Efisiensi dan Kinerja Struktur Rangka Breising Konsentrik Tipe X-2 Lantai.

(1)

EFISIENSI DAN KINERJA STRUKTUR RANGKA

BREISING KONSENTRIK TIPE X-2 LANTAI

TUGAS AKHIR

Oleh :

ANDRE TANJAYA NIM: 1204105038

JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS UDAYANA


(2)

(3)

(4)

i

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan efisiensi dan kinerja Struktur Rangka Pemikul Momen (SRPM) dengan Struktur Rangka Breising Konsentrik Tipe X-2 Lantai pada gedung 10 lantai menggunakan metode analisis statik non-linier pushover.

Analisis dilakukan dengan membandingkan 3 model struktur yaitu, Struktur Rangka Pemikul Momen Biasa (SRPMB), Struktur Rangka Breising Konsentrik Khusus dengan dimensi balok kolom sama dengan SRPMB (SRBKK 1), Struktur Rangka Breising Konsentrik setelah dilakukan efisiensi (SRBKK 2). Efisiensi struktur ditinjau berdasarkan perbandingan berat material baja dan simpangan yang terjadi pada ketiga tipe struktur. Kinerja struktur ditinjau pada level kinerja yang sama yaitu life safety dengan membandingkan gaya geser dan perpindahan maksimum yang terjadi pada ketiga tipe struktur menggunakan analisis statik non-linier pushover pada SAP 2000 v.17. Beban-beban yang bekerja pada struktur mengacu pada SNI 1727:2013 dan SNI 1726:2012 (beban gempa) serta PPIUG 1983 untuk beban mati tambahan. Bangunan diasumsikan berada di Denpasar dengan kondisi tanah sedang dan fungsi sebagai perkantoran. Beban gempa diinput pada SAP 2000 menggunakan metode autoload dengan pendekatan IBC 2009.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada SRBKK 1, elemen struktur menjadi 11,11% lebih berat. Sedangkan pada SRBKK 2, berat struktur menjadi 2,42% lebih ringan dari kondisi awal (SRPMB). Simpangan maksimum ketiga jenis struktur (SRPMB, SRBKK 1, dan SRBKK 2) masih dalam simpangan yang diijinkan. SRBKK 1 memiliki simpangan maksimum 48,98% dan 60,28% lebih kecil dari simpangan maksimum SRPMB untuk arah x dan arah y. Sedangkan SRBKK 2 memiliki simpangan maksimum 45,76% dan 58,57 % lebih kecil dari simpangan maksimum SRPMB untuk arah x dan arah y. SRBKK 1 memiliki gaya geser dasar maksimum 53,13% dan 58 % lebih besar dari gaya geser dasar maksimum SRPMB untuk arah x dan arah y. SRBKK 1 memiliki simpangan maksimum 59,85% dan 60,31% lebih kecil dari simpangan maksimum SRPMB untuk arah x dan arah y. Sedangkan SRBKK 2 memiliki gaya geser dasar maksimum 51,82% dan 54,85% lebih besar dari gaya geser dasar maksimum SRPMB untuk arah x dan arah y. SRBKK 2 memiliki simpangan maksimum 53,01% dan 59,88% lebih kecil dari simpangan maksimum SRPMB untuk arah x dan arah y. Kinerja ini ditinjau pada level kinerja life safety. Roof drift ratio pada SRPMB, SRBKK 1, dan SRBKK 2 secara berturut-turut sebesar 1,79%, 0,71%, 0,83%. Pada target perpindahan yang sesuai dengan FEMA 356 dan ATC-40, deformasi dan gaya geser berdasarkan gempa rencana tidak melebihi dari level kinerja life safety sehingga struktur masih dalam keadaan aman ketika menerima gempa rencana.


(5)

ii

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat-Nyalah Tugas Akhir ini dapat diselesaikan. Tugas Akhir ini berjudul, ”Efisiensi dan Kinerja Struktur Rangka Breising Konsentrik Tipe X-2 Lantai”.

Tugas akhir ini tidak lepas dari dorongan serta bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini disampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Ir. Ida Bagus Dharma Giri, MT., selaku dosen pembimbing I, Bapak Ida Bagus Rai Widiarsa, ST., MASc., PhD., selaku dosen pembimbing II, Bapak Ir. Made Sukrawa, MSCE, PhD., selaku dosen pemodelan struktur sekaligus reviewer Tugas Akhir yang memberi ide dan masukan untuk topik Tugas akhir ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Orang tua, keluarga, dan teman-teman yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, yang selalu memberi dukungan moral dan materiil serta membantu dalam pikiran, tenaga, dan waktu

Tugas akhir ini masih jauh dari sempurna, masih terdapat kesalahan-kesalahan yang tidak disengaja. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca diharapkan demi kesempurnaan Tugas akhir ini. Atas perhatian pembaca, diucapkan terima kasih.

Bukit Jimbaran, Februari 2016


(6)

iii

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

UCAPAN TERIMA KASIH ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

1.5 Batasan Masalah ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Umum ... 5

2.2 Struktur Rangka Pemikul Momen (SRPM) ... 5

2.3 Struktur Rangka Pemikul Momen Biasa (SRPMB) ... 6

2.4 Struktur Rangka Breising Konsentrik (SRBK) ... 7

2.5 Struktur Rangka Breising Konsentrik Khusus (SRBKK) ... 9

2.6 Kombinasi Beban ... 10

2.7 Sambungan Sederhana ... 11

2.8 Sambungan Momen ... 13

2.9 Perencanaan Berbasis Kinerja ... 14

2.10 Metode Analisis Statik Non-Linier Pushover ... 15

2.11 Kurva Kapasitas ... 17

2.12 Batas Kinerja ... 18

BAB III METODE PENELITIAN ... 20

3.1 Pemodelan Struktur ... 20

3.2 Data Struktur ... 21

3.3 Prosedur Analisis ... 23

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

4.1 Pemodelan dan Pemasukan Data SRPMB ... 25

4.2 Kontrol Rasio Tegangan dan Simpangan SRPMB ... 28

4.3 Pemodelan dan Input Data SRBKK ... 34

4.4 Kontrol Rasio Tegangan dan Simpangan SRBKK 1 dan SRBKK 2 ... 37

4.5 Perbandingan Efisiensi ... 48

4.6 Analisis Pushover ... 51


(7)

iv

BAB V PENUTUP ... 59

5.1 Kesimpulan ... 59

5.2 Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61

LAMPIRAN A TAHAPAN PEMODELAN PADA SAP 2000 ... 63


(8)

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Tipe-tipe breising konsentrik ... 8

Gambar 2.2 Perbandingan perilaku rangka breising konsentrik tipe v-terbalik dan x-2 lantai... 8

Gambar 2.3 Jenis-jenis sambungan sendi ... 12

Gambar 2.4 Jenis-jenis sambungan momen ... 13

Gambar 2. 5 Rekayasa gempa berbasis kinerja (ATC 58) ... 15

Gambar 2.6 Definisi leleh pertama (Vy) dan leleh maksimum (Vd) ... 16

Gambar 2. 7 Kurva Kapasitas ... 18

Gambar 2. 8 Kurva Kriteria Keruntuhan ... 19

Gambar 3.1 Denah struktur bangunan ... 20

Gambar 3.2 Portal 1-1 ... 21

Gambar 3.3 Diagram alur penelitian ... 24

Gambar 4. 1 Denah SRPMB ... 25

Gambar 4. 2 Portal SRPMB ... 27

Gambar 4. 3 Hasil Steel Check Design Portal 1-1 SRPMB ... 29

Gambar 4. 4 Hasil Steel Check Design Portal 2-2 SRPMB ... 30

Gambar 4. 5 Hasil Steel Check Design Portal A-A SRPMB ... 31

Gambar 4. 6 Hasil Steel Check Design Portal B-B SRPMB ... 32

Gambar 4. 7 Simpangan maksimum pada SRPMB ... 33

Gambar 4. 8 Denah SRBKK ... 34

Gambar 4. 9 Portal SRBKK ... 35

Gambar 4. 10 Hasil Steel Check Design Portal 1-1 SRBKK 1 ... 38

Gambar 4. 11 Hasil Steel Check Design Portal 2-2 SRBKK 1 ... 39

Gambar 4. 12 Hasil Steel Check Design Portal A-A SRBKK 1 ... 40

Gambar 4. 13 Hasil Steel Check Design Portal B-B SRBKK 1 ... 41

Gambar 4. 14 Hasil Steel Check Design Portal 1-1 SRBKK 2 ... 42

Gambar 4. 15 Hasil Steel Check Design Portal 2-2 SRBKK 2 ... 43

Gambar 4. 16 Hasil Steel Check Design Portal A-A SRBKK 2 ... 44

Gambar 4. 17 Hasil Steel Check Design Portal B-B SRBKK 2 ... 45

Gambar 4. 18 Simpangan maksimum pada SRBKK 1 ... 46

Gambar 4. 19 Simpangan maksimum pada SRBKK 2 ... 47

Gambar 4. 20 Grafik perbandingan simpangan masing-masing lantai arah x ... 49

Gambar 4. 21 Grafik perbandingan simpangan masing-masing lantai arah y ... 50

Gambar 4. 22 Diagram perbandingan berat material baja ... 51

Gambar 4. 23 Letak sendi plastis SRPMB arah x ... 52

Gambar 4. 24 Letak sendi plastis SRPMB arah y ... 52

Gambar 4. 25 Letak sendi plastis SRBKK 1 arah x ... 53

Gambar 4. 26 Letak sendi plastis SRBKK 1 arah y ... 54

Gambar 4. 27 Letak sendi plastis SRBKK 2 arah x ... 55

Gambar 4. 28 Letak sendi plastis SRBKK 2 arah y ... 55

Gambar 4. 29 Kurva pushover arah x ... 56


(9)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 4. 1 Dimensi SRPMB ... 28

Tabel 4. 2 Dimensi SRPMB, SRBKK 1, dan SRBKK 2 ... 37

Tabel 4. 3 Perbandingan stress ratio pada kolom dan simpangan maksimum ... 48

Tabel 4. 4 Simpangan masing-masing lantai arah x ... 48

Tabel 4. 5 Simpangan masing-masing lantai arah y ... 49

Tabel 4. 6 Berat material baja masing-masing tipe struktur ... 50

Tabel 4. 7 Hasil analisa pushover arah x... 56

Tabel 4. 8 Hasil analisa pushover arah y... 56

Tabel 4. 9 Perbandingan roof drift ratio ... 57


(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Material baja banyak digunakan dalam membangun gedung-gedung bertingkat tinggi karena memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan material lainnya. Keunggulan meterial baja yaitu kekuatan yang tinggi, elastis, dan memiliki daktilitas yang tinggi. Material baja juga lebih ringan dibandingkan dengan beton, pemasangannya juga lebih cepat karena material baja dibuat di pabrik sehingga tinggal dipasang ditempat, sedangkan pada material beton harus dibuat bekisting terlebih dahulu sebelum dilakukan pengecoran.

Struktur gedung dengan rangka baja dirancang untuk dapat menahan gaya gempa. Pada umumnya, gaya gempa yang terjadi ditahan melalui mekanisme lentur balok kolom. Mekanisme ini sering menimbulkan permasalahan yaitu simpangan yang besar. Oleh sebab itu, diperlukan pengaku lateral untuk menahan gaya gempa yang terjadi.

Pengaku lateral yang sering digunakan yaitu dinding pengisi, dinding geser, dan breising. Dinding pengisi merupakan pasangan bata pada dinding yang biasanya digunakan sebagai pembatas ruangan. Dinding geser merupakan kolom pipih dengan inersia besar yang dipasang hanya pada bagian tertentu. Breising merupakan batang tekan yang hanya mampu menerima gaya aksial. Dari ketiga jenis pengaku lateral ini, pemasangan breising merupakan cara paling mudah untuk dilakukan.

Struktur rangka breising (SRB) bertujuan untuk memberikan kekakuan pada struktur sehingga mampu mengurangi deformasi yang terjadi. Selain itu, sistem rangka breising ini mampu mengefisienkan struktur dari segi berat bangunan. Menurut SNI 03-1729:2002 ada tiga macam konfigurasi sistem rangka yang sering digunakan yaitu struktur rangka pemikul momen (SRPM), struktur rangka breising konsentrik (SRBK), struktur rangka breising eksentrik (SRBE). Diantara ketiga sistem rangka tersebut, Struktur rangka breising konsentrik (SRBK) lebih mengutamakan pada kekuatan strukturnya.


(11)

2

Struktur rangka breising konsentrik memiliki beberapa tipe seperti tipe x, tipe diagonal, tipe v, tipe v-terbalik, tipe x-2 lantai, dan tipe k. Diantara keenam tipe tersebut, SRBK tipe x-2 lantai merupakan yang terbaik. Rangka breising ini dapat menjadi pilihan yang baik bila dibandingkan dengan rangka breising tipe v atau v-terbalik, bila terjadi tekuk pada batang tekan breising, balok akan mengalami defleksi kebawah sebagai akibat dari adanya gaya-gaya yang tidak seimbang pada balok. Defleksi ini dapat mengakibatkan kerusakan pada sistem pelat lantai diatas sambungan tersebut. Sehingga untuk mengantisipasi terjadinya defleksi kebawah pada balok maka diperlukan konfigurasi breising yang mencegah terbentuknya gaya-gaya yang tidak seimbang tersebut dan mendistribusikannya menuju lantai lain yang tidak mengalami defleksi tersebut (Utomo, 2011).

Berdasarkan SNI 1729:2002, Struktur Rangka Pemikul Momen terbagi atas Struktur Rangka Pemikul Momen Khusus (SRPMK), Struktur Rangka Pemikul Momen Terbatas (SRPMT), dan Struktur Rangka Pemikul Momen Biasa (SRPMB). Perbedaan dari ketiga jenis ini terletak pada sambungan, pelat terusan, dan kekompakan penampang. SRPMB diharapkan dapat mengalami deformasi inelastis secara terbatas apabila dibebani oleh gaya-gaya yang berasal dari beban gempa rencana dibandingkan dengan SRPMK dan SRPMT. Sedangkan Struktur Rangka Breising Konsentrik terdiri atas Struktur Rangka Breising Konsentrik Khusus (SRBKK) dan Struktur Rangka Breising Konsentrik Biasa (SRBKB). Perbedaan kedua jenis ini terletak pada sambungan, kekompakan batang breising, dan kolom. SRBKK diharapkan dapat mengalami deformasi inelastis yang besar apabila dibebani oleh gaya-gaya yang berasal dari beban gempa rencana dibandingkan dengan SRBKB.

Untuk mengetahui kinerja suatu struktur, umumnya digunakan analisis statik non-linier yang sering disebut analisis pushover. Analisis pushover dilakukan dengan memberikan suatu pola beban lateral statik pada struktur, yang kemudian secara bertahap ditingkatkan dengan faktor pengali sampai satu target perpindahan lateral dari suatu titik acuan tercapai. Titik acuan disini terjadi pada struktur bagian atas yang memiliki simpangan paling besar. Hasil dari analisis pushover ini berupa kurva yang menggambarkan antara gaya geser dasar (V) terhadap perpindahan titik acuan (FEMA 356, 2000).


(12)

3

Efisiensi dan kinerja dari Struktur Rangka Breising Konsentrik (SRBK) tipe X-2 lantai perlu dibandingkan dengan Struktur Rangka Pemikul Momen (SRPM). Hal ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas pemasangan breising pada struktur rangka. Hasil analisa ini dapat dijadikan acuan dalam pemilihan jenis struktur rangka pada gedung-gedung tinggi. Dengan demikian, maka pada penelitian ini dilakukan kajian untuk mengetahui perbandingan efisiensi dan kinerjaSRPMB dan SRBKK tipe X-2 Lantai dengan analisis statik non-linier pushover. Analisis dibantu program SAP 2000 v.17 dengan analisa pada gedung 10 lantai.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian diatas dapat diambil rumusan masalah yaitu:

1. Bagaimana pengaruh penambahan bresing konsentrik khusus tipe X-2 lantai pada SRPMB terhadap efisiensi struktur ditinjau dari simpangan dan berat material baja?

2. Bagaimana kinerja struktur baja tanpa bresing dan struktur baja dengan bresing konsentrik khusus tipe X-2 lantai dengan metode analisis statik non-linier pushover?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui efisiensi struktur akibat penambahan bresing konsentrik khusus tipe X-2 lantai pada SRPMB ditinjau dari simpangan dan berat material baja.

2. Untuk mengetahui kinerja struktur baja tanpa bresing dan struktur dengan bresing konsentrik khusus tipe X-2 lantai.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini yaitu sebagai pertimbangan bagi perencana struktur baja dalam memilih jenis konstruksi yang lebih efisien, lebih ringan, dan lebih kaku terutama dalam pembangunan gedung-gedung tinggi ataupun bangunan


(13)

4

pengembangan ilmu penggunaan software terutama SAP 2000 dan juga sebagai pengalaman baru dalam teknik mendesain gedung dengan berbasis kinerja.

1.5 Batasan Masalah

Batasan masalah dalam tugas ini yaitu:

1. Tidak membahas mengenai perhitungan pondasi. 2. Tidak membahas mengenai perhitungan sambungan.

3. Dinding dianggap sebagai elemen non-struktur, hanya sebagai beban pada struktur rangka.


(14)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Umum

Pengaku breising pada struktur berperilaku sebagai truss elemen yang hanya menerima gaya aksial baik tekan maupun tarik. Penambahan breising terbukti dapat mengefisienkan berat dari struktur dan kinerja yang lebih baik terhadap ketahanan gempa seperti pada Patung Liberty, Woolworth Tower, dan Empire State Building

(Smith and Coull, 1991).

2.2 Struktur Rangka Pemikul Momen (SRPM)

Struktur rangka pemikul momen (SRPM) adalah struktur yang memiliki rangka ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Beban lateral dipikul oleh rangka pemikul momen melalui mekanisme lentur. SRPM terdiri dari elemen vertikal berupa kolom dan elemen horizontal berupa balok yang terhubung secara kaku membentuk sebuah kotak planar yang mampu menahan gaya lateral berdasarkan kekakuan masing-masing elemen balok kolom.

Berdasarkan SNI 03-1729-2002, rangka baja SRPM dapat diklasifikasikan menjadi, Struktur Rangka Pemikul Momen Khusus (SRPMK), Struktur Rangka Pemikul Momen Terbatas (SRPMT) dan Struktur Rangka Pemikul Momen Biasa (SRPMB). SRPMK didesain untuk memiliki daktilitas yang lebih tinggi dan dapat berdeformasi inelastik pada saat gaya gempa terjadi. Deformasi inelastik akan meningkatkan redaman dan mengurangi kekakuan dari struktur, hal ini terjadi pada saat gempa ringan bekerja pada struktur. Dengan demikian, SRPMK didesain pada gaya gempa yang lebih ringan dibandingkan dengan gaya gempa yang bekerja pada SRPMT dan SRPMB. Pada SRPMB, struktur diharapkan dapat mengalami deformasi inelastik secara terbatas pada komponen struktur dan sambungan-sambungannya akibat gaya gempa rencana. Dengan demikian, pada SRMPB kekakuan yang lebih besar dibandingkan dengan kekakuan pada SRPMK namun SRPMB memiliki daktilitas lebih kecil dari SRPMK untuk beban gempa yang sama.


(15)

6

2.3 Struktur Rangka Pemikul Momen Biasa (SRPMB)

Berdasarkan SNI 1729:2002 pasal 15.9, SRPMB diharapkan dapat mengalami deformasi inelastis secara terbatas pada komponen struktur dan sambungan-sambungannya akibat gaya gempa rencana. SRPMB harus memenuhi persyaratan pada butir-butir di bawah ini.

1. Sambungan balok-ke-kolom

Sambungan balok-ke-kolom harus menggunakan las atau baut mutu tinggi. Dapat digunakan sambungan kaku atau sambungan semi kaku sebagai berikut: a) Sambungan kaku yang merupakan bagian dari Sistem Pemikul Beban Gempa

harus mempunyai kuat lentur perlu Mu yang besarnya paling tidak sama dengan yang terkecil dari:

i. 1,1RyM p balok atau gelagar, atau

ii. Momen terbesar yang dapat disalurkan oleh sistem rangka pada titik terebut. Untuk sambungan dengan sambungan pelat sayap yang dilas, pelapis las dan kelebihan las harus dibuang dan diperbaiki kecuali pelapis pelat sayap atas yang tetap diperbolehkan jika melekat pada pelat sayap kolom dengan las sudut menerus di bawah las tumpul sambungan penetrasi penuh. Las tumpul penetrasi sebagian dan las sudut tidak boleh digunakan untuk memikul gaya tarik pada sambungan; Sebagai alternatif, perencanaan dari semua sambungan balok ke kolom yang digunakan pada Sistem Pemikul Beban Gempa harus didasarkan pada hasil-hasil pengujian kualifikasi yang menunjukkan rotasi inelastis sekurang-kurangnya 0,01 radian.

b) Sambungan semi kaku diizinkan jika syarat-syarat di bawah ini dipenuhi: i. Sambungan tersebut harus memenuhi kekuatan φRn Ru;

ii. Kuat lentur nominal sambungan melebihi nilai yang lebih kecil daripada 50%

M p balok atau kolom yang disambungkan;

iii. Harus mempunyai kapasitas rotasi yang dibuktikan dengan uji beban siklik sebesar yang dibutuhkan untuk mencapai simpangan antar lantai;

iv. Kekakuan dan kekuatan sambungan semi kaku ini harus diperhitungkan dalam perencanaan, termasuk dalam perhitungan stabilitas rangka secara keseluruhan.


(16)

7

2. Pelat terusan

Jika sambungan momen penuh dibuat dengan melas pelat sayap balok atau pelat sambungan untuk sayap balok secara langsung ke pelat sayap kolom maka harus digunakan pelat terusan untuk meneruskan gaya dari pelat sayap balok ke pelat badan kolom. Pelat ini harus mempunyai ketebalan minimum sebesar tebal pelat sayap balok atau pelat sambungan sayap balok. Sambungan pelat terusan ke pelat sayap kolom harus dilakukan dengan las tumpul penetrasi penuh, atau las tumpul penetrasi sebagian dari kedua sisi yang diperkuat dengan las sudut, atau las sudut di kedua sisi dan harus mempunyai kekuatan sama dengan kuat rencana luas bidang kontak antara pelat terusan dengan pelat sayap kolom. Sambungan pelat terusan ke pelat badan kolom harus mempunyai kuat geser rencana sama dengan yang terkecil dari persyaratan berikut:

a) Jumlah kuat rencana dari sambungan pelat terusan ke pelat sayap kolom; b) Kuat geser rencana bidang kontak pelat terusan dengan pelat badan kolom; c) Kuat rencana geser daerah panel;

d) Gaya sesungguhnya yang diteruskan oleh pengaku.

Pelat terusan tidak diperlukan jika model uji sambungan menunjukkan bahwa rotasi plastis yang direncanakan dapat dicapai tanpa menggunakan pelat terusan tersebut.

2.4 Struktur Rangka Breising Konsentrik (SRBK)

Mekanisme keruntuhan direncanakan terjadi pada elemen breising dan pelat buhul sambungan bresing ke balok dan kolom. Pada saat terjadi gempa besar, diharapkan terjadi tekuk pada batang bresing (akibat beban aksial yang diterimanya) sehingga terjadi putaran sudut pada ujung bresing yang kemudian menyebabkan pelat buhul pada sambungan ujung bresing leleh (terjadi sendi plastis).

Struktur rangka breising konsentrik (SRBK) merupakan sistem struktur yang elemen breising diagonalnya bertemu disatu titik. SRBK dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu struktur rangka breising konsentrik biasa (SRBKB) dan struktur rangka breising konsentrik khusus (SRBKK). Rangka


(17)

8

breising konsentrik memiliki beberapa tipe seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1 (SNI 1729:2002).

Gambar 2.1 Tipe-tipe breising konsentrik

(AISC, 2010)

Pada breising konsentrik tipe x-2 lantai merupakan rangka breising x yang dipasang untuk ketinggian 2 lantai seperti terlihat pada Gambar 2.1 (e). Rangka breising ini dapat menjadi pilihan yang baik bila dibandingkan dengan rangka breising tipe v atau v-terbalik, bila terjadi tekuk pada batang tekan breising, balok akan mengalami defleksi kebawah sebagai akibat dari adanya gaya-gaya yang tidak seimbang pada balok. Defleksi ini dapat mengakibatkan kerusakan pada sistem pelat lantai diatas sambungan tersebut. Sehingga untuk mengantisipasi terjadinya defleksi kebawah pada balok maka diperlukan konfigurasi breising yang mencegah terbentuknya gaya-gaya yang tidak seimbang tersebut dan mendistribusikannya menuju lantai lain yang tidak mengalami defleksi tersebut (Utomo, 2011).

Perbandingan mengenai perilaku antara rangka breising konsentrik tipe x-2 lantai dengan tipe v-terbalik ditunjukkan oleh Hewitt, et al, (2009) melalui sebuah skema yang ditunjukkan pada Gambar 2.2.

(a). V-terbalik (b). X-2 lantai

Gambar 2.2 Perbandingan perilaku rangka breising konsentrik tipe v-terbalik dan x-2 lantai


(18)

9

Dapat dilihat pada Gambar 2.2 bahwa pada struktur rangka breising tipe x-2 lantai, gaya-gaya tidak seimbang pada balok didistribusikan melalui batang tarik breising yang berada dilantai atasnya. Hal ini akan mencegah terjadinya defleksi ke bawah pada balok sehingga dapat mencegah kerusakan pada pelat lantai.

2.5 Struktur Rangka Breising Konsentrik Khusus (SRBKK)

Berdasarkan SNI 03 1729:2002, Sistem Rangka Bresing Konsentris Khusus (SRBKK) direncanakan pada bangunan baja yang berada di wilayah gempa menengah hingga besar. Bresing yang digunakan sebagai komponen penahan lateral harus memenuhi parameter sebagai berikut :

 Kelangsingan

Batang bresing harus memenuhi syarat kelangsingan yaitu �� �

√��

 Beban aksial terfaktor pada batang bresing tidak boleh melebihi ϕNc

Perbandingan lebar terhadap tebal penampang bresing tekan yang berperilaku ataupun yang tidak diperkaku harus memenuhi persyaratan-persyaratan berikut ini :

1. Batang bresing harus bersifat kompak, yaitu (λ<λp). Perbandingan lebar

terhadap tebal untuk penampang siku tidak boleh lebih dari

√��.

2. Penampang bulat berongga harus mempunyai perbandingan diameter luar terhadap tebal dinding, kecuali dinding penampang tersebut diberi pengaku 3. Penampang persegi berongga harus mempunyai perbandingan lebar terhadap

tebal dinding kecuali dinding penampang tersebut diberi pengaku.

Berdasarkan SNI 03-1729-2012 Pasal 15.11.4.1, Sistem rangka yang menggunakan Bresing tipe V dan tipe V terbalik harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Balok yang bersilangan dengan batang bresing harus menerus dari kolom ke kolom.

2. Balok yang besilangan dengan batang bresing harus direncanakan untuk memikul pengaruh semua beban mati dan hidup berdasarkan kombinasi pembebanan dengan menganggap bahwa batang bresing tidak ada.


(19)

10

3. Balok yang besilangan dengan batang bresing harus direncanakan untuk memikul pengaruh kombinasi pembebanan kecuali bahwa Qb harus disubtitusikan pada suku E. Qb harus dihitung dengan menggunakan minimum sebesar Ny untuk bresing dalam tarik dan maksimum sebesar 0,3 ϕNc untuk bresing tekan. 4. Sayap-sayap atas dan bawah balok pada titik persilangan dengan batang bresing

harus direncanakan mampu memikul gaya lateral yang besarnya sama dengan 2% kuat nominal sayap balok fy bf tbf

Kolom pada SRBKK harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

 Perbandingan Lebar terhadap Tebal

Perbandingan lebar terhadap tebal penampang kolom dalam tekan yang diberi pengaku ataupun yang tidak diberi pengaku, harus memenuhi persyaratan untuk batang bresing pada penjelasan Perbandingan lebar terhadap tebal sebelumnya

 Penyambungan

Penyambungan kolom pada SRBKK juga harus direncanakan untuk mampu memikul minimal kuat geser nominal dari kolom terkecil yang disambung dari 50% kuat lentur nominal penampang terkecil yang disambung.Penyambungan harus ditempatkan di daerah 1/3 tinggi bersih kolom yang di tengah.

2.6 Kombinasi Beban

Berdasarkan SNI 1727:2013, kombinasi beban dipilih yang menghasilkan efek yang paling tidak baik di dalam bangunan gedung, fondasi, atau komponen struktural yang diperhitungkan. Efek dari satu atau lebih beban yang tidak bekerja harus dipertimbangkan. desainnya sama atau melebihi efek dari beban terfaktor dalam kombinasi berikut:

1. 1,4D

2. 1,2D + 1,6L + 0,5 (Lratau S atau R)

3. 1,2D + 1,6 (Lratau S atau R) + (L atau 0,5W)

4. 1,2D + 1,0W + L + 0,5 (Lr atau S atau R)

5. 1,2D + 1,0E + L + 0,2S

6. 0,9D + 1,0W


(20)

11

dimana:

D = beban mati

E = beban gempa

L = beban hidup

Lr = beban hidup atap

R = beban hujan

W = beban angin

2.7 Sambungan Sederhana

Berdasarkan SNI 1729:2015, sambungan sederhana mengabaikan adanya momen. Pada analisis struktur, sambungan sederhana dianggap memungkinkan terjadinya rotasi relatif tidak terkekang antara elemen yang tersambung bercabang. Sambungan sederhana harus memiliki kapasitas rotasi yang cukup untuk mengakomodasi rotasi perlu yang ditentukan melalui analisis struktur.

Sambungan sederhana atau sambungan sendi biasanya digunakan pada sambungan balok anak ke balok induk, sambungan breising ke balok kolom, dan sambungan pada dudukan kolom baja. Pada sambungan sederhana, momen yang terjadi sama dengan nol, sehingga baut hanya memikul geser.

Ilustrasi sambungan sederhana dapat dilihat pada Gambar 2.3, pada gambar dapat dilihat bahwa sambungan hanya menggunakan baut dan pelat siku sederhana tanpa perlu dilakukan pengelasan. Sambungan baut dilakukan di kedua elemen struktur yang akan disambungkan, jika pada balok anak maka pada bagian web

balok anak dan bagian flange balok induk yang dipasangkan bolt dengan dihubungkan oleh pelat siku.


(21)

12

Gambar 2.3 Jenis-jenis sambungan sendi


(22)

13

2.8 Sambungan Momen

Pada Gambar 2.4 dapat dilihat jenis-jenis sambungan momen. Pada sambungan momen, balok kolom terhubung secara rigid yang tidak memungkinkan terjadi rotasi. Kebutuhan akan baut lebih banyak dibandingkan pada sambungan sederhana.

Gambar 2.4 Jenis-jenis sambungan momen


(23)

14

Berdasarkan SNI 1729:2015, terdapat dua tipe sambungan momen yang boleh digunakan yaitu Tertahan Penuh (TP) dan Tertahan Sebagian (TS) seperti disyaratkan di bawah ini.

a) Sambungan Momen Tertahan Penuh (TP)

Sambungan momen tertahan penuh (TP) menyalurkan momen dengan rotasi yang boleh diabaikan antara komponen struktur yang tersambung. Pada analisis struktur, sambungan ini diasumsikan untuk tidak memungkinkan terjadinya rotasi relatif. Suatu sambungan TP harus memiliki kekuatan dan kekakuan yang cukup untuk mempertahankan sudut antara komponen struktur yang tersambung pada kondisi batas kekuatan.

b) Sambungan Momen Tertahan Sebagian (TS)

Sambungan momen tertahan sebagian (TS) mampu menyalurkan momen, tetapi rotasi antara komponen struktur yang tersambung tidak boleh diabaikan. Pada analisis struktur harus mencakup karakteristik respons gaya-deformasi sambungan. Karakteristik respons sambungan TS harus terdokumentasi dalam literatur teknis atau ditetapkan dengan analisis atau merupakan hasil rata-rata eksperimental. Elemen komponen sambungan TS harus memiliki kekuatan, kekakuan dan kapasitas deformasi yang cukup pada kondisi batas kekuatan.

2.9 Perencanaan Berbasis Kinerja

Menurut Dewobroto (2006), konsep perencanaan berbasis kinerja (performance based design) merupakan kombinasi dari aspek tahanan dan aspek layan, sehingga bisa diketahui kemampuan suatu struktur dalam menerima beban gempa (kapasitas) dan besarnya beban gempa yang akan diterima oleh struktur tersebut (demand), maka dari itu akan bisa direncanakan suatu stuktur tahan gempa yang ekonomis. Sasaran kinerja terdiri dari kejadian gempa rencana yang ditentukan (earthquake hazard), dan taraf kerusakan yang diizinkan atau level kinerja (performance level) dari bangunan terhadap kejadian gempa tersebut seperti pada Gambar 2.5. Mengacu pada Federal Emergency Management Agency

(FEMA)-273 (1997) yang menjadi acuan klasik bagi perencanaan berbasis kinerja, kategori level kinerja struktur, adalah:


(24)

15

a. Bangunan dapat dihuni, namun tidak dapat digunakan sepenuhnya, perlu dilakukan perbaikan dan pembersihan (IO = Immediate Occupancy), b. Bangunan masih aman saat terjadi gempa, namun tidak setelahnya (LS =

Life-Safety),

c. Bangunan diambang kehancuran, kemungkinan rugi total (CP = Collapse Prevention).

Analisis pushover menghasilkan kurva pushover (Gambar 2.5), kurva yang menggambarkan hubungan antara gaya geser dasar (V) versus perpindahan titik acuan pada atap (D). Pada proses pushover, struktur didorong sampai mengalami leleh disatu atau lebih lokasi di struktur tersebut. Kurva kapasitas akan memperlihatkan suatu kondisi linier sebelum mencapai kondisi leleh dan selanjutnya berperilaku non-linier.

Gambar 2. 5 Rekayasa gempa berbasis kinerja (ATC 58)

(Sumber: FEMA 273, 1997)

2.10Metode Analisis Statik Non-Linier Pushover

Analisa statik non-linier merupakan prosedur analisa untuk mengetahui perilaku keruntuhan bangunan terhadap gempa. Analisa statik non-linier juga dikenal sebagai analisa pushover atau analisa beban dorong statik. Analisa pushover

dilakukan dengan memberikan suatu pola beban lateral statik pada struktur, yang kemudian secara bertahap ditingkatkan dengan faktor pengali sampai satu target


(25)

16

perpindahan lateral dari suatu titik acuan tercapai. Biasanya titik tersebut adalah titik pada struktur bagian atas.

Analisa pushover menghasilkan kurva kapasitas yang terlihat pada Gambar 2.6, kurva yang menggambarkan antara gaya geser dasar (V) terhadap perpindahan titik acuan pada struktur bagian atas (D). Pada proses pushover struktur didorong sampai mengalami leleh disatu atau lebih lokasi distruktur tersebut. Kurva kapasitas akan memperlihatkan suatu kondisi linier sebelum mencapai kondisi leleh dan selanjutnya berperilaku non-linier.

Kurva pushover dipengaruhi oleh pola distribusi gaya lateral yang digunakan sebagai beban dorong. Tujuan analisa pushover adalah untuk memperkirakan gaya maksimum dan deformasi yang terjadi serta untuk memperoleh informasi bagian mana saja yang kritis. Selanjutnya dapat diidentifikasi bagian-bagian yang memerlukan perhatian khusus untuk pendetailan atau stabilitasnya.

Untuk mendapatkan nilai leleh pertama serta beban puncak dalam menggunakan analisa dengan peraturan FEMA 356 dimana nilai beban leleh pertama (Vy) dan beban maksimum (Vd) langsung ditentukan melalui penarikan garis yang memotong kurva perpindahan hubungan antara gaya geser dasar (V) terhadap perpindahan titik acuan pada struktur bagian atas (D).

Gambar 2.6 Definisi leleh pertama (Vy) dan leleh maksimum (Vd)


(26)

17

Tahapan utama dalam analisa pushover adalah:

1. Menentukan titik kontrol untuk memonitor besarnya perpindahan struktur. Rekaman besarnya perpindahan titik kontrol dan gaya geser dasar digunakan untuk menyusun kurva pushover.

2. Membuat kurva pushover berdasarkan pola distribusi gaya lateral terutama yang ekivalen dengan distribusi dari gaya inersia, sehingga diharapkan deformasi yang terjadi hampir sama atau mendekati deformasi yang terjadi akibat gempa. 3. Estimasi besarnya perpindahan lateral saat gempa rencana (target perpindahan).

Titik kontrol didorong sampai taraf perpindahan tersebut, yang mencerminkan perpindahan maksimum yang diakibatkan oleh intensitas gempa rencana yang ditentukan.

4. Mengevaluasi level kinerja struktur ketika titik kontrol tepat berada pada target perpindahan. Komponen struktur dan aksi perilakunya dapat dianggap memuaskan jika memenuhi kriteria yang dari awal sudah ditetapkan, baik terhadap persyaratan deformasi maupun kekuatan. Karena yang dievaluasi adalah komponen maka jumlahnya relatif sangat banyak, oleh karena itu proses ini sepenuhnya harus dikerjakan oleh computer (fasilitas pushover dan evaluasi kinerja yang terdapat secara built-in pada program SAP 2000, mengacu pada FEMA - 440).

2.11Kurva Kapasitas

Kurva kapasitas hasil dari analisis statik beban dorong menunjukkan hubungan antara gaya geser dasar (base shear) dan perpindahan atap akibat beban lateral yang diberikan pada struktur dengan pola pembebanan tertentu sampai pada kondisi ultimit atau target peralihan yang diharapkan (Gambar 2.7). Kurva kapasitas akan memperlihatkan suatu kondisi linier sebelum mencapai kondisi leleh dan selanjutnya berperilaku non-linier. Perubahan perilaku struktur dari linier menjadi non-linier berupa penurunan kekakuan yang diindikasikan dengan penurunan kemiringan kurva akibat terbentuknya sendi plastis pada balok dan kolom. Sendi plastis akibat momen lentur terjadi pada struktur jika beban yang bekerja melebihi kapasitas momen lentur yang ditinjau. Semakin banyak sendi plastis yang terjadi berarti kinerja struktur semakin bagus karena semakin banyak


(27)

18

terjadi pemancaran energi melalui terbentuknya sendi plastis sebelum kapasitas struktur terlampaui.

Gambar 2. 7 Kurva Kapasitas

(Dewobroto, 2005)

Kurva kapasitas dipengaruhi oleh pola distribusi gaya lateral yang digunakan sebagai beban dorong. Pola pembebanan umumnya berupa respon ragam-1 struktur (atau dapat juga berupa beban statik ekivalen) berdasarkan asumsi bahwa ragam struktur yang dominan adalah ragam-1. Beban dorong statik lateral diberikan pada pusat massa sampai dicapai target perpindahan. Tujuan lain analisa

pushover adalah untuk memperkirakan gaya maksimum dan deformasi yang terjadi, serta untuk memperoleh informasi letak bagian struktur yang kritis. Selanjutnya dapat diidentifikasi bagian-bagian yang memerlukan perhatian khusus untuk pendetailan atau stabilitasnya (Dewobroto, 2005).

2.12Batas Kinerja

Berdasarkan filosofi desain yang ada, tingkat kinerja struktur bangunan akibat gempa rencana adalah Life Safety, yaitu walaupun struktur bangunan mengalami tingkat kerusakan yang cukup parah namun keselamatan penghuni tetap terjaga karena struktur bangunan tidak sampai runtuh. Pada Gambar 2.8, respon linier dimulai dari titik A (unloaded component) dan kelelehan mulai terjadi pada titik B. Respon dari titik B ke titik C merupakan respon elastis plastis. Titik C merupakan titik yang menunjukkan puncak kekuatan komponen, dan nilai absisnya yang merupakan deformasi menunjukkan dimulainya degradasi kekuatan struktur (garis C-D). Pada titik D, respon komponen struktur secara substansial menghadapi


(28)

19

pengurangan kekuatan menuju titik E. Untuk deformasi yang lebih besar dari titik E, kekuatan komponen struktur menjadi nol (FEMA 451, 2006).

Gambar 2. 8 Kurva Kriteria Keruntuhan

(Sumber: FEMA 356, 2000)

Antara titik B dan C terdapat titik-titik yang merupakan level kinerja dari struktur bangunan. Level kinerja bangunan berdasarkan ATC-40, (1996) dibedakan menjadi:

1. Immediate Occupancy (IO)

Kondisi yang menjelaskan bahwa setelah terjadinya gempa, kerusakan struktur sangat terbatas. Sistem penahan beban vertikal dan lateral bangunan hamper sama dengan kondisi sebelum terjadinya gempa, dan resiko korban jiwa akibat keruntuhan struktur dapat diabaikan.

2. Life Safety (LS)

Kondisi yang menjelaskan bahwa setelah terjadinya gempa, kerusakan yang penting terhadap struktur terjadi. Komponen utama struktur tidak terdislokasi dan runtuh, sehingga risiko korban jiwa terhadap kerusakan struktur sangat rendah.

3. Structural Stability / Collapse Prevention (CP)

Pada tingkatan ini, kondisi struktur setelah terjadinya gempa sangat parah, sehingga bangunan dapat mengalami keruntuhan struktur baik sebagian maupun total. Meskipun struktur masih bersifat stabil, kemungkinan terjadinya korban jiwa akibat kerusakan struktur besar. Dalam dokumen FEMA 273, kondisi structural stability dikenal dengan istilah Collapse Prevention (CP).

DEFORMATION

F

ORC


(1)

14 Berdasarkan SNI 1729:2015, terdapat dua tipe sambungan momen yang boleh digunakan yaitu Tertahan Penuh (TP) dan Tertahan Sebagian (TS) seperti disyaratkan di bawah ini.

a) Sambungan Momen Tertahan Penuh (TP)

Sambungan momen tertahan penuh (TP) menyalurkan momen dengan rotasi yang boleh diabaikan antara komponen struktur yang tersambung. Pada analisis struktur, sambungan ini diasumsikan untuk tidak memungkinkan terjadinya rotasi relatif. Suatu sambungan TP harus memiliki kekuatan dan kekakuan yang cukup untuk mempertahankan sudut antara komponen struktur yang tersambung pada kondisi batas kekuatan.

b) Sambungan Momen Tertahan Sebagian (TS)

Sambungan momen tertahan sebagian (TS) mampu menyalurkan momen, tetapi rotasi antara komponen struktur yang tersambung tidak boleh diabaikan. Pada analisis struktur harus mencakup karakteristik respons gaya-deformasi sambungan. Karakteristik respons sambungan TS harus terdokumentasi dalam literatur teknis atau ditetapkan dengan analisis atau merupakan hasil rata-rata eksperimental. Elemen komponen sambungan TS harus memiliki kekuatan, kekakuan dan kapasitas deformasi yang cukup pada kondisi batas kekuatan.

2.9 Perencanaan Berbasis Kinerja

Menurut Dewobroto (2006), konsep perencanaan berbasis kinerja (performance based design) merupakan kombinasi dari aspek tahanan dan aspek layan, sehingga bisa diketahui kemampuan suatu struktur dalam menerima beban gempa (kapasitas) dan besarnya beban gempa yang akan diterima oleh struktur tersebut (demand), maka dari itu akan bisa direncanakan suatu stuktur tahan gempa yang ekonomis. Sasaran kinerja terdiri dari kejadian gempa rencana yang ditentukan (earthquake hazard), dan taraf kerusakan yang diizinkan atau level kinerja (performance level) dari bangunan terhadap kejadian gempa tersebut seperti pada Gambar 2.5. Mengacu pada Federal Emergency Management Agency

(FEMA)-273 (1997) yang menjadi acuan klasik bagi perencanaan berbasis kinerja, kategori level kinerja struktur, adalah:


(2)

15 a. Bangunan dapat dihuni, namun tidak dapat digunakan sepenuhnya, perlu

dilakukan perbaikan dan pembersihan (IO = Immediate Occupancy), b. Bangunan masih aman saat terjadi gempa, namun tidak setelahnya (LS =

Life-Safety),

c. Bangunan diambang kehancuran, kemungkinan rugi total (CP = Collapse Prevention).

Analisis pushover menghasilkan kurva pushover (Gambar 2.5), kurva yang menggambarkan hubungan antara gaya geser dasar (V) versus perpindahan titik acuan pada atap (D). Pada proses pushover, struktur didorong sampai mengalami leleh disatu atau lebih lokasi di struktur tersebut. Kurva kapasitas akan memperlihatkan suatu kondisi linier sebelum mencapai kondisi leleh dan selanjutnya berperilaku non-linier.

Gambar 2. 5 Rekayasa gempa berbasis kinerja (ATC 58) (Sumber: FEMA 273, 1997)

2.10Metode Analisis Statik Non-Linier Pushover

Analisa statik non-linier merupakan prosedur analisa untuk mengetahui perilaku keruntuhan bangunan terhadap gempa. Analisa statik non-linier juga dikenal sebagai analisa pushover atau analisa beban dorong statik. Analisa pushover

dilakukan dengan memberikan suatu pola beban lateral statik pada struktur, yang kemudian secara bertahap ditingkatkan dengan faktor pengali sampai satu target


(3)

16 perpindahan lateral dari suatu titik acuan tercapai. Biasanya titik tersebut adalah titik pada struktur bagian atas.

Analisa pushover menghasilkan kurva kapasitas yang terlihat pada Gambar 2.6, kurva yang menggambarkan antara gaya geser dasar (V) terhadap perpindahan titik acuan pada struktur bagian atas (D). Pada proses pushover struktur didorong sampai mengalami leleh disatu atau lebih lokasi distruktur tersebut. Kurva kapasitas akan memperlihatkan suatu kondisi linier sebelum mencapai kondisi leleh dan selanjutnya berperilaku non-linier.

Kurva pushover dipengaruhi oleh pola distribusi gaya lateral yang digunakan sebagai beban dorong. Tujuan analisa pushover adalah untuk memperkirakan gaya maksimum dan deformasi yang terjadi serta untuk memperoleh informasi bagian mana saja yang kritis. Selanjutnya dapat diidentifikasi bagian-bagian yang memerlukan perhatian khusus untuk pendetailan atau stabilitasnya.

Untuk mendapatkan nilai leleh pertama serta beban puncak dalam menggunakan analisa dengan peraturan FEMA 356 dimana nilai beban leleh pertama (Vy) dan beban maksimum (Vd) langsung ditentukan melalui penarikan garis yang memotong kurva perpindahan hubungan antara gaya geser dasar (V) terhadap perpindahan titik acuan pada struktur bagian atas (D).

Gambar 2.6 Definisi leleh pertama (Vy) dan leleh maksimum (Vd) (Sumber: FEMA 440, 2005)


(4)

17 Tahapan utama dalam analisa pushover adalah:

1. Menentukan titik kontrol untuk memonitor besarnya perpindahan struktur. Rekaman besarnya perpindahan titik kontrol dan gaya geser dasar digunakan untuk menyusun kurva pushover.

2. Membuat kurva pushover berdasarkan pola distribusi gaya lateral terutama yang ekivalen dengan distribusi dari gaya inersia, sehingga diharapkan deformasi yang terjadi hampir sama atau mendekati deformasi yang terjadi akibat gempa. 3. Estimasi besarnya perpindahan lateral saat gempa rencana (target perpindahan).

Titik kontrol didorong sampai taraf perpindahan tersebut, yang mencerminkan perpindahan maksimum yang diakibatkan oleh intensitas gempa rencana yang ditentukan.

4. Mengevaluasi level kinerja struktur ketika titik kontrol tepat berada pada target perpindahan. Komponen struktur dan aksi perilakunya dapat dianggap memuaskan jika memenuhi kriteria yang dari awal sudah ditetapkan, baik terhadap persyaratan deformasi maupun kekuatan. Karena yang dievaluasi adalah komponen maka jumlahnya relatif sangat banyak, oleh karena itu proses ini sepenuhnya harus dikerjakan oleh computer (fasilitas pushover dan evaluasi kinerja yang terdapat secara built-in pada program SAP 2000, mengacu pada FEMA - 440).

2.11Kurva Kapasitas

Kurva kapasitas hasil dari analisis statik beban dorong menunjukkan hubungan antara gaya geser dasar (base shear) dan perpindahan atap akibat beban lateral yang diberikan pada struktur dengan pola pembebanan tertentu sampai pada kondisi ultimit atau target peralihan yang diharapkan (Gambar 2.7). Kurva kapasitas akan memperlihatkan suatu kondisi linier sebelum mencapai kondisi leleh dan selanjutnya berperilaku non-linier. Perubahan perilaku struktur dari linier menjadi non-linier berupa penurunan kekakuan yang diindikasikan dengan penurunan kemiringan kurva akibat terbentuknya sendi plastis pada balok dan kolom. Sendi plastis akibat momen lentur terjadi pada struktur jika beban yang bekerja melebihi kapasitas momen lentur yang ditinjau. Semakin banyak sendi plastis yang terjadi berarti kinerja struktur semakin bagus karena semakin banyak


(5)

18 terjadi pemancaran energi melalui terbentuknya sendi plastis sebelum kapasitas struktur terlampaui.

Gambar 2. 7 Kurva Kapasitas (Dewobroto, 2005)

Kurva kapasitas dipengaruhi oleh pola distribusi gaya lateral yang digunakan sebagai beban dorong. Pola pembebanan umumnya berupa respon ragam-1 struktur (atau dapat juga berupa beban statik ekivalen) berdasarkan asumsi bahwa ragam struktur yang dominan adalah ragam-1. Beban dorong statik lateral diberikan pada pusat massa sampai dicapai target perpindahan. Tujuan lain analisa

pushover adalah untuk memperkirakan gaya maksimum dan deformasi yang terjadi, serta untuk memperoleh informasi letak bagian struktur yang kritis. Selanjutnya dapat diidentifikasi bagian-bagian yang memerlukan perhatian khusus untuk pendetailan atau stabilitasnya (Dewobroto, 2005).

2.12Batas Kinerja

Berdasarkan filosofi desain yang ada, tingkat kinerja struktur bangunan akibat gempa rencana adalah Life Safety, yaitu walaupun struktur bangunan mengalami tingkat kerusakan yang cukup parah namun keselamatan penghuni tetap terjaga karena struktur bangunan tidak sampai runtuh. Pada Gambar 2.8, respon linier dimulai dari titik A (unloaded component) dan kelelehan mulai terjadi pada titik B. Respon dari titik B ke titik C merupakan respon elastis plastis. Titik C merupakan titik yang menunjukkan puncak kekuatan komponen, dan nilai absisnya yang merupakan deformasi menunjukkan dimulainya degradasi kekuatan struktur (garis C-D). Pada titik D, respon komponen struktur secara substansial menghadapi


(6)

19 pengurangan kekuatan menuju titik E. Untuk deformasi yang lebih besar dari titik E, kekuatan komponen struktur menjadi nol (FEMA 451, 2006).

Gambar 2. 8 Kurva Kriteria Keruntuhan (Sumber: FEMA 356, 2000)

Antara titik B dan C terdapat titik-titik yang merupakan level kinerja dari struktur bangunan. Level kinerja bangunan berdasarkan ATC-40, (1996) dibedakan menjadi:

1. Immediate Occupancy (IO)

Kondisi yang menjelaskan bahwa setelah terjadinya gempa, kerusakan struktur sangat terbatas. Sistem penahan beban vertikal dan lateral bangunan hamper sama dengan kondisi sebelum terjadinya gempa, dan resiko korban jiwa akibat keruntuhan struktur dapat diabaikan.

2. Life Safety (LS)

Kondisi yang menjelaskan bahwa setelah terjadinya gempa, kerusakan yang penting terhadap struktur terjadi. Komponen utama struktur tidak terdislokasi dan runtuh, sehingga risiko korban jiwa terhadap kerusakan struktur sangat rendah.

3. Structural Stability / Collapse Prevention (CP)

Pada tingkatan ini, kondisi struktur setelah terjadinya gempa sangat parah, sehingga bangunan dapat mengalami keruntuhan struktur baik sebagian maupun total. Meskipun struktur masih bersifat stabil, kemungkinan terjadinya korban jiwa akibat kerusakan struktur besar. Dalam dokumen FEMA 273, kondisi structural stability dikenal dengan istilah Collapse Prevention (CP).

DEFORMATION

F

ORC