Penggabungan Pilkada.

Pikiran Rakyat
o Selasa o Rabu
123
17

18

4

19

,.,.0Jail 0 Peb

5
20

6
21

o Mar


OApr

o Kamis 0 Jumat
8

7
22

23

OMei

9

10

~

11
25


o Sabtu
12

26

o Minggu

13
27

OJUII0 Jut. AgsOSep

14
28

OOkt

15
29


16
30

ONov

31

ODes

-- -

"Penggabungan
--

pm~ada:'
--~

'


Oleh SUHARIZAL

ETUA DPD RI Ginandjar Kartasasmita
pada pidato pembukaan Sidang Paripurna Khusus
DPD R1 dengan agenda pidato
kenegaraan Presiden RI di Gedung DPR/DPD/MPR RI , Rabu (19/8) lalu menegaskan perlunya pemerintah mempertimbangkan untuk menggabungkan hari pemilihan kepahi daerah (pilkada). Dengan demikian, dalam lima tahun hanya
ada tiga kali pemilihan umum
yaitu pemilu legislatif, pemilu
presiden dan wakil presiden
(pilpres), serta pemilihan kepala daerah (pilkada).
. Pernyataan Ketua DPD tersebut amat beralasan. Sejak pilkada langsung pertama kali digelar tanggall Juni 2005 di Kutai
Kartanegara, bila dihitung dalam kurun waktu 5 tahun, akan
ada hampir 500 pilkada di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota setiap lima tahun dengan biaya pemilu mencapai Rp
50 triliun. ltu berarti rata-rata
setahun ada seratus pilkada.
Dalam setahun setiap 3,5 hari

K

K lip i n 9


akan ada pilkada.
Angka yang spektakuler itu
tentunya menjadi ironi di tengah terpuruknya kondisi perekonomian bangsa saat ini. Lebih dari itu, anggaran yang besar terhadap pelaksanaan pemilu dan pilkada kemudian menyulut kesimpulan bahwa pemilu dan pilkada dalam bingkai
demokrasi hanya membuangbuang duit. Demokrasi adalah
pemborosan. Angka Rp 50 triliun lebih tersebut belum termasuk ongkos ingin menjadi calon,
triliunan rupiah uang bangsa ini
akan habis hanya untuk kepentingan pilkada semata.
Banyak kalangan mengeluhkan, biaya pemilu di Indonesia
sangat mahal. Lihatlah pilkada
J awa ThnUTyang berlangsung
dua putaranp1iis ulangan di
beberapa kabupatenjkota. Apalagi pemilu ulangan ini juga
terancam gagal karena masingmasing kubu menyatakan perolehan suaranya adalah yang
terbanyak dan ada indikasi untuk saling menjatuhkan lawan.
Paling tidak, ada empat potret nyata yang menyebabkan
pemilu (term asuk pilkada) amat mahal. Pertama, dari segi
sistem. Sistem pemilu kita memang hasil "kreativitas" yang
luar biasa sehingga efek pendanaannya pun luar biasa. Sistem
proporsional tertutup jelas lebih murah karena surat suara

hanya berisi gambar partai. Karena sistem ini dianggap buruk,
sejak Pemilu 2004 diubah
menjadi sistem proporsional
terbuka. Implikasinya, surat
suara harus memuat nama caIon sehingga ukuran surat suara lebar. Apalagi daerah pemilihan kursinya besar sehingga

.

Hum QsUn

p Qd

2009----

di beberapa daerah surat suara
tak hanya selebar koran, tetapi
juga lebih dari satu halaman.
Tujuan sistem proporsional terbuka untuk meningkatkan
akuntabilitas calon terpilih pun
tak tercapai karena calon terpilih harus menghadapi konstituen yang demikian luas wilayahnya.

Kedua, dari segi waktu penyelenggaraan. Pemilu yang menyerentakkan pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupatenjkotajehis
membutuhkan dana yang berlipat-lipat dalam satu momen pemilu. Dengan melihat luas wilayah dan kondisi geografis Indonesia, empat pemilu legislatif
yang serentak jelas mema.suki
wilayah unmanageable. Dana
berlipat tetsedot dalam satu mamen sehingga dari segi pengaturan anggaran negara juga
merepotkan. Di sisi lain, penyelenggara .pilpres dan pilkada
yang berlainan waktunya, menambah nyata, betapa bangsa
ini seperti "tidak cerdas" mengatur anggaran negara. Jadi, setiap lima tahun sekali, ada satu
waktu (pemilu legislatit) segenap tenaga dan pikiran dikerahkan habis untuk sukses pemilu.
Di waktu yang lain, pilpres dan
pilkada dibiarkan berjalan berserakan sehingga kontrol penggunaan anggaran pun rendah.
Ketiga, meski sejak Pemilu
1999 KPU ditetapkan selaku
penyelenggara "tunggal" pemilu, dalam praktiknya banyak
sekali instansi pemerintah yang
ikutan mengurus projek pemilu, seperti Depdagri, Kominfo,
dan Polri. Kalau anggaran pemilu yang tersebar.'di banyak
instansi itu disatukan dengan
anggaran KPU, semakin jelas

betapa banyak uang rakyat dihamburkan untuk projek pemilu. Di sisi lain, struktur organi-

---

I

-

---.

sasi penyelenggara pemilu juga da gubernur digabung dengan
kian tidak efisien.
pilkada wali kota dan bupati daSelain itu, setelah disahkanlam provinsiyang sarna, dalam
nya UU Nomor 22 Tahun 2007 waktu yang bersama:i:t1'flmla.
tentang Penyelenggaraan PeAltematif kedua, semua jenis
milu, institusi pengawasan pun pemilu, mulai dari pemilu legismemberi beban biaya yang ti- latif (DPD, DPR, dan DPRD),
dak ringan. Mengingat Panwas- pemilu presiden, dan pemilu
lu pusat yang dulu bersifat ad kepala daerah, digabungkan dahoc, sekarang menjadi Badan , lam satu waktu yang sarna.
Pengawas Pemilu (Bawaslu)
Terobosan ini tentunya harns

bersifat perman en. Selain itu, diikuti regulasi dan aturan hu"menurut UU No. 22 Tahun
kum yang jelas. Perubahan be2007, institusi Panwaslu sudah berapa undang-undang menjasampai di level desa yang dise- di keharusan. Mulai dari UU
but PPL (Pengawas Pemilu La- Pemerintahan Daerah, UU Pepangan) yang dulu hanya sam- milu Legislatif, UU Pemilu Prepai di level kecamatan. Ujung- siden, serta UU Penyelenggaraujungnya, menambah beban
an Pemilu harus diubah untuk
anggaran karena di pusat bersi- memenuhi terobosan ini. Tenfat permanen, sementara di ba- tunya hal tesebut adalah agenwah struktumya sampai desa.
da besar yang harns dijalani guKeempat, persepsi yang salah na menjaga pemilu yang tetap
tentang pemilu dan demokrasi.
demokratis namun efisien dari
Selama ini muncul anggapan di sisi anggaran. ***
kalanganpengamat, pemantau,
dan elitepolitik bahwa demoPenulis, mahasiswa Progkrasi itu mahal. Oleh karena
ram Doktor (8-3) Hukum Tata
itu, berapa pun besamya ang- Negara Universitas Padjadjagaran pemilu, demi demokrasi,
~an,
~..- Bandung.
harus dikeluarkan.
Pilihan untuk menggabungkan pilkilda adalah langkah
strategis yang dapat ditempuh.
Hal ini sebagai upaya untuk
menghilangkan kejenuhan pemilihan karena setiap waktu

harus menyisakan waktu untuk
datang ke tempat pemungutan
suara (TPS),
juga upaya
menghemat anggaran negara.
Kejenuhan muncul karena intensitas memilih dalam pemilu
tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap kesejahteraan warga. Kondisi jenuh inilah yang kemudian melahirkan
tingkat partisipasi yang rendah.
Penggabungan tersebut dapat
dilakukan dengan beberapa altematif. Altematif pertama, pilkada serentak dilaksanakan di
tingkat provinsi. Artinya, pilka-