah satu karya sastra, yaitu novel.
Kata novel berasal dari kata Latin novellus yang diturunkan pula dari kata novies yang berarti “baru”. Dikatakan baru karena bila dibandingkan dengan jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain.8
Kata “novel” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti karangan prosa yang panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.9
Novel adalah karya imajinatif yang mengisahkan sisi utuh atas problematika kehidupan seseorang atau beberapa orang tokoh.10
8
Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar sastra, (Bandung: Angkasa, 2001), h. 167.
9
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 969.
10
E. Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: Yrama Widya, 2012), Cet. I, h. 60.
(25)
Novel merupakan suatu karya fiksi, yaitu karya dalam bentuk kisah atau cerita yang melukiskan tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa rekaan. Sebuah novel bisa saja memuat tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa nyata, tetapi pemuatan tersebut biasanya hanya berfungsi sebagai bumbu belaka dan mereka dimasukkan dalam rangkaian cerita yang bersifat rekaan atau dengan detail rekaan. Walaupun peristiwa dan tokoh-tokohnya bersifat rekaan, mereka memiliki kemiripan dengan kehidupan sebenarnya. Mereka merupakan “cerminan kehidupan nyata”.11
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa novel merupakan karya fiksi yang berbentuk karangan prosa, tetapi tidak terlalu panjang yang mengisahkan atau menceritakan para tokoh dengan masing-masing watak dan masalah atau peristiwa yang merupakan cerminan nyata dalam kehidupan.
Menurut Sumarjo, novel adalah produk masyarakat. Novel berada di masyarakat karena novel dibentuk oleh anggota masyarakat berdasarkan desakan-desakan emosional dan rasional dalam masyarakat. Menurut Faruk, novel adalah cerita tentang suatu pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik yang dilakukan oleh seorang hero problematik dalam suatu dunia yang juga terdegradasi. Jadi, jelas bahwa kesusastraan dapat dipelajari dari disiplin ilmu sosial juga.12
Menurut Selden, novel menurut pandangannya adalah cerminan realitas, tidak hanya melukiskan wajah wajah yang tampak pada permukaan, tetapi memberikan kepada kita “sebuah pencerminan realitas yang lebih benar, lebih lengkap, lebih hidup, lebih dinamik”. Sebuah novel mungkin membawa pembaca “ke arah suatu pandangan yang lebih konkret kepada realitas.13
11
Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), Cet. I, h. 2.
12
Wijaya Heru Santosa dan Sri Wahyuningtyas, Pengantar Apresiasi prosa, (Surakarta: Yuma Pustaka, 2010), h. 47.
13
(26)
Maka dapat disimpulkan pula bahwa novel adalah cerita rekaan yang menyajikan aspek kehidupan itu sendiri yang sebagian besar merupakan kenyataan sosial dan ada yang meniru atau subjektivitas manusia.
2. Unsur Novel
Pada umumnya, para ahli membagi unsur novel menjadi unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik. Pembagian tersebut dimaksudkan untuk mengkaji novel atau karya sastra pada umumnya.
a. Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik yaitu unsur pembangun di luar karya sastra. Unsur ini mempengaruhi cara penyusunan cerita dalam sebuah karya satra. Selain itu, juga membantu dalam penafsiran suatu karya, sehingga mendapatkan hasil yang akurat.
Unsur ekstrinsik terdiri dari unsur-unsur di luar karya. Unsur yang dimaksud antara lain biografi pengarang, buah pemikiran pengarang, serta latar sosial-budaya yang menunjang kehadiran teks sastra. Pemahaman unsur-unsur tersebut menunjukkan bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Misalnya, faktor sosio-ekonomi, faktor kebudayaan, faktor sosio-politik, keagamaan, dan tata nilai yang dianut masyarakat.
Unsur ekstrinsik tidak dibahas dalam penelitian ini. Akan tetapi, dapat dilihat pada BAB III.
b. Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta dalam
(27)
membangun cerita. Kepaduan antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel terwujud.14
Unsur pembangun dari dalam karya ini terdiri dari beberapa unsur. Unsur yang dimaksud adalah tema, tokoh dan penokohan, alur, sudut pandang, latar, gaya bahasa, dan amanat. Unsur ini akan dianalisis dalam novel saat kita membacanya.
Berikut adalah unsur-unsur intrinsik yang akan dianalisis lebih mendalam dalam novel Para Priyayi. Pembahasan dan analisis tersebut terdapat pada BAB IV.
1) Tema
Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita.15 Tema sebuah cerita bersifat individual sekaligus universal. Tema memberi kekuatan dan menegaskan kebersatuan kejadian-kejadian yang sedang diceritakan sekaligus mengisahkan kehidupan dalam konteksnya yang paling umum. Apa pun nilai yang terkandung di dalamnya, keberadaan tema menjadi salah satu bagian penting yang tidak terpisahkan dengan kenyataan cerita.16 Menurut Hartoko dan Rahmanto dalam Nurgiyantoro, tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan.17 Dengan demikian, tema merupakan elemen yang relevan dengan setiap peristiwa dan detail sebuah cerita. Dalam menentukan sebuah tema harus membaca secara mendalam dan menelusuri seluruh isi cerita, sehingga menghasilkan “benang merah” yang menjadi gagasan terbangunnya sebuah cerita.
14
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajan Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000), h. 23.
15
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 161. 16
Robert Stanton, Teori Fiksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Cet. I, h. 7. 17
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajan Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000), h. 68.
(28)
2) Tokoh dan Penokohan
Menurut Sukada dan Aminuddin dalam Siswanto, tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam prosa rekaan, sehingga peristiwa tersebut menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan.18 Tokoh dan penokohan merupakan dua hal yang paling berkaitan dalam unsur intrinsik pada sebuah prosa rekaan. Keduanya menjadi saling terikat dan tidak dapat dipisahkan dalam sebuah pembahasan.
Ditinjau dari peranan dan keterlibatan dalam cerita, tokoh dapat dibedakan atas tokoh primer (utama), tokoh sekunder (tokoh bawahan), dan tokoh komplementer (tambahan).19 Dari tiga jenis tokoh tersebut menunjukkan bahwa dalam sebuah cerita tidak hanya ada satu jenis tokoh. Ada berbagai macam tokoh yang sastrawan tampilkan dalam sebuah novel.
3) Alur
Alur atau plot merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita.20 Menurut Abrams dalam Siswanto, alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa, sehingga menjalin sebuah cerita yang yang dihadirkan oleh pelaku dalam suatu cerita.21 Tahap-tahap tersebut mengandung unsur urutan waktu, baik secara tersirat maupun tersurat. Tahap awal cerita pun tidak hanya dimulai dari waktu yang paling awal, sehingga dalam sebuah cerita urutan waktu bisa diatur sesuai keinginan sastrawan. Dengan demikian, alur merupakan elemen yang penting karena sebuah cerita tidak akan pernah seutuhnya dimengerti tanpa adanya
18
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 142. 19Ibid.,
h. 143.
20
Robert Stanton, Teori Fiksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Cet. I, h. 26. 21
(29)
pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang memiliki pengaruh terhadap jalan cerita.
4) Latar
“The overall setting of a narrative or dramatic work is general locale, historical time, and social circumstance in which its action occurs; the setting of a single episode or scene within such a work is
the particular physical location in which it takes place.”22
Abrams mengemukakan bahwa latar cerita adalah tempat umum, waktu kesejarahan, dan kebiasaan masyaratkat dalam setiap episode atau bagian-bagian tempat. Menurutnya, latar atau setting disebut juga sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.23 Akan tetapi, tidak semua novel menonjolkan ketiga latar tempat, waktu, maupun sosial. Mungkin dalam sebuah cerita yang paling menonjol adalah latar waktu maupun tempat dan ada kalanya yang menonjol adalah latar sosial.
5) Sudut Pandang
Sudut pandang merupakan strategi, teknik, atau siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.24 Dari sinilah pengarang menampilkan tokoh dalam cerita yang dipaparkannya. Dengan demikian, segala sesuatu yang dikemukakan oleh pengarang disalurkan melalui sudut pandang tokoh.
Ada banyak jenis sudut pandang, tetapi semuanya tergantung dari mana sudut pandang tersebut dilakukan. Jenis sudut pandang yang peneliti gunakan berdasarkan pemaparan Nurgiyantoro. Berikut ini adalah jenis-jenis sudut pandang.
22
M. H. Abrams, A Glossary of Literary Terms, (Boston: Heinle & Heinle, 1999), h. 284. 23
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajan Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000), h. 216.
24Ibid
(30)
a) Sudut pandang persona ketiga: “Dia”
Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang ini terletak pada seorang narator yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata ganti orang. Dalam sudut pandang persona ketiga “Dia” dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu “Dia” mahatahu (narator mengetahui segalanya dan serba tahu) dan “Dia” terbatas atau hanya sebagai pengamat (narator mengetahui segalanya, namun terbatas hanya pada seorang tokoh).
b) Sudut pandang persona pertama: “Aku”
Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang ini terletak pada seorang narator yang ikut terlibat dalam cerita. Dalam sudut pandang persona pertama “Aku” dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu “Aku” (tokoh utama) dan “Aku” (tokoh tambahan).
c) Sudut pandang campuran
Penggunaan sudut pandang ini lebih dari satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain. Semua itu tergantung pada kemauan pengarang untuk menciptakan sebuah kreativitas dalam karyanya.
6) Gaya Bahasa
“Figurative language is a conspicuous departure from what the users of a language apprehend as the standard meaning of words, or else the standard order of words, in order to achive some special
meaning or effect.”25
Abrams mengemukakan bahwa gaya bahasa adalah cara pengarang menggunakan bahasa agar kata-kata yang standar dapat mencapai makna khusus. Gaya bahasa pada suatu karya
25
(31)
sastra biasanya menggunakan pilihan kata yang mengandung makna padat, relektif, asosiatif, bersifat konotatif, dan dipadu dengan kiasan dan majas, sehingga terwujudlah kalimat yang menunjukkan adanya variasi dan harmoni.
7) Amanat
Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca atau pendengar.26 Amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karyanya itu.27 Amanat merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya dan tertuang secara tersirat dalam cerita. Melalui amanat dalam cerita, biasanya pengarang menuangkan pandangan hidupnya.
C. Nilai Sosial
1. Pengertian Nilai Sosial
Kehidupan bersama manusia baik sebagai makhluk pribadi maupun makhluk sosial selalu dilandasi aturan-aturan tertentu. Oleh karena itu, manusia tidak bisa berbuat dan bertindak semaunya. Aturan-aturan ini diciptakan dan disepakati bersama untuk mencapai ketentraman dan kenyamanan hidup bersama dengan orang lain. Aturan-aturan itu dipakai sebagai ukuran, patokan, anggapan, serta keyakinan tentang sesuatu itu baik, buruk, pantas, janggal, asing, dan seterusnya. Aturan-aturan ini yang biasa kita sebut dengan istilah nilai.
Nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan, singkatnya, sesuatu yang baik. Menurut perkataan bagus filsuf Jerman-Amerika, Hans Jonas, nilai adalah the address of a yes, “sesuatu yang
26
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 162.
27
(32)
ditujukan dengan „ya‟ „kita”. Memang, nilai adalah sesuatu yang kita iyakan atau aminkan. Nilai selalu mempunyai konotasi positif. Sebaliknya, sesuatu yang kita jauhi, sesuatu yang membuat kita melarikan diri—seperti penderitaan, penyakit, atau kematian—adalah lawan dari nilai, adalah “non -nilai” atau disvalue, sebagaimana dikatakan orang Inggris. Ada juga beberapa filsuf yang menggunakan di sini istilah “nilai negatif”, sedangkan nilai dalam arti tadi mereka sebut “nilai positif”.28
Kluckhohn, seorang antropolog yang banyak membahas mengenai nilai-nilai, menyatakan bahwa suatu nilai merupakan (C. Kluckhohn 1951: 395) “A conception, explicit or implicit, distinctive of individual or characteristic of a group, of the desirable, which influences the section from available modes, means and ens action.”29
Kata “nilai” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Nilai adalah sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya; berhubungan erat dengan etika. Kata “nilai” diartikan sebagai harga, kadar, mutu atau kualitas.30 Maka, sesuatu harus memiliki sifat-sifat yang penting dan bermutu atau berguna bagi kemanusiaan dan menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya.
Kata “sosial” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti berkenaan dengan masyarakat.31 Maka, segala hal yang berhubungan dengan masyarakat, seperti suka memperhatikan kepentingan umum, suka menolong, dan menderma dapat disebut sebagai sosial.
28
K. Bertens, ETIKA, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama: 1993), h. 149.
29
Soerjono Soekanto, Pribadi dan Masyarakat (Suatu Tinjauan Sosiologis), (Bandung: Alumni, 1983), h. 160.
30
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 963.
31Ibid
(33)
Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui proses menimbang. Dengan ukuran itu, suatu masyarakat akan tahu mana yang baik atau buruk, benar atau salah, dan boleh atau dilarang. Nilai sosial yang terbukti langgeng dan tahan zaman akan membaku menjadi sistem nilai budaya. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. Oleh karena itu, terdapat perbedaan tata nilai antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nilai sosial merupakan hal-hal yang bersifat penting dan berguna bagi kemanusiaan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Setiap masyarakat sebagai sebuah kehidupan bersama tentulah memiliki berbagai aturan atau kesepakatan yang luhur untuk mengatur berlangsungnya kehidupan bersama. Kehidupan bersama tentu juga memiliki sesuatu yang dijunjung tinggi, dihormati, serta ditaati oleh seluruh anggota masyarakatnya. Di sisi lain ada juga sesuatu yang dilarang untuk dilakukan dan harus dijauhi oleh anggota masyarakat. Sesuatu tersebut secara umum disebut sebagai nilai sosial.
D. Teori Interaksi Simmel
Manusia tercipta sebagai makhluk pribadi sekaligus juga makhluk sosial. Sebagai makhluk pribadi, manusia berjuang untuk memenuhi kebutuhannya agar dapat bertahan hidup. Dalam memenuhi kebutuhannya tersebut manusia tidak dapat hidup sendiri. Manusia memerlukan orang lain untuk mencapai tujuannya. Itulah sebabnya manusia berinteraksi dengan manusia lainnya sebagai makhluk sosial.
Para ahli, seperti Maclver, J.L. Gillin, dan J.P.Gillin sepakat bahwa adanya saling bergaul dan interaksi karena mempunyai nilai, norma, cara-cara, dan prosedur yang merupakan kebutuhan bersama sehingga masyarakat merupakan kesatuan hidup
(34)
manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.32
Teori Interaksi Simmel adalah teori yang mengkaji masalah hubungan antarpribadi (interpersonal). Penjelasan Simmel tentang interaksi adalah sebagai berikut: (1) Masyarakat terbentuk dari jaringan relasi-relasi antarorang, sehingga mereka merupakan satu kesatuan. Dalam jaringan relasi tersebut terjadi aksi dan reaksi yang tak terbilang banyaknya, sehingga masyarakat merupakan proses dinamis yang ditentukan oleh perilaku anggotanya, (2) Jaringan relasi-relasi itu tidak sama sifatnya. Artinya dari jaringan relasi tersebut, dapat terbentuk komunitas asosiasi, bahkan ada tendensi, ada pergeseran dari pola relasi afektif dan personal menjadi fungsional dan rasional, (3) Dalam jaringan relasi tidak selamanya terbentuk integrasi dan harmonis, tetapi dapat pula terjadi kritik, oposisi, konflik, dan lain-lain. Bagi strukturasi sosial yang sehat, maka kritik, oposisi, persaingan sama-sama diperlukan, sebagaimana halnya kesesuaian paham, persahabatan, dan partisipasi. Keduanya, baik hal negatif maupun positif menurut pandangan sepintas sebenarnya mempunyai efek positif dalam proses interaksi. Tindakan yang dianggap negatif menurut individu-individu, sebenarnya mempunyai akibat positif bagi keseluruhan relasi yang ada dalam masyarakat atau organisasi, (4) Frekuensi interaksi dan kadar interaksi bervariasi ada yang tinggi dan ada yang rendah. Semakin penting hal yang mempertemukan orang dalam relasi timbal balik, semakin cepat relasi-relasi itu dilembagakan.
Pada intinya Simmel memandang masyarakat sebagai produk dari proses interaksi individu-individu. Terjadinya interaksi akibat dorongan-dorongan dan tujuan-tujuan tertentu. Sehingga akibatnya ada kesatuan sosial yang sifatnya dapat lama atau sementara. Tujuan dan dorongan itu sendiri bukan sosial tetapi sebagai isi
32
M. Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar Teori dan Konsep Ilmu Sosial, (Bandung: PT Refika Aditama, 2001), Cet. IV, h. 122.
(35)
sosialisasi. Proses sosialisasi itu sendiri terdapat dalam bentuk-bentuk yang berupa interaksi.33
Individu barulah individu apabila pola perilakunya yang khas di dirinya itu diproyeksikan pada suatu lingkungan sosial yang disebut masyarakat. Kekhasan atau penyimpangan dari pola perilaku kolektif menjadikannya individu, menurut relasi dengan lingkungan sosialnya yang bersifat majemuk serta simultan. Dari individu dituntut kemampuan untuk membawa dirinya secara konsisten, tanpa kehilangan identitas nilai etisnya. Relevan dengan relasi-relasi sesaat antara dirinya dengan berbagai perubahan lingkungan sosialnya. Satuan-satuan lingkungan sosial yang melingkari individu terdiri dari keluarga, lembaga, komunitas, masyarakat, dan nasion. Individu mempunyai “karakteristik” yang setiap kali berbeda fungsinya, struktur, peranan, dan proses-proses yang berlangsung di dalam dirinya. Posisi, peranan, dan tingkah lakunya diharapkan sesuai dengan tuntutan setiap satuan lingkungan sosial dalam situasi tertentu. Relasinya bersifat kompleks dan menjadi sasaran berbagai disiplin ilmu, tetapi diperoleh gambaran mengenai relasi individu dengan lingkungan sosialnya sebagai berikut.
1. Relasi Individu dengan Dirinya
Merupakan masalah khas psikologi. Di sini muncul istilah-istilah Ego, Id, dan Superego serta dipersonalisasikan (apabila relasi individu dengan dirinya adalah seperti dengan orang asing saja), dan sebagainya. Dalam diri seseorang terdapat tiga sistem kepribadian yang disebut Id atau “es” (jiwa ibarat gunung es di tengah laut), Egoatau “aku”, dan Superego atau uber ich. Id adalah wadah dalam jiwa seseorang, berisi dorongan primitif dengan sifat temporer yang selalu menghendaki agar segera dipenuhi atau dilaksanakan demi kepuasan. Contohnya, seksual dan libido. Ego bertugas melaksanakan dorongan-dorongan Id, tidak bertentangan dengan kenyataan dan tuntutan dari Superego. Ego dalam tugasnya berprinsip pada kenyataan relative principle.
33Ibid., h. 56.
(36)
Superego berisi kata hati atau conscience, berhubungan dengan lingkungan sosial, dan punya nilai-nilai moral sehingga merupakan control terhadap dorongan yang datang dari Id. Karena itu ada semacam pertentangan antara Id dan Superego. Bila Ego gagal menjaga keseimbangan antara dorongan dari Id dan larangan dari Superego, maka individu akan mengalami konflik batin yang terus menerus. Untuk itu perlu kanalisasi melalui mekanisme pertahanan. Demikian psikoanalisa sebagai teori kepribadian yang dikemukakan oleh Sigmund Freud (1856-1939), sarjana berkebangsaan Jerman.
2. Relasi Individu dengan Keluarga
Individu memiliki relasi mutlak dengan keluarga. Ia dilahirkan dari keluarga tumbuh, dan berkembang untuk kemudian membentuk sendiri keluarga batinnya. Terjadi hubungan dengan ibu, ayah, dan kakak-adik. Dengan orang tua, dengan saudara-saudara sekandung, terjalin relasi biologis yang disusul oleh relasi psikologis dan sosial pada umumnya.
Peranan-peranan dari setiap anggota keluarga merupakan resultan dari relasi biologis, psikologis, dan sosial. Relasi khusus oleh kebudayaan lingkungan keluarga dinyatakan melalui bahasa (adat-istiadat, kebiasaan, norma-norma, bahkan nilai-nilai agama sekalipun).
3. Relasi Individu dengan Lembaga
Lembaga diartikan sebagai norma-norma yang berintegrasi di sekitar suatu fungsi masyarakat yang penting. Oleh karena itu, ada segi kultural berupa norma-norma dan nilai-nilai, dan ada segi strukturalnya berupa berbagai peranan sosial. Berfungsi dalam integrasi dan stabilitas karena lembaga sosial merupakan keutuhan tatanan perilaku manusia dalam kebersamaan hidup.
Tumbuhnya individu ke dalam lembaga-lembaga sosial berlangsung melalui proses sosialisasi karena lembaga disadari dan mempunyai arti sebagai realitas-realitas objektif. Posisi dan peranan individu dalam lembaga
(37)
sosial sudah dibakukan berdasarkan moral, adat, atau hokum yang berlaku. Individualitasnya ditanggung didalam struktur, yaitu hubungan kelembagaan. Individu bertingkah laku spesifik, berbeda dengan yang lainnya.
Individu merupakan ketua, direktur, pemimpin, tokoh, dan lain-lainnya. Terjadi kompleksitas interaksi sosial, merupakan struktur baku dalam pola relasi yang terungkap dalam pranata sosial.
4. Relasi Individu dengan Komunitas
Dalam sosiologi, komunitas diartikan sebagai satuan kebersamanaan hidup sejumlah orang banyak yang memiliki ciri-ciri: (1) teritorialitas yang terbatas, (2) keorganisasian tata kehidupan bersama, dan (3) berlakunya nilai-nilai dan orientasi nilai-nilai yang kolektif (Poplin, 1960). Ketentuan batas wilayah bersifat objektif dan subjektif, sehingga batas-batas administratif dan batas kultural tidak tumpang tindih dalam kehidupan komunitas. Komunitas mencakup individu-individu, keluarga-keluarga, dan juga lembaga yang saling berhubungan secara interdependen. Bersifat kompleks, dari makna kehidupannya ditentukan oleh orientasi nilai yang berlaku, artinya oleh kebudayaannya, yang menumbuhkan pranata-pranata sosial struktur kekerabatan keluarga dan perilaku individu maupun kolektif. Posisi dan peranan individu didalam komunitas tidak lagi bersifat langsung, sebab perilakunya sudah tertampung atau direndam oleh keluarga dan kebudayaan yang mencakup dirinya. Sebaliknya pengaruh komunitas terhadap individu tersalur melalui keluarganya dengan melalui lembaga yang ada.
5. Relasi Individu dengan Masyarakat
Masyarakat merupakan suatu lingkungan sosial yang bersifat makro. Aspek teritorium kurang ditekankan, namun aspek keteraturan sosial dan wawasan hidup kolektif memperoleh bobot yang lebih besar. Kedua aspek itu menunjuk kepada derajat integrasi masyarakat karena keteraturan esensial dan hidup kolektif ditentukan oleh kemantapan unsur-unsur masyarakat yang terdiri dari pranata, status, dan peranan individu. Variable-variabel tersebut
(38)
dipakai dalam mengkaji dan menjelaskan fenomena masyarakat menurut persepsi makro.
Sifat makro diperoleh dari kenyataan, bahwa masyarakat pada hakikatnya terdiri dari sekian banyak komunikasi yang berbeda, sekaligus mencakup berbagai macam keluarga, lembaga, dan individu-individu.
6. Relasi Individu dengan Nasion
Menurut Ernest Renan (1823-1892), nasion adalah suatu jiwa, suatu asas spiritual, suatu solidaritas yang besar yang terbentuk oleh perasaan yang timbul sebagai akibat pengorbanan-pengorbanan yang telah dibuat dan yang dalam masa depan bersedia dibuat lagi. Persetujuan keinginan dinyatakan dengan jelas untuk melanjutkan kehidupan bersama.
Relasi individu dengan nasionnya dinyatakan pula dengan posisi serta peranan-peranan yang ada pada dirinya. Semuanya tertampung oleh atau tersalurkan melalui unit-unit lingkungan sosial yang lebih makro. Hubungan langsung individu dengan nasion diekspresikan melalui posisinya sebagai warga Negara.34
E. Pembelajaran Sastra
Istilah pengajaran yang mempunyai makna proses, cara, perbuatan mengajar atau mengajarkan; perihal mengajar; sedangkan pembelajaran biasa diucapkan sejalan dengan semangat dan perubahan yang terjadi. Pembelajaran lebih dipilih dan dipergunakan secara formal, karena didalam kata ini aktivitas yang terjadi adalah seimbang antara pihak guru dan anak didiknya; mereka sama-sama aktif dan diharapkan juga sama-sama kreatif.35
Istilah sastra berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tulisan atau karangan. Sastra biasanya diartikan sebagai karangan dengan bahasa yang indah dan
34Ibid
., h. 123-127.
35
Rohinah M.Noor, Pendidikan Karakter Berbasis Sastra: Solusi Pendidikan Moral yang Efektif, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2011), h. 137.
(39)
isi yang baik. Bahasa yang indah artinya dapat menimbulkan kesan dan menghibur pemabacanya. Isi yang baik artinya berguna dan mengandung nilai pendidikan. Indah dan baik yang ini menjadi fungsi sastra yang terkenal dengan istilah dulce et utile. Bentuk fisik dari sastra disebut karya sastra. Penulis karya sastra disebut sastrawan.36
Pembelajaran sastra penting bagi siswa karena berhubungan erat dengan kepribadian. Sastra dapat memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap cara berpikir orang mengenai hidup, baik dan buruk, benar dan salah serta cara hidup. Oleh karena itu, selain memberikan kenikmatan dan keindahan, pembelajaran sastra juga mampu memberikan nilai-nilai sosial yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara.
Pembelajaran sastra di sekolah merupakan sesuatu yang penting dan patut diajarkan sesuai dengan tingkatannya. Dari usia dini, yaitu tingkat Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Jika sastra diajarkan dengan cara yang tepat, maka pengajaran sastra dapat membantu bidang pendidikan.
Ketepatan dalam pengajaran sastra tersebut dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu: membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.37 Manfaat tersebut juga berguna untuk menafsirkan dan memahami masalah-masalah dunia nyata, walaupun sastra sendiri merupakan karya fiktif. Oleh karena itu, pengajaran sastra dapat dijadikan sebagai pembelajaran yang penting dan patut menempati tempat yang selayaknya.
Mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah Kelompok Mata Pelajaran Wajib. Kelompok Mata Pelajaran Wajib merupakan bagian dari kurikulum pendidikan menengah dalam kurikulum 2013 yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan tentang bangsa, bahasa, sikap sebagai bangsa, dan kemampuan penting untuk mengembangkan logika dan kehidupan pribadi peserta didik, masyarakat dan bangsa, pengenalan lingkungan fisik dan alam, kebugaran jasmani serta seni budaya daerah
36Ibid ., h. 17. 37
(40)
dan nasional, sedangkan mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia termasuk dalam Kelompok Mata Pelajaran Peminatan. Kelompok Mata Pelajaran Peminatan bertujuan (1) untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik mengembangkan minatnya dalam sekelompok mata pelajaran sesuai dengan minat keilmuannya di perguruan tinggi, dan (2) untuk mengembangkan minat terhadap suatu disiplin ilmu atau keterampilan tertentu.
Dalam struktur kurikulum SMA/MA terdapat penambahan jam belajar per minggu sebanyak 4-6 jam sehingga untuk kelas X bertambah dari 38 jam menjadi 42 jam belajar dan untuk kelas XI dan XII bertambah dari 38 jam menjadi 44 jam belajar, sedangkan lama belajar untuk setiap jam belajar adalah 45 menit. Dengan adanya tambahan jam belajar ini dan pengurangan jumlah Kompetensi Dasar, guru memiliki keleluasaan waktu untuk mengembangkan proses pembelajaran yang berorientasi siswa aktif belajar. Proses pembelajaran siswa aktif memerlukan waktu yang lebih panjang dari proses pembelajaran penyampaian informasi karena peserta didik perlu latihan untuk mengamati, bertanya, mengasosiasi, dan berkomunikasi. Proses pembelajaran yang dikembangkan guru menghendaki kesabaran dan menunggu respons peserta didik karena mereka belum terbiasa. Selain itu, bertambahnya jam belajar memungkinkan guru melakukan penilaian proses dan hasil belajar.
Mengikutsertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berarti akan membantu siswa berlatih keterampilan membaca, keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, dan keterampilan menulis yang masing-masing erat kaitannya. Dalam pengajaran sastra, siswa dapat melatih keterampilan menyimak dengan mendengarkan suatu karya yang dibacakan oleh guru, teman atau lewat pita rekaman. Siswa dapat melatih keterampilan berbicara dengan ikut berperan dalam suatu drama. Siswa dapat pula meningkatkan keterampilan membaca dengan membacakan puisi atau prosa cerita. Mengapresiasi sastra itu menarik, siswa dapat mendiskusikannya dan kemudian menuliskan hasil diskusinya sebagai latihan keterampilan menulis.
(41)
Pembelajaran sastra dapat ditingkatkan lagi dengan pendidikan melalui sastra. Melalui sastra, kita dapat mengembangkan peserta didik dalam hal keseimbangan antara spiritual, emosional, etika, logika, estetika, dan kinestetika; pengembangan kecakapan hidup; belajar sepanjang hayat; serta pendidikan keseluruhan dan kemitraan. Selain itu, dengan pendidikan sastra, peserta didik tidak hanya diajak untuk memahami dan menganalisis berdasarkan bukti nyata yang ada dalam karya sastra dan kenyataan yang ada di luar karya sastra, tetapi juga diajak untuk megembangkan sikap positif terhadap karya sastra. Pendidikan semacam ini akan mengembangkan kemampuan berpikir, sikap, dan kemampuan peserta didik.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran sastra bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, menyeimbangkan pengembangan kecerdasan spiritual, emosional, intelektual, dan kinestetika peserta didik.
F. Penelitian yang Relevan
Pada penelitian ini penulis menggunakan novel Para Priyayi sebagai objek penelitian. Peneliti menggunakan pendekatan sosiologi sastra dalam mengkaji objek penelitian. Sebelumnya ada beberapa penelitian lain yang dapat dijadikan perbandingan dan penelitian yang relevan. Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut.
Skripsi Atik Hendriyati (2009) dengan judul penelitian “Kajian Intertekstual dan Nilai Pendidikan dalam Novel Canting Karya Arswendo Atwomiloto dengan Para Priyayi Karya Umar Kayam”. Berdasarkan analisis Atik Hendriyati, hubungan intertekstual antara Canting dan Para Priyayi merupakan karya hipogram, yaitu karya yang melatarbelakangi penciptaan karya selanjutnya, sedangkan Para Priyayi disebut karya transformasi karena mentransformasikan teks-teks yang menjadi hipogramnya. Persamaan kedua novel ini terdapat dalam beberapa aspek, yaitu tema, alur, penokohan dan perwatakan, dan latar, baik tempat, waktu maupun sosial. Perbedaannya terdapat pada nilai yang dianalisis. Penelitian ini meneliti mengenai nilai pendidikan, yaitu nilai pendidikan dalam sikap atau tindakan, yaitu nilai-nilai
(42)
yang diperoleh dan dapat dicontoh dari sikap atau tindakan para tokoh dalam cerita. Selain itu, nilai pendidikan disampaikan melalui ungkapan atau pepatah dari para tokohnya yang mengandung ajaran moral yang tinggi. 38
Kedua, skripsi Permadi Hendra Lesmana (2013) “Perubahan Ideologi Kepriyayian Jawa: dari Tradisi ke Modern dalam Novel Para Priyayi dan Jalan Menikung Karya Umar Kayam serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”. Berdasarkan hasil analisis Permadi Hendra Lesmana, perubahan ideologi yang terdapat dalam Para Priyayi dan Jalan Menikung Karya Umar Kayam dikelompokkan menjadi enam, yaitu 1) Perubahan Ideologi Kayam terkait pernikahan, 2) Perubahan ideologi Kayam terkait sudut pandang agama lain dalam menilai Islam, 3) Perubahan ideologi Kayam terkait sikap kepada penguasa, 4) Perubahan ideologi terkait sikap orang tua ditunjukan oleh tokoh utama yang sebelumnya tidak memberikan restu pernikahan beda agama menjadi sebaliknya, 5) Perubahan ideologi terkait menyikapi kebudayaan Jawa, sebelumnya Kayam menjadikan budaya Jawa sebagai panduan kehidupan dan kemudian hanya menjadi seni hiburan saja, 6) Perubahan ideologi terkait konsep perselingkuhan, sebelumnya perselingkuhan hanya dianggap sebagai hiburan dan perselingkuhan itu sendiri tidak pernah terjadi pada tokoh utama tetapi kemudian menjadi sebaliknya, perselingkuhan menjadi kebutuhan dan benar-benar terjadi.39
Persamaan penelitian ini dengan kedua penelitian relevan di atas adalah sama-sama meneliti mengenai beberapa aspek, yaitu tema, alur, penokohan dan perwatakan, dan latar, baik tempat, waktu, maupun sosial. Perbedaannya adalah penelitian ini menganalisis nilai sosial, sedangkan kedua penelitian relevan di atas meneliti mengenai nilai pendidikan dan perubahan ideologi.
38Atik Hendriyati, “Kajian
Intertekstual dan Nilai Pendidikan Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto dengan Para Priyayi Karya Umar Kayam”, Skripsi pada Strata 1 Universitas Sebelas Maret, Purwakarta, Purwakarta, 2009, tidak dipublikasikan.
39
Permadi Hendra Lesmana, “Perubahan Ideologi Kepriyayian Jawa: dari Tradisi ke Modern dalam Novel Para Priyayi dan Jalan Menikung Karya Umar Kayam serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”, Skripsi pada Strata 1 Universitas Islam Negeri, Jakarta, Jakarta, 2013, tidak dipublikasikan.
(43)
33
BAB III
TINJAUAN NOVEL DAN BIOGRAFI PENGARANG
A. Tinjauan Internal
1. Sinopsis Novel Para Priyayi
Lantip, nama aslinya adalah Wage karena lahir pada hari Sabtu Wage. Nama Lantip itu adalah sebuah nama pemberian dari keluarga Sastrodarsono saat Lantip tinggal di keluarga itu, yaitu di jalan Satenan di kota Wanagalih. Sebelumnya Lantip tinggal bersama Emboknya Desa Wanalawas yang hanya beberapa kilometer dari kota Wanagalih. Hubungan Embok Lantip dengan keluarga Sastrodarsono itu dimulai dari penjualan tempe. Rupanya tempe buatan Embok Lantip itu berkenan di hati keluarga Sastrodarsono. Buktinya kemudian tempe Embok itu jadi langganan keluarga tersebut.
Lantip selalu ikut membantu menyiapkan dagangan tempe, dan ikut menjajakan nya berjalan di samping atau di belakang Mboknya menyelusuri jalan dan lorong kota. Lantip ingat bahwa dalam perjalan itu sengatan terik matahari Wanagalih. Wanagalih memang terkenal sangat panas dan rasa haus yang benar-benar mengeringkan tenggorokan. Sekali waktu Lantip pernah merengek kepada Emboknya untuk dibelikan jajanan. Dengan ketus Emboknya menjawab dengan “Hesy! Ora usah”, dan Lantip pun terdiam. Lantip tahu Emboknya, meskipun murah hati juga sangat hemat dan tegas. Dia akan lebih senang bila kami melepas haus di sumur pojok alun-alun atau bila beruntung dapat sekedar air teh di rumah langganan Emboknya. Salah satu langganan Emboknya yang murah hati itu adalah keluarga Sastrodarsono. Mereka dipanggil oleh keluarga Sastrodarsono. Mereka menyebutnya dengan “Ndoro Guru” dan “Ndoro Guru Putri”. Waktu mereka melihat Embok datang
(44)
membawa Lantip, Ndoro Guru menanyakan dengan nada suara sangatlah ulem-nya dan penuh wibawa.
Sejak itu rumah keluarga Sastrodarsono menjadi tempat persinggahan mereka, hubungan mereka dengan keluarga itu menjadi akrab, bahkan lama-lama rumah itu menjadi semacam rumah kedua bagi mereka. Tetapi sangatlah tidak pantas rumah gebyok itu terlalu besar dan bagus untuk dikatakan rumah kedua mereka bila disejajarkan dengan rumah mereka yang terbuat dari gedek atau anyaman bambu di desa Wanalawas. Juga bila diingat bahwa rumah itu adalah rumah milik seorang priyayi, seorang mantri guru sekolah desa, yang pada zaman itu mempunyai kedudukan cukup tinggi di mata masyarakat seperti Wanagalih. Mantri guru sudah jelas didudukan masyarakat dan pemerintah sebagai priyayi, ia punya jabatan dan juga punya gaji.
Suatu ketika Soedarsono yang telah berganti nama menjadi Sastrodarsono, mengutus Soenandar untuk mengurus sekolah yang didirikannya di Wanalawas, diharapkan agar Soenandar lebih mandiri dan dapat bertanggung jawab, tapi Soenandar justru menghamili anak penjual tempe dan kabur. Lahirlah Wage yang kemudian diboyong ke wanagalih, dirawat dan disekolahkan, kemudian diganti namanya menjadi Lantip. Wanagalih adalah sebuah ibukota kabupaten. Kota itu lahir sejak pertengahan abad ke-19. Di kota itu Lantip sering teringat akan Mbah guru Sastrodarsono yang selalu memberikan nasihat pada seisi rumah setiap kali ia pulang dari pertemuan pagi.
Semenjak Lantip mengetahui perihal ayahnya, ia merasa kecewa dan malu karena ia hanya anak jadah dan haram meskipun jelas bapaknya tetapi tidak mau menikah dengan Emboknya. Ternyata bapaknya adalah gerombolan perampok. Selain itu juga sekarang Lantip mengerti mengapa keluarga Sastrodarsono sangat memperhatikan kehidupannya dan Ngadiyem Emboknya, karena Soenandar, yang ayahnya Lantip itu, adalah masih tergolong keluarga dari Sastrodarsono.
(45)
Keluarga Sastrodarsono perlahan berhasil membangun keluarga priyayi mereka sendiri. Kelahiran tiga anak mereka, yaitu Noegroho, Hardojo dan Soemini menambah lengkap keluarga priyayi mereka. Semua anak mereka pun sukses mengikuti jejak Sastrodarsono menjadi seorang priyayi. Noegroho yang menjadi Guru HIS kemudian banting setir ikut PETA pada zaman pendudukan Jepang, dan kemudian pindah menjadi perwira TNI pada zaman kemerdekaan. Hardojo, menjadi seorang abdi Mangkunegaran dan menantunya Harjono (suami Soemini) seorang Asisten Wedana.
Sastrodarsono, adalah anak tunggal Mas Atmokasan seorang anak petani desa Kedung Simo. Sebelumya ia hanya bekerja sebagai guru bantu di Ploso. Dengan jabatan guru bantu itu, berarti Sastrodarsono adalah orang pertama dalam keluarganya yang berhasil menjadi priyayi. Sastrodarsono dijodohkan dengan Ngaisah yang nama aslinya Aisah putri tunggalnya seorang mantri candu di Jogorogo. Dik Ngaisah, begitu ia memanggil istrinya, ia seorang istri yang mumpunyai lengkap akan kecakapan dan keprigelannya bukan hanya pandai mamasak ia juga memimpin para pembantu di dapur, karena memang sejak lahir ia sudah menjadi anak priyayi dibandingkan dengan Sastrodarsono yang baru akan menjadi priyayi.
Sepeninggalannya Mbah putrid, kesehatan Eyang kakung semakin memburuk yang sampai akhirnya ia meninggal dunia. Dalam upacara sambutan selamat tinggal untuk Sastrodarsono, semua anggota keluarga Sastrodarsono tidak ada yang berani memberikan pidato kata-kata terakhir. Akhirnya Lantip yang dijadikan wakil dari keluarga besar Sastrodarsono yang menyampaikan pidato selamat jalan itu. Lantip, meskipunia adalah anak haram hasil hubungan Soenandar dan ibu kandungnya, Ngadiyem, tetapi sesungguhnya dialah yang telah berhasil menjadi seorang priyayi yang sebenarnya. Terlihat dari ketulusan dan kesediaannya membantu para anggota keluarga Sastrodarsono. Namun, ia tak bangga dengan semua itu. Cerita pun
(46)
ditutup dengan peristiwa Lantip mengajak calon istrinya yang bernama Halimah ke makam Embok dan Embahnya dengan perasaan yang bahagia.
2. Gambaran Umum Novel Para Priyayi
Novel Para Priyayi karya Umar Kayam dengan 308 halaman yang diterbitkan pada tahun 1992 ini menggambarkan warna-warni kehidupan tokoh-tokohnya yang berlatar kehidupan Jawa. Novel ini menceritakan realita kehidupan tokoh-tokohnya mengenai kehidupan keluarga besar priyayi Jawa dan masalah-masalah yang ada didalamnya. Keluarga ini adalah keluarga Sastrodarsono.
Sastrodarsono adalah seorang anak petani desa yang berjuang hidup untuk membangun keluarga besar priyayi. Berkat kesetiaan ayahnya menggarap sawah Ndoro Seten, seorang priyayi Kedungsimo, ia disekolahkan dan berhasil mengantongi beslit guru bantu. Melalui dunia pendidikan itulah ia masuk golongan para priyayi. Pandangan hidup yang dimulai dari hal yang sangat sederhana, yaitu sebagai guru bantu ternyata membuahkan hasil yang tak terduga. Mimpinya membangun keluarga priyayi, disertai dengan keuletan, taat pada orang tua dengan sikap orang jawa yang ikut, nurut, dan manut ternyata dapat terwujud. Ia merupakan gambaran pria jawa yang selalu patuh, mulai dari perjodohannya dengan seorang gadis sampai pada kesabaran dan ketelatenannya menjalani karir dan juga berumah tangga.
Perjuangan menaiki tangga priyayi yang dibangun oleh Satrodarsono tidak selamanya berjalan sesuai keinginannya. Perjuangannya mulai luntur pada generasi anak cucunya. Mereka sudah mulai tergilas arus modernisasi. Akan tetapi, di sisi yang lain, keluarga Sastrodarsono berhasil menemukan priyayi yang sesungguhnya, yaitu Lantip. Ia adalah seorang lelaki yang tidak berdarah priyayi, namun memiliki jiwa priyayi yang sebenarnya.
Dalam konteks kebudayaan Jawa, kata priyayi digunakan untuk menyebut orang-orang yang terhormat atau disegani dalam masyarakat. Dalam konteks ini, semua guru, pejabat atau pemerintah bisa juga disebut
(47)
priyayi. Namun, novel Para Priyayi menyajikan ceritayang berbeda mengenai priyayi yang sebenarnya, bahwa priyayi itu bukan dari darah birunya, bukan dari posisi dan jabatannya, melainkan dari sikap kesungguhannya untuk melayani dan mengayomi rakyat. Hal ini disampaikan pada bagian terakhir saat tokoh Lantip ketika ia berpidato di pemakaman Eyangnya. Lantip memaparkan dengan jelas tentang keberadaan Eyangnya selama masih hidup dalam mengayomi rakyat banyak terutama di bidang pendidikan.
Novel ini menggambarkan kebudayaan lokal dengan penciptaan suasana, tempat, budaya, gaya bahasa, alur dan banyak hal lainnya dengan sangat mendetail. Budaya Jawa menjadi salah satu tolok ukur dan juga masalah yang diangkat dalam novel ini. Adanya kelas dalam masyarakat Jawa, membuat Sastrodarsono ingin membangun keluarga priyayi yang priyayi agung. Perjalanan Sastrodarsono diwarnai dengan berbagai tradisi lokal tentang perjodohan, gaya hidup priyayi yang meliputi cara hidupnya, berpakaian, makan, dan bagaimana posisi seorang istri priyayi harus bersikap intelek, baik secara pemikiran atau sikap.
Para tokoh dalam novel ini pun dilahirkan dari latar tempat, sosial, dan waktu yang memang benar-benar menggambarkan kebudayaan Jawa pada saat itu. Terlihat jelas karena novel ini diwarnai dengan beberapa penggal tembang kinanti yang merupakan perwujudan kesenian Jawa di bagian tengah dan akhir novel. Tokoh-tokoh dalam novel terlahir dari latar budaya Jawa yang sangat kental, terutama dari dialog dan cara mengatasi berbagai konflik.
Dalam novel ini terdapat kesenjangan sosial atau perbedaan kelas antara golongan priyayi dan masyarakat biasa, dimana seolah priyayi adalah cerminan tokoh putih dalam suatu cerita yang sangat dihormati dan dipercayai secara berlebihan. Status priyayi merupakan status yang banyak terlahir dalam suasana kehidupan orang Jawa. Priyayi sangat konsekuen dalam menjaga berlakunya sistem nilai dan rakyat kecil mengacu serta menganggap sistem nilai tersebut sempurna dan yang terbaik untuk dihormati bahkan diikuti.
(48)
Bahasa Jawa yang disajikan dalam novel ada tiga bahasa; Kromo Inggil (sangat halus), Kromo (halus), dan Ngoko (kasar). Misalnya, pada saat Lantip berbicara pada Sastrodarsono, Lantip menggunakan bahasa yang terkesan begitu halus dan berbeda pada saat Lantip berbicara dengan orang yang statusnya sama atau sebaya dengannya. Biasanya bahasa seperti Kromo Inggil tersebut dipakai oleh orang yang muda kepada orang yang tua apapun strata sosialnya, sedangkan kalau orang yang muda berbicara kepada orang yang muda juga atau yang setara umurnya, biasanya memakai yang halus (Kromo) atau bahasa yang kasar (Ngoko). Selain itu, disisipi pula istilah atau ungkapan Jawa disertai artinya.
Bahasa yang digunakan mampu menghidupkan suasana, sehingga mampu membawa pembaca serasa larut dalam cerita. Terutama bahasa Jawa (logat Jawa) yang digunakan tokoh untuk berdialog. Selain itu, terdapat bahasa lain seperti bahasa Belanda dan Bahasa Jepang untuk menunjukkan masa pemerintahan pada saat itu.
Melalui novel Para Priyayi, pembaca Indonesia yang berlatar belakang bukan Jawa akan dapat mengenal dan memahami sebagian kehidupan sosial budaya Jawa. Tingkah laku tokoh-tokoh dalam novel tersebut sarat akan nilai sosial. Mereka mengikatkan diri dengan penuh kesadaran terhadap aturan kelembagaan masyarakat Jawa.
B. Tinjauan Eksternal
1. Biografi Umar Kayam
Umar Kayam lahir di Ngawi, Jawa Timur, pada tanggal 30 April 1932.Ia memperoleh gelar Ph. D di Cornell University dengan tesis mengenai problem koordinasi pembangunan masyarakat Indonesia. Sejak menjadi mahasiswa di Universitas Gajah Mada ia telah aktif dalam berbagai kegiatan kesenian. Namun baru mulai menulis karya-karya sastra pada tahun 1960‟an ketika berada di New York. Pada tahun 1968, cerita pendeknya “Seribu
(49)
Kunang-kunang di Manhattan” dinilai sebagai cerpen terbaik yang dimuat dalam majalah Horison.1
Dalam dialog santai dengan A.S. Laksana dkk, dua bulan sebelum meninggal, Umar Kayam sempat mengisahkan masa kecilnya, kegemaran membaca yang terkondisi sejak kecilnya, dan awal kepengarangannya.
Umar Kayam berasal dari keluarga guru. Ayahnya seorang guru Hollands Inlands School (HIS; sekolah dasar untuk anak-anak priyayi yang menyiapkan priyayi-priyayi gubernemen pada saat pemerintahan kolonial Belanda) di Mangkunegoro, Surakarta. Di sekolah dasar itu, ia sekelas dengan Wiratmo Soekito—Budayawan yang kelak terkenal sebagai konseptor Manifes Kebudayaan—yang dipanggilnya sebagai Kliwir. Keragaman membaca buku secara dini diperolehnya dari ayahnya yang mempunyai perpustakaan pribadi. Waktu di MULO (sekarang SMP), secara sembunyi-sembunyi karenatakut dimarahi ibunya – ia telah banyak membaca roman-roman yang seharusnya baru boleh dibaca setelah ia dewasa, seperti novel Margaret Mitchel Gone with the Wind yang sudah ada terjemahannya dalam bahasa Belanda pada saat itu. Ia bisa menikmati novel yang mengisahkan perang saudara di Amerika Serikat itu. walaupun secara jujur ia mengatakan bahwa banyak yang tidak dipahaminya ketika itu.2
Kayam memulai dunia kesenian sejak SMP dengan giat di bidang drama, sastra, dan koran dinding. Saat ia di sekolah dasar ada keharusan untuk membaca dongeng-dongeng, dan ada pelajaran bercerita di depan kelas dalam bahasa Belanda. Diakuinya pendidikan Belanda itu memang baik, teratur, dan disiplin. Di kelas lima HIS, ia sudah menguasai bahasa Belanda. Sehari-harinya, bersama orang tuanya ia berbicara dalam bahasa Jawa halus (kromo) campur Belanda. Bahasa Melayu dalam waktu itu bukan bahasa sehari-hari.Ia
1
DBB,Umar Kayam Memenangkan SEA Write Award 1987, HarianBerita Buana, Jakarta, 14 Juli1987, h. 4.
2
(50)
les bahasa Melayu sore hari. Baru pada masa pendudukan tentara Jepanglah bahasa Indonesia diwajibkan secara intensif sebagai bahasa pengantar.
Ia mulai belajar mengarang saat duduk di SMA bagian A (Bahasa) di Yogyakarta. Awalnya, karena memenuhi tugas pelajaran dengan tema-tema yang diberikan oleh gurunya. Bersama teman-teman sekelasnya, seperti Nugroho Notosusanto dan Daoed Joesoef (dua-duanya pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI), Umar Kayam mendapat tugas mengelola majalah dinding sekolah. Di majalah dinding itulah Umar Kayan dan tema-temannya mengekspresikan tulisannya dalam bentuk puisi (katanya yang paling banyak), cerpen, esai, dan pembicaraan karya-karya pengarang, seperti Tagore, S. Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, dan Chairil Anwar.3
Umar Kayam melanjutkan pendidikan di Fakultas Pedagogi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia ruang kemahasiswaan “Universitaria” di RRI Nusantara II Yogyakarta yang berisi berita dan kegiatan mahasiswa dan mendirikan majalah mingguan bertajuk Minggu. Minatnya terhadap dunia pers ini kelak akan tersalurkan lewat kolom rutinnya di halaman depan yang diterbitkan di harian Kedaulatan Rakyat setiap hari Selasa sejak 12 Mei 1987 sampai dengan pertengahan tahun 2000. Kolom Kedaulatan Rakyatmenarik minat banyak pembaca kerena dituturkan dengan singkat, penuh humor cerdas, canda, tidak ngotot, kadang secara tidak langsung menyampaikan sendirian, protes, usul, nasihat, dan sebagainya. Kolom ini akhirnya dikumpulkan dan diterbitkan kembali menjadi 4 buah buku.
Tahun 1955 Umar Kayam menyelesaikan sarjana muda-nya, lalu bekerja di Jakarta beberapa tahun. Ia kemudian melanjutkan kuliah di Amerika Serikat, memperoleh gelar Master of Educationdari Newyork University School of Education (1963), dan akhirnya memperoleh gelar
3
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
BIOGRAFI PENULIS
Agnis Afriani, lahir di Bekasi, 6 Agustus 1990. Menuntaskan pendidikan dasar di MI Attaqwa 16 Wates. Kemudian Ia menuntut ilmu di MTs Al- Falak Kota Bogor. Setelah itu, Ia melanjutkan kejenjang sekolah menengah di MAN 1 Kota Bekasi. Setelah lulus dari MAN 1 Kota Bekasi, Ia meneruskan pendidikannya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Anak dari Achmad Yani dan Yuyun ini bercita-cita ingin menjadi seorang guru sejak duduk di bangku sekolah menengah atas. Baginya, menjadi seorang guru bukan hanya profesi yang ideal bagi perempuan. Akan tetapi, merupakan kegiatan sosial dan pembelajaran sepanjang masa bagi seorang manusia untuk sesama manusia lainnya. Perempuan yang berzodiak Leo ini juga memiliki hobi membaca karya sastra. Ia sangat menyukai puisi dan novel.