Studi Deskriptif Mengenai Derajat Stres Kerja Pada Customer Service Representative (CSR) PT 'X' Bandung.

(1)

Bandung. Penelitian ini dirancang sebagai penelitian deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode survey dan analisis data distribusi frekuensi. Penelitian dilakukan dengan menyebarkan kuesioner derajat stress kerja kepada populasi CSR yang ada di PT. ‘X’ Bandung, yakni sejumlah 30 orang responden.

Alat ukur yang digunakan merupakan modifikasi dari teori stress kerja Luthans (1992). Alat ukur ini tediri dari 20 item yang mengukur gejala fisiologis, 20 item yang mengukur gejala psikologis, dan 20 item yang mengukur gejala perilaku. Uji coba instrument memberikan hasil 17 item valid untuk aspek aspek gejala fisiologis, 14 item valid untuk aspek gejala psikologis, dan 14 item untuk aspek gejala perilaku. Koefisien reliabilitas berdasarkan uji alpha cronbach sebesar 0,935, dengan tingkat reliabilitas sangat tinggi. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa derajat stress kerja yang dialami oleh mayoritas Customer Service Representative (CSR) di PT. ‘X’ Bandung berada pada tingkat sedang.

Kesimpulan yang diperoleh bahwa mayoritas CSR di PT. ‘X’ Bandung memiliki derajat stress kerja yang berada pada tingkat sedang. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa tipe kepribadian, tingkat pendidikan, serta lama masa kerja mempengaruhi derajat stress kerja CSR.

Peneliti menganjurkan agar dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai stress kerja pada bidang pelayanan publik yang lain seperti polisi, pemadam kebakaran, atau teller bank. Selain itu juga dapat dilakukan penelitian mengenai stress kerja dan macam-macam tipe kepribadian. Bagi perusahaan, peneliti menyarankan agar perusahaan meningkatkan komunikasi dengan CSR terutama mengenai kebijakan yang seringkali berubah-ubah. Sedangkan bagi CSR, peneliti menyarankan agar CSR melakukan relaksasi setiap kali memiliki waktu luang untuk mengatasi gejala stress yang mereka alami.


(2)

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...iii

DAFTAR TABEL...vi

DAFTAR BAGAN... vii

DAFTAR LAMPIRAN...viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2 Identifikasi Masalah...10

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian...10

1.3.2 Tujuan Penelitian...10

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis...11

1.4.2 Kegunaan Praktis...11

1.5 Kerangka Pemikiran...11

1.6 Asumsi...20

BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1Stres Kerja 2.1.1 Pengertian Stres...21


(3)

2.1.2Pengertian Stres Kerja...22

2.2 Penyebab Stres Kerja 2.2.1 Extraorganizational Stressor...24

2.2.2 Organizational Stressor...25

2.2.3 Group Stressor...28

2.2.4 Individual Stressor...28

2.3 Perbedaan Individu 2.3.1 Tipe Kepribadian...29

2.3.2 Personal Control...31

2.3.3 Learn Helplessness...31

2.3.4 Psychological Hardiness...32

2.4 Dampak Stres Kerja 2.4.1 Dampak Fisiologis...33

2.4.2 Dampak Psikologis...36

2.4.3 Dampak Perilaku...37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian...38

3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 3.2.1 Variabel Penelitian...39

3.2.2 Definisi Operasional...39

3.3. Alat Ukur 3.3.1 Alat Ukur Stres Kerja...40


(4)

Universitas Kristen Maranatha

3.3.3 Sistem Penilaian...41

3.3.4 Data Pribadi dan Data Penunjang... 43

3.4 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 3.4.1 Validitas Alat Ukur...43

3.4.2 Reliabilitas Alat Ukur...45

3.5 Populasi Sasaran...46

3.6 Teknik Analisis Data...46

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Identitas Responden...48

4.1.2 Hasil Penelitian...49

4.2 Pembahasan...52

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan...62

5.2 Saran...63

DAFTAR PUSTAKA...65

DAFTAR RUJUKAN...66 LAMPIRAN


(5)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.3 Kisi-Kisi Alat Ukur………40 Tabel 4.1 Gambaran Populasi………48 Tabel 4.2 Frekuensi dan Persentase Kriteria Derajat Stress Kerja…….………....50 Tabel 4.3 Gambaran Derajat Stres Kerja CSR dan Aspek-aspeknya……….51


(6)

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Kerangka Pikir………..………19 Bagan 2.1 Makrolevel Stressor………..…………27 Bagan 3.1 Rancangan Penelitian………38


(7)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Item Lampiran 2 Skor Responden untuk Seluruh Item Lampiran 3 Skor Responden untuk Item Valid Lampiran 4 Skor Responden untuk Aspek Fisiologis Lampiran 5 Skor Responden untuk Aspek Psikologis Lampiran 6 Skor Responden untuk Aspek Perilaku Lampiran 7

7.1 Tabulasi silang Derajat Stres dengan Tipe Kepribadian 7.2 Tabulasi silang Derajat Stres dengan Personal Control 7.3 Tabulasi silang Derajat Stres dengan Psychological Hardiness Lampiran 8

8.1 Tabulasi silang Derajat Stres dengan Learn Helplessness 8.2 Tabulasi silang Derajat Stres dengan Jenis Kelamin 8.3 Tabulasi silang Derajat Stres dengan Usia

Lampiran 9

9.1 Tabulasi silang Derajat Stres dengan tingkat pendidikan 9.2 Tabulasi silang Derajat Stres dengan lama bekerja 9.3 Tabulasi silang Derajat Stres dengan status pernikahan Lampiran 10 Frekuensi dan Persentase Sumber Stres Kerja Lampiran 11 Kuesioner Derajat Stres Kerja


(8)

Universitas Kristen Maranatha Lampiran 13 Profile Perusahaan PT. ‘X’


(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Dewasa ini perkembangan di sektor industri dan organisasi dirasakan semakin pesat. Seiring dengan perkembangan tersebut, sumber daya manusia memegang peranan penting dalam menunjang kemajuan dan peningkatan di bidang industri dan organisasi. Oleh karena itu, faktor tenaga manusia haruslah mendapatkan perhatian yang lebih nyata agar lebih efisien, produktif, dan prestasi kerjanya dapat ditingkatkan (Amaliyah, 2007).

Sumber daya manusia merupakan otak penggerak organisasi yang berperan penting dalam profitability suatu perusahaan. Sumber daya manusia bersifat unik sehingga pengelolaannya juga bersifat unik. Sumber daya manusia bukanlah mesin yang dapat dengan mudah didepresiasikan nilainya untuk mengetahui sejauh mana kontribusinya pada kinerja organisasi untuk kemudian diganti dengan mesin baru yang lebih fresh. Pengelolaan sumber daya manusia harus memperhatikan aspek psikologis disamping aspek fisiologisnya (Palupiningdyah, 2000).

Stres pada pekerja merupakan salah satu isu pengelolalan sumber daya manusia yang makin diperhatikan oleh organisasi saat ini. Penelitian terhadap dampak stres kerja pada pekerja di Indonesia menunjukkan bahwa dampak dari stres kerja, secara fisiologis, bisa hanya berupa gangguan tidur dan sakit kepala, hingga jantung koroner dan hipertensi. Hal ini juga terjadi pada pekerja di


(10)

Universitas Kristen Maranatha Indonesia dimana stress kerja juga menimbulkan absenteisme dan kecelakaan kerja yang cukup tinggi di kalangan karyawan. Penurunan jam kerja akibat absenteisme, produktivitas rendah, penyakit dan kecelakaan kerja, berdampak langsung terhadap pemasukan organisasi ditambah lagi dengan pengeluaran dalam bentuk biaya pengobatan karyawan yang sakit atau cedera. (KOMPAS Cyber Media, 2002).

Manusia merupakan kesatuan tak terpisahkan antara dua aspek yang berbeda yaitu jiwa dan raga. Di satu sisi aspek fisik atau raga dapat dilihat, diraba, tampak nyata oleh indera manusia, disisi lain aspek kejiwaan (psikologis) adalah aspek yang bersifat abstrak, tidak dapat diraba, tidak tampak oleh mata manusia. Segala perilaku atau tingkah laku manusia tidak akan terlepas dari pengaruh aspek fisik dan psikologisnya. Oleh karena itu, semua yang dirasakan atau dialami oleh kejiwaan akan terasa pula oleh raganya. (Rene Descartes, dalam Psikologi Umum, Sobur, 2003)

Stress adalah rasa takut dan cemas dari perasaan dan tubuh kita terhadap perubahan di lingkungan. Secara fisiologis, bila ada sesuatu yang mengancam, kelenjar pituitary otak mengirimkan "'alarm" dan hormon ke kelenjar endokrin, yang kemudian mengalirkan hormon adrenalin dan hidrokortison ke dalam darah. Hasilnya, tubuh menjadi siap untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan yang muncul. Secara alamiah yang individu akan merasakan degup jantung yang berpacu lebih cepat, dan keringat dingin di tengkuk. Akan tetapi, penyesuaian tubuh ini dapat menyebabkan gangguan baik fisik maupun psikis. Adanya hormon adrenalin dan hidrokortison yang dihasilkan sebagai reaksi tubuh terhadap stress


(11)

bila berlebihan dan berlangsung dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan rangkaian reaksi dari organ tubuh yang lain. (http://ictjogja.net/kesehatan)

Erfandi (www.prohealth.com,2009) menyebutkan bahwa pekerjaan yang berhubungan dengan pelayanan terhadap orang lain seperti customer service, pengatur lalu lintas, pemadam kebakaran, dan perawat rumah sakit merupakan sebagian jenis pekerjaan yang dinilai memiliki tingkat stres kerja yang tinggi. Petugas customer service pada perusahaan menghadapi tuntutan yang sangat besar dalam menjalani pekerjaannya. Hal ini dapat menyebabkan, tekanan ketika berhadapan dengan pelanggan, work overload, dan konflik peran. Situasi tersebut sering dihadapi dan kerap menjadi stressor bagi mereka. (http://lib.atmajaya.ac.id) Salah satu jenis pekerjaan yang langsung berhubungan dengan pelayanan terhadap orang lain adalah customer cervice. Customer service atau layanan pelanggan sendiri adalah suatu bagian dari sebuah instansi atau perusahaan baik bersifat negeri maupun swasta. Tugasnya adalah untuk menangani dan menjawab kritik, saran, laporan, dan pertanyaan mengenai produk, jasa, dan berita instansi atau perusahaan tersebut dan dilakukan oleh pihak konsumen atau pelanggan (SmarterDOS, 2009).

Salah satu perusahaan yang memiliki bagian Customer service adalah PT.’X’ Bandung. Keberadaan Customer Service Representative (CSR) Di PT.’X’ Bandung adalah sebagai frontliner, yakni sebagai pihak yang mewaliki perusahaan untuk berinteraksi langsung dengan pelanggan dan berbagai macam permasalahannya. Customer Service Representative (CSR) di PT.’X’ Bandung berperan sebagai ujung tombak perusahaan, karena merekalah yang melayani


(12)

Universitas Kristen Maranatha pelanggan secara langsung, mewakili citra perusahaan atas pelayanan yang diberikan, sehingga diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pelanggan hingga pelanggan merasa puas dan tetap bertahan menggunakan jasa PT. ”X”.

Dari data hasil wawancara dengan Supervisor CSR (2009), diperoleh informasi bahwa secara garis besar seorang CSR memiliki tugas untuk melayani kebutuhan dan keluhan pelanggan atas produk dan layanan jasa yang disediakan oleh PT.’X’. Berbeda dari CSR di perusahaan lainnya, CSR di PT.’X’ Bandung memiliki tugas bukan hanya untuk melayani kebutuhan dan keluhan pelanggan saja, tetapi juga melakukan beberapa transaksi keungan dengan pelanggan seperti penjualan materai untuk melengkapi berkas, pelayanan klaim, dan layanan penjualan.

Customer Service Representative (CSR) di PT.’X’ Bandung merupakan karyawan outsource. Perusahaan outsourcing yang mempekerjakan para CSR ini merupakan anak perusahaan dari PT. ’X’, yang menyalurkan tenaga-tenaga kerja outsource khusus bagi PT. ’X’ dan bagi anak-anak perusahaan PT.’X’.Para CSR dikontrak untuk periode waktu tertentu, yakni minimal satu tahun dan dapat diperpanjang sesuai keinginan perusahaan. Meskipun tidak ada jangka waktu yang tetap, namun CSR ini akan diberhentikan ketika mereka hamil. Para CSR ini tidak memiliki kesempatan untuk meningkatkan jenjang karirnya, tidak ada kesempatan untuk promosi baik dalam perusahaan maupun di dalam outsourcing itu sendiri. Kebijakan terbaru yang ditetapkan di awal tahun 2010 adalah dengan diberlakukannya sistem amandemen, yakni dimana para CSR ini hanya dikontrak


(13)

per 3 bulan, namun tidak ada pemberitahuan kepada mereka apakah CSR ini akan diperpanjang atau diberhentikan jauh hari sebelumnya.

CSR di PT.’X’ Bandung bekerja mulai dari pukul 08.00 sampai dengan pukul 16.00 setiap harinya, namun bila ada berkas pekerjaan yang belum selesai, maka para CSR ini harus bekerja lembur dan pulang lebih lama dari biasanya. Biasanya CSR bekerja lembur selama 2-4 jam, namun upah lembur baru dihitung mulai pukul 18.00, sejumlah 5000 rupiah per jam. Di akhir pekan (Sabtu dan Minggu) CSR ini tetap harus bekerja dan melayani pelanggan yang datang. Para CSR bergantian mendapatkan tugas piket akhir pekan sebanyak 2 kali dalam sebulan secara bergiliran. Kebijakan terbaru yang diterapkan saat ini yakni jadwal piket pagi selama seminggu, CSR ditugaskan untuk membuka plasa lebih awal yakni pada pukul 07.30, sehingga CSR yang mendapatkan tugas piket pagi ini jam kerja nya jauh lebih lama dibanding teman-temannya yang lain. Pada siang hari para CSR ini memiliki waktu 60 menit untuk beristirahat, dan jam istirahat ini dilakukan secara shift / bergantian. Bila jumlah pelanggan yang datang hari itu sangat banyak, maka waktu istirahat para CSR ini dapat menjadi lebih singkat karena mereka harus melayani pelanggan agar tidak terlalu lama menunggu.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Supervisor CSR, diperoleh data bahwa terjadi turn over Customer Service Representative (CSR) yang cukup tinggi. Jumlah CSR pada akhir tahun 2009 yakni sebanyak 47 orang. Di awal tahun 2010, sebanyak 7 orang CSR mengundurkan diri. Kemudian di bulan Maret 2010 sebanyak 5 orang CSR mengundurkan diri, dan di awal bulan Juni sebanyak 3 orang CSR berencana untuk mengundurkan diri. Selain keinginan untuk


(14)

Universitas Kristen Maranatha berhenti kerja, gejala lain yang ditampilkan oleh para CSR di PT.’X’ Bandung adalah menurunnya kepuasan kerja CSR.

Para CSR ini seringkali mengeluhkan tentang tidak jelasnya kebijakan organisasi yang berlaku, minimnya uang lembur, tidak adanya reward meskipun mereka telah bekerja dengan sangat baik, kurangnya kerjasama antara CSR dengan back officer, dan beban kerja yang dirasa cukup berat. Selain banyaknya CSR yang mengundurkan diri, dari survey awal yang dilakukan juga data mengenai banyaknya CSR yang sering absen dalam menjalankan tugas piket di akhir pekan. Setiap hari Sabtu dan Minggu seharusnya ada 5-6 orang CSR yang melaksanakan piket, namun kenyataannya seringkali hanya ada 3-4 orang CSR saja. Menurut Luthans, adanya turn over, menurunnya kepuasan kerja, serta ketidakhadiran (absenteism) merupakan dampak dari adanya stres kerja.

Luthans (2005) mendefinisikan stres kerja sebagai respon adaptif terhadap situasi eksternal yang menghasilkan penyimpangan fisik, psikologis dan/atau perilaku pada anggota organisasi. Menurut Luthans (2005) penyebab stres (stressor) dapat berasal dari terdiri empat hal utama, yakni: Pertama, Extra organizational stressors, yaitu stressor yang berasal dari hal-hal yang ada di luar organisasi, terdiri dari perubahan sosial/teknologi, keluarga, relokasi, keadaan ekonomi dan keuangan, ras dan kelas, dan serta kondisi tempat tinggal atau masyarakat. Kedua, Organizational stressors, yaitu stressor yang berasal dari dalam organisasi atau pekerjaan itu sendiri, terdiri dari kebijakan organisasi, struktur organisasi, keadaan fisik dalam organisasi, dan proses yang terjadi dalam organisasi. Ketiga, Group stressors, yaitu stressor yang berasal dari dalam


(15)

kelompok di dalam organisasi, terdiri dari kurangnya kebersamaan dalam grup (kohesivitas) serta kurangnya dukungan sosial di dalam grup. Keempat, Individual stressors, yakni stressor yang berasal dari dalam individu yang bersangkutan, terdiri atas konflik yang terjadi dalam diri individu, ketidakjelasan peran, goals, dan frustrasi.

Berdasarkan hasil wawancara terhadap 6 orang CSR, 3 orang (50%) merasa salah satu stressor berasal dari dalam organisasi (organizational stressor), sedangkan 3 orang (50%) tidak merasa adanya stressor dari dalam organisasi. Jam kerja yang panjang dan rutinitas yang sama setiap harinya membuat CSR merasa bosan akan pekerjaan mereka. Akibatnya, dari 3 orang CSR, 2 orang (67%) seringkali merasa kelelahan secara fisik dan memiliki masalah kesehatan seperti sering merasa sakit kepala, maag, dan sakit perut. Sedangkan 1 orang (33%) menjadi sering datang terlambat ke kantor.

Stressor lain yang berasal dari dalam organisasi (organizational stressor) yakni tuntutan untuk mengetahui perubahan informasi / kebijakan yang sangat cepat. Dari 6 orang CSR, 4 orang (67%) mengaku bahwa mereka sering mengalami kesulitan untuk menyerap informasi atau perubahan kebijakan tersebut, sedangkan 2 orang (33%) tidak merasa tuntutan tersebut sebagai stressor. Akibatnya dari 4 orang CSR, 2 orang (50%) terkadang melakukan kekeliruan dalam memberikan informasi kepada pelanggan, sering lupa akan apa yang harus dilakukan. Sedangkan 2 orang lainnya (50%) mengaku bahwa mereka jadi sering menunda pekerjaan karena mereka mengalami kebingungan untuk memilih pekerjaan mana yang harus didahulukan.


(16)

Universitas Kristen Maranatha Dari 6 orang CSR, sebanyak 2 orang (33%) mengaku bahwa mereka sering merasa cemas mengenai masa depan mereka sebagai karyawan kontrak, dan mereka seringkali berpikir untuk mencari atau pindah ke tempat kerja yang lain, namun hal itu masih belum mereka lakukan secara langsung karena disatu sisi para CSR ini merasa takut tidak akan mampu mendapatkan pekerjaan yang lain, sebanyak 3 orang (50%) mengaku akan mengundurkan diri di bulan Juni 2010 karena ingin mencari pekerjaan lain, sedangkan 1 orang (17%) sisanya mengaku bahwa status karyawan kontrak ini bukan masalah bagi mereka, mereka menjadikan hal ini sebagai motivator untuk selalu menampilkan performance terbaiknya sehingga diharapkan kontrak kerjanya akan diperpanjang.

Dari 6 orang CSR, sebanyak 5 orang (83%) mengatakan bahwa stressor berasal dari luar organisasi (extraorganizational stressor), yakni pelanggan, dan sisanya 1 orang (17%) tidak merasa pelanggan sebagai stressor. Pelanggan yang datang memiliki karakteristik yang berbeda-beda, ada pelanggan yang menyampaikan keluhan dengan marah-marah, pelanggan yang tidak sabar dalam menunggu giliran pelayanan, bahkan terkadang beberapa orang pelanggan tidak segan-segan untuk mengeluarkan kata-kata kasar kepada CSR. Tidak sedikit pelanggan yang datang dengan rasa kesal setiap harinya, sehingga ketika mereka berhadapan dengan CSR para pelanggan ini akan meluapkan emosinya kepada CRS yang bersangkutan. Akibatnya dari 5 orang CSR, 2 orang (40%) mengaku sering menunjukkan ekspresi wajah yang tidak ramah, dan terkadang menjadi uring-uringan di depan rekan kerja yang lainnya, sedangkan 3 (60%) orang CSR


(17)

menjadi merasa bahwa detak jantung mereka menjadi lebih cepat dan mengeluarkan keringat dingin ketika menghadapi pelanggan yang marah-marah.

Stressor lain berasal dari group stressor. Dari 6 orang CSR, 4 orang (67%) tidak merasa kelompok kerja mereka sebagai stressor, sedangkan sebanyak 2 orang (33%), menganggap bahwa team work dan kerja sama antar CSR yang dirasa kurang,. Hal ini menyebabkan para CSR tersebut menjadi sensitif apabila ada rekan kerja lain yang menyampaikan kritik kepada mereka dan menjadi lebih apatis terhadap lingkungannya.

Stressor lain yang dirasakan oleh 3 (50%) dari 6 CSR juga berasal dari individu itu sendiri (individual stressor) yakni frustrasi, akibatnya, CSR tersebut mengaku mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi dan tetap fokus pada pekerjaannya. Sedangkan bagi 3 orang (50%) lainnya mengaku bahwa masalah individual yang ada dalam diri mereka justru menjadi hal yang mendorong mereka untuk bekerja lebih semangat bekerja, mereka ingin menunjukkan diri bahwa mereka adalah individu yang profesional. Dari hasil wawancara tersebut diperoleh gambaran bahwa para CSR ini menunjukkan adanya stres kerja yang ditampilkan dalam gejala yang berbeda-beda.

Secara umum diakui bahwa tingkat stres dan konflik yang rendah dapat meningkatkan kinerja. Hal ini membawa karyawan kepada cara baru dan lebih baik dalam bekerja. Stres dalam tingkat yang ringan juga mungkin meningkatkan kualitas dan peningkatan aktivitas, perubahan, dan kinerja yang lebih baik. Orang dalam pekerjaan tertentu, seperti dalam bidang penjualan atau kreativitas akan memperoleh manfaat dari stres ringan. Orang dengan pekerjaan lain, seperti


(18)

Universitas Kristen Maranatha petugas polisi atau dokter, mungkin tidak memperoleh manfaat dari stres ringan (Luthans, 2005).

Berbekal dari masalah-masalah yang telah dipaparkan diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai derajat stress pada Customer Service Representative (CSR) di PT.’X’ Bandung.

1.2Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka peneliti ingin mengetahui derajat stres kerja pada Customer Service Representative (CSR) di PT.’X’ Bandung.

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1Maksud Penelitian

Adapun maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memperoleh gambaran mengenai derajat stres kerja pada Customer Service Representative (CRS) PT.’X’ Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara lebih rinci dan mendalam mengenai derajat stres kerja yang tampak dalam bentuk gejala fisiologis, psikologis, dan perilaku pada Customer Service Representative (CSR) di PT.’X’ Bandung.


(19)

1.4Kegunaan Penelitian 1.4.1Kegunaan Teoritis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan antara lain untuk:

a. Memberikan masukan bagi Ilmu Psikologi, khususnya bidang Psikologi Industri dan Organisasi mengenai derajat stres kerja pada CSR di PT.’X’ Bandung yang ditampilkan dalam gejala fisiologis, psikologis, dan perilaku.

b. Memberikan masukan bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai derajat stres kerja dan tipe kepribadian.

1.4.2Kegunaan Praktis

Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, antara lain: a. Memberikan informasi kepada pihak outsource mengenai derajat stres

kerja yang dialami oleh CSR PT.’X’ Bandung, sehingga diharapkan dapat dibuat suatu program untuk penanggulangan stres bagi CSR, terutama bagi CSR dengan derajat stres yang tinggi.

b. Memberikan informasi kepada Customer Service Representative (CSR) mengenai derajat stres kerja yang muncul pada CSR, sehingga diharapkan CSR dapat menanggulangi gejala stres yang dialaminya, dan dapat mencari cara beradaptasi terhadap situasi stres tersebut.


(20)

Universitas Kristen Maranatha 1.5Kerangka Pemikiran

Peranan sumber daya manusia dalam berorganisasi sangatlah penting karena manusia merupakan penggerak utama dalam organisasi. Stres kerja telah menjadi salah satu isu pengelolaan sumber daya manusia yang semakin diperhatikan oleh organisasi.

PT. ’X’ merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang telekomunikasi yang menjual produk jasa memiliki arti yang sangat penting dalam perkembangan telekomunikasi dan informasi bagi masyarakat Indonesia. PT. ’X’ memiliki misi kerja yang bertujuan untuk memberikan layanan yang berorientasi kepada peningkatan kepuasan dan loyalitas pelanggan atau calon pelanggan, baik pelanggan melalui Contact Center atau pelanggan yang langsung datang ke PT.’X’ Bandung sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh perusahaan.

Karyawan yang bertugas langsung dalam melayani pelanggan secara langsung di PT.’X’ Bandung disebut juga sebagai front liners yang kemudian berganti nama menjadi Customer Service Representative (CSR). Sebagai petugas terdepan yang langsung berhadapan dengan pelanggan, CSR harus selalu mampu menjaga citra perusahaan, memberikan pelayanan terbaik dan menjaga hubungan personal yang baik dengan pelanggan. CSR juga harus selalu menjaga penampilan dan menjaga sikap di hadapan pelanggan. Banyaknya tuntutan pekerjaan yang dihadapi oleh seorang CSR dapat menyebabkan stres kerja.

Luthans (1992) mendefinisikan stres kerja Stres adalah sebuah respon adaptif terhadap situasi eksternal yang menghasilkan penyimpangan fisik, psikologis dan/atau perilaku pada anggota organisasi. Menurut Luthans (1992)


(21)

penyebab stres (stressor) dapat berasal dari terdiri empat hal utama, yakni: Pertama, Extra organizational stressors, yaitu stressor yang berasal dari hal-hal yang ada di luar organisasi, terdiri dari perubahan sosial/teknologi, keluarga, relokasi, keadaan ekonomi dan keuangan, ras dan kelas, dan serta kondisi tempat tinggal atau masyarakat.

Pada CSR di PT.’X’ Bandung, stressor yang berasal dari luar organisasi (extraorganizational stressor) dapat berasal dari pelanggan yang datang. Selain pelanggan, extraorganizational stressor lain bagi CSR adalah fasilitas-fasilitas penunjang pekerjaan, seperti komputer dan aplikasinya. Kedua, Organizational stressors, yaitu stressor yang berasal dari dalam organisasi atau pekerjaan itu sendiri, terdiri dari kebijakan organisasi, struktur organisasi, keadaan fisik dalam organisasi, dan proses yang terjadi dalam organisasi. Pada CSR di PT.’X’ Bandung, stressor yang berasal dari dalam organisasi (organizational stressor) dapat berasal dari kebijakan-kebijakan yang berlaku (seperti kebijakan mengenai tidak adanya promosi bagi CSR, kebijakan tentang surat sakit dari dokter, serta kebijakan mengenai jasa perusahaan yang seringkali berubah-ubah).

Ketiga, Group stressors, yaitu stressor yang berasal dari dalam kelompok, terdiri dari kurangnya kebersamaan dalam grup (kohesivitas) serta kurangnya dukungan sosial di dalam kelompok. Bagi CSR di PT.’X’ Bandung, stressor yang berasal dari dalam kelompok (group stressor) dapat berasal dari kurangnya kebersamaan sesama CSR, atau kurangnya dukungan antar sesama CSR. Keempat, Individual stressors, yakni stressor yang berasal dari dalam individu yang bersangkutan, terdiri atas konflik yang terjadi dalam diri individu,


(22)

Universitas Kristen Maranatha ketidakjelasan peran, goals, dan frustrasi. Bagi CSR di PT.’X’ Bandung, individual stressor dapat berupa adanya konflik yang terjadi dalam diri CSR itu sendiri.

Setiap CSR dapat menghadapi stressor yang sama, namun mereka menghayatinya secara berbeda-beda sehingga derajat stres nya pun akan berbeda. Perbedaan penghayatan derajat stres tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan individual. Adakalanya stres yang dialami seseorang itu adalah kecil dan hampir tak berarti, namun bagi yang lainnya dianggap sangat mengganggu dan berlanjut dalam waktu yang relatif lama. Stres atau tidaknya individu tergantung dari cara individu menilai situasi atau peristiwa yang dihadapinya (Luthans, 2005).

Menurut Luthans (2005) ada empat faktor yang mempengaruhi perbedaan individu dalam menilai situasi, apakah stres atau tidak. Hal tersebut yakni: Pertama, tipe kepribadian A dan B. Individu dengan tipe kepribadian A adalah individu yang bekerja lebih lama, seringkali membawa pekerjaan mereka ke rumah, cenderung mudah merasa frustrasi akan kondisi kerja mereka, dan senang berkompetisi. Individu dengan tipe kepribadian B adalah individu yang lebih santai dan lebih sabar. CSR dengan kepribadian tipe A akan lebih mudah merasa frutrasi dan lebih mudah untuk merasa stres dibandingkan individu dengan tipe kepribadian B. Dengan demikian CSR dengan kepribadian A akan memiliki derajat stres kerja yang lebih tinggi dibandingkan CSR dengan kepribadian tipe B. Kedua, yakni kontrol personal (personal control). Kontrol personal (personal control) merupakan perasaan orang mengenai kemampuan untuk mengontrol situasi. Kontrol personal (personal control) akan mempengaruhi


(23)

derajat stres kerja individu. CSR yang memiliki personal control akan memiliki derajat stres yang lebih rendah dibanding dengan CSR yang tidak memiliki personal control. CSR yang memiliki personal control merasa dirinya mampu mengendalikan situasi atau pekerjaannya, sehingga hal ini akan mengurangi stres yang ia alami.

Ketiga, yakni ketidakberdayaan yang dipelajari (learn helplessness). Learn helplessness terjadi ketika individu merasa tidak berdaya, menyerah, dan menerima begitu saja tekanan-tekanan yang ada di sekitarnya. CSR yang mengalami learn helplessness akan memiliki derajat stres yang lebih tinggi dibandingkan CSR yang tidak mengalami learn helplessness. Hal ini dikarenakan CSR yang mengalami learn helplessness merasa dirinya sudah tidak mampu atau tidak berdaya untuk menghadapi tekanan-tekanan yang ada, memilih untuk menyerah.

Keempat, yakni daya tahan psikologis (psychological hardiness). Psychological hardiness yakni kemampuan individu untuk beradaptasi dengan situasi ekstrim yang menekan. CSR yang memiliki psychological hardiness akan memiliki derajat stres yang lebih rendah dibanding CSR yang tidak memiliki psychological hardiness. Hal ini dikarenakan CSR yang memiliki psychological hardiness memiliki penyangga (buffer) yang menjadi penahan antara dirinya dengan stressor, sehingga mengurangi tingkat stresnya.

Menurut Selye (1976), pada waktu menghadapi stresor, tubuh mengeluarkan reaksi-reaksi yang disebutnya general adaptation syndrome (GAS). GAS terdiri dari tiga tahapan yakni: The alarm reaction, tahap di mana terjadi


(24)

Universitas Kristen Maranatha persiapan untuk melawan stressor. Pada tahap ini, CSR melakukan pengenalan terhadap stressor yang dihadapinya. Jika stressor sudah dikenali, maka otak akan mengirim suatu pesan biokimia ke seluruh sistem dalam tubuh. Setelah itu CSR akan menampilkan respon terhadap stressor seperti denyut jantung meningkat, tekanan darah menaik, pupil mata membesar, otot menegang dan sebagainya.

Tahap kedua yakni The stage of resistance, tahap di mana terjadi perlawanan terhadap stressor. Pada tahap ini CSR menunjukkan tahap perlawanan mencakup kejenuhan, kecemasan, dan ketegangan. CSR berjuang untuk melawan stressor dengan mengerahkan seluruh sumber daya dalam tubuhnya. Tahap ketiga yakni The stage of exhaustion, tahap melemahnya perlawanan akibat keberadaan stressor yang berkepanjangan. Pada tahap ini CSR telah mengalami perlawanan yang panjang dan terus-menerus terhadap stressor, yang pada akhirnya mungkin menghabiskan sumber daya yang tersedia, dan membuat CSR kehilangan kemampuan untuk bertahan.

Stres yang dialami CSR dalam menjalankan tugas selanjutnya dapat muncul dalam berbagai dampak atau gejala yang dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk. Di dalam Organizational Behavior, Luthans (2005) menyebutkan bahwa stres dapat menyebabkan gangguan fisiologis (kesehatan), psikis, atau tingkah laku pada individu. Beberapa masalah kesehatan yang berhubungan langsung dengan stres antara lain gangguan sistem kekebalan tubuh, gangguan sistem kardiovaskular, gangguan sistem musculoskeletal (otot dan rangka), dan gangguan sistem gastrointesnal (perut). Gangguan psikologis karena stres dapat berupa kecemasan, amarah, depresi, ketegangan, irritabilility, dan


(25)

kebosanan. Sedangkan gangguan perilaku yang mungkin muncul akibat stres mencakup gangguan nafsu makan (berlebih/kurang), sulit tidur, meningkatnya penggunaan rokok / minuman alkohol, dan obatan-obatan. Hal ini secara tidak langsung bagi organisasi akan menyebabkan meningkatnya ketidakhadiran (absenteeism), keterlambatan (tardiness), dan turn over.

CSR dengan derajat stres yang tinggi akan menampilkan gejala fisiologis, psikologis, dan gejala perilaku dengan derajat yang tinggi juga. CSR dengan dengan derajat stres yang tinggi dapat memiliki gangguan kesehatan yang serius seperti penyakit darah tinggi, penyakit jantung, ketegangan atau nyeri otot yang terus menerus, dan sebagainya. CSR dengan derajat stres yang tinggi juga dapat menampilkan agresivitas, amarah, dan menurunnya self esteem. CSR dengan derajat stres yang tinggi akan menunjukkan gejala perilaku yang jelas terlihat yakni berhenti dari pekerjaannya, tidak masuk kerja, atau seringkali datang terlambat.

CSR dengan derajat stres yang sedang akan menampilkan gejala fisiologis, psikologis, dan gejala perilaku dengan derajat yang sedang. CSR dengan dengan derajat stres yang sedang dapat memiliki gangguan fisiologis, psikologis, dan gejala perilaku yang lebih ringan CSR dibanding CSR dengan derajat stres yang tinggi. Sedangkan CSR dengan derajat stres yang rendah akan menampilkan gejala fisiologis, psikologis, dan gejala perilaku yang rendah pula. CSR dengan derajat stres yang rendah dan sedang mungkin menampilkan performance kerja yang lebih baik dibanding CSR dengan derajat stres yang tinggi.


(26)

Universitas Kristen Maranatha Secara skematis, kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut


(27)

Stressor:

1.Organizational

Stressor

2.Extraorganizational

Stressor

3.Group Stressor

4.Individual Stressor

Customer Service

Representative

(CSR) PT. Telkom

Bandung

Tinggi

Sedang

Rendah

Stres Kerja

1.

gejala fisiologis

2.

gejala psikologis

3.

gejala perilaku

Perbedaan Individual:

1.Tipe kepribadian (tipe A/B)

2.Personal Control

3.Learn Helplessness

4.Psychological Hardiness


(28)

Universitas Kristen Maranatha 1. 6 Asumsi

1. Pekerjaan yang berhubungan dengan pelayanan publik seperti customer service representative (CSR) cenderung memiliki tingkat stres kerja yang tinggi.

2. Setiap CSR Setiap CSR di PT. ’X’ Bandung memiliki derajat stres yang berbeda-beda.

3. Perbedaan derajat stres yang dihayati oleh CSR di PT.’X’ Bandung dipengaruhi oleh faktor perbedaan individual, seperti persepsi, pengalaman kerja, dukungan sosial, locus of control, dan tipe kepribadian (A /B).

4. Derajat stres kerja pada CSR di PT. ’X’ Bandung dapat dikategorikan menjadi tinggi, sedang, rendah.

5. Derajat stres kerja pada CSR di PT.’X’ Bandung dapat terdeteksi melalui 3 gejala, yakni gejala fisiologis, gejala psikis, dan gejala tingkah laku.


(29)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pengolahan data yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Mayoritas Customer Service Representative (CSR) di PT. ‘X’ Bandung yang memiliki derajat stres yang sedang dibandingkan dengan derajat stres yang tinggi dan rendah.

2. Pada CSR dengan derajat stres yang tinggi, gejala fisiologis yang dimunculkan berupa gangguan dalam sistem otot, yakni nyeri di bagian punggung, pinggang, dan leher yang kaku. Gejala psikologis yang muncul yakni adanya kecemasan dan rasa jenuh akan pekerjaannya, dan menurunnya kepuasan kerja. Sedangkan gejala perilaku yang muncul yakni keinginan untuk berhenti kerja atau mencari pekerjaan lain. 3. Pada CSR dengan derajat stres yang sedang, gejala fisiologis yang

dimunculkan berupa menurunnya sistem imun, sehingga CSR menjadi lebih mudah sakit. Gejala psikologis yang muncul yakni CSR merasa frustrasi, lebih sensitif, dan sulit berkonsentrasi. Sedangkan gejala perilaku yang muncul yakni gangguan nafsu makan, dan menunda pekerjaan.


(30)

Universitas Kristen Maranatha kepribadian tipe A cenderung memiliki derajat stres kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan CSR dengan tipe kepribadian B.

5. Faktor tingkat pendidikan mempengaruhi derajat stres kerja Customer Service Representative di PT. ‘X’ Bandung. Sebagian besar CSR yang memiliki tingkat pendidikan S1 cenderung memiliki derajat stres yang lebih tinggi dibanding CSR dengan tingkat pendidikan D3.

6. Faktor lama bekerja mempengaruhi derajat stres kerja Customer Service Representative di PT. ‘X’ Bandung. Sebagian besar CSR telah bekerja selama 1 sampai 3 tahun dan memiliki derajat stres yang sedang.

7. Dari 4 sumber stres yang ada, sumber stres paling besar adalah sumber stres yang berasal dari dalam organisasi, yakni status CSR sebagai karyawan kontrak, kebijakan organisasi, beban kerja sebagai CSR, dan rutinitas pekerjaan sebagai CSR.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoritis

1. Untuk memperkaya ilmu Psikologi khususnya bidang Industri dan Organisasi, dapat dilakukan penelitian mengenai derajat stres kerja pada bidang pekerjaan yang berhubungan dengan pelayan publik lain selain CSR, seperti pemadam kebakaran, polisi, atau teller bank.

2. Untuk peneliti lain yang berminat, disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan mengenai derajat stres kerja, yakni dengan menyertakan


(31)

faktor-faktor lain yang dianggap mempengaruhi stres kerja individu seperti pengalaman bekerja, dukungan sosial,ras, dan locus of control.

3. Untuk peneliti lain yang berminat, dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai derajat stres kerja dan kaitannya dengan macam-macam tipe kepribadian.

5.2.2 Guna Laksana

1. Dengan mempertimbangkan hasil penelitian bahwa kebijakan perusahaan menjadi salah satu stres bagi CSR, maka disarankan kepada perusahaan untuk lebih mengkomunikasikan terlebih dahulu setiap kebijakan yang berlaku kepada para CSR. Selain itu diharapkan pihak perusahaan untuk membuat suatu program untuk mengolah stres kerja yang dialami CSR. Program ini dapat berupa membuat suatu acara kebersamaan seluruh CSR , supervisor, dan juga back officer yang dilakukan satu bulan sekali.

2. Bagi para CSR, disarankan untuk melakukan kegiatan yang dapat menurunkan derajat stres kerjanya, seperti melakukan relaksasi setiap hari, yakni sebelum dan setelah bekerja. Relaksasi ini dapat berupa latihan pernafasan atau relaksasi wajah.


(32)

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta :Rineka Cipta.

Cox, Tom. 1949. Stress. London: The Macmillan Press Ltd.

Gibson, James L., John M. Ivancevich dan James H. Donnely, Jr. 1996. Organisasi. Jakarta: Binarupa Aksara.

Luthans, Fred. 1992. Organizational Behavior. Singapore: Mc Graw-Hill book Co.

Luthans, Fred.2005. Perilaku Organisasi. Edisi ke-10. Yogyakarta: Andi

Selye, Hans, 1976, The Stress of Life, New York: McGraw-Hill Book Company, Inc

Siegel, Sidney. 1988. Statistik Non Parametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: PT Gramedia

Sobur,Alex. 2003. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia

Soehartono, Irawan. 1995. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


(33)

DAFTAR RUJUKAN

Amaliyah, Dewi. 2007. Studi Deskriptif Stres Kerja Pada Karyawan Percetakan di PT. “X” Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung.

Ayuningtyas, Putri. 2006. Studi Deskriptif Mengenai Derajat Stress Pada Manager Menengah Atas Dalam Menjalankan Masa Persiapan Pensiun di Kantor Pusat PT. X Bandung.. Outline Penelitian. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Erfandi, 10 Februari 2009. Stress Dalam Bekerja. (Online). (http://forbetterhealth.wordpress.com/2009/02/10/stress-dalam-bekerja.html, diakses 1 Desember 2009).

Psikologi Olah Raga (Kesatuan Jiwa dan Raga). (Online) (http://guruolahraga.com/psikologi-olahraga/psikologi-olahraga-kesatuan-jiwa- dan-raga.ari, diakses 10 Agustus 2010)

Http://ictjogja.net/kesehatan, diakses tanggal 10 Agustus 2010

Http://Lib.atmajaya.ac.id, diakses tanggal 10 Januari 2010.

KOMPAS, Cybermedia. 7 Mei 2002. Mengatasi Kelelahan dan stres. (Online), diakses 3 Januari 2010.

Palupiningdyah. Maret, 2000. Stres Kerja dan Implikasinya pada Manajemen Sumber Daya Manusia. Jurnal Bisnis dan Ekonomi.


(1)

Universitas Kristen Maranatha 1. 6 Asumsi

1. Pekerjaan yang berhubungan dengan pelayanan publik seperti customer service representative (CSR) cenderung memiliki tingkat stres kerja yang tinggi.

2. Setiap CSR Setiap CSR di PT. ’X’ Bandung memiliki derajat stres yang berbeda-beda.

3. Perbedaan derajat stres yang dihayati oleh CSR di PT.’X’ Bandung dipengaruhi oleh faktor perbedaan individual, seperti persepsi, pengalaman kerja, dukungan sosial, locus of control, dan tipe kepribadian (A /B).

4. Derajat stres kerja pada CSR di PT. ’X’ Bandung dapat dikategorikan menjadi tinggi, sedang, rendah.

5. Derajat stres kerja pada CSR di PT.’X’ Bandung dapat terdeteksi melalui 3 gejala, yakni gejala fisiologis, gejala psikis, dan gejala tingkah laku.


(2)

Universitas Kristen Maranatha BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pengolahan data yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Mayoritas Customer Service Representative (CSR) di PT. ‘X’ Bandung yang memiliki derajat stres yang sedang dibandingkan dengan derajat stres yang tinggi dan rendah.

2. Pada CSR dengan derajat stres yang tinggi, gejala fisiologis yang dimunculkan berupa gangguan dalam sistem otot, yakni nyeri di bagian punggung, pinggang, dan leher yang kaku. Gejala psikologis yang muncul yakni adanya kecemasan dan rasa jenuh akan pekerjaannya, dan menurunnya kepuasan kerja. Sedangkan gejala perilaku yang muncul yakni keinginan untuk berhenti kerja atau mencari pekerjaan lain. 3. Pada CSR dengan derajat stres yang sedang, gejala fisiologis yang

dimunculkan berupa menurunnya sistem imun, sehingga CSR menjadi lebih mudah sakit. Gejala psikologis yang muncul yakni CSR merasa frustrasi, lebih sensitif, dan sulit berkonsentrasi. Sedangkan gejala perilaku yang muncul yakni gangguan nafsu makan, dan menunda pekerjaan.

4. Tipe kepribadian mempengaruhi derajat stres kerja Customer Service Representative di PT. ‘X’ Bandung. Sebagian besar CSR yang memiliki


(3)

kepribadian tipe A cenderung memiliki derajat stres kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan CSR dengan tipe kepribadian B.

5. Faktor tingkat pendidikan mempengaruhi derajat stres kerja Customer Service Representative di PT. ‘X’ Bandung. Sebagian besar CSR yang memiliki tingkat pendidikan S1 cenderung memiliki derajat stres yang lebih tinggi dibanding CSR dengan tingkat pendidikan D3.

6. Faktor lama bekerja mempengaruhi derajat stres kerja Customer Service Representative di PT. ‘X’ Bandung. Sebagian besar CSR telah bekerja selama 1 sampai 3 tahun dan memiliki derajat stres yang sedang.

7. Dari 4 sumber stres yang ada, sumber stres paling besar adalah sumber stres yang berasal dari dalam organisasi, yakni status CSR sebagai karyawan kontrak, kebijakan organisasi, beban kerja sebagai CSR, dan rutinitas pekerjaan sebagai CSR.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoritis

1. Untuk memperkaya ilmu Psikologi khususnya bidang Industri dan Organisasi, dapat dilakukan penelitian mengenai derajat stres kerja pada bidang pekerjaan yang berhubungan dengan pelayan publik lain selain CSR, seperti pemadam kebakaran, polisi, atau teller bank.

2. Untuk peneliti lain yang berminat, disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan mengenai derajat stres kerja, yakni dengan menyertakan


(4)

faktor-Universitas Kristen Maranatha faktor lain yang dianggap mempengaruhi stres kerja individu seperti pengalaman bekerja, dukungan sosial,ras, dan locus of control.

3. Untuk peneliti lain yang berminat, dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai derajat stres kerja dan kaitannya dengan macam-macam tipe kepribadian.

5.2.2 Guna Laksana

1. Dengan mempertimbangkan hasil penelitian bahwa kebijakan perusahaan menjadi salah satu stres bagi CSR, maka disarankan kepada perusahaan untuk lebih mengkomunikasikan terlebih dahulu setiap kebijakan yang berlaku kepada para CSR. Selain itu diharapkan pihak perusahaan untuk membuat suatu program untuk mengolah stres kerja yang dialami CSR. Program ini dapat berupa membuat suatu acara kebersamaan seluruh CSR , supervisor, dan juga back officer yang dilakukan satu bulan sekali.

2. Bagi para CSR, disarankan untuk melakukan kegiatan yang dapat menurunkan derajat stres kerjanya, seperti melakukan relaksasi setiap hari, yakni sebelum dan setelah bekerja. Relaksasi ini dapat berupa latihan pernafasan atau relaksasi wajah.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta :Rineka Cipta.

Cox, Tom. 1949. Stress. London: The Macmillan Press Ltd.

Gibson, James L., John M. Ivancevich dan James H. Donnely, Jr. 1996. Organisasi. Jakarta: Binarupa Aksara.

Luthans, Fred. 1992. Organizational Behavior. Singapore: Mc Graw-Hill book Co.

Luthans, Fred.2005. Perilaku Organisasi. Edisi ke-10. Yogyakarta: Andi

Selye, Hans, 1976, The Stress of Life, New York: McGraw-Hill Book Company, Inc

Siegel, Sidney. 1988. Statistik Non Parametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: PT Gramedia

Sobur,Alex. 2003. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia

Soehartono, Irawan. 1995. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


(6)

Universitas Kristen Maranatha 66

DAFTAR RUJUKAN

Amaliyah, Dewi. 2007. Studi Deskriptif Stres Kerja Pada Karyawan Percetakan di PT. “X” Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung.

Ayuningtyas, Putri. 2006. Studi Deskriptif Mengenai Derajat Stress Pada Manager Menengah Atas Dalam Menjalankan Masa Persiapan Pensiun di Kantor Pusat PT. X Bandung.. Outline Penelitian. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Erfandi, 10 Februari 2009. Stress Dalam Bekerja. (Online). (http://forbetterhealth.wordpress.com/2009/02/10/stress-dalam-bekerja.html, diakses 1 Desember 2009).

Psikologi Olah Raga (Kesatuan Jiwa dan Raga). (Online)

(http://guruolahraga.com/psikologi-olahraga/psikologi-olahraga-kesatuan-jiwa- dan-raga.ari, diakses 10 Agustus 2010)

Http://ictjogja.net/kesehatan, diakses tanggal 10 Agustus 2010

Http://Lib.atmajaya.ac.id, diakses tanggal 10 Januari 2010.

KOMPAS, Cybermedia. 7 Mei 2002. Mengatasi Kelelahan dan stres. (Online), diakses 3 Januari 2010.

Palupiningdyah. Maret, 2000. Stres Kerja dan Implikasinya pada Manajemen Sumber Daya Manusia. Jurnal Bisnis dan Ekonomi.