MODEL PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN MULTIKULTURAL BERBASIS KEARIFAN LOKAL :Studi di Perguruan Tinggi Kota Malang.

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Pendidikan Kewarganegaraan (citizenship education) merupakan salah satu instrumen fundamental dalam bingkai pendidikan nasional sebagai media bagi pembentukan karakter bangsa (nation and character building) di tengah heterogenitas atau pluralisme yang menjadi karakteristik utama bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia memiliki ragam perbedaan dan menjadi kekayaan manusia Indonesia. Perbedaan suku, budaya, adat-istiadat, agama, ras, gender, strata sosial dan golongan/aliansi politik sangat jelas melekat dalam diri masyarakat Indonesia. Pluralitas menjadi sebuah realita dan mesti diterima sebagai kekayaan nasional bangsa Indonesia. Di tengah banyak perbedaan tersebut, sebagai suatu kesatuan nasional bangsa Indonesia harus hidup dan bergaul agar integritas nasional tetap terjaga. Implikasi logisnya adalah perlu membangun sikap inklusif, pluralis, toleran dan saling berdampingan dengan cinta dan perdamaian.

Kemajemukan bangsa Indonesia yang langka dimiliki oleh negara lain ini, menjadi modal sosial dengan konstruksi berbasis kearifan lokal (local genius). Heterogenitas bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beradab tersebut tentunya harus dijaga dan dilestarikan sebagai khasanah budaya nasional. Dalam konteks interaksi sosial baik secara horizontal maupun vertikal dalam realita pluralitas tersebut, dibutuhkan instrumen pendidikan yang berkarakter terbuka, inklusif, toleran dan pluralis. Terminologi pendidikan multikultural menjadi istilah yang relevan untuk dikembangkan dalam ranah pendidikan Indonesia sebagai bangsa yang plural.

Menurut Yaqin (2007:25) pendidikan multikultural adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada para siswa seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, kelas sosial, ras, kemampuan dan umur agar proses belajar menjadi efektif dan mudah. Pada konteks ini Pendidikan


(2)

Kewarganegaraan merupakan topik sentral dalam pendidikan multikultural dalam masyarakat yang pluralis seperti Indonesia.

Beberapa alasan yang mendasari penulis akan perlunya model pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan Multikultural berbasis kearifan lokal di perguruan tinggi adalah sebagai berikut.

1. Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Wahana Pendidikan Multikultural Terjadinya konflik yang bernuansa SARA pada beberapa daerah di Indonesia, dari banyak studi yang dilakukan salah satu penyebabnya adalah, akibat dari lemahnya pemahaman dan pemaknaan tentang konsep kearifan budaya lokal masyarakat Indonesia yang multikultural. Konflik sosial akan muncul apabila tidak ada distribusi nilai yang adil kepada masyarakat. Terdapatnya perbedaan ras pada masyarakat menjadi penanda awal yang secara budaya sudah dilabelkan hambatan-hambatannya, yakni prasangka rasial. Prasangka rasial ini sangat sensitif karena melibatkan sikap seseorang ataupun kelompok ras tertentu terhadap ras lain.

Prasangka ini juga bisa muncul oleh situasi sosial, sejarah masa lalu, stereotipe dan etnosentrisme yang menjadi bagian dalam kebudayaan kelompok tertentu. Dengan kata lain dinamika dan perkembangan masyarakat Indonesia kedepan sangat dipengaruhi oleh hubungan-hubungan antar etnis. Dalam konteks Indonesia, pendidikan multikultural menjadi suatu keniscayaan, karena kondisi sosial budaya bangsa dan negara Indonesia yang sangat beragam. Indonesia merupakan negara yang sangat luas dengan jumlah penduduk yang besar dan dengan budaya yang sangat beragam. Sekitar 230 juta penduduk yang tersebar kurang lebih dari 13.000 pulau. Wilayah Indonesia tersusun atas 33 provinsi, 440 kabupaten/kota, 5.263 kecamatan, serta 62.806 desa. Terdapat puluhan suku bangsa dengan adat istiadat yang berbeda, dan lebih dari 660 bahasa daerah yang digunakan oleh penduduk Indonesia yang multikultural.

Pengembangan masyarakat multikultural yang demokratis menjadi kebutuhan bagi bangsa Indonesia yang ditandai oleh kemajemukan (pluralitas) dan keanekaragaman (heterogenitas), karena multikultural pada dasarnya


(3)

menekankan pada kesederajatan kebudayaan yang ada dalam sebuah masyarakat, dan mengusung semangat untuk hidup berdampingan secara damai (peaceful

coexistence) dalam perbedaan kultur yang ada, baik secara individual maupun

secara kelompok dalam sebuah masyarakat. Masyarakat multikultural yang demokratis di Indonesia yang sehat tidak bisa dibangun secara taken for granted atau trial and error, sebaliknya harus diupayakan secara sistematis, programatis,

integrated dan berkesinambungan. Salah satu strategi dan wadahnya adalah

melalui pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan Kewarganegaraan yang di-maksudkan di sini adalah Pendidikan Kewarganegaraan dalam arti luas

(citizenship education) yang memiliki perspektif kewarganegaraan dunia abad

ke-21 yang terkenal dengan sebutan kewarganegaraan multidimensi yang salah satu cirinya memiliki karakteristik multikultural (Cogan, 1998:116).

Pendidikan kewarganegaraan dalam pengertian sebagai citizenship

education, secara substantif dan paedagogis didesain untuk mengembangkan

warganegara yang cerdas dan baik pada semua jalur dan jenjang pendidikan. Sampai saat ini bidang itu sudah menjadi bagian inheren dari instrumentasi serta praksis pendidikan nasional dalam lima status, yaitu: 1) sebagai mata pelajaran di sekolah, 2) sebagai matakuliah di perguruan tinggi, 3) sebagai salah satu cabang pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka program pendidikan guru, 4) sebagai program pendidikan politik yang dikemas dalam bentuk Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Penataran P4) atau sejenisnya yang pernah dikelola oleh pemerintah sebagai suatu crash program, dan 5) sebagai kerangka konseptual dalam bentuk pemikiran individual dan kelompok pakar terkait, yang dikembangkan sebagai landasan dan kerangka berpikir mengenai pendidikan kewarganegaraan dalam status pertama, kedua, ketiga dan keempat (Winataputra dan Budimansyah, 2007: 70).

Hal tersebut selaras dengan pendapat David Kerr (1999: 2) yang menyatakan bahwa pendidikan kewarganegaraan dirumuskan secara luas mencakup proses penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung-jawabnya sebagai warganegara, dan secara khusus, peran pendidikan


(4)

termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran, dan belajar dalam proses penyiapan warganegara tersebut.

Lebih lanjut Kerr (1999: 5-7) mengidentifikasi adanya suatu “citizenship

education continum thin and thick, (minimal and maksimal)”. Menurut

Winataputra dan Budimansyah (2007: 4-5) pada titik minimal Pendidikan Kewarganegaraan didefinisikan secara sempit, hanya mewadahi aspirasi tertentu, berbentuk pengajaran kewarganegaraan, bersifat formal, terikat oleh isi, berorientasi pada pengetahuan, menitikberatkan pada proses pengajaran, hasilnya mudah diukur. Pada titik maksimal didefinisikan secara luas, mewadahi berbagai aspirasi dan melibatkan berbagai unsur masyarakat, kombinasi pendekatan formal dan informal, diberi label “citizenship education”, menitikberatkan pada partisipasi peserta didik melalui pencarian isi dan proses interaktif di dalam maupun diluar kelas, hasilnya lebih sukar dicapai dan diukur karena kompleksnya hasil belajar.

Pendefinisian Pendidikan Kewarganegaraan di atas, senada dengan apa yang dikemukakan oleh Cogan (1999: 4) yang menyatakan bahwa citizenship

education atau education for citizenship digunakan sebagai istilah yang memiliki

pengertian yang lebih luas yang mencakup pengalaman belajar di sekolah dan luar sekolah, seperti rumah, organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, media massa dan lain-lain yang berperan membantu proses totalitas atau keutuhan sebagai warganegara.

Secara konseptual menurut Winataputra dan Budimansyah (2007: 2-3) atribut kewarganegaraan yang baik, yang harus dimiliki oleh seorang warganegara, menyangkut lima ciri utama, yaitu: (1) jati diri, (2) kebebasan untuk menikmati hak tertentu, (3) pemenuhan kewajiban-kewajiban terkait; (4) tingkat minat dan keterlibatan dalam urusan publik; dan (5) pemilikan nilai-nilai dasar kemasyarakatan.

Semua atribut itu pada dasarnya dikembangkan melalui berbagai kelem-bagaan pemerintahan dan non pemerintah, termasuk media massa dengan catatan bahwa hal itu memang sering dilihat sebagai “.... a particular responsibility of the


(5)

school”. Namun demikian dalam arti luas, ditegaskan bahwa “.... citizenship education.... as an important task in all contemporary societies (Cogan, 1998: 3).

Oleh karena itulah studi ini juga merekomendasikan bahwa: “.... future

educational policy must be based upon a conception of what we describe as multidimensional citizenship”, dengan segala implikasinya terhadap semua aspek

pendidikan termasuk “... curriculum and pedagogy, governance and organization,

and school-community relationships” (Cogan, 1998: 11). Semuanya itu hanya

akan bisa dicapai apabila sekolah dan unsur-unsur yang terdapat dalam masyarakat bekerjasama secara sinergis. Dengan kata lain pendidikan kewarganegaraan pada masa mendatang tidak bisa dilihat lagi dan diperlakukan hanya sebagai mata pelajaran di sekolah, tetapi lebih jauh seyogyanya menjadi kegiatan pendidikan yang bersifat komprehensif dalam isi maupun penyelenggaraannya.

Pendidikan Kewarganegaraan merupakan topik sentral dalam pendidikan multikultural dalam masyarakat yang pluralis seperti Indonesia. HAR. Tilaar (2004: 215) mengatakan bahwa tujuan pendidikan kewarganegaraan ialah mengembangkan seseorang sebagai warganegara yang baik (good citizen). Kewarganegaraan erat hubungannya dengan negara atau khususnya dengan identitas nasional (national identity). Pendidikan Kewarganegaraan erat kaitannya dengan pendidikan moral yang didominasi oleh pandangan filsafat Kant, yang sangat rasional dengan mendasarkan pada pure reason. Kemudian dikokohkan oleh filsuf dari Universitas Harvard John Rawls, dalam bukunya “A Theory of

Justice” (2006: 615) yang menyatakan bahwa: moral didasarkan pada kontrak

sosial yang juga berdasarkan pada rasionalitas, otonomi individu, dan universalitas, harkat manusia yang merupakan dasar dari kontrak sosial yang adil. Menurut Winataputra (2008: 30), Indonesia dikonsepsikan dan dibangun sebagai multicultural nation-state dalam konteks negara kebangsaan Indonesia modern, bukan sebagai monocultural nation state. Hal itu dapat dicermati dari dinamika praksis kehidupan bernegara Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sampai saat ini dengan mengacu pada konstitusi yang


(6)

pernah dan sedang berlaku, yakni UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950, serta praksis kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang menjadi dampak langsung dan dampak pengiring dari berlakunya setiap konstitusi serta dampak perkembangan internasional pada setiap jamannya itu.

Lebih lanjut menurut Winataputra (2008: 31) pendidikan kewarganegaraan untuk Indonesia, secara filosofik dan substantif-pedagogis andragogis, merupakan pendidikan untuk memfasilitasi perkembangan pribadi peserta didik agar menjadi warga negara Indonesia yang religius, berkeadaban, berjiwa persatuan Indonesia, demokratis dan bertanggung jawab, dan berkeadilan, serta mampu hidup secara harmonis dalam konteks multikulturalisme - Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam konteks yang demikian, Pendidikan Kewarganegaraan memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan masyarakat multikultural. Hal ini sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang menyatakan bahwa:

Pendidikan Kewarganegaraan merupakan nama mata pelajaran wajib untuk kurikulum pendidikan dasar dan menengah dan matakuliah wajib untuk kurikulum pendidikan tinggi (Pasal 37 UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003)

Dalam bagian penjelasan pasal 37 dinyatakan lebih lanjut bahwa:

Pendidikan Kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.

Menurut Budimansyah dan Suryadi (2008:31) Pendidikan Kewargane-garaan yang berperan penting dalam pendidikan multikultural mempersiapkan peserta didik menjadi warganegara yang memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia. Hal ini sejalan dengan pandangan Banks (Tilaar, 2004: 132) yang menyatakan terdapat lima dimensi yang terkait dengan pendidikan multikultural, yaitu:

1) content integration, mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk

mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/ disiplin ilmu;


(7)

2) the knowledge construction process, membawa mahasiswa untuk memahami

implikasi budaya ke dalam semua mata pelajaran (disiplin);

3) an equity paedagogy, menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar

mahasiswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik mahasiswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial;

4) prejudice reduction, mengidentifikasi karakteristik ras mahasiswa dan

menentukan metode pengajaran mereka; dan

5) empowering school culture, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam

kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staf dan mahasiswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.

Warganegara multikultural adalah sosok warganegara yang memiliki karakteristik multikultural yang diharapkan dimiliki oleh warganegara pada abad ke-21. Berdasarkan karakteristik warganegara abad ke-21 yang dikemukakan oleh Cogan (1998:116) yang juga sebagai ciri dari warganegara multikultural ditandai oleh: (1) kemampuan mengenal dan mendekati masalah sebagai warga masyarakat global; (2) kemampuan bekerjasama dengan orang lain dan memikul tanggung jawab atas peran atau kewajibannya dalam masyarakat; (3) kemampuan untuk

memahami, menerima, dan menghormati perbedaan-perbedaan budaya; (4) kemampuan berpikir kritis dan sistematis; (5) kemampuan menyelesaikan

konflik dengan cara damai tanpa kekerasan; (6) kemampuan mengubah gaya hidup dan pola makanan pokok yang sudah biasa guna melindungi lingkungan; (7) memiliki kepekaan terhadap dan mempertahankan hak asasi manusia (seperti hak kaum wanita, minoritas etnis, dsb), dan (8) kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan politik pada tingkatan pemerintahan lokal, nasional, dan internasional.

Pemahaman sebagai warganegara multikultural sangat penting dimiliki sebagai wahana untuk memahami lebih luas mengenai masyarakat multikultural Indonesia. Masyarakat multikultural Indonesia dipahami sebagai sebuah masyarakat yang berdasarkan pada prinsip Bhinneka Tunggal Ika yang melandasi


(8)

corak struktur masyarakat Indonesia pada tingkat nasional dan lokal (Suparlan, 2001:12).

Dimensi kewarganegaraan di atas, menjadi acuan untuk mengembangkan kompetensi yang semestinya dimiliki oleh warga negara atau masyarakat multikultural seperti Indonesia. Kompetensi kewarganegaraan menurut Branson (1998:16) terdiri atas tiga komponen penting, yaitu :

(1) Civic Knowledge (pengetahuan kewarganegaraan) yang berkaitan dengan

kandungan apa yang seharusnya diketahui oleh warga negara;

(2) Civic Skill (ketrampilan kewarganegaraan) meliputi kecakapan intelektual dan

partisipatoris warga negara yang relevan;

(3) Civic Disposition (watak kewarganegaraan) yang mengisyaratkan pada

karakter publik maupun privat yang penting bagi pemeliharaan dan pengembangan demokrasi konstisusional.

Alasan yang paling urgen yang mendasari perlunya pembelajaran PKn berbasis multikulturalisme dan kearifan lokal antara lain adalah sebagai berikut.

Kenyataan praksis di lapangan pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi yang merupakan ujung tombak dan bagian dari proses membangun cara hidup multikultural untuk memperkuat wawasan kebangsaan dan penghargaan akan keragaman justru belum menggembirakan, mulai kehilangan dimensi multikulturalnya, bahkan kehilangan aktualisasinya karena terjebak pada penguasaan pengetahuan (knowledge) belaka dengan membiarkan aspek afeksi

(attitude) pendidikannya. Pembelajaran PKn umumnya dilakukan secara parsial

dan tidak mengakomodir nilai-nilai multikulturalisme dan kearifan lokal masyarakat setempat. Padahal seharusnya PKn sebagai wahana pendidikan multikultural dapat mengembangkannya secara lebih sistematis dan komprehensif. Terminologi multikulturalisme menurut Stavenhagen (1986: 115) mengandung dua pengertian. Pertama, ia merupakan realitas sosial dalam masyarakat yang majemuk. Jandt (1998: 419) berpendapat sebanyak 95 % negara di dunia pada dasarnya adalah multikultural karena secara etnis dan budaya bersifat heterogen. Ia selanjutnya memberikan contoh-contohnya bahwa, Amerika


(9)

Serikat, India, RRC, Indonesia, adalah negara-negara berpenduduk banyak yang memiliki diversitas etnik dan budaya yang heterogen serta luas wilayahnya. Keragaman etnik/budaya itu dalam kenyataannya tidak selalu diterima oleh kelompok mayoritas atau pemerintah yang berkuasa sebagai realitas sosial yang perlu dipelihara. Bias sosial inilah yang perlu diluruskan bahwa dalam pengertian yang kedua; multikulturalisme berarti keyakinan atau kebijakan yang menghargai pluralisme budaya sebagai khasanah kebudayaan yang diakui dan dihormati keberadaannya (Suparlan, 2003: 31; Beiner, 1995: 115). Jadi, kata kunci dalam multikulturalisme ini adalah “perbedaan” dan “penghargaan”, dua kata yang selama ini sering dikonfrontasikan (Supardan, 2004: 7-8).

Blum (2001: 2) mengemukakan, melalui pembelajaran multikuturalisme pada diri mahasiswa itu akan muncul

… pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, dan sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Ia meliputi sebuah penilaian terhadap kebudayaan-kebudayaan orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari kebudayaan-kebudayaan tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana kebudayaan tertentu dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri.

Dalam konteks ini, maka PKn sebagai bagian pembelajaran dan pendidikan multikultural di perguruan tinggi dipandang sangat penting diku-kuhkan eksistensinya, untuk menjawab persoalan yang ada dengan melakukan revitalisasi dan rekonstruksi kurikulum serta sistem perkuliahan yang ada dengan mengakomodir ide-ide multikulturalisme, demokratis, humanistik dan toleransi terhadap keragaman masyarakat Indonesia.

2. Kearifan Lokal dalam Wacana Pendidikan Multikultural

Kearifan lokal merupakan bagian dari konstruksi budaya. Haba, (2007: 330) mengatakan bahwa kearifan lokal mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat yang dikenal, dipercayai dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di antara warga masyarakat.


(10)

Berdasarkan inventarisasi Haba (2007: 334-335) setidaknya ada enam signifikansi serta fungsi kearifan lokal jika hendak dimanfaatkan sebagai salah satu bentuk pendekatan dalam menyelesaikan sebuah konflik. Pertama, sebagai penanda identitas sebuah komunitas. Kedua, elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama dan kepercayaan. Ketiga, kearifan lokal tidak bersifat memaksa atau dari atas (top down), tetapi sebuah unsur kultural yang ada dan hidup dalam masyarakat. Karena itu, daya ikatnya lebih mengena dan bertahan.

Keempat, kearifan lokal memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas. Kelima, local wisdom akan mengubah pola pikir, dan hubungan timbal balik

individu dan kelompok, dengan meletakkannya di atas commond ground/ kebudayaan yang dimiliki. Keenam, kearifan lokal dapat berfungsi mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi sekaligus sebuah mekanisme bersama untuk menepis berbagai kemungkinan yang meredusir, bahkan merusak, solidaritas komunal, yang dipercayai berasal dan tumbuh di atas kesadaran bersama, dari sebuah komunitas terintegrasi.

Keenam fungsi kearifan lokal yang diuraikan di atas, menegaskan pentingnya pendekatan yang berbasis pada nilai-nilai atau kearifan lokal (local

wisdom), dimana sumber-sumber budaya menjadi penanda identitas bagi

kelangsungan hidup sebuah kelompok maupun aliran kepercayaan. Konflik multikultural yang menyertainya pun juga akan mampu dikelola secara arif dan tidak selalu melibatkan politik kekuasaan sebagaimana yang selama ini dipraktikkan melalui hubungan agama dan negara di Indonesia. Menurut Abdullah (2003: 8) dalam konteks ini perlu adanya transformasi ruang dari pendekatan “dari luar” (global) ke pendekatan “dari dalam” (lokal) dimana dinamika konflik antara agama dan kepercayaan serupa, dengan menyandarkan pada nilai-nilai lokal (local

values).

Motto Bhineka Tunggal Ika sebenarnya mengakomodasi atas keragaman dalam masyarakat bangsa Indonesia dalam suku, ras, bahasa, adat istiadat, dan agama. Ironisnnya keragaman dalam kesatuan budaya bangsa dalam perjalanan kemerdekaan negara dan bangsa lebih ditekankan pada aspek kesamaan untuk


(11)

membentuk solidaritas bangsa. Implikasinya, budaya lokal yang kaya dengan perbedaan banyak mengalami erosi atau pengikisan baik secara kuantitas mapun kualitas terutama penggunaan bahasa daerah mengalami kemunduran maupun kehilangan daya gunanya secara pragmatik (Wiriaatmadja, 2002: 221).

Pengembangan nilai-nilai budaya lokal dan primordial seperti stereotipe, etnosentrisme dan sebagainya, memang dapat menimbulkan perpecahan yang berbahaya. Tetapi konsep primordialisme itu sendiri memerlukan kajian yang lebih proporsional. Adanya ikatan “lokal-tradisional”, sering dirasakan sebagai suatu realitas sosial-kultural itu diperlukan sebagai pengisi identitas diri dan kelompoknya yang terasa hampa, memerlukan keakraban karena lebih bersifat naturalistik dan bukan rekayasa. Apalagi akibat proses globalisasi, kita sering terasa “sepi” dan memerlukan ikatan komunitas lama yang akrab (Abdullah, 1999: 19). Itulah sebabnya pada batas tertentu yang relevan, bisa dipahami kemunculan gerakan-gerakan indigenous people yang telah marak terjadi di banyak negara. Gerakan indigenous people ini, seperti gerakan Quebec di Kanada maupun etnis Kurdi di Timur Tengah.

Hal senada juga diungkapkan oleh Adimihardja (2008: 72) yang menyatakan bahwa kearifan lokal secara dominan masih diwarnai nilai-nilai adat, seperti bagaiamana suatu kelompok sosial melakukan prinsip-prinsip konservasi, manajemen dan eksploitasi sumber daya alam. Perwujudan bentuk kearifan lokal yang merupakan pencerminan dari sistem pengetahuan yang bersumber pada nilai budaya di berbagai daerah di Indonesia, memang sudah banyak yang hilang dari ingatan komunitasnya. Namun, di sebagian kalangan komunitas itu walaupun sudah tidak lengkap lagi atau telah berakulturasi dengan pengetahuan baru dari luar, masih tampak ciri-ciri khasnya dan masih berfungsi sebagai pedoman hidup masyarakat.

Setiap komunitas (etnis, agama, daerah) pasti memiliki nilai-nilai luhur tertentu yang dipandang baik serta dijadikan aturan dan norma sosial. Nilai-nilai ini selanjutnya mengikat masyarakat dalam sebuah komunitas dan menjamin mereka untuk hidup dengan damai, harmonis, bersahabat, saling menghargai dan


(12)

menghormati, saling membantu satu sama lain. Kenyataan ini mesti disadari sebagai salah satu kekuatan alamiah yang tumbuh dari dan untuk masyarakat itu sendiri. Karenanya, kekuatan ini sangat baik dan penting untuk diperkuat kembali posisinya dalam rangka mewujudkan kedamaian dalam hubungan sosial, di samping penegakan hukum positif dan managemen penyelenggaraan pemerin-tahan nasional.

Mengingat begitu penting dan strategisnya nilai kearifan lokal dalam pembangunan bangsa, maka sangat wajar apabila dalam penelitian ini pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana pendidikan multikultural difokuskan pada penggalian nilai-nilai kearifan lokal yang hidup di dalam masyarakat dan budaya Indonesia yang berbhinneka tunggal ika.

3. Mahasiswa dan Gerakan Multikulturalisme Pasca Reformasi

Gerakan mahasiswa 1998 tidak bisa dipisahkan dari wacana dan gerakan multikural. Gerakan multikulturalisme di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kaum muda dan mahasiswa. Di zaman pergerakan, kesadaran multikultural itu telah dimulai dengan diadakannya Sumpah Pemuda oleh kaum muda dan mahasiswa yang berasal dari berbagai macam organisasi pemuda kedaerahan seperti Jong Java, Jong Sumatra, Jong Bali, Jong Borneo dan organisasi kepemudaan lainnya. Kesadaran kemerdekaan justru muncul dan meluas dengan adanya gerakan kebhinekaan tersebut. Mahasiswa, sebagai elemen rakyat yang memiliki kesempatan untuk menikmati akses informasi dan ilmu pengetahuan dalam lembaga pendidikan tinggi, merupakan kalangan yang bisa dikatakan paling kedap pada propaganda anti demokrasi (monoculturalisme) rezim.

Perguruan tinggi dan lembaga pendidikan adalah tempat persemaian wacana multikulturalisme dan demokrasi. Strategi taktik pendidikan multikul-turalisme diabdikan untuk menciptakan generasi-generasi yang sadar akan keragaman budaya, di samping memberikan landasan teoretik untuk mencari sebab-sebab konflik dan kekerasan yang bersinggungan dengan keragaman itu.

Gelombang demokratisasi di Indonesia yang bertiup kencang sejak awal 1990-an juga menambah semangat demokrasi dan kesadaran akan pentingnya


(13)

pluralitas. Di satu sisi, kesadaran mahasiswa juga dibentuk oleh pengalaman empiris dalam kehidupan mereka di kampus, tempat mahasiswa mengenal kenyataan perbedaan secara nyata. Kampus dan lingkungan mereka adalah tempat dimana orang-orang yang datang dari berbagai tempat, asal-usul, dan latar belakang, baik suku, ras, agama, kepercayaan, bahkan bahasa. Pengetahuan yang didapatkan mereka juga sangat memungkinkan bagi mereka untuk melihat persoalan hubungan sosial secara objektif, tanpa prasangka dan subjektivitas.

Adapun alasan mengapa saat ini diperlukan pengembangan kewar-ganegaraan multikultural, menurut Kalantzis (2000:12) dan Kalidjernih (2007: 21) bahwa : Kewarganegaraan multikultural merupakan cara yang paling efektif untuk menegosiasikan keanekaragaman guna menghasilkan integritas sosial atau menyatukan segala hal. Kewarganegaraan multikultural merupakan sebuah pandangan ke luar, pendekatan internasionalis terhadap dunia untuk memperta-hankan kepentingan nasional. Untuk menggapai hal ini, perlu dibangun pluralisme sipil (civic pluralisme) yang menawarkan kemungkinan dari pengertian pasca-nasionalis yang riil dari tujuan bersama. Untuk itu diperlukan ilmu politik yang kuat tentang kultur untuk menegosiasi perbedaan lokal dan global.

Alasan dipilihnya perguruan tinggi sebagai tempat atau setting pengembangan pendidikan kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal, dikarenakan pendidikan tinggi atau perguruan tinggi mempunyai peranan yang sangat besar dalam proses pembinaan pluralisme bangsa ke arah persatuan bangsa Indonesia untuk mencapai cita-cita reformasi, yaitu kesejahteraan rakyat Indonesia yang bebas dari kemiskinan dan bebas dari berbagai jenis tekanan

(oppresive) dalam suatu masyarakat yang adil damai dan sejahtera. Fakta sejarah

membuktikan bahwa para pemuda yang kebanyakan adalah para mahasiswa perguruan tinggi yang telah mencetuskan Sumpah Pemuda 1928 menunjukkan betapa pendidikan tinggi memainkan peranan di dalam mewujudkan dan mengembangkan apa yang disebut imagined community yang dicita-citakan oleh Bangsa Indonesia. Para intelektual tersebut telah mengembangkan arti pendidikan multikultural di dalam perjuangan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan.


(14)

Berangkat dari kerangka konseptual, fakta empiris dan keresahan-keresahan yang dirasakan penulis di atas, maka dipandang sangat urgen dan rasional apabila penulis tertarik untuk meneliti masalah : Bagaimana Model Pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan Multikultural Berbasis Kearifan Lokal di Perguruan Tinggi ? dan menyusunnya dalam sebuah disertasi.

B.Identifikasi dan Rumusan Masalah

Penulis setelah memahami uraian latar belakang di atas, melihat bahwa persoalan utama dalam pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi adalah pada belum adanya model pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan yang dapat meningkatkan kompetensi multikultural mahasiswa dan begitu rendahnya kesadaran multikultural warga negara yang dibangun atas dasar nilai-nilai kearifan lokal dalam fenomena sosial pasca reformasi sebagai upaya memperkokoh integrasi bangsa dalam konsepsi Bhinneka tunggal ika.

Rumusan masalah yang dapat penulis kemukakan adalah sebagai berikut:

“Bagaimanakah Model Pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan Multikul-tural Berbasis Kearifan Lokal di Perguruan Tinggi ?”

Rumusan masalah yang bersifat makro tersebut, kemudian penulis rinci dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi pembelajaran pendidikan kewarganegaraan yang berlang-sung di perguruan tinggi selama ini?

a. Bagaimanakah kondisi pembelajaran pendidikan kewarganegaraan yang diterapkan di perguruan tinggi selama ini?

b. Bagaimanakah kondisi kompetensi kewarganegaraan (civic knowledge, civic

skills dan civic disposition) multikultural mahasiswa yang menempuh mata

kuliah Pendidikan Kewarganegaraan selama ini?

c. Bagaimanakah aktivitas dan motivasi mahasiswa dalam perkuliahan pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi selama ini?


(15)

2. Bagaimanakah desain model konseptual pengembangan pendidikan kewarga-negaraan multikultural berbasis kearifan lokal di perguruan tinggi?

a. Bagaimanakah desain perencanaan model pengembangan pendidikan kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal di perguruan tinggi yang dapat mengembangkan kompetensi kewarganegaraan multikultural mahasiswa?

b. Bagaimanakah desain pelaksanaan model pengembangan pendidikan kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal di perguruan tinggi yang dapat mengembangkan kompetensi kewarganegaraan multikultural mahasiswa?

c. Bagaimanakah desain evaluasi model pengembangan pendidikan kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal di perguruan tinggi yang dapat mengembangkan kompetensi kewarganegaraan multikultural mahasiswa?

3. Bagaimanakah efektivitas penerapan model pengembangan pendidikan kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal di perguruan tinggi dibandingkan dengan pembelajaran konvensional?

a. Bagaimanakah efektivitas penerapan model pengembangan pendidikan kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal di perguruan tinggi terhadap kompetensi kewarganegaraan multikultural mahasiswa? b. Bagaimana pengaruh penerapan model pengembangan pendidikan

kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal di perguruan tinggi terhadap motivasi belajar Pendidikan Kewarganegaraan maha-siswa dan dampak pengiring (nurturant effect) lainnya?


(16)

Bagan peta permasalahan nampak dalam bagan 1.1 sebagai berikut:

Bagan 1.1 Peta Permasalahan

Hal inilah yang menarik bagi peneliti sehingga permasalahan ini diangkat menjadi fokus dan sub masalah tema pembahasan disertasi. Penelitian ini diharapkan dapat menemukan data-data dan fakta yang menjelaskan kerangka konseptual Model Pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan Multikultural Berbasis Kearifan Lokal di Perguruan Tinggi. Dengan demikian perkuliahan PKn di perguruan tinggi Indonesia dapat berjalan optimal dan kontekstual sesuai dengan tuntutan perkembangan

KENYATAAN HARAPAN

Masyarakat Indonesia Multikultural (multisuku bangsa dan multibudaya)

Masyarakat Multi-kultural – demokratis -

berkeadaban

PERMASATAHAN

Konflik etnik secara vertikal maupun horizontal

PKn di PT belum bersifat multikultural

Diharapkan PKn PT bersifat multikultural berbasis kearifan lokal yang:

1.memiliki landasan sosiologis-psiko-logis –paedagogis yang jelas; 2.mencerminkan dan

mengakomodir ke-majemukan masya-rakat Indonesia berbasis kearifan lokal;

3.menggunakan mo-del pembelajaran inkuiri sosial dan demokratis (project citizen)

4.Mengembangkan watak &kompetensi KN Multikultural

Wacana dan watak KN Multikultural belum

menjadi roh dalam pengembangan PKn di PT

PKn Multikultural di PT dapat dikembangkan dari


(17)

masyarakat Indonesia yang tercermin dalam civic virtue (kebajikan warganegara) dan budi pekerti manusia.

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan menemukan atau menghasilkan model pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal di perguruan tinggi yang dapat meningkatkan kompetensi kewarganegaraan multikultural mahasiswa.

2. Tujuan Khusus

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk :

a. Memahami kenyataan dan kondisi yang ada dalam perkuliahan pendidikan kewarganegaraan yang berlangsung di perguruan tinggi selama ini, yang meliputi:

1) Kondisi pembelajaran pendidikan kewarganegaraan yang diterapkan di perguruan tinggi selama ini.

2) Kondisi kompetensi kewarganegaraan (civic knowledge, civic skills

dan civic disposition) multikultural mahasiswa yang menempuh mata

kuliah Pendidikan Kewarganegaraan selama ini.

3) Aktivitas dan motivasi mahasiswa dalam perkuliahan pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi selama ini.

b. Menemukan desain model konseptual pengembangan pendidikan kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal di perguruan tinggi yang dapat meningkatkan kompetensi kewarganegaraan multikultural mahasiswa, yang meliputi:

1) Desain perencanaan model pengembangan pendidikan kewarganega-raan multikultural berbasis kearifan lokal di perguruan tinggi yang dapat mengembangkan kompetensi kewarganegaraan multikultural mahasiswa.


(18)

2) Desain pelaksanaan model pengembangan pendidikan kewarganega-raan multikultural berbasis kearifan lokal di perguruan tinggi yang dapat mengembangkan kompetensi kewarganegaraan multikultural mahasiswa.

3) Desain evaluasi model pengembangan pendidikan kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal di perguruan tinggi yang dapat mengembangkan kompetensi kewarganegaraan multikultural maha-siswa.

c. Menemukan efektivitas penerapan model pengembangan pendidikan kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal di perguruan tinggi dibandingkan dengan pembelajaran konvensional, yang meliputi :

1) Efektivitas penerapan model pengembangan Pendidikan Kewargane-garaan multikultural berbasis kearifan lokal di perguruan tinggi terhadap kompetensi kewarganegaraan multikultural mahasiswa. 2) Pengaruh penerapan model pengembangan Pendidikan

Kewargane-garaan multikultural berbasis kearifan lokal di perguruan tinggi terhadap motivasi belajar PKn mahasiswa dan dampak pengiring (nurturant effect) lainnya.

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian 1. Signifikansi Penelitian

Model pengembangan pendidikan kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal yang dikembangkan di perguruan tinggi ini signifikan dengan upaya pemerintah dan tiap lembaga pendidikan untuk memikirkan dan mengembangkan model pembelajaran yang efektif dan inovatif. Pemerintah dan lembaga pendidikan perlu menanamkan nilai-nilai multikultural agar mahasiswa secara terdidik menjadi manusia yang cerdas dan demokratis melalui pengembangan model pembelajaran yang efektif dan inovatif. Model pembelajaran yang inovatif adalah model yang memfasilitasi mahasiswa untuk terlibat atau mengalami kemudian menyusun lembali pengalaman atau pengeta-huannya, bukan menghafal. Hal itu signifikan dengan amanat Undang-Undang


(19)

Sistem Pendidikan Nasional, yaitu tujuan pendidikan nasional adalah membantu anak didik menjadi manusia yang demokratis yang memiliki rasa kemasyarakatan dan kebangsaaan.

2. Manfaat Penelitian

Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, peneliti juga berharap penelitian ini dapat memberi manfaat baik secara keilmuan (teoretik) maupun secara empirik (praktis), khususnya bagi peneliti dan umumnya bagi pembaca.

a. Manfaat Teoretis

Secara teoretik, temuan penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat dan kontribusi masukan yang berupa prinsip dan dalil untuk pengem-bangan Pendidikan Kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal, yang akan menghasilkan kerangka dasar secara konseptual teoretis bagi perkuliahan Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan tinggi dalam arti luas dalam suatu masyarakat (social – cultural citizenship) yang dibutuhkan bagi pengembangan watak dan budaya kewarganegaraan yang baik di abad 21 yang salah satu cirinya adalah bersifat multikultural. Selanjutnya temuan penelitian ini juga dapat digunakan sebagai landasan pengembangan model pembelajaran PKn, baik di jenjang persekolahan maupun perguruan tinggi.

b. Manfaat Praktis

Temuan penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan manfaat praktis bagi beberapa pihak, antara lain:

1) Bagi penentu kebijakan dan pengembang kurikulum PKn temuan penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan rekomendasi bagi pengembangan kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah maupun perguruan tinggi yang sumber materinya bermuatan multikultural dan berbasis nilai-nilai kearifan lokal dari budaya yang berkembang dalam masyarakat Indonesia.


(20)

2) Bagi dosen/guru PKn selaku praktisi Pendidikan Kewarganegaraan di lingkungan perguruan tinggi/persekolahan, temuan penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan rujukan untuk merancang, dan melaksanakan proses pembelajaran PKn yang bermakna dan menyenangkan di lingkungan perguruan tinggi dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan kewarganegaraan melalui pengintegrasian nilai multikultural berbasis kearifan lokal dalam proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.

3) Bagi mahasiswa, temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kesempatan dan pengalaman berharga bagi keterlibatannya dalam mewujudkan wawasan kebangsaan dan cinta tanah air melalui mata kuliah PKn di perguruan tinggi.

4) Bagi pakar PKn, temuan penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi dan rujukan dalam mengembangkan paradigma dan model pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan multikultural yang sumbernya diangkat dari nilai kearifan budaya lokal.

5) Bagi masyarakat/komunitas PKn, temuan penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi program sosialisasi dan desimenasi nilai-nilai multikultural berbasis kearifan lokal melalui proses pendidikan di semua jenis dan jenjang pendidikan.

E. Asumsi dan Hipotesis Penelitian 1. Asumsi Penelitian

Penelitian ini dilakukan atas dasar asumsi sebagai berikut:

a. Pendidikan kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal dikembangkan dengan berdasarkan pada gagasan filosofis tentang kebebasan, keadilan, kesederajatan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia. Pendidikan dan pembelajaran multikultural berbasis kearifan lokal dibangun atas dasar konsep pendidikan untuk kebebasan dengan tujuan untuk: 1) membantu mahasiswa mengembangkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan untuk berpartisipasi di dalam demokrasi dan


(21)

kebebasan masyarakat, 2) memajukan kebebasan, kecakapan, ketrampilan terhadap lintas batas-batas etnik dan budaya untuk berpartisipasi dalam beberapa kelompok dan budaya orang lain.

b. Pengembangan kewarganegaraan multikultural menjadi kebutuhan bagi bangsa Indonesia yang ditandai oleh kemajemukan (pluralitas) dan keanekaragaman (heterogenitas), sebab multikultural pada dasarnya menekankan pada kesederajatan kebudayaan yang ada dalam sebuah masyarakat, dan mengusung semangat untuk hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence) dalam perbedaan kultur yang ada baik secara individual maupun secara kelompok dan masyarakat.

c. Konsep dasar pengembangan model pendidikan kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal, dilakukan melalui berbagai kegiatan, yaitu:

1) Pertama, reformasi kurikulum, yaitu diperlukan suatu teori kurikulum

yang baru antara lain yang berisi analisis historis yang termasuk di dalamnya analisis buku-buku pelajaran yang tidak sesuai dengan pluralisme budaya (multikulturalisme berbasis kearifan lokal).

2) Kedua, muatan isinya diambilkan dari nilai-nilai kearifan lokal yang

berkembang dalam masyarakat (mengakomodir nilai-nilai etnisitas dan

local wisdom) serta harmonisasi dan kolaborasi dengan nilai-nilai

kosmopolitan (cosmopolitan virtue) pada masyarakat dunia yang global dan universal.

3) Ketiga, mengajarkan prinsip-prinsip keadilan sosial, juga dalam hal ini

diperlukan aksi-aksi budaya atau social action untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan ras, baik dalam budaya-budaya yang tingkat tinggi maupun dalam budaya populer dengan melihat struktur demokrasi masyarakat.

4) Keempat, mengembangkan kompetensi multikultural, meliputi pengembangan identitas etnis dan subetnis melalui kegiatan-kegiatan


(22)

kebudayaan, serta pemberantasan berbagai prasangka yang buruk dan menjauhkan nilai-nilai negatif dari suatu kelompok etnis.

5) Kelima, melaksanakan pedagogik kesetaraan (equality pedagogik) yang

dilakukan dikampus misalnya dalam cara belajar mengajar yang tidak menyinggung perasaan atau tradisi suatu kelompok tertentu, meminimalisir praktik budaya kampus yang membedakan antara perempuan dan laki-laki.

d. Kompetensi kewarganegaraan (civic knowledge, civic skills, dan civic

disposition) sebagai produk dari pembelajaran Pendidikan

Kewarga-negaraan bukanlah sesuatu yang secara tiba-tiba terbentuk dengan sendirinya, tetapi melalui proses pembelajaran yang bermakna bagi para mahasiswa. Pembelajaran yang bermakna tersebut terwadahi dalam bentuk perkuliahan yang menggunakan model pembelajaran yang efektif dan inovatif dengan metode inkuiri sosial dan project citizen. Asumsi ini digunakan untuk menempatkan model pembelajaran yang efektif dan inovatif dengan metode inkuiri sosial dan project citizen sebagai variabel yang mempengaruhi pencapaian kompetensi kewarganegaran mahasiswa. e. Penggunaan model pendidikan kewarganegaraan multikultural berbasis

kearifan lokal dapat meningkatkan kualitas hasil belajar dan kompetensi kewarganegaraan multikultural mahasiswa.

2. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan dan asumsi penelitian di atas, maka hipotesis penelitian yang perlu disusun dalam penelitian ini adalah berkaitan dengan rumusan masalah yang ketiga (3.a dan 3.b) yang berkaitan dengan masalah efektivitas (keampuhan) model dan pengaruh implementasi model terhadap motivasi belajar Pendidikan Kewarganegaraan mahasiswa serta dampak pengiring (nurturant effect) lainnya.


(23)

a. Perkuliahan pendidikan kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal efektif untuk meningkatkan kompetensi kewarganegaraan multi-kultural pada mahasiswa di perguruan tinggi.

b. Ada pengaruh yang positif pada implementasi model pembelajaran yang dikembangkan terhadap motivasi belajar Pendidikan Kewarganegaraan mahasiswa dan dampak pengiring (nurturant effect) lainnya.

F. Definisi Operasional Variabel

Penulis sebelum mengemukakan definisi operasional, ada baiknya penulis kemukakan terlebih dahulu pengertian definisi konsep dan dilanjutkan dengan definisi operasional variabel. Dalam judul penelitian ini, terdapat 4 (empat) konsep istilah yang perlu dijelaskan berkaitan dengan variabel yaitu:1. Model Pengembangan 2. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi, 3. Pengem-bangan Kewarganegaraan Multikultural, 4. Berbasis Kearifan Lokal.

1. Model Pengembangan

Ada dua istilah yang perlu dijelaskan dalam lingkup ini, yaitu: Model dan Pengembangan. Model ialah sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam melakukan sebuah kegiatan. Pengembangan adalah sebuah proses perbaikan kualitas pembelajaran. Dengan demikian model pengembangan dalam konteks ini didefinisikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam rangka memperbaiki kualitas pembelajaran.

2. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi

Terdapat dua istilah teknis yang dapat diterjemahkan menjadi Pendidikan Kewarganegaraan, yakni Civic Education dan Citizenship Education. Cogan (1999:4) mengartikan Civic Educatian sebagai “…the foundation course work in

school designed to prepare young citizens for an active role in their communities in their adult lives” atau suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang


(24)

untuk mempersiapkan warganegara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakat.

Sedangkan Citizenship Education atau Education for Citizenship oleh Cogan (1999:4) digunakan sebagai istilah yang memiliki pengertian yang lebih luas yang mencakup “…both these in school experiencess as well as out of school

or non formal/informal learning which takes place in the family, the religious organization, community organizations, the media, etc which help to shape the totality of the citizen”. Atau sebagai pengalaman belajar di sekolah dan luar

sekolah seperti rumah, dalam organisasi keagamaan, dalam organisasi kemasyarakatan, melalui media massa dan lain-lain yang berperan membantu proses pembentukan totalitas atau keutuhan sebagai warganegara. Dalam penelitian ini, istilah Pendidikan Kewarganegaraan pada dasarnya digunakan dalam pengertian sebagai citizenship education.

Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Pendidikan Kewarganegaraan merupakan pendidikan yang wajib diberikan di semua jenjang pendidikan termasuk jenjang pendidikan tinggi. Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi sekarang ini diwujudkan dengan matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 267/Dikti/ Kep/2000 tentang Penyempurnaan Kurikulum Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Selanjutnya dengan landasan Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/2002 tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. Kemudian terakhir diperbaharui kembali dengan Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006 tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. Sesuai dengan SK Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006 di atas, bahan kajian PKn di Perguruan Tinggi meliputi 8 (delapan) hal, yaitu : 1) Filsafat Pancasila, 2) Identitas Nasional, 3) Hak dan Kewajiban Warga Negara, 4) Negara dan Konstitusi, 5) Demokrasi Indonesia, 6)


(25)

Hak Asasi Manusia dan Rule of Law, 7) Geopolitik Indonesia dan 8) Geostrategi Indonesia.

3. Pengembangan Kewarganegaraan Multikultural

Kewarganegaran multikultural (multicultural citizenship) adalah salah satu bentuk kewarganegaraan yang dihubungkan dengan individu-individu dan kelompok-kelompok khusus yang mengacu kepada klaim bagi keikutsertaan (inculsion) dan kepemilikan (belonging) dalam komunitas politik.

Alasan mengapa diperlukan Pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan multikultural? Menurut Kalantzis (2000) dalam Kalidjernih (2007:21) dikatakan bahwa: Pengembangan kewarganegaraan multikultural merupakan cara yang paling efektif untuk menegosiasikan keanekaragaman guna menghasilkan integritas sosial atau menyatukan segala hal. Kewarganegaraan multikultural merupakan sebuah pandangan ke luar, pendekatan internasionalis terhadap dunia untuk mempertahankan kepentingan nasional. Untuk menggapai hal ini, perlu dibangun pluralisme sipil (civic pluralisme) yang menawarkan kemungkinan dari pengertian pascanasionalis yang riil dari tujuan bersama. Untuk itu diperlukan ilmu politik yang kuat tentang kultur untuk menegosiasi perbedaan lokal dan global.

4. Berbasis Kearifan Lokal

Ada dua istilah yang perlu di jelaskan dalam hal ini, yaitu “berbasis” dan “kearifan lokal”. Menurut kamus, basis berarti asas atau dasar. Berbasis dapat dimaknai sebagai berdasar. Kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya (Sartini, 2004: 111).

Haba (2007:330) menyatakan bahwa kearifan lokal merupakan bagian dari konstruksi budaya. Kearifan lokal mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan merupakan elemen penting untuk memperkuat kohesi sosial di antara warga masyarakat.


(26)

Karakteristik kearifan lokal yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kolaborasi dan sinergi dari pendapatnya Habba (2007), Moendardjito (1986) dan Alwasilah (2008) yang bercirikan sebagai berikut:

a. sebagai penanda identitas, perekat kohesi sosial dan kebersamaan sebuah komunitas.

b. terbentuknya berdasarkan pengalaman, secara evolusioner dan sangat terkait dengan sistem kepercayaan.

c. memiliki kemampuan mengendalikan, mengakomodasikan dan mengin-tegrasikan unsur-unsur budaya luar ke dalam budaya asli serta memberi arah pada perkembangan budaya

d. teruji setelah digunakan berabad-abad, terbina secara komulatif, bersifat dinamis dan terus berubah.

e. padu dalam praktik keseharian masyarakat dan lembaga yang lazim dilakukan oleh individu atau masyarakat secara keseluruhan.

f. tidak abadi, dapat menyusut, dan tidak selamanya tampak jelas secara lahiriah.

Kearifan lokal dipahami sebagai khazanah budaya lokal yang dimiliki oleh warga di setiap daerah, dikenal, dihargai dan ditemukan melalui berbagai format (lisan, tulisan dan tindakan/perilaku). Kendatipun kearifan lokal lahir, bertumbuh dan berubah di kalangan masyarakat tertentu, tetapi untuk implementasinya dalam kebijakan pembangunan, teristimewa untuk upaya perdamaian dan pengembangan kewarganegaraan multikultural diseleksi terlebih dahulu sebelum elemen-elemen lokal tersebut digunakan.

Berdasarkan uraian di atas, maka berbasis kearifan lokal artinya adalah berdasarkan gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana (wisdom), penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masya-rakatnya, yang mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan merupakan elemen penting untuk memper-kuat kohesi sosial di antara warga masyarakat.


(27)

G. Sistematika Penulisan

Penulisan disertasi ini akan dilakukan dalam lima (5) bab, yaitu: Bab 1 berisi Pendahuluan menyajikan latar belakang permasalahan yang memberi konteks munculnya masalah; identifikasi dan rumusan masalah, tujuan penelitian, signifikansi dan manfaat penelitian, asumsi dan hipotesis penelitian, definisi operasional variabel dan sistematika penulisan.

Pada Bab 2 akan diuraikan kajian pustaka / kerangka teoretis yang berisi deskripsi, analisis dan rekonseptualisasi penulis mengenai: Pendidikan Kewarganegaraan dalam konteks multikultural, kearifan lokal dalam wacana multikulturalisme, landasan filsafat dan teori, pengembangan desain model pembelajaran, hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian disertasi dan paradigma penelitian ini.

Bab 3 mengenai Metode Penelitian akan diuraikan pendekatan dan metode penelitian, prosedur penelitian, lokasi, subjek dan waktu penelitian, instrumen dan teknik pengumpulan data, serta teknik analisis data.

Bab 4 mengenai Hasil Penelitian dan Pembahasan akan menguraikan deskripsi lokasi penelitian, deskripsi hasil penelitian, dan pembahasan hasil penelitian.

Bab 5 menyajikan Kesimpulan tentang model pengembangan PKn multikultural berbasis kearifan lokal, beberapa implikasi dan rekomendasi yang dipandang perlu berdasarkan temuan hasil penelitian disertasi ini.


(28)

117

BAB III

METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan aspek metodologi sebagai bagian dari penelitian yang banyak berperan dalam proses pengumpulan dan analisis data, yaitu: (a) pendekatan dan metode penelitian, (b) prosedur penelitian, (c) lokasi, subjek dan waktu penelitian, (d) instrumen dan teknik pengumpulan data, serta (e) teknik analisis data.

A. Pendekatan dan Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan penelitian kualitatif dan kuantitatif. Dengan kata lain penelitian ini menggunakan pola “the dominant-less dominant design” Creswell (1994: 177). Bagian pertama penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu melalui metode naturalistik untuk menemukan analisis kebutuhan terhadap model pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal di perguruan tinggi, serta peranan PKn dalam pengembangan masyarakat multikultural di Indonesia. Langkah berikutnya penelitian ini menggunakan paradigma tambahan (suplemen) dengan pendekatan kuantitatif untuk melihat perbedaan kompetensi kewarganegaraan multikultural mahasiswa dan menguji efektivitas model pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal di perguruan tinggi dalam prakteknya di lapangan.

Penelitian ini secara spesifik menggunakan metode penelitian pengem-bangan (research and development). Borg and Gall (1988:570) menyatakan bahwa research and development berawal dari industry based development model yang digunakan sebagai prosedur untuk merancang dan mengembangkan suatu produk baru yang berkualitas. Dalam rangka pengembangan pendidikan, research

and development dianggap sebagai suatu proses yang digunakan untuk


(29)

pengetahuan-pengetahuan baru melalui riset dasar, yang bertujuan untuk memberikan perubahan-perubahan pendidikan guna meningkatkan dampak-dampak positif yang potensial dari temuan penelitian dalam memecahkan permasalahan pendidikan dan digunakan untuk meningkatkan kinerja praktik pendidikan.

Karakteristik khusus dari penelitian pengembangan, menurut Borg and Gall (2003:772) adalah sebagai berikut: (1) mengembangkan produk, seperti buku teks, buku ajar, instruksional film, cara mengorganisasikan pengajaran, alat evaluasi, model pembelajaran dan sebagainya. (2) berjenjang dalam penilaian produk, (3) menjembatani kesenjangan yang terjadi antara education research dengan education practice. (4) bersifat kuantitatif dalam memvalidasi efektivitas, efisiensi, keberterimaan produk, tetapi bersifat kualitatif dalam penyusunan produk dan revisinya. (5) ada uji lapangan dan distribusi, uji lapangan dilakukan untuk memvalidasikan prototipe, dan distribusi sebagai suatu desimenasi prototipe yang telah teruji (produk). (6) menekankan pada masalah khusus yang berhu-bungan dengan masalah-masalah praktis dalam pengajaran melalui applied

research, dan (7) ada tahapan-tahapan evaluasi terhadap produk yang disusun.

Berdasarkan pengertian dan karakteristik di atas, maka penelitian ini berupaya menghasilkan suatu produk berupa model pendidikan kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal yang dapat meningkatkan kompetensi multikultural mahasiswa berdasarkan kondisi dan kebutuhan nyata di perguruan tinggi.

B.Prosedur Penelitian

Borg and Gall (1988:571) menyatakan bahwa prosedur penelitian dan pengembangan secara umum mencakup sepuluh tahapan, yaitu: (1) Analisis potensi dan masalah, yang meliputi kegiatan mengkaji dan mengumpulkan informasi, termasuk dengan membaca literatur, mengobservasi, interviu dan menyiapkan laporan tentang kebutuhan pengembangan. (2) Pengumpulan data untuk planning, meliputi kegiatan merencanakan prototipe komponen yang akan dikembangkan, termasuk di dalamnya menentukan ketrampilan yang akan dikembangkan, merumuskan tujuan, menentukan urutan kegiatan pembelajaran,


(30)

menyusun skala pengukuran dan uji kemungkinan dalam skala kecil. (3) Desain produk, meliputi kegiatan menyusun dan mengembangkan produk awal/prototipe awal. (4) Validasi desain, dengan melakukan treatment/uji coba terbatas terhadap produk model awal (termasuk melakukan pengamatan, interview dan angket), dalam tahapan ini akan dilakukan penelitian tindakan kelas (PTK). (5) Revisi desain, dengan melakukan revisi hasil treatment dari produk model awal. (6) Penerapan uji coba lapangan skala terbatas. Data kuantitatif pada awal (pre) dan akhir (post) pengajaran dikumpulkan dan dievaluasi. (7) Revisi produk, berdasarkan hasil uji coba lapangan skala terbatas. (8) Uji coba lapangan skala luas. (9) Revisi produk, dengan melakukan revisi akhir terhadap model dan menetapkan produk akhir (10) Uji Model dan melakukan desimenasi dan implementasi/distribusi keberbagai pihak.

Kegiatan yang dilakukan pada penelitian dan pengembangan sebagaimana dikemukakan oleh Borg & Gall di atas, dapat digambarkan dalam bagan 3.1 berikut.

Bagan 3.1


(31)

Selanjutnya ke sepuluh langkah di atas, dalam pelaksanaan penelitian dan pengembangan model Pendidikan Kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal di perguruan tinggi disederhanakan sesuai dengan kondisi waktu, tempat, biaya, tenaga dan kegunaan praktis di lapangan. Hal ini sejalan dengan pendapat Sukmadinata (2005:182-190) dan Murni (2006:135) yang menyatakan bahwa ke sepuluh langkah penelitian pengembangan yang dikemukakan oleh Borg & Gall (1988:2003) dapat dimodifikasi ke dalam tiga tahapan yang meliputi (1) studi pendahuluan, (2) pengembangan (3) pengujian dan pelaporan. Apabila digambarkan dalam bentuk bagan, maka langkah-langkah kegiatan penelitian pengembangan akan nampak sebagaimana dalam bagan 3.2 di bawah ini.

QUASI EXPERIMENT

ACTION RESEARCH

Uji coba Terbatas Uji coba luas Uji coba luas Uji coba luas

- Penyu-sunan laporan - Ujian dan

perbaikan - Distribusi

Studi ke-pusta kaan (Teo-ri ha- silpe- neliti-an terda-hulu) Penyu sunan draft model MNdel HipNtetik Pre tes Perla-kuan Pem- bela-jaran Post test Studi lapa- ngan (Na- tu- ralis-tik inku-iri)

Bagan 3.2 Alur Tahapan Penelitian & Pengembangan Model Sumber: Gall, Gall & Borg (2003) dan Sukmadinata (2005)


(32)

Sebagaimana terlihat dalam gambar 3.2 di atas, penelitian ini melakukan tiga bentuk kegiatan utama penelitian, yang terdiri dari: (1) Studi Pendahuluan

(Exploration study), (2) Pengembangan (Action Research) yang bersifat kualitatif,

dan (3) Pengujian (experimental study) yang menggunakan kuasi eksperimen. Bentuk kegiatan pertama oleh Lincoln dan Guba (1995) dinamakan juga inquiry

naturalistic yang dilakukan dalam menemu-kenali fenomena-fenomena yang

terdapat dalam setiap komponen pembelajaran pendidikan kewarganegaraan, pada tahap studi pendahuluan. Dalam pengembangan model hipotetik berikutnya digunakan penelitian tindakan.

Pada tahap validasi model, digunakan metode kuasi eksperimen

(Quasi-experiment). Pendekatan dalam kuasi eksperimen penelitian ini adalah pendekatan

kuantitatif, yang mengacu pada paradigma empiris positivis dan eksperimen yang menekankan pada objektivitas dan fenomena kuantitas (Creswell, 1994: 4-5, Gall,Gall & Borg, 2003:24; Mc Millan & Schumacher, 2001:31)

Secara rinci pelaksanaan langkah-langkah dari ketiga tahapan prosedur penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut :

1. Tahap Studi Pendahuluan

Studi pendahuluan dilakukan baik melalui kepustakaan maupun penelitian lapangan melalui kajian empirik. Pada tahap studi pendahuluan ini dilakukan terlebih dahulu dengan studi literatur. Studi literatur dilakukan dengan mengkaji kepustakaan berkenaan dengan teori, konsep dan hasil-hasil penelitian yang relevan untuk mendukung studi pendahuluan di lapangan. Literatur yang dikaji adalah yang berhubungan dengan kajian tentang esensi pendidikan kewarga-negaraan, pendidikan multikultural, multikulturalisme dan teori multikulturalisme, kearifan lokal, kompetensi kewarganegaraan, teori pembelajaran dan model-model pembelajaran yang pernah ada dan dikembangkan, baik yang berasal dari buku referensi, hasil penelitian maupun jurnal ilmiah. Dengan kata lain, semua kepustakaan yang terkait dengan model pengembangan Pendidikan Kewarga-negaraan berbasis kearifan lokal yang dikembangkan.


(33)

Bahan dasar untuk penyusunan desain model konseptual/hipotetik pembelajaran dalam penelitian ini diperoleh dari hasil studi pendahuluan. Model konseptual pembelajaran berlandaskan pada filsafat dan teori konstruktivistik dalam konteks pembelajaran orang dewasa (andragogi). Hal ini berangkat dari asumsi bahwa mahasiswa adalah merupakan orang dewasa, dimana dalam perspektif konstruktivisme proses perubahan bagi pembelajaran orang dewasa sesungguhnya akan bermakna apabila didasarkan dari pengalaman dan kebutuhan orang dewasa itu sendiri. Mahasiswa sebagai sosok orang dewasa, sesungguhnya memiliki potensi dan tidak bodoh, mereka punya prakarsa, dan apabila distimulasi mereka mampu mengembangkan dirinya sendiri secara optimal.

Untuk merancang dan mengembangkan produk model pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal yang sesuai dengan kondisi mahasiswa di lingkungan perguruan tinggi kota Malang, maka perlu dilakukan kolaborasi yang baik antara data yang diperoleh dari kajian literatur dengan data yang diperoleh dari lapangan.

Kegiatan penelitian lapangan yang dilakukan pada tahap studi penda-huluan ini, meliputi kegiatan pengamatan (observasi), wawancara dan penyebaran angket. Observasi awal yang berupa pengamatan persiapan dan pelaksanaan proses dilakukan kepada para dosen Pendidikan Kewarganegaraan, dan para mahasiswa yang menempuh matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Demikian juga wawancara dan penyebaran angket dilakukan kepada para dosen yang mengampu dan mahasiswa yang menempuh matakuliah Pendidikan Kewarga-negaraan di lokasi penelitian.

Beberapa data dan informasi yang cukup lengkap diperoleh pada tahap studi pendahuluan, yang digunakan sebagai dasar untuk pengembangan model ini antara lain adalah sebagai berikut.

a. Data tentang desain dan model pembelajaran pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi yang dilakukan selama ini.

b. Data tentang aktivitas dan motivasi belajar mahasiswa selama proses perkuliahan Pendidikan Kewarganegaraan yang ada selama ini.


(34)

c. Data tentang kompetensi multikultural mahasiswa, baik selama proses pembelajaran PKn maupun setelah hasil belajar PKn.

d. Data tentang langkah dan strategi dosen Pendidikan Kewarganegaraan dalam merancang model pembelajaran.

e. Data tentang sarana–prasarana pembelajaran yang tersedia di lingkungan perguruan tinggi yang mendukung dan mengembangkan Pendidikan Kewarga-negaraan.

f. Data tentang hambatan dan kendala yang dihadapi dosen Pendidikan Kewarganegaraan dalam melaksanakan tugasnya di bidang pembelajaran yang meliputi kegiatan persiapan, pelaksanaan dan evaluasi hasil pembelajarannya.

Pada tahap ini juga dilakukan identifikasi kebutuhan pembelajaran mahasiswa (need assesment), khususnya terhadap kebutuhan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal sebagai dasar untuk merancang model konseptual atau hipotetik. Setelah itu lalu menyusun langkah-langkah (syntaks) pembelajaran, strategi dan metode, serta pemanfaatan media dan sumber belajar yang tersedia dan atau disediakan

Berdasarkan kajian literatur dan kajian di lapangan tersebut maka, pada tahap pendahuluan ini, penulis melakukan perencanaan dan penyusunan draft model konseptual pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal untuk meningkatkan kompetensi multikultural mahasiswa di perguruan tinggi di Kota Malang. Rancangan draft model / produk hipotetik yang dikembangkan selanjutnya akan diuji cobakan pada tahap kedua baik dalam skala terbatas (di Universitas Muhammadiyah Malang) maupun dalam skala yang lebih luas (Universitas Negeri Malang, dan Universitas Brawijaya Malang).

Sebelum dilakukan uji coba di lapangan, terlebih dahulu dilakukan uji coba di atas meja (desk evaluation) oleh para pembimbing untuk melihat kelayakan draft model, baik terhadap kelayakan dasar-dasar konsep dan teori yang digunakan maupun kelayakan praktis model. Berdasarkan hasil verifikasi dan


(35)

review tersebut, kemudian dilakukan penyempurnaan draft model hipotetik beserta instrumen lainnya, seperti test dan angket evaluasi diri.

Sebelum dilakukan uji coba secara terbatas, maka dilakukan terlebih dulu diskusi intensif dengan para dosen pendidikan kewarganegaraan yang dilibatkan dalam kegiatan penelitian ini. Pertemuan sosialisasi draft model hipotetik akan dilakukan pada bulan Agustus 2010 di Kampus Universitas Muhammadiyah Malang, kepada enam orang dosen Pendidikan Kewarganegaraan dari tiga perguruan tinggi di Kota Malang, juga mahasiswa yang menempuh matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Bagi dosen Pendidikan Kewarganegaraan yang tidak sempat hadir dan dilibatkan dalam penelitian ini dilakukan pertemuan di kampusnya. Berdasarkan hasil dari diskusi ini, kemudian dilakukan penyem-purnaan draft model hipotetik, yang berikutnya siap untuk di uji cobakan oleh para dosen Pendidikan Kewarganegaraan tersebut.

Secara ringkas dapat digambarkan proses kegiatan penelitian pada tahap studi pendahuluan ini sebagaimana nampak pada bagan 3.3 berikut.


(36)

2.Tahap Pengembangan Model

Tahap pengembangan model dilakukan dengan berkali-kali melakukan uji coba dan revisi draft produk sampai terbentuknya draft final model pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian tindakan kelas (clasroom

action research). Penelitian ini dilakukan secara kolaboratif dan partisipatif

Kondisi Pembelajaran Pendidikan Kewargane-garaan pada mahasiswa di Perguruan Tinggi

• Kompetensi Kewargane-garaan :

1.Civic Knowledge(kognitif) 2.Civic Skill (afektif) 3.Civic disposition

(psiko-motorik)

• Kompetensi Kewargane-garaan multikultural: 1. Kompetensi Standar 2. Kompetensi Dasar

a. WN menerima perbedaan

b. WN kerjasama multi-kultur

c. WN menghormati hak individu & mengem-bangkan budaya d. WN memberi peluang

yang sama dlm LEY e. WN mengembangkan

sikap adil dan rasa keadilan

Pakar dan Praktisi

• Konstruktivisme • Konsep PKn

Multikultural • Konsep Kearifan

lokal

• Konsep model pembelajaran inkuiri sosial & project citizen • Strategi

pembe-lajaran koope-ratif Angket Wawancara Observasi Dokumentasi Rancangan Model PKn multikultural berbasis ke-arifan lokal


(37)

antara penulis sebagai peneliti dengan dosen Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi sebagai praktisi.

Penelitian ini juga merupakan bentuk penelitian yang bersifat reflektif, dimana penelitiannya mengacu pada kegiatan yang berturut-turut atau bersiklus, sebagaimana yang disampaikan oleh Mc Taggart dan Kemmis (Hopkins, 1993) yang meliputi fase: perencanaan, aksi, observasi, refleksi dan evaluasi. Melalui langkah-langkah tersebut, dapat juga disusun langkah-langkah penelitian tindakan sebagai berikut: perancangan draft model, diimplementasikan, dievaluasi kemudian disempurnakan. Berdasarkan langkah tersebut, maka dapat digambar-kan siklus penelitian tindadigambar-kan sebagaimana nampak dalam bagan 3.4 berikut:

!" #

$ %

Kegiatan uji coba ini dilakukan secara berulang-ulang pada sampel terbatas sampai pada sampel yang luas sampai diperoleh hasil yang diharapkan. Penghentian siklus uji coba, jika data yang dikumpulkan untuk penelitian ini sudah sampai titik jenuh atau kondisi pembelajaran sudah stabil (Wiriaatmadja, 2005:63). Pada setiap kegiatan uji coba dilakukan post test dan pengisian angket jurnal dan evaluasi diri oleh mahasiswa sebagai subjek penelitian untuk mendapatkan data tentang kompetensi kewarganegaraan multikultural.

Pada uji coba terbatas, hanya melibatkan satu dosen dari matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan di Universitas Muhammadiyah Malang, dengan


(38)

sejumlah mahasiswa yang mengikutinya. Kemudian dari hasil evaluasi terhadap hasil uji coba terbatas dilakukan revisi dan penyempurnaan. Setelah itu dilakukan uji coba secara luas di tiga perguruan tinggi di Kota Malang dengan melibatkan tiga orang dosen yang mengajar matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Dari hasil uji coba luas ini kemudian dilakukan penyusunan produk/model utama yang siap untuk diuji validitasnya.

Pihak yang dilibatkan dalam kegiatan revisi dan penyempurnaan model adalah promotor selaku pembimbing, dosen Pendidikan Kewarganegaraan dan mahasiswa. Mahasiswa dilibatkan dalam memberikan komentar, kritik, dan saran terhadap pengembangan draft model, khususnya pada saat uji coba terbatas dan luas. Hasil pengamatan yang peneliti lakukan selanjutnya akan dipadukan dengan pendapat, temuan dosen pendidikan kewarganegaraan sebagai pelaksana di lapangan. Hasil diskusi terhadap setiap kegiatan uji coba yang berulang-ulang ini digunakan sebagai bahan dasar untuk merevisi dan merancang produk final model pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang sesuai bagi mahasiswa di Perguruan Tinggi Kota Malang. Untuk mendapatkan gambaran tentang kecenderungan keunggulan model yang dikembangkan pada tahap ini juga dilakukan analisis secara statistik hasil post test dan evaluasi diri dari setiap uji coba. Kemudian hasil analisis tersebut digambarkan secara histogram. Hal ini digunakan sebagai sarana penguatan atas suatu hasil perbaikan model hipotetik yang diujicobakan terus-menerus, baik secara terbatas maupun secara luas.

3. Tahap Pengujian Model

Pada tahap pengujian model ini kegiatan yang dilakukan adalah menguji efektivitas model hipotetik yang sudah disempurnakan melalui proses pengem-bangan model, dengan empat kali uji coba sebagaimana dipaparkan pada tahap pengembangan model di atas.

Pengujian efektivitas desain final model yang dikembangkan dari model hipotetik tersebut, melibatkan tiga perguruan tinggi dengan dua kelompok sampel yaitu satu kelompok eksperimen dan satu kelompok kontrol. Jumlah kelompok


(39)

eksperimen diambil sama banyaknya dengan kelompok kontrol. Dari tiga perguruan tinggi yang dijadikan sampel dalam penelitian ini yaitu: Universitas Negeri Malang, Universitas Brawijaya dan Universitas Muhammadiyah Malang, dilibatkan enam dosen Pendidikan Kewarganegaraan. Keenam dosen tersebut terdiri dari tiga dosen untuk kelompok eksperimen dan tiga dosen lainnya untuk kelompok kontrol. Karena adanya kesamaan dan kesetaraan kategori pada dua kelompok ini, maka desain yang digunakan adalah Matching only pretest-posttest

control group design (Creswel, 1994:132, Gall. Gall & Borg, 2003:402). Pada

dua kelompok penelitian ini, masing–masing diberikan pre-test dan post –test, serta angket evaluasi diri, tetapi hanya satu kelompok yang diberikan perlakuan. Apabila digambarkan dalam tabel, maka rancangan penelitian untuk pengujian model sebagaimana nampak dalam tabel 3.1 berikut ini.

Tabel 3.1 Rancangan Penelitian Kuasi Eksperimen

Model Pengembangan PKn Multikultural Berbasis Kearifan Lokal

Kelompok Pre - test Perlakuan Post - test

A (Eksperimen) T 1 X1 T 2

B (Kontrol) T 1 X2 T 2

Keterangan: T1 = Pre Test T2 = Post Test

X1 = Pendidikan Kewarganegaraan Multikultural Berbasis Kearifan Lokal dengan pendekatan inkuiri sosial menggunakan project citizen. X2 = Pendidikan Kewarganegaraan dengan pendekatan konvensional

Secara rinci, langkah-langkah dan kegiatan yang dilakukan dalam pengujian model hipotetik pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Persiapan Eksperimen

1) Mempersiapkan dan menentukan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dari satu kelompok mahasiswa yang mengikuti matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan pada tahun akademik yang sama dengan


(1)

Kalantzis, M. (2000). “Multicultural Citizenship” dalam W. Hudson & J. Kane (ed). Rethinking Australian Citizenship, Melbourne: Cambridge Univer-sity Press.

Kerr. David. (1999). Citizenship Education: An International Comparison. England: National Foundation For Educational Research – NFER.

Kuhn, Thomas.S. (1970) The Structure of Scientific Revolutions, Chicago: Chicago University Press.

Kymlicka, Will (2002) Kewargaan Multikultural, Terjemahan Edlina Hafmini Eddin, Jakarta: LP3ES.

Lingard, B. & Renshaw,P.(2010). Teaching as a research-informed and a research-informing profession. Chaper 3 in A. Campbell & S. Groundwater-Smith, Connecting inquiry and professional learning in education: international perspective and practical solution. London, UK: Routledge.pp 26-39.

Lippman, Walter, (1998) Public Opinion, Penerjemah S.Maimoen, Jakarta: Yayasan Obor Indoinesia.

Lipset, Seymor M. (1994) Amerika Serikat Bangsa Baru yang Pertama: Dalam Perspektif Sejarah dan Komparatif, Terjemahan Hermawan Soelistyo, Jakarta: Sinar Harapan.

Liliweri, Alo. (2005) Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur, LKiS: Yogyakarta.

Marzano, R.J., Brandt, R.S., Hughes, C.S., Jones, B.F & C. (1988). Dimensions of Thinking: A Framework for Curriculum and Instruction. Alexandria, Virginia: ASCD.

Massaro, Tonie. (1993). Constitutional Literacy, A Core Curiculum for a Multicultural Nation. Durham and London: Duke University Press.

May, Lary. (2001). Pembagian Tanggungjawab atas Rasisme” dalam Larry May, dan Shari Colins-Chobanian, Etika Terapan: Sebuah Pendekatan Multi-kultural, Terjemahan: Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro, Yogya-karta: Tiara Wacana.

Miles, M.B. & Huberman, A. M. (1992). Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-metode Baru. Terjemahan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi dari judul Qualitative Data Anlysis. Jakarta: Universitas Indonesia Press.


(2)

Moeis, Isnarmi. (2006). Kerangka Konseptual Pendidikan Multikultural Trans-formatif Berdasarkan Pola Hubungan Konflik Antar Etnik (Kajian Kritis Terhadap Laporan Media Massa Mengenai Konflik Ambon, Sambas, Sampit dan Poso), Disertasi PIPS – SPs UPI Bandung.

Murni. (2006). Model Pembelajaran Holistik Dalam Pengembangan Ketrampilan Berpikir Kesejarahan (Suatu Penelitian dan Pengembangan Terhadap Peningkatan Ketrampilan Berpikir Kesejarahan Mahasiswa Pendidikan Sejarah di Kota Palembang). Disertasi PIPS – SPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Nasikun. (2007). Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Nasikun. (2005). “Imperatif Pendidikan Multikultural di Masyarakat Majemuk”.

Makalah dipresentasikan pada Seminar Pendidikan Multikultural sebagai Seni Mengelola Keragaman, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSB-PS) Universitas Muhammadiyah Surakarta, Sabtu, 8 Januari 2005

Nieto, Sonia. (1992). Affirming Diversity: The Sociopolitical Context of Multi-cultural Education. New York: Longman.

Nieto, Sonia. (1999). The Light in Their Eyes: Creating Multicultural Learning Communities. New York: Teacher College, Columbia University.

Notonagoro. (1981). Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta: Pantjuran Tudjuh. Parekh, Bhikhu. (2005). Unity and Diversity in Multicultural Societies. Geneva: Parekh, Bhikhu. (2007). “National Culture and Multiculturalism” dalam Kenneth

Thomson (ed.). Media and Culture Regulation. London: Sage Publication. Parekh, Bhikhu. (2008). Rethinking Multiculturalism Keberagaman Budaya dan

Teori Politik, Yogyakarta: Kanisius.

Quigley, C.N., Buchanan, Jr. J.H., Bahmueller, C.F. (1991). Civitas: A Frame Work for Civic Education. Calabasas: Center for Civic Education.

Rawls, John. (2006). “A Theory of Justice” - Teori Keadilan Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara. Terjemahan: Uzaer Fauzan dan Heru Prasetyo. Jakarta: Pustaka Pelajar. Reissman, R. (1994). “The Evaluating Multicultural Classroom”. ERIC


(3)

Rosyada, Dede. (2005). Paradigma Pendidikan Demokratis, Jakarta: IAIN Jakarta Press.

Sagala, Syaiful. (2005). Konsep dan Makna Pembelajaran.Bandung : Alfabeta. Saifuddin, A.F. (2004). “Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia”. Kompas,

21 Januari 2006.

Saifuddin, Achmad Fedyani. (2004). “Multicultural Education: Putting school first (A Lesson from the Education Autonomy Policy Implementation in Indonesia)”. dalam Sunarto, Kamanto, Russel Hiang-Khng Heng, dan Achmad Fedyani Saifuddin (Eds). Multicultural Education in Indonesia and Southeast Asia: Stepping Into the Unfamiliar. Depok: Kerjasama Jurnal Antropologi Indonesia dan TIFA Foundation.

Saifuddin, A.F. (2006). “Reposisi Pandangan mengenai Pancasila: Dari Pluralisme ke Multikulturalisme”. dalam Restorasi Pancasila: Mendamai-kan Politik Identitas dan Modernitas. Bogor: Brighten Press.

Saifuddin, A.F. (2007). “Kesukubangsaan, Nasionalisme dan Multikulturalisme”. Masukan Reflektif bagi Buku Noorsalim dkk. (eds). (2007) Hak Minoritas. Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa. Jakarta. The Interseksi Foundation.

Saifuddin, Achmad Fedyani. (2004). “Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia”. Kompas, 21 Januari 2004.

Sanjaya, Wina. (2005). Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Prenada Media Group.

Sanjaya, Wina. (2010). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group.

Sartini. (2004). Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati. Jurnal Filsafat, Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2. Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.

Schramm, W. (2001). “Perihal Membangun Jembatan” dalam Deddy Mulyanadan Jaluddin Rakhmat Ed. Komunikasi Antar Budaya: Panduan Berkomuni-kasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Soekamto, Toety. dan Udin Saripudin, Winataputra. (1997). Teori Belajar dan Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Depdikbud.


(4)

Spradley, James, (1997) Metode Etnografi, Penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Suparlan. P. (2001). “Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia”. Jurnal Antropologi Indonesia 66, 2001. Suparlan, Parsudi, (2002) “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikutural”,

Jurnal Antropogi Indonesia, tahun XXVI, No.69, UI dan Yayasan Obor Indonesia

Suparlan, Parsudi (2003). “Bhineka Tunggal Ika: Keanekaragaman Sukubangsa atau Kebudayaan”, Jurnal Antropologi Indonesia, Tahun XXVII, No.72, Jakarta: Universitas Indonesia-Yayasan Obor Indonesia.

Suparlan, P. (2004). ”Masyarakat Majemuk, Masyarakat Multiultural, dan Minoritas: Memperjuangakan Hak-hak Minoritas”. Makalah disampaikan dalam Workshop Yayasan Interseksi, Hak-hak Minoritas dalam Landscape Multikultural, Mungkinkah di Indonesia?, Wisma PKBI, 10 Agustus 2004. Suparlan, P. (2005). Sukubangsa dan Hubungan Antar Sukubangsa. Jakarta:

Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian

Supardan, D. (2004). Pembelajaran Sejarah Berbasis Pendekatan Multikultural dan Perspektif Sejarah Lokal, Nasional, Global, untuk Integrasi Bangsa (Studi Kuasi Eksperimental Terhadap Siswa Sekolah Menengan Umum di Kota Bandung). Disertasi PPS UPI: tidak diterbitkan.

S. Swarsi Geriya dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam Iun, http://www.balipos.co.id. didownload 17/9/2009.

Stavenhagen, R.(1986). Problems and Prospects of Multiethnic States, Tokyo: United Nations University Press.

Stavenhagen, R. (1996). “Education for Multicultural World” in Jasque Delors (et all) (1996). Learning: The Treasure Within. Paris: UNESCO.

Sugiyono. (2009) Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Afabeta.

Sukmadinata, Nana Syaodih. (2005). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PPS UPI Bandung dan Remaja Rosdakarya.

Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006 tentang Rambu-Rambu Pelak-sanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi, Jakarta: Dirjen Dikti – Depdiknas.


(5)

Suryadinata, Leo, (2003) Kebijakan Negara Indonesia Terhadap Etnik Tionghoa: Dari Asimilasi ke Multikulturalisme ?” Jurnal Antropologi Indonesia, Jakarta: UI-Yayasan Obor.

Sutarno. (2008). Pendidikan Multikultural. Bahan Ajar Cetak – Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta. Taylor, C. et all. (1994). Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition.

United Kingdom: Princeton University Press.

Tilaar, H.A.R. (2004). Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo. Tilaar, H.A.R. (2007). Meng – Indonesia: Etnisitas dan Identitas Bangsa

Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Tilaar, H.A.R. (2009). Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan. Jakarta: Rineka Cipta.

Tobroni, dkk. (2007). Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, HAM, Civil Society, dan Multikulturalisme. Yogyakarta: Nuansa Aksara. PuSAPom Malang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Wahab, A.A. (2007). “Pendidikan Kewarganegaraan”. dalam Ali, Mohammad dan rekan. (2007). Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Pedagogia Press. Wahab, A.A & Sapriya. (2011). Teori dan Landasan Pendidikan

Kewargane-garaan. Bandung: Alfabeta.

Weiner, Myron. (1996). “Kebijakan Preferensial” dalam Roy C. Macridis dan Benard E. Brown, Perbandingan Politik, Alih Bahasa A.R. Henry Sitanggang, Jakarta: Erlangga.

Winataputra, U.S. (2001). Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Wahana Sistemik Pendidikan Demokrasi: Suatu Kajian Konseptual Dalam Konteks Pendidikan IPS. Disertasi PPS UPI: tidak diterbitkan.

Winataputra, U.S. (2004). Pendidikan Kewarganegaraan dalam Perspektif Pencerdasan Kehidupan Bangsa. Disampaikan pada Temu Sambut Guru Besar FKIP UT. Jakarta: FKIP UT.


(6)

Winataputra. U.S. (2008). Multikulturalisme – Bhinneka Tunggal Ika dalam perspektif Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Pembangunan Karakter Bangsa Indonesia Dalam Dialog Multikultural. Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI.

Winataputra dan Budimansyah (2007). Civic Education: Konteks, Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas. Bandung: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan SPs UPI.

Wiriaatmadja, Rochiati (2002). Pendidikan Sejarah di Indonesia: Perspektif Lokal, Nasional, dan Global, Bandung: Historia Utama Press.

Wiriaatmadja, Rochiati . (2005). Metode Penelitian Tindakan Kelas, Bandung: PPS UPI Bandung dan PT Remaja Rosdakarya.

Yaqin, Ainul. (2007). Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media.

Yulaelawati. (2004). Penerapan Teori Konstruktivistik dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi .Jakarta : Rineka Cipta.

Zulaeha, Ida. (2008). Pengembangan Model Pembelajaran Inkuiri Sosial bagi Peningkatan Kemampuan Menulis Kreatif dalam Konteks Multikultural Siswa SMP. Disertasi Pendidikan Bahasa Indonesia – SPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Zuriah, Nurul. (2002). Persepsi dan Aspirasi Mahasiswa Terhadap Civic Education di Perguruan Tinggi. Laporan penelitian – Lemlit UMM- DPP-PBI 2002.

Zuriah, Nurul, dkk. (2002). Pilot Project Pengembangan Pembelajaran CE Melalui Tridharma Perguruan Tinggi di Lingkungan PTM. Laporan pelaksanaan Uji Coba CE di UMM – Litbang Dikti PP Muhammadiyah – LP3 UMY dan Asia Foundation: Yogyakarta.

Zuriah, Nurul dkk. (2003). Pengembangan Model Pembelajaran Demokratis Ber-erspektif Gender pada Matapelajaran PPKn/IPS/PKPS di Lingkungan Pendidikan Dasar, Laporan Penelitian PHB XI. 1. Tahun 2003 Tahap I – PHB DP3M – Ditbinlitabmas Dikti - Tahun 2003.

Zuriah, Nurul & Sunaryo, Hari. (2009). Berpikir Kritis Dialogis melalui DDCT: Teori dan Aplikasinya dalam Pembelajaran, Malang: UMM Press.

Zuriah, Nurul. (2010). Model Pengembangan PKn Multikultural Berbasis Kearifan Lokal dalam fenomena Sosial di Perguruan Tinggi, Laporan Penelitian Hibah Doktor. DP2M - Dikti – Jakarta: Tahun 2010.