PENGARUH KEWENANGAN FORMAL DAN KARAKTERISTIK SISTEM INFORMASI KEUANGAN DAERAH TERHADAP KESADARAN BERBIAYA DI PEMERINTAH KOTA BANDUNG.

(1)

No. Daftar FPEB : 316/UN40.7.D1/LT/2014

PENGARUH KEWENANGAN FORMAL DAN KARAKTERISTIK

SISTEM INFORMASI KEUANGAN DAERAH TERHADAP KESADARAN

BERBIAYA DI PEMERINTAH KOTA BANDUNG

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Ekonomi Pada Program Studi Manajemen Universitas Pendidikan Indonesia

Maya Cinthya

1005749

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS PENDIDIKAN EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA


(2)

PENGARUH KEWENANGAN FORMAL DAN

KARAKTERISTIK SISTEM INFORMASI KEUANGAN

DAERAH TERHADAP KESADARAN BERBIAYA DI

PEMERINTAH KOTA BANDUNG

Oleh :

Maya Cinthya

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Pada Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis

©Maya Cinthya 2014 UniversitasPendidikan Indonesia

Juli 2014

Hak Cipta dilindungi undang – undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian, Dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

SKRIPSI

PENGARUH KEWENANGAN FORMAL DAN KARAKTERISTIK SISTEM INFORMASI KEUANGAN DAERAH TERHADAP KESADARAN

BERBIAYA DI PEMERINTAH KOTA BANDUNG

MAYA CINTHYA 1005749

Skripsi ini telah disetujui dan disahkan oleh: Pembimbing

Budhi Pamungkas G, SE.,M.Sc NIP. 19820707 200912 1 005

Mengetahui,

Ketua Program Studi Manajemen

Dr. Vanessa Gaffar, SE.Ak., MBA NIP. 19740307 200212 2 001

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS PENDIDIKAN EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA


(4)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 15

1.3 Rumusan Masalah ... 16

1.4 Tujuan Penelitian ... 17

1.5 Manfaat Penelitian ... 17

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 19 2.1 Kajian Pustaka ... 19

2.1.1 Perilaku Keuangan Sektor Publik ... 19

2.1.2 Otonomi Daerah ... 21

2.1.3 Ilmu Pemerintahan ... 22

2.1.3.1. Struktur Kewenangan ... 23

2.1.3.1.1 Kewenangan Formal……… ... 24

2.1.4 Sistem Informasi ... 25

2.1.4.1. Sistem Informasi Akuntansi ... 26

2.1.4.2. Sistem Informasi Keuangan Daerah ... 26

2.1.4.2.1 Karakteristik Sistem Informasi Keuangan Daerah……… 27

2.1.5 Manajemen Biaya ... 28

2.1.5.1 Kesadaran Berbiaya ... 30

2.2 Pengaruh Kewenangan Formal terhadap Kesadaran Berbiaya ... 32

2.3 Pengaruh Karakteristik Sistem Informasi Keuangan Daerah Terhadap Kesadaran Berbiaya ... 32

2.4 Penelitian Terdahulu ... 34

2.5 Kerangka Pemikiran ... 38


(5)

2.7 Hipotesis ... 41

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 42

3.1 Objek Penelitian ... 42

3.2 Metode Penelitian dan Desain Penelitian ... 42

3.2.1 Metode Penelitian ... 42

3.2.2 Desain Penelitian ... 43

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 44

3.3.1. Variabel Penelitian ... 44

3.3.2.Definisi Operasional ... 45

3.4 Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data ... 48

3.4.1Sumber Data ... 48

3.4.2Teknik Pengumpulan Data ... 49

3.5 Populasi dan Sampel ... 50

3.5.1Populasi ... 50

3.5.2Sampel ... 50

3.6 Rancangan Analisis Data dan Uji Hipotesis ... 53

3.6.1Rancangan Analisis Data ... 53

3.6.2Uji Kualitas Data ... 54

3.6.2.1 Uji Validitas ... 54

3.6.2.2 Uji Reliabilitas ... 55

3.6.3Teknik Analisis Data ... 56

3.6.3.1 Analisis Statistik Deskriptif ... 56

3.6.3.2 Analisis Statistik ... 58

3.6.3.2.1 Method of Successive Interval (MSI) ... 58

3.6.3.2.2 Uji Asumsi Klasik ... 59

3.6.3.2.3 Analisis Korelasi Berganda ... 60

3.6.3.2.4 Koefisien Determinasi ... 61

3.6.3.2.5 Uji Regresi Linier Berganda ... 62

3.6.4Uji Hipotesis ... 62

3.6.4.1 Uji Simultan (Uji F-Statistik) ... 63

3.6.4.2 Uji Parsial (Uji T-Statistik) ... 64

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 66

4.1 Hasil Penelitian ... 66

4.1.1Gambaran Umum Objek Penelitian ... 66

4.1.1.1 Profil Pemerintah Kota Bandung ... 66

4.1.2Gambaran Umum Karakteristik Responden ... 83

4.1.2.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 83

4.1.2.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 84

4.1.2.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Jabatan ... 85

4.1.2.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Masa Kerja... 85


(6)

4.1.3.1 Gambaran Umum Kewenangan Formal di

Pemerintah Kota Bandung ... 85

4.1.3.2 Rekapitulasi Hasil Penelitian Variabel Kewenangan Formal ... 90

4.1.3.3 Gambaran Umum Karakteristik Sistem Informasi Keuangan Daerah di Pemerintah Kota Bandung ... 92

4.1.3.4 Rekapitulasi Hasil Penelitian Variabel Karakteristik Sistem Informasi Keuangan Daerah .... 105

4.1.3.5 Gambaran Umum Kesadaran Berbiaya di Pemerintah Kota Bandung ... 108

4.1.3.6 Rekapitulasi Hasil Penelitian Variabel Kesadaran Berbiaya ... 113

4.1.4Analisis Statisik ... 116

4.1.4.1 Pengujian Asumsi Klasik……….. 116

4.1.4.2 Analisis Korelasi Berganda……….. 119

4.1.4.3 Koefisien Determinasi……….. 121

4.1.4.4 Uji Regresi Linier Berganda………. 122

4.1.4.5 Uji Hipotesis……… 124

4.2 Pembahasan……… 127

4.2.1Gambaran Kewenangan Formal di Pemerintah Kota Bandung………. 127

4.2.2Gambaran Karakteristik Sistem Informasi Keuangan Daerah di Pemerintah Kota Bandung………... 128

4.2.3Gambaran Kesadaran Berbiaya di Pemerintah Kota Bandung………. 130

4.2.4Pengaruh Kewenangan Formal terhadap Kesadaran Berbiaya di Pemerintah Kota Bandung………. 131

4.2.5Pengaruh Karakteristik Sistem Informasi Keuangan Daerah terhadap Kesadaran Berbiaya di Pemerintah Kota Bandung……… 131

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……… 135

5.1 Kesimpulan……….. 135

5.2 Saran……… 136

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(7)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan keuangan sektor publik khususnya di Indonesia semakin pesat dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah. Otonomi daerah di Indonesia dilandasi oleh Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang merupakan landasan yuridis bagi pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa otonomi yang diberikan kepada daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara proporsional. Artinya, pelimpahan tanggung jawab dan wewenang akan diikuti oleh pengaturan pembagian, dan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Berdasarkan studi identifikasi permasalahan otonomi daerah di Indonesia yang dikaji oleh Balitbang dan LAN-RI, pelaksanaan otonomi daerah dapat terselenggara dengan baik ketika terjadinya keseimbangan antara pemerintah daerah, lembaga legislatif daerah dan masyarakat, keseimbangan antara tugas dan tanggung jawab, beban pekerjaan, anggaran yang tersedia dan prestasi kerja. Dengan kesimpulan bahwa diperlukannya kewajiban, wewenang dan hak daerah untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi pemerintahan di bidang-bidang tertentu, dimana salah satunya adalah bidang keuangan.


(8)

Permasalahan keuangan sektor publik yang menjadi sorotan para pengamat ekonomi adalah masalah tingkat realisasi anggaran sebagai salah satu indikator kegagalan birokrasi di daerah-daerah yang ada di Indonesia, anggaran yang dimaksud adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) daerah itu sendiri. APBD merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah karena APBD merupakan rencana kerja pemerintah daerah dalam bentuk uang (rupiah) dalam satu periode tertentu (satu tahun).

Direktorat Jendral Anggaran (2011) mengemukakan bahwa kegagalan target realisasi anggaran mengakibatkan hilangnya manfaat belanja, sedangkan apabila pengalokasian anggaran dilakukan secara efisien, maka keterbatasan sumber dana yang dimiliki pemerintah daerah dapat dioptimalkan untuk mendanai kegiatan strategis lainnya. Sumber-sumber pendapatan daerah yang terbatas dihadapkan pada kebutuhan masyarakat yang tidak terbatas, mengharuskan pemerintah untuk menyusun prioritas kegiatan dan pengalokasian anggaran yang efektif dan efisien. Oleh sebab itu, ketika anggaran gagal memenuhi target yang disebabkan oleh pemerintah yang terlalu hati-hati atau menimbun dana anggarannya sehingga ada program kerja yang tidak terlaksana, dan ketika anggaran melebihi target artinya pemerintah tidak memperhatikan konsekuensi biaya pada setiap belanja daerahnya, berarti telah terjadi inefisien dan inefektivitas pengalokasian anggaran,

Salah satu penyebab terjadinya pengelolaan keuangan daerah yang kurang optimal, yaitu dimana dalam proses pengambilan keputusan keuangan yang mencakup penentuan anggaran belanja daerahnya, pemerintah tidak peduli dengan


(9)

konsekuensi biaya yang dikeluarkan atau yang dimaksud dengan kesadaran berbiaya (cost consciousness). Syafruddin (2006) mengemukakan bahwa kesadaran berbiaya merupakan indikator penting dalam mengukur kinerja keuangan sektor publik. Kesadaran berbiaya dapat diukur dengan melihat sejauh mana kemampuan pemimpin membelanjakan anggaran, sejauh mana pengetahuan seorang pemimpin mengenai sasaran dan batasan anggaran belanja daerah, kemampuan pemimpin meminimalisi biaya dan kemampuan pemimpin mengelola biaya operasional. Syafruddin juga mengemukakan bahwa kesadaran berbiaya merupakan indikator pengukur kinerja keuangan sektor publik dengan anggaran sebagai alat penilaian kinerja keuangannya.

Kondisi anggaran yang melebihi target menunjukkan kesadaran berbiaya di pemerintah daerah yang rendah. Daerah-daerah yang memiliki penyerapan anggaran yang tinggi atau melebihi 100% adalah daerah-daerah yang memiliki realisasi APBD yang defisit. Direktur Jendral Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Marwanto Harjowiyono mengemukakan terdapat 424 dari 491 daerah dari 33 provinsi di Indonesia tahun 2013 yang memiliki anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) defisit. Sedangkan 56 daerah memiliki anggaran surplus dan 11 daerah anggarannya berimbang. Rata-rata realisasi APBD sampai dengan Triwulan III tahun 2013 agregat per provinsi adalah sebesar 57,6%. Terdapat 13 daerah yang mempunyai realisasi belanja di bawah rata-rata dan 20 daerah mempunyai realisasi belanja di atas rata-rata. Jawa Barat (62,3%), Sulawesi Barat (63,5%), Sulawesi Tengah (63,9%), Sumatra Selatan (65,2%) dan Gorontalo


(10)

(69,8%) adalah beberapa daerah dengan realisasi belanja yang berada di atas rata-rata.

Syafruddin (2013) mengemukakan kondisi realisasi belanja daerah di Jawa Barat cukup memprihatinkan, Jawa Barat memiliki 18 kabupaten (Kab. Bandung, Kab. Bandung Barat, Kab. Bekasi, Kab. Bogor, Kab. Ciamis, Kab. Cianjur, Kab. Cirebon, Kab. Garut, Kab. Indramayu, Kab. Karawang, Kab. Kuningan, Kab. Majalengka, Kab. Pangandaran, Kab. Purwakarta, Kab. Subang, Kab. Sukabumi, Kab. Sumedang, Kab. Tasikmalaya) dan 9 kota (Kota Bandung, Kota Banjar, Kota Bekasi, Kota Bogor, Kota Cimahi, Kota Cirebon, Kota Depok, Kota Sukabumi, Kota Tasikmalaya). Dari 18 kabupaten dan 9 kota di Jawa Barat hanya didapatkan data pembanding dari empat kabupaten dan lima kota dimana data terdiri dari rancangan dan realisasi anggaran belanja daerah pada tahun 2010-2013 yang ditunjukkan pada tabel 1.1 dan 1.2 dibawah ini

Tabel 1.1

Persentase Realisasi Anggaran Kab dan Kota di Jawa Barat Tahun 2010-2011

Daerah Belanja Daerah

2010 2011

Rancangan Realisasi Target Rancangan Realisasi Target Kab. Bandung 2.910.783.227.182,00 2.670.283.771.293,00 91,7% 2.837.102.388.382,05 2.611.562.827.202,00 92,1% Kab. Purwakarta 1.538.004.271.685,21 1.338.210.276.882,03 87% 1.447.718.722.004,00 1.429.186.592.404,00 98,7% Kab.Tasikmalaya 1.760.200.781.289,00 1.622.892.901.004,05 92,2% 1.568.451.700.289,00 1.389.251.876.655,00 88,6% Kab. Bandung

Barat

2.719.902.225.170,25 2.568.230.110.827,25 94,4% 2.782.561.276.054,00 2.690.278.189.665,00 96,7%

Kota Tasikmalaya


(11)

Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (diolah kembali) Tabel 1.2

Persentase Realisasi Anggaran Kab dan Kota di Jawa Barat Tahun 2012-2013

Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (diolah kembali)

Pada tabel 1.1 dan 1,2 diatas ditunjukkan persentase realisasi belanja daerah di beberapa daerah di Jawa Barat. Rata-rata realisasi belanja daerah di Jawa Barat selama empat tahun terakhir yaitu sekitar 80-95% dari anggaran yang ditetapkan. Ada beberapa daerah yang realisasi belanja daerahnya melebihi anggaran diantaranya Kab. Bandung pada tahun 2012, Kab.Bandung Barat pada tahun 2013

Kota Bandung 2.855.133.555.022,31 2.522.680.816.553,00 88,4% 3.312.196.925.814,23 3.080.347.679.003,00 93% Kota Bogor 3.450.278.199.210,00 3.227.189.650.281,00 93,5% 3.611.768.110.526,00 3.272.491.037.449,03 90,6% Kota Cimahi

Kota Bekasi 1.404.617.718.206,00 1.321.005.278.486,00 94% 1.524,189.320.117,00 1.490.228.321.659,00 97,8%

Daerah Belanja Daerah

2012 2013

Rancangan Realisasi Target Rancangan Realisasi Target Kab. Bandung 2.820.560.228.190,00 2.900.289.114.278,00 102% 3.001.062.364.075.,05 2.790.928.541.213,00 93% Kab. Purwakarta 1.305.652.189.242,00 1.190.328.779.125,00 91,1% 1.241.204.296.826,00 1.138.169.999.602,00 91,7% Kab.Tasikmalaya 1.600.230.127.189,00 1.570.290.359.271,00 98,1% 1.670.924.355.220,05 1.398.776.200.450.00 83,7% Kab. Bandung

Barat

2.890.562.233.892,00 2.842.332.781.006,00 98,3% 3.120.210.125.729,00 3.135.100.240.113,00 100,5%

Kota Tasikmalaya

1.221.300.465.287,00 1.197.926.672.392,00 98% 1.089.930.141.410,00 943.905.576.224,00 86,6%

Kota Bandung 3.634.707.922.420,25 3.864.669.570.886,63 106,3% 2.378.508.561.323,00 2.389.049.473.401,00 100,4% Kota Bogor 3.921.527.280.102,03 3.599.219.765.004,00 90,8% 4.146.847.170.000,00 3.673.996.467.719,00 88,6%

Kota Cimahi 1.420.446.135.920,00 1.230.172.244.630,00 86,6%


(12)

dan Kota Bandung pada tahun 2012 dan 2013.Yossi Irianto selaku sekretaris daerah Kota Bandung mengemukakan bahwa realisasi belanja daerah di Kota Bandung melebihi target anggaran yang ditetapkan. Kondisi ini menunjukan pengelolaan APBD Kota Bandung yang tidak efisien dengan rendahnya kesadaran berbiaya yang dimiliki pemerintah dilihat dari kegagalan penyerapan anggaran dan realisasi APBD Kota Bandung yang selama empat tahun terakhir ini mengalami defisit seperti yang ditunjukkan tabel 1.3 berikut ini:

Tabel 1.3

APBD Kota Bandung Tahun 2010-2013

Sumber: Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (diolah kembali) Berdasarkan tabel 1.3 diatas, APBD Kota Bandung terus mengalami defisit selama empat tahun terakhir. Hal ini menunjukan bahwa pendapatan yang diterima lebih sedikit dibandingkan dengan pengeluaran yang ada.APBD terdiri dari pendapatan dan belanja daerah. Adapun sumber-sumber pendapatan dan belanja daerah yaitu seperti yang ditunjukkan pada tabel 1.4 berikut ini:

Tahun Rancangan Realisasi

2010 (361.274.646.394,00) (358.965.636.108,00)

2011 (261.065.180.269,00) (256.036.373.931,00)

2012 (254.759.835.532,00) (244.254.066.081,00)


(13)

Tabel 1.4

Sumber-sumber Pendapatan dan Belanja Daerah

Pendapatan Belanja

Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Perimbangan

Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah

Belanja Tidak Langsung Belanja Langsung

Sumber: Website resmi Pemerintah Kota Bandung http://bandung.go.id

Berdasarkan tabel 1.4 diatas, dapat diketahui bahwa terdapat berbagai sumber pendapatan APBD dan apa saja pengeluaran yang selama ini dikeluarkan Pemerintah sebagai belanja daerah. APBD dapat menunjukkan kondisi surplus maupun defisit. Ketika anggaran belanja daerah mengalami surplus, hal ini menunjukkan bahwa adanya dana yang tidak dibelanjakan pemerintah atau adanya program kerja daerah yang tidak dilaksanakan, sehingga pada kondisi ini pemerintah tidak mencapai sasaran anggaran belanja daerah yang telah ditetapkan. Sedangkan ketika anggaran belanja daerah mengalami defisit, maka kondisi ini menunjukkan adanya penambahan faktor belanja daerah yang tidak masuk pada estimasi anggaran belanja daerah sebelumnya, sehingga menyebabkan realisasi pengeluaran belanja daerah yang ada lebih besar dari anggaran yang ditetapkan, pada kondisi ini dapat diketahui bahwa pemerintah melebihi batasan belanja daerah yang telah disepakati pada anggaran sebelumnya. Dimana realisasi belanja daerah akan mempengaruhi pada tingkat penyerapan anggaran yang ada.

Young dan Shield (2000) mengemukakan bahwa belanja daerah dijadikan pengukur kesadaran berbiaya yang dimiliki pemerintah. Kesadaran berbiaya dapat


(14)

diukur dengan melihat sejauh mana kemampuan pemimpin membelanjakan anggaran, sejauh mana pengetahuan seorang pemimpin mengenai sasaran dan batasan belanja daerah, kemampuan pemimpin meminimalisi biaya dan kemampuan pemimpin mengelola biaya operasional. Melihat kondisi APBD yang defisit membuktikan bahwa beberapa indikator kesadaran berbiaya diatas tidak tertanam dalam diri Pemerintah Kota Bandung. Seperti yang ditunjukkan pada tabel 1.5 berikut ini

Tabel 1.5

Persentase Perubahan Anggaran Belanja Daerah Tahun 2010-2013 dan Realisasinya

Tahun Belanja Daerah Perubahan

Anggaran Realisasi Surplus/ (Defisit) Persentase (%) 2010 2.855.133.555.022,31 2.522.680.816.553,00 332.452.738.469,31 11.64 2011 3.312.196.925.814,23 3.080.347.679.003,00 231.849.246.811,23 6.99 2012 3.634.707.922.420,25 3.864.669.570.886,63 (229.961.648.466,38) 6.32 2013 4.555.422.015.549,00 4.755.244.946.717,15 (199.822.931.168,15) 4,39 Sumber: Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (2013)

Berdasarkan tabel 1.5 diatas dapat diketahui bahwa realisasi belanja daerah dengan anggaran sebelumnya ada yang mengalami surplus dan ada juga yang mengalami defisit. Ketika anggaran belanja daerah mengalami surplus, hal ini menunjukkan bahwa adanya dana yang tidak dibelanjakan pemerintah atau adanya program kerja daerah yang tidak dilaksanakan, sehingga pada kondisi ini pemerintah tidak mencapai sasaran anggaran belanja daerah yang telah ditetapkan. Seperti yang


(15)

ditunjukkan pada tahun 2010 yang mengalami surplus sebesar 11.64% dan pada tahun 2011 dengan surplus sebesar 6.99%.

Sedangkan ketika anggaran belanja daerah mengalami defisit, maka kondisi ini menunjukkan adanya penambahan faktor belanja daerah yang tidak masuk pada estimasi anggaran belanja daerah sebelumnya, sehingga menyebabkan realisasi pengeluaran belanja daerah yang ada lebih besar dari anggaran yang ditetapkan, pada kondisi ini dapat diketahui bahwa pemerintah melebihi batasan belanja daerah yang telah disepakati pada anggaran sebelumnya. Dengan kata lain pada kondisi ini pemerintah tidak memiliki kesadaran berbiaya. Seperti yang ditunjukkan pada tahun 2012 yaitu defisit sebesar Rp. 229.961.648.466,38 yaitu 6.32% dari anggaran belanja daerah dan pada tahun 2013 sebesar Rp. 199.822.931.168,15 yaitu 4.39% dari anggaran belanja daerah.

Kesadaran berbiaya dapat dinilai melalui kepedulian seorang pimpinan atau pemilik wewenang terhadap biaya, bagaimana seorang pemimpin dapat menekan biaya tersebut.Pemilik wewenang yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Pemerintah daerah yang memiliki wewenang dalam mengelola keuangan daerah.Kewenangan pemerintah itu sendiri terdapat dua bentuk, yaitu kewenangan formal dan kewenangan informal. Dalam penelitian ini, kewenangan formal dipilih sebagai salah satu variabel yang akan diuji karena kewenangan formal merupakan struktur kewenangan yang diterapkan pemerintah dalam mengelola keuangan daerah.

Barnard (1968) dalam Rita Atarwaman (2008) mengemukakan bahwa struktur kewenangan formal adalah suatu pilihan yang sengaja diambil oleh


(16)

manajemen puncak untuk mendelegasikan keputusannya ke manajemen yang lebih rendah, dengan kata lain pemimpin dapat mendelegasikan wewenangnya kepada kepala bagian untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengankewenangan secara eksplisit dari pimpinan pemberi wewenang pada saat wewenangtersebut dilaksanakan. Jika pendelegasian wewenang berjalan sesuai dengan struktur yang ada, pengelolaan keuangan daerah akan menjadi lebih optimal.

Kewenangan formal dalam pemerintah daerah dapat dilihat dari hak pengambilan keputusan yang dimiliki oleh pimpinan anggaran sebagai hasil dalam pendelegasian wewenang dari Kepala Daerah. Govindarajan (2000) mengatakan bahwa terdapat 3 (tiga) hal yang harus diperhatikan seorang pemimpin dalam menjalankan kewenangan formal yaitu: 1) Pertanggungjawaban biaya; 2) pertanggungjawaban penuh dan 3) pertanggungjawaban target anggaran dan realisasinya.

Kondisi kewenangan formal yang disebutkan diatas tidak diterapkan dengan baik di Kota Bandung, ditunjukkan oleh faktor ketiga dimana pemerintah harus memiliki pertanggung jawaban target anggaran dan realisasinya yang tidak tercapai melihat kondisi belanja daerah yang ditunjukkan oleh tabel 1.5. Belanja daerah itu sendiri terdiri dari belanja langsung dan tidak langsung.Selama empat tahun terakhir belanja daerah Kota Bandung ada yang melebihi target dan ada juga yang berada dibawah target anggaran seperti yang ditunjukkan pada tabel 1.6 dan tabel 1.7 dibawah ini:


(17)

Tabel 1.6

Gambaran Komponen Belanja Daerah Berupa Belanja Langsung

Tahun Belanja Langsung Perubahan Target

(%) Anggaran Realisasi Surplus/ (Defisit) %

2010 1.349.282.657.738,00 1.454.012.445.121,00 (104.729.787.383,00) 7.76 107.76 2011 1.720.950.042.431,23 1.481.230.172.203,00 239.719.870.228,23 13.92 86.07 2012 1.896.939.175.965,25 2.367.730.394.921,63 (470.791.218.956,38) 24.81 124.81 2013 2.378.508.561.323,00 2.389.049.473.401,00 (10.540.912.078,00) 0.44 100.44 Sumber: Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Bandung http://dpkad.bandung.go.id

Pada tabel 1.6 diatas dapat ditunjukkan bahwa realisasi belanja daerah yang berupa belanja langsung ada yang melebihi target dan ada juga yang berada di bawah target anggaran. Belanja langsung itu sendiri adalah komponen belanja daerah yang berhubungan langsung dengan program kerja daerah. Ketika realisasi belanja langsung melebihi target, hal ini menunjukkan bahwa adanya penambahan komponen belanja langsung yang belum dianggarkan sebelumnya baik itu pada belanja modal, barang dan jasa atau belanja pegawai yang berhubungan langsung dengan program kerja Pemerintah. Kondisi realisasi belanja daerah yang melebihi target anggaran terjadi pada tahun 2010,2012, dan 2013 dengan pencapaian target sebesar 107.76%, 124.81% dan 100.44% dimana pada tahun-tahun tersebut realisasi belanja langsung mengalami defisit.Sedangkan pada tahun 2011 realisasi belanja langsung yaitu 86.07% yang berada dibawah target anggaran belanja langsung.

Selain belanja langsung, komponen belanja daerah lainnya adalah belanja tidak langsung.Belanja tidak langsung adalah komponen belanja daerah yang tidak


(18)

berhubungan secara langsung dengan program kerja Pemerintah daerah.Sama halnya dengan belanja langsung, realisasi belanja tidak langsung juga ada yang melebihi target dan ada yang dibawah target anggaran selama tahun 2010-2013 seperti yang ditunjukkan tabel 1.7 dibawah ini:

Tabel 1.7

Gambaran Komponen Belanja Daerah Berupa Belanja Tidak Langsung Sumber: Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Bandung

http://dpkad.bandung.go.id

Pada tabel 1.7 diatas juga ditunjukkan bahwa tidak hanya belanja langsung, pada realisasi belanja tidak langsung juga ada yang melebihi target anggaran dan ada juga yang tidak mencapai target. Belanja tidak langsung itu sendiri meliputi belanja pegawai, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja subsidi, belanja bantuan keuangan dan belanja biaya terduga. Belanja-belanja tersebut tidak berhubungan langsung dengan program kerja daerah. Hal ini menunjukkan bahwa ketika realisasi belanja tidak langsung berada dibawah target hal ini menunjukkan bahwa terdapat dana-dana yang tidak dibelanjakan seperti pada tahun 2010 dan 2012 dengan pencapaian target sebesar 70.96% yaitu sebesar Rp. 437.182.525.852,31 dan 86.14% yaitu sebesar Rp. 240.829.570.490,00. Dan ketika realisasinya melebihi target, sama

Tahun Belanja Tidak Langsung Perubahan Target

(%) Anggaran Realisasi Surplus/ (Defisit) %

2010 1.505.850.897.284,31 1.068.668.371.432,00 437.182.525.852,31 29.03 70.96 2011 1.591.246.883.383,00 1.599.117.506.800,00 (7.870.623.417,00) 0.49 100.49 2012 1.737.768.746.455,00 1.496.939.175.965,00 240.829.570.490,00 13.85 86.14 2013 2.176.913.454.226,00 2.366.195.473.316,15 (189.282.019.090.15) 8.69 108.69


(19)

seperti belanja langsung kondisi ini menunjukkan bahwa adanya penambahan komponen belanja tidak langsung yang tidak ada pada anggaran sebelumnya seperti pada tahun 2011 dengan pencapaian target sebesar 100.49% yang menyebabkan terjadinya defisit sebesar Rp. 7.870.623.417,00. Dan pada tahun 2013 dengan pencapaian target sebesar 108.69% yaitu defisit sebesar Rp. 189.282.019.090.15.Pencapaian target anggaran dan realisasinya menjadi salah satu faktor yang membuktikan tidak telaksananya struktur kewenangan formal yang baik di Pemerintah Kota Bandung. Dimana dalam pelaksanaan wewenangnya seorang pimpinan anggaran atau pemerintah harus dapat mengendalikan setiap keputusan yang dibuatnya dengan memperhatikan biaya yang ada, pimpinan perlu memiliki sikap kesadaran berbiaya (Young dan Shield, 2000).

Selain struktur kewenangan, terdapat faktor lain yang dapat mendukung pengelolaan keuangan daerah untuk menjadi lebih optimal. Dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 dijelaskan bahwa dalam pengelolaan keuangan daerah diperlukan dukungan Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) untuk menunjang perumusan kebijakan fiskal dan meningkatkan transparansi keuangan daerah.

Sistem Informasi Keuangan Daerah memberikan kemudahan pengguna baik pemerintah maupun masyarakat untuk mengetahui kondisi dan informasi mengenai keuangan daerah. Ketika seorang pemimpin atau pemilik wewenang mampu menguasai sistem informasi keuangan yang ada, pemimpin memiliki akses atas informasi yang penting sebagai acuan dalam pengambilan keputusan keuangan. Hal ini kadang malah menjadi konflik kepentingan yang terjadi dalam suatu


(20)

organisasi, sebagai sebab dari munculnya suatu perilaku yang berhubungan antara tindakan dan hasil dalam mengelola keuangan (Harris, 2000).

Perilaku yang dimaksud adalah perilaku yang berhubungan dengan penggunaan SIKD dalam proses pengambilan keputusan keuangan yang berdampak pada biaya yang dihasilkan atau yang dimaksud dengan kesadaran berbiaya (cost

consciousness). Sesuai dengan tujuan SIKD itu sendiri, yaitu dapat memperkuat

pentingnya sumber daya manajemen dan konsekuensi biaya dalam pengambilan keputusan keuangan.

Kurunmaki (1999) dalam Rita Atarwaman (2008) mengemukakan bahwa konsekuensi penerapan Sistem Informasi Keuangan Daerah memiliki pengaruh terhadap konsekuensi biaya yang dikeluarkan pemimpin. Karena dengan SIKD pemimpin akan mengetahui banyak informasi keuangan yang dibutuhkan dalam mengendalikan biaya yang ada.

Konsep ini perlu untuk dikaji karena melihat kondisi perekonomian di Indonesia saat ini dengan banyaknya praktek-praktek korupsi yang dilakukan aparat pemerintah termasuk daerah dilihat dari anggaran yang selalu defisit padahal pendapatan daerah yang ada cukup besar.Seperti di Kota Bandung yang selama empat tahun terakhir memiliki anggaran yang defisit. Hal ini bisa saja bukan disebabkan oleh korupsi melainkan penggangaran yang tidak optimal serta kurangnya kesadaran pemimpin akan biaya.

Dari pembahasan tersebut dapat dilihat bahwa kondisi yang dipaparkan diatas merupakan suatu masalah yang perlu diteliti dan dikaji lebih jauh lagi, dengan segala pertimbangan yang telah dilakukan maka Pemerintah Daerah Kota


(21)

Bandung terpilih sebagai objek penelitian ini. Dengan demikian penelitian ini diberi

judul “Pengaruh Kewenangan Formal dan Karakteristik Sistem Informasi Keuangan Daerah terhadap Kesadaran Berbiaya di Pemerintah Daerah Kota Bandung”

1.2Identifikasi Masalah

Besar kecilnya APBD suatu daerah ditentukan melalui suatu rapat anggaran yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Nominal akhir yang tertera dalam suatu anggaran diperoleh dengan pertimbangan para pejabat anggaran yang di sahkan oleh pimpinan. Pimpinan melimpahkan wewenangnya untuk menentukan anggaran kepada para pejabat anggaran dengan kewenangan formal yang dimillikinya. Ketika seorang pemimpin dapat menggunakan kewenangan formalnya dengan baik dan dapat mendelegasikan wewenang nya secara terstruktur maka pengelolaan keuangan akan menjadi lebih optimal.

Tetapi, tidak hanya kewenangan saja yang menjadi faktor pendukung untuk mengoptimalkan pengelolaan keuangan daerah. Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004, dalam pengelolaan keuangan daerah diperlukan adanya dukungan Sistem Informasi Keuangan Daerah.

Dengan kewenangan formal yang dimiliki seorang pemimpin dan kemampuannya dalam mengolah SIKD, pengelolaan keuangan daerah seharusnya bisa menjadi lebih optimal, dengan meminimalisir biaya yang dikeluarkan sehingga anggaran yang ada tidak mengalami defisit atau bahkan bisa mencapai surplus. Dalam kondisi ini, pimpinan atau pejabat anggaran perlu memiliki kemampuan


(22)

untuk menekan biaya yang dikeluarkan atau yang disebut dengan sikap kesadaran berbiaya.

Kesadaran berbiaya merupakan suatu sikap yang perlu dimiliki pemimpin dan aparat pemerintah daerah. Khususnya daerah-daerah yang anggaran daerahnya terus mengalami defisit. Kota Bandung merupakan salah satu daerah dengan anggaran yang terus mengalami defisit selama empat tahun terakhir. Dengan APBD Kota Bandung tahun 2013 sebesar Rp. 405.366.992.485,00 yang meningkat sekitar 53 % dibanding APBD Tahun 2012 yang defisit sebesar Rp.244.254.066.081,00. (www.detik.com)

Kondisi defisit ini timbul akibat pengeluaran atau belanja daerah yang lebih besar dibandingkan pendapatan yang masuk. Salah satu faktor penyebab kondisi ini adalah kurangnya kesadaran berbiaya pada pemimpin.

Dengan demikian, penelitian ini akan menguji sejauh mana kewenangan formal yang dimiliki pemimpin dan kemampuan pemimpin daam mengolah SIKD akan mempengaruhi kesadaran berbiaya seorang pemimpin dalam mengelola keuangan daerah.

1.3Rumusan Masalah.

Berdasarkan uraian identifikasi masalah di atas, dirumuskan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini :

1. Bagaimana gambaran tentang kewenangan formal di Pemerintah Kota Bandung?

2. Bagaimana gambaran tentang karakteristik sistem informasi keuangan daerah di Pemerintah Kota Bandung?


(23)

3. Bagaimana gambaran sikap kesadaran berbiaya di Pemerintah Kota Bandung?

4. Bagaimana pengaruh kewenangan formal terhadap sikap kesadaran berbiaya di Pemerintah Kota Bandung?

5. Bagaimana pengaruh karakteristik SIKD terhadap sikap kesadaran berbiaya di Pemerintah Kota Bandung?

1.4 Tujuan Penelitian

Sesuai rumusan masalah diatas, tujuan penelitian dari penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui gambaran kewenangan formal di Pemerintah Kota Bandung

2. Mengetahui gambaran karakteristik sistem informasi keuangan daerah di Pemerintah Kota Bandung

3. Mengetahui gambaran sikap kesadaran berbiaya di Pemerintah Kota Bandung

4. Mengetahui pengaruh kewenangan formal terhadap sikap kesadaran berbiaya di Pemerintah Kota Bandung

5. Mengetahui pengaruh karakteristik SIKD terhadap sikap kesadaran berbiaya di Pemerintah Kota Bandung

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi :

1. Bagi Civitas Akademika, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan studi tentang perilaku keuangan, khususnya pengaruh


(24)

kewenangan formal dan karakteristik sistem informasi keuangan daerah di lingkungan perkotaan

2. Bagi praktisi, hasil penelitian ini diharapkan bisa dijadikan masukan bagi organisasi khususnya Pemerintah Daerah agar dapat memperhatikan faktor-faktor perilaku dalam mengimplementasikan otonomi daerah khususnya yang berhubungan dengan sistem informasi keuangan daerah (SIKD) dalam pengelolaan keuangan daerah.


(25)

(26)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Objek Penelitian

Objek dari penelitian ini adalah struktur kewenangan formal yang ada dalam pemerintah, karakteristik dari sistem informasi keuangan daerah (SIKD) terhadap kesadaran berbiaya. Penelitian ini terdiri dari variabel bebas (independent variable) yaitu kewenangan formal (X1) dan karakteristik sistem informasi keuangan daerah (SIKD) (X2) dan variabel terikat (dependent variable) yaitu kesadaran berbiaya (Y).

Penelitian ini dilakukan pada SKPD di Pemerintah Kota Bandung dengan periode pengamatan dari tahun 2010-2013.

3.2 Metode Penelitian dan Desain Penelitian

3.2.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dan verifikatif, yaitu hasil penelitian yang kemudian diolah dan diambil kesimpulannya. Sugiyono (2010) mengemukakan bahwa metode deskriptif adalah metode yang digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis suatu hasil penelitian tetapi tidak digunakan untuk mengambil kesimpulan yang lebih luas. Dimana metode deskriptif pada penelitian ini yaitu untuk menggambarkan kewenangan formal, karakteristik sistem informasi keuangan daerah, dan kesadaran berbiaya di Pemerintah Kota Bandung.


(27)

Masyhuri (2010) mengemukakan bahwa metode verifikatif adalah memeriksa benar tidaknya apabila dijelaskan untuk menguji suatu cara dengan atau tanpa perbaikan yang telah dilaksanakan di tempat lain dengan mengatasi masalah yang serupa dengan kehidupan. Metode verifikatif pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kewenangan formal, karakteristik sistem informasi keuangan daerah terhadap kesadaran berbiaya di Pemerintah Kota Bandung.

3.2.2 Desain Penelitian

Anwar Sanusi (2011) mengemukakan bahwa desain penelitian dapat dikategorikan menjadi beberapa macam, yaitu: (1) desain penelitian deskriptif, (2) desain penelitian kausalitas, (3) desain penelitian korelasional, (4) desain penelitian tindakan, (5) desain penelitian eksperimental, dan (6) desain penelitian grounded.

Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah desain penelitian kausalitas. Desain penelitian kausalitas desain penelitian yang disusun untuk meneliti kemungkinan adanya hubungan sebah-akibat antar variabel. Anwar Sanusi (2011) mengemukakan bahwa langkah-langkah dalam penelitian kausalitas adalah sebagai berikut:

1. Menetapkan masalah penelitian

2. Merumuskan tujuan penelitian secara spesifik 3. Merumuskan hipotesis penelitian

4. Mengklasifikasi dan mendefinisikan (secara konseptual dan operasional) variabel penelitian

5. Menyusun instrumen penelitian dengan mengacu pada variabel yang sudah didefinisikan sekaligus melakukan uji validitas dan reabilitas instrumen


(28)

6. Menentukan metode pengumpulan data 7. Melakukan pengujian hipotesis

8. Menarik kesimpulan berdasarkan hasil analisis atas uji hipotesis, sekaligus melakukan verifikasi atas teori yang melatarbelakangi penelitian yang dimaksud.

Penelitian kausalitas ini didesain untuk memberikan bukti empiris tentang pengaruh kewenangan formal, karakteristik SIKD terhadap kesadaran berbiayadi Pemerintah Kota Bandung.

3.3Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

3.3.1 Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini diidentifikasi sebagai berikut: a. Variabel Bebas

Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi variabel

terikat.Variabel ini diberi notasi “X”. Variabel bebas dalam penelitian ini, antara

lain : Kewenangan Formal (X1) dan Karakteristik Sistem Informasi Keuangan Daerah (X2)

b. Variabel Terikat

Variabel terikat merupakan variabel yang perubahannya dipengaruhi oleh variabel bebas. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah: Cost Conciousness (Y)


(29)

3.3.2 Definisi Operasional

Adapun definisi dari variabel-variabel diatas yaitu sebagai berikut: a. Kewenangan Formal

Kewenangan formal didefinisikan sebagai suatu pilihan yang sengaja diambil manajemen puncak untuk mendelegasikan tipe keputusan ke manajemen tingkat yang lebih rendah dan biasanya terkait dengan sistem pertanggungjawaban. Struktur kewenangan formal merupakan salah satu alat dalam suatu organisasi dimana untuk mengukur variabel tersebut digunakan tiga instrument pertanyaan dari Govindrajan (2000) yang didesain untuk mengungkap keputusan yang tepat untuk didelegasikan kepada para manajer. Ketiga pertanyaan dimaksud, antara lain : 1) Bertanggungjawab atas biaya; 2) Bertanggungjawab mengatur semua hal dan 3) Bertanggungjawab atas target anggaran dan output yang dihasilkan. Ketiga instrumen di atas diukur dengan menggunakan skala likert 1–5, dimana skala 1 menunjukkan tidak pernah (HTP) danskala 5 menunjukkan sangat sering (SS). Semakin tinggi nilai skala menunjukkan semakin tinggi

b. Karakteristik Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD)

Karakteristik informasi yang berhubungan dengan informasi keuangan daerah terkait dengan bagaimana persepsi kepala SKPD dalam memperkirakan ketelitian, keterkaitan, ketepatan waktu dan format yang dihasilkan oleh SIKD menyangkut informasi anggaran yang disajikan dalam kegiatan operasional yang bersifat rutin. Sembilan instrument dari Doll dan Torkzadeh (2000) digunakan untuk menunjukkan adanya kepuasan mereka dengan informasi yang disajikan oleh sistem anggaran, yakni 1) Informasi sesuai dengan kebutuhan; 2) Informasi sesuai


(30)

dengan harapan; 3) Informatif; 4) Akurasi informasi; 5) Kepuasan akurasi informasi; 6) Format laporan yang tepat; 7) Informasi jelas; 8) Informasi tepat waktu dan 9) Kepuasan atas informasi anggaran. Dengan tambahan indicator evaluasi, 1) Pentingnya bertanggungjawab atas target anggaran, 2) evaluasi atas kinerja anggaran, 3) Tanggung jawab atas senjangan anggaran, dan 4) memperbaiki senjangan anggaran. Seluruh instrumen di atas diukur dengan menggunakan skala likert 1 – 5, dimana skala 1 menunjukkan tidak pernah (TP) dan skala 5 menunjukkan sangat sering (SS).

c. Kesadaran Berbiaya

Kesadaran berbiaya merupakan kondisi dimana manajer sangat menyadari tentang arti penting biaya dan waktu yang dibutuhkan dalam setiap pengambilan keputusan. Instrument meliputi tujuh materi yang dikembangkan oleh Young dan Shields (2000), yaitu 1) Pengetahuan jumlah alokasi dana operasional; 2) Pengetahuan membelanjakan anggaran; 3) Pengetahuan sasaran dan batasan belanja; 4) Kemampuan mengelola biaya operasional; 5) Minimalisasi biaya; 6) Belanja berbasis harga; dan 7) Sadar akan biaya yang terjadi. Ketujuh instrumen di atas diukur dengan menggunakan skala likert 1 – 5, dimana skala 1 menunjukkan sangat tidak setuju (STS) dan skala 5 menunjukkan sangat setuju (SS)


(31)

Tabel 3.1

Matriks Operasionalisasi dan Pengukuran Variabel Penelitian

Nama Variabel Definisi Indikator Skala

Ukur Kewenangan

Formal (X1)

Suatu pilihan yang sengaja diambil manajemen puncak untuk mendelegasikan tipe keputusan ke manajemen tingkat yang lebih rendah dan biasanya terkait dengan sistem

pertanggungjawaban

1) Bertanggungjawab atas biaya; 2) Bertanggungjawab mengatur

semua hal

3) Bertanggungjawab atas target anggaran dan output yang dihasilkan.

Ordinal

Karakteristik SIKD (X2)

Suatu sistem yang mendokumentasikan, mengadministrasikan, serta mengolah data pengelolaan keuangan daerah dan data terkait lainnya menjadi informasi yang disajikan kepada masyarakat dan sebagai bahan pengambilan keputusan dalam rangka perencanaan,

pelaksanaan, dan pelaporan

pertanggungjawaban pemerintah

1) Informasi sesuai dengan kebutuhan;

2) Informasi sesuai dengan harapan;

3) Informatif; 4) Akurasi informasi;

5) Kepuasan akurasi informasi; 6) Format laporan yang tepat; 7) Informasi jelas;

8) Informasi tepat waktu;

9) Kepuasan atas informasi anggaran;

10) Pentingnya tanggung jawab atas target anggaran

11) Evaluasi kinerja anggaran 12) Tanggung jawab atas senjangan

anggaran

13) Memperbaiki senjangan anggaran

Ordinal

Kesadaran Berbiaya(Y)

Kondisi dimana manajer sangat menyadari

1) Pengetahuan jumlah alokasi dana operasional;


(32)

tentang arti penting biaya dan waktu yang dibutuhkan dalam setiap pengambilan keputusan

2) Pengetahuan membelanjakan anggaran;

3) Pengetahuan sasaran dan batasan belanja;

4) Kemampuan mengelola biaya operasional;

5) Belanja berbasis harga; 6) Sadar akan biaya yang terjadi.

Sumber: Young dan Shield (2000), Doll dan Torkzadeh (2000), Govindarajan (2000)

3.4 Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data

3.4.1 Sumber Data

Sugiyono (2007) mengemukakan bahwa sumber data merupakan segala sesuatu yang dapat memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian.Sumber data itu sendiri terdapat dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder.Anwar Sanusi (2012) mengemukakan bahwa data primer adalah data yang didapatkan langsung oleh peneliti, sedangkan data sekunder adalah data yang sudah tersedia atau telah didapatkan oleh peneliti sebelumnya.

Pada penelitian ini diperlukan data primer dan juga data sekunder. Berikut adalah data yang telah penulis yang ditunjukkan oleh tabel 3.2 dibawah ini:

Tabel 3.2 Sumber Data

No. Data yang diperoleh Jenis Data Sumber

1. Anggaran Belanja Daerah Kab dan Kota di Jawa Barat tahun 2010-2013

Sekunder Direktorat Jenderal

Keuangan

2. APBD Kota Bandung tahun

2010-2013

Sekunder Dinas Pengelolaan


(33)

3. Sumber-sumber Pendapatan dan Belanja Daerah

Sekunder Dinas Pengelolaan

Keuangan dan Aset

Daerah Kota Bandung

4. Daftar SKPD Kota Bandung Sekunder Badan Kepegawaian

Daerah Kota Bandung

3.4.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan dara adalah suatu teknik atau cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam penelitian. Beberapa teknik pengumpulan data yang penulis lakukan adalah: 1. Kuisioner

Kuisioner yaitu teknik pengumpulan data dimana peneliti memberikan daftar pertanyaan yang telah disusun rapi kepada responden (Anwar Sanusi, 2011).Kuisioner yang digunakan penulis adalah replikasi dari kuisioner Rita Atarwaman (2008), penulis menggunakan pengukuran kuisioner skala likert 5 poin.Responden dari kuisioner ini adalah kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) di Pemerintah Kota Bandung.

2. Dokumentasi

Pengumpulan data dengan teknik dokumentasi yaitu dengan cara menelaah laporan, dokumen, atau data sekunder yang didapat dari berbagai sumber baik secara pribadi maupun kelembagaan (Anwar Sanusi, 2011). Studi dokumentasi yang dilakukan penulis adalah menelaah laporan APBD Kota Bandung pada Tahun 2010-2013


(34)

3. Studi Kepustakaan

Studi Kepustakaan adalah dengan mempelajari buku, jurnal dan literatur, penelitian tedahulu yang relevan dengan topik penelitian yang dilakukan penulis yaitu mengenai kewenangan formal, sistem infomasi keuangan daerah dalam pemerintahan.

3.5 Populasi dan Sampel Penelitian.

3.5.1 Populasi

Populasi adalah kumpulan elemen yang menunjukkan ciri-ciri tertentu yang dapat digunakan untuk membuat kesimpulan (Anwar Sanusi, 2011). Lubis (2012) mengatakan bahwa populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Subjek yang menjadi populasi dari penelitian ini adalah seluruh pegawai negeri sipil pada 65 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Pemerintah Kota Bandung.

3.5.2 Sampel

Anwar sanusi (2011) mengatakan bahwa peneliti biasanya melakukan seleksi terhadap bagian-bagian elemen populasi dengan harapan hasil seleksi tersebut dapat merefleksikan seluruh karakteristik yang ada.Bagian dari elemen-elemen populasi yang terpilih itu disebut sampel.

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah menggunakan

criteria purposive sampling yaitu memilih sampel secara tidak acak. Jadi

elemen-elemen populasi tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk terpilih menjadi sampel. Metode ini merupakan salah satu pemilihan sampel non-probabilitas. Metode pemilihan sampel dengan metode purposive sampling ini didasarkan pada


(35)

pertimbangan tertentu yang dipandang dapat memberikan data secara maksimal (Arikunto,2008).

Sampel dalam penelitian ini adalah kepala SKPD selaku pejabat pengguna anggaran atau PKPA (Pejabat Kuasa Pengguna Anggaran), Kepala SKPKD (Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah) selaku Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang dalam hal ini adalah bagian keuangan di lingkungan Sekretariat Daerah. Pertimbangan dalam pemilihan sampel tersebut karena Kepala SKPD, PKPA, dan Kepala SKPKD memiliki kewenangan dalam pengelolaan anggaran penerimaan dan belanja daerah (APBD) dimana mereka terlibat mulai dari merencanakan sampai pelaksanaan anggaran, yang memungkinkan akan berpengaruh terhadap sikap mereka terhadap biaya yang mungkin akan timbul. Dengan pertimbangan untuk mendapatkan data secara maksimal, subjektif dan tidak bias, maka pertimbangan pemilihan sampel dengan purposive sampling dalam penelitian ini harus memenuhi persyaratan atau kriteria:

1. Pengguna dan Kuasa Pengguna Anggaran dipegang oleh .pejabat struktural tertinggi dalam SKPD sehingga bertanggung jawab dan yang mengambil kebijakan-kebijakan pada unit kerjanya masing- masing.

2. Kepala SKPD selaku Pejabat Pengguna Anggaran/ Barang mempunyai tugas menyusun Rencana Kerja Anggaran-SKPD dan menyusun Dokumen Pelaksanaan Anggaran-SKPD terlibat dalam proses penyusunan anggaran. Kepala SKPD dapat melimpahkan sebagian wewenangnya kepada kepala unit kerja pada SKPD sebagai kuasa pengguna anggaran/ kuasa pengguna barang. Kewenangan kepala SKPD dilimpahkan kepada satu tingkat dibawah kepala SKPD.


(36)

Hasil survei kriteria dalam penelitian menemukan sebanyak 28 SKPD sebagai sampel untuk dijadikan sebagai responden penelitian.Distribusi ke-28 SKPD tersebut ditunjukkan pada Tabel berikut ini.

Tabel 3.3

Sampel/Responden Penelitian

No. Sampel Distribusi

Penelitian

1. Sekretariat Daerah 2

2. Sekretariat DPRD 2

3. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah 2

4. Badan Kepegawaian Daerah 2

5. Badan Kesatuan Bangsa, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat

2

6. Badan Pengelola Lingkungan Hidup 2

7. Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana 2

8. Badan Pelayanan Perijinan Terpadu 2

9. Dinas Pendidikan 2

10. Dinas Kesehatan 2

11. Dinas Sosial 2

12. Dinas Tenaga Kerja 2

13. Dinas Perhubungan 2

14. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil 2

15. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata 2

16. Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya 2

17. Dinas Bina Marga dan Pengairan 2

18. Dinas Pemakaman dan Pertamanan 2

19. Dinas Kebakaran 2

20. Dinas Koperasi, UKM dan Perindustrian Perdagangan 2

21. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan 2

22. Dinas Pendapatan 2


(37)

24. Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah 2

25. Dinas Pemuda dan Olahraga 2

26. Satuan Polisi Pamong Praja 2

27. PD Pasar Bermartabat 2

28. PDAM Tirtawening 2

Jumlah 56

Sumber: Badan Kepegawaian Daerah (diolah kembali)

3.6 Rancangan Analisis Data dan Uji Hipotesis

3.6.1 Rancangan Analisis Data

Anwar Sanusi (2011) mengemukakan bahwa setiap penelitian memerlukan rancangan mengenai langkah-langkah yang akan dilakukan peneliti setelah melakukan pengumpulan data. Pada penelitian ini rancangan analisis data yang akan dilakukan penulis adalah sebagai berikut:

1. Editing

Penulis melakukan pemeriksaan kuisioner yang telah terkumpul, pada tahap ini penulis melakukan pengecekan kelengkapan dan juga kesalahan jawaban responden terhadap kuisioner yang diberikan.

2. Skoring

Pemberian skor pada jawaban responden dengan menggunakan skala pengukuran kuisioner yaitu skala likert 5 poin dengan kriteria bobot nilai yang ditunjukkan pada tabel 3.4 dibawah ini:

Tabel 3.4 Kriteria Bobot Nilai

Pilihan Jawaban Bobot Nilai

Sangat Setuju/ Sangan Sering 5

Setuju/ Sering 4


(38)

Tidak Setuju/ Pernah 2

Sangat Tidak Setuju/ Tidak Pernah 1

3. Tabulating

Pada tahap ini penulis merekap hasil skoring kedalam tabel rekapitulasi data secara lengkap, tabel rekapitulasi data ditunjukkan pada tabel 3.5 dibawah ini:

Tabel 3.5

Tabel Rekapitulasi Data

Responden Skor Jumlah

1 2 … N

1 2

N Jumlah

4. Tahap uji coba instrumen penelitian dengan uji validitas dan reliabilitas sebagai uji kelayakan kuisioner yang digunakan penulis

5. Analisis deskriptif, untuk menggambarkan skor variabel X1 dan X2 serta Y guna menjawab tujuan penelitian yang bersifat deskriptif

6. Analisis verifikatif, untuk menguji hipotesis dengan menggunakan teknik analisis regresi berganda.

3.6.2 Uji Kualitas Data

Suatu data yang dihasilkan dari jawaban kuesioner penelitian dikatakan berkualitas apabila jawaban yang diberikan memenuhi karakteristik validitas dan reliabel.

3.6.2.1Uji Validitas

Uji validitas dimaksudkan untuk menilai sejauhmana suatu alat ukur diyakini dapat dipakai sebagai alat untuk mengukur item – item


(39)

menggunakan rumus korelasi Pearson Product Moment yang dirumuskan sebagai berikut:

 

  } ) ( }{ ) ( { ) )( ( ) ( 2 2 2 2 Y Y N X X Y X XY N rxy

(Anwar Sanusi, 2011) Dimana:

r = koefisien korelasi X = skor butir

Y = skor total butir

N = jumlah sampel (responden)

Selanjutnya, nilai r dibandingkan dengan nilai r tabel dengan derajat bebeas (n-2). Jika nilai r hasil perhitungan lebih besar daripada nilai r dalam tabel pada alfa tertentu maka berarti signifikan sehingga disimpulkan bahwa butir pertanyaan atau pernyataan itu valid.

3.6.2.2Uji Reliabilitas

Hasil dari uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui instrumen penelitian yang dipakai dapat digunakan berkali-kali pada waktu yang berbeda.Reliabilitas merupakan ukuran interal consistency indikator dari setiap konstruk. Hasil reliabilitas yang tinggi akan memberikan keyakinan bahwa indikator individu semua konsisten dengan pengukurannya. Menurut Nunalli (1969) dikutip dari Ghozali (2002) bahwa suatukonstruk dikatakan reliabel apabila memberikan nilai


(40)

3.6.3 Teknik Analisis Data

Untuk mempermudah dalam menganalisis data, Penelitian ini menggunakan SPSS (Statistical Package for Social Science), yaitu software yang berfungsi untuk menganalisis data dan melakukan perhitungan statistik baik parametrik maupun non parametrik dengan basis Windows (Imam Ghozali, 2006). Selain itu juga untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh variabel X terhadap variabel Y.

3.6.3.1 Analisis Statistik Deskriptif

Data statistik yang diperoleh dalam penelitian perlu diringkas dengan baik dan teratur.Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang sekumpulan data yang diperoleh baik mengenai sampel atau populasi.

Analisis deskriptif dalam penelitian ini menggunakan tinjauan kontinum untuk menggambarkan skor serta kedudukan variabel X dan variabel Y. Langkah-langkah dalam analisis deskriptif ini adalah sebagai berikut:

1. Menentukan jumlah Skor Kriterium (SK) dengan menggunakan formula:

= × � ×

Dimana:

ST = Skor Tertinggi JB = Jumlah Bulir JR = Jumlah Responden

2. Membandingkan jumlah skor hasil angket dengan jumlah skor kriterium. Jumlah skor hasil angket dapat diperoleh dengan formula:

∑ �� = � + � + � + �

Dimana:

Xi = Jumlah skor hasil kuesioner variabel X/Y


(41)

3. Membuat daerah kontinum guna melihat gambaran tentang variabel secara keseluruhan yang diharapkan responden. Daerah kontinum dibagi ke dalam tiga tingkatan sebagai berikut:

Tinggi = ST x JB x JR Sedang = SS x JB x JR Rendah = SR x JB x JR

Dimana:

ST = Skor Tertinggi SS = Skor Sedang SR = Skor Rendah JB = Jumlah Bulir JR = Jumlah Responden

4. Menentukan selisih skor kontinum dari setiap tingkatan, maka digunakan formula:

= � � � � − � � � ℎ

5. Menentukan daerah kontinum tinggi, sedang dan rendah dengan menambah selisih (R) secara bertahap dari kontinum tinggi sampai dengan kontinum rendah.

6. Menentukan garis kontinum dan daerah letak skor untuk setiap variabel, seperti gambar berikut:

Rendah Sedang Tinggi

Gambar 3.1


(42)

3.6.3.2 Analisis Statistik

3.6.3.2.1 Method of Successive Interval (MSI)

Untuk memperoleh data dari variable kualitatif, maka setiap variabel terlebih dahulu dijabarkan dan kedalam indikator dimana setiap indikator diukur dengan ukuran peringkat jawaban dengan skala ordinal. Karena tingkat pengukuran skala tersebut adalah ordinal maka agar dapat diolah lebih lanjut harus diubah terlebih dahulu menjadi skala interval dengan menggunakan Method of Successive

Interval (MSI).

Langkah-langkah untuk melakukan transformasi data yaitu:

1) Berdasarkan hasil jawaban responden untuk setiap pertanyaan, menghitung frekuensi setiap pilihan jawaban

2) Berdasarkan frekuensi yang diperoleh untuk setiap jawaban, hitung proporsi setiap pilihan jawaban

3) Hitung proporsi kumulatif untuk setiap pilihan jawaban

4) Untuk setiap pertanyaan, tentukan nilai batas Z untuk setiap pilihan jawaban =

√ �

− �2

5) Hitung skala value (nilai interval rata-rata) untuk setiap pilihan jawaban dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

� = daerah dibawah batas atas − daerah dibawah batas bawahkepadatan batas bawah − kepadatan batas atas

6) Hitung score (nilai hasil transformasi) untuk setiap pilihan jawaban melalui persamaan berikut:


(43)

3.6.3.2.2 Uji Asumsi Klasik

Untuk dapat melakukan analisis regresi berganda perlu pengujian asumsi klasik sebagai persyaratan dalam analisis agar datanya dapat bermakna dan bermanfaat.Uji asumsi klasik dalam penelitian hanya meliputi uji normalitas, uji multikolinieritas, dan uji heteroskedastisitas.sedangkan uji autokorelasi tidak digunakan karena penelitian ini menggunakan data primer dalam bentuk kuesioner yang tidak berhubungan dengan model data yang menggunakan rentang waktu. Keseluruhan Uji asumsi klasik dimaksud di atas, lebih lanjut diuraikan sebagai berikut

a. Uji normalitas

Bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel terikat dan veriabel bebas keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak.Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau mendekati normal. Pengujian normalitas dalam penelitian ini menggunakan pendekatan uji Q-Q Plot Test. Suatu data dikatakan berdistribusi secara normal apabila nilai Asymp.Sig. (2-tailed) lebih

besar dari α 5%.

b. Uji Heteroskedastis.

Penyimpangan uji asumsi klasik ini adalah adanya gejala heteroskedastisitas, artinya varians variabel dalam model tidak sama. Konsekuensi dari adanya gejala heteroskedastis adalah penaksir sampel yang diperoleh tidak efisien, baik dalam sampel besar maupun kecil walaupun sampel diperoleh menggambarkan populasinya dalam arti tidak bias.Untuk mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas dalam penelitian ini dilakukan dengan uji Q-Q Plot Test. Suatu


(44)

data dikatakan terbebas dari penyimpangan heteroskedastistias apabila secara statistik variabel bebas tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat Absolut Ut (AbsUt).

c. Uji Multikolinearitas

Pengujian asumsi ini untuk menunjukkan adanya hubungan linear antara variabel-variabel bebas dalam model regresi maupun untuk menunjukkan ada tidaknya derajat kolinearitas yang tinggi diantara variabel-variabel bebas.Jika antar variabel bebas berkorelasi dengan sempurna maka disebut multikolinearitasnya sempurna 1. Uji Normalitas 2. Uji Heteroskedastis 3. Uji Multikolinearitas (perfect

multicoliniarity) yang berarti model kuadrat terkecil tersebut tidak dapat

digunakan.Indikator untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas adalah menguji asumsi tersebut dengan uji korelasi variabel independen dengan matriks korelasi.

Menurut Ghozali (2003), bahwa ada atau tidaknya multikolinearitas dapat diketahui dengan menganalisis nilai tolerance serta Variance Inflation Faktor (VIF). Suatu variabel dikatakan terbebas dari asumsi multikolinearitas apabila nilai VIF > 1.0 dan nilai tolerance <1.0. Nugroho (2005) mmembatasi nilai VIF tidak lebih dari 10 dan nilai tolerance tidak kurang dari 0.1

3.6.3.2.3 Analisis Korelasi Berganda

Fungsi dari analisis korelasi adalah untuk menentukan seberapa erat hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya dengan menggunakan korelasi Pearson dengan koefisien yang bernilai -1 sampai dengan +1


(45)

Tabel 3.6

Interpretasi Koefisien Korelasi

Interval Koefisien Tingkat Hubungan

0,80 - 1,00 Sangat Kuat

0,60 – 0,79 Kuat

0,40 – 0,59 Cukup Kuat

0,20 – 0,39 Rendah

0,00 – 0,19 Sangat Rendah Sumber: Sunjoyo (2013)

Untuk menghitung koefisien korelasi digunakan rumus berikut:

 

  } ) ( }{ ) ( { ) )( ( ) ( 2 2 2 2 Y Y N X X Y X XY N rxy

(Anwar Sanusi, 2011) Dimana:

rxy = koefisien korelasi X = variabel bebas Y = variabel terikat N = jumlah populasi

3.6.3.2.4 Koefisien Determinasi

Koefisien determinasi digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel X1 dan X2 terhadap naik turunnya Y. Maka untuk mengetahui besarnya pengaruh kewenangan formal dan karakteristik sistem informasi keuangan daerah terhadap kesadaran berbiaya ini dilakukan analisis dengan formula:


(46)

Dimana:

Kd = nilai koefisien determinasi r = nilai koefisien korelasi

3.6.3.2.5 Uji Regresi Linier Berganda

Regresi linier berganda merupakan perluasan dari regresi linear sederhana yang menambahkan jumlah variabel bebas yang sebelumnya hanya satu menjadi dua atau lebih variabel bebas. Penelitian ini memiliki dua variabel bebas dan satu variabel terikat, dengan demikian regresi linier berganda dinyatakan dalam persamaan:

Y = a + b1X1 + b2X2

(Anwar Sanusi, 2011) Dimana:

Y = variabel dependent (kesadaran berbiaya) X1 = sub variabel independent (kewenangan formal)

X2 = sub variabel independent (karakteristik sistem informasi keuangan daerah)

a = harga Y apabila X=0 (harga konstan) b1b2 = koefisien regresi

3.6.4 Uji Hipotesis

Uji hipotesis bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang signifikan antara variabel bebas (X) dan variabel terikat (Y). Pengujian dilakukan pada hipotesis nol (Ho), yang menyatakan tidak adanya perbedaan parameter dengan statistik data sampel. Lawan dari Ho adalah hipotesis alternatif (Ha), yang


(47)

menyatakan adanya perbedaan antara parameter dan statistik data sampel. Maka hipotesis yang akan diuji dalam pengambilan keputusan penerimaan atau penolakan hipotesis dalam penelitian ini adalah:

Ho1 : Tidak terdapat pengaruh antara kewenangan formal terhadap kesadaran berbiaya di Pemerintah Kota Bandung

Ha1 : Terdapat pengaruh antara kewenangan formal terhadap kesadaran berbiaya di Pemerintah Kota Bandung

Ho2 : Tidak terdapat pengaruh antara karakteristik sistem informasi keuangan daerah terhadap kesadaran berbiaya di Pemerintah Kota Bandung

Ha2 : Terdapat pengaruh antara karakteristik sistem informasi keuangan daerah terhadap kesadaran berbiaya di Pemerintah Kota Bandung

3.6.4.1 Uji Simultan (Uji F-Statistik)

Uji F-statistik digunakan untuk menguji besarnya pengaruh dari seluruh variabel independen secara bersama-sama atau simultan terhadap variabel dependen. Untuk pengujian dalam penelitian ini digunakan program SPSS 22.0 Untuk menentukan nilai F tabel, tingkat signifikansi yang digunakan sebesar 5 % dengan kaidah pengambilan keputusan :

1. Tolak Ho, jika koefisien f hitung ≥ f tabel, artinya terdapat pengaruh yang signifikan antara kewenangan formal dan karakteristik sistem informasi keuangan daerah secara simultan terhadap kesadaran berbiaya di Pemerintah Kota Bandung


(48)

2. Terima Ho, jika koefisien f hitung ≤ f tabel, artinya tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara kewenangan formal dan karakteristik sistem informasi keuangan daerah secara simultan terhadap kesadaran berbiaya di Pemerintah Kota Bandung

3.6.4.2 Uji Parsial (Uji T-Statistik)

Uji t digunakan untuk menguji koefisien regresi secara parsial dari variabel independennya. Untuk pengujian dalam penelitian ini digunakan program SPSS. Untuk menentukan nilai t-statistik tabel, ditentukan dengan tingkat signifikansi 5 % dengan derajat kebebasan df = (n-k-1), dimana n adalah jumlah observasi dan k adalah jumlah variabel. Dengan kaidah pengambilan keputusan :

1. Tolak Ho1, jika koefisien t hitung ≥ t tabel , dengan tingkat signifikansi pada taraf lebih besar dari 5%, artinya terdapat pengaruh yang signifikan antara kewenangan formal terhadap kesadaran berbiaya di Pemerintah Kota Bandung 2. Terima Ho1, jika koefisien t hitung ≤ t tabel, dengan tingkat signifikansi pada

taraf lebih kecil atau sama dengan 5%, artinya tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara kewenangan formal terhadap kesadaran berbiaya di Pemerintah Kota Bandung

3. Tolak Ho2, jika koefisien t hitung ≥ t tabel , dengan tingkat signifikansi pada taraf lebih besar dari 5%, artinya terdapat pengaruh yang signifikan antara karakteristik sistem informasi keuangan daerah terhadap kesadaran berbiaya di Pemerintah Kota Bandung


(49)

4. Terima Ho2, jika koefisien t hitung ≤ t tabel, dengan tingkat signifikansi pada taraf lebih kecil atau sama dengan 5%, artinya tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara karakteristik sistem informasi keuangan daerah terhadap kesadaran berbiaya di Pemerintah Kota Bandung


(1)

data dikatakan terbebas dari penyimpangan heteroskedastistias apabila secara statistik variabel bebas tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat Absolut Ut (AbsUt).

c. Uji Multikolinearitas

Pengujian asumsi ini untuk menunjukkan adanya hubungan linear antara variabel-variabel bebas dalam model regresi maupun untuk menunjukkan ada tidaknya derajat kolinearitas yang tinggi diantara variabel-variabel bebas.Jika antar variabel bebas berkorelasi dengan sempurna maka disebut multikolinearitasnya sempurna 1. Uji Normalitas 2. Uji Heteroskedastis 3. Uji Multikolinearitas (perfect multicoliniarity) yang berarti model kuadrat terkecil tersebut tidak dapat digunakan.Indikator untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas adalah menguji asumsi tersebut dengan uji korelasi variabel independen dengan matriks korelasi.

Menurut Ghozali (2003), bahwa ada atau tidaknya multikolinearitas dapat diketahui dengan menganalisis nilai tolerance serta Variance Inflation Faktor (VIF). Suatu variabel dikatakan terbebas dari asumsi multikolinearitas apabila nilai VIF > 1.0 dan nilai tolerance <1.0. Nugroho (2005) mmembatasi nilai VIF tidak lebih dari 10 dan nilai tolerance tidak kurang dari 0.1

3.6.3.2.3 Analisis Korelasi Berganda

Fungsi dari analisis korelasi adalah untuk menentukan seberapa erat hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya dengan menggunakan korelasi Pearson dengan koefisien yang bernilai -1 sampai dengan +1


(2)

Tabel 3.6

Interpretasi Koefisien Korelasi

Interval Koefisien Tingkat Hubungan 0,80 - 1,00 Sangat Kuat

0,60 – 0,79 Kuat

0,40 – 0,59 Cukup Kuat

0,20 – 0,39 Rendah

0,00 – 0,19 Sangat Rendah Sumber: Sunjoyo (2013)

Untuk menghitung koefisien korelasi digunakan rumus berikut:

 

  } ) ( }{ ) ( { ) )( ( ) ( 2 2 2 2 Y Y N X X Y X XY N rxy

(Anwar Sanusi, 2011) Dimana:

rxy = koefisien korelasi X = variabel bebas Y = variabel terikat N = jumlah populasi

3.6.3.2.4 Koefisien Determinasi

Koefisien determinasi digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel X1 dan X2 terhadap naik turunnya Y. Maka untuk mengetahui besarnya pengaruh kewenangan formal dan karakteristik sistem informasi keuangan daerah terhadap kesadaran berbiaya ini dilakukan analisis dengan formula:


(3)

Dimana:

Kd = nilai koefisien determinasi r = nilai koefisien korelasi

3.6.3.2.5 Uji Regresi Linier Berganda

Regresi linier berganda merupakan perluasan dari regresi linear sederhana yang menambahkan jumlah variabel bebas yang sebelumnya hanya satu menjadi dua atau lebih variabel bebas. Penelitian ini memiliki dua variabel bebas dan satu variabel terikat, dengan demikian regresi linier berganda dinyatakan dalam persamaan:

Y = a + b1X1 + b2X2

(Anwar Sanusi, 2011) Dimana:

Y = variabel dependent (kesadaran berbiaya) X1 = sub variabel independent (kewenangan formal)

X2 = sub variabel independent (karakteristik sistem informasi keuangan daerah)

a = harga Y apabila X=0 (harga konstan) b1b2 = koefisien regresi

3.6.4 Uji Hipotesis

Uji hipotesis bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang signifikan antara variabel bebas (X) dan variabel terikat (Y). Pengujian dilakukan pada hipotesis nol (Ho), yang menyatakan tidak adanya perbedaan parameter dengan statistik data sampel. Lawan dari Ho adalah hipotesis alternatif (Ha), yang


(4)

menyatakan adanya perbedaan antara parameter dan statistik data sampel. Maka hipotesis yang akan diuji dalam pengambilan keputusan penerimaan atau penolakan hipotesis dalam penelitian ini adalah:

Ho1 : Tidak terdapat pengaruh antara kewenangan formal terhadap kesadaran berbiaya di Pemerintah Kota Bandung

Ha1 : Terdapat pengaruh antara kewenangan formal terhadap kesadaran berbiaya di Pemerintah Kota Bandung

Ho2 : Tidak terdapat pengaruh antara karakteristik sistem informasi keuangan daerah terhadap kesadaran berbiaya di Pemerintah Kota Bandung

Ha2 : Terdapat pengaruh antara karakteristik sistem informasi keuangan daerah terhadap kesadaran berbiaya di Pemerintah Kota Bandung

3.6.4.1 Uji Simultan (Uji F-Statistik)

Uji F-statistik digunakan untuk menguji besarnya pengaruh dari seluruh variabel independen secara bersama-sama atau simultan terhadap variabel dependen. Untuk pengujian dalam penelitian ini digunakan program SPSS 22.0 Untuk menentukan nilai F tabel, tingkat signifikansi yang digunakan sebesar 5 % dengan kaidah pengambilan keputusan :

1. Tolak Ho, jika koefisien f hitung ≥ f tabel, artinya terdapat pengaruh yang signifikan antara kewenangan formal dan karakteristik sistem informasi keuangan daerah secara simultan terhadap kesadaran berbiaya di Pemerintah Kota Bandung


(5)

2. Terima Ho, jika koefisien f hitung ≤ f tabel, artinya tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara kewenangan formal dan karakteristik sistem informasi keuangan daerah secara simultan terhadap kesadaran berbiaya di Pemerintah Kota Bandung

3.6.4.2 Uji Parsial (Uji T-Statistik)

Uji t digunakan untuk menguji koefisien regresi secara parsial dari variabel independennya. Untuk pengujian dalam penelitian ini digunakan program SPSS. Untuk menentukan nilai t-statistik tabel, ditentukan dengan tingkat signifikansi 5 % dengan derajat kebebasan df = (n-k-1), dimana n adalah jumlah observasi dan k adalah jumlah variabel. Dengan kaidah pengambilan keputusan :

1. Tolak Ho1, jika koefisien t hitung ≥ t tabel , dengan tingkat signifikansi pada taraf lebih besar dari 5%, artinya terdapat pengaruh yang signifikan antara kewenangan formal terhadap kesadaran berbiaya di Pemerintah Kota Bandung 2. Terima Ho1, jika koefisien t hitung ≤ t tabel, dengan tingkat signifikansi pada

taraf lebih kecil atau sama dengan 5%, artinya tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara kewenangan formal terhadap kesadaran berbiaya di Pemerintah Kota Bandung

3. Tolak Ho2, jika koefisien t hitung ≥ t tabel , dengan tingkat signifikansi pada taraf lebih besar dari 5%, artinya terdapat pengaruh yang signifikan antara karakteristik sistem informasi keuangan daerah terhadap kesadaran berbiaya di Pemerintah Kota Bandung


(6)

4. Terima Ho2, jika koefisien t hitung ≤ t tabel, dengan tingkat signifikansi pada taraf lebih kecil atau sama dengan 5%, artinya tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara karakteristik sistem informasi keuangan daerah terhadap kesadaran berbiaya di Pemerintah Kota Bandung


Dokumen yang terkait

Pengaruh Kewenangan Formal, Sistem Informasi Keuangan Daerah, Peranan Manajerial Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Dan Kewenangan Informal Terhadap Kinerja Kepala Skpd Di Jajaran Pemerintahan Kota Medan Melalui Cost Consciousness Sebagai Variabel Inte

3 61 202

Pengaruh Kewenangan Formal, Sistem Informasi Keuangan Daerah, Peranan Manajerial Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Dan Kewenangan Informal Terhadap Kinerja Kepala SKPD Di Jajaran Pemerintahan Kota Medan Melalui Cost Consciousness Sebagai Variabel Interve

0 57 202

Pengaruh Pengelolaan Keuangan Daerah Dan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah (Study Kasus Pada Dinas Pengelolaan Keuangan Dan Aset Daerah Di Pemerintah Kota Bandung)

3 29 3

Pengaruh Kewenangan Formal, Sistem Informasi Keuangan Daerah, Peranan Manajerial Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Dan Kewenangan Informal Terhadap Kinerja Kepala Skpd Di Jajaran Pemerintahan Kota Medan Melalui Cost Consciousness Sebagai Variabel Interven

0 0 60

Pengaruh Kewenangan Formal, Sistem Informasi Keuangan Daerah, Peranan Manajerial Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Dan Kewenangan Informal Terhadap Kinerja Kepala Skpd Di Jajaran Pemerintahan Kota Medan Melalui Cost Consciousness Sebagai Variabel Interven

0 1 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Kewenangan Formal, Sistem Informasi Keuangan Daerah, Peranan Manajerial Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Dan Kewenangan Informal Terhadap Kinerja Kepala Skpd Di Jajaran Pemerintahan Kota Medan Melalui Cost Consciousness

0 1 19

BAB I PENDAHULUAN - Pengaruh Kewenangan Formal, Sistem Informasi Keuangan Daerah, Peranan Manajerial Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Dan Kewenangan Informal Terhadap Kinerja Kepala Skpd Di Jajaran Pemerintahan Kota Medan Melalui Cost Consciousness Sebag

0 1 10

PENGARUH KEWENANGAN FORMAL, SISTEM INFORMASI KEUANGAN DAERAH, PERANAN MANAJERIAL DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KEWENANGAN INFORMAL TERHADAP KINERJA KEPALA SKPD DI JAJARAN PEMERINTAHAN KOTA MEDAN MELALUI COST CONSCIOUSNESS SEBAGAI VARIABEL INTERVEN

0 3 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Kewenangan Formal, Sistem Informasi Keuangan Daerah, Peranan Manajerial Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Dan Kewenangan Informal Terhadap Kinerja Kepala SKPD Di Jajaran Pemerintahan Kota Medan Melalui Cost Consciousness

0 0 19

PENGARUH KEWENANGAN FORMAL, SISTEM INFORMASI KEUANGAN DAERAH, PERANAN MANAJERIAL DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KEWENANGAN INFORMAL TERHADAP KINERJA KEPALA SKPD DI JAJARAN PEMERINTAHAN KOTA MEDAN MELALUI COST CONSCIOUSNESS SEBAGAI VARIABEL INTERVEN

0 0 17