Pengaruh penalaran moral dan religiusitas terhadap selt-control dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba pada remaja
PENGARUH PENALARAN MORAL DAN RELIGIUSITAS
TERHADAP
SELF-CONTROL DALAM PENCEGAHAN
PENYALAHGUNAAN NARKOBA PADA REMAJA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi satu syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Oleh :
Desi Azti
205070000486
FAKULTAS PSIKOLOGI NON REGULER
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
(2)
PENGARUH PENALARAN MORAL DAN RELIGIUSITAS
TERHADAP
SELF-CONTROL DALAM PENCEGAHAN
PENYALAHGUNAAN NARKOBA PADA REMAJA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi satu syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Oleh :
Desi Azti 205070000486
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing II
1
NIP. 198209182009012006
FAKULTAS PSIKOLOGI NON REGULER
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
(3)
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul PENGARUH PENALARAN MORAL DAN RELIGIUSITAS TERHADAP SELF-CONTROL DALAM PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA PADA REMAJA telah diujikan dalam siding munaqosyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 28 Februari 2011. Skipsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.
Jakarta, 28 Februari 2011 Sidang Munaqosyah
Dekan / Ketua Pembantu Dekan / Sekretaris
Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si NIP. 130 885 522 NIP. 19561223 198303 2 001
Anggota :
Bambang Suryadi, Ph. D Prof. Hamdan Yasun, M.Si NIP. 19700529 200312 1 002 NIP. 130 351 146
(4)
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Desi Azti NIM : 205070000486
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh Penalaran
Moral Dan Religiusitas Terhadap Self-Control Dalam Pencegahan
Penyalahgunaan Narkoba Pada Remaja” adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan skripsi tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka.
Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan Undang-Undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain.
Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya.
Jakarta, Februari 2011
Desi Azti NIM : 205070000486
(5)
Motto
Sesungguhnya, pada penciptan langit dan bumi,
serta pergantian malam dan siang, terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir
(QS : Al-Imran :19)
(6)
Bismillahirahmannirrahim
.
Puji syukur atas segala karunia yang diberikan Allah
SWT yang selalu memberikan nikmatnya kepadaku
untuk menulis karya ini.
Karya ini kupersembahkan untuk ibundaku tercinta Hj.
Zunaiti, kakakku dan Almarhum ayahandaku, serta
untuk calonku yang setia menungguku, serta
sahabat-sahabatku yang tak pernah henti memberikan semangat
(7)
ABSTRAK
(A) Fakultas Psikologi (B) Februari 2011 (C) Desi Azti
(D) Pengaruh Penalaran Moral Dan Religiusitas Terhadap Self-Control Dalam Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Pada Remaja.
(E) 83 halaman + xiv lampiran
(F) Penyalahgunaan narkoba atau drug abuse di negara kita tampaknya kian marak. Hal ini dapat dipastikandrugs centralterus merambah, mencengkram lapisan masyarakat tanpa memandang usia, jenis kelamin, dan status sosial ekonomi. Meskipun demikin, yang paling sering mendapat sorotan dalam hal penyalahgunaan narkoba adalah kaum remaja. Oleh karena itu, remaja membutuhkan penalaran moral agar mampu membuat pertimbangan dalam setiap tindakannya. Selain itu, remaja harus menanamkan sikap religiusitas agar lebih mendekatkan diri kepada Tuhan dalam menjalani kehidupan dimasa remaja yang akan mempengaruhi perilakunya. Tetapi apakah terdapat pengaruh antara penalaran moral dan religiusitas terhadapself-control dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba pada remaja?
Penalaran moral adalah struktur proses kognitif yang mendasari jawaban ataupun perbuiatan-perbuatan moral. Sedangkan religiusitas adalah sistem keyakinan yang digunakan oleh individu, yang secara moral dsan spiritual membimbing perilaku mereka.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan antara penalaran moral dan religiusitas terhadap self-control
dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba pada remaja.
Metode dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif korelasional, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah stratified proportional sampling. Jumlah item yang valid untuk skala penalaran moral adalah 25 item dengan reliabilitas sebesar 0,8914, jumlah item untuk skala religiusitas adalah 23 item dengan reliabilitas sebesar 0,8355, sedangkan item yang valid untuk skalaself-controladalah 0,8456.
Dapat diketahui koefisien korelasi penalaran moral dan self-control dengan koefisien sebesar 0,689 dengan signifikan 0,000 < 0,01 yang menyatakan bahwa ada pengaruh positif yang signifikan antara penalaran moral dengan
(8)
control sebesar 0,812 dengan nilai p=0,000 < p=0,01 hal ini menyatakan bahwa ada pengaruh positif yang signifikan antara religiustas dengan self-control.
Saran untuk peneliti selanjutnya supaya mengembangkan penelitian tentang
self-control yang dipengaruhi oleh variabel lainnya selain penalaran moral dan religiusitas. Di harapkan penelitian selanjutnya akan semakin menyempurnakan hasil penelitian sebelumnya. Peneliti selanjutnya juga perlu menggunakan motode lain selain metode kuantitatif seperti observasi dan wawancara untuk lebih memperdalam hasil penelitian.
Kata kunci :Penalaran Moral, Religiusitas,Self-control.
(9)
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan begitu banyak rahmat dan nikmat-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Penalaran Moral Dan Religiusitas
Terhadap Self-Control Dalam Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Pada
Remaja”.
Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis untuk mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada:
1. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah, Jahja Umar, Ph. D, seluruh dosen dan seluruh staf karyawan yang telah banyak membantu dalam menuntut ilmu di Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah. 2. Prof. Hamdan Yasun, M.Si, dosen pembimbing I yang telah memberikan
arahan dan bimbingan dengan segenap kesabarannya, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan maksimal.
3. Yufi Adriani, M.psi, dosen pembimbin yang II yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan dan masukan yang bermanfaat dalam penyelesaian penelitian ini.
4. Untuk ibuku Hj. Zunaiti dan kakakku Jimmy Azrinal terimakasih atas doa dan dukungannya yang tak pernah putus, serta semangat yang diberikan kepada peneliti untuk selalu berjuang dalam menyelesaikan penelitian ini. 5. Pembimbing Akademik Dra. Zahrotun Nihayah, M.Si yang telah
membimbing peneliti selama perkuliahan ini.
6. Seluruh dosen dan staf akademik Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah yang telah banyak memberikan pelajaran selama penulis mengikuti kuliah.
(10)
7. Untuk sahabat terbaikku Niar, Nida, Retno, Loli, Dita, Dimar, Novi, Gita, terimakasih atas semangat, dukungan dan doanya.
8. Untuk Niar, Nida, Dedeh terimakasih atas bantuannya, kalian teman sekaligus guru buatku.
9. Untuk Fidhi Ardi, terimakasih atas kesabarannya menungguku dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Teman-teman Fakultas Psikologi Non-Regular Angkatan 2005 dan teman-teman angkatan 2006, terimakasih atas bantuan dan semangatnya. 11. Kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas
dukungan dan bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga segala kebaikannya dibalas oleh Allah SWT.
Peneliti menyadari atas keterbatasan yang dimiliki dalam penyusunan skripsi ini, sehingga apabila terdapat kesalahan, peneliti mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya. Mudah-mudahan penelitian ini dapat bermanfaat sebagaimana mestinya, terutama bagi peneliti sendiri.
Peneliti mengucapkan terimakasih untuk semua pihak yang sudah membantu penyelesaian laporan penelitian ini. Wassalam.
Jakarta, 13 Februari 2011
(11)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN... iii
HALAMAN PERNYATAAN... iv
MOTTO ... v
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ...xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ...xvii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... 1
1.2 Pembatasan Masalah ... 6
1.3 Perumusan Masalah ... 7
1.4 Tujuan Penelitian ... 8
1.5 Manfaat Penelitian ... 9
1.6 Sistematika Penulisan ... 9
BAB 2 KAJIAN TEORI 2.1 Self-Control ... 11
2.1.1 PengertianSelf-Control ... 11
2.1.2 Aspek-aspek Self-Control... 12
2.1.3 FungsiSelf-Control... 14
2.1.4 Self-ControlPada Remaja ... 16
2.2 Penalaran Moral ... 19
2.2.1 Pengertian Penalaran Moral ... 19
2.2.2 Teori Perkembangan Moral Menurut Kohlberg ... 20
2.2.3 Tahap-tahap Perkembangan Moral Kohlberg ... 21
2.3 Religiusitas ... 25
2.3.1 Pengertian Religiusitas ... 25
2.3.2 Aspek-aspek / Dimensi-dimensi Religiusitas ... 27
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian ... 43
3.2 Variabel Penelitian ... 44
3.3 Definisi Konseptual dan Definisi Operasional... 44
3.3.1 Definisi Konseptual ... 44
3.3.2 Definisi Operasional... 45
3.4 Populasi dan Sampel ... 46
(12)
3.5 Teknik Pengambilan Sampel ... 47
3.6 Metode dan Instrumen Penelitian ... 47
3.6.1 Instrumen Pengumpulan Data ... 47
3.6.2 Instrumen Penelitian... 48
3.7 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 52
3.7.1 Uji Validitas ... 53
3.7.2 Uji Reliabilitas ... 53
3.7.3 Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 53
3.8 Teknik Analisis Data ... 57
3.9 Prosedur Penelitian ... 58
BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Responden penelitian ... 59
4.1.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... 59
4.1.2 Gambaran Responden Berdasarkan Usia ... 60
4.2 Deskripsi Data ... 60
4.2.1 Kategorisasi Penalaran Moral ... 61
4.2.2 Kategorisasi Religiusitas... 62
4.2.3 KetegorisasiSelf-control ... 62
4.3 Uji Hipotesis ... 63
4.4 Uji Regresi ... 65
4.4.1 Hasil Uji Regresi Aspek Penalaran Moral ... 65
4.4.2 Hasil Uji Regresi Aspek Religiusitas... 69
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI & SARAN 5.1 Kesimpulan ... 77
5.2 Diskusi ... 79
5.3 Saran ... 81
5.3.1 Saran Teoritis ... 81
5.3.2 Saran Praktis ... 81
DAFTAR PUSTAKA ... 82
(13)
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Skor Untuk Pernyataan ... 49
Tabel 3.2 Blue Print Skala Dukungan Keluarga ... 50
Tabel 3.3 Blue Print Skala Religiusitas... 51
Tabel 3.4 Blue Print Skala Kecemasan Melahirkan ... 53
Tabel 3.5 Klasifikasi Koefisien Reliabilitas ... 54
Tabel 3.6 Blue Print Setelah Try Out Skala Dukungan Keluarga ... 55
Tabel 3.7 Blue Print Setelah Try Out Skala Religiusitas ... 56
Tabel 3.8 Blue Print Setelah Try Out Skala Kecemasan Melahirkan ... 57
Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Usia Kehamilan ... 59
Tabel 4.2 Gambaran Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 60
Tabel 4.3 Deskripsi Statistik ... 61
Tabel 4.4 Kategorisasi Dukungan Keluarga ... 61
Tabel 4.5 Kategorisasi Religiusitas... 62
Tabel 4.6 Kategorisasi Kecemasan Melahirkan ... 63
(14)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Penelitian Pengaruh Penalaran Moral dan Religiusitas Terhadap Self-Control Dalam Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Pada Remaja... 40
(15)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Izin Penelitian Lampiran 2 Angket Try Out Lampiran 3 Skoring Try Out
Lampiran 4 Uji Validitas dan Reliabilitas Lampiran 5 Angket Filed Tes
Lampiran 6 Skoring Field Tes Lampiran 7 Hasil Uji Korelasi
Lampiran 8 Hasil Uji Regresi Variabel Penalaran Moral dan Religiusitas Terhadap Self-Control Dalam Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Pada Remaja
Lampiran 9 Hasil Uji Regresi Variabel Religiusitas Terhadap Self-Control Dalam Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Pada Remaja.
Lampiran 10 Hasil Anova Lampiran 11 Hasil Koefisien
(16)
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Penyalahgunaan narkoba atau drug abuse di negara kita tampaknya kian marak, kendati upaya-upaya Shock therapy maupun sangsi hukum terus dilancarkan. Dalam kaitannya penyebaran penyalahgunaan narkoba ini, Ketua Ikatan Dokter Ahli Ilmu Jiwa Cabang Bandung, dr. Teddy Hidayat, SpKj., pernah memaparkan bahwa perkembangan narkoba di Indonesia keadaannya hampir sama dengan Colombia yang dikenal sebagai penghasil drugs terbesar di dunia. Hal ini dapat dipastikandrugs centralterus merambah, mencengkram lapisan masyarakat tanpa memandang usia, jenis kelamin, dan status sosial ekonomi. Meskipun demikin, yang paling sering mendapat sorotan dalam hal penyalahgunaan narkoba adalah kaum remaja (Wikagoe, 2003).
Hasil Survey Nasional Penyalahgunaan dan Pengedaran Gelap Narkoba terhadap 13.710 orang sample respondent pelajar SLTP, SLTA, dan Perguruan Tinggi Pemerintah dan Swasta di 30 ibu kota Propinsi, yang dilakukan atas kerja sama BNN dengan Lembaga Penelitian Pranata, Universitas Indonesia pada tahun 2003, menunjukkan bahwa: 3,9% respondent menyalahgunakan narkoba dalam satu tahun terakhir; respondent yang berusia 25 tahun ke atas mempunyai propors penyalahgunaan tertinggi, yaitu sebesar 20%. Hal ini menunjukkan bahwa prevalensi penyalahgunaan narkoba dikalangan remaja adalah tertinggi apabila
(17)
dibandingkan dengan kelompok uia lainnya. Artinya, kerentanan dan resiko penyalahgunaan narkoba dikalangan remaja adalah tertinggi.
Dari 5.081 orang tersangka terlibat kasus narkoba dalam kurun waktu lima tahun (1999-2003), 94% tergolong kelompok usia 20-30 tahun dan dari 6.053 orang penyalahguna narkoba tahun 2002, menurut laporan RSKO Departeman Kesehatan, Rumah Sakit Jiwa, Dinas Kesehatan dan Lembaga Permasyarakatan, sebanyak 95% berusia antara
15-Masa remaja merupakan masa yang sangat penting dalam perkembangan hidup individu. Masa ini sering disebut dengan masa transisi. Masa transisi pasti dialami oleh semua remaja, dimana pada saat itu remaja sedang mengalami perubahan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Kelabilan pada masa transisi ini membuat mereka sering membuat sensasi untuk menarik perhatian umum tentang keberadaan mereka. Ada sensasi yang bersifat positif dan adapula sensasi yang bersifat negatif (Kauma, 1999). Masa remaja juga merupakan masa pencarian jati diri yang ditandai oleh pemberontakan terhadap aturan, otoritas dan dominasi orang tua dan orang dewasa; kondisi kejiwaan yang labil, gampang berubah sikap dan pendirian, serta mudah terpengaruh dan mengikuti trend atau mode terutama dari kelompok sebayanya, termasuk gaya hidup menggunakan narkoba (BNN, 2004).
Penyalahgunaan narkoba merupakan suatu masalah yang saat ini sedang melanda kehidupan masyarakat terutama kaum remaja. Anak usia remaja memang paling rawan terhadap penyalahgunaan narkoba. Karena pada masa ini, remaja berusaha menyerap nilai-nilai baru dari luar yang dianggap dapat memperkuat
(18)
jatidirinya. Selain itu, remaja selalu ingin tahu dan ingin mencoba, apalagi terhadap hal-hal yang mengandung bahaya atau resiko (Pramono: 2003).
Remaja merupakan target utama penyebaran narkoba karena karakteristik remaja yang labil, dan mudah dipengaruhi. Dengan demikian sangat diperlukan penalaran moral karena banyaknya isu-isu moral dikalangan remaja seperti penggunaan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) dikalangan remaja. Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak dapat lagi dianggap sebagai suatu persoalan sederhana, karena tindakan-tindakan tersebut sudah menjurus pada tindakan kriminal (Budiningsih, 2001).
Moral merupakan suatu kebutuhan penting bagi remaja, terutama sebagai pedoman menemukan identitas dirinya, mengembangkan hubungan personal yang harmonis, dan menghindari konflik-konflik peran yang selalu terjadi dalam masa transisi (Desmita, 2005).
Penalaran moral merupakan faktor penentu yang melahirkan perilaku moral. Karena itu untuk menemukan perilaku moral yang sebenarnya hanya dapat ditelusuri melalui penalarannya. Artinya, pengukuran moral yang benar tidak sekedar mengamati perilaku moral yang tampak, tetapi harus melihat pada penalaran moral yang mendasari keputusan perilaku moral tersebut. Dengan mengukur tingkat penalaran moral remaja akan dapat mengetahui tinggi rendahnya moral tersebut (Budiningsih, 2001).
Kohlberg dalam menjelaskan pengertian moral menggunakan istilah-istilah seperti moral-reasoning, moral thinking, dan moral judgment, sebagai istilah-istilah yang mempunyai pengertian sama dan digunakan secara bergantian.
(19)
Istilah tersebut dialih bahasakan menjadi penalaran moral. Penalaran moral menekankan pada alasan mengapa suatu tindakan dilakukan, dari pada sekedar arti suatu tindakan, sehingga dapat dinilai apakah tindakan tersebut baik atau buruk (Budiningsih, 2001).
Dalam pandangan Kohlberg (dalam Haricahyono,1995), moral dibatasi oleh konstruk lain yang disebut dengan pertimbangan (judgment) utamanya karakter formal dari pertimbangan dan bukan isinya. Penalaran moral dipandang sebagai suatu struktur bukan isi. Dengan demikian penalaran moral bukanlah pada apa yang baik atau yang buruk, tetapi pada bagaimana seseorang berpikir sampai pada keputusan bahwa sesuatu adalah baik atau buruk (Budiningsih, 2001).
Seperti halnya moral, agama juga memiliki arti yang sama pentingnya bagi remaja. Adams & Gullota, menjelaskan agama memberikan kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya (Desmita, 2005).
Halonen dan Santrock (1999) mendefinisikan religiusitas sebagai sistem keyakinan yang digunakan oleh individu, yang secara moral dan spiritual membimbing perilaku mereka. Agama memberikan pengaruh dalam kehidupan remaja. Bila remaja melaksanakan ajaran agama dengan baik, maka remaja dalam kehidupannya akan merasa ada yang mengontrol dan mengamati dirinya serta segala tindak tanduknya. Sikap pengamalan agama dengan baik yang diaktualisasikan dengan aktivitas keagamaan dalam dimensi islam seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya apabila terinternalisasi dalam diri remaja maka akan menumbuhkan dan membentuk suatu ikatan yang kuat dan mengikat
(20)
terhadap kekuatan di luar dirinya yaitu Tuhan Dzat Yang Maha Esa yang dijadikan pelindung dan pengawas terhadap segala perbuatan, sehingga akan menjadi kontrol diri yang baik. Nilai-nilai agama dan moral dapat meredam gejolak-gejolak remaja serta mencegah remaja untuk melakukan tindakan yang menyimpang dari norma (Agus Sunaryo, 2008).
Moral dan religi merupakan bagian yang penting dalam jiwa remaja. Sebagian orang berpendapat bahwa moral dan religi dapat mengendalikan tingkah laku remaja sehingga tidak melakukan hal-hal yang merugikan atau bertentangan dengan kehendak atau pandangan masyarakat (Sarwono, 1994).
Menurut Ghufron (2004), setiap individu memiliki suatu mekanisme yang dapat membantu mengatur dan mengarahkan perilaku yaitu kontrol diri. Sebagai salah satu sifat kepribadian kontrol diri pada satu individu dengan individu yang lain tidaklah sama. Ada yang memiliki kontrol diri yang tinggi dan ada individu yang memiliki kontrol diri yang rendah. Kontrol diri dapat diartikan sebagai suatu aktivitas pengendalian tingkah laku, pengendalian tingkah laku mengandung makna yaitu melakukan pertimbangan-pertimbangan terlebih dahulu sebelum memutuskan sesuatu untuk bertindak. Semakin intens, pengendalian tingkah laku, semakin tinggi pula kontrol diri seseorang.
Dari fenomena diatas yang menyatakan moral dan religiusitas dapat mengendalikan diri, membuat peneliti tertarik untuk membuktikan apakah penalaran moral memiliki pengaruh terhadap self-control dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba pada remaja serta apakah religiusitas juga memiliki pengaruh terhadap self-control dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba pada
(21)
remaja?. Selanjutnya peneliti tertarik untuk meneliti hal tersebut dan merupakan
alasan peneliti untuk membuat skripsi dengan judul “Pengaruh Penalaran Moral dan Religiusitas terhadap self-Control Dalam Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Pada Remaja”.
1.2 Pembatasan Masalah
Dibawah ini menjadi pokok permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
a. Penalaran moral dalam penelitian ini adalah struktur proses kognitif yang mendasari jawaban ataupun perbuatan-perbuatan moral.
b. Religiusitas adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai dan sistem perilaku yang terlambangkan yang semuanya berpusat pada persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi(ultimate meaning).
c. Self control dalam penelitian ini adalah kemampuan individu untuk menggunakan kehendak atau keinginananya dalam membimbing tingkah laku sendiri dan menekan atau merintangi impuls-impuls atau tingkah laku impulsif yang tertuang dalam perilaku, kognitif dan pengambilan keputusan.
d. Narkoba adalah obat, bahan, zat bukan makanan, yang jika diminum, dihisap, dihirup, ditelan atau disuntikan, berpengaruh terutama pada kerja otak (susunan Syaraf pusat) dan seringkali menyebabkan ketergantungan. Yang tergolong narkoba adalah: Narkotika, Psikotropika dan zat Adiktif lain, termasuk minuman beralkhohol.
(22)
e. Remaja yang menjadi subjek penelitian adalah remaja yang berusia 16-18 tahun yang masih duduk dibangku sekolah menengah atas.
1.3 Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka perumusan masalah penelitian ini adalah :
a. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara penalaran moral dan religiusitas terhadap self-control dalam pencegarhan penyalahgunaan narkoba pada remaja?
b. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara hak komunitas dan hak individu terhadap self-control dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba pada remaja?
c. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara prinsip etis universal terhadap
self-control dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba pada remaja?
d. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara dimensi keyakinan terhadap self-control dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba pada remaja?
e. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara dimensi praktek agama terhadap
self-control dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba pada remaja?
f. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara dimensi pengalaman terhadap
self-control dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba pada remaja?
g. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara dimensi pengetahuan agama terhadap self-control dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba pada remaja?
(23)
h. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara dimensi konsekuensi terhadap
self-control dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba pada remaja?
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui pengaruh penalaran moral dan tingkat religiusitas terhadap
self-controldalam pencegahan penyalahgunaan narkoba pada remaja.
b. Untuk mengetahui pengaruh hak komunitas dan hak individu terhadap self-controldalam pencegahan penyalahgunaan narkoba pada remaja.
c. Untuk mengetahui pengaruh prinsip etis universal terhadapself-controldalam pencegahan penyalahgunaan narkoba pada remaja.
d. Untuk mengetahui pengaruh dimensi keyakinan terhadap self-control dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba pada remaja.
e. Untuk mengetahui pengaruh dimensi praktek agama terhadap self-control
dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba pada remaja.
f. Untuk mengetahui pengaruh dimensi pengalaman terhadap self-controldalam pencegahan penyalahgunaan narkoba pada remaja.
g. Untuk mengetahui pengaruh dimensi pengetahuan agama terhadapself-control
dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba pada remaja.
h. Untuk mengetahui pengaruh dimensi konsekuensi terhadap self controldalam pencegahan penyalahgunaan narkoba pada remaja.
(24)
1.5 Manfaat Penelitian
1. Manfaat penelitian ini secara teoritis dapat dijadikan referensi penelitian yang berhubungan dengan dunia perkembangan khususnya penalaran moral, tingkat religiusitas danself-control.
2. Manfaat penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk remaja dalam mengembangkan penalaran moral, meningkatkan religiusitas dan membentuk self-control untuk pencegahan penyalahgunaan narkoba.
1.6 Sistematika Penulisan
Adapun penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, dengan sistematika sebagai berikut:
BAB 1 : PENDAHULUAN
Berisi uraian mengenai latar belakang masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB 2 : KAJIAN TEORI
Berisi uraian mengenai teori-teori penalaran moral, teori-teori religiusitas, teori-teori self-control, pengertian narkoba, pengertian remaja, kerangka berfikir dan hipotesa penelitian.
BAB 3 : METODE PENELITIAN
Berisi uraian mengenai pendekatan penelitian, variabel penelitian, definisi konseptual dan definisi operasional, populasi dan sampel,
(25)
teknik pengambilan sample, pengumpulan data, uji validitas dan reliabilitas alat ukur penelitian, teknik analisa data, dan prosedur penelitian.
BAB 4 : HASIL PENELITIAN
Berisi uraian mengenai gambaran umum responden penelitian, deskripsi data, uji persyaratan, kategorisasi, serta pengujian hipotesis, dan hasil uji regresi.
BAB 5 : PENUTUP
(26)
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Self-Control
Dalam self-control ini dibahas tentang pengertian self-control, aspek-aspek dari
self-control, fungsi self-control, faktor yang mempengaruhi self-control, self-control pada remaja, dan indicatorself-control.
2.1.1 PengertianSelf-Control
Menurut Chaplin (2006), self-control adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri, kemampuan untuk menekan atau merintangi impuls-impuls atau tingkah laku impulsif. Kartini Kartono (2000) mendefinisikan self-control
atau kontrol diri adalah mengatur sendiri tingkah laku yang dimiliki.
Menurut Calhoun dan Acocella (1990), kontrol diri atau kendali diri adalah pengaruh seseorang terhadap, dan peraturan tentang fisiknya, tingkah laku. Dan proses-proses psikologisnya – dengan kata lain sekelompok proses yang mengikat dirinya. Goldfried dan Merbaum (1973), mengatakan bahwaself-control
adalah proses dimana seorang individu menjadi pihak utama membentuk, mengarahkan dan mengatur perilaku yang akhirnya diarahkan pada konsekuensi positif.
Messina & Messina (dalam Singgih D. Gunarsa, 2009), menyatakan bahwa pengendalian diri adalah seperangkat tingkah laku yang berfokus pada keberhasilan mengubah diri pribadi, keberhasilan menangkal pengrusakan diri
(27)
(self-destructive), perasaan mampu pada diri sendiri, perasaan mandiri (autonomy) atau bebas dari pengaruh orang lain, kebebasan menentukan tujuan, kemampuan untuk memisahkan perasaan dan pikiran rasional, serta seperangkat tingkah laku yang terfokus pada tanggung jawab atas diri pribadi. Menurut Berk (dalam Singgih, 2009), pengendalian diri adalah kemampuan individu untuk menahan keinginan atau dorongan sesaat yang bertentangan dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma sosial.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa self-control
(pengendalian diri) adalah kemampuan individu untuk membimbing tingkah laku sendiri dan menekan atau merintangi impuls-impuls atau tingkah laku impulsif yang dapat diarahkan pada konsekuensi positif.
2.1.2 Aspek-aspekSelf-Control
Menurut Averill (dalam Sarafino, 1990), terdapat lima aspek mengontrol diri, yaitu :
a) Behavioral control
Berkaitan dengan kemampuan untuk mengambil tindakan yang konkret untuk mengurangi dampak stressor. Tindakan tersebut mungkin dapat mengurangi intensitas peristiwa yang penuh dengan tekanan atau memperpendek jangka waktu.
Averill (1973), behavioral control ini diperinci menjadi 2 komponen, yaitu mengatur pelaksanaan (regulated administration) dan kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus modification).
(28)
Kemampuan mengatur pelaksanaan merupakan kemampuan individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan, dirinya sendiri atau sesuatu di luar dirinya. Individu yang kemampuan mengontrol dirinya baik akan mampu mengatur perilaku dengan menggunakan kemampuan dirinya dan bila tidak mampu individu akan menggunakan sumber eksternal.
Kemampuan memodifikasi stimulus merupakan kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi. Ada beberapa cara yang dapat digunakan, yaitu mencegah atau menjauhi stimulus, menempatkan tenggang waktu diantara rangkaian stimulus yang sedang berlangsung, menghentikan stimulus sebelum waktunya berakhir, dan membatasi intensitasnya.
b) Cognitive control
Merupakan kemampuan untuk menggunakan proses dan strategi yang sudah dipikirkan untuk mengubah pengaruh stressor. Ini untuk memodifikasi akibat dari tekanan-tekanan. Strategi tersebut termasuk dalam hal yang berbeda atau fokus pada kesenangan atau pemikiran yang netral atau membuat sensasi.
Averill (1973), cognitive control terdiri atas 2 komponen, yaitu memperoleh informasi (information gain) dan melakukan penilaian (appraisal).
Dengan informasi yang dimiliki oleh individu mengenai suatu keadaan yang tidak menyenangkan individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai pertimbangan. Melakukan penilaian berarti individu berusaha
(29)
menilai dan menafsirkan suatu keadaan atau peristiwa dengan cara memperhatikan segi-segi positif secara subjektif.
c) Decisional control
Merupakan kesempatan untuk memilih antara prosedur alternatif atau cara bertindak. Averill (1973), decisional control merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. Self-control dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan.
d) Informational Control
Merupakan waktu yang tepat untuk mengetahui lebih banyak tentang tekanan-tekanan, apa saja yang terjadi, mengapa, dan apa konsekuensi selanjutnya. Informasi kontrol diri dapat mengurangi tekanan dengan meningkatkan kemampuan individu untuk memprediksikan dan mempersiapkan atas apa yang akan terjadi dengan mengurangi ketakutan-ketakutan yang sering dimiliki seseorang yang tidak terduga.
e) Retrospective Control
Bertujuan untuk meyakinkan tentang apa dan siapa yang mengakibatkan tekanan-tekanan setelah ini terjadi.
Kelima aspek ini yang digunakan untuk menyusun instrumenself-control.
2.1.3 FungsiSelf-Control (Pengendalian Diri)
Messina dan Messina (dalam Singgih D. Gunarsa, 2009), menyatakan bahwa pengendalian diri memiliki beberapa fungsi:
(30)
a) Membatasi perhatian individu kepada orang lain.
Dengan adanya pengendalian diri, individu akan memberikan perhatian pada kebutuhan pribadinya pula, tidak sekedar berfokus pada kebutuhan, kepentingan, atau keinginan orang lain di lingkungannya. Perhatian yang terlalu banyak pada kebutuhan, kepentingan, atau keinginan orang lain akan menyebabkan individu mengabaikan bahkan melupakan kebutuhan pribadinya.
b) Membatasi keinginan individu untuk mengendalikan orang lain di lingkungannya.
Dengan adanya pengendalian diri, individu akan membatasi ruang bagi aspirasi dirinya dan memberikan ruang bagi aspirasi orang lain supaya terakomodasi secara bersama-sama.
c) Membatasi individu untuk bertingkah laku negatif.
Individu yang memiliki pengendalian diri akan terhindar dari berbagai tingkah laku negatif. Pengendalian diri memiliki arti sebagai kemampuan individu untuk menahan dorongan atau keinginan untuk bertingkah laku (negative) yang tidak sesuai dengan norma sosial.
d) Membantu individu untuk memenuhi kebutuhan hidup secara seimbang. Individu yang memiliki pengendalian diri yang baik, akan berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dalam takaran yang sesuai dengan kebutuhan yang ingin dipenuhinya. Dalam hal ini, pengendalian diri membantu individu untuk menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan hidup.
(31)
2.1.4 Self-Control Pada Remaja
Menurut Rice (dalam Singgih D. Gunarsa, 2009), masa remaja adalah masa peralihan, ketika individu tumbuh dari masa anak-anak menjadi individu yang memiliki kematangan. Pada masa tersebut, ada dua hal penting menyebabkan remaja melakukan pengendalian diri. Dua hal tersebut adalah:
1. Hal yang bersifat internal, yaitu adanya perubahan lingkungan.
Menurut Rice (dalam Singgih D. Gunarsa, 2009), ada enam aspek yang sedang mengalami perubahan yang memiliki pengaruh bagi kehidupan masa remaja. Adapun enam aspek tersebut adalah: perubahan dalam penggunaan komputer (computer revolution), perubahan dalam kehidupan materi (materialistic revolution), perubahan dalam aspek pendidikan (education revolution), perubahan dalam aspek kehidupan berkeluarga (family revolution), perubahan dalam aspek kehidupan seks (sexual revolution), dan peunahan dalam aspek kejahatan atau tindak kriminal yang terjadi (violence revolution). Dari enam aspek tersebut, aspek-aspek yang perlu dicermati sehubungan dengan pengendalian diri pada remaja adalah computer revolution, materialistic revolution, education revolution, sexual revolution, danviolence revolution.
• Perubahan dalam penggunaan komputer (computer revolution), ditandai dengan adanya fasilitas internet yang tersedia 24 jam sehari, 365 setahun. Dengan tersedianya fasilitas tersebut remaja sangat diuntungkan. Remaja dapat memperoleh berbagai pengetahuan atau informasi yang dibutuhkannya. Namun demikian, bersamaan dengan itu, remaja
(32)
mendapatkan dampak negatif dari tersedianya fasilitas internet tersebut. Menurut McManus (dalam Singgih D. Gunarsa, 2009), ada beberapa efek negatif yang dialami para remaja akibat cepatnya perubahan dan perkembangan teknologi internet, yaitu meningkatnya agresivitas dalam kehidupan seks remaja dan tersitanya sebagian besar waktu remaja untuk bermain komputer dan menjelajahi internet, sehingga mengakibatkan terisolasinya hubungan interpersonal remaja dengan lingkungan bahkan dengan orang-orang terdekat dirumahnya.
• Perubahan dalam kehidupan materi (materialistic revolution). Menurut Rice (dalam Singgih D. Gunarsa, 2009), kemampuan remaja dalam menghadapi tuntutan kehidupan materi ini akan mempengaruhi identitas dirinya, yaitu ketika remaja yang merasa kurang mampu menghadapi tuntutan ini akan merasa ditolak oleh lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, untuk menghadapi kondisi perubahan kehidupan materi ini, remaja perlu mengendalikan diri dlam bentuk menunda keinginan sesaat untuk membeli atau mengkonsumsi berbagai macam barang yang ada disekelilingnya.
• Perubahan dalam kehidupan seks (sexual revolution). Dalam menghadapi
sexual revolution, remaja memerlukan mekanisme pengendalian diri yang baik. Dalam hal ini, pengendalian diri yang baik, berarti remaja mampu mengendalikan hasrat seksual dan dorongan biologisnya yang sedang timbul.
(33)
• Perubahan dalam bidang kekerasan (violence revolution). Rice, 1999 (dalam Singgih D. Gunarsa, 2009), mengemukakan bahwa hal-hal yang termasuk dalam bidang kekerasan yang dilakukan remaja antara lain adalah perkosaan, perampokan, pemukulan, pembunuhan, dan perilaku kriminal seperti penggunaan obat terlarang. Untuk mencegah agar remaja tidak masuk ke dalam arus perubahan dalam bidang kriminal ini, remaja perlu memiliki kemampuan pengendalian diri yang memadai. Dengan kemampuan pengendalian diri yang baik, remaja diharapkan mampu mengendalikan dan menahan tingkah laku yang bersifat menyakiti dan merugikan orang lain atau mampu mengendalikan serta menahan tingkah laku yang bertentangan dengan norma-norma sosial berlaku.
2. Masa Badai dan Tekanan bagi Remaja (Storm & Stress)
Menurut Arnett, (dalam Singgih D. Gunarsa, 2009), pentingnya pengendalian diri bagi remaja, juga didasari oleh fenomena bahwa masa remaja sering kali dikenal sebagai masa badai dan tekanan. Ada tiga elemen kunci yang termasuk dalam konsep masa badai dan tekanan ini adalah:
• Konflik dengan orangtua, sering sekali diisi dengan permasalahan seputar larangan-larangan yang berasal dari orangtua kepada remaja.
• Gangguan suasana hati, remaja lebih sering mengalami gangguan suasana hati dibandingkan pada saat masa anak-anak. Remaja memang mengalami suasana hati yang positif. Namun demikian, bila ditinjau dari frekuensi
(34)
suasana hati yang timbul, remaja cenderung lebih sering mengalami suasana hati yang negatif.
• Kecenderungan remaja untuk melakukan tingkah laku yang berisiko. Tingkah laku berisiko didefinisikan sebagai tingkah laku yang secara potensial dapat menyebabkan celaka atau kesulitan pada orang lain maupun pada diri sendiri.
2.2 Penalaran Moral
Dalam penalaran moral ini dibahas tentang pengertian penalaran moral, Teori Perkembangan Penalaran Moral Menurut Kohlberg, Tahap-tahap Perkembangan Penalaran Moral Kohlberg, dan Indikator Penalaran Moral
2.2.1 Pengertian Penalaran Moral
Penalaran moral terdiri dari dua kata, yaitu penalaran dan moral. Menurut Chaplin (2006) istilah penalaran atau reasoning yaitu proses berpikir, khususnya proses berpikir logis atau berpikir memecahkan masalah. Kohlberg mendefinisikan moral sebagai bagian dari penalaran (reasoning), sehingga iapun menamakannya dengan penalaran moral (moral reasoning). Panalaran atau pertimbangan tersebut berkenaan dengan keluasaan wawasan mengenai relasi antara diri dan orang lain, hak dan kewajiban (Desmita, 2005).
Sedangkan Moral berasal dari bahasa latin “mos” yaitu jamak dari mores
yang berarti adat kebiasaan (Asmaran, 1994). Moral inilah yang menjadi patokan hidup bagi seseorang. Bagaimana seseorang itu bertingkah laku ditentukan oleh kematangan moral yang dimilikinya. Menurut Berkowitz (dalam Lickona 1976),
(35)
moral adalah evaluasi terhadap tingkah laku yang dipercayai atau diterima oleh anggota masyarakat sebagai ‘benar’.
Bertens (1993) mengatakan bahwa “Moralitas” (dari kata sifat latin
moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan “moral”, hanya lebih
abstrak. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Istilah moralisasi sebenernya lebih menunjuk kepada pertimbangan yang berkenaan dengan prinsip-prinsip, nilai-nilai dan tingkah laku-tingkah laku tertentu yang dianggap bermoral atau tidak bermoral oleh masyarakat (Haricahyono, 1995)
Berdasarkan penggalan pengertian penalaran dan moral diatas, maka dapat diartikan penalaran moral sebagai berikut:
Penalaran moral adalah cara berpikir yang mendasari keputusan yang mengenai benar dan salah atau baik dan buruk yang digunakan untuk memperkuat norma yang dianut dan dapat diterapkan dalam berbagai situasi.
2.2.2 Teori Perkembangan Penalaran Moral Menurut Kohlberg
Pendekatan yang paling berpengaruh dalam membahas tentang perkembangan moral adalah pendekatan kognitif Lawrence Kohlberg, yang terinspirasi oleh penelitian sebelumnya dari Piaget pada perkembangan moral anak (Berk, 2004). Piaget menjelaskan dua tahap perkembangan moral, tahap yang pertama yaitu tahap heteronomous morality atau realisme moral. Tahap realisme moral muncul saat anak berusia 4-7 tahun. Pada tahap itu, anak cenderung menerima aturan-aturan yang diberikan. Tahap kedua adalah tahap autonomous morality atau
(36)
perlunya memodifikasi aturan unuk disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang ada (Haricahyono, 1995).
Dalam teori perkembangan penalaran moral, peneliti menggunakan tahap perkembangan moral yang dikemukan oleh Kohlberg. Kohlberg memperluas teori Piaget, ia mengemukakan bahwa ada tiga tahap perkembangan moral. Tiap tahap terdiri dari dua sub tahap perkembangan yang harus dilalui anak sampai dewasa. Kohlberg lebih menekankan pada penalaran moral daripada tindakan moral itu sendiri (Kohlberg, 1995)
2.2.3 Tahap-tahap Perkembangan Penalaran Moral Kohlberg
Menurut Kohlberg (1995), perkembangan penalaran moral manusian terjadi melalui tahap-tahap tertentu yang harus dilalui, yaitu tahap Pra-konvensional (preconvensional), tahap konvensional (convensional), dan tahap paska-konvensional (postconvensional) serta masing-masing tahap memiliki sub tahap. Untuk memahami ketiga tahap utama penalaran moral yang dikemukakan Kohlberg di atas, maka akan lebih jelas bila melihat uraian berikut:
1) Tahap 1 Kohlberg:Preconvensional Reasoning
Preconvensional Reasoning atau Pra-konvensional adalah tahap terendah dalam teori perkembangan penalaran moral Kohlberg. Ini terjadi pada anak usia 4-10 tahun. Pada tahap ini, individu tidak menunjukkan adanya internalisasi nilai-nilai moral-penalaran moral dikendalikan oleh reward dan hukuman eksternal. Seseorang akan begitu responsive terhadap norma-norma budaya atau label-label kultur lainnya seperti persoalan-persoalan yang
(37)
berkaitan dengan norma baik dan buruk serta menginterpretasikannya berdasarkan konsekuensi yang mungkin akan dihadapi (dalam Haricahyono, 1995). Tahap ini mempunyai cirri bahwa apa yang benar atau salah itu terbatas pada aturan-aturan yang konkret atau atas dasar kekuasaan atau hukuman. Tahap ini dibagi menjadi dua sub tahap, yaitu:
a. Sub tahap 1: Orientasi hukum & kepatuhan
Pada tahap ini, pemikiran moral didasarkan pada hukuman.
Anak mendasarkan perbuatannya atas otoritas konkret (orangtua dan guru) dan atas hukuman yang akan menyusul bila ia tidak patuh. Seseorang berperilaku baik untuk menghindari hukuman atau untuk mendapatkan hadiah (Haricahyono, 1995).
b. Sub tahap 2: Individualisme & tujuan
Pada tahap ini, pemikiran moral didasarkan pada reward dan minat pribadi. Anak mulai menyadari kepentingan orang lain juga, tetapi hubungan antar manusia lebih dianggapnya hubungan timbal balik yang harus saling menguntungkan. Suatu perbuatan dianggap baik jika dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan juga kadang-kadang kebtuhan orang lain. 2) Tahap 2 Kohlberg:Conventional Reasoning
Conventional Reasoningatau konvensional adalah tahap kedua atau menengah dari teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini, internalisasi sifatnya menengah. Individu mematuhi beberapa standar tertentu (internal), tetapi standar itu merupakan standar orang lain (eksternal), misalnya orangtua atau hukum yang berlaku di masyarakat.
(38)
Pada tahap ini yang ‘benar’ didefinisikan atas dasar hak asasi manusia
yang umum dan universal, nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang wajib digunakan baik oleh masyarakat maupun individu. Mematuhi harapan kelompok, keluarga atau masyarakat berbangsa dan bernegara dianggap sebagai sesuatu yang terpuji (Haricahyono, 1995).
Tahap ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu: a. Sub tahap 3: Norma interpersonal
Pada tahap ini, individu menganggap rasa percaya, rasa sayang, dan kesetiaan terhadap orang lain sebagai dasar untuk melakukan penilaian moral. Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan orang lain dan disetujui oleh mereka.
b. Sub tahap 4: Moralitas sistem social
Pada tahap ini, penilaian moral didasarkan pada pemahaman terhadap aturan, hukum, keadilan dan tugas social. Orientasi pada tahap ini ditekankan pada aturan-aturan tetap, otoritas dan pertahanan ketertiban sosial. Sesuatu yang baik berdasarkan pertimbangan atas dasar melaksanakan kewajiban, menghormati otoritas dan mempertahankan ketertiban sosial yang berlaku demi ketertiban itu sendiri
3) Tahap 3 Kohlberg:Postconventional Reasoning
Postconventional Reasoning atau paska-konvensional adalah tahap tertinggi dalam perkembangan Kohlberg. Pada tahap ini dapat dicapai oleh orang dewasa atau dimulai pada usia 16 tahun. Pada tahap ini, moralitas diinternalisasi sepenuhnya dan tidak lagi didasarkan pada pada standar orang
(39)
lain. Individu mengetahui adanya pilihan moral yang lain sebagai alternative, memperhatikan pilihan-pilihan tersebut, dan kemudian memutuskan ssuatu dengan kode moral pribadinya. Tahap ini dibagi menjadi dua sub tahap, yaitu: a. Sub tahap 5: Hak komunitas dan hak individu
Pada tahap ini seseorang memiliki pemahaman bahwa nilai dan hukum adalah relative dan standar yang dimiliki satu orang akan berbeda dengan orang lain. Disamping apa yang disetjui dengan cara demokratis, baik buruknya tergantung pada nilai-nilai dan pendapat-pendapat pribadi. Segi hukum ditekankan, tetapi diperhatikan secara khusus kemungkinan untuk mengubah hukum, asal hal itu terjadi demi kegunaan sosial.
b. Sub tahap 6: Prinsip etis universal
Tahap ini adalah tahap tertinggi dari teori perkembangan penalaran moral Kohlberg. Pada tahap ini, seseorang sudah membentuk standar moral yang didasarkan pada hak manusia secara universal (Kohlberg dalam Santrock, 2001). Disini orang mengatur tingkah laku dan penilaian moralnya berdasarkan hati nurani pribadi. Yang mencolok adalah prinsip-prinsip etis dan hati nurani berlaku secara universal, dimana prinsip-prinsip ini menyangkut keadilan, kesetiaan membantu satu sama lain, persamaan hak manusia dan menghormati martabat manusia sebagai pribadi.
(40)
2.3 Religiusitas
Dalam religiusitas ini dibahas tentang pengertian religiusitas, aspek-aspek atau dimensi-dimensi religiusitas, dan indicator religiusitas.
2.3.1 Pengertian religiusitas
Istilah religiusitas cukup akrab dengan beberapa padanan katanya, seperti sering ditemukan istilah religi (religion), agama dan Din.
Menurut Gazalba (1985), kata religi berasal dari bahasa latin religio yang berasal dari akar kata religare yang berarti mengikat. Maksudnya adalah ikatan manusia dengan suatu tenaga yaitu tenaga gaib yang kudus. Religi adalah kecenderungan rohani manusia untuk berhubungan dengan alam semesta, nilai yang meliputi segalanya, makna yang terakhir, dan hakekat dari semuanya.
Halonen dan Santrock (1999) mendefinisikan religiusitas sebagai sistem keyakinan yang digunakan oleh individu, yang secara moral dsan spiritual membimbing perilaku mereka. Hal ini juga ditegaskan dalam Seri Mutiara Iman (2002) bahwa religi adalah sistem pemikiran dan tidakan yang mengekspresikan kepercayaan kepada Allah.
Glock dan Stark (1966) agama atau religion adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai dan sistem perilaku yang terlambangkan yang semuanya berpusat pada persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate meaning).
Freud melihat bahwa agama itu adalah reaksi manusia atas ketakutannya sendiri. Dalam buku yang berjudul The Future of an Illusion (1927), freud
(41)
mengatakan bahwa agama dalam ciri-ciri psikologisnya adalah sebuah ilusi, yakni kepercayaan yang dasar utamanya adalah angan-angan (wishfulfillment).
BF. Skinner, tokoh dari aliran Behaviorisme walaupun tidak banyak memberikan perhatian terhdadap perilaku beragama sempat menjelaska bahwa perilaku manusia pada umumnya dapat dijelaskan berdasarkan teori pengkondisian operan sehingga perilaku beragama sebagaimana perilaku manusia yang lainnya merupakan ungkapan bagaimana manusia hidup berdasarkan pengkondisian operan. Aktivitas beragama menurutnya merupakan pengaruh ganjaran (reward) dan hukuman (punishment). Dan menurutnya perilaku beragama merupakan perilaku yang dilakukan untuk meredakan ketegangan.
Sedangkan Abraham Maslow, tokoh psikologi Humanistik mengakui eksistensi agama. Maslow mengemukakan konsep Metamotivation (di luar
hierarchy of needs) yang terdiri dari mystical atau peak experience yang menggambarkan pengalaman keagamaan. Pada kondisi itu manusia merasakan adanya pengalaman keagamaan yang sangat dalam. Pribadi (self) lepas dari realitas fisik dan menyatu dengan kekuatan transendental (self is lost and transcended).
Sementara itu dalam peristilahan bahasa Arab dan Qur’an, kata agama
dapat searti dengan kataaddin apabila kata itu berdiri sendiri. Akan tetapi apabila kata addin itu dirangkai dengan Allah atau dengan al-haq, maka menjadilah
“dienullah” atau “dienulhaq”, yang berarti agama yang datang dari Allah atau
(42)
Sebagaimana kita ketahui bahwa keberagamaan dalam Islam bukan hanya diwujudkan dalam bentuk ibadah ritual saja, tapi juga dalam aktivitas-aktivitas lainnya. Sebagai sistem yang menyeluruh, Islam mendorong pemeluknya untuk beragama secara menyeluruh pula (QS 2: 208); baik dalam berpikir, bersikap maupun bertindak, harus didasarkan pada prinsip penyerahan diri dan pengabdian secara total kepada Allah, kapan, dimana dan dalam keadaan bagaimanapun. Karena itu, hanya konsep yang mampu memberi penjelasan tentang kemenyeluruhan yang mampu memahami keberagamaan umat Islam.
Dari berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa religiusitas adalah suatu sistem keyakinan yang menghubungkan dan mengikat manusia dengan sesuatu diluar dirinya yang memiliki kekuatan yang lebih tinggi yang memiliki cinta kasih dan jaminan perlindungan yang bisa diperoleh dengan penyerahan diri dan pengabdian secara total.
2.3.2 Aspek-Aspek Religiusitas / Dimensi-Dimensi Religiusitas
Keberagamaan atau religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Aktivitas beragama tidak terjadi pada seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah) saja, namun juga ketika melakukan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat oleh mata, tapi juga aktivitas yang tak tampak dan terjadi di dalam hati individu (Djamaludin Ancok, 1995).
Menurut Glock dan Stark (1996) mengemukakan bahwa ada lima dimensi keberagamaan yaitu :
(43)
1. Dimensi keyakinan, dimensi ini berisikan pengharapan-pengharapan di mana orang yang religious berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu, mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan dimana para penganut diharapkan akan taat. Walaupun demikian, isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi, tidak hanya diantara agama-agama, tetapi seringkali juga diantara tradisi-tradisi dalam agama yang sama.
2. Dimensi praktek agama. Dimensi ini mencakup prilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktek-praktek keagamaan ini terdiri dari ritual dan ketaatan.
3. Dimensi pengalaman. Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama menganut pengharapan-pengharapan tertentu meski tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan subyektif dan langsung mengenai kanyataan terakhir (bahwa ia akan mencapai siuatu keadaan kontak dengan perantara supernatural). Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan (masyarakat) yang melihat adanya komunikasi walaupun kecil dengan suatu esensi ketuhanan, yakni dengan Tuhan, dengan kenyataan terakhir atau dengan transcendental.
4. Dimensi pengetahuan agama. Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan dasar-dasar keyakinan adalah syarat bagi penerimaannya.
(44)
Walaupun demikian kenyataan tidak perlu diikuti oleh syarat pengetahuan agama tidak selalu bersandar pada keyakinan.
5. Dimensi konsekuensi. Konsekuensi komitemen agama berlainan dari keempat dimensi yang sudah dibicarakan di atas. Dimensi ini mengacu kepada identifiakasi akibat keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Walaupun agama banyak menggariskan bagaimana pemeluknya seharusnya berfikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari tidak sepenuhnya jelas sebatas mana konsekuensi-konsekuensi agama merupakan bagian dari komitmen keagamaan.
Sedangakan dalam Islam, aspek-aspek tersebut sejajar dengan aspek aqidah, syariat dan akhlak. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Endang Saifuddin Anshari (1980), mengungkapkan bahwa pada dasarnya Islam dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Aspek keyakinan atau aqidah Islam, menunjukkan kepada seberapa tingkat keyakinan muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran agamanya terutama yang bersifat fundamental dan dogmatic. Dalam keberislaman, isi aspek keimanan menyangkut keprcayaan tentang Allah, Para Malaikat, Nabi/Rasul, Kitab Allah, Surga dan Neraka sera Qadha dan Qadhar.
2. Aspek peribadatan (praktek agama) atau syariah, menunjukkan pada seberapa patuh tingkat kepatuhan muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana diperintahkan dan dianjurkan oleh agamanya. Dalam keberislaman, aspek peribadatan menyangkut pelaksanaan shalat, puasa, zakat,
(45)
haji, membaca al-Qur’an, ibadah Qurban, I’tikaf di masjid pada bulan puasa
dan sebagainya.
3. Aspek pengalaman atau akhlak, menunjukkan pada seberapa tingkatan muslikm berperilaku dimotivsi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaiman individu berelasi dengan dunianya, terurama dengan muslim. Dalam keberislaman, aspek ini meliputi suka menolong, bekerjasama, berderma, menyejahterakan dan menumbuhkembangkan orang lain, menegakkan keadilan dan kebenaran, berlaku jujur, memaafkan, menjaga lingkungan hidup, menjaga amanat, tidak mencuri, tidak korupsi, tidak menipu, tidak berjudi, tidak meminum-minuman keras, mematuhi norma-norma Islam dalam perilaku sekusual, berjuang untuk hidupn sukses menurut islam, dan sebagainya (Djamaludin Ancok, 1994).
2.4 Narkoba
2.4.1 Pengertian Narkoba
Narkoba adalah singkatan dari narkotika, psikotropika dan bahan/ zat adiktif lainnya (dalam Pedoman Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba, 2004).
Penyalahgunaan narkoba adalah penggunaan narkoba di luar keperluan medis, tanpa pengawasan dokter dan merupakan perbuatan melanggar hukum (Pasal 59, Undang-Undang Nomor 5, Tahun 1997, Tentang Psikotropika dan Pasal 84, 85, dan 86, Undang-Undang Nomor 22, Tahun 1997, Tentang Narkotika).
(46)
Penyalahgunaan narkoba merupakan suatu proses yang makin meningkat dari taraf coba-coba ke taraf penggunaan untuk hiburan, penggunaan situasional, penggunaan teratur sampai kepada ketergantungan.
2.4.2 Jenis-Jenis Narkoba
Dalam Buku Pedoman Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Remaja, Jenis Narkoba yang sering disalahgunakan adalah
1. Narkotika adalah ”zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan” (Undang -Undang Nomor 22, Tahun 1997, tentang Narkotika).
Yang Tergolong Narkotika adalah Opioida, Morfin, Codein, Heroin/ Putaw, Ganja, Metadon, Kokain, Crack.
2. Psikotropika adalah ”zat atau obat baik alamiah ataupun sintetis, bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif, melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku (Undang-Undang Nomor 5, tahun 1997, tentang Psikotropika).
Yang Tergolong Psikotropika adalah Amphetamine, dan ATS (Amphetamine Type Stimulan)
a. Bahan adiktif lainnya adalah zat atau bahan yang tidak termasuk kedalam golongan narkotika atau psikotropika, tetapi menimbulkan ketergantungan.
(47)
Yang Tergolong Zat Adiktif adalahAlkohol, kafein, nicotine, zat sedatif dan hipnotika, halusinogen, inhalansia.
2.4.3 Dampak Penyalahgunaan Narkoba
a. Gangguan kesehatan jasmani : fungsi organ-organ tubuh terganggu (hati, jantung, paru, otak, dll). Penyakit menular karena pemakaian jarum suntik bergantian (hepatitis B/C, HIV. AIDS).
b. Overdosis yang dapat menyebabkan kematian. Ketergantungan, yang menyebabkan gejala sakit jika pemakainya dihentikan atau dikurangi, serta meningkatnya jumlah narkoba yang dikonsumsi.
c. Gangguan kesehatan jiwa (gangguan prkembangan mental-emosional, paranoid). Gangguan dalam kehidupan keluarga, sekolah dan sosial (pertengkaran, masalah keuangan, putus sekolah, menganggur, kriminalitas, dipenjara, dikucilkan, dll).
2.5 Remaja
2.5.1 Pengertian remaja
Menurut Elizabeth B. Hurlock, istilah Adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja), yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa.
Piaget mengatakan bahwa istilah adolescence, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Secara psikologis, masa remaja adalah usia di mana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia di mana anak tidak
(48)
lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua, melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.
Menurut Konopka, masa remaja ini, meliputi (a) remaja awal: 12-15 tahun, (b) remaja madya: 15-18 tahun, dan (c) remaja akhir: 19-22 tahun. Sedangkan Salzman mengemukakan bahwa remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence) terhadap orang tua kearah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral (dalam Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, 2006),.
Menurut Dra. Ny. Y. Singgih D. Gunarsa dan suaminya dalam peranan pendidikan agama terhadap pemecahan problema remaja, masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak ke masa dewasa, meliputi semua perkembanagn yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa.
2.5.2 Ciri-ciri masa remaja
Ciri-ciri masa remaja menurut Hurlock, antara lain adalah :
1. Masa remaja sebagai periode yang penting. Di mana perkembangan fisik yang cepat dan penting, di sertai dengan cepatnya perkembangan mental.
2. Masa remaja sebagai periode peralihan, yaitu peralihan dari anak-anak menjadi dewasa.
3. Masa remaja sebagai periode perubahan. Yaitu meningginya emosi, perubahan tubuh, minat, peran dan nilai- nilai.
4. Masa remaja sebagai usia bermasalah, saat mereka tidak mampu mengatasi masalahnya sendiri.
(49)
5. Masa remaja sebagai masa mencari identitas. Dalam psikologi, konsep identitas pada umumnya merujuk kepada suatu kesadaran akan kesatuan dan kesinambungan pribadi, serta keyakinan yang relatif stabil sepanjang rentang kehidupan, sekalipun terjadi berbagai perubahan
6. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan. Sebagian remaja menginginkan dan menuntut kebebasan, tetapi mereka seringkali takut untuk bertanggung jawab atas akibatnya.
7. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistis. Di mana remaja sering melihat dirinya dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan, bukan sebagaimana adanya.
2.5.3 Tugas Perkembangan Remaja
Istilah adolescence, mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Pandangan ini diungkapkan oleh Piaget, bahwa secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak (Hurlock, 1980).
Menurut Andi Mappiare (1982), rentangan usia yang biasanya terjadi dalam masa ini (untuk remaja Indonesia) adalah antara 17 sampai 21 tahun bagi wanita, dan 18 sampai 22 tahun bagi pria. Dalam rentangan masa itu terjadi proses penyempurnaan pertumbuhan fisik dan perkembagan aspek-aspek psikis yang telah dimulai sejak masa-masa sebelumnya.
(50)
Dalam Yulia Singgih D. Gunarsa (2008), harapan masyarakat terhadap remaja dapat dipenuhi melalui suatu proses bersinambung dalam menjalankan tugas-tugas perkembangan. Sebagai hasil dari kerja timbale balik yang majemuk antara pertumbuhan dari dalam dan perangsangan dari lingkungan akan bermunculan serangkaian perilaku baru menuju tercapainya masa dewasa. Tergantung dari reaksi lingkungan dan pemahaman lingkungan terhadap munculnya perubahan-perubahan itulah, akan timbul atau tidak masalah bagi remaja.
Beberapa tugas perkembangan bagi remaja: 1. Memperoleh kebebasan emosional
Agar menjadi seorang dewasa yang dapat mengambil keputusan dengan bijaksana, remaja harus memperoleh latihan dalam mengambil keputusan secara bertahap. Perlu menghadapi pilihan-pilihan dari yang ringan sampai yang berat, dengan jangkauan jauh ke masa depan.
Remaja perlu merenggangkan ikatan emosional dengan orangtua, supaya belajar memilih sendiri dan mengambil keputusan sendiri. Usaha memperoleh kebebasan emosional ini sering disertai perilaku “pemberontakan” dan
melawan keinginan orangtua.
Tugas perkembangan ini sering menimbulkan pertentangan-pertentangan
dalam keluarga. Dengan bekal “kebebasan emosional” berlandaskan
kemampuan membedakan mana yang baik, mana yang tidak baik, apa yang patut dipilih, apa yang harus dihindari, tujuan maan yang harus dikejar dan
(51)
tindakan atau keputusan mana sebaiknya diambil, remaja dapat bergaul dan menjalankan tugas perkembangan selanjutnya.
2. Mampu bergaul
Dalam mempersiapkan diri untuk masa dewasa, remaja harus belajar beraul dengan teman sebaya dan tidak sebaya, sejenis maupun tidak sejenis. Dalam usaha memperluas pergaulan, remaja sering menghadapi berbagai macam keadaan, mengalami pengaruh lingkungan baik yang mengarahkan maupun yang mengombang-ambingkannya.
3. Menemukan model untuk identifikasi
Remaja pada masa ini sedang merenggangkan diri dari ikatan emosional dengan orangtuanya. Menurut Erikson (dalam Yulia Singgih D. Gunarsa, 2008), pada masa ini remaja harus menemukan identitas diri. Ia harus memiliki gaya hidup sendiri, yang bisa dikenal dan ajek walaupun mengalami berbagai macam perubahan.
Secara bertahap remaja memilih dan memenuhi kewajiban dan persyaratan berhubung dengna ikatan-ikatan pribadi berkaitan dengan keyakinan hidup yang telah dipilihnya dan pekerjaanya. Dengan demikian
gaya hidup yang khas baginya akan jelas terlihat dari terbentuknya “identitas diri” dalam menduduki tempatnya di masyarakat. Ikatan pribadi pada masa ini
sangat penting untuk pembentukan identitas diri.
4. Memperkuat penguasaan diri atas dasar skala nilai dan norma
Remaja sangat mudah terpengaruh oleh lingkungan luar dan dalam. Lingkungan luar dan pengaruhnya kadang-kadang perlu dihambat dan
(52)
dicegah, supaya tidak terlalu besar perangsangannya terutama bila bersifat negatif. Demikian pula dengan lingkungan dalam diri yang mempengaruhi munculnya perilaku yang tidak bisa ditoleransikan oleh umum, oleh masyarakat harus dikendalikan dan dicegah pemunculannya.
Lingkungan dalam remaja penuh gejolak perasaan, keinginan dan dorongan yang bisa tersalur dalam perilakunya. Landasan dan petunjuk perilaku yang baru dibentuk kembali. Perlu skala nilai baru dan sistem norma yang mengarahkan perilaku dan mengendalikan bahkan mencegah keinginan-keinginan yang tidak bisa diterima umum. Skala nilai dan norma yang baru bisa diperolehnya melalui proses identifikasi dengan orang yang dikaguminya. Tokoh masyarakat yang dianggapnya berhasil dalam kehidupannya.
5. Meninggalkan reaksi dan cara penyesuaian kekanak-kanakan
Seorang anak masih bersifat egosentris. Segala hal dipandang dari sudut pandangnya sendiri, terpusat pada keinginan dan kebutuhan sendiri. Reaksi dan tingkah lakunya sangat dipengaruhi oleh emosi dan kebutuhannya, sehingga sulit menangguhkan terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu. Sebaiknya seorang remaja diharapkan bisa meninggalkan kecenderungan, keinginan untuk menang sendiri. Sepanjang masa peralihan ini, remaja harus belajar melihat dari sudut pandang orang lain. Egosentrisme harus dikikis, supaya perhatian dan tujuan hidupnya lebih diarahkan kepada tanggung jawab atas kesejahteraan orang lain.
(53)
2.6 Kerangka Berfikir
Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Pada masa tranisisi, remaja sering berada dalam keadaan yang labil. Kelabilan pada masa transisi membuat remaja mencari sensasi untuk mendapatkan perhatian. Ada sensasi yang bersifat positif dan adapula sensasi yang bersifat negatif, bahkan menjurus kearah kriminalitas. Penyalahgunaan narkoba merupakan salah satu bentuk sensasi remaja yang bersifat negatif. Oleh karena itu, diperlukan penalaran moral agar remaja dapat mempertimbangkan segala keputusan yang diambilnya.
Penalaran moral adalah cara berpikir yang mendasari keputusan mengenai benar dan salah atau baik dan buruk yang digunakan untuk memperkuat norma yang dianut dan dapat diterapkan dalam berbagai situasi. Seseorang yang akan melakukan suatu tindakan, akan melakukan proses berpikir. Secara tidak langsung, penalaran moral dapat menentukan tindakan individu.
Moral merupakan kebutuhan penting bagi remaja, terutama sebagai pedoman menemukan identitas dirinya, mengembangkan hubungan personal yang harmonis, dan menghindari konflik-konflik peran yang selalu terjadi dalam masa transisi (Desmita, 2005).
Salah satu tugas perkembangan penting yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok dari padanya dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa harus terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak. Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku
(54)
khusus dimasa kanak-kanak dengan prinsip moral yang berlaku umum dan merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya (Hurlock, 1994).
Perkembangan moral setiap individu, menurut Kohlberg, akan berlangsung melalui tahap-tahap tertentu secara berurutan atau ”invariant”,
kendati kecapatan perkembangan masing-masing individu bervariasi, bahkan tidak terttutup kemungkinan sebagian individu akan tertahan dalam waktu yang cukup lama di salah satu tahap. Tahap-tahap tersebut pada dasarnya merupakan satu kesatuan yang terstruktur, mencakup cara berpikir yang total atau menyeluruh, dan tidak sekedar merefleksikan sikap terhadap situasi-situasi tertentu (Haricahyono, 1995).
Pada masa remaja, laki-laki dan perempuan telah mencapai tahap
pelaksanaan formal dalam kemampuan kognitif. Remaja mampu mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggungjawabkannya berdasarkan hipotesis dan proporsi. Jadi ia dapat memandang masalahnya dari beberapa sudut pandang dan menyelesaikannya dengan mengambil banyak faktor sebagai dasar pertimbangan (Hurlock, 1994).
Selain penalaran moral, religiusitas juga merupakan bagian yang penting dalam jiwa remaja. Religiusitas memiliki peran yang sama dengan penalaran moral dalam menentukan tindakan individu. Religiusitas merupakan sistem keyakinan yang digunakan oleh individu, yang secara moral dan spiritual membimbing perilaku mereka.
(55)
Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa penalaran moral dan religiusitas dapat dijadikan pengendalian diri bagi seorang individu. Bila penalaran moral seseorang baik dan tingkat religiusitasnya tinggi, maka pengendalian dirinya juga akan baik. Begitu juga sebaliknya.
Pengaruh penalaran moral dan tingkat religiusitas terhadap self control dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba pada remaja tergambar dalam kerangka berfikir berikut ini :
2.7 Hipotesis Penelitian
Hipotesa merupakan asumsi penelitian terhadap suatu permasalahan yang masih harus diujikan, selanjutnya peneliti akan mengumpulkan data sesuai dengan hipotesa, maka hipotesa yang dirumuskan oleh peneliti sebagai berikut :
Penalaran moral
- Hak komunitas dan hak individu
- Prinsip etis universal
Self Control
Religiusitas
- Dimensi keyakinan - Dimensi praktek
agama - Dimensi
pengalaman - Dimensi
(56)
Ha1 : Ada pengaruh yang signifikan antara penalaran moral dan religiusitas
terhadap self-control dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba.
Ho1 : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara penalaran moral dan
religiusitas terhadap self-control dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba.
Ha2 : Ada pengaruh yang signifikan antara hak komunitas dan hak individu
terhadapself-control dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba.
Ho2 : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara hak komunitas dan hak
individu terhadapself-control dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba. Ha3 : Ada pengaruh yang signifikan antara prinsip etis universal terhadap
self-control dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba.
Ho3 : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara prinsip etis universal terhadap
self-control dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba.
Ha4 : Ada pengaruh yang signifikan antara dimensi keyakinan terhadap
self-control dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba.
Ho4 : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara dimensi keyakinan terhadap
self-control dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba.
Ha5 : Ada pengaruh yang signifikan antara dimensi praktek agama terhadap
self-control dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba.
Ho5 : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara dimensi praktek agama
terhadapself-control dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba.
Ha6 : Ada pengaruh yang signifikan antara dimensi pengalaman terhadap
(57)
Ho6 : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara dimensi pengalaman terhadap
self-control dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba.
Ha7 : Ada pengaruh yang signifikan antara dimensi pengetahuan agama terhadap
self-control dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba.
Ho7 : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara dimensi pengetahuan agama
terhadapself-control dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba.
Ha8 : Ada pengaruh yang signifikan antara dimensi konsekuensi terhadap
self-control dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba.
Ho8 : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara dimensi konsekuensi terhadap
(58)
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif yang menekankan analisisnya pada data-data numerikal (angka) yang diolah dengan metoda statistika. Pada dasarnya, pendekatan kuantitatif dilakukan pada penelitian inferensial (dalam rangka pengujian hipotesis) dan menyandarkan kesimpulan hasilnya pada suatu probabilitas kesalahan penolakan hipotesis nihil. Dengan metoda kuantitatif akan diperoleh signifikansi perbedaan kelompok atau signifikansi hubungan antar variabel yang diteliti. Pada umumnya, penelitian kuantitatif merupakan penelitian sample besar (Azwar, 2005).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Menurut Gay (dalam Sevilla, 1993) Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Tujuan utama dalam menggunakan metode ini menurut Travers (dalam Sevilla, 1993) adalah untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saar penelitian dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu.
Sedangkan jenis penelitian deskriptif yang digunakan adalah penelitian korelasional. Penelitian Korelasional (dalam Sevilla, 1993) adalah metode yang dirancang untuk menentukan tingkat hubungan variabel-variabel yang berbeda dalam suatu populasi. Melalui penelitian ini kita dapat memastikan berapa besar
(59)
yang disebabkan oleh satu variabel dalam hubungannya dengan variasi yang disebabkan oleh variabel lain.
3.2 Variabel Penelitian
Menurut Kerlinger (1990), variabel adalah simbol atau lambang yang padanya kita melekatkan bilangan atau nilai. Penelitian ini melibatkan dua jenis variabel yaitu Variabel Bebas (Independent Variabel) dan Variabel Terikat (Dependent Variabel)
1. Variabel Bebas (Independent Variabel) (IV 1), yaitu Penalaran Moral 2. Variabel Bebas (Independent Variabel) (IV 2), yaitu Tingkat Religiusitas 3. Variabel Terikat (Dependent Variabel), yaituSelf-Control
3.3 Definisi Konseptual dan Definisi Operasional 3.3.1 Definisi Konseptual
Definisi Konseptual (dalam Kerlinger, 1990) adalah mendefinisikan suatu konstruk atau variabel dengan menggunakan konstruk-konstruk lain.
• Penalaran Moral
Penalaran moral adalah struktur proses kognitif yang mendasari jawaban ataupun perbuatan-perbuatan moral.
• Religiusitas
Religiusitas adalah sistem keyakinan yang digunakan oleh individu, yang secara moral dsan spiritual membimbing perilaku mereka.
(60)
• Self-Control
Self-Control (pengendalian diri) adalah kemampuan individu untuk menggunakan kehendak atau keinginannya dalam membimbing tingkah laku sendiri dan menekan atau merintangi impuls-impuls atau tingkah laku impulsif yang dapat diarahkan pada konsekuensi positif.
3.3.2 Definisi Operasional
Menurut Kerlinger (1990), definisi operasional adalah melekatkan arti pada suatu konstruk atau variabel dengan cara menetapkan kegiatan-kegiatan atau tindakan-tindakan yang perlu untuk mengukur konstruk atau variabel tersebut.
• Penalaran Moral
Definisi operasional untuk menyatakan penalaran moral adalah skor yang diperoleh dari skala penalaran moral. Penalaran moral dalam penelitian ini adalah hak komunitas dan hak individu, prinsip etis universal.
• Religiusitas
Definisi operasional untuk menyatakan religiusitas adalah skor yang diperoleh dari skala tingkat religiusitas. Tingkat religiusitas dalam penelitian ini adalah dimensi keyakinan, dimensi praktek agama, dimensi pengalaman, dimensi pengetahuan agama, dan dimensi konsekuensi.
• Self-Control
Definisi operasional untuk menyatakan self -control adalah skor yang diperoleh dari skala self -control. Aspek-aspek self- control dalam penelitian ini didasarkan pada konsep Averill 1973, (dalam Sarafino, 1990) yaitu:
(61)
behavioral control, cognitive control, decisional control, informational control, danretrospective control.
3.4 Populasi dan Sampel 3.4.1 Populasi
Kerlinger (dalam Sevilla, 1993) mendefinisikan populasi sebagai “keseluruhan anggota, kejadian atau objek-objek yang telah ditetapkan dengan baik”.
Sedangkan Gay (1979, dalam Sevilla dkk, 1993) medefinisikan populasi sebagai kelompok di mana peneliti akan menggeneralisasikan hasil penelitiannya.
Populasi dalam penelitian ini adalah Siswa/i SMA Negeri 95 Jakarta,. Populasi yang telah sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh peneliti berjumlah 624 orang.
3.4.2 Sampel
Menurut Ferguson (dalam Sevilla dkk, 1993) sampel adalah “beberapa bagian
kecil atau cuplikan yang ditarik dari populasi”. Untuk jumlah sampel, peneliti
menggunakan ukuran minimum yang ditawarkan oleh Gay, bahwa untuk penelitian korelasi diambil 30 subjek atau lebih (Sevilla, 1993). Menurut Gay (dalam Sevilla, 1993) ukuran sampel dalam penelitian deskriptif korelasional adalah 30 subjek. Peneliti mengambil sampel sebanyak 60 subjek karena untuk menganalisa data penetapan sampel yang besar lebih mengurangi bias yang timbul dibandingkan dengan menggunakan sampel dalam jumlah sedikit. Selain itu
(62)
distribusi frekuensi dari data dengan jumlah sampel besar dan tidak kurang dari 30 subjek akan mendekati penyebaran sampel.
3.5 Teknik Pengambilan Sampel
Menurut Ary, Jacob dan Razavieh (dalam Sevilla,1993) teknik pengambilan sampel adalah suatu proses yang meliputi pengambilan sebagian dari populasi, melakukan pengamatan pada populasi secara keseluruhan. Dalam penelitian ini, tekhnik yang digunakan adalah stratified proportional sampling yaitu metode dalam strategi ini populasi dikategorikan dalam kelompok-kelompok yang memiliki strata yang sama (Sevilla, 1993). Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan memperoleh sampel-sampel dari strata yang berbeda, dasar penentuan strata bisa secara geografis dan meliputi karakteristik dari populasi seperti pendapatan, pekerjaan, jenis kelamin, dan sebagainya. Dalam penelitian ini sample yang diambil berasal dari strata yang sama yaitu siswa kelas 3 SMA sebanyak 60 orang yang terdiri dari 30 orang dari jurusan IPA dan 30 orang dari jurusan IPS.
3.6 Metode dan Instrumen Penelitian 3.6.1 Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen pegumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa angket yang terdiri dari dua bagian, yaitu:
1. Bagian pertama berisi skala Penalaran moral, yang indikatornya adalah hak komunitas dan hak individu, prinsip etis universal.
(63)
2. Bagian kedua berisi skala Tingkat religiusitas yang diambil berdasarkan aspek-aspek religiusitas, yaitu dimensi keyakinan, dimensi praktek agama, dimensi pengalaman, dimensi pengetahuan agama, dan dimensi konsekuensi. 3. Bagian ketiga adalah skala Self-Control yang diambil berdasarkan
aspek-aspek self-control (dalam Sarafino, 1990) yaitu: behavioral control, cognitive control, decisional control, informational control, dan retrospective control.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan instrumen pengumpulan data yang berupa skala model Likert Menurut Ryff (1989, dalam Sevilla, et al., 1993:226) yaitu bentuk pernyataan dengan beberapa alternatif jawaban yang telah ditentukan terlebih dahulu oleh peneliti, sehingga responden hanya memilih jawaban yang paling sesuai dengan pendapatnya. Pada skala ini terdapat lima alternatif jawaban, yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS).
Jawaban Favorable (+) Unfavorable (-)
SS 4 1
S 3 2
TS 2 3
STS 1 4
3.6.2 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian dalam penelitian ini menggunakan tiga skala yaitu skala penalaran moral, skala tingkat religiusitas dan skalaself-control.
(1)
Correlations Descriptive Statistics
Mean
Std. Deviation Penalaran moral 76,77 6,93
Religiusitas 71,72 6,57
Self-control 70,32 6,68
Correlations
Penalaran moral, religiusitas danself-control Penalaran
moral
religiusit as
Self-control Pearson
Correlation 1 .634(**) .689(**)
Sig. (2-tailed) . .000 .000
Sum of Squares and Cross-products
2834.733 1703.033 1881.433 Covariance 48.046 28.865 31.889 Penalaran
moral
N 60 60 60
Pearson
Correlation .634(**) 1 .812(**)
Sig. (2-tailed) .000 . .000
Sum of Squares and Cross-products
1703.033 2548.183 2101.383 Covariance 28.865 43.190 35.617 religiusitas
N 60 60 60
Pearson
Correlation .689(**) .812(**) 1
Sig. (2-tailed) .000 .000 .
Sum of Squares and
1881.433 2101.383 2630.983 Self-control
(2)
122
Model Summary
a Predictors: (Constant), prinsip etis universal, hak komunitas dan hak individu
ANOVA(b)
Model
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Regressi
on 1282.474 2 641.237 27.104 .000(a)
Residual 1348.509 57 23.658 1
Total 2630.983 59
a Predictors: (Constant), prinsip etis universal, hak komunitas dan individu b Dependent Variable:self-control
Coefficients(a)
Mod el
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients t Sig. B
Std.
Error Beta
1 (Constant) 18.80
6 7.057 2.665 .010
Hak komunitas dan individu
.812 .154 .523 5.271 .000
Prinsip etis
universal .517 .153 .334 3.372 .001
a Dependent Variable:self-control
Model R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the
Estimate Change Statistics
R Square
Change F Change df1 df2
Sig. F Change
(3)
Model Summary
a Predictors: (Constant), hak komunitas dan hak individu Model Summary
a Predictors: (Constant), prinsip etis universal, hak komunitas dan hak individu Model Summary
Model R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of
the Estimate Change Statistics R Square
Change F Change df1 df2
Sig. F Change
1 .823(a) .678 .648 3.96316 .678 22.701 5 54 .000
a Predictors: (Constant), Dimensi Konsekuensi, Dimensi Pengalaman, Dimensi Keyakinan, Dimensi Praktek Agama, Dimensi Pengetahuan agama
Mod
el R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of
the Estimate Change Statistics R Square
Change F Change df
1 df2
Sig. F Change 1 .621(a
) .385 .375 5.28099 .385 36.338 1 58 .000
Model R
R Square
Adjuste d R Square
Std. Error of
the Estimate Change Statistics R Square
Change F Change df
1 df2
Sig. F Change
1 .698
(4)
124 Model
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Regressi
on 1782.824 5 356.565 22.701 .000(a)
Residual 848.160 54 15.707
1
Total 2630.983 59
a Predictors: (Constant), Dimensi Konsekuensi, Dimensi Pengalaman, Dimensi Keyakinan, Dimensi Praktek Agama, Dimensi Pengetahuan agama
b Dependent Variable:Self-control
Coefficients(a)
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients t Sig. B
Std.
Error Beta
1 (Constant) 12.79
7 5.974 2.142 .037
Dimensi
keyakinan 1.161 .244 .411 4.757 .000
Dimensi Praktek agama
.606 .314 .188 1.929 .059
Dimensi pengalaman
.474 .424 .090 1.117 .269
Dimensi pengetahuan agama
.705 .309 .232 2.282 .026
Dimensi konsekuensi
1.002 .378 .236 2.651 .011
(5)
Model Summary
Model R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of
the
Estimate Change Statistics R Square
Change
F
Change df1 df2
Sig. F Change
1 .656(a) .431 .421 5.08168 .431 43.883 1 58 .000
a Predictors: (Constant), Dimensi keyakinan
Model Summary
Model R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the
Estimate Change Statistics R Square
Change
F
Change df1 df2
Sig. F Change
1 .756(a) .571 .556 4.45010 .571 37.928 2 57 .000
a Predictors: (Constant), Dimensi Praktek agama , Dimensi keyakinan
Model Summary
Model R
R Square
Adjust ed R Square
Std. Error of the
Estimate Change Statistics R
Square Change
F Change
df 1
df 2
Sig. F Change
1 .761(a) .580 .557 4.44383 .580 25.743 3 56 .000
a Predictors: (Constant), Dimensi pengalaman, Dimensi Praktek agama, Dimensi keyakinan
Model Summary
Model R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the
(6)
126
Model R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the
Estimate Change Statistics R Square
Change
F
Change df1 df2
Sig. F Change
1 .823(a) .678 .648 3.96316 .678 22.701 5 54 .000
a Predictors: (Constant), Dimensi Konsekuensi, Dimensi Pengalaman, Dimensi Keyakinan, Dimensi Praktek Agama, Dimensi Pengetahuan agama