PENDAHULUAN Kadar Religiusitas Santri Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarta Tahun 2015.

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Era Globalisasi1 sangat erat kaitanya dengan transparansi atau keterbukaan. Transparan berarti suatu keadaan di mana kondisi suatu daerah secara mudah dapat diakses, dilihat, dan diterima oleh masyarakat di daerah lain. Akibat transparansi atau keterbukaan, maka segala pengaruh luar sangat mudah memasuki sebuah negara. Demikian pula sebaliknya, transparansi telah mempengaruhi berbagai sektor dalam kehidupan, mulai dari bidang politik, ideology, pemerintahan, ekonomi, sosial budaya, teknologi informasi, maupun pertahanan dan kemanan.

Bersamaan dengan perkembangan teknologi transportasi, teknologi telekomunikasi dan komputasi juga berkembang secara lebih pesat. Perkembangan teknologi informasi ini mampu menekan kebutuhan penggunaan sarana transportasi karena dalam beberapa hal dapat dilakukan melalui komunikasi teleconference via internet. Saat ini suatu keputusan penting dapat diambil secara “real-time” dengan dukungan

sistem pengambilan keputusan berbasis jaringan komputer. Sistem on-line

mampu membuktikan bahwa dunia saat ini memang tanpa batas (borderless).

1

Globalisasi berasal dari kata global yang secara hafiah berarti umum atau mendunia. Globalisasi merupakan suatu kondisi dimana perbedaaan jarak dan letak geografis bukan lagi menjadi penghalang untuk berkomunikasi.


(2)

Para remaja di Indonesia akhir-akhir ini mulai familiar dengan globalisasi teknologi dan informasi. Terbukti dengan sudah banyaknya pengguna internet, bukan hanya para remaja, orang tua dan anak-anakpun sudah ikut tergabung. Indonesia jika dibandingkan dengan negara lain di dunia ini seperti Cina, masih tertinggal jauh. Jumlah pengguna internet di Cina naik dari tahun ke tahun. Tahun lalu, hampir 513 juta jiwa penduduk menggunakan internet. Hampir separuhnya menggunakan Weibos2.

China Internet Network Information Center (CINIC) melaporkan, populasi online China merupakan yang terbanyak di dunia dan meningkat 12,2 persen pada tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, 48,7 persen atau hampir 250 juta orang menggunakan weibos, dibandingkan hanya sekitar 63.1 juta pada akhir tahun 2010.3.

Perkembangan gadget saat ini sangat luar biasa, bahkan penggunannya sudah merambah jauh ke desa dan menghilangkan batas usia pemakainya. Gadget adalah suatu peranti atau instrumen yang memiliki tujuan dan fungsi praktis spesifik yang berguna yang umumnya diberikan terhadap sesuatu yang baru. Contohnya, komputer merupakan alat elektronik yang memiliki pembaruan berbentuk gadget, yaitu laptop atau notebook atau netbook dan telepon rumah merupakan alat elektronik yang memiliki pembaruan berbentuk gadget, yaitu handphone. Gadget adalah sebuah obyek (alat atau barang elektronik) teknologi yang memiliki ukuran kecil dari biasanya yang memilki fungsi khusus, tetapi sering dikatakan sebagai sebuah inovasi atau barang baru. Gadget kadang 2

adalah sebuah situs microblogging Cina. Mirip dengan hibrida dari Twitter dan Facebook, ini adalah salah satu situs paling populer di Tiongkok.

3


(3)

juga disebut dengan gizmos. Memiliki gadget tentu sah dan tidak salah,

gadget kini bukan lagi menjadi barang tersier, bahkan untuk sebagian orang telah mejadi kebutuhan primer. Gadget boleh saja disebut pelengkap, dengan fungsi melengkapi kehidupan profesional dan keseharian manusia. Kesalahan terjadi apabila gadget beralih fungsi menjadi esensi dalam hidup.

Gadget ini mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Berbicara masalah pengaruh gadget ada yang positif dan ada yang negatif terhadap remaja Indonesia. Pengaruh atau dampak positifnya yaitu sangat memudahkan remaja (pelajar hingga mahasiswa) dalam melakukan kegiatan mencari informasi. Selain itu remaja dapat belajar mengembangkan ketrampilan teknis dan sosial yang sangat dibutuhkan di era digital seperti sekarang ini. Mereka akan belajar beradaptasi, bersosialisasi dengan publik dan memperluas pertemanan berkat situs jejaring social meskipun sebagian besar diantara mereka tidak pernah bertemu secara langsung. Gadget juga memudahkan untuk menyelesaikan tugas-tugas secara cepat, dan dapat digunakan sebagai media berbisnis secara online. Remaja perlu mengikuti perkembangan zaman dalam era globalisasi ini, sehigga tidak menjadi gaptek ( gagap teknologi ), apalagi dengan ukuran yang terbilang kecil sehingga mudah dibawa kemana-mana membuat gadget seolah-olah sebuah barang yang tidak terpisahkan dari pemiliknya.


(4)

Selain memiliki dampak positif, Gadget juga memiliki dampak negatif bagi remaja Indonesia sebagai pengguna gadget. Banyak yang menganggap gadget tersebut adalah sebagian dari hidup mereka, sehingga dimanapun mereka sering membawa Smart Phone-nya. Seringkali uang dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan gengsi semata. Jadilah remaja sebagai budak gadget. Selain itu gadget dapat menyebabkan unsocial condition, yaitu seorang remaja tidak mau bermain bersama teman maupun lingkungan sekitarnya. Adanya gadget

membuat remaja dapat mengurung diri karena asik dengan segala aplikasi permainan di dalamnya, remaja juga susah untuk berkreatif serta menjadi malas belajar dan berkomunikasi di dunia nyata. Tingkat pemahaman bahasapun menjadi terganggu karena remaja yang eksis di dunia maya tidak memiliki aturan ejaan dan tata bahasa di situs jejaring sosial. Hal ini membuat mereka semakin sulit untuk membedakan antara berkomunikasi di situs jejaring sosial dan di dunia nyata4.

Menurut Krech, Crutchfield, dan Ballachey dalam Rusli Ibrahim, perilaku sosial seseorang itu tampak dalam pola respons antar orang yang dinyatakan dengan hubungan timbal balik antar pribadi. Sama halnya dengan yang diutarakan oleh Baron dan Byrne dalam Rusli Ibrahim, bahwa perilaku sosial juga identik dengan reaksi seseorang terhadap orang lain.

4

http://rizkawhy.blogspot.co.id/2013/09/dampak-gadget-terhadap-perilaku-remaja.html (diakses Selasa, 26 April 2016)


(5)

Kedua hal di atas berkaitan dengan manusia. Manusia sebagai pengguna gadget dan juga manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berperilaku di dalam kehidupan social karena disamping manusia merupakan makhluk individu, manusia juga termasuk makhluk sosial. Dalam perkembangannya, gadget yang dulunya cenderung hanya dapat dimiliki oleh kaum borju karena harganya yang relatif mahal saat itu. Kini mulai dapat dimiliki oleh siapa saja karena harga gadget mulai beragam, bahkan tukang becak pun memiliki handphone untuk berkomunikasi dengan pelanggannya. Segala hal yang bertemakan pembaruan, pasti memiliki nilai praktis. Akan tetapi, tidak akan terlepas dari dampak baik dan buruk yang timbulkannya.

Perkembangan gadget yang semakin pesat memang harus diwaspadai, terutama dengan munculnya istilah gadget mania atau julukan bagi pecandu gadget. Seperti yang kita ketahui, kita sedang berada dalam era globalisasi, tentunya tidak sulit untuk menemukan para

gadget mania yang sudah merajalela ke semua kalangan.Menurut salah satu pakar teknologi informasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Dimitri Mahayana: sekitar 5-10 persen gadget mania atau pecandugadget terbiasa menyentuh gadget nya sebanyak 100-200 kali dalam sehari. Jika waktu efektif manusia beraktivitas 16 jam atau 960 menit sehari, dengan demikian orang yang kecanduan gadget akan menyentuh perangkatnya itu 4,8 menit sekali.


(6)

Di Indonesia, demam perangkat ini sudah berlangsung sejak 2008, tepat ketika Facebook naik daun dan penetrasi telefon seluler di negeri ini melewati angka 50 persen. Indonesia kini bahkan telah menjadi salah satu negara dengan pengguna Facebook dan Twitter terbesar di dunia, yang penggunanya masing-masing mencapai 51 juta dan 19,5 juta orang.Ini adalah kenikmatan penduduk dunia abad ke-21. Jarak dan waktu bagaikan terbunuh oleh kemajuan teknologi informasi semacam ini.

Seorang pecandu gadget akan sulit untuk menjalani kehidupan nyata, misalnya mengobrol. Perhatian seorang pecandu gadget hanya akan tertuju kepada dunia maya. Dan bahkan jika dia dipisahkan dengan

gadget , maka akan muncul perasaan gelisah.Bahkan diperkirakan 80 persen pengguna gadget di Indonesia memiliki perilaku seperti itu. Mereka tidak tahan jika harus berlama-lama berpisah dengan gadget nya. Hanya sepuluh persen saja pengguna gadget di Indonesia yang mampu membatasi penggunaan gadget di saat-saat tertentu. Sebagian dari kita berdalih bahwa kebutuhan mereka akan gadget berhubungan dengan keperluan pekerjaan. Argumen ini mungkin benar, karena perangkat ini memang mengandung teknologi yang memudahkan hidup manusia. Akan tetapi, kita juga harus mengakui bahwa penggunaan gadget untuk kepentingan eksistensi dan pencitraan diri porsinya bisa jauh lebih besar ketimbang untuk kepentingan pekerjaan.

Salah satu psikolog berpendapat tentang efek candu yang di timbulkan gadget bisa berupa gangguan komunikasi verbal dalam


(7)

berkomunikasi secara langsung di dalam masyarakat dan juga dalam tingkatan yang lebih tinggi dapat membuat individu menjadi hiperealitas. Hiperealitas adalah kecenderungan membesarkan sebagian fakta dan sekaligus menyembunyikan fakta lain atau tanda lenyapnya realitas atau objek representasi digantikan dengan hal-hal yang bersifat fantasi, fiksi dan halusinasi. Apabila individu pengguna gadget terjangkit dalam hiperealitas maka ia akan kehilangan makna interaksi sosial5.

Panti Asuhan sebagai lembaga yang menampung anak-anak yatim, piyatu, yatim piyatu dan dhuafa sudah saatnya memiliki peran lebih dari sekedar menjadi tempat penampungan tetapi meningkat menjadi tempat pembentukan karakter Islami yang kuat. Menyiapkan anak-anak asuhnya tidak hanya mendapatkan kasih sayang dan pendidikan formal tetapi yang lebih penting dari itu semua yaitu memiliki kompetensi religiusitas yang baik sebagai daya filter dari derasnya arus globalisasi teknologi dan informasi yang pada gilirannya akan membawa

mashlahat dan tidak mendatangkan madlarat.

Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah (PAKYM) Surakarta didirikan sebagai upaya untuk membantu anak – anak yatim agar tidak putus sekolah dan untuk bisa melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. PAKYM berusaha untuk menerima anak yatim dari daerah manapun di wilayah Indonesia yang memang membutuhkan dan siap

5


(8)

tinggal di asrama6. Hal ini membawa dampak beragamnya tingkat kemampuan anak dalam hal pemahaman agama dan perbedaan perilaku. Diketahui bahwa latar belakang keluarga mereka berbeda-beda, sehingga menuntut seorang pengasuh untuk memahami dan mengerti psikologi perkembangan anak-anak yang di asuhnya.

Pengetahuan dan penguasaan pengasuhan tidak cukup kalau tidak diimbangi dengan penanaman aqidah yang baik dan kuat. Faktor aqidah menjadi sangat mendasar untuk di sampaikan kepada anak-anak karena aqidah ini akan membetengi mental dan sikap mereka dalam berkehidupan bermasyarakat.

Oleh karena itu, PAKYM memberikan pendidikan dan pembinaan agama kepada santri agar memiliki pemahaman yang benar dan aqidah yang kuat sehingga terhindar dari kerusakan moral sebagaimana terjadi pada kalangan remaja sekarang.

Pendidikan dan pembinaan agama yang dilakukan di Panti Asuhan di lakukan secara rutin dan terjadwal. Materi yang diajarkan dalam forum pembinaan santri oleh pengasuh adalah materi-materi agama dan keMuhammadiyahan. Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarta dalam perkembangannya, mengajarkan berbagai tambahan pelajaran sebagai bekal santri meniti kehidupan di masyarakat nantinya. Diantara pelajaran yang diberikan yaitu membaca Al-Qur’an, kajian kitab

6


(9)

riyadhus sholihin, bahasa arab, pidato, qiro’ah, tapak suci, tahfidz dan

musik Islami, tenis meja, futsal dan voly.

Kondisi santri Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarta yang berasal dari berbagai daerah, rentang usia yang berbeda dan tingkat pemahaman terhadap agama dan kematangan sikap atau perilakunya yang berbeda inilah yang mendorong penulis untuk meneliti bagaimanakah kadar religiusitas santri Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarta saat ini.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana kadar religiusitas santri Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarta.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kadar religiusitas santri Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarta

2. Manfaat Penelitian

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk mengembangkan kadar religiusitas pada santri PAKYM serta


(10)

diharapkan ada proses pengkajian lanjut secara mendalam menghasilkan kompetensi religiusitas yang lebih baik.

Secara praktis, bagi Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarta penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas pengasuhan, penanaman aqidah dan akhlak, serta pengembangan karakter santri dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Penelitian ini juga bermanfaat bagi Muhammadiyah secara umum yaitu untuk memperkaya data dan fakta empiris panti asuhan dibawah naungan Muhammadiyah sehingga Muhammadiyah bisa menjadi organisasi masyarakat yang profesional dalam penanganan anak yatim.

Selain itu, penelitian ini memberikan kontribusi berupa koleksi, data, dan realitas hasil riset tentang religiusitas santri panti asuhan di bidang spikologi Islam. Spikologi Islam adalah salah satu term dalam kajian pemikiran Islam yang ditekuni dalam program studi yang di tempuh penulis saat ini. Jadi, kajian ini adalah kajian pemikiran Islam di bidang spikologi Islam yang memberikan kontribusi pada umat Islam secara umum tentang kondisi religiusitas santri Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarta. Mengapa harus dengan terminologi psikologi Islam, karena Islam harus menjadi wordview atau menjadi cara pandang terhadap persoalan religiusitas santri Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarta.


(11)

00

D. Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang religiusitas yang relevan dengan penelitian ini, diantaranya pernah dilakukan oleh Yayah Kisbiah (1992) dengan judul

Hubungan Religiusitas dengan Kebermaknaan Hidup pada Mahasiswa Beragama Islam Fakultas Isipol Universitas Gajah Mada” Hasilnya menyatakan bahwa semakin tinggi religiusitas mahasiswa maka semakin tinggi pula kebermaknaan hidup mereka7. Penelitian ini fokus pada hubungan religiusitas dengan kebermaknaan hidup. Sementara peneliti ini akan fokus pada kadar atau tingkat religiusitas santri PAKYM Surakarta.

Khusnawati Mukaromah (2005) dalam skripsinya “Relasi Religiusitas Dan Empati Mahasiswa Pondok Hajjah Nuriyah Shobron Universitas Muhammdiyah Surakarta“dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi religiusitas akan membantu mengontrol sikap, tingkah laku dalam merespon setiap situasi dan kondisi yang dihadapinya secara positif, dengan demikian empati terhadap sesama semakin meningkat8. Penelitian ini fokus pada relasi atau hubungan religiusitas dengan empati mahasiswa. Berbeda dengan yang akan dilakukan peneliti yakni menitikberatkan pada tingkat religiusitas santri PAKYM Surakarta.

Sakinah Rosyidah (2008) “Hubungan Religiusitas Dengan Kebermaknaan Hidup Pada Anak Yatim Panti Asuhan Mardhatillah”

menyimpulkan ada korelasi positif antara religiusitas dan kebermaknaan 7

Yayah Kisbiyah, Hubungan Religiusitas dengan Kebermaknaan Hidup pada Mahasiswa Beragama Islam Fakultas Isipol Universitas Gajah Mada, ( Thesis, tidak terbit, 1992), hlm. 89.

8


(12)

hidup terhadap anak yatim Panti Asuhan Mardhatillah sehingga dapat diartikan bahwa semakin tinggi religiusitas subjek maka akan semakin tinggi kebermaknaan hidupnya9. Penelitian ini masih senada dengan penelitian sebelumnya, yakni mengkaji hubungan religiusitas dengan kebermaknaan hidup. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan penulis yang menitikberatkan pada kadar religiusitas santri PAKYM Surakarta.

Ismawati (2012) “Hubungan Religiusitas Dengan Kebermaknaan Hidup Pada Santriwati Pondok Pesantren Wali Songo Desa Wado Kecamatan Kedungtuban Kabupaten Blora” menyimpulkan ada hubungan antara religiusitas dengan kebermaknaan hidup dengan kategori sedang10. Fokus penelitian adalah pada hubungan religiusitas dengan kebermaknaan hidup sebagaimana penelitian sebelumnya. Penelitian yang dilakukan penulis berbeda karena fokusnya justru pada kadar religiusitas santri PAKYM Surakarta.

Penelitian yang sudah banyak dilakukan di atas cenderung meneliti pola hubungan antara religiusitas dengan aspek lain dalam kehidupan subjek seperti kebermaknaan hidup, kesiapan menghadapi pernikahan, kontrol sikap dan perilaku serta empati. Penelitian yang akan dilakukan ini memiliki kekhasan tersendiri yaitu meneliti sejauh mana

9

Sakinah Rosyidah, Hubungan Religiusitas Dengan Kebermaknaan Hidup Pada Anak Yatim Panti Asuhan Mardhatillah, (Skripsi Tidak terbit, 2008), hlm. 74.

10

Ismawati, Hubungan Religiusitas Dengan Kebermaknaan Hidup Pada Santriwati Pondok Pesantren Wali Songo Desa Wado Kecamatan Kedungtuban Kabupaten Blora, (Skripsi, Tidak Terbit, 2012), hlm. 69.


(13)

0

kadar religiusitas santri Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarta.

E. Kerangka Teoritik

Religiusitas berasal dari kata Religion (Bahasa Inggris), Religie

(Bahasa belanda), Dien (Bahasa Arab), dan Agama (Bahasa Indonesia). Sebetulnya belum ada istilah yang memiliki makna setara dengan

dien. Ad dien artinya ketundukan tetapi ditengah masyarakat ad dien adalah agamatetapi bukan berarti ad dien dapat diartikan tidak kacau ini diakibatkan karena keterbatasan bahasa Indonesia. Untuk para Ulama yang menggunakan ad dien disamakan dengan agama hal itu hanya untuk mendekatkan pemahaman terhadap masyarakat.

Agama yang dalam bahasa Sangsekerta berarti tidak kacau (a = tidak dan gama = kacau) dipakai untuk menjelaskan hubungan manusia dengan Tuhan-Nya dalam kerangka kepatuhan terhadap aturan untuk mewujudkan kehidupan yang sejahtera, damai, selamat dan tentram. Oleh karena itu, prinsip dan misi agama pada hakekatnya adalah berusaha mewujudkan kehidupan yang tidak kacau. Walaupun demikian, konsep kedamaian dan kesejahteraan boleh jadi hanya bersifat sementara dan duniawiyah saja, sedangkan prinsip kesejahteraan yang abadi boleh jadi tidak menjadi prioritas keberagamaan.

Pemberlakuan agama sebagai instrument mewujudkan kesejahteraan dan kedamaian hidup, munculah tafsiran-tafsiran agama


(14)

yang berbeda-beda yang cenderung menjadi sebuah pergulatan pemikiran tersendiri dalam kajian ilmu agama terutama dipandang dari sisi kebenaran keimanan dan kepercayaan serta aktualisasi peribadatan mereka dan keterkaitannya dengan hasil akhir yang didapat, misalnya balasan amal di akhirat (Surga dan Neraka menurut agama Islam atau Nirwana dan Hukum Karma menurut agama Hindu).

Aplikasi hubungan dengan eksistensi yang transendent melahirkan berbagai konsep agama dan aktualisasinya. Di Indonesia berkembang pemikiran bahwa setiap sesuatu me-miliki “roh” yang didalamnya tersimpan kekuatan magic dan mistik yang luar biasa. Konsep animisme menjadi wujud adanya hubungan antara manusia dengan eksistensi yang transendent dan sudah barang tentu sangat abstrak dan cenderung tidak dapat dijelaskan realitasnya baik dari segi dogmatik maupun dari segi nalar kemudian berkembang menjadi dinamisme.

Prinsip-prinsip dinamisme nampak lebih aplikatif dan kongkrit, karena ia mampu menjelaskan wujud eksistensi yang transendent dalam beberapa eksistensi yang profan (tidak suci dan bersifat kebendaan). Ia menganggap bahwa semua benda atau benda tertentu memiliki kekuatan supra natural (mana/magic/tuah) yang ditunjukkan lewat kehebatan yang diluar kelaziman. Kekuatan eksistensi yang transendent tersebut ternyata tidak hanya masuk pada benda tertentu, melainkan masuk juga pada


(15)

0

binatang atau hewan tertentu yang kemudian dikenal dengan “Totemisme”, misalnya sapi, ular dan kucing.11

Pada terminologi lain ditemukan kata-kata “Religion” untuk menggambarkan hal yang sama dengan agama. Pada buku An English Reader‟s Dictionary terdapat tiga kemungkinan kata yang berkait dengan

Religion, yaitu Religi, Religion dan Religious atau Religiusitas. Pertama; Religi dalam tinjauan antropologi sering dikaitkan dengan ritual (upacara agama/ ibadah) untuk menundukkan kekuatan gaib terutama pada masyarakat primitif. Perwujudan dari konsep Religi

tersebut adalah ritus dan peribadatan dalam agama, pengusiran dan penundukkan kekuatan gaib berupa praktek mistik dan magic dan masih banyak lagi baik dalam tataran tingkat modern maupun tingkat tradisional. Artinya sesekali pada masyarakat modern masih dijumpai ritus-ritus tertentu dan untuk kepentingan tertentu misalnya ritus yang didasarkan pada ramalan perbintangan (astrologi-horoscope).

Kedua; Religion digambarkan sebagai sebuah konsep atau aturan yang mendasari prilaku Religi atau ritus-ritus tersebut. Dengan demikian Religi atau ritus dalam agama tertentu tidak akan mungkin ada jika konsep atau aturan agamanya tidak ada. Pada buku An English Reader‟s

Dictionary karangan A.S. Homby dan E.C Pamwell, disebutkan bahwa “Religion is a system of faith and worship based on such belief” (sistem

11

Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas (Bandung: Mizan, 1989), hlm. 173


(16)

kepercayaan dan penyembahan yang dibangun berdasarkan keyakinan tertentu). Maka Religion dalam pandangan seperti ini hanya memuat dua unsur yaitu :

Faith (kepercayaan artinya adanya persepsi yang sadar tentang eksistensi kekuatan diluar manusia yang memperngaruhi kelangsungan hidup mereka).

Worship (peribadatan/penyembahan perlu adanya perwujudan ritus yang kongkrit sebagai penghambaan dan ketertundukkan manusia terhadap kekuatan tersebut, misalnya dalam bentuk sesaji, kurban dll.).

Jika demikian maka dalam pemikiran yang cukup sederhana ternyata untuk membuat sesuatu itu menjadi agama hanya diperlukan dua komponen yaitu komponen kepercayaan (faith) dan penyembahan (worship). Prinsip minimal pembentukan agama tersebut menyisakan permasalahan yang cukup rumit yaitu mampukah agama tersebut mewujudkan pribadi yang sejahtera, damai dan selamat terutama untuk untuk kehidupan akhirat yang justru menjadi tujuan utama beragama. Sebab tidak jarang kita menemukan sekte atau aliran yang hampir menjadi sebuah agama, tetapi mereka justru menyesatkan dan mencelakakan pemeluknya12.

Oleh sebab itu dalam pandangan penulis agama yang dibentuk berdasarkan prinsip minimalis tersebut perlu diwaspadai, sebagaimana 12

John L. Esposito, Ancaman Islam; mitos atau realitas ?,(Bandung: Mizan, 1994), hlm. 221


(17)

0

yang diungkapkan oleh Dr. Nurcholis Madjid bahwa kepercayaan yang benar akan melahirkan kedamaian, kesejahteraan dunia dan akhirat, sedangkan kepercayaan yang salah akan menyesatkan hidup, merusak dan membahayakan bagi pertumbuhan kebudayaan dan manusia serta anti terhadap keselamatan hidup.

Ketiga;Religious (Religiousitas) adalah sebuah sikap yang nampak dalam prilaku seseorang yang terinternalisasi oleh nilai-nilai atau ajaran-ajaran agama. Sikap tersebut menjadi parameter terhadap asumsi seberapa tinggi tingkat penghayatan dan pengamalan mereka terhadap nilai atau ajaran agama tersebut. Semakin sejahtera, damai dan tentram, maka menunjukkan semakin tinggi pula penghayatan dan pengamalan terhadap ajaran agama demikian juga semakin keras, kasar, tidak adanya toleransi dan jaminan keselamatan dan kesejahteraan, maka semakin gersang dan tidak nampak prilaku keagamaan dalam hidup mereka, boleh jadi sampai pada satu asumsi bahwa agama tidak dibutuhkan oleh mereka.13

Kata “Ad dien” dengan mudah dapat kita temukan di dalam al Qur’an, karena kata tersebut adalah kesatuan tentang ajaran agama Islam. Kajian ilmu keIslaman pada masa salaf, semua jenis ilmu agama yang bersumber pada al Qur’an dan Hadits dinamakan dengan “Tafaqquh fid-Dien” baik itu menyangkut kepercayaan (aqoid), peribadatan dan hukum-hukumnya (ubudiyah dan syari‟ah) dan konsep-konsep keagamaan

13 Nasruddin Razak,


(18)

lainnya/Muamalah siyasiyah) sebagaimana disebutkan dalam QS. At Taubah :122.

Belakangan rumpun ad dien dikembangkan berdasarkan spesifikasi kajian, sehingga menjadi disiplin ilmu yang bermacam-macam dengan sistematika dan metodologi yang berbeda, sedangkan ad dien itu sendiri menjadi rumah besar bagi rujukan dan keabsahan keilmuan Islam. Didalam al Qur’an ditemukan banyak sekali kata-kata

ad dien, namun kalau diklasifikasikan hanya memiliki tiga arti yaitu :

 Aturan-aturan agama (QS Asy Syuura : 13 dan 21 dan QS. Al Hajj : 78)



























































































Artinya :

dan berjihadlah kamu pada jalan Allah saw. dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah saw.) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan


(19)

0

(begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah saw.. Dia adalah Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong. (QS Al Hajj: 78)14

 Ketaatan, kepatuhan dan keihlasan sebagaimana tersebut dalam QS. Az Zumar : 3 dan 11, Al Bayyinah : 5)





































































Artinya :

Ingatlah, hanya kepunyaan Allah saw.-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah saw. (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah saw. dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah saw. akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah saw. tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.(QS. Az Zumar: 3)15

 Hari kiamat atau hari Agama atau hari pembalasan (Al Fatihah : 4, Ash Shoffaat : 20, Ash Shod : 78; Adz Dzaariat : 13; al Waaqiah : 56; al Mudatsir : 46; Al Ma’arij : 26; al Infithar : 9, 10 dan 17 dan Al Muthoffifin : 11).









Artinya :

yang menguasai di hari Pembalasan (QS.Al Fatihah: 4)16

14

Depag, Al-Qur’an Terjemah (Semarang: Toha Putra,1977), hlm.283

15Depag,

Al-Qur’an Terjemah (Semarang: Toha Putra,1977), hlm. 893

16


(20)

Ketiga unsur pengertian tersebut memilki keterkaitan yang sangat erat, Allah saw. dengan sifat rahman dan rahim-Nya menurunkan aturan-aturan agama untuk dijadikan pedoman mengarungi kehidupan dunia. Pedoman tersebut memerlukan ketaatan dan kepatuhan serta keihlasan yang maksimal dari manusia itu sendiri agar terwujud sisi ideal moral yang diinginkan oleh setiap aturan. Sebetulnya Allah saw. tidak membutuhkan ketaatan atau kepatuhan dari manusia, sebab Allah saw. sudah memberikan kebebasan memilih bagi manusia apakah manusia mau beriman atau tidak (QS. Al Kahfi : 29), juga tidak ada paksaan dalam agama, karena telah nyata perbedaan antara jalan kebenaran dan kesesatan (QS. Al Baqoroh : 256). Kepatuhan dan ketaatan tersebut dibutuhkan untuk mewujudkan hasil yang maksimal dari aktifitas dan pengamalan terhadap ketentuan tersebut. Setiap hukum dan peraturan memerlukan kesadaran dan keihlasan dari pelaku untuk menghasilkan atau mewujudkan maksud diadakannya hukum tersebut yaitu keselamatan, ketentraman, keteraturan dan kebenaran.

Fakta dalam kehidupan sehari-hari seringkali ditemukan orang-orang yang mengikuti atau menjalankan hukum atau agama secara lahiriyah, tetapi secara batiniyah (tidak nampak) ia mempermainkan hukum atau aturan agama. Aturan agama dapat dijalankan secara lahiriyah dan batiniyah, maka disinilah pengertian Ad dien yang ketiga berfungsi Allah saw. akan menentukan dengan sebenar-benarnya siapa


(21)

0

hamba-Nya yang ikhlas dan patuh pada saat hari pembalasan amal yaitu pada hari kiamat nanti.

Menurut Ulama fiqih; Ad dien didefinisikan sebagai

ِا ٌعْضَو َوُ ُنْيِدلا

ِِ ِحَاَصلا ََِا ْمِِراَيِتْحاِب ِلْوُقُعلْا يِوَذِل ٌقِئاَس ٌيَه

ِلًاَمْلا ِِ ِحَاَفلْاَو ِلاَْْا

Artinya:

Agama adalah ketentuan-ketentuan Allah saw. yang diberikan kepada manusia yang berakal untuk mendapatkan kehidupan yang bahagia di dunia dan keselamatan hidup di akhirat

Tiga hal penting yang perlu diperhatikan dari pengertian tersebut diatas, yaitu :

 Pertama, bahwa ad dien itu adalah aturan-aturan Allah saw. artinya segala bentuk hukum dari agama itu bersumber dari Allah saw., Nabi Muhammad SAW hanya menyampaikan risalah tersebut kepada manusia tanpa dikurangi atau ditambahi sedikitpun.

 Kedua, diberikan kepada manusia yang berakal. Memahami konsep manusia yang berakal dapat dibedakan menjadi 2 bagian yaitu berakal dalam kontek syar‟iyah dan berakal dalam kontek kesadaran berfikir. Akil-Baligh dalam konsteks syar‟iyah adalah situasi dimana hukum-hukum tentang kewajiban dan larangan agama dibebankan kepada manusia. Indikatornya adalah ketika manusia mampu memberikan alternatif dan solusi terhadap permasalahan hidup dengan sadar (kemampuan akliyah) dan baligh berarti telah sampai pada masa kematangan reproduksi nya yaitu dengan keluar sperma


(22)

bagi kaum laki-laki dan menstruasi bagi kaum wanita. Terhadap orang yang hilang kesadarannya baik karena gila, tidur atau lupa, maka hukum-hukum taklifi tidak berlaku atasnya, artinya tidak berhak atas dosa atau hukuman, jika ia melakukan kesalahan. Sedangkan berakal dalam kontek kesadaran berfikir dapat dibedakan menjadi dua; Pertama yaitu kemampuan mengurai setiap permasalahan dalam kerangka analitis sistematis; misalnya dalam tinjauan sebab, akibat dan solusinya dengan dasar ilmu yang realible, kemampuan tersebut lebih mengarah pada aspek intelektualitas seseorang. Kedua; yaitu kesadaran hati (berfikir dengan hati nurani) terkadang seseorang memiliki kepandaian intelektual, tetapi ia tidak memiliki kepandaian “Hati Nurani/Qolb”. Ia mengingkari hukum,

melakukan zina, mencuri atau perbuatan melanggar hukum agama lainnya. Secara akal dia tahu bahwa zina itu haram karena sejelek-jeleknya perbuatan dan jalan kehidupan, tetapi akalnya tidak mampu menjelaskan hal tersebut didepan gelora hati dan nafsu syetannya, maka ketika itu ia tidak berakal sebagaimana firman Allah saw. dalam QS. Al A’raf : 178

 Ketiga, jika ia mampu menggunakan akal secara benar untuk memahami dan menjalankan aturan Allah saw. swt. tersebut, maka ia akan mendapatkan kehidupan yang bahagia di dunia dan keselamatan hidup di akhirat. Artinya bahwa akal yang benar akan membawa pada pilihan yang benar terhadap apa yang diberikan oleh Allah saw. swt.,


(23)

dan hal tersebut menjadi modal untuk memperoleh kebahagiaan. Kebahagiaan hidup di dunia berdimensi sangat luas dan abstrak. Standar kebahagiaan tidak dapat diukur dengan seberapa banyak ia mempunyai harta benda melainkan lebih mengarah kepada kenyamanan, ketentraman dan kemampuan mengendalikan diri. Rasulullah mengatakan :”bukanlah kaya itu karena ia memiliki harta benda, melain kan adanya kelapangan hati”. Oleh sebab itu, agama

tidak menjanjikan langsung melimpahnya harta kekayaan melainkan kemantapan bathin yang berujung pada komitmen dan keuletan berusaha. Bagi mereka dunia adalah tempat persinggahan sementara dan permainan yang melenakan (QS. Ali Imron : 185, Al An’am : 32 dan Hadid : 20), oleh sebab itu kekayaan yang paling sempurna adalah ketenangan dalam menjalankan agama itu sendiri (QS. Al Maidah : 3). Sedangkan keselamatan hidup di akhirat adalah keberhasilan seseorang dalam mempertanggung jawabkan semua aktifitas pelaksanaan amanat hidup sebagai hamba Allah saw. (QS. Adz Dzariat : 56) dan sebagai Kholifah (QS. Al Baqoroh : 30) yang sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah saw.. Pada masa tersebut, manusia tidak dapat mohon bantuan kepada sesamanya, sebab pada hari itu semua dihisab amalnya dengan seadil-adilnya. Harta benda dan anak istrinya yang dulu dibanggakan, sudah tidak


(24)

dapat dibanggakan lagi yang ada hanya “Rahman dan Rahimnya” Dzat yang Maha Kuasa (QS. Al Baqoroh : 48, 123 dan 281)17

Selain Ad dien, terdapat juga kata “Millah” sebagaimana disebut dalam beberapa ayat al Qur’an, misalnya QS. Al Baqoroh : 130 dan 135. Secara subtantif kata “millah” memiliki arti sebagai “jalan atau gaya

hidup” yang dikembangkan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad. Oleh sebab itu keluasan cakupan millah tidak dapat melebihi cakupan ad dien, karena millah bisa saja dikembangkan berdasarkan nilai subtansial dari ad dien, sedangkan ad dien terkadang tidak memasukkan millah dari beberapa Nabi atau Rasul sebelumnya, misalnya Dienul Islam yang dibawa Nabi Muhammad tidak memasukkan ajaran atau berpuasa sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Dawud.

Terdapat 10 ayat yang menjelaskan penggunaan kata “Millah

dan kesemuanya dikaitkan dengan cara dan gaya hidup Nabi Ibrahim /

ميهاربا ةلم

(QS. Al Baqoroh :130 dan 135, Ali Imron : 95, An Nisa’ : 125, Al A’am : 162, Yusuf : 37-38, An Nahl : 123, Al Haji : 78 dan Shad : 7). Nabi Ya’kub yang merupakan cucu nabi Ibrahim, juga memberikan justifikasi jalan hidup kepada anak-anaknya dengan prinsip “millah Ibrahim” yang bebas dari unsur kemusyrikan, dan dengan demikian subtansi Millah Ibrahim memiliki kesesuaian dengan prinsip-prinsip tauhid yang dibawa oleh semua Nabi dan Rasul Allah saw.

17


(25)

Pengertian millah sebagai jalan hidup atau style sebuah masyarakat juga nampak pada penggunaan kata millah dengan bentuk lain sebagaimana tersebut pada QS. Al Baqoroh : 120, Al A’raf : 87-88, Ibrahim : 13 al Kahfi : 20. Secara khusus dalam QS. Al Baqoroh : 120 – kata-kata millah dikaitkan dengan gaya hidup atau bahkan keyakinan kaum Yahudi dan Nasrani yang datang sebelum Nabi Muhammad menyampaikan risalah Islam.

Religiusitas muncul dari pengertian agama itu sendiri, walaupun religiusitas tidak diidentikan dengan agama secara umum, tetapi banyak orang menyebut orang yang beragama itu seharusnya orang yang religius. Maksudnya orang yang tekun menjalankan agamanya secara lahiriyah, seharusnya memiliki perasaan keadilan, kejujuran, dan memiliki semangat dalam meniti kehidupan.

Hal tersebut dalam ilmu jiwa agama dikenal dengan istilah kesadaran agama (religious counsciousnees) dan pengalaman agama (religious experience). Kesadaran agama adalah bagian atau segi yang hadir ( terasa) dalam pikiran dan dapat diuji melalui introspeksi, atau dapat dikatakan bahwa ia adalah aspek mental dan aktivitas agama. Sedangkan yang dimaksud dengan pengalaman agama (religious experience) adalah unsur perasaan dalam kesadaran agama, yaitu perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan18.

18


(26)

Ronald Cavanagh mengemukakan bahwa agama merupakan berbagai macam ekspresi simbolik dan respon terhadap segala nilai yang tidak terbatas bagi manusia19. Definisi ini terlalu umum sehingga perlu batasan-batasan tertentu. Berbeda dengan Charles Glock dan Rodney Stark yang mengidentifikasi lima dimensi yang berbeda, namun dengan kelimanya seseorang disebut religius20.

Teori yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah teori Charles Glok dan Rodney Stark. Teori ini mengukur religiusitas dengan lima dimensi, kemudian akan di sesuaikan dengan teori-teori keIslaman, karena pada awalnya teori ini digunakan untuk menganalisa kadar religiusitas kaum nashrani di Eropa. Kemudian diselaraskan dengan Islamic wordview agar sesuai dengan prinsip-prinsip atau paradigma ta‟sil, taswir, tarsyid, tatwir dan tazhir.

Keunggulan teori Glok dan Stark adalah memiliki konsep yang menyeluruh untuk menganalisa religiusitas. Keberagamaan seseorang tidak bisa dinilai dari satu dimensi saja, tetapi dari berbagai dimensi.

Berdasarkan teori Glok dan Stark, bahwa religious commitmen

seseorang dapat diketahui melalui pengukuran atas lima dimensi, yakni : a. Dimensi keyakinan (belief, idelogical dimension) yaitu tingkatan

seseorang dalam meyakini kebenaran ajaran agamanya. Dimensi ini dalam Islam dikenal dengan dimensi aqidah. Seorang muslim akan

19

Irvin Faria, Peter R. Cavanagh, The physiology and biomechanics of cycling, (University of California: Wiley, 1978), hlm.20

20http://zabalahque.blogspot.co.id/2010/05/dimensi-dimensi-agama_20.html


(27)

dikatakan memiliki religiusitas tinggi manakala memiliki aqidah yang kuat.

Allah saw. berfirman dalam QS. Al Hujurat: 13











































Artinya :

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah saw. ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah saw. Maha mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS: Al-Hujurat : 13)21

b. Dimensi peribadatan (practice, ritualistic dimension) yaitu tingkatan kepatuhan seseorang menjalankan kewajiban yang diperintahkan agamanya. Dimensi peribadatan atau dalam Islam dikenal dengan dimensi ibadah yang menitikberatkan pada ketaatan seorang hamba kepada Rabb dan RasulNya dalam menjalankan perintah-perintah serta kepatuhan dalam meninggalkan laranngan-laranganNya.























21


(28)





































Artinya:

Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah saw. dan RasulNya dan kepada KitabNya yang diturunkan kepada rasulNYa serta kitab yang diturunkan sebelumnya. Barangsiapa ingkar terhadap Allah saw., malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNyamaka sungguh orang itu telah tersesat sangat jauh” (QS.An-Nisa:136)22

c. Dimensi penghayatan (felling; experiential dimension) yaitu tingkatan seseorang mengalami perasaan atau pengalaman-pengalaman keagamaan. Contoh seorang muslim yang ditimpa persoalan berat dan tidak segera mendapatkan solusi, tiba-tiba datang seseorang yang menawarkan jasa secara cuma-cuma dan tanpa pamrih apapun, sehingga orang tersebut merasa di tolong oleh Allah saw. Swt.

d. Dimensi pengetahuan (knowledge; intellectual dimension) yaitu tingkatan pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap agamanya. Dimensi pengetahuan dalam ranah tasawwuf dikenal dengan tiga tingkatan pengetahuan yakni ilmul yaqiin, „ainul yaqiin dan haqqul yaqiin.Al-Ghazali mengemukakan bahwa ada tiga jenis

22


(29)

ilmu23. Pertama, ilmu rasional murni („aqli mahdh). Contoh yang diberikan al-Ghazali adalah aritmetika (al-hisab), geometri ( al-handasa), dan astrologi (al-nujum). Kedua, adalah ilmu-ilmu tradisional atau ilmu naqli. Kata “naqli” secara harafiah berarti

sesuatu yang didengar atau dinukil dari sumber terdahulu. Contoh ilmu semacam ini adalah ilmu hadis dan tafsir. Tentu yang dimaksud oleh al-Ghazali di sini adalah genre tafsir yang dikenal dengan tafsir bi al-ma‟tsur, yakni tafsir yang didasarkan pada hadits, pendapat para sahabat atau tabi’in. Ilmu-ilmu ini disebut sebagai “naqli” karena didasarkan pada riwayat atau pendapat otoritas terdahulu. Meskipun ada peran akal di sana, tapi sangatlah minimal karena yang diutamakan hanya ingatan yang kuat.Ketiga adalah ilmu yang menggabungkan antara akal dan tradisi, antara penalaran dan riwayat. Ilmu semacam ini paling tinggi statusnya dalam pandangan al-Ghazali, sebab di sana akal dan wahyu bekerja secara serentak. Contoh ilmu semacam ini antara lain adalah ushul fiqh, yakni ilmu yang mengulas cara-cara untuk menentukan hukum dari dalil-dalil agama yang bersifat umum. Ilmu ushul fiqh disebut sebagai ilmu “aqnali” sebab di sana akal tidak berjalan sendirian, begitu pula

wahyu atau tradisi tidak merupakan sumber utama. Baik wahyu dan akal bekerja secara bersama-sama. Karena itu, ushul fiqh adalah ilmu

23

Fazlur Rahman, Al Qur‟an Sumber Ilmu Pengetahuan, (Jakarta,Rineka Cipta cet 2 1992) terjemahan Arifin hal 19.


(30)

yang statusnya lebih tinggi dan mulia ketimbang ilmu hadis atau tafsir.

e. Dimensi pengalaman (effect; consequential dimension) yaitu dimensi yang mengukur sejauh mana perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran agamanya dalam kehidupan sosial24.

Sedangkan Ninian Smart dalam menganalisis dimensi agama menggunakan analisis pandangan dunia untuk menggali dimensi-dimensi agama. Ninian Smart menyebutkan bahwa dimensi agama terdapat tujuh bagian, yaitu :

1) Dimensi praktis atau ritual (ritual or practical)

2) Dimensi naratif atau mistis (narrative or mythic)

3) Dimensi pengalaman atau emosional (experiential or emotional)

4) Dimensi sosial atau institusional (social or institutional) 5) Dimensi etis atau legal (ethical or legal)

6) Dimensi doktrinal atau fikosofis (doctrinal or philosophical) 7) Dimensi material atau bahan

Dimensi pertama adalah dimensi praktis ritual yang nampak dalam upacara-upacara suci, perayaan hari besar. Dimensi kedua adalah dimensi emosional eksperiensial yang menunjuk pada perasaan dan pengalaman para penganut agama. Dimensi mistik atau naratif menyajikan kisah atau cerita-cerita suci. Dimensi filosofis doktrinal 24


(31)

0

adalah dimensi yang menyajikan pemikiran rasional argumentatif. Dimensi legal etis menyangkut tata tertib hidup dalam agama, norma dan pengaturan sampai pada sistem penghukuman bagi setiap pelanggaran. Dimensi sosial institusional mengatur kehidupan bersama, pemerintahan dan keorganisasian. Dimensi material menyangkut barang-barang dan alat-alat yang digunakan untuk pelaksanaan ibadah tertantu termasuk didalamnya adalah bangunan tempat ibadah.

Kesimpulan dari penjelasan diatas adalah bahwa tingkat religiusitas dimaknai sebagai sebuah penghayatan terhadap nilai – nilai dari ajaran agama dan pengamalannya dalam kehidupan. Jika kesimpulannya demikian maka religiusitas sesuai dengan makna iman dalam perspektif Islam . iman menurut terminologi adalah pengakuan dan pembenaran dengan hati yang diikrarkan dengan lisan dan di ejawantahkan dalam perbuatan. Dikatakan bahwa iman :

ناماا

قيدصتلا و

بلقلاب

رارقإاو ،

ناسللاب

لاو ،

ناكرااب لمع

.

قيدصتلا

،ةدابعلا دحو قاقحتساو ، تافصو ئامأو تي ولأو تيبوبرو ىاعت ها دوجوب

مازتلاو ،ناسنإا كولس ِ راثآ ىرُت ًانا ئمطا كلذب بلقلا نا ئمطاو

رماوأب

ي اون با تجاو ،ىاعت ها

.

Artinya :

iman adalah membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan perbuatan. Membenarkan bahwa Allah saw. Swt benar-benar ada dengan sifat-sifat rububiyah, uluhiyah dan asma wa shifahnya, beribadah hanya kepadaNya semata, yang dengannya hati menjadi tenang hingga nampak pada perbuatan seseorang yang menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya.


(32)

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kancah atau field research, karena penelitian ini dilakukan untuk mencari, menganalisis, dan menginterpretasi dari suatu hasil pengamatan yang terjadi di suatu tempat25. Adapun tempat yang menjadi penelitian adalah Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarta.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan psikologi agama, yaitu pendekatan untuk meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari berapa besar pengaruh religiusitas/pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada umumnya. Selain itu, psikologi agama juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta faktor- faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut26. Pendekatan ini digunakan karena sesuai dengan ranah kajian program studi Pemikiran Islam yang menggunakan islamic wordview atau cara pandang islam terhadap suatu objek penelitian.

2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah suatu cara yang dipakai oleh peneliti untuk memperhatikan, melihat, mendengar, mencatat,

25

Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Jilid II. ( Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, 1987), hlm.136

26


(33)

melakukan data yang akan diselidiki27. Kualitas ditentukan oleh alat pengambilan data atau alat pengukurannya. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan beberapa metode sebagai berikut :

a. Metode Angket

Metode angket digunakan sebagai metode pokok dalam penelitian ini. Metode angket adalah metode penelitian dengan menggunakan suatu daftar pertanyaan yang harus dijawab atau dikerjakan oleh orang yang akan menjadi subjek penelitian. Metode angket merupakan pemberian respon yang berwujud seft report atau laporan tentang diri sendiri yang berhubungan dengan pengetahuan, keyakinan pribadi28.

Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data tentang pengetahuan, ibadah dan pemahaman keIslaman pada santri Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarta. Metode ini dominan untuk mengetahui segi kignitif santri terhadap Islam.

Angket yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket tertutup. Angket tertutup (angket berstruktur) adalah angket yang disajikan dalam bentuk sedemikian rupa sehingga responden diminta untuk memilih satu jawaban yang sesuai dengan

27

S.Arikunto, Prosedur Penelitian suatu pendekatan praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm. 229.

28S.A

rikunto, Prosedur Penelitian suatu pendekatan praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm. 229


(34)

karekteristik dirinya dengan cara memberi tanda silang atau tanda checklist29.

Alasan menggunakan angket adalah agar jawaban tidak meluas dan akan terfokus pada tujuan pengukuran dan memudahkan pelaksanaan penelitian. Responden tinggal memilih jawaban yang telah tersedia berdasarkan alternative jawaban yang ada dengan nilai sebagai berikut :

Untuk soal favorable bagi responden yang menjawab A=4, B=3, C=2, D=1

Untuk soal unfavourable bagi responden yang menjawab

A=1, B=2, C=3, D,=4

29

Dr. Riduwan, M.B.A. Metode dan Teknik Menyusun Tesis (Bandung: Alfabeta 2013) hal.99-102


(35)

b. Metode Observasi (pengamatan)

Metode observasi yaitu penglihatan, penciuman, pengamatan dan pencatatan terhadap suatu objek dengan menggunakan seluruh alat indra30.

Segi kognitif dapat diketahui melalui bagaimana para santri menjawab pertanyaan terkait tingkat reigiusitas. Sedangkan dari segi behavior tingkat religiusitas santri dapat diamati melalui aktivitas -aktivitas keagamaan yang dilakukan seperti sholat wajib, sholat sunnah, maupun ibadah yang lainnya. Segiafektif dapat diketahui melalui perasaan bahagia ketika mendapatkan hasil ujian yag bagus, begitu sebaliknya akan merasa kecewa ketika sesuatu yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan.

Metode observasi ini digunakan untuk mengumpulkan data-data terkait dengan perilaku keseharian seperti shalat fardlu, shalat sunnah, puasa sunnah, membaca Al-Qur’an, qiyamullail dan infaq.

c. Metode Dekumentasi

Metode dekumentasi adalah cara pengumpulan data dengan melihat dokumen–dokumen yang meliputi buku-buku, majalah, foto, peraturan dan sebagainya31. Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang kesantrian yang meliputi tempat 30

S.Arikunto, Prosedur Penelitian suatu pendekatan praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm. 146

31

S.Arikunto, Prosedur Penelitian suatu pendekatan praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm. 148.


(36)

dan tanggal lahir santri, absensi santri, agenda kegiatan, dan peratuan atau tata tertib, susunan pengurus dan pengasuh Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarta.

d. Metode Interview (wawancara)

Wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan data dengan jalan komunikasi, yakni melalui kontak atau hubungan pribadi antara pengumpul data (pewawancara) dengan sumber data (responden). Komunikasi tersebut dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung yaitu menggunakan daftar pertanyaan yang dikirim kepada responden dan kemudian responden menjawab pertanyaan yang diajukan oleh peneliti; kemudian responden mengirim kembali daftar pertanyaan yang telah dijawab kepada peneliti. Wawancara secara langsung yaitu wawancara dilakukan dengan cara face to face ; artinya peneliti dengan responden saling berhadapan, dan jawaban dicatat oleh pewawancara32.

3. Metode Analisis Data

Analisis data adalah proses penyederhanaan data menjadi bentuk yang lebih sederhana dan mudah dibaca dan diinterpretasi33. Metode yang digunakan dalam menganalisa data dalam penelitian ini adalah metode analitis deskriptif yang bersifat eksploratif, yakni peneliti memberikan gambaran secara teratur dan menganalisa secara 32

Rianto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2010) hlm. 72.

33

Singarimbun,masri dan sofyan efendi (ed) Metodologi penelitian survei.(Jogjakarta: LP3ES, 1989) hlm. 263


(37)

cermat34. Maksud menganalisis data yaitu peneliti akan menelusuri tiap santri kaitanya dengan data yang diperoleh dari santri yang menjadi objek penelitian. Deskriptif artinya peneliti akan menguraikan dengan teliti dan cermat serta menginterpretasi semua hal yang berkaitan dengan kadar religiusitas santri PAKYM Surakarta. Analisis jenis ini juga bermaksud untuk menuturkan dan menafsirkan data yang ada, seperti situasi yang dialami, suatu hubungan, kegiatan, pandangan, sikap yang nampak, aau tentang proses yang sedang berlangsung, pengaruh yang sedang bekerja, kelainan yang muncul, kecenderungan yang nampak, pertentangan yang meruncing dan lain sebagainya.35

Data-data mengenai kadar religiusitas santri PAKYM dideskripsikan secara menyeluruh kemudian dianalisis dan ditulis secara sistematis sesuai dengan pembahasannya, kemudian peneliti juga melakukan interpretasi terhadap kadar religiusitas santri PAKYM. Kemudian data yang ada dielaborasikan dengan menggunakan logika deduktif.

G. Sistematika Pembahasan

Penulisan penelitian ini disusun secara sistematis guna mempermudah proses pengkajian dan pemahaman terhadap persoalan yang ada. Sistematikanya adalah sebagai berikut :

34

Bakker, anton. 1986. Metode-metode filsafat.(jakarta: ghalia 1986), hlm. 17

35

Winarno surakhman, Pengantar Penelitian Ilmiah, (Bandung: Tarsito, 1994), hlm. 140


(38)

Secara umum bab pertama (BAB I) berisi tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, penegasan istilah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, dan metode penelitian. Bab kedua (BAB II) berisi kajian teori tentang kadar religiusitas yang meliputi pengertian religiusitas, faktor religiusitas, dimensi religiusitas, tahap perkembangan religiusitas. Bab ketiga (BAB III), dijelaskan tentang gambaran umum Panti Asuhan keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarta meliputi letak geografis, sejarah, proses pendidikan dan kepengasuhan. Bab keempat (BAB IV), berisi paparan data-data lapangan, hasil observasi, dan angket. Bab kelima (BAB V) berisi analisis data kadar religiusitas santri Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarta dengan metode yang sudah ditentukan di muka. Bab VI berisi kesimpulan, saran–saran dan penutup.


(1)

melakukan data yang akan diselidiki27. Kualitas ditentukan oleh alat pengambilan data atau alat pengukurannya. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan beberapa metode sebagai berikut :

a. Metode Angket

Metode angket digunakan sebagai metode pokok dalam penelitian ini. Metode angket adalah metode penelitian dengan menggunakan suatu daftar pertanyaan yang harus dijawab atau dikerjakan oleh orang yang akan menjadi subjek penelitian.

Metode angket merupakan pemberian respon yang berwujud seft

report atau laporan tentang diri sendiri yang berhubungan dengan

pengetahuan, keyakinan pribadi28.

Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data tentang pengetahuan, ibadah dan pemahaman keIslaman pada santri Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarta. Metode ini dominan untuk mengetahui segi kignitif santri terhadap Islam.

Angket yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket tertutup. Angket tertutup (angket berstruktur) adalah angket yang disajikan dalam bentuk sedemikian rupa sehingga responden diminta untuk memilih satu jawaban yang sesuai dengan

27

S.Arikunto, Prosedur Penelitian suatu pendekatan praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm. 229.

28S.A

rikunto, Prosedur Penelitian suatu pendekatan praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm. 229


(2)

karekteristik dirinya dengan cara memberi tanda silang atau tanda checklist29.

Alasan menggunakan angket adalah agar jawaban tidak meluas dan akan terfokus pada tujuan pengukuran dan memudahkan pelaksanaan penelitian. Responden tinggal memilih jawaban yang telah tersedia berdasarkan alternative jawaban yang ada dengan nilai sebagai berikut :

Untuk soal favorable bagi responden yang menjawab A=4, B=3, C=2, D=1

Untuk soal unfavourable bagi responden yang menjawab

A=1, B=2, C=3, D,=4

29 Dr. Riduwan, M.B.A.

Metode dan Teknik Menyusun Tesis (Bandung: Alfabeta 2013) hal.99-102


(3)

b. Metode Observasi (pengamatan)

Metode observasi yaitu penglihatan, penciuman,

pengamatan dan pencatatan terhadap suatu objek dengan

menggunakan seluruh alat indra30.

Segi kognitif dapat diketahui melalui bagaimana para santri menjawab pertanyaan terkait tingkat reigiusitas. Sedangkan dari segi behavior tingkat religiusitas santri dapat diamati melalui aktivitas -aktivitas keagamaan yang dilakukan seperti sholat wajib, sholat sunnah, maupun ibadah yang lainnya. Segiafektif dapat diketahui melalui perasaan bahagia ketika mendapatkan hasil ujian yag bagus, begitu sebaliknya akan merasa kecewa ketika sesuatu yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan.

Metode observasi ini digunakan untuk mengumpulkan data-data terkait dengan perilaku keseharian seperti shalat fardlu,

shalat sunnah, puasa sunnah, membaca Al-Qur’an, qiyamullail dan

infaq.

c. Metode Dekumentasi

Metode dekumentasi adalah cara pengumpulan data

dengan melihat dokumen–dokumen yang meliputi buku-buku,

majalah, foto, peraturan dan sebagainya31. Metode ini digunakan

untuk memperoleh data tentang kesantrian yang meliputi tempat

30

S.Arikunto, Prosedur Penelitian suatu pendekatan praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm. 146

31

S.Arikunto, Prosedur Penelitian suatu pendekatan praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm. 148.


(4)

dan tanggal lahir santri, absensi santri, agenda kegiatan, dan peratuan atau tata tertib, susunan pengurus dan pengasuh Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarta.

d. Metode Interview (wawancara)

Wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan data dengan jalan komunikasi, yakni melalui kontak atau hubungan pribadi antara pengumpul data (pewawancara) dengan sumber data (responden). Komunikasi tersebut dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung yaitu menggunakan daftar pertanyaan yang dikirim kepada responden dan kemudian responden menjawab pertanyaan yang diajukan oleh peneliti; kemudian responden mengirim kembali daftar pertanyaan yang telah dijawab kepada peneliti. Wawancara

secara langsung yaitu wawancara dilakukan dengan cara face to

face ; artinya peneliti dengan responden saling berhadapan, dan

jawaban dicatat oleh pewawancara32.

3. Metode Analisis Data

Analisis data adalah proses penyederhanaan data menjadi

bentuk yang lebih sederhana dan mudah dibaca dan diinterpretasi33.

Metode yang digunakan dalam menganalisa data dalam penelitian ini adalah metode analitis deskriptif yang bersifat eksploratif, yakni peneliti memberikan gambaran secara teratur dan menganalisa secara

32

Rianto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2010) hlm. 72.

33

Singarimbun,masri dan sofyan efendi (ed) Metodologi penelitian survei.(Jogjakarta: LP3ES, 1989) hlm. 263


(5)

cermat34. Maksud menganalisis data yaitu peneliti akan menelusuri tiap santri kaitanya dengan data yang diperoleh dari santri yang

menjadi objek penelitian. Deskriptif artinya peneliti akan

menguraikan dengan teliti dan cermat serta menginterpretasi semua hal yang berkaitan dengan kadar religiusitas santri PAKYM Surakarta. Analisis jenis ini juga bermaksud untuk menuturkan dan menafsirkan data yang ada, seperti situasi yang dialami, suatu hubungan, kegiatan, pandangan, sikap yang nampak, aau tentang proses yang sedang berlangsung, pengaruh yang sedang bekerja, kelainan yang muncul, kecenderungan yang nampak, pertentangan

yang meruncing dan lain sebagainya.35

Data-data mengenai kadar religiusitas santri PAKYM dideskripsikan secara menyeluruh kemudian dianalisis dan ditulis secara sistematis sesuai dengan pembahasannya, kemudian peneliti juga melakukan interpretasi terhadap kadar religiusitas santri PAKYM. Kemudian data yang ada dielaborasikan dengan menggunakan logika deduktif.

G. Sistematika Pembahasan

Penulisan penelitian ini disusun secara sistematis guna mempermudah proses pengkajian dan pemahaman terhadap persoalan yang ada. Sistematikanya adalah sebagai berikut :

34

Bakker, anton. 1986. Metode-metode filsafat.(jakarta: ghalia 1986), hlm. 17

35

Winarno surakhman, Pengantar Penelitian Ilmiah, (Bandung: Tarsito, 1994), hlm. 140


(6)

Secara umum bab pertama (BAB I) berisi tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, penegasan istilah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, dan metode penelitian. Bab kedua (BAB II) berisi kajian teori tentang kadar religiusitas yang meliputi pengertian religiusitas, faktor religiusitas, dimensi religiusitas, tahap perkembangan religiusitas. Bab ketiga (BAB III), dijelaskan tentang gambaran umum Panti Asuhan keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarta meliputi letak geografis, sejarah, proses pendidikan dan kepengasuhan. Bab keempat (BAB IV), berisi paparan data-data lapangan, hasil observasi, dan angket. Bab kelima (BAB V) berisi analisis data kadar religiusitas santri Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarta dengan metode yang sudah ditentukan di


Dokumen yang terkait

PEMBUATAN DATABASE BANGUNAN PANTI ASUHAN KELUARGA YATIM MUHAMMADIYAH (PAKYM) SURAKARTA

0 3 7

KADAR RELIGIUSITAS SANTRI PANTI ASUHAN KELUARGA YATIM MUHAMMADIYAH SURAKARTA TAHUN 2015 Kadar Religiusitas Santri Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarta Tahun 2015.

0 3 16

KADAR RELIGIUSITAS SANTRI PANTI ASUHAN KELUARGA YATIM MUHAMMADIYAH SURAKARTA TAHUN 2015 Kadar Religiusitas Santri Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarta Tahun 2015.

0 2 16

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA DI PANTI ASUHAN KELUARGA YATIM Hubungan Antara Religiusitas Dengan Resiliensi Pada Remaja Di Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarta.

0 2 17

PENDAHULUAN Hubungan Antara Religiusitas Dengan Resiliensi Pada Remaja Di Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarta.

0 2 9

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN RESILIENSI Hubungan Antara Religiusitas Dengan Resiliensi Pada Remaja Di Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarta.

0 1 18

PENDAHULUAN Hubungan Antara Self-Esteem Dengan Resiliensi Pada Remaja Di Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarta.

0 2 9

HUBUNGAN RELIGIUSITAS DENGAN KEBERMAKNAAN HIDUP PADA SANTRI PANTI ASUHAN KELUARGA YATIM Hubungan Religiusitas Dengan Kebermaknaan Hidup Pada Santri Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarata.

0 0 15

PENDAHULUAN Hubungan Religiusitas Dengan Kebermaknaan Hidup Pada Santri Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarata.

2 15 16

HUBUNGAN RELIGIUSITAS DENGAN KEBERMAKNAAN HIDUP PADA SANTRI PANTI ASUHAN KELUARGA YATIM Hubungan Religiusitas Dengan Kebermaknaan Hidup Pada Santri Panti Asuhan Keluarga Yatim Muhammadiyah Surakarata.

0 1 14