Peranan mantan pengguna narkoba suntik dalam penyebaran HIV/AIDS.
Abstrak
KONAS Ke - 11
Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia
Peranan mantan pengguna narkoba suntik
dalam penyebaran HIV/AIDS
Shelly Iskandar1,2, Teddy Hidayat1, Ike M.P. Siregar1, Tri Hanggono Ahmad,3,
Andre J.A.M. Van der Ven 2,4, Cor A.J. De Jong 5
1
2
3
Departemen Psikiatri, Universitas Padjajaran/ Rumah Sakit Umum Pusat dr Hasan Sadikin
Hospital, Bandung, Indonesia
IMPACT (Integrated Management for Prevention Control and Treatment of HIV-AIDS),
Unit Penelitian Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjajaran/ Rumah Sakit
Umum Pusat dr Hasan Sadikin Hospital, Bandung, Indonesia
Departemen Biokimia, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjajaran/ Rumah Sakit Umum
Pusat dr Hasan Sadikin Hospital, Bandung, Indonesia
4
Department of General Internal Medicine and Nijmegen Institute for Inflammation, Infection and
Immunity, Radboud University Nijmegen Medical Centre, the Netherlands
5
Nijmegen Institute for Scientist-Practitioners in Addiction (NISPA); Nijmegen, the
Netherlands
Corresponding author:
Shelly Iskandar, Departemen Psikiatri, Universitas Padjajaran/ Rumah Sakit Umum Pusat dr
Hasan Sadikin Hospital, Bandung, Indonesia, Jl. Pasirkaliki no. 190, Bandung 40151,
Indonesia. Tel. +622270720492. Fax. +62222033915.
Alamat email : [email protected]
Abstrak
Latar belakang dan tujuan
Pengguna narkoba suntik adalah salah satu faktor yang sangat berperan dalam penyebaran HIV
di hampir semua negara di dunia, khususnya di Eropa Timur, Amerika Selatan, dan Asia
Tenggara dan Timur. Untuk pengguna narkoba suntik yang aktif menyuntik, pemberian jarum
suntik steril dan substitusi opiat membantu menurunkan angka penyebaran HIV. Namun hingga
saat ini belum ada program yang ditujukan untuk mantan pengguna narkoba suntik. Prevalensi
HIV yang tinggi pada kelompok ini yang jika disertai dengan perilaku berisiko dapat
menyebarkan HIV ke masyarakat umum. Penelitian ini bertujuan untuk memahami karakteristik
dan perilaku berisiko di kalangan mantan pengguna narkoba suntik.
Metode
Mantan pengguna narkoba suntik di Bandung direkrut dengan menggunakan metode respondent
driven sampling. Mereka diwawancara mengenai penggunaan narkoba dan perilaku berisiko
penyebaran HIV menggunakan kuesioner European Addiction Severity Index dan Blood Borne
Virus Transmission Questionnaire.
Hasil
Prevalensi HIV pada kelompok ini adalah 66%. Umur mereka adalah umur yang aktif secara
seksual (28 ± 4 tahun) dan pendidikan rata-rata SMA. Tidak ada satu pun dari mereka yang tidak
menggunakan narkoba dalam 30 hari terakhir. Narkoba yang paling banyak digunakan adalah
alkohol dan ganja. Perilaku seksual berisiko dilakukan oleh 42% dari responden sedangkan
perilaku berisko lainnya seperti tato dan tindik oleh non-profesional dilakukan oleh 52%
responden.
Kesimpulan
Prevalensi HIV, penggunaan narkoba, dan perilaku berisiko yang tinggi pada kelompok mantan
pengguna narkoba merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Program penanganan
permasalahan adiksi narkoba dan perilaku berisiko perlu untuk dilakukan untuk mencegah
penyebaran HIV ke masyarakat umum.
Peranan mantan pengguna narkoba suntik
dalam penyebaran HIV/AIDS
Latar belakang dan tujuan
Pengguna narkoba suntik adalah salah satu faktor yang sangat berperan dalam
penyebaran HIV di hampir semua negara di dunia, khususnya di Eropa Timur, Amerika Selatan,
dan Asia Tenggara dan Timur.
Untuk pengguna narkoba suntik yang aktif menyuntik,
pemberian jarum suntik steril dan substitusi opiat membantu menurunkan angka penyebaran
HIV. Namun hingga saat ini belum ada program yang ditujukan untuk mantan pengguna narkoba
suntik. Prevalensi HIV yang tinggi pada kelompok ini yang jika disertai dengan perilaku berisiko
dapat menyebarkan HIV ke masyarakat umum.
Dalam penanganan adiksi diperlukan penanganan multidimensi sehingga intervensi
individual diperlukan. Konsep tentang penasun seringkali terlalu disederhanakan, dengan
sedikitnya perhatian pada masalah-masalah kompleks yang mendasari penggunaan NAPZA.
Seringkali penyedia jasa layanan dan pengambil kebijakan mempromosikan layanan pertukaran
jarum suntik dan/ atau terapi obat sebagai strategi pengurangan dampak buruk yang sesuai untuk
semua penasun tanpa memberi perhatian yang cukup pada berbagai masalah utama lainnya dari
penasun.
Penyebab adiksi, seperti genetik, perubahan pada otak akibat penggunaan narkoba, dan
faktor-faktor lingkungan; perilaku berisiko; masalah fisik, psikiatrik, dan sosial yang terjadi
bersamaan; pencegahan; dan terapinya. Kerentanan seseorang untuk mengalami adiksi adalah
hasil dari kombinasi berbagai faktor biopsikososial yang unik untuk setiap orang.
Untuk memberikan penanganan yang tepat bagi kelompok pengguna narkoba suntik
maka diperlukan pemahaman tentang kelompok tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk
memahami karakteristik dan perilaku berisiko di kalangan mantan pengguna narkoba suntik.
Metode
Mantan pengguna narkoba suntik di Bandung direkrut dengan menggunakan metode
respondent driven sampling. Mereka diwawancara mengenai penggunaan narkoba dan perilaku
berisiko penyebaran HIV menggunakan kuesioner European Addiction Severity Index dan Blood
Borne Virus Transmission Questionnaire.
Hasil
Prevalensi HIV pada kelompok ini adalah 66%. Umur mereka adalah umur yang aktif
secara seksual (28 ± 4 tahun) dan pendidikan rata-rata SMA. Tidak ada satu pun dari mereka
yang tidak menggunakan narkoba dalam 30 hari terakhir. Narkoba yang paling banyak
digunakan adalah alkohol dan ganja. Perilaku seksual berisiko dilakukan oleh 42% dari
responden sedangkan perilaku berisko lainnya seperti tato dan tindik oleh non-profesional
dilakukan oleh 52% responden.
Penelitian ini menunjukkan bahwa mantan penasun dan penasun aktif yang memiliki
masalah fisik, psikologis, dan adiksi yang berbeda-beda. Penilaian yang tepat diperlukan untuk
mendiagnosis masalah individual dan mengembangkan rekomendasi terapi individual yang
sesuai.1 Karena masalah pada penasun pada umumnya sangat kompleks, terapi dianjurkan untuk
menggunakan pendekatan biopsikososial.
Seperti telah menjadi kasus di berbagai negara, adalah epidemi HIV yang pada awalnya
menarik perhatian untuk merubah perilaku penggunaan narkoba di Indonesia. Perilaku berisiko
tinggi di kalangan mantan penasun dan penasun aktif. Telah dilaporkan di berbagai literatur
bahwa sejumlah besar penasun berubah dari pemakai narkoba menggunakan jarum suntik ke
pengguna narkoba tanpa memakai jarum suntik.2, 3
Sebagai tambahan, tidak ada dari mereka terbebas dari penggunaan narkoba dalam 30
hari terakhir sebelum wawancara dan bahwa penggunaan alkohol secara berlebihan berhubungan
erat dengan perilaku seksual berisiko. Baik mantan penasun maupun penasun aktif pada
umumnya memiliki perilaku seksual berisiko dan juga penggunaan tato atau tindik yang berisiko,
sementara 13% dari mantan penasun masih terpapar pada peralatan menyuntik yang
terkontaminasi. Perilaku berisiko tidak berhubungan dengan pengetahuan tentang transmisi HIV
yang lebih baik atau pernah tidaknya mengakses program terapi adiksi.
Mantan penasun dapat berkontribusi secara nyata pada penyebaran epidemi HIV di
Indonesia karena prevalensi HIV pada kelompok ini tinggi sementara perilaku seksual berisiko di
kelompok ini juga umum. Lebih lanjut, dibandingkan dengan penasun aktif, mantan penasun
memiliki lebih banyak kontak seksual dengan populasi umum. Oleh karena itu, program
pencegahan HIV sebaiknya juga menjadikan mantan penasun sebagai sasaran program, dengan
penekanan pada pengetesan dan terapi HIV dan infeksi menular melalui darah lainnya dan juga
penekanan pada masalah perilaku seksual berisiko dan perilaku berisiko lainnya.
Program terapi metadon dan pertukaran jarum suntik, yang telah terbukti sangat efektif
dalam menurunkan perilaku menyuntik berisiko 4-6, dapat merupakan terapi yang tidak
diindikasikan atau bahkan dapat membahayakan untuk mantan penasun atau penasun sporadis.
Mantan penasun mungkin akan lebih mendapat keuntungan melalui dari program pencegahan
kekambuhan atau intervensi psikososial lainnya, menekankan pada penggunaan narkoba saat ini
dan perilaku berisiko non suntik lainnya. Secara umum, penasun memiliki akses yang buruk ke
tempat-tempat terapi narkoba karena penggunaan narkoba ilegal dan sangat distigmatisasi.7
Laporan baru-baru ini secara nasional menunjukan bahwa pola transmisi HIV di
Indonesia telah berubah dari penggunaan jarum suntik ke arah transmisi heteroseksual dan
penularan ibu ke anak. Tahun 2006, 52% of dari pasien HIV mendapatkan HIV akibat
penggunaan jarum suntik yang tidak steril sementara angka ini menurun menjadi 16% di 2011.
Walaupun demikian terdapat pertanyaan bagaimana mantan penasun dengan perilaku seksual
berisiko dikategorikan dalam laporan tahun 2011.
Perkembangan yang sangat positif adalah bahwa estimasi penasun di Indonesia juga
menurun: di tahun 2006, jumlah penasun yang dilaporkan adalah 219.000 sedangkan pada tahun
2009, 106.000 orang.8 Pengurangan program yang diberikan untuk penasun oleh lembaga
swadaya masyarakat (LSM) akan memiliki konsekuensi dalam meningkatkan kembali kontribusi
penasun dalam transmisi HIV.
Berkebalikan dengan jumlah penasun, jumlah pengguna narkoba di Indonesia meningkat
dari 2.2 persen (4 juta) di 2010 menjadi 2.8 persen (5 juta).9 Kontradiksi yang tampak ini dapat
dijelaskan dengan adanya perubahan rute administrasi narkoba yang paling sering digunakan:
pada umumnya dari penggunaan narkoba suntik ke narkoba non suntik tetapi dapat juga
sebaliknya.2,3 Sebagai tambahan, tipe narkoba juga akan mempengaruhi rute administrasi dan/
atau perilaku seksual berisiko.
Penasun aktif maupun mantan penasun tidak ada yang berhenti menggunakan narkoba.
Penggunaan stimulan tipe amfetamin (STA) meningkat di Asia dalam beberapa tahun
terakhir10,11 dan penggunaan STA, heroin, atau alcohol tentu saja berhubungan dengan perilaku
menyuntik dan seksual berisiko10-12. Perilaku seksual berisiko dapat menjadi jembatan hubungan
antara penasun dengan komunitas umum. Banyak penelitian menunjukkan bahwa prevalensi
gangguan psikiatri dan penggunaan narkoba pada orang-orang yang melakukan perilaku seksual
berisiko tinggi dan penggunaan obat-obat peningkat suasana perasaan seperti SSRI dapat
menurunkan perilaku seksual berisiko.13 Adalah suatu hal yang penting untuk memberi
perawatan pada pasien-pasien ini, tidak hanya karena masalah-masalah mereka tetapi juga karena
mereka mungkin memegang peranan kunci dalam penyebaran HIV.
Kesimpulan
Prevalensi HIV, penggunaan narkoba, dan perilaku berisiko yang tinggi pada kelompok mantan
pengguna narkoba merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Program penanganan
permasalahan adiksi narkoba dan perilaku berisiko perlu untuk dilakukan untuk mencegah
penyebaran HIV ke masyarakat umum.
Referensi
1. SAMHSA. Center for Substance Abuse Treatment. Substance Abuse Treatment for Persons
With Co-Occurring Disorders. Treatment Improvement Protocol (TIP) Series 42. In:
SERVICES USDOHAH, editor. Rockville: Substance Abuse and Mental Health Services
Administration; 2005.
2. Des Jarlais DC, Arasteh K, Perlis T, Hagan H, Heckathorn DD, McKnight C, et al. The
transition from injection to non-injection drug use: long-term outcomes among heroin and
cocaine users in New York City. Addiction. 2007;102(5):778-85. Epub 2007/05/17.
3. Neaigus A, Gyarmathy VA, Miller M, Frajzyngier VM, Friedman SR, Des Jarlais DC.
Transitions to injecting drug use among noninjecting heroin users: social network influence
and individual susceptibility. J Acquir Immune Defic Syndr. 2006;41(4):493-503. Epub
2006/05/03.
4. Mattick RP, Kimber J, Breen C, Davoli M. Buprenorphine maintenance versus placebo or
methadone maintenance for opioid dependence. Cochrane Database Syst Rev.
2003(2):CD002207. Epub 2003/06/14.
5. Mathers BM, Degenhardt L, Phillips B, Wiessing L, Hickman M, Strathdee SA, et al. Global
epidemiology of injecting drug use and HIV among people who inject drugs: a systematic
review. Lancet. 2008;372 (9651):1733-45.
6. Berkman ND, Wechsberg WM. Access to treatment-related and support services in
methadone treatment programs. J Subst Abuse Treat. 2007;32(1):97-104. Epub 2006/12/19.
7. Hser YI, Maglione M, Polinsky ML, Anglin MD. Predicting drug treatment entry among
treatmentseeking individuals. J Subst Abuse Treat. 1998;15(3):213-20. Epub 1998/06/20.
8. Morrison A, Elliott L, Gruer L. Injecting-related harm and treatment-seeking behaviour
among injecting drug users. Addiction. 1997;92(10):1349-52. Epub 1998/03/07.
9. Mathers BM, Degenhardt L, Phillips B, Wiessing L, Hickman M, Strathdee SA, et al. Global
epidemiology of injecting drug use and HIV among people who inject drugs: a systematic
review. Lancet.2008;372(9651):1733-45. Epub 2008/09/27.
10. Pisani E. Estimating the number of drug injectors in Indonesia. International Journal of Drug
Policy. 2006;17:35-40.
11. Bao YP, Liu ZM, Lu L. Review of HIV and HCV infection among drug users in China. Curr
Opin Psychiatry. 2010;23(3):187-94. Epub 2010/03/24.
12. Martin M, Vanichseni S, Suntharasamai P, Mock PA, van Griensven F, Pitisuttithum P, et al.
Drug use and the risk of HIV infection amongst injection drug users participating in an HIV
vaccine trial in Bangkok, 1999-2003. Int J Drug Policy. 2010;21(4):296-301. Epub
2010/01/19.
KONAS Ke - 11
Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia
Peranan mantan pengguna narkoba suntik
dalam penyebaran HIV/AIDS
Shelly Iskandar1,2, Teddy Hidayat1, Ike M.P. Siregar1, Tri Hanggono Ahmad,3,
Andre J.A.M. Van der Ven 2,4, Cor A.J. De Jong 5
1
2
3
Departemen Psikiatri, Universitas Padjajaran/ Rumah Sakit Umum Pusat dr Hasan Sadikin
Hospital, Bandung, Indonesia
IMPACT (Integrated Management for Prevention Control and Treatment of HIV-AIDS),
Unit Penelitian Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjajaran/ Rumah Sakit
Umum Pusat dr Hasan Sadikin Hospital, Bandung, Indonesia
Departemen Biokimia, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjajaran/ Rumah Sakit Umum
Pusat dr Hasan Sadikin Hospital, Bandung, Indonesia
4
Department of General Internal Medicine and Nijmegen Institute for Inflammation, Infection and
Immunity, Radboud University Nijmegen Medical Centre, the Netherlands
5
Nijmegen Institute for Scientist-Practitioners in Addiction (NISPA); Nijmegen, the
Netherlands
Corresponding author:
Shelly Iskandar, Departemen Psikiatri, Universitas Padjajaran/ Rumah Sakit Umum Pusat dr
Hasan Sadikin Hospital, Bandung, Indonesia, Jl. Pasirkaliki no. 190, Bandung 40151,
Indonesia. Tel. +622270720492. Fax. +62222033915.
Alamat email : [email protected]
Abstrak
Latar belakang dan tujuan
Pengguna narkoba suntik adalah salah satu faktor yang sangat berperan dalam penyebaran HIV
di hampir semua negara di dunia, khususnya di Eropa Timur, Amerika Selatan, dan Asia
Tenggara dan Timur. Untuk pengguna narkoba suntik yang aktif menyuntik, pemberian jarum
suntik steril dan substitusi opiat membantu menurunkan angka penyebaran HIV. Namun hingga
saat ini belum ada program yang ditujukan untuk mantan pengguna narkoba suntik. Prevalensi
HIV yang tinggi pada kelompok ini yang jika disertai dengan perilaku berisiko dapat
menyebarkan HIV ke masyarakat umum. Penelitian ini bertujuan untuk memahami karakteristik
dan perilaku berisiko di kalangan mantan pengguna narkoba suntik.
Metode
Mantan pengguna narkoba suntik di Bandung direkrut dengan menggunakan metode respondent
driven sampling. Mereka diwawancara mengenai penggunaan narkoba dan perilaku berisiko
penyebaran HIV menggunakan kuesioner European Addiction Severity Index dan Blood Borne
Virus Transmission Questionnaire.
Hasil
Prevalensi HIV pada kelompok ini adalah 66%. Umur mereka adalah umur yang aktif secara
seksual (28 ± 4 tahun) dan pendidikan rata-rata SMA. Tidak ada satu pun dari mereka yang tidak
menggunakan narkoba dalam 30 hari terakhir. Narkoba yang paling banyak digunakan adalah
alkohol dan ganja. Perilaku seksual berisiko dilakukan oleh 42% dari responden sedangkan
perilaku berisko lainnya seperti tato dan tindik oleh non-profesional dilakukan oleh 52%
responden.
Kesimpulan
Prevalensi HIV, penggunaan narkoba, dan perilaku berisiko yang tinggi pada kelompok mantan
pengguna narkoba merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Program penanganan
permasalahan adiksi narkoba dan perilaku berisiko perlu untuk dilakukan untuk mencegah
penyebaran HIV ke masyarakat umum.
Peranan mantan pengguna narkoba suntik
dalam penyebaran HIV/AIDS
Latar belakang dan tujuan
Pengguna narkoba suntik adalah salah satu faktor yang sangat berperan dalam
penyebaran HIV di hampir semua negara di dunia, khususnya di Eropa Timur, Amerika Selatan,
dan Asia Tenggara dan Timur.
Untuk pengguna narkoba suntik yang aktif menyuntik,
pemberian jarum suntik steril dan substitusi opiat membantu menurunkan angka penyebaran
HIV. Namun hingga saat ini belum ada program yang ditujukan untuk mantan pengguna narkoba
suntik. Prevalensi HIV yang tinggi pada kelompok ini yang jika disertai dengan perilaku berisiko
dapat menyebarkan HIV ke masyarakat umum.
Dalam penanganan adiksi diperlukan penanganan multidimensi sehingga intervensi
individual diperlukan. Konsep tentang penasun seringkali terlalu disederhanakan, dengan
sedikitnya perhatian pada masalah-masalah kompleks yang mendasari penggunaan NAPZA.
Seringkali penyedia jasa layanan dan pengambil kebijakan mempromosikan layanan pertukaran
jarum suntik dan/ atau terapi obat sebagai strategi pengurangan dampak buruk yang sesuai untuk
semua penasun tanpa memberi perhatian yang cukup pada berbagai masalah utama lainnya dari
penasun.
Penyebab adiksi, seperti genetik, perubahan pada otak akibat penggunaan narkoba, dan
faktor-faktor lingkungan; perilaku berisiko; masalah fisik, psikiatrik, dan sosial yang terjadi
bersamaan; pencegahan; dan terapinya. Kerentanan seseorang untuk mengalami adiksi adalah
hasil dari kombinasi berbagai faktor biopsikososial yang unik untuk setiap orang.
Untuk memberikan penanganan yang tepat bagi kelompok pengguna narkoba suntik
maka diperlukan pemahaman tentang kelompok tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk
memahami karakteristik dan perilaku berisiko di kalangan mantan pengguna narkoba suntik.
Metode
Mantan pengguna narkoba suntik di Bandung direkrut dengan menggunakan metode
respondent driven sampling. Mereka diwawancara mengenai penggunaan narkoba dan perilaku
berisiko penyebaran HIV menggunakan kuesioner European Addiction Severity Index dan Blood
Borne Virus Transmission Questionnaire.
Hasil
Prevalensi HIV pada kelompok ini adalah 66%. Umur mereka adalah umur yang aktif
secara seksual (28 ± 4 tahun) dan pendidikan rata-rata SMA. Tidak ada satu pun dari mereka
yang tidak menggunakan narkoba dalam 30 hari terakhir. Narkoba yang paling banyak
digunakan adalah alkohol dan ganja. Perilaku seksual berisiko dilakukan oleh 42% dari
responden sedangkan perilaku berisko lainnya seperti tato dan tindik oleh non-profesional
dilakukan oleh 52% responden.
Penelitian ini menunjukkan bahwa mantan penasun dan penasun aktif yang memiliki
masalah fisik, psikologis, dan adiksi yang berbeda-beda. Penilaian yang tepat diperlukan untuk
mendiagnosis masalah individual dan mengembangkan rekomendasi terapi individual yang
sesuai.1 Karena masalah pada penasun pada umumnya sangat kompleks, terapi dianjurkan untuk
menggunakan pendekatan biopsikososial.
Seperti telah menjadi kasus di berbagai negara, adalah epidemi HIV yang pada awalnya
menarik perhatian untuk merubah perilaku penggunaan narkoba di Indonesia. Perilaku berisiko
tinggi di kalangan mantan penasun dan penasun aktif. Telah dilaporkan di berbagai literatur
bahwa sejumlah besar penasun berubah dari pemakai narkoba menggunakan jarum suntik ke
pengguna narkoba tanpa memakai jarum suntik.2, 3
Sebagai tambahan, tidak ada dari mereka terbebas dari penggunaan narkoba dalam 30
hari terakhir sebelum wawancara dan bahwa penggunaan alkohol secara berlebihan berhubungan
erat dengan perilaku seksual berisiko. Baik mantan penasun maupun penasun aktif pada
umumnya memiliki perilaku seksual berisiko dan juga penggunaan tato atau tindik yang berisiko,
sementara 13% dari mantan penasun masih terpapar pada peralatan menyuntik yang
terkontaminasi. Perilaku berisiko tidak berhubungan dengan pengetahuan tentang transmisi HIV
yang lebih baik atau pernah tidaknya mengakses program terapi adiksi.
Mantan penasun dapat berkontribusi secara nyata pada penyebaran epidemi HIV di
Indonesia karena prevalensi HIV pada kelompok ini tinggi sementara perilaku seksual berisiko di
kelompok ini juga umum. Lebih lanjut, dibandingkan dengan penasun aktif, mantan penasun
memiliki lebih banyak kontak seksual dengan populasi umum. Oleh karena itu, program
pencegahan HIV sebaiknya juga menjadikan mantan penasun sebagai sasaran program, dengan
penekanan pada pengetesan dan terapi HIV dan infeksi menular melalui darah lainnya dan juga
penekanan pada masalah perilaku seksual berisiko dan perilaku berisiko lainnya.
Program terapi metadon dan pertukaran jarum suntik, yang telah terbukti sangat efektif
dalam menurunkan perilaku menyuntik berisiko 4-6, dapat merupakan terapi yang tidak
diindikasikan atau bahkan dapat membahayakan untuk mantan penasun atau penasun sporadis.
Mantan penasun mungkin akan lebih mendapat keuntungan melalui dari program pencegahan
kekambuhan atau intervensi psikososial lainnya, menekankan pada penggunaan narkoba saat ini
dan perilaku berisiko non suntik lainnya. Secara umum, penasun memiliki akses yang buruk ke
tempat-tempat terapi narkoba karena penggunaan narkoba ilegal dan sangat distigmatisasi.7
Laporan baru-baru ini secara nasional menunjukan bahwa pola transmisi HIV di
Indonesia telah berubah dari penggunaan jarum suntik ke arah transmisi heteroseksual dan
penularan ibu ke anak. Tahun 2006, 52% of dari pasien HIV mendapatkan HIV akibat
penggunaan jarum suntik yang tidak steril sementara angka ini menurun menjadi 16% di 2011.
Walaupun demikian terdapat pertanyaan bagaimana mantan penasun dengan perilaku seksual
berisiko dikategorikan dalam laporan tahun 2011.
Perkembangan yang sangat positif adalah bahwa estimasi penasun di Indonesia juga
menurun: di tahun 2006, jumlah penasun yang dilaporkan adalah 219.000 sedangkan pada tahun
2009, 106.000 orang.8 Pengurangan program yang diberikan untuk penasun oleh lembaga
swadaya masyarakat (LSM) akan memiliki konsekuensi dalam meningkatkan kembali kontribusi
penasun dalam transmisi HIV.
Berkebalikan dengan jumlah penasun, jumlah pengguna narkoba di Indonesia meningkat
dari 2.2 persen (4 juta) di 2010 menjadi 2.8 persen (5 juta).9 Kontradiksi yang tampak ini dapat
dijelaskan dengan adanya perubahan rute administrasi narkoba yang paling sering digunakan:
pada umumnya dari penggunaan narkoba suntik ke narkoba non suntik tetapi dapat juga
sebaliknya.2,3 Sebagai tambahan, tipe narkoba juga akan mempengaruhi rute administrasi dan/
atau perilaku seksual berisiko.
Penasun aktif maupun mantan penasun tidak ada yang berhenti menggunakan narkoba.
Penggunaan stimulan tipe amfetamin (STA) meningkat di Asia dalam beberapa tahun
terakhir10,11 dan penggunaan STA, heroin, atau alcohol tentu saja berhubungan dengan perilaku
menyuntik dan seksual berisiko10-12. Perilaku seksual berisiko dapat menjadi jembatan hubungan
antara penasun dengan komunitas umum. Banyak penelitian menunjukkan bahwa prevalensi
gangguan psikiatri dan penggunaan narkoba pada orang-orang yang melakukan perilaku seksual
berisiko tinggi dan penggunaan obat-obat peningkat suasana perasaan seperti SSRI dapat
menurunkan perilaku seksual berisiko.13 Adalah suatu hal yang penting untuk memberi
perawatan pada pasien-pasien ini, tidak hanya karena masalah-masalah mereka tetapi juga karena
mereka mungkin memegang peranan kunci dalam penyebaran HIV.
Kesimpulan
Prevalensi HIV, penggunaan narkoba, dan perilaku berisiko yang tinggi pada kelompok mantan
pengguna narkoba merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Program penanganan
permasalahan adiksi narkoba dan perilaku berisiko perlu untuk dilakukan untuk mencegah
penyebaran HIV ke masyarakat umum.
Referensi
1. SAMHSA. Center for Substance Abuse Treatment. Substance Abuse Treatment for Persons
With Co-Occurring Disorders. Treatment Improvement Protocol (TIP) Series 42. In:
SERVICES USDOHAH, editor. Rockville: Substance Abuse and Mental Health Services
Administration; 2005.
2. Des Jarlais DC, Arasteh K, Perlis T, Hagan H, Heckathorn DD, McKnight C, et al. The
transition from injection to non-injection drug use: long-term outcomes among heroin and
cocaine users in New York City. Addiction. 2007;102(5):778-85. Epub 2007/05/17.
3. Neaigus A, Gyarmathy VA, Miller M, Frajzyngier VM, Friedman SR, Des Jarlais DC.
Transitions to injecting drug use among noninjecting heroin users: social network influence
and individual susceptibility. J Acquir Immune Defic Syndr. 2006;41(4):493-503. Epub
2006/05/03.
4. Mattick RP, Kimber J, Breen C, Davoli M. Buprenorphine maintenance versus placebo or
methadone maintenance for opioid dependence. Cochrane Database Syst Rev.
2003(2):CD002207. Epub 2003/06/14.
5. Mathers BM, Degenhardt L, Phillips B, Wiessing L, Hickman M, Strathdee SA, et al. Global
epidemiology of injecting drug use and HIV among people who inject drugs: a systematic
review. Lancet. 2008;372 (9651):1733-45.
6. Berkman ND, Wechsberg WM. Access to treatment-related and support services in
methadone treatment programs. J Subst Abuse Treat. 2007;32(1):97-104. Epub 2006/12/19.
7. Hser YI, Maglione M, Polinsky ML, Anglin MD. Predicting drug treatment entry among
treatmentseeking individuals. J Subst Abuse Treat. 1998;15(3):213-20. Epub 1998/06/20.
8. Morrison A, Elliott L, Gruer L. Injecting-related harm and treatment-seeking behaviour
among injecting drug users. Addiction. 1997;92(10):1349-52. Epub 1998/03/07.
9. Mathers BM, Degenhardt L, Phillips B, Wiessing L, Hickman M, Strathdee SA, et al. Global
epidemiology of injecting drug use and HIV among people who inject drugs: a systematic
review. Lancet.2008;372(9651):1733-45. Epub 2008/09/27.
10. Pisani E. Estimating the number of drug injectors in Indonesia. International Journal of Drug
Policy. 2006;17:35-40.
11. Bao YP, Liu ZM, Lu L. Review of HIV and HCV infection among drug users in China. Curr
Opin Psychiatry. 2010;23(3):187-94. Epub 2010/03/24.
12. Martin M, Vanichseni S, Suntharasamai P, Mock PA, van Griensven F, Pitisuttithum P, et al.
Drug use and the risk of HIV infection amongst injection drug users participating in an HIV
vaccine trial in Bangkok, 1999-2003. Int J Drug Policy. 2010;21(4):296-301. Epub
2010/01/19.