PENGARUH MODEL LEARNING CYCLE UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN INDUKTIF SISWA SMP.

(1)

PENGARUH MODEL LEARNING CYCLE TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN PENALARAN INDUKTIF SISWA SMP

(Suatu Kuasi Eksperimen terhadap Siswa Kelas VIII SMPN 3 Garut)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Matematika

Oleh

ELITA LISMIANA 060035

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA


(2)

PENGARUH MODEL

LEARNING CYCLE

TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN

PENALARAN INDUKTIF SISWA SMP

(Suatu Kuasi Eksperimen terhadap Siswa

Kelas VIII SMPN 3 Garut)

Oleh Elita Lismiana

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika

© Elita Lismiana 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Februari 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

ELITA LISMIANA 060035

PENGARUH MODEL LEARNING CYCLE TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN PENALARAN INDUKTIF SISWA SMP

(Suatu Kuasi Eksperimen terhadap Siswa Kelas VIII SMPN 3 Garut)

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING:

Pembimbing I

Prof. Dr. H. Nanang Priatna, M.Pd. NIP 196303311988031001

Pembimbing II

Dr. Bambang Avip P., M.Si. NIP 196412051990031001

Mengetahui,

Ketua Jurusan Pendidikan Matematika

Drs. Turmudi, M.Ed., M.Sc., Ph.D. NIP 196101121987031003


(4)

ABSTRAK

Elita Lismiana. (060035). Pengaruh Model Learning Cycle untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Induktif Siswa SMP” (Suatu Kuasi Eksperimen terhadap Siswa Kelas VIII SMPN 3 Garut).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan penalaran induktif siswa yang mendapat pembelajaran dengan model Learning Cycle. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen dengan desain penelitiannya adalah desain kelompok kontrol pretest (tes awal) dan posttest (tes akhir). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII dengan sampel dua kelas yaitu satu kelas sebagai kelas perlakuan (eksperimen) dan satu kelas sebagai kelas kontrol. Alat pengumpul data yang dipakai adalah tes, angket, jurnal harian dan lembar observasi. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh bahwa melalui penerapan model Learning Cycle kemampuan penalaran induktif siswa mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Peningkatan kemampuan penalaran induktif siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model Learning Cycle lebih baik dibandingkan dengan peningkatan kemampuan penalaran induktif siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional. Siswa juga memberikan respon positif terhadap model Learning Cycle.

Kata Kunci: Model Learning Cycle, Kemampuan Penalaran Induktif

ABSTRACT

Elita Lismiana. “The Influence of Learning Cycle Model to Improve Inductive Reasoning Ability of Junior High School Students” (A Quasi -Experiment to 8th Grade Student of SMPN 3 Garut).

This research aims to determine the increase in inductive reasoning ability of students who received inctructional with Learning Cycle model. The method which used in this research is the quasi-experimental’s method with design of research is control class group pretest and posttest’s design. The population in this research were all students in 8th grade with a sample of two classes, one class as the treatment class or the experimental class, and the other one as a control class. Data collection tools which used was tests, questionnaire, daily journals and observation sheet. Based on the anilysis of data obtained that the increase of inductive reasoning ability of students who acquired the instructional through the implementation of Learning Cycle model is better than students who acquired conventional instructional. Students also responded positively to the Learning Cycle model.


(5)

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN

PERNYATAAN

KATA PENGANTAR i

UCAPAN TERIMA KASIH ii

ABSTRAK iv

DAFTAR ISI v

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR DIAGRAM viii

DAFTAR LAMPIRAN ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan Masalah 7

C. Tujuan Penelitian 7

D. Manfaat Penelitian 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Model Learning Cycle 9

B. Penalaran Induktif 21

C. Penelitian yang Relevan 24

D. Hipotesis Penelitian 26

BAB III METODE PENELITIAN

A. Populasi dan Sampel 27

B. Desain Penelitian 27

C. Metode Penelitian 28

D. Definisi Operasional 28

E. Instrumen Penelitian 29

F. Prosedur Penelitian 31


(6)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian 42

B. Pembahasan 59

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 62

B. Saran 62

DAFTAR PUSTAKA 64

LAMPIRAN 68


(7)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Interpretasi Validitas Nilai 32

Tabel 3.2 Validitas Hasil Uji Coba Instrumen Soal 33

Tabel 3.3 Interpretasi Derajat Reliabilitas 34

Tabel 3.4 Interpretasi Indeks Daya Pembeda 35

Tabel 3.5 Daya Pembeda Hasil Uji Coba Instrumen 35

Tabel 3.6 Interpretasi Indeks Kesukaran 36

Tabel 3.7 Indeks Kesukaran Hasil Uji Coba Instrumen Soal 36

Tabel 3.8 Tabel Review Validitas, Indeks Kesukaran (IK), dan Daya Pembeda (DP) Tiap Butir Soal 37

Tabel 3.9 Kriteria Tingkat Gain 39

Tabel 3.10 Kategori Jawaban Angket 40

Tabel 3.11 Interpretasi Persentase Angket 41

Tabel 4.1 Deskripsi Data Hasil Pretes 43

Tabel 4.2 Uji Normalitas Data Pretes 45

Tabel 4.3 Uji Perbedaan Dua Rata-rata Data Pretes 46

Tabel 4.4 Deskripsi Data Hasil Postes 47

Tabel 4.5 Uji Normalitas Data Postes 49

Tabel 4.6 Uji Perbedaan Dua Rata-rata Data Postes 50

Tabel 4.7 Deskripsi Data Skor Gain Ternormalisasi 51

Tabel 4.8 Uji Normalitas Data Gain Ternormalisasi 53

Tabel 4.9 Uji Perbedaan Dua Rata-rata Data Gain Ternormalisasi 54


(8)

DAFTAR DIAGRAM

Halaman

Diagram 2.1 Tiga Tahapan Siklus Belajar 20

Diagram 2.2 Diagram Spiral Siklus Belajar 21

Diagram 2.3 Siklus Belajar 5E (Learning Cycle 5E) 22

Diagram 2.4 Perubahan 5E menjadi 7E 23

Diagram 2.5 Siklus Belajar 7E (Learning Cycle 7E) 24

Diagram 4.1 Data Hasil Pretes 43

Diagram 4.2 Rata-Rata Pretes 44

Diagram 4.3 Data Hasil Postes 47

Diagram 4.4 Rata-Rata Postes 48

Diagram 4.5 Data Skor Gain Ternormalisasi 51


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

LAMPIRAN 1 PERANGKAT PEMBELAJARAN...68

1.1 RPP Kelas Kontrol 69

1.2 RPP Kelas Eksperimen 93

1.3 Lembar Kerja Siswa (LKS) Eksperimen 117

1.4 Kisi-Kisi Soal Pretes dan Postes 131

1.5 Soal Pretes dan Postes 134

1.6 Kunci Jawaban Soal Pretes dan Postes 136

1.7 Kisi-Kisi Angket Skala Sikap Siswa 141

1.8 Angket Skala Sikap Siswa 143

1.9 Lembar Observasi 144

1.10 Jurnal Harian Siswa 148

LAMPIRAN 2 ANALISA DATA HASIL UJI COBA INSTRUMEN 149

2.1 Validitas Uji Instrumen 150

2.2 Reliabilitas Uji Instrumen 151

2.3 Daya Pembeda 154

2.4 Indeks Kesukaran 154

2.5 Kolerasi Skor Butir dengan Skor Total 155

2.6 Rekap Analisis Butir 155

LAMPIRAN 3 ANALISA DATA HASIL PENELITIAN 157

3.1 Nilai Pretes, Nilai Postes dan Indeks Gain Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol 158

3.2 Deskripsi Data Pretes 160

3.3 Uji Normalitas Data Pretes 163

3.4 Uji Perbedaan Dua Rata-Rata Data Pretes 165

3.5 Deskripsi Data Postes 166

3.6 Uji Normalitas Data Postes 169

3.7 Uji Perbedaan Dua Rata-Rata Data Postes 171


(10)

3.9 Uji Normalitas Indeks Gain 177

3.10 Uji Perbedaan Dua Rata-Rata Indeks Gain 179

3.11 Data Hasi Angket 180

LAMPIRAN 4 HASIL PENGUMPULAN DATA 182

4.1 Jawaban Pretes dan Postes 183

4.2 Lembar Kegiatan Siswa 195

4.3 Angket 205

4.4 Jurnal Harian Siswa 209

4.5 Lembar Observasi 212

4.6 Foto-Foto Penelitian 216

LAMPIRAN 5 SURAT-SURAT 218

5.1 Surat Tugas Dosen Pembimbing 219

5.2 Surat Permohonan Izin Penelitian 220

5.3 Surat Keterangan Pemberian Izin Penelitian 221


(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Peningkatan kualitas pendidikan nasional ditandai dengan penyempurnaan-penyempurnaan yang terjadi pada setiap aspek pendidikan. Salah satu aspek pendidikan yang mengalami perkembangan adalah kurikulum pendidikan nasional. Penyempurnaan kurikulum dari kurikulum 1994 menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau Kurikulum 2004 dan KBK yang kembali mengalami revisi menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006, dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk inovasi kurikulum. Tugas dan peran guru bukan lagi sebagai pemberi informasi tetapi sebagai pendorong belajar agar siswa dapat mengonstruksi sendiri pengetahuan melalui berbagai aktivitas. (Permendiknas 22/2006 tentang Standar Isi)

Oleh karena itu, tujuan pembelajaran matematika juga mengalami perubahan. Pada awalnya pembelajaran matematika di sekolah bertujuan untuk mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematis dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu, namun dewasa ini tujuan pembelajaran matematika sekolah telah difokuskan pada empat tujuan utama, yaitu: 1)melatih cara berpikir dan bernalar, 2) mengembangkan kemampuan berpikir divergen, 3) mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengomunikasikan gagasan (idea), dan 4) mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan membuat dugaan. (Agung, 2009).

Elea Tinggih mengemukakan bahwa “Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar” (Suherman dkk., 2001:18). Hal

tersebut menjelaskan bahwa dibandingkan dengan ilmu lain, matematika lebih menekankan pada penalaran. Jadi, hal terpenting dalam pelajaran matematika adalah mengajarkan kepada siswa suatu penalaran. Jika siswa memililki penalaran yang baik, maka siswa akan mampu mengerti setiap materi dalam pelajaran matematika, tidak hanya sekedar menghafal materi tersebut.


(12)

Penalaran dijelaskan Sastrosudirjo (1988) sebagai “Proses berpikir yang

dilakukan dengan suatu cara untuk menarik kesimpulan”. Materi matematika dan

penalaran matematis adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Materi matematika dipahami siswa melalui penalaran sedangkan penalaran itu sendiri diperoleh siswa dengan belajar matematika. Ada beberapa aspek yang menjadi indikator kemampuan penalaran matematis seorang siswa dalam pelajaran matematika, yaitu: menyajikan pernyataan matematika secara lisan, tertulis, gambar dan diagram; mengajukan dugaan; melakukan manipulasi matematika; menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan alasan atau bukti terhadap kebenaran solusi; menarik kesimpulan dari pernyataan; memeriksa keshahihan suatu argumentasi; serta menemukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat generalisasi.

Copeland (1979) mengklasifikasikan penalaran dalam penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif digunakan bila dari kebenaran suatu kasus khusus kemudian disimpulkan kebenaran untuk semua kasus. Penalaran deduktif digunakan berdasarkan konsistensi pikiran dan konsistensi logika yang digunakan. Jika premis-premis dalam suatu silogisme benar dan bentuknya (format penyususnannya) benar, maka kesimpulannya benar. Proses penarikan kesimpulan seperti ini dinamakan deduktif atau sering disebut penalaran deduktif. Penalaran deduktif dan induktif memiliki kelemahan, oleh karena itu penalaran induktif harus dibuktikan kembali dengan penalaran deduktif. Berdasarkan hal tersebut, maka penalaran induktif dan deduktif bukanlah suatu bagian yang terpisah dalam matematika.

Bukan merupakan hal yang aneh jika sebagian besar siswa kurang menyukai pelajaran matematika. Hal ini dikarenakan siswa menganggap matematika merupakan mata pelajaran yang sulit dan membingungkan. Seperti yang telah kita ketahui bahwa materi dalam pelajaran matematika bersifat abstrak, maka penalaran matematis sangat diperlukan untuk membangun konsep siswa mengenal suatu materi dalam pelajaran matematika. Jika kemampuan penalaran siswa kurang, maka siswa akan kesulitan belajar matematika.


(13)

Kemampuan penalaran matematis seseorang, khususnya penalaran induktif siswa dalam satu kelas, tentu akan berbeda walaupun mereka memperoleh pelajaran matematika dengan proses pembelajaran yang sama. Akan tetapi banyak hal yang dapat mempengaruhi kemampuan penalaran induktif matematis siswa. Sehingga dalam kegiatan pembelajaran hendaknya siswa diajak untuk berinteraksi dengan seluruh peserta belajar yang ada dalam kelas. Interaksi ini harus berlangsung secara berkesinambungan sehingga guru tidak terlalu mendominasi kegiatan pembelajaran yang berlangsung. Hal ini akan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan penalarannya.

Kemampuan penalaran sangatlah diperlukan dalam mata pelajaran matematika karena siswa yang memiliki kemampuan penalaran yang tinggi serta mampu mengomunikasikan idea atau gagasan matematikanya dengan baik cenderung mempunyai pemahaman yang baik terhadap konsep yang dipelajari serta mampu memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan konsep yang dipelajari yang nantinya akan berpengaruh pada hasil belajar siswa.

Sedangkan pada kenyataannya kemampuan penalaran matematis yang dimiliki oleh sebagian besar siswa masih sangat rendah sehingga hal ini menjadi salah satu penyebab rendahnya prestasi siswa dalam pembelajaran matematika. Pernyataan ini didasarkan pada hasil studi Sumarmo (dalam Yulianti, 2010:2) menunjukkan bahwa, baik secara keseluruhan maupun dikelompokkan menurut tahap kognitif siswa, skor kemampuan pemahaman dan penalaran matematis sangat rendah. Rendahnya kemampuan penalaran ini sangat mempengaruhi hasil belajar siswa.

Menurut Wahyudin (1999:191), salah satu kecenderungan yang menyebabkan sejumlah siswa gagal menguasai dengan baik pokok-pokok bahasan dalam matematika yaitu karena siswa kurang menggunakan nalar yang logis dalam menyelesaikan soal atau persoalan matematika yang diberikan. Sejalan dengan hal tersebut, Matz (dalam Priatna, 2003:3) juga menyatakan bahwa kesalahan yang dilakukan siswa sekolah menengah dalam mengerjakan soal-soal matematika dikarenakan kurangnya kemampuan penalaran terhadap kaidah dasar matematika.


(14)

Fakta di lapangan menunjukkan masih rendahnya kemampuan penalaran matematik siswa SMP, seperti menurut Mullis, dkk. (dalam Rohayati: 2010), berdasarkan hasil studi Trends International Mathematics and Science Study (TIMSS) 1999 yang dilakukan di 38 negara termasuk Indonesia, antara lain dijelaskan bahwa sebagian besar pembelajaran matematika belum berfokus pada pengembangan kemampuan penalaran matematika siswa.

Sejalan dengan hal di atas berdasarkan hasil penilaian internasional yang dilakukan TIMSS pada tahun 2003 menempatkan Indonesia pada peringkat 34 dari 45. Walaupun rerata skor naik menjadi 411 dibandingkan 403 pada tahun 1999, kenaikan tersebut secara statistik tidak signifikan, skor itu masih di bawah rata-rata untuk wilayah ASEAN. Prestasi tersebut bahkan lebih buruk pada

Programme for International Student Assessment (PISA) yang mengukur

kemampuan anak usia 15 tahun dalam literasi membaca, matematika dan ilmu pengetahuan. Program yang diukur setiap 3 tahun, pada tahun 2003 menempatkan Indonesia pada peringkat 2 terendah dari 40 negara sampel. Indonesia mengikuti TIMSS pada tahun 1999, 2003 dan 2007, adapun PISA pada tahun 2000, 2003, 2006 dan 2009 dengan hasil yang tidak menunjukkan banyak perubahan pada setiap keikutsertaannya. Pada PISA 2009 Indonesia hanya menduduki ranking 61 dari 65 peserta dengan rata-rata skor 371, sementara rata-rata skor internasional adalah 496. Prestasi pada TIMSS 2007 lebih memprihatinkan lagi karena rata-rata skor siswa SMP kelas 8 kita menurun jadi 405, menurun dibanding tahun 2003 yaitu 411. Ranking Indonesia pada TIMSS 2007 menjadi ranking 36 dari 49 negara. Berdasarkan hasil penelitian lain yang dilakukan oleh TIMSS dan PISA terhadap siswa SMP menunjukkan bahwa untuk sebuah soal yang mengukur kemampuan penalaran matematik dengan kategori soal sulit yaitu secara internasional hanya 18% yang menjawab benar, sementara untuk siswa SMP di Indonesia soal ini lebih sulit karena hanya 8% yang menjawab benar. (Wardhani dan Rumiyati, 2011)

Pendapat dan fakta di atas didukung juga oleh hasil penelitian Lovell yang mengungkapkan bahwa jika siswa belum memiliki kemampuan bernalar yang diperlukan, maka pengetahuan yang diperoleh dari pembelajaran akan terlupakan


(15)

atau kalaupun masih tertinggal, hanya merupakan pengetahuan hapalan (Priatna, 2003: 35). Menyadari pentingnya penalaran matematis, maka diperlukan pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa khususnya kemampuan penalaran induktif siswa yang akan dibahas dalam penulisan ini. Jika kita lihat pembelajaran yang berlangsung disebagian besar sekolah selama ini memberikan dampak yang sebaliknya dari yang diharapkan. Hal tersebut dikarenakan pembelajaran yang masih berpusat pada guru, sedangkan siswa hanya duduk mendengarkan penjelasan guru, mencatat pelajaran tersebut, kemudian mengerjakan soal-soal rutin.

Hal itu juga yang mendorong peneliti untuk menawarkan solusi permasalahan peningkatan minat dan hasil belajar matematika pada siswa SMP kelas VIII melalui model Learning Cycle. Model Learning Cycle adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered). Model Learning

Cycle merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi

sedemikian rupa sehingga siswa dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperanan aktif. Model Learning

Cycle merupakan salah satu model pembelajaran yang memberikan kesempatan

kepada siswa untuk mengoptimalkan cara belajar dan mengembangkan daya nalar siswa (Dasna, 2005).

Model Learning Cycle merupakan perwujudan dari filosofi konstruktivisme, dalam hal ini pengetahuan dibangun dalam pikiran siswa. Beberapa keuntungan diterapkannya pembelajaran dengan model Learning Cycle yaitu: 1) pembelajaran menjadi berpusat pada siswa (student-centered); 2) proses pembelajaran menjadi lebih bermakna karena mengutamakan pengalaman nyata; 3) menghindarkan siswa dari cara belajar tradisional yang cenderung menghafal; 4) memungkinkan siswa untuk mengasimilasi dan mengakomodasi pengetahuan lewat pemecahan masalah dan informasi yang didapat; dan 5) membentuk siswa yang aktif, kritis, dan kreatif; 6) terjadinya serah terima informasi atau konsep.

Model Learning Cycle pada dasarnya sesuai dengan teori konstruktivis Vygotsky dan teori belajar bermakna Ausubel. Vygotsky menekankan adanya hakikat sosial dari belajar dan menyarankan menggunakan kelompok-kelompok


(16)

belajar dengan kemampuan yang berbeda-beda untuk mengupayakan perubahan konseptual. Sedangkan Ausubel menekankan pada belajar bermakna dan pentingnya pengulangan sebelum belajar dimulai.

Seiring berkembangnya ilmu pendidikan, model Learning Cycle pun mengalami pengembangan-pengembangan, yaitu perubahan dari Learning Cycle yang terdiri dari tiga tahapan, kemudian Learning Cycle yang terdiri dari lima

tahapan yang dikenal dengan “Learning Cycle 5E” dan yang paling terakhir yaitu Learning Cycle yang terdiri dari tujuh tahapan dan dikenal dengan “Learning

Cycle 7E”.

Adapun model Learning Cycle yang dimaksud dalam penulisan ini adalah

Learning Cycle 7E. Dalam model Learning Cycle 7E dilakukan kegiatan-kegiatan

yaitu berusaha untuk memunculkan pengalaman belajar yang telah lalu sebagai fondasi (eliciting), membangkitkan minat siswa pada pelajaran matematika (engagement), memberikan kesempatan kepada siswa untuk memanfaatkan panca indera mereka semaksimal mungkin dalam berinteraksi dengan lingkungan melalui kegiatan telaah literatur (exploration), memberikan kesempatan yang luas kepada siswa untuk menyampaikan ide atau gagasan yang mereka miliki melalui kegiatan diskusi (explanation), mengajak siswa mengaplikasikan konsep-konsep yang mereka dapatkan dengan mengerjakan soal-soal pemecahan masalah (elaboration) dan terdapat suatu tes untuk mengetahui sejauh mana tingkat pemahaman siswa terhadap konsep yang telah dipelajari (evaluation), terakhir hal penting yang harus digarisbawahi oleh guru pemberian soal atau tes bukanlah akhir dari proses pembelajaran, tetapi terjadinya proses transfer informasi atau konsep (extend).

Berdasarkan kajian di atas, maka peneliti termotivasi untuk melakukan penelitian karya ilmiah yang berjudul Pengaruh Model Learning Cycle terhadap Peningkatan Kemampuan Penalaran Induktif Siswa SMP”.


(17)

B. RUMUSAN MASALAH

Merujuk pada latar belakang yang telah dikemukakan di atas, permasalahan utama yang dihadapi dalam penelitian ini adalah untuk melihat adakah pengaruh model Learning Cycle terhadap kemampuan penalaran induktif siswa. Dari permasalahan pokok ini, pertanyaan penelitian yang dicari jawabannya adalah:

1. Apakah peningkatan kemampuan penalaran induktif siswa yang diberikan pembelajaran dengan model Learning Cycle lebih tinggi daripada siswa yang diberikan pembelajaran konvensional?

2. Bagaimana respon siswa terhadap pembelajaran dengan model Learning

Cycle?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan penalaran induktif siswa yang

diberikan pembelajaran dengan model Learning Cycle jika dibandingkan dengan siswa yang diberikan pembelajaran konvensional.

2. Untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran dengan model

Learning Cycle.

D. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Bagi Peneliti

Mengetahui pengaruh model Learning Cycle dalam pembelajaran matematika terhadap peningkatan kemampuan penalaran induktif siswa SMP.

2. Bagi Siswa

Menunjang peningkatan kemampuan penalaran induktif siswa yang merupakan salah satu kompetensi yang harus dicapai oleh siswa.


(18)

3. Bagi Guru

Memberikan gambaran yang lebih jelas tentang pengaruh model Learning

Cycle terhadap peningkatan kemampuan penalaran induktif siswa, sehingga

guru dapat menggunakan model pembelajaran ini sebagai alternatif pembelajaran di kelas.

4. Bagi peneliti lain

Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk mengkaji permasalahan terkait secara lebih mendalam berkenaan dengan pengembangan model Learning Cycle.


(19)

27

BAB III

METODE PENELITIAN

A. POPULASI DAN SAMPEL

Populasi adalah keseluruhan subyek dalam suatu penelitian. Adapun populasi dari penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII di SMPN 3 Garut. Sedangkan sampel merupakan subyek yang mewakili populasi penelitian tersebut. Adapun sampel dalam penelitian ini adalah dua kelas VIII dari 9 (sembilan) kelas yang ada, yaitu kelas VIII E sebagai kelas eksperimen dan kelas VIII F sebagai kelas kontrol. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah pengambilan sampel secara sengaja (purposive sampling), maksudnya peneliti menentukan sendiri sampel yang diambil karena peertimbangan tertentu (Hasan, 2000).

B. DESAIN PENELITIAN

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain kelas kontrol

pretest-posttest yang melibatkan dua kelas. Dalam desain ini dilakukan pemilihan

kelas secara purposive sampling. Dalam pembelajaran matematika, satu kelas diberi perlakuan dengan model Learning Cycle yang disebut dengan kelas eksperimen, sedangkan kelas lainnya mendapat pembelajaran konvensional yang disebut kelas kontrol. Adapun desain penelitian ini (Ruseffendi, 2005 : 50) digambarkan sebagai berikut.

O X O O O

Keterangan:

O : Tes awal (Pretest) atau tes akhir (Posttest)

X : Pembelajaran matematika yang memperoleh perlakuan dengan model


(20)

28

C. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan kuasi eksperimen yang bertujuan untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan kelompok kontrol disamping kelompok eksperimen, namun pemilahan kedua kelompok tersebut tidak dengan teknik random (Mariyanti, 2011). Sebagaimana yang diungkapkan oleh Rakhmat (2009) bahwa kuasi eksperimen adalah eksperimen yang memiliki perlakuan (treatment), pengukuran-pengukuran dampak (outcome

measures), dan unit-unit eksperimen (experimental units) Perlakuan yang kita

lakukan terhadap variabel bebas, kita lihat hasilnya pada variabel terikat. Adapun variabel bebas dalam penelitian ini adalah pembelajaran matematika dengan model Learning Cycle. Sedangkan variabel terikatnya adalah kemampuan penalaran induktif siswa.

D. DEFINISI OPERASIONAL

Agar tidak terjadi perbedaan pemahaman tentang istilah yang digunakan, maka beberapa istilah tersebut perlu didefinisikan secara operasional. Istilah-istilah tersebut antara lain:

1. Learning Cycle yang dimaksud dalam penulisan ini adalah Learning Cycle 7E. Pada model pembelajaran ini terdapat rangkaian tahap-tahap kegiatan

pembelajaran, diantaranya: memunculkan pengalaman belajar (eliciting), membangkitkan minat siswa (engagement), memberikan kesempatan kepada siswa untuk memanfaatkan panca indera mereka semaksimal mungkin dalam berinteraksi dengan lingkungan melalui kegiatan telaah literatur (exploration), memberikan kesempatan yang luas kepada siswa untuk menyampaikan ide melalui kegiatan diskusi (explanation), mengajak siswa mengaplikasikan konsep-konsep yang mereka dapatkan (elaboration) dan terdapat suatu tes untuk mengetahui sejauh mana tingkat pemahaman siswa terhadap konsep yang telah dipelajari (evaluation), proses transfer informasi atau konsep (extend).

2. Pembelajaran konvensional yang dimaksud adalah pembelajaran dengan menggunakan metode ekspositori meliputi metode ceramah dan tanya jawab.


(21)

29

3. Penalaran induktif adalah suatu proses atau aktivitas berpikir untuk menarik suatu kesimpulan atau membuat suatu pernyataan yang bersifat umum (general) berdasar beberapa pernyataan khusus yang diketahui benar.

4. Peningkatan kemampuan penalaran induktif yang dimaksud dalam penelitian ini dapat terlihat dari rendah atau tingginya hasil indeks gain yang diperoleh siswa dari hasil pretes dan postes.

5. Respon yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tanggapan siswa terhadap model Learning Cycle apakah memberikan tanggapan yang positif atau negatif yang bisa dilihat dari hasil data jurnal harian dan angket siswa.

E. INSTRUMEN PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penerapan model

Learning Cycle terhadap peningkatan kemampuan penalaran induktif siswa dan

untuk mengetahui respon siswa terhadap model Learning Cycle, maka diperlukan alat ukur untuk mendapatkan data tersebut yang disebut dengan instrumen. Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa tes, jurnal harian, angket, dan observasi.

1. Tes;

Tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan penalaran induktif siswa. Pada penelitian ini, tes yang digunakan terbagi ke dalam dua macam tes, yaitu:

1) pretest yaitu tes yang dilakukan sebelum perlakuan diberikan;

2) posttest yaitu tes yang dilakukan setelah perlakuan diberikan.

Pretes diberikan untuk mengukur kemampuan awal kelas eksperimen dan kelas kontrol serta mengetahui homogenitas. Sedangkan postes diberikan untuk mengetahui kemajuan atau peningkatan kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Instrumen tes untuk pretes dan postes diberikan soal yang sama. Bentuk tes yang digunakan adalah tipe uraian. Menurut Suherman (2003, 77) tes uraian akan menuntut siswa untuk menjawabnya secara rinci, maka proses berpikir, ketelitian, sistematika penyusunan dapat dievaluasi dan selain itu juga menuntut siswa menyampaikan pendapat dan argumentasi, mngenai fakta-fakta yang


(22)

30

relevan. Selain itu, tes tipe uraian ini mempunyai beberapa kelebihan (Arikunto, 2003: 163) diantaranya:

a. Tidak memberi banyak kesempatan untuk berspekulasi atau untung-untungan; b. Mendorong siswa untuk berani mengemukakan pendapat serta menyusun

jawaban dalam kalimat yang bagus dan sistematis;

c. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengutarakan maksudnya dengan gaya dan bahasanya sendiri;

d. Dapat diketahui sejauh mana siswa mendalami sesuatu masalah yang diujikan. 2. Jurnal Harian

Jurnal harian berisi jawaban siswa atas pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan pembelajaran yang telah dilaksanakan pada setiap pertemuan dan diberikan untuk setiap siswa kelas eksperimen di akhir pembelajaran. Jurnal harian ini diberikan untuk memperoleh gambaran mengenai respon siswa terhadap pembelajaran dengan model Learning Cycle yang telah dilaksanakan.

3. Angket

Angket adalah jenis evaluasi yang berupa daftar pernyataan atau pertanyaan yang harus dijawab oleh responden dengan cara memilih jawaban yang telah disediakan atau melengkapi jawaban dengan cara mengisi pertanyaan yang disediakan. Dalam penelitian ini, angket diberikan dengan tujuan untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran yang diberikan. Angket yang dibuat disusun dengan menggunakan skala sikap model Likert yang berisi beberapa pernyataan tertutup. Pilihan jawaban pernyataan tertutup tersebut meliputi Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS). Sedangkan untuk pilihan jawaban Netral (N) atau Ragu-ragu (R) dihilangkan supaya siswa dapat menentukan pilihan dan memberikan jawaban yang pasti. Pada penelitian ini angket diberikan kepada 39 siswa dari kelas eksperimen untuk mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model Learning Cycle.


(23)

31

4. Lembar Observasi

Observasi adalah suatu teknik menganalisis dan mengadakan pencatatan terhadap seluruh komponen yang terlibat dalam suatu pembelajaran yang dilakukan dengan pengamatan secara langsung. Pengamatan dilakukan dengan bantuan beberapa observer. Observasi dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh informasi tentang aktivitas guru dan siswa pada saat pembelajaran berlangsung.

F. PROSEDUR PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu sebagai berikut: 1. Tahap Persiapan

Langkah-langkah yang dilakukan dalam tahap ini, yaitu sebagai berikut: a. Membuat proposal.

b. Identifikasi permasalahan mengenai bahan ajar, merencanakan pembelajaran, serta alat dan bahan yang akan digunakan.

c. Melakukan seminar proposal.

d. Melakukan perizinan untuk penelitian. e. Menentukan populasi dan memilih sampel.

f. Menyusun komponen-komponen pembelajaran yang meliputi bahan ajar, alat pembelajaran, dan alat evaluasi.

g. Menyusun instrumen berupa tes dan kisi-kisinya.

h. Melaksanakan uji coba instrumen yang akan digunakan untuk mengetahui kualitasnya. Uji coba ini dilaksanakan di SMP Negeri 3 Garut pada kelas IX-I yang diikuti oleh 39 siswa.

i. Menghitung kualitas/kriteria instrumen dengan menggunakan bantuan program Anates Uraian serta perhitungan manual. Selengkapnya hasil analisis uji coba instrumen akan dipaparkan sebagai berikut:


(24)

32

  

 

2 2

2

 

2

   y y N x x N y x xy N rxy

1) Uji validitas

Dalam penelitian ini, untuk menghitung koefisien validitas tes menggunakan rumus korelasi produk momen memakai angka kasar (raw

score), dari Pearson (dalam Suherman, 2003: 120) sebagai berikut.

Keterangan:

xy

r = koefisien korelasi antara variabel x dan variabel y

N banyak subjek (testi)

x skor yang diperoleh dari tes

y rata-rata nilai harian

Untuk mengetahui tingkat validitas digunakan kriteria (Suherman, 2003: 113) yang disajikan dalam Tabel 3.1

Tabel 3.1

Interpretasi Validitas Nilai rxy

Nilai Keterangan

00 , 1 90

,

0 rxy  Validitas sangat tinggi (sangat baik) 90

, 0 70

,

0 rxy  Validitas tinggi (baik)

70 , 0 40

,

0 rxy  Validitas sedang (cukup)

40 , 0 20

,

0 rxy  Validitas rendah (kurang)

20 , 0 00

,

0 rxy  Validitas sangat rendah

00 , 0

xy


(25)

33            

2

2 11 1 1 t i s s n n r

Validitas tiap butir soal yang digunakan dalam penelitian ini setelah dilakukan pengolahan data dan perhitungan ditunjukkan pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2

Validitas Hasil Uji Coba Instrumen Soal

Butir Soal Korelasi Signifikansi Interpretasi

1 0, 947 Sangat Signifikan Sangat Tinggi

2 Sangat Signifikan Tinggi

3 0, 624 Signifikan Sedang

4 0, 910 Sangat Signifikan Sangat Tinggi

5 0, 892 Sangat Signifikan Tinggi

Karena kelima soal mempunyai validitas yang relatif baik maka kelima soal tersebut digunakan sebagai instrumen tes dalam penelitian. 2) Uji reliabilitas

Menurut Ruseffendi (2005: 158) reliabilitas instrumen atau alat evaluasi adalah ketetapan alat evaluasi dalam mengukur atau ketetapan siswa dalam menjawab alat evaluasi itu. Maka reliabilitas tes berhubungan dengan ketetapan hasil tes tersebut.

Karena itu, koefisien realiabilitas menyatakan derajat kereterandalan alat evaluasi, dinotasikan dengan r . Rumus yang 11

digunakan untuk mencari koefisien reliabilitas bentuk uraian dikenal dengan rumus Alpha (dalam Suherman, 2003: 153-154) sebagai berikut.

Keterangan:

n banyak butir soal

2

i

s jumlah varians skor setiap soal

2

t


(26)

34

Tolak ukur untuk menginterpretasikan derajat reliabilitas alat evaluasi yang dapat digunakan dibuat oleh J. P. Guilford (dalam Suherman, 2003: 139) yang disajikan pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3

Interpretasi Derajat Reliabilitas

Nilai Interpretasi

20 , 0

11

r Sangat rendah

40 , 0 20

,

0 r11 Rendah

70 , 0 40

,

0 r11 Sedang

90 , 0 70

,

0 r11 Tinggi

00 , 1 9

,

0 r11 Sangat tinggi

Dari hasil pengolahan data hasil uji coba instrumen bantuan program Anates diperoleh reliabilitas tes sebesar 0,89, yang jika diinterpretasikan maka tes memiliki reliabilitas tinggi. Data perhitungan secara lengkap dapat dilihat pada lampiran.

3) Uji daya pembeda

Daya pembeda soal merupakan kemampuan soal dalam membedakan antara siswa yang mengetahui jawaban yang benar dengan siswa yang tidak menjawab/jawabannya salah. Dengan kata lain, daya pembeda soal adalah kemampuan soal untuk membedakan antara siswa yang pandai dengan siswa yang kurang.

Daya pembeda soal dapat dihitung dengan menggunakan rumus (dalam Suherman, 2003:160) :

A B A JS JB JB

DP  atau

B B A JS JB JB

DP 

Keterangan:

DP = Daya Pembeda

A

JB = Jumlah siswa kelompok atas yang menjawab soal itu dengan


(27)

35

B

JB = Jumlah siswa kelompok bawah yang menjawab soal itu dengan benar, atau jumlah benar untuk kelompok bawah

A

JS = Jumlah siswa kelompok atas

B

JS = Jumlah siswa kelompok bawah

Klasifikasi interpretasi daya pembeda (dalam Suherman, 2003: 161) dapat dilihat pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4

Interpretasi Indeks Daya Pembeda

Nilai Keterangan

00 , 1 70

,

0 DP Sangat baik

70 , 0 40

,

0 DP Baik

40 , 0 20

,

0 DP Cukup

20 , 0 00

,

0 DP Jelek

00 , 0 

DP Sangat jelek

Daya pembeda untuk tiap butir soal yang digunakan dalam penelitian ini setelah dilakukan pengolahan data dan perhitungan ditunjukkan pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5

Daya Pembeda Hasil Uji Coba Instrumen

Butir Soal Daya Pembeda Interpretasi

1 0,49 Baik

2 0,45 Baik

3 0,46 Baik

4 0,46 Baik

5 0,47 Baik

Data perhitungan secara lengkap dapat dilihat pada lampiran. Karena kelima soal mempunyai daya pembeda yang relatif baik maka kelima soal tersebut digunakan sebagai instrumen tes dalam penelitian. 4) Uji indeks kesukaran

Derajat kesukaran suatu butir soal dinyatakan dengan indeks kesukaran (difficulty index). Indeks kesukaran berfungsi untuk menunjukkan apakah soal termasuk mudah, sedang atau sukar. Soal yang


(28)

36

baik adalah soal yang tidak terlalu mudah atau tidak terlalu sukar. Untuk menghitung indeks kesukaran suatu butir soal bertipe uraian digunakan rumus (dalam Rahmah, 2011: 44) sebagai berikut.

̅ Keterangan:

IK = Indeks Kesukaran

̅ = Skor rata-rata tiap butir soal SMI = Skor maksimal ideal tiap butir soal

Kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan indeks kesukaran adalah yang dikemukakan oleh Suherman (2003: 170) pada tabel 3.6.

Tabel 3.6

Interpretasi Indeks Kesukaran

IK Keterangan

IK = 0,00 Soal terlalu sukar 0,00 < IK  0,30 Soal sukar 0,30 < IK  0,70 Soal sedang 0,70 < IK < 1,00 Soal mudah

IK = 1,00 Soal terlalu mudah

Indeks kesukaran untuk tiap butir soal yang digunakan dalam penelitian ini setelah dilakukan pengolahan data dan perhitungan ditunjukkan pada Tabel 3.7 di bawah ini.

Tabel 3.7

Indeks Kesukaran Hasil Uji Coba Instrumen Soal

Butir Soal Indeks Kesukaran Interpretasi

1 0,75 Mudah

2 0,69 Sedang

3 0,65 Sedang

4 0,69 Sedang


(29)

37

Ringkasan hasil uji validitas, indeks kesukaran, dan daya pembeda tiap butir soal disajikan pada tabel berikut.

Tabel 3.8

Tabel Review Validitas, Indeks Kesukaran (IK), dan Daya Pembeda (DP) Tiap Butir Soal

Butir Soal Validitas IK DP Keterangan

1 Sangat Tinggi Mudah Baik Soal dipakai

2 Tinggi Sedang Baik Soal dipakai

3 Sedang Sedang Baik Soal dipakai

4 Sangat Tinggi Sedang Baik Soal dipakai

5 Tinggi Sedang Baik Soal dipakai

2. Tahap Pelaksanaan

Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam tahap ini, yaitu sebagai berikut: a. Memberikan pretes pada kelas kontrol dan kelas eksperimen.

b. Melaksanakan pembelajaran di kedua kelas tersebut. Di kelas kontrol, pembelajaran dilakukan dengan menggunakan model yang biasa dilakukan di sekolah. Sedangkan di kelas eksperimen, pembelajaran dilakukan dengan menerapkan model pembelajaran Learning Cycle.

c. Memberikan postes pada kedua kelas tersebut.

d. Melaksanakan evaluasi dengan melakukan observasi ketika proses pembelajaran berlangsung, memberikan jurnal harian pada setiap akhir pertemuan, dan angket pada pertemuan terakhir kepada siswa untuk mengetahui respons siswa di kelas eksperimen terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan.

3. Tahap Refleksi dan Evaluasi

Pada tahap ini dilakukan pengolahan dari data-data yang diperoleh dari penelitian, melakukan pengkajian dan analisis terhadap penemuan-penemuan penelitian serta melihat pengaruh terhadap kemampuan penalaran logis yang ingin diukur. Selanjutnya, dibuat penafsiran dan kesimpulan berdasarkan rumusan masalah dan hipotesis.


(30)

38

G. TEKNIK PENGOLAHAN DATA

Data pada penelitian ini diperoleh dengan berbagai cara, yakni dengan tes (terdiri dari pretest dan posttest), pengisian angket, jurnal harian, dan observasi. Data yang diperoleh kemudian dikelompokkan ke dalam jenis data kuantitatif dan data kualitatif.

1. Data kuantitatif

Data kuantitatif meliputi data yang diperoleh dari hasil tes siswa (pretes dan postes). Data yang diperoleh kemudian dianalisis untuk menjawab hipotesis yang diajukan. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji statistik yang akan digunakan untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan penalaran logis yang signifikan antara siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran Learning Cycle dengan siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran konvensional yang dilakukan di sekolah.

Analisis data dengan menggunakan uji statistik dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

a. Uji normalitas

Dilakukan untuk mengetahui apakah data kedua kelas sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

b. Uji homogenitas varians

Dilakukan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh memiliki varians yang homogen atau tidak.

c. Jika data yang dianalisis berdistribusi normal dan homogen, maka untuk pengujian hipotesis dilakukan uji t.

d. Jika data yang dianalisis berdistribusi normal tetapi tidak homogen, maka untuk pengujian hipotesis dilakukan uji t’.

e. Jika data tidak berdistribusi normal, maka dilakukan uji kesamaan dua rerata dengan uji Mann-Whitney U. Rumus Mann-Whitney U menurut Nazir (dalam Sugiyono, 2010:153):


(31)

39 pre maks pre pos S S S S g    ∑ Keterangan:

= jumlah sampel kelas eksperimen = jumlah sampel kelas kontrol ∑ = jumlah peringkat kelas eksperimen ∑ = jumlah peringkat kelas kontrol

Untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan penalaran logis siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model Learning Cycle dan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional, maka dilakukan pengkajian dengan menggunakan uji-t satu pihak terhadap gain (tingkat kenaikan).

Gain yang diperoleh dinormalisasi oleh selisih antara skor maksimal (Smaks)

dengan skor pretes. Hal ini dimaksud untuk menghindari kesalahan dalam menginterpretasi perolehan gain seorang siswa. Gain yang dinormalisasi diperoleh dengan cara menghitung selisih antara skor postes (Spos) dengan skor pretes (Spre)

dibagi oleh selisih antara skor maksimal dengan skor pretes. Peningkatan yang terjadi, sebelum dan sesudah pembelajaran dihitung dengan rumus g-faktor (N-Gain) yang rumusnya (dalam Rahmah, 2011: 48):

Keterangan:

g = gain Spos = skor postes

Spre = skor pretes Smaks = skor maksimal

Kriteria tingkat gain menurut Hake (Linda, 2010: 64) disajikan dalam Tabel 3.9.

Tabel 3.9 Kriteria Tingkat Gain

G Keterangan

7 , 0  g Tinggi 7 , 0 3 ,

0  g Sedang

3 , 0 


(32)

40

% 100

 

n f P

2. Data kualitatif

Data kualitatif meliputi data yang diperoleh dari hasil angket, jurnal, dan observasi. Data yang diperoleh kemudian dianalisis untuk menjawab hipotesis yang diajukan.

a. Angket

Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Likert. Setelah data terkumpul, kemudian dilakukan pemilihan data yang representatif dan dapat menjawab permasalahan penelitian. Data disajikan dalam bentuk tabel dengan tujuan untuk mengetahui frekuensi setiap alternatif jawaban serta untuk mempermudah dalam membaca data. Masing-masing jawaban itu dikaitkan dengan bilangan atau nilai (Ruseffendi, 2006: 575) seperti yang disajikan dalam Tabel 3.10.

Tabel 3.10

Kategori Jawaban Angket

Jenis Pernyataan Skor

SS S TS STS

Positif 5 4 2 1

Negatif 1 2 4 5

Data angket yang diperoleh diolah dengan mencari persentase angket untuk setiap butir pernyataan kemudian hasilnya ditafsirkan. Persentase angket dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

P = persentase jawaban

f = frekuensi jawaban


(33)

41

Setelah itu dilakukan penafsiran dengan menggunakan kategori yang dikemukakan oleh Kuntjaraningrat (Rusmini, 2010: 55) yang disajikan dalam Tabel 3.11

Tabel 3.11

Interpretasi Persentase Angket

Besar Persentase Tafsiran

%

0 Tidak ada

% 25 %

0 P Sebagian kecil

% 50 %

25 P Hampir setengahnya

%

50 Setengahnya

% 75 %

50 P Sebagian besar

% 100 %

75 P Pada umumnya

%

100 Seluruhnya

b. Jurnal harian siswa

Data yang terkumpul, dipisahkan mana yang termasuk ke dalam respons positif dan mana yang termasuk respon negatif, sehingga diketahui respons siswa terhadap pembelajaran dengan menggunakan model Learning Cycle yang kemudian dianalisis secara deskriptif.

c. Observasi

Data hasil observasi merupakan data pendukung dalam penelitian ini. Penyajian data hasil observasi diinterpretasikan ke dalam bentuk kalimat dan dirangkum untuk membantu menggambarkan suasana pembelajaran yang dilakukan.


(34)

62

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan rumusan masalah dan hasil analisis data, diperoleh kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan di kelas VIII SMP Negeri 3 Garut sebagai berikut:

1. Terdapatperbedaan kemampuan penalaran induktif siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model Learning Cycle dengan kemampuan penalaran induktif siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional. Kemampuan penalaran induktif siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model

Learning Cycle lebih tinggi dibandingkan kemampuan penalaran induktif

siswa yang mendapatkan pembelajaran secara konvensional.

2. Secara umum pembelajaran matematika yang menerapkan model pembelajaran Learning Cycle untuk meningkatkan kemampuan penalaran induktif, mendapat respon yang positif dari siswa. Hal ini berdasarkan pada hasil angket dan jurnal harian siswa yang menunjukkan bahwa antusias siswa terhadap penerapan model Learning Cycle yang diberikan semakin baik.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang diperoleh maka diajukan beberapa saran berikut ini.

a. Bagi peneliti yang ingin menerapkan model Learning Cycle ini, sebaiknya dilakukan lagi kajian pustaka yang lebih mendalam serta lakukan observasi terlebih dahulu pada kelas yang akan dijadikan kelas eksperimen. Biasakan siswa untuk belajar mandiri (individu) agar siswa mengetahui sejauh mana kemampuan awal yang dimiliki untuk mempelajari materi yang akan diberikan.


(35)

63

b. Berikanlah soal-soal yang lebih menantang yang memacu motivasi siswa untuk belajar matematika. Jika diperlukan, gunakanlah alat peraga atau media pembelajaran lainnya agar pembelajaran lebih menarik.

c. Pembelajaran matematika dengan model Learning Cycle memerlukan waktu yang relatif lama dalam proses belajarnya, sehingga diperlukan perencanaan yang matang agar pembelajaran sesuai dengan alokasi waktu yang tersedia. d. Pembelajaran matematika dengan model Learning Cycle disarankan untuk


(36)

64

DAFTAR PUSTAKA

AGPA. (1988). Learning Cycle. [Online]. Tersedia:

http://www.agpa.uakron.edu/p16/btp.php?id=learning-cycle[15 Desember 2009]

Agung, R. (2009). Implementasi Model Pembelajaran Learning Cycle “5E”

Berbantuan LKS Terstruktur Untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Siswa. [Online]. Tersedia: http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi/pendidikan-matematika/[15 Desember 2009]

Anggraeni. (2011). Pengaruh Implementasi Model Pembelajaran Learning Cycle

terhadap Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMP. Skripsi.

UPI. Tidak diterbitkan.

Arikunto, S. (2003). Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Bybee, R., & Landes, N.M. (1997). Science for life and living: An elementary

school science program from biological sciences curriculum study. The

American Biology Teacher 52(2). 92-98 dan 176.

Bybee, R. (2001). The Five E’s from Roger Bybee. Biological Science

Curricullum Studies (BSCS). [Online]. Tersedia: http://www. miamisci.org/ph/lpintro5e.html. [25 Januari 2010].

Copeland, R.W. (1979). How Children Learn Mathematics: Teaching I,

placations of Piaget’s Research (Third Edition). New York: Macmillan Publishing Company.

Copy, I. M. (1972). Introduction To Logic. Fourth Edition. New York: Macmillan Publishing Co, Inc.

Dasna, I.W. 2005. Kajian Implementasi Model Siklus Belajar (Learning Cycle)

dalam Pembelajaran Kimia. Makalah Seminar Nasional MIPA dan Pembelajarannya. FMIPA UM – Dirjen Dikti Depdiknas.

Depdiknas. 2006. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Matematika SMP. Jakarta : Balitbang Depdiknas.

Eisenkraft, A. (2003). Expanding the 5E Model. The Science Teacher. Arlington : Nasional Science Teachers Association (NSTA).


(37)

65

Hasan, M. (2000). Teknik Sampling. [Online]. Tersedia:

http://home.unpar.ac.id/~hasan/SAMPLING.doc [26 Januari 2013]

Hudojo, H. (2005). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Universitas Negeri Malang: IKIP Malang.

Jacob, C. (2000). Matematika sebagai Penalaran: Suatu Upaya Meningkatkan

Kreativitas Berpikir. Makalah disajikan pada Seminar Nasional:

Meningkatkan Kulaitas Pendidikan Matematika Pada Pendidikan Dasar. Jurusan Matematika FPMIPA Universitas Negeri Malang, 18 November 2000.

Jacob, C. (2003). Pembelajaran Penalaran Logis (Suatu Upaya Meningkatkan

Penguasaan Konsep Matematika). Makalah disajikan pada Seminar

Nasional Matematika: RME. Yogyakarta: Sanata Dharma.

Karplus, R. (1962). Innovation in Science Education and Technology. Plenum Pub. Corp

Khotimah, N. (2011). Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle 7E untuk

Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMP. Skripsi. UPI.

Tidak diterbitkan.

Larasati, A. (2008). Pengaruh Model Learning Cycle Dalam Pembelajaran

Matematika Terhadap Hasil Belajar Siswa SMP. Skripsi. UPI. Tidak

diterbitkan.

Lorsbach, A.W. (2002). The Leraning Cycle as A tool for Planning Science

Instruction.[Online].Tersedia:http://www.coe.ilstu.edu/scienceed/lorsbach/

257lrcy.html [14 Desember 2009]

Mirayanti, A., dkk. (2011). Metodologi Penelitian Quasi Experiment Design. [Online].Tersedia:http://www.haeryn.wordpress.com/2012/05/30/makalah-metodelogo-penelitian-quasi-eksperiment-design/ [26 Januari 2013]

Nurlaela, T. Penerapan Model Pembelajaran Novick untuk Meningkatkan

Kemampuan Penalaran Logis Siswa SMP. Skripsi. UPI. Tidak diterbitkan.

Priatna, N. (2003). Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematika Siswa

Kelas 3 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri di Kota Bandung.


(38)

66

Rahmah, G.A. (2011). Pengaruh Model Pembelajaran Matematisasi Berjenjang

terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMA.

Skripsi. UPI. Tidak diterbitkan.

Rakhmat, J. (2009). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Rohayati, A. (2010). Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Matematik

untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis. [Online]. Tersedia:http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATI KA/196005011985032ADE_ROHAYATI/CTL_dalam__Pembelajaran_M at_untuk_Meningkatkan_Berpikir_Krit.pdf[16 September 2012]

Ruseffendi, E. T. (1998). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan

Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E. T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non

Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E. T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan

Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Sastrosudirjo, S. (1988). Hubungan Kemampuan Penalaran dan Prestasi Belajar

untuk Siswa SMP. Yogyakarta: Jurnal Kependidikan Nomor 1 Tahun

ke-18 IKIP Yogyakarta.

Shurter, R. L. Dan Pierce, J. R. (1966). Critical Thinking. New York: Mc Graw Hill Inc.

Sugiyono. (2010). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Suherman, dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA FPMIPA UPI.

Suherman, E. (2003). Individual Text Book; Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: JICA FPMIPA.

Sukadijo, G.R. (1999). Logika Dasar Tradisional, Simbolik dan Induktif. Jakarta: Gramedia


(39)

67

Sumarmo, U. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa

SMA Dikaitkan dengan Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi Doktor pada PPS IKIP

Bandung Press: Tidak Diterbitkan.

Sumintono, B. (2009). Pembelajaran Lanjutan dengan Teori Kontruktivis. [Online]. Tesedia: http://netsains.com/2009/02/pembelajaran-lanjutan-dengan-teori-konstruktivis/. [25 Januari 2010]

Tedjaningrum, D. (2010). Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan

Model Learning Cycle dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMA. Skripsi. UPI. Tidak diterbitkan.

Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika Calon Guru dan Siswa dalam

Mata Pelajaran Matematika. Disertasi Doktor pada PPS IKIP Bandung:

Tidak Diterbitkan.

Wardhani, S dan Rumiati. (2011). Instrumen Penilaian Hasil Belajar Matematika

SMP: Belajar dari PISA dan TIMSS. Yogyakarta: Kementrian Pendidikan

Nasional: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika.

Yulianti, N. (2009). Pengaruh Penerapan Pendekatan Problem Centered (PCL)

Terhadap Penalaran Induktif Matematika SMP. Skripsi. UPI. Tidak


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan rumusan masalah dan hasil analisis data, diperoleh kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan di kelas VIII SMP Negeri 3 Garut sebagai berikut:

1. Terdapatperbedaan kemampuan penalaran induktif siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model Learning Cycle dengan kemampuan penalaran induktif siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional. Kemampuan penalaran induktif siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model Learning Cycle lebih tinggi dibandingkan kemampuan penalaran induktif siswa yang mendapatkan pembelajaran secara konvensional.

2. Secara umum pembelajaran matematika yang menerapkan model pembelajaran Learning Cycle untuk meningkatkan kemampuan penalaran induktif, mendapat respon yang positif dari siswa. Hal ini berdasarkan pada hasil angket dan jurnal harian siswa yang menunjukkan bahwa antusias siswa terhadap penerapan model Learning Cycle yang diberikan semakin baik.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang diperoleh maka diajukan beberapa saran berikut ini.

a. Bagi peneliti yang ingin menerapkan model Learning Cycle ini, sebaiknya dilakukan lagi kajian pustaka yang lebih mendalam serta lakukan observasi terlebih dahulu pada kelas yang akan dijadikan kelas eksperimen. Biasakan siswa untuk belajar mandiri (individu) agar siswa mengetahui sejauh mana kemampuan awal yang dimiliki untuk mempelajari materi yang akan diberikan.


(2)

b. Berikanlah soal-soal yang lebih menantang yang memacu motivasi siswa untuk belajar matematika. Jika diperlukan, gunakanlah alat peraga atau media pembelajaran lainnya agar pembelajaran lebih menarik.

c. Pembelajaran matematika dengan model Learning Cycle memerlukan waktu yang relatif lama dalam proses belajarnya, sehingga diperlukan perencanaan yang matang agar pembelajaran sesuai dengan alokasi waktu yang tersedia. d. Pembelajaran matematika dengan model Learning Cycle disarankan untuk


(3)

DAFTAR PUSTAKA

AGPA. (1988). Learning Cycle. [Online]. Tersedia: http://www.agpa.uakron.edu/p16/btp.php?id=learning-cycle[15 Desember 2009]

Agung, R. (2009). Implementasi Model Pembelajaran Learning Cycle “5E” Berbantuan LKS Terstruktur Untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran

Siswa. [Online]. Tersedia:

http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi/pendidikan-matematika/[15 Desember 2009]

Anggraeni. (2011). Pengaruh Implementasi Model Pembelajaran Learning Cycle terhadap Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMP. Skripsi. UPI. Tidak diterbitkan.

Arikunto, S. (2003). Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Bybee, R., & Landes, N.M. (1997). Science for life and living: An elementary school science program from biological sciences curriculum study. The American Biology Teacher 52(2). 92-98 dan 176.

Bybee, R. (2001). The Five E’s from Roger Bybee. Biological Science

Curricullum Studies (BSCS). [Online]. Tersedia: http://www.

miamisci.org/ph/lpintro5e.html. [25 Januari 2010].

Copeland, R.W. (1979). How Children Learn Mathematics: Teaching I,

placations of Piaget’s Research (Third Edition). New York: Macmillan

Publishing Company.

Copy, I. M. (1972). Introduction To Logic. Fourth Edition. New York: Macmillan Publishing Co, Inc.

Dasna, I.W. 2005. Kajian Implementasi Model Siklus Belajar (Learning Cycle) dalam Pembelajaran Kimia. Makalah Seminar Nasional MIPA dan

Pembelajarannya. FMIPA UM – Dirjen Dikti Depdiknas.

Depdiknas. 2006. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Matematika SMP. Jakarta : Balitbang Depdiknas.

Eisenkraft, A. (2003). Expanding the 5E Model. The Science Teacher. Arlington : Nasional Science Teachers Association (NSTA).


(4)

Hasan, M. (2000). Teknik Sampling. [Online]. Tersedia: http://home.unpar.ac.id/~hasan/SAMPLING.doc [26 Januari 2013]

Hudojo, H. (2005). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Universitas Negeri Malang: IKIP Malang.

Jacob, C. (2000). Matematika sebagai Penalaran: Suatu Upaya Meningkatkan Kreativitas Berpikir. Makalah disajikan pada Seminar Nasional: Meningkatkan Kulaitas Pendidikan Matematika Pada Pendidikan Dasar. Jurusan Matematika FPMIPA Universitas Negeri Malang, 18 November 2000.

Jacob, C. (2003). Pembelajaran Penalaran Logis (Suatu Upaya Meningkatkan Penguasaan Konsep Matematika). Makalah disajikan pada Seminar Nasional Matematika: RME. Yogyakarta: Sanata Dharma.

Karplus, R. (1962). Innovation in Science Education and Technology. Plenum Pub. Corp

Khotimah, N. (2011). Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle 7E untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMP. Skripsi. UPI. Tidak diterbitkan.

Larasati, A. (2008). Pengaruh Model Learning Cycle Dalam Pembelajaran Matematika Terhadap Hasil Belajar Siswa SMP. Skripsi. UPI. Tidak diterbitkan.

Lorsbach, A.W. (2002). The Leraning Cycle as A tool for Planning Science Instruction.[Online].Tersedia:http://www.coe.ilstu.edu/scienceed/lorsbach/ 257lrcy.html [14 Desember 2009]

Mirayanti, A., dkk. (2011). Metodologi Penelitian Quasi Experiment Design. [Online].Tersedia:http://www.haeryn.wordpress.com/2012/05/30/makalah-metodelogo-penelitian-quasi-eksperiment-design/ [26 Januari 2013]

Nurlaela, T. Penerapan Model Pembelajaran Novick untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Logis Siswa SMP. Skripsi. UPI. Tidak diterbitkan. Priatna, N. (2003). Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematika Siswa

Kelas 3 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri di Kota Bandung. Disertasi Doktor pada PPS IKIP Bandung Press: Tidak Diterbitkan.


(5)

Rahmah, G.A. (2011). Pengaruh Model Pembelajaran Matematisasi Berjenjang terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMA. Skripsi. UPI. Tidak diterbitkan.

Rakhmat, J. (2009). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Rohayati, A. (2010). Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Matematik

untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis. [Online].

Tersedia:http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATI KA/196005011985032ADE_ROHAYATI/CTL_dalam__Pembelajaran_M at_untuk_Meningkatkan_Berpikir_Krit.pdf[16 September 2012]

Ruseffendi, E. T. (1998). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E. T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E. T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Sastrosudirjo, S. (1988). Hubungan Kemampuan Penalaran dan Prestasi Belajar untuk Siswa SMP. Yogyakarta: Jurnal Kependidikan Nomor 1 Tahun ke-18 IKIP Yogyakarta.

Shurter, R. L. Dan Pierce, J. R. (1966). Critical Thinking. New York: Mc Graw Hill Inc.

Sugiyono. (2010). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Suherman, dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA FPMIPA UPI.

Suherman, E. (2003). Individual Text Book; Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: JICA FPMIPA.

Sukadijo, G.R. (1999). Logika Dasar Tradisional, Simbolik dan Induktif. Jakarta: Gramedia


(6)

Sumarmo, U. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa SMA Dikaitkan dengan Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi Doktor pada PPS IKIP Bandung Press: Tidak Diterbitkan.

Sumintono, B. (2009). Pembelajaran Lanjutan dengan Teori Kontruktivis. [Online]. Tesedia: http://netsains.com/2009/02/pembelajaran-lanjutan-dengan-teori-konstruktivis/. [25 Januari 2010]

Tedjaningrum, D. (2010). Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Model Learning Cycle dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMA. Skripsi. UPI. Tidak diterbitkan.

Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika Calon Guru dan Siswa dalam Mata Pelajaran Matematika. Disertasi Doktor pada PPS IKIP Bandung: Tidak Diterbitkan.

Wardhani, S dan Rumiati. (2011). Instrumen Penilaian Hasil Belajar Matematika SMP: Belajar dari PISA dan TIMSS. Yogyakarta: Kementrian Pendidikan Nasional: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika.

Yulianti, N. (2009). Pengaruh Penerapan Pendekatan Problem Centered (PCL) Terhadap Penalaran Induktif Matematika SMP. Skripsi. UPI. Tidak diterbitkan.