PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BERBASIS MULTIKULTURAL DALAM MEMUPUK NASIONALISME SISWA :Studi Kasus di SMA Santo Aloysius Bandung.

(1)

x

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR BAGAN ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 14

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Asumsi Penelitian ... 15

F. Penjelasan Istilah ... 16

G. Metode Penelitian ... 18

H. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 24

A. Pendidikan Kewarganegaraan ... 24

1. Konsep Pendidikan Kewarganegaraan ... 24

2. Perkembangan Pemikiran PKn ... 34

3. Komponen Pembelajaran PKn ... 48

a. Materi Pembelajaran ... 54

b. Metode Pembelajaran ... 55

c. Media Pembelajaran ... 56

d. Sumber Pembelajaran ... 57

e. Evaluasi Pembelajaran ... 58

4. Manfaat dan Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan ... 58

B. Pendidikan Multikultural ... 67

1. Konsep Multikultural ... 67

2. Hakikat dan Karakteristik Pendidikan Multikultural ... 78

3. Peranan Multikultural dalam Mengembangkan Nasionalisme 92 C. Konsep Nasionalisme ... 106

1. Pengertian Nasionalisme ... 106

2. Sejarah Nasionalisme ... 115

3. Karakteristik Nasionalisme ... 123

4. Makna Nasionalisme ... 126

5. Pembentukan Nasionalisme ... 128

6. Kedudukan Nasionalisme dalam Benturan Peradaban ... 133

7. Nasionalisme Indonesia dalam Perspektif Global dan Lokal .. 139

D. Warga Negara dan Teori Kewarganegaraan ... 143 1. Pengertian dan Ruang Lingkup Konsepsi Warganegara


(2)

xi

dan Kewarganegaraan ... 143

2. Perkembangan Historis Konsepsi Warganegara dan Kewarganegaraan ... 159

3. Teori Kewarganegaraan Klasik dan Modern ... 164

E. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Multikultural . 176 F. Kajian Terdahulu tentang Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Multikultural ... 179

BAB III METODE DAN TEKNIK PENELITIAN... 190

A. Pendekatan Penelitian ... 190

B. Metode Penelitian ... 196

C. Subjek Penelitian dan Sumber Data ... 199

1. Subjek Penelitian ... 199

2. Sumber Data ... 200

D. Sampling Penelitian ... 201

E. Teknik-Teknik Pengumpulan Data ... 202

1. Wawancara ... 204

2. Observasi ... 207

3. Studi Dokumentasi ... 209

4. Studi Literatur ... 211

F. Analisis Data Penelitian ... 211

1. Reduksi Data ... 216

2. Display Data ... 216

3. Kesimpulan dan Verifikasi ... 217

G. Keabsahan Temuan Penelitian ... 217

1. Credibility ... 218

2. Transferability ... 219

3. Dependability ... 220

4. Confirmability ... 220

H. Tahap-tahap Pelaksanaan Penelitian di Lapangan... 222

1. Tahap Orientasi ... 222

2. Tahap Eksplorasi ... 223

3. Tahap Member-Check ... 223

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 225

A. Gambaran Umum SMA St Aloysius Bandung ... 225

1. Letak SMA St Aloysius Bandung ... 225

2. Sejarah SMA St Aloysius Bandung ... 226

3. Visi dan Misi ... 228

4. Sarana dan Prasarana ... 229

5. Administrasi Sekolah... 230

6. Struktur Organisasi ... 234

7. Komposisi Siswa SMA St Aloysius Bandung ... 235

8. Kegiatan Rutin Khas SMA St Aloysius Bandung dan Kegiatan Ekstrakurikuler ... 236

9. Prestasi yang pernah diraih siswa-siswi SMA St Aloysius Bandung ... 240


(3)

xii

B. Deskripsi Hasil Penelitian ... 244

1. Proses Berlangsungnya Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Multikultural di SMA St Aloysius Bandung ... 244

2. Pengembangan yang Dilakukan Guru dalam Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Multikultural Guna Memupuk Nasionalisme pada Siswa di SMA St Aloysius Bandung ... 251

3. Perilaku yang Ditunjukkan Siswa Terhadap Pengembangan Nasionalisme melalui Pendidikan Kewarganegaraan di SMA St Aloysius Bandung ... 260

4. Prospek dan Hambatan Mengimplementasikan Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Multikultural di SMA St Aloysius Bandung ... 266

C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 270

1. Gambaran Umum SMA St Aloysius Bandung ... 270

2. Proses Berlangsungnya Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Multikultural di SMA St Aloysius Bandung ... 276

3. Pengembangan yang Dilakukan Guru dalam Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Multikultural Guna Memupuk Nasionalisme pada Siswa di SMA St Aloysius Bandung ... 288

4. Perilaku yang Ditunjukkan Siswa Terhadap Pengembangan Nasionalisme melalui Pendidikan Kewarganegaraan di SMA St Aloysius Bandung ... 302

5. Prospek dan Hambatan Mengimplementasikan Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Multikultural di SMA St Aloysius Bandung ... 314

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 336

A. Kesimpulan Umum ... 336

B. Kesimpulan Khusus ... 341

C. Rekomendasi ... 342

DAFTAR PUSTAKA ... 345

RIWAYAT HIDUP PENULIS ... 356


(4)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Elemen Kewarganegaraan Marshall ... 146 Tabel 4.1 Keadaan Guru SMA St Aloysius Bandung ... 233 Tabel 4.2 Keadaan Siswa SMA St Aloysius Bandung ... 235 Tabel 4.3 Klasifikasi Latar Belakang Keadaan Siswa SMA St Aloysius

Bandung ... 259 Tabel 4.4 Simbol-simbol Nasionalisme yang Ditampilkan Siswa

SMA St Aloysius Bandung ... 264 Tabel 4.5 Klasifikasi Unsur Nasionalisme yang Dimiliki Siswa


(5)

xiv

DAFTAR BAGAN


(6)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Rumus Teori Liberal - Individualis ... 164 Gambar 4.1 Denah Lokasi Sekolah St Aloysius Bandung ... 226 Gambar 4.2 Struktur Organisasi SMA St Aloysius Bandung ... 234


(7)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di era reformasi ini selain terdapat harapan masa depan yang lebih baik, bangsa Indonesia memasuki krisis multidimensi yang disertai oleh munculnya gerakan separatis dan keprihatinan masalah-masalah sosial-budaya lainnya menyangkut disintegrasi bangsa yang lambat laun dapat mengikis nasionalisme warga negaranya. Dakhidae (2008: xvii) dengan metafora yang mencemaskan menyebutnya bangsa Indonesia ibarat a country in despair - suatu negeri bukan saja diterpa oleh suatu bencana, akan tetapi hampir tenggelam dalam ketiadaan harapan yang mendalam.

Persoalan konflik antaretnik dan antaragama di Indonesia sejak tahun 1997 merupakan bukti bahwa nasionalisme bangsa Indonesia mulai mengikis. Konflik-konflik yang terjadi di berbagai pulau-pulau besar – Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian, Sumatera – yang berimbas pada pilihan penduduk untuk bertahan tinggal ataukah meninggalkan kediaman mereka yang telah berubah menjadi daerah konflik berkepanjangan merupakan imbas dari lemahnya rasa nasionalisme yang dimiliki bangsa Indonesia. Sampai dengan tanggal 5 April 2002 menurut Supardan (2008:67) sudah 1.247.449 orang Indonesia hidup mengungsi di negerinya sendiri. Saat itu pengungsi tersebar di 20 provinsi. Data sampai tanggal 5 April 2002 memperlihatkan Maluku sebagai provinsi yang paling banyak menampung pengungsi 300.091 orang sekitar 24,06%. Begitu juga korban konflik


(8)

di Aceh menyebabkan 48.489 mengungsi ke Sumatera Utara. Kemudian korban konflik di Timor Timur sebagian besar mencari perlindungan di Nusa Tenggara Timur mencapai 26.196 keluarga atau 136.143 orang.

Di Kalimantan Barat dan Selatan memang provinsi yang rentan dengan konflik. Setidaknya sudah terjadi 11 konflik besar yang melibatkan etnik-etnik tertentu di daerah itu sejak tahun 1950 sampai 1999. Penyebab langsungnya hampir sama; soal-soal sepele. Konflik terjadi di Sambas tahun 1999 misalnya, dimulai dengan terbunuhnya seorang pencuri dari satu etnik yang bertikai, yang kemudian berkembang dalam waktu relatif singkat menjadi perseteruan antaretnik. Tidak kurang dari 3.000 orang warga Desa Paritsetia yang tidak tahu-menahu dengan persoalan itu terpaksa mengungsi. Manakalah derajat konflik membesar 68.000 dari etnik tertentu terpaksa mengungsi (Triantoro dan Suwardiman, 2002:322 dalam Supardan 2008:67).

Konflik itu pula yang terjadi di Maluku dan Poso. Sama-sama dimulai dengan perkelahian atau bentrokan antarwarga. Jika pemicu di Kalimantan Barat adalah etnik, sedangkan di dua kawasan Indonesia Timur ini faktor pemicunya adalah agama. Kerusuhan di Poso berawal dari konflik antarpemeluk agama di penghujung tahun 1998. Berlangsungnya selama seminggu, lalu reda, tetapi kambuh lagi pada pertengahan 1999. Bentrokan susul menyusul sampai-sampai Poso lumpuh. Tidak hanya aktivitas masyarakat yang terhenti, kantor-kantor pemerintah juga terpaksa ditutup sementara (Supardan, 2008:67).

Kemudian kerusuhan di Maluku diawali dengan bentrokan antara seorang warga dan seorang sopir angkutan di Ambon pada pertengahan Januari 1999


(9)

(Triantoro dan Suwardiman, 2002:321). Bentrokan itu berkembang menjadi konflik antaragama dan menjalar ke Maluku Tenggara dan Maluku Utara.

Sejumlah data diatas menggambarkan bahwa ketahanan integrasi bangsa kita sedang diuji kehandalan karena kelalaiannya. Pemerintah Orde Lama, Orde Baru telah keliru dengan merasionalkan persatuan yang bersifat mitis itu menjadi suatu nasionalisme tanpa mewujudkan ke-mitis-an persatuan tersebut secara empiris, yakni dengan memberi kesempatan bahwa masing-masing kelompok etnik untuk mengekspresikan keleluasaannya dalam persatuan bangsa ini. Hal ini sungguh mengerikan di mana orang tidak lagi menghargai bahwa perbedaan agama-budaya itu sebagai Rachmatan lil-Allamin. Bukankah negara ini dibangun atas dasar motto Bhineka Tunggal Ika? Yang digali sejak zaman Majapahit dahulu dari Mpu Tantular dalam Negara Kertagama “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Wangrawa”. Belum lagi gerakan-gerakan yang ingin memproklamirkan diri seperti GAM di Aceh, RMS di Ambon atau Maluku Selatan, dan Gerakan Papua Merdeka. Semuanya ini dibiarkan akan menghancurkan rasa nasionalisme bangsa Indonesia.

Sejumlah hal yang dikemukakan tersebut, merupakan sebagian data mengenai keringnya rasa nasionalisme bangsa Indonesia. Atas dasar fenomena tersebut, yang penting bagi suatu bangsa adalah kesetiaan dan komitmen. Fukuyama menyebutnya kepercayaan (the trust). Kesetiaan, komitmen dan kepercayaan sebagai unsur perekat eksistensi bangsa yang punya rasa ikatan nasionalisme. Bangsa kita belum dapat menumbuhkan rasa saling percaya di semua tingkat dan lingkungan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, serta


(10)

bernegara. Meskipun nasionalisme bagi bangsa Indonesia, masih sangat dibutuhkan, dan mungkin akan terus diperjuangkan selama perjalanan negara bangsa (nation state) ini ke depan, nyatanya bangsa kita hampir “kehilangan” nasionalisme seperti terurai di atas (Darmawan, 2008:39).

Pada kondisi demikian, hampir semua disiplin ilmu dipertanyakan kontribusinya untuk melakukan recovery guna menangani masalah tersebut, termasuk peran pembelajaran kewarganegaraan dalam mempertahankan integrasi bangsa dan mengembangkan nasionalisme warga negara. Beberapa sejarawan dan pengamat sosial berpendapat bahwa nasionalisme yang menyangkut integrasi bangsa perlu “direvitalisasi dalam arti yang luas menyangkut beralihnya pandangan ahistoris ke historis, berkembangnya ke arah egalitarian, justice, clean governance dan clean government yang mepercepat terwujudnya civil society agar tidak kehilangan aktualitasnya (Hobsbawm, 1990: 210-211; Abdullah, 2001:73; Guibernau, 1996:150; Kleden, 2001:73; Simatupang, 2002:45).

Pentingnya perubahan paradigma pembelajaran kewarganegaraan tersebut bukan semata-mata karena adanya gerakan reformasi yang terjadi belakangan ini, gerakan reformasi itu sendiri hanyalah sebagai faktor pemicu terjadinya kearah itu. Namun kondisi Indonesia yang merupakan negara majemuk dan heterogen, karena terdiri atas berbagai macam suku bangsa, agama, dan keyakinan dengan berbagai macam kebudayaan, adat istiadat dan kebiasaan. Menuntut keanekragaman atau kemajemukan agar dapat dikelola dengan baik sehingga dapat menjadi kekuatan dan kekayaan. Oleh karena itu kehidupan sebagai bangsa dengan keanekaragaman itu akan memberikan warna-warni dalam budayanya,


(11)

memberikan kesempatan untuk mengapresiasikan berbagai kemampuan yang hasilnya dapat saling memperkaya, dan puncak-puncak kemampuannya akan memberi makna, yang tidak sedikit bagi perkembangan dan kemajemukan Indonesia.

Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan jelas memiliki pengaruh yang besar terhadap integrasi bangsa. Pendidikan Kewarganegaraan masih memegang peranan yang strategis dalam memupuk jiwa nasionalisme, dan bukan hanya untuk masa sekarang, tetapi secara futurologist bagi kelanjutan pembangunan bangsa. Spirit atau ethos itu masih tetap diperlukan, bahkan akan lebih diperlukan mengingat makin majunya teknologi informasi yang ditandai adanya akslerasi mondialisasi ataupun universalisasi (Kartodirdjo, 1999:25). Kesemuanya itu membutuhkan pemantapan nilai-nilai dasar yang membentenginya sebagai bangsa. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada hakekatnya juga merupakan unit geopolitik yang mewujudkan proses-proses kehidupan bangsa dalam totalitasnya terutama untuk integrasi bangsa. Adapun fungsi Pendidikan Kewarganegaraan tersebut terutama untuk menerangkan eksistensi ataupun sosiogenisis negara-nation kita.

Pembahasan integrasi bangsa, tidak lagi menjadi determinant kajian politik yang selama ini sering “diambil alih negara”, kurang mementingkan jenis kesadaran yang dibangun oleh nasionalisme dan integrasi bangsa dari bawah oleh masyarakat atau popular nationalism and nations integration (Hirschman, 1970: 115; Abdullah, 2001: 72). Kesadaran semacam ini mengabaikan faktor keragaman dan penghargaan akar sosial-budaya bersifat multicultural yang


(12)

menuntut kewajaran dan kesamaan dalam keluarga bangsa yang selama ini tidak terakomodasi.

Berkaitan dengan hal tersebut Suparlan, (2002: 99; 2003: 35) mengemukakan bahwa:

Multikulturalisme pada hakekatnya dimaksudkan untuk menciptakan suatu konteks sosiopolitis yang memungkinkan individu dapat mengembangkan kesehatan jati diri dan secara timbal-balik mengembangkan sikap-sikap antar kelompok yang positif demi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan masyarakat

Proses untuk menapaki jalan menuju pengakuan tersebut, adalah sebuah pendakian yang terjal, dan sikap terhadap realitas multikultural masyarakat/bangsa mengalami fluktuasi perkembangan sepanjang sejarah.

Terkait dengan pengembangan realitas multikultural masyarakat/bangsa yang mengalami fluktuasi, peran penting pendidikan menjadi tak terelakan. Dalam pandangan Azra (2006:153) pembentukan masyarakat multikultural Indonesia yang sehat tidak bisa secara taken for granted atau trial and error. Sebaliknya harus diupayakan secara sistematis, programatis, integrated dan berkesinambungan. Salah satu strategi penting itu adalah pendidikan multikultural yang dapat berlangsung dalam setting pendidikan formal atau informal, langsung atau tidak langsung.

Pendidikan multikultural menurut Banks (Tilaar, 2004:181) adalah:

Konsep atau ide sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi dan kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara.


(13)

Sekait dengan pendapat tersebut Mahfud (2008: viii) mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai:

Wujud kesadaran tentang keanekaragaman kultural, hak-hak asasi manusia serta pengurangan atau penghapusan berbagai jenis prasangka atau

prejudice untuk membangun suatu kehidupan masyarakat yang adil dan makmur. Pendidikan multikultural juga dapat diartikan sebagai strategi untuk mengembangkan kesadaran atas kebanggaan seseorang terhadap bangsanya (the pride in one’s home nation).

Pendidikan multikultural tersebut diarahkan untuk mewujudkan kesadaran, toleransi, pemahaman, dan pengetahuan yang mempertimbangkan perbedaan kultural, dan juga perbedaan dan persamaan antar budaya dan kaitannya dengan pandangan dunia, konsep, nilai, keyakinan, dan sikap (Lawrence J. Saha, 1997, dalam Aly, 2005).

Berkaitan dengan hal di atas, pendidikan kewarganegaraan memiliki peranan penting dalam upaya pengembangan masyarakat multikultural. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pendidikan kewarganegaraan merupakan nama mata pelajaran wajib untuk kurikulum pendidikan dasar dan menengah dan mata kuliah wajib untuk kurikulum pendidikan tinggi (Pasal 37). Ketentuan ini lebih jelas dan diperkuat lagi pada Pasal 37 bagian Penjelasan dari Undang-Undang tersebut bahwa “Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air”. Pendidikan Kewarganegaraan yang berperan penting dalam pendidikan multikultural mempersiapkan peserta didik menjadi warganegara yang memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia. Sebab


(14)

dalam pandangan Banks (Tilaar, 2004:132), terdapat lima dimensi yang terkait dengan pendidikan multikultural, yaitu:

1. content integration, mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu.

2. the knowledge construction process, membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin).

3. an equity paedagogy, menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial.

4. prejudice reduction, mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.

5. empowering school culture, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.

Kelima dimensi tersebut memerlukan dukungan kompetensi/karakteristik yang harus nampak pada diri warganegara. Cogan (1998:115) mengkonstruksi karakteritik yang harus dimiliki warganegara sebagai berikut:

1. the ability to look at and approach problems as a member of a global society (kemampuan mengenal dan mendekati masalah sebagai warga masyarakat global)

2. the ability to work with others in a cooperative way and to take responsibility for one’s roles/duties within society (kemampuan bekerjasama dengan orang lain dan memikul tanggung jawab atas peran atau kewajibannya dalam masyarakat)

3. the ability to understand, accept, appreciate and tolerate cultural differences (kemampuan untuk memahami, menerima, dan menghormati perbedaan-perbedaan budaya)

4. the capacity to think in a critical and systemic way (kemampuan berpikir kritis dan sistematis)

5. the willingness to resolve conflict and in a non-violent manner

(kemampuan menyelesaikan konflik dengan cara damai tanpa kekerasan)

6. the willingness to change one’s lifestyle and consumption habits to protect the environment (kemampuan mengubah gaya hidup dan pola makanan pokok yang sudah biasa guna melindungi lingkungan)


(15)

7. the ability to be sensitive towards and to defend human rights (eg, rights of women, ethnic minorities, etc), and (memiliki kepekaan terhadap dan mempertahankan hak asasi manusia (seperti hak kaum wanita, minoritas etnis, dsb)

8. the willingness and ability to participate in politics at local, national and international levels (kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan politik pada tingkatan pemerintahan lokal, nasional, dan internasional).

Tuntutan pengembangan karakteristik warganegara di atas menurut Cogan (1998:117) harus dikonstruksi dalam kebijakan pendidikan kewarganegaraan yang multidimensional (multidimensional citizenship), yang ia gambarkan dalam empat dimensi yang saling berinterelasi, yaitu the personal, social, spatialand temporal dimension. Keempat dimensi ini akan melahirkan atribut kewarganegaraan yang mungkin akan berbeda di tiap negara sesuai dengan sistem politik negara masing-masing, yakni: (1) a sense of identity; (2) the enjoyment of certain rights; (3) the fulfilment of corresponding obligations; (4) a degree of interest and involvement in public affairs; and (5) an acceptance of basic societal values. Bagi Indonesia, karakter kewarganegaraan akan memiliki kekhususan sesuai dengan ideologi yang dianut, yakni Pancasila, dan Konstitusi yang berlaku di Indonesia, ialah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Empat dimensi kewarganegaraan sebagaimana dikemukakan di atas, menjadi acuan untuk mengembangkan nasionalisme yang semestinya dimiliki setiap warganegara/masyarakat multikultural. Oleh karena itu kita senantiasa dituntut untuk dapat mengemas multikulturalisme kedalam suatu pembelajaran sehingga dapat dikembangkan menjadi sesuatu yang positif guna mengembangkan nasionalisme warga negara khususnya.


(16)

Blum (2001: 16) mengemukakan bahwa melalui pembelajaran multikuturalisme pada diri siswa itu maka akan muncul :

… pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, dan sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Ia meliputi sebuah penilaian terhadap kebudayaan-kebudayaan orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari kebudayaan-kebudayaan tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana kebudayaan tertentu dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri (Blum, 2001: 16).

Multikulturalisme sekarang telah berkembang menjadi semacam keyakinan, sikap, dan kebijakan. Multikulturalisme tidak hanya sekedar semboyan, retorika politik, atau hanya pengakuan simbolis terhadap kekayaan realitas sosial. Multikulturalisme telah menjadi pengakuan sejati terhadap identitas kelompok yang mendukung dan selaras dengan identitas nasional. Supriadi (2001:37) dan Supardan (2002:35) berpendapat bahwa terdapat empat kemungkinan kombinasi multikulturalisme, yaitu:

Pertama; negara dengan realitas etnik dan budaya yang heterogen serta menerima ide multikulturalisme.

Kedua; negara dengan realitas etnik dan budaya yang heterogen, tetapi kebijakan pemerintahannya cenderung mengarah ke monokulturalisme. Ketiga; negara dengan realitas etnik/ras yang homogen dan memelihara kebijakan yang monokulturalistik.

Keempat; negara dengan derajat homogenitas etnik/ras yang tinggi tetapi sangat menghargai multikulturalisme.

Senada dengan pendapat diatas Naisbitt (1994: 15) sebagai tokoh futuris ternama, telah memprediksi bahwa masalah suku bangsa ataupun etnis dapat menjadi bumerang bagi bangsa yang kurang arif dalam melakukan kebijakan politiknya. Kelompok minoritas ini bisa menjadi korban intimidasi dari kelompok mayoritasnya, bisa menjadi ancaman bagi perkembangan demokrasi, maupun konflik terbuka sesama etnik minoritas itu sendiri.


(17)

Pembelajaran kewarganegaraan sebagai unsur pengembangan nasionalisme kultural sangat berfungsi untuk menjadi mediasi dalam memantapkan hubungan antara unsur-unsur masyarakat plural. Anderson (1983: 12-16) menyebutkan arti penting identitas nasional dan perkembangan kesadaran nasional. Anderson selanjutnya melihat arti penting identitas nasional sebagai pengaruh paling kuat dan bertahan lama dalam identitas kultural kolektif. Vanderburg (1985: 272) menambahkan bahwa selain itu melalui pembelajaran kewarganegaraan, juga berupaya membentuk model-model prilaku yang memupuk nasionalisme kultural untuk menciptakan pola hubungan yang mengatasi lingkungan temporal dan spasial serta dimensi-dimensi lainnya.

Apalagi di era globalisasi, pada umumnya orang menyadari bahwa sekarang ini proses dan pengaruh globalisasi makin dirasakan sebagai bagian dari kehidupan kita. Giddens (1990: 64) secara ringkas menyebutnya bahwa:

Globalisasi adalah intensifikasi hubungan sosial sejagat yang menghubungkan tempat-tempat yang berjauhan sedemikian rupa, sehingga peristiwa lokal bisa terjadi disebabkan oleh kejadian ditempat lain yang sekian mil jauhnya dan sebaliknya.

Ohmae (1993:183-185; 2002: 171-175), mengemukakan bahwa secara politis batas-batas antar negara semakin sirna (Ohmae, 1993:183-185; 2002: 171-175). Karena itulah menurut Mazlish dan Buultjes (1993: 2) menyatakan bahwa

starting point for global history adalah menguatnya fenomena globalisasi itu sendiri yang berdimensi luas membawa harapan dan kecemasan.

Globalisasi yang makin kuat resonansinya, khususnya bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia dalam proses memelihara dan meningkatkan integrasi bangsa, perlu mendapat perhatian tersendiri.


(18)

Kesadaran yang dibangun melalui pembelajaran kewarganegaraan yang berbasis multikultural diharapkan bukan hanya dapat memperkaya budaya bangsa akan tetapi juga memiliki kepekaan sentuhan-sentuhan akar kemanusiaan dalam kesetaraan/persamaan dan keragaman, yang pada gilirannya akan tercapai suatu integrasi bangsa yang dibangun oleh rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa solidaritas (sense of solidarity). Sense of belonging harus terus ditumbuh kembangkan di kalangan para siswa untuk menuju kepada self awareness sebagai individu, etnis atau bangsa. Sedangkan rasa solidaritas (sense of solidarity)

dibangun oleh shared social opportunities and responsibilities, dengan menekankan pada azas pemerataan dan keadilan (Wiraatmadja, 2002: 228).

Pembelajaran kewarganegaraan yang demikian akan lebih menyejukkan nurani siswa yang mengakui dan menghargai potensi individu, kelompok, daerah, dengan mementingkan kebersamaan yang lebih seimbang dan harmonis. Sebab selama ini proses pembelajaran kewarganegaraan lebih bersifat “ideologi-politik” yang sempit dan tidak disajikan secara interdisipliner dengan ilmu-ilmu sosial lain yang dapat mendukungnya. Akibatnya pembelajaran kewarganegaraan terlalu kering dan kurang peka dengan sentuhan-sentuhan akar kemanusiaan dan kebersamaan sebagai bangsa, karena tidak mampu menyentuh akar sosial budayanya.

Pertimbangan faktor-faktor tersebut, yang diperkuat dengan hasil-hasil penelitian terdahulu (Sujatmiko, 1999: 3; Adam, 2001: 3; Simbolon, 2002: 2-6; Triardianto dan Suwardiman, 2002: 321; Siswomihardjo, 1998: 14; Litbang Kompas, 2002: 12) yang menunjukan integrasi bangsa Indonesia belakangan ini


(19)

sedang mengalami titik lemah yang memprihatinkan, telah mendorong penulis untuk dapat mengkaji lebih dalam tentang pentingnya: Pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Multikultural dalam Memupuk Nasionalisme Siswa (Studi Kasus di SMA Santo Aloysius Bandung).

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang masalah di atas diidentifikasi masalah penelitian yaitu: Bagaimana pengembangan pendidikan kewarganegaraan berbasis multikultural dalam memupuk nasionalisme siswa? Berdasarkan masalah penelitian di atas, dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana proses berlangsungnya pendidikan kewarganegaraan berbasis multikultural di SMA Santo Aloysius Kota Bandung?

2. Bagaimana pengembangan yang dilakukan guru dalam pendidikan kewarganegaraan berbasis multikultural guna memupuk nasionalisme pada siswa di SMA Santo Aloysius Bandung?

3. Bagaimana perilaku yang ditunjukkan siswa terhadap pengembangan nasionalisme melalui pendidikan kewarganegaraan di SMA Santo Aloysius Kota Bandung?

4. Bagaimana prospek dan hambatan mengimplementasikan pendidikan kewarganegaraan berbasis multikultural di SMA Santo Aloysius Kota Bandung?


(20)

C. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan melakukan kajian tentang pengembangan pendidikan kewarganegaraan berbasis multikultural dalam memupuk nasionalisme. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk menggali, mengkaji dan mengorganisasikan informasi-argumentatif tentang:

1. Proses berlangsungnya pendidikan kewarganegaraan berbasis multikultural di SMA Santo Aloysius Kota Bandung.

2. Pengembangan yang dilakukan guru dalam pendidikan kewarganegaraan berbasis multikultural guna memupuk nasionalisme pada siswa di SMA Santo Aloysius Kota Bandung.

3. Perilaku yang ditunjukkan siswa terhadap pengembangan nasionalisme melalui pendidikan kewarganegaraan di SMA Santo Aloysius Kota Bandung.

4. Prospek dan hambatan dalam mengimplementasikan pendidikan kewarganegaraan berbasis multikultural di SMA Santo Aloysius Kota Bandung.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara keilmuan (teoretik) maupun secara empirik (praktis). Secara teoritik, penelitian ini akan menggali, mengkaji dan mengorganisasikan pengembangan pembelajaran kewarganegaraan berbasis multikultural implikasinya terhadap nasionalisme yang akan menghasilkan kerangka dasar secara konseptual tentang pembelajaran multikultural yang dibutuhkan bagi pengembangan nasionalisme melalui pendidikan kewarganegaraan.


(21)

Dari temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis bagi beberapa pihak sebagaimana diuraikan berikut:

1. Para akademisi atau komunitas akademik, khususnya dalam bidang pendidikan kewarganegaraan sebagai bahan kontribusi ke arah pengembangan nasionalisme.

2. Para pengembang kurikulum pendidikan kewarganegaraan baik pada level pendidikan dasar maupun pendidikan menengah.

3. Para pengambil kebijakan khususnya yang terkait dengan program pengembangan pembelajaran kewarganegaraan berbasis multikultural.

E. Asumsi Penelitian

Berdasarkan kerangka konseptual di atas dirumuskan asumsi penelitian sebagai berikut:

1. Pembelajaran Kewarganegaraan berbasis multikultural menjadi kebutuhan

bagi bangsa Indonesia yang ditandai oleh kemajemukan (pluralitas) dan keanekaragaman (heterogenitas), sebab multikultural pada dasarnya menekankan pada kesederajatan kebudayaan yang ada dalam sebuah masyarakat, dan mengusung semangat untuk hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence) dalam perbedaan kultur yang ada baik secara individual maupun secara kelompok dan masyarakat. (Azra, 2006:154, Suparlan 2005).

2. Berkaitan dengan hal tersebut setiap warganegara perlu memiliki

nasionalisme yang mendukung terwujudnya masyarakat multikultural, sebab pembentukan masyarakat multikultural Indonesia yang sehat tidak bisa


(22)

secara taken for granted atau trial and error. Sebaliknya harus diupayakan secara sistematis, programatis, integrated dan berkesinambungan. Salah satu strategi penting itu adalah pendidikan multikultural sebagai pendidikan kewarganegaraan, yaitu pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.

F. Penjelasan Istilah

Dalam judul penelitian ini, terdapat empat konsep utama, yakni pendidikan kewarganegaraan, pembelajaran multikultural, nasionalisme dan pendidikan kewarganegaraan berbasis multikultural.

1. Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosio kultural, bahasa, usia dan suku bangsa untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945 (Depdiknas, 2003:7).

2. Pembelajaran Multikultural

Pembelajaran multikulturalisme meliputi sebuah pemahaman, penghargaan, dan penilaian atas budaya seseorang, dan sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Ia meliputi penilaian terhadap kebudayaan–kebudayaan orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari kebudayaan-kebudayaan tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana


(23)

kebudayaan tertentu dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-angotanya sendiri’’ (Lawrence A Blum (2001: 16).

Pendidikan multikultural tersebut diarahkan untuk mewujudkan kesadaran, toleransi, pemahaman, dan pengetahuan yang mempertimbangkan perbedaan kultural, dan juga perbedaan dan persamaan antar budaya dan kaitannya dengan pandangan dunia, konsep, nilai, keyakinan, dan sikap (Lawrence J. Saha, 1997, dalam Aly, 2005).

3. Nasionalisme

Makna nasionalisme dalam definisi konseptual ini lebih menitikberatkan kepada keadaan jiwa yang berupa keinsyafan dan kesadaran berbangsa sebagai suatu bangsa yang lahir secara alamiah karena kesamaan sejarah, kebersamaan kepentingan, rasa senasib dan sepenanggungan dalam menghadapi masa lalu, kini dan akan datang. Nasionalisme juga diwarnai dengan kesamaan pandangan, harapan tujuan, budaya, bahasa, cita-cita dan kecintaan kepada tanah air. Dengan kata lain, nasionalisme adalah perekat yang mempersatukan dan memberikan dasar kepada jati diri sebagai bangsa.

4. Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Multikultural

Pendidikan kewarganegaraan berbasis multikultural, dalam definisi konseptual ini adalah suatu proses “intervensi” guru dengan tujuan terjadinya proses belajar memahami dan menghargai kebudayaan sendiri dan orang lain yang berbeda-beda dalam suatu komunitas Indonesia, agar tercipta suatu kehidupan penuh pengertian/penghargaan dengan mengedepankan nilai-nilai; (1) mengenal identitas etnis/budaya sendiri dan orang lain, (2) menghormati dan rasa ingin tahu tentang etnis dan budaya lain, (3) merasa senang dan ikut memelihara perbedaan


(24)

etnis/kultural sebagai bagian komunitasnya, yang akan bermuarah pada pengembangan nasionalisme yang dimiliki oleh siswa.

G. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan dan Metode Penelitian

Metodologi adalah proses, prinsip-prinsip dan prosedur yang kita gunakan untuk mendekati masalah dan mencari jawaban. Mendasarkan diri pada pengertian ini, pada rencana penelitian tesis yang hendak dilakukan oleh penulis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Penelitian ini merupakan kajian analitis pembelajaran kewarganegaraan berbasis multikultural implikasinya terhadap nasionalisme. Oleh karena itu penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, Creswell (1998) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai berikut.

Qualitative research is an inquiry process of understanding based on distinct methodological traditions of inquiry that explore a social or human problem. The researcher builds a complex, holistic picture, analyses words, reports detailed views of informants, and conducts the study in a natural setting.

Kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah proses penelitian untuk memahami berdasarkan tradisi metodologi penelitian tertentu dengan cara menyelidiki masalah sosial atau manusia. Peneliti membuat gambaran kompleks bersifat holistik, menganalisis kata-kata, melaporkan pandangan-pandangan para informan secara rinci, dan melakukan penelitian dalam situasi alamiah.

Penelitian kualitatif menurut Nasution (1996:18) disebut juga dengan penelitian naturalistik. Disebut kualitatif karena sifat data yang dikumpulkan


(25)

bercorak kualitatif, bukan kuantitatif, karena tidak menggunakan alat-alat pengukur. Disebut naturalistik karena situasi lapangan penelitian bersifat natural atau wajar, sebagaimana adanya, tanpa dimanipulasi, diatur dengan eksperimen atau tes.

Oleh karena data yang hendak diperoleh dari rencana penelitian tesis bersifat kualitatif berupa deskripsi analitik tentang suatu peristiwa yang diambil dari situasi yang wajar, maka dibutuhkan ketelitian dari peneliti untuk dapat mengamati secermat mungkin aspek-aspek yang diteliti, dari hal tersebut terlihat disini bahwa peranan peneliti sangat menentukan sebagai alat penelitian utama

(key instrumen) yang mengadakan sendiri pengamatan atau wawancara berstruktur. Dalam kaitan ini Nasution (1996:9) berpendapat bahwa:

“Hanya manusia sebagai instrumen dapat memahami makna interaksi antar manusia, membaca gerak muka, menyelami perasaan dan nilai yang terkandung dalam ucapan atau perbuatan responden. Walaupun digunakan alat rekam atau kamera peneliti tetap memegang peran utama sebagai alat penelitian”.

Begitu pula dalam rencana penelitian tesis, penulis sebagai instrumen utama yang berusaha mengungkapkan data secara mendalam dengan dibantu oleh beberapa tehnik pengumpulan data. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Moleong (2005:9) bahwa :

“Bagi peneliti kualitatif manusia adalah instrumen utama, karena ia menjadi segala dari keseluruhan penelitian. Ia sekaligus merupakan perencana, pelaksana, pengumpul data, analisis, penafsir, dan pada akhirnya ia menjadi pelopor penelitiannya”.

Disamping menekankan pada faktor peneliti sebagai alat penelitian utama, rencana penelitian tesis inipun memperhatikan pula metode yang digunakan agar hasilnya sesuai dengan yang diharapkan.


(26)

Penelitian kualitatif dengan metode studi kasus dimaksudkan untuk mengungkapkan dan memahami kenyataan-kenyataan yang terjadi di lapangan sebagaimana adanya. Melalui pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus akan lebih luas dan mendalam mengungkapkan kajian tentang pendidikan kewarganegaraan berbasis multikultural dalam menumbuhkan sikap nasioanalisme siswa. Menurut S. Nasution (1996:55):

Studi kasus atau case study adalah untuk penelitian yang mendalam tentang suatu aspek lingkungan sosial termasuk manusia di dalamnya. Case study dapat dilakukan terhadap seorang individu, kelompok atau suatu golongan manusia, lingkungan hidup manusia atau lembaga sosial. Sedangkan Menurut Maxfield (dalam Nazir, 1983:66) studi kasus atau case study adalah:

Penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Yang subjek penelitiannya dapat berupa individu, kelompok, lembaga, maupun masyarakat. Sehingga dapat memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter-karakter yang khas dari kasus, yang kemudian dari sifat-sifat khas di atas akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum.

2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dan informasi dalam penelitian ini dilakukan dengan berbagai cara dan teknik yang berasal dari berbagai sumber baik manusia maupun bukan manusia. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dan informasi yang digunakan adalah teknik pengumpulan data kualitatif, yang meliputi studi wawancara mendalam, studi dokumentasi, studi literatur dan observasi.

Wawancara mendalam ialah cara untuk menggali informasi, pemikiran, gagasan, sikap dan pengalaman narasumber. Wawancara tatap muka dilakukan


(27)

secara langsung antara peneliti dan narasumber secara dialogis, tanya jawab, diskusi dan melalui cara lain yang dapat memungkinkan diperolehnya informasi yang diperlukan. Teknik wawancara ini merupakan metode pengumpulan data dan informasi yang utama untuk mendeskripsikan pengalaman informan.

Studi dokumentasi, ialah cara untuk menggali, mengkaji, dan mempelajari sumber-sumber tertulis baik dalam bentuk Laporan Penelitian, Dokumen Kurikulum, Makalah, Jurnal, Klipping Media Massa, dan Dokumen Negara (Pemerintah). Pemilihan metode ini dilandasi oleh pemikiran bahwa dalam sumber-sumber tertulis tersebut dapat diperoleh ungkapan gagasan, persepsi, pemikiran, serta sikap para pakar dan praktisi pendidikan kewarganegaraan.

Studi literatur, dimaksud untuk mengungkapkan berbagai teori-teori yang relevan dengan permasalahan yang sedang dihadapi/diteliti sebagai bahan pembahasan hasil penelitian. Teknik ini dilakukan dengan cara membaca, mempelajari dan mengkaji literatur-literatur yang berhubungan dengan pendidikan kewarganegaraan, pembelajaran multikultural, nasionalisme dan pendidikan kewarganegaraan berbasis multikultural. Faisal (1992:30) mengemukakan bahwa hasil studi literatur bisa dijadikan masukan dan landasan dalam menjelaskan dan merinci masalah-masalah yang akan diteliti; termasuk juga memberi latar belakang mengapa masalah tersebut penting diteliti.

Observasi partisipatif, Observasi partisipasi dilakukan untuk memperoleh informasi yang seutuh mungkin dengan memperhatikan tingkat peluang kapan dan di mana serta kepada siapa peneliti sebagai instrumen dapat menggali, mengkaji, memilih, mengorganisasikan, dan mendeskripsikan informasi


(28)

selengkap mungkin. Menurut Arikunto (2002:133) observasi merupakan suatu pengamatan yang meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan seluruh alat indra.

Dalam hal ini, peneliti adalah instrumen utama (key instrument) dalam pengumpulan data. Untuk mendukung ketersediaan data dan analisis data, peneliti memanfaatkan sumber-sumber lain berupa dokumen negara, catatan dan dokumen (non human resources). Menurut Lincoln dan Guba (1985: 276-277) catatan dan dokumen ini dapat dimanfaatkan sebagai saksi dari kejadian-kejadian tertentu atau sebagai bentuk pertanggungjawaban. Dalam studi dokumentasi ini, peneliti akan memanfaatkan sumber kepustakaan berupa hasil penelitian, dan pembahasan konseptual dengan menggunakan teknik analisis yang dikaitkan dengan pembelajaran kewarganegaraan berbasis multikultural.

H. Lokasi dan Subjek Penelitian

Adapun yang dijadikan lokasi dalam penelitian ini ialah SMA Santo Aloysius yang terletak di Kota Bandung, yang merupakan sekolah favorit dan ternama di Kota Bandung, yang memiliki siswa yang berasal dari berbagai daerah dan bersifat multi etnis dan multikultur. Kondisi tersebut tidak jarang memicu gesekan-gesekan, pertentangan-pertentangan, perselisihan, perpecahan bahkan sampai pada konflik-konflik yang menimbulkan kerusuhan.

Dengan melihat kondisi seperti itu maka menurut peneliti sangat tepat dan memungkinkan peneliti untuk mengadakan penyelidikan mengenai masalah yang dimaksud di atas.


(29)

Adapun yang menjadi subjek penelitian lebih ditekankan pada subjek data yang dapat memberikan informasi untuk tujuan penelitian. Yang dimaksud subjek penelitian itu sendiri menurut S. Nasution (1996:32) ialah: “Sumber yang dapat memberikan informasi, dipilih secara purposive dan bertalian dengan purpose atau tujuan tertentu”.

Subjek penelitian yang peneliti jadikan sumber data meliputi: Siswa, Guru, Kepala Sekolah dan Para praktisi pendidikan.

Tetapi tidak menutup kemungkinan didapatnya data-data selain dari sumber data yang telah ditetapkan di atas, selama data tersebut dapat menunjang keberhasilan penyelidikan dalam penelitian ini.


(30)

BAB III

METODE DAN TEKNIK PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian tentang "pengembangan pendidikan kewarganegaraan berbasis multikultural dalam menumbuhkan nasionalisme" ini adalah pendekatan penelitian kualitatif, yaitu suatu pendekatan yang tidak menggunakan upaya kuantifikasi atau perhitungan-perhitungan statistik, melainkan lebih menekankan kepada kajian interpretatif. Vernon van Dyke (1965: 114) memaknai pendekatan dalam penelitian sebagai ”An approach consists or criteria of selection-criteria employed in selecting the problems or questions to consider and in selecting the data to bring to bear; it consists of standards governing the inclusion of questions and data”, atau suatu pendekatan terdiri dari ukuran-ukuran-ukuran pemilihan, ukuran-ukuran yang dipergunakan dalam memilih masalah-masalah atau pernyataan-pernyataan untuk dipertimbangkan dan dalam memilih data yang perlu diadakan; ini terdiri dari ukuran-ukuran-ukuran baku yang menetapkan pemasukan atau pengeluaran pernyataan-pernyataan dan data.

Pernyataan ini menyiratkan bahwa suatu pendekatan mengandung kriteria pemilihan yang dipergunakan dalam menentukan masalah-masalah atau pertanyaan-pertanyaan dan data penelitian. Hal ini diperjelas oleh Kerlinger (2000:18) yang menyatakan bahwa pendekatan atau ancangan ilmiah merupakan bentuk sistematis yang khusus dari seluruh pemikiran dan telaah reflektif.


(31)

Pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini berimplikasi pada penggunaan ukuran-ukuran kualitatif secara konsisten, artinya dalam pengolahan data, sejak mereduksi, menyajikan dan memverifikasi dan menyimpulkan data tidak menggunakan perhitungan-perhitungan secara matematis dan statistik, melainkan lebih menekankan pada kajian interpretatif.

Creswell (1998:15) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai berikut:

Qualitative research is an inquiry process of understanding based on distinct methodological traditions of inquiry that explore a social or human problem. The researcher builds a complex, holistic picture, analyzes words, reports detailed views of informants, and conducts the study in a natural setting.

Kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah proses penelitian untuk memahami berdasarkan tradisi metodologi penelitian tertentu dengan cara menyelidiki masalah sosial atau manusia. Peneliti membuat gambaran kompleks bersifat holistik, menganalisis kata-kata, melaporkan pandangan-pandangan para informan secara rinci, dan melakukan penelitian dalam situasi alamiah.

Karakteristik pokok yang menjadi perhatian dalam penelitian kualitatif adalah kepedulian terhadap ”makna”. Dalam hal ini penelitian naturalistik tidak peduli terhadap persamaan dari obyek penelitian melainkan sebaliknya mengungkap tentang pandangan tentang kehidupan dari orang-orang yang berbeda-beda. Pemikiran ini didasari pula oleh kenyataan bahwa makna yang ada dalam setiap orang (manusia) berbeda-beda. Oleh karena itu, tidak mungkin untuk mengungkap kenyataan yang ada dalam diri orang yang unik itu menggunakan alat lain kecuali manusia sebagai instrumen. Lebih lanjut Lincoln dan Guba


(32)

(1985:199) menyatakan bahwa: ”... the human-as-instrument is inclined toward methods that are extensions of normal human activities: looking, listening, speaing, reading, and the like”. Dari pernyataan ini semakin jelas bahwa keunggulan manusia sebagai instrumen dalam penelitian naturalistik karena alat ini dapat melihat, mendengar, membaca, merasa, dan sebagainya yang biasa dilakukan manusia umumnya.

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Bogdan dan Biklen (1992:31) yang menyatakan bahwa peneliti kualitatif lebih peduli pada proses daripada hasil atau produk - qualitative researchers are concerned with process rather than simply with outcomes or product. Proses dalam hal ini merupakan kegiatan-kegiatan penyelidikan dengan fokus pada pengembangan pendidikan kewarganegaraan berbasis multikultural dalam memupuk nasionalisme.

Penelitian kualitatif sering juga disebut sebagai metode etnografik, metode fenomenologis, atau metode impresionistik (Cresswell, 1998: 7; Sudjana dan Ibrahim, 1989: 195). Karena metode penelitian kualitatif sering digunakan untuk menghasilkan teori berdasarkan data dari lapangan (grounded theory), maka teori yang dihasilkannya disebut sebagai generating theory. Karena itu, ketepatan interpretasinya sangat bergantung pada ketajaman analisis, objektivitas, sistematik dan sitemik.

Pendekatan penelitian kualitatif disebut juga pendekatan naturalistik karena situasi lapangan penelitian bersifat natural atau alamiah, apa adanya, dan tidak dimanipulasi (Cresswell, 1998; Nasution, 1992:18). Menurut Bogdan dan Biklen (1982:27), pengumpulan data dalam penelitian kualitatif hendaknya


(33)

dilakukan sendiri oleh peneliti dan mendatangi sumbernya secara langsung. Sekait dengan hal tersebut, Lincoln & Guba (1985:189) menegaskan bahwa:

We suggest that inquiry must be carried out in a natural setting because phenomena of study, whatever they may be, take their meaning as much from their context as they do from themselves ... No phenomena can be understood out of relationship to the time and context spawned, narored, and supported it.

Pendekatan naturalistik-kualitatif dipandang sesuai dengan masalah penelitian ini dengan beberapa alasan:

1. Penelitian mencoba mengungkap dokumen proses berlangsungnya pendidikan kewarganegaraan berbasis multikultural di SMA Santo Aloysius Kota Bandung. Beberapa alasan menggunakan dokumen tersebut sebagaimana dikemukakan Guba & Lincoln dalam A. Chaedar Alwasilah (2003:156):

a. Dokumen merupakan sumber informasi yang lestari.

b. Dokumen merupakan bukti yang dapat dijadikan dasar untuk mempertahankan diri terhadap tuduhan atau kekeliruan interfrestasi. c. Dokumen itu sumber data alami, bukan hanya muncul dari konteknya,

tetapi juga menjelaskan konteks itu sendiri. d. Dokumen itu relatif mudah dan murah. e. Dokumen itu sumber data yang non-reaktif.

f. Dokumen berperan sebagai sumber pelengkap dan memperkaya bagi informasi yang diperoleh lewat interview atau observasi.

2. Penelitian ini berfokus pada bagaimana pengembangan pembelajaran kewarganegaraan berbasis multikultural dalam memupuk nasionalisme. Hal ini dapat terungkap melalui pendekatan kualitatif sesuai dengan karakteristik kualitatif yang dikemukakan oleh Bogdan & Mien (1982:28): qualitative researchers are concerned


(34)

with process rather than simply with outcomes or products. Penekanan kualitatif pada proses secara khusus memberi keuntungan dalam penelitian pendidikan di mana dapat dilakukan kejadian mengenai perfoman siswa dan harapan guru yang dapat dilihat dalam aktivis keseharian, dan Nana sudjana & Ibrahim (1989 : 189) mengatakan bahwa, "tekanan penelitian kualitatif ada pada proses bukan pada hasil". 3. Penelitian ini mencoba mengungkap bagaimana perilaku yang

ditunjukkan siswa terhadap pengembangan nasionalisme melalui pendidikan kewarganegaraan di SMA Santo Aloysius Bandung. Untuk memahami hal-hal tersebut dapat ditemukan apabila dilakukan p e n e l i t i a n m e l a l u i p e n d e k a t a n n a t u r a l i s t i k . Li n c o n & G u b a ( 1 9 8 5 : 3 9 ) mengatakan:

Naturalist elects to carry out research in the natural setting or context of entity tor which study is purposed because naturalistic ontology suggests that realities are who lows that cannot be under stood i n isolati on f rom their contexts nor can t hey be f ragmamted for separate study of the parts.

Pendekatan naturalistik-kualitatif yang digunakan dalam model studi kasus, yang satuan kajiannya dilakukan dalam lingkup yang terbatas. Bodgan dan Biklen (1982:58) mengatakan: “... a detailed examinitaion of one setting, or one single subject, or one single despositiry or document, or one particular event". Dalam hal yang lebih khusus, model studi kasus seperti digambarkan di atas, pada prinsipnya adalah model studi kasus tunggal

(single case study). Penggunaan model studi kasus dalam penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa penelitiannya dilakukan pada satu


(35)

sekolah. Di samping itu, studi kasus mempunyai kelebihan dibanding studi lainnya yaitu peneliti dapat mempelajari sasaran penelitian secara mendalam dan menyeluruh.

Pendekatan naturalistik-kualitatif dalam model studi kasus ini untuk mengungkapkan data atau informasi sebanyak mungkin tentang bagaimana pembelajaran kewarganegaraan berbasis multikultural dalam menumbuhkan nasionalisme.

Sesuai dengan hakekat pendekatan penelitian kualitatif, peneliti ingin memperoleh pemahaman terhadap bagaimana pengembangan pendidikan kewarganegaraan berbasis multikultural dalam memupuk nasionalisme, maka aspek-aspek yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah yang berhubungan dengan kondisi aktual lembaga pendidikan (dalam hal ini, SMA Santo Aloysius Kota Bandung), dan khususnya yang terkait dengan sikap dan perilaku siswa.

Dengan melakukan pendekatan penelitian kualitatif, peneliti dapat lebih leluasa memahami konteks pengembangan pendidikan kewarganegaraan berbasis multikultural dalam memupuk nasionalisme siswa. Selain itu peneliti ingin dapat mengungkapkan perilaku person, gagasan dan pikirannya, sebab penelitian kualitatif pada hakekatnya juga merupakan pengamatan kepada orang-orang tertentu dalam lingkungannya, berinteraksi dengan mereka dan berusaha memahami bahasa mereka serta menafsirkannya sesuai dengan dunianya (Nasution, 1992:5; Bogdan & Biklen, 1992:49; dan Lincoln & Guba, 1985:3).

Beberapa literatur menyebutkan ciri-ciri penelitian kualitatif/naturalistik, antara lain, sumber data adalah situasi wajar (natural setting), peneliti sebagai


(36)

instrumen utama pengumpul data penelitian (key, instrument), sangat deskriptif, mementingkan proses, mengutamakan data langsung (first hand), triangulasi (data dari satu sumber harus dicek kebenarannya dengan cara memperoleh data yang sama dari sumber lain), mementingkan perpektif emic (pandangan responden), sampling purposif, audit-trail (apakah laporan penelitian sesuai data yang terkumpul), partisipasi tanpa mengganggu (passive participation), analisis dilakukan sejak awal dan selama melakukan penelitian, dan disain penelitian muncul selama proses penelitian (emergent, evolving dan developing).

B. Metode Penelitian

Disamping menekankan pada faktor peneliti sebagai alat penelitian utama, penelitian inipun memperhatikan pula metode yang digunakan agar hasilnya sesuai dengan yang diharapkan. Burgess (dalam Nasution, 1996:17) mengemukakan bahwa metode penelitian kualitatif sebenarnya meliputi sejumlah metode penelitian, antara lain kerja lapangan, penelitian lapangan, studi kasus, ethnografi, prosedur interpretatif dan lain-lain. Berpijak pada pendapat tersebut, maka penulis memilih metode penelitiannya yang dianggap tepat yakni studi kasus. Berkenaan dengan hal ini, Deddy Mulyana (2002:201) mengemukakan bahwa studi kasus adalah uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi (komunitas), suatu program, atau suatu situasi sosial. Lebih lanjut Deddy Mulyana (2002:201) menjelaskan bahwa :


(37)

Peneliti studi kasus berupaya menelaah sebanyak mungkin data mengenai subjek yang diteliti. Mereka sering menggunakan berbagai metode wawancara (riwayat hidup), pengamatan, penelaahan dokumen, (hasil) survei, dan data apa pun untuk menguraikan suatu kasus secara terinci. Jadi alih-alih menelaah sejumlah kecil variabel dan memilih suatu sampel besar yang mewakili populasi, peneliti secara seksama dan dengan berbagai cara mengkaji sejumlah besar variabel mengenai suatu kasus khusus. Dengan mempelajari semaksimal mungkin seorang individu, suatu kelompok, atau suatu kejadian, peneliti bertujuan memberikan pandangan yang lengkap dan mendalam mengenai subjek yang diteliti.

Pandangan diatas mengandung pula kerangka berfikir yang sama dengan pendapat dari Suharsimi Arikunto (1989:120) yang menyatakan bahwa :

Penelitian kasus adalah suatu penelitian yang dilakukan secara intensif terinci dan mendalam terhadap suatu organisasi, lembaga atau gejala tertentu. Ditinjau dari lingkup wilayahnya, maka penelitian kasus hanya meliputi daerah atau subjek yang sangat sempit. Tetapi ditinjau dari sifat penelitian, penelitian kasus lebih mendalam dan membicarakan kemungkinan untuk memecahkan masalah yang aktual dengan mengumpulkan data, menyusun dan mengaflikasikannya dan menginterprestasikannya.

Sebagai suatu metode kualitatif, studi kasus mempunyai beberapa keuntungan. Lincoln dan Guba (dalam Deddy Mulyana, 2002:201) mengemukakan bahwa keistimewaan studi kasus meliputi hal-hal berikut :

• Studi kasus merupakan sarana utama bagi penelitian emik, yakni menyajikan pandangan subjek yang diteliti.

• Studi kasus menyajikan uraian menyeluruh yang mirip dengan apa yang dialami pembaca dalam kehidupan sehari-hari.

• Studi kasus merupakan sarana efektif untuk menunjukkan hubungan antara peneliti dan responden.

• Studi kasus memungkinkan pembaca untuk menemukan konsistensi internal yang tidak hanya merupakan konsistensi gaya dan konsistensi faktual tetapi juga keterpercayaan (trustworthiness).

• Studi kasus memberikan “uraian tebal” yang diperlukan bagi penilaian atau transferabilitas.

• Studi kasus terbuka bagi penilaian atas konteks yang turut berperan bagi pemaknaan atas fenomena dalam konteks tersebut.


(38)

Dari pendapat diatas digambarkan bahwa metode studi kasus lebih menitik beratkan pada suatu kasus, adapun kasus yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengembangan pendidikan kewarganegaraan berbasis multikultural dalam menumbuhkan nasionalisme siswa. Kasus tersebut dibatasi dalam suatu ruang lingkup sekolah menengah atas yang berada di Kota Bandung, yaitu SMA Santo Aloysius. Penggunaan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus diharapkan mampu mengungkap aspek-aspek yang diteliti terutama pengembangan pendidikan kewarganegaraan berbasis multikultural dalam menumbuhkan nasionalisme mulai proses pelaksanaannya, pengembangannya, perilaku yang ditunjukan siswa, prospek dan hambatan dalam pengimplementasiannya serta perubahan-perubahannya.

Penggunaan pendekatan penelitian kualitatif dengan studi kasus dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi yang objektif dan mendalam tentang fokus penelitian. Oleh karena itu, penulis lebih banyak menggunakan pendekatan antar personal di dalam penelitian ini, artinya selama proses penelitian penulis akan lebih banyak mengadakan kontak atau berhubungan dengan orang-orang dilingkungan lokasi penelitian. Dengan demikian diharapkan peneliti dapat lebih leluasa mencari informasi dan mendapatkan data yang lebih terperinci tentang berbagai hal yang diperlukan untuk kepentingan penelitian. Selain juga berusaha mendapatkan pandangan dari orang diluar sistem dari subjek penelitian, atau dari pengamat, untuk menjaga objektifitas hasil penelitian.


(39)

C. Subjek Penelitian dan Sumber Data 1. Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini, teknik penentuan subjek penelitian dimaksudkan agar peneliti dapat sebanyak mungkin memperoleh informasi dengan segala kompleksitas yang berkaitan pengembangan pendidikan kewarganegaraan berbasis multikultural dalam memupuk nasionalisme yang diperlukan. Meskipun demikian, pemilihan subjek penelitian tidak dimaksudkan untuk mencari persamaan yang mengarah pada pengembangan generalisasi, melainkan untuk mencari informasi secara rinci yang sifatnya spesifik yang memberikan citra khas dan unik.

Terdapat beberapa kriteria yang digunakan dalam penetapan subjek penelitian, yakni latar (setting), para pelaku (actors), peristiwa-peristiwa (events), dan proses (process) (Miles dan Huberman, 1992:56; Alwasilah, 2003:145-146). Kriteria pertama adalah latar, yang dimaksud adalah situasi dan tempat berlangsungnya proses pengumpulan data, yakni di dalam dan di luar sekolah, wawancara di rumah, wawancara di kantor, wawancara formal dan informal, berkomunikasi resmi, dan berkomunikasi tidak resmi. Kriteria kedua, pelaku, yang dimaksud adalah pakar yang berlatar keilmuan terkait dengan dimensi pendidikan kewarganegaraan serta banyak menaruh perhatian yang tinggi terhadap pengembangan pendidikan kewarganegaraan berbasis multicultural dalam menumbuhkan nasionalisme. Kriteria ketiga adalah peristiwa, yang dimaksud adalah pandangan, pendapat dan penilaian tentang peranan pendidikan kewarganegaraan berbasis multikultural dalam pengembangan nasionalisme siswa


(40)

yang disampaikan secara individual baik dalam kegiatan belajar mengajar. Kriteria keempat adalah proses, yang dimaksud wawancara peneliti dengan subjek penelitian berkenaan dengan pendapat dan pandangannya terhadap fokus masalah dalam penelitian ini.

2. Sumber Data

Informasi dalam bentuk lisan dan tulisan dalam penelitian kualitatif berturut-turut menjadi data primer dan sekunder penelitian. Data primer yang dikumpulkan mencakup persepsi dan pemahaman person serta deskripsi lainnya yang berkaitan dengan fokus penelitian; sedangkan data sekunder adalah data mengenai jumlah person dan kualifikasinya serta berkas kertas kerja yang dapat mengungkapkan informasi, tentang pengembangan pendidikan kewarganegaraan berbasis multikultural dalam memupuk nasionalisme di SMA Santo Aloysius Kota Bandung.

Sesuai dengan bentuk-bentuk data yang dikumpulkan dalam penelitian ini, maka sumber-sumber data penelitian ini meliputi manusia, benda, dan peristiwa. Manusia dalam penelitian kualitatif merupakan sumber data, berstatus sebagai informan mengenai fenomena atau masalah sesuai fokus penelitian. Benda merupakan bukti fisik yang berhubungan dengan fokus penelitian, sedangkan peristiwa merupakan informasi yang menunjukkan kondisi yang berhubungan langsung dengan pengembangan pendidikan kewarganegaraan berbasis multikultural dalam memupuk nasionalisme siswa.

Sesuai dengan fokus masalah penelitian ini, unit-unit analisisnya adalah: (1) proses berlangsungnya pendidikan kewarganegaraan berbasis multikultural di


(41)

SMA Santo Aloysius Kota Bandung?; (2) pengembangan yang dilakukan guru dalam pendidikan kewarganegaraan berbasis multikultural guna memupuk nasionalisme pada siswa di SMA Santo Aloysius Kota Bandung?; (3) perilaku yang ditunjukkan siswa terhadap pengembangan nasionalisme melalui pendidikan kewarganegaraan di SMA Santo Aloysius Kota Bandung?; (4) prospek dan hambatan mengimplementasikan pendidikan kewarganegaraan berbasis multikultural di SMA Santo Aloysius Kota Bandung?

Sumber data utama untuk unit-unit analisis tersebut adalah kepala sekolah, ketua yayasan, komite sekolah, guru mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan dan siswa, termasuk dokumen tentang kebijakan-kebijakan penyelenggaraan serta dokumen sekolah yang relevan dengan fokus penelitian.

D. Sampling Penelitian

Teknik sampling dalam penelitian kualitatif jelas berbeda dengan yang nonkualitatif. Pada penelitian nonkualitatif, sampel dipilih dari suatu populasi sehingga dapat digunakan untuk melakukan generalisasi, sehingga sampel benar-benar mewakili ciri-ciri suatu populasi. Dalam penelitian berparadigma aamiah, sebagaimana dijelaskan Lincoln dan Guba (1985:199-200):

All sampling is done with some purpose in mind. Within the conventional paradigm that purposes almost always is to define a sample that is some sense representative of population to which it is desired to generalize. Even a simple random sample is representative in the sense that every element in the population has an equal change of being chosen.

Menurut Moleong (1995:165), dalam penelitian kualitatif, peneliti sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor kontekstual. Maksudnya, sampling dalam hal ini ialah untuk menjaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam


(42)

sumber dan bangunannya (constructions). Dengan demikian tujuannya bukan memusatkan diri pada adanya perbedaan-perbedaan yang nantinya dikembangkan ke dalam generalisasi, melainkan untuk merinci kekhususan yang ada ke dalam rumusan konteks yang unik. Di samping itu, sampling ini dimaksudkan untuk menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul. Oleh karena itu, pada penelitian kualitatif ini tidak ada sampel acak, tetap sampel bertujuan (purposive sampling).

Sesuai dengan hakekat penelitian kualitatif, maka subjek dalam penelitian ini ditentukan secara snow ball sampling, artinya, subjek penelitian relatif sedikit dan dipilih menurut tujuan penelitian; namun subjek penelitian dapat terus bertambah sesuai keperluannya. Dalam penelitian ini, teknik snow ball sampling dilakukan apabila dalam pengumpulan datanya tidak cukup hanya dari satu sumber, maka dikumpulkan juga data dari sumber-sumber lain yang berkompeten. Misalnya, jika pengumpulan data tidak cukup, hanya dari kepala sekolah saja, maka dikumpulkan juga dari pihak yayasan, komite sekolah, guru, siswa dan/atau dari masyarakat pengguna jasa kependidikan. Teknik-teknik penentuan jumlah subjek penelitian seperti ini adalah

snowball sampling (Bogdan & Biklen. 1982; Miles & Huberman, 1994; dan Nasution, 1992: 11, 33).

E. Teknik-teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan hakekat penelitian kualitatif, peneliti merupakan instrumen utama (key instrument) dalam pengumpulan data. Karena itu, peneliti memiliki peranan yang fleksibel dan adaptif. Artinya, peneliti dapat


(43)

menggunakan seluruh alat indera yang dimilikinya untuk memahami fenomena sesuai dengan fokus penelitian (Cresswell, 1998; Lincoln dan Guba, 1985: 4; Bogdan dan Biklen, 1992: 28). Sehubungan dengan hal itu, maka dalam penelitian ini peneliti sendiri terjun langsung ke lapangan untuk mengumpulkan seluruh data sesuai dengan fokus penelitian, yakni pengembangan pendidikan kewarganegaraan berbasis multikultural dalam memupuk nasionalisme.

Tahapan-tahapan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah tahap orientasi, tahap eksplorasi, dan tahap member-chek. Kegiatan yang dilakukan dalam tahap pertama adalah pra-survei atau survei pendahuluan ke lokasi penelitian untuk mendapatkan gambaran tentang tentang masalah yang akan diteliti. Dalam tahap yang kedua dilakukan pengumpulan data sesuai dengan fokus penelitian.

Sesuai dengan peranan peneliti sebagai alat penelitian yang utama, maka peneliti dapat melakukan sendiri pengamatan dan wawancara tak berstruktur kepada responden penelitian ini (pihak kepala sekolah, ketua yayasan, dewan sekolah, guru dan siswa). Karena perananya sebagai instrumen utama dalam pengumpulan informasi atau data, maka informasi atau data penelitian yang terkumpul tersebut diharapkan dapat dipahami secara utuh, termasuk makna interaksi antarmanusia, dan peneliti juga diharapkan dapat menyelami perasaan dan nilai yang terkandung dari ucapan atau perbuatan responden penelitian. Erickson dalam melakukan penelitian lapangan (Erickson, 1986:21), peneliti dituntut untuk melakukan (1) interaksi


(44)

secara intensif dan jangka panjang di lokasi penelitian; (2) melakukan pencatatan (recording) tentang apa yang terjadi di lokasi penelitian, membuat catatan-catatan lapangan, dan mengumpulkan dokumen-dokumen lainnya (seperti memo, catatan-catatan, dan catatan-catatan kepala sekolah dan guru-guru); dan (3) refleksi analitik berikutnya pada catatan-catatan dan dokumen-dokumen yang dikumpulkan dari lapangan dan dilaporkan dengan cara mendeskripsikannya secara detil, antara lain dengan membuat sketsasketsa naratif dan kutipan langsung dari interview maupun dengan cara mendeskripsikan dalam bentuk-bentuk yang lebih umum.

1. Wawancara

Wawancara atau interview adalah suatu bentuk komunikasi verbal jadi semacam percakapan yang bertujuan memperoleh informasi (Nasution, 2003:113). Maksud dilakukannya wawancara tersebut antara lain untuk membuat suatu konstruksi sekarang dan disini mengenai orang, peristiwa, aktivitas, motifasi, perasaan dan lain sebagainya.

Wawancara sebagaimana dikemukakan Dexter (dalam Lincoln dan Guba, 1985:268) adalah percakapan dengan suatu tujuan. Tujuan yang dimaksud dalam wawancara bisa meliputi hal-hal di luar diri yang diwawancarai, capaian yang sedang dijalani subjek penelitian saat ini, suatu peristiwa, aktivitas, organisasi, perasaan, motivasi, pengakuan dan berbagai macam lainnya. Wawancara juga boleh menyangkut projeksi tentang masa depan subjek penelitian baik menyangkut keinginannya maupun pengalaman masa depannya, verifikasi dan perluasan informasi.


(45)

Menurut Patton (1990:280) (Sapriya, 2007) pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam penelitian naturalistik dapat mengikuti tiga macam pilihan sebagai berikut: Pertama, Wawancara percakapan informal (the informal conversation interview), ialah wawancara yang sepenuhnya didasarkan pada susunan pertanyaan spontan ketika interaksi berlangsung khususnya pada proses observasi partisipatif di lapangan. Pada saat wawancara melalui percakapan intormasi berlangsung terkadang orang yang diwawancarai tidak diberitahu bahwa mereka sedang diwawancarai.

Kedua, Wawancara umum dengan dengan pendekatan terarah (thegeneral interview guide approach), ialah jenis wawancara yang menggariskan sejumlah isu yang harus digali dari setiap responden sebelum wawancara dimulai. Pertanyaan yang diajukan tidak perlu dalam urutan yang diatur terlebih dahulu atau dengan kata-kata yang dipersiapkan. Panduan wawancara memberikan

checklist selama wawancara untuk meyakinkan bahwa topik-topik yang sesuai telah terakomodasi. Peneliti menyesuaikan baik urutan pertanyaan maupun kata-kata untuk responden tertentu.

Ketiga, Wawancara terbuka yang baku (the standardized open-ended interview), meliputi seperangkat pertanyaan yang secara seksama disusun dengan maksud untuk menjaring informasimengenai isu-isu yang sesuai dengan urutan dan kata-kta yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Fleksibilitas dalam menggali informasi dibatasi, tergantung pada sifat wawancara dan keterampilan peneliti.

Lebih lanjut mengenai apa yang perlu ditanyakan kepada subjek penelitian, Patton (1989:198) memberikan kiatnya. (a) pertanyaan berkaitan


(46)

dengan pengalaman dan perilaku; (b) pertanyaan berkaitan dengan pendapat atau nilai; (c) pertanyaan berkaitan dengan perasaan; (d) Pertanyaan berkaitan dengan pengetahuan; (e) pertanyaan berkaiatan dengan indera; (f) pertanyaan berkaitan dengan latar belakang atau demografi.

Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara tidak-berstruktur. Sesuai dengan bentuk wawancara ini, peneliti tidak terikat secara ketat pada pedoman wawancara. Pelaksanaannya bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja selama berhubungan dengan fenomena dan fokus penelitian. Tipe wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara secara luas dan mendalam atau indepthinterview (Patton, 1980).

Untuk memudahkan ingatan terhadap data atau informasi, maka peneliti menggunakan catatan-catatan lapangan. Dalam penggunaan catatan lapangan, p e n e l i t i m e n ga p l i k a s i k a n p e r s p e k t i f e m i c , ya i t u m e m e n t i n gk a n a t a u mengutamakan pandangan responden dan interpresentasinya. Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah yang diharapkan dapat memberi keuntungan dimana responden yang diwawancarai bisa merekonstruksi dan menafsirkan ide-idenya. Dalam pelaksanaannya, penelitian menggunakan alat bantu berupa catatan-catatan lapangan. Tujuannya adalah untuk memudahkan mengingat data yang dikumpulkan, baik yang bersifat verbal maupun nonverbal. Selain itu, penggunaan alat bantu tersebut sangat penting untuk mengimbangi keterbatasan daya ingat peneliti mengenai informasi yang diperoleh dengan cara wawancara secara terbuka atau open-ended interview.


(47)

2. Observasi

Jenis-jenis observasi yang dapat dilakukan dalam penelitian kualitatif, antara lain observasi non-interaktif dan observasi interaktif (Bogdan & Biklen, 1994). Dalam observasi non-interaktif berarti tidak ada observasi secara langsung, atau tidak melibatkan pengamatan secara langsung; sedangkan dalam onservasi interaktif, berarti dalam pengumpulan data dilakukan dengan partisipan dan melibatkan pengamatan. Dalam pengamatan ini, peneliti menggunakan secara dominan bentuk partisipasi interaktif dan observasi nonpartisipatif (observasi secara tidak langsung atau tidak secara terang-terangan).

Cara seperti itu memungkinkan sebagaimana dikemukakan Buford Junker (dalam Patto, 1989:131-132), bahwa pengamatan berperan serta dapat dilakukan dengan empat cara. Pertama, pengamatan berperan serta secara lengkap (complete participant). Dalam peran ini, aktivitas peneliti sepenuhnya menjadi anggota dari kelompok yang diamati. Dengan cara demikian, seorang peneliti dapat memperoleh semua informasi dan subjek penelitian, termasuk yang rahasia sekalipun.

Kedua, berperan serta sebagai pengamat (participant as observer). Dalam peran ini, peneliti masuk ke dalam kelompok subjek penelitian tidak sepenuhnya, melainkan sekadar sebagai pengamat, sehingga keberadaannya dalam kelompok tersebut berpura-pura. Peran yang demikian konsekuensinya sering terbatas untuk mendapatkan seluruh informasi yang ada, terutama yang bersifat rahasia.


(48)

Ketiga, peneliti berperan sebagai pengamat yang berperan serta (observer as participant). Peran ini dilakukan peneliti karena peneliti secara umum memang diketahui pekerjaannya sebagai peneliti, atau bahkan ia disponsori oleh para subjek penelitian. Peran ini memungkinkan bagi peneliti untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan, termasuk informasi yang rahasia sekalipun.

Keempat, peneliti berperan sebagai pengamat penuh (complete observer).

Peran ini dilakukan peneliti secara bersembunyi di belakang kaca satu arah (riben). Cara seperti ini, pengamat dengan leluasa melihat setiap detail grup yang diteliti. Hampir dapat dikatakan, tidak ada rahasia yang dapat diamati.

Mempertimbangkan pendapat Junker tersebut, peneliti berupaya melakukannya dengan cara-cara yang kedua, ketiga dan keempat. Teknik observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara mengamati situasi dan objek penelitian. Dengan cara ini, diharapkan peneliti dapat mengamati kejadian-kejadian dalam lokasi penelitian agar dapat memberikan pengalaman yang menyuluruh tentang fokus penelitian. Selain itu, peneliti juga dapat memperoleh data dari tangan pertama, mencatat segala kejadian yang ditemukan di lapangan sebagaimana adanya atau yang dilakukan secara alamiah.

Setelah melakukan pengamatan, peneliti segera melakukan pencatatan data. Sebagaimana disarankan Guba dan Lincoln (dalam Moleong, 1995:130-132). Peneliti yang murni menjadi pengamat sangat memungkinkan membuat catatan di lapangan, karena saat mengamati ia bebas membuat catatan. Namun yang berperan lain, harus segera dicatat setelah melakukan pengamatan. Catatan berupa laporan langkah-langkah peristiwa yang dibuat dalam bentuk kategori


(1)

Koopmans, et all. (2005). Contested Citizenship: Immigration and Cultural Diversity in Europe. Minneapolis: university of Minnesota press.

Kuper, A. & Kuper. J. (2000). Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Kusumohamidjojo, B. (1993). Pendidikan Wawasan Kebangsaan Tantangan dan Dinamika Perjuangan Kaum Cendekiawan Indonesia. Jakarta: LPSP bekerjasama dengan PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

______. (2000). Kebhinnekaan Masyarakat Indonesia: Suatu Problematik Filsafat Kebudayaan. Jakarta: Grasindo.

Kymlicka, W. (1997). States, Nations and Cultures. Ottawa Canada: Van Gorcum.

______. (2002). Kewargaan Multikultur: Teori Liberal mengenai Hak- hak Minoritas. Terjemahan oleh Edlina Afmini Eddin dari judul Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority. Jakarta: LP3ES.

______. (2003). “Multicultural States and Intercultural Citizens”. In Theory and Research in Education 2003; 1; 147.

______. (2007). Multicultural Odysseys: Navigating the New International Politics of Diversity. New York: United Kingdom.

Lincoln, Y.S. & Guba, E.G. (1985). Naturalistic Inquiry. Baverly Hills: Sage Publications.

Mahfud, Choirul. (2008). Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Maslikhah. (2007). Quo Vadis Pendidikan Multikultural Rekonstruksi Sistem

Pendidikan Berbasis Kebangsaan. Jawa Tengah: JP Books.

May, Larry, Shari Collins-Chobanian, and Kai Wong (Eds). Etika Terapan I: Sebuah Pendekatan Multikultural. Terjemahan oleh Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro dari judul Applied Ethics: A Multicultural Approach.. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.

May, Lary (2001) “Pembagian Tanggungjawab Atas Rasisme”, dalam Larry May, dan Shari Colins-Chobanian, Etika Terapan: Sebuah Pendekatan Multikultura, Terjemahan: Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro, Yogyakarta: Tiara Wacana.

McMillan, J.H. and Sally Schumacher. (2001). Research in Education: A Conceptual Introduction. New York: Longman.


(2)

Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman. (2007). Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-metode Baru. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Moleong, Lexy J. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Muljana, Slamet. (2008). Kesadaran Nasional dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara.

Mulyana, D. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mulyana, D dan Rakhmat, J. (Eds). (2006). Komunikasi Antarbudaya: Panduan

Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Mulyasa. (2004). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Rosdakarya.

Naim, Ngainum dan Achmad Sauqi. (2008). Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Naisbitt, John. (1994). Global Paradox. Alih Bahasa: Budijanto. Jakarta: Binarupa Aksara.

Nasution, S. (1996). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. _____. (2003). Metode Research. Jakarta: Bumi Aksara.

Nazir, Moh. (1983). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Nieto, Sonia. (1992). Affirming Diversity: The Sociopolitical Context of Multicultural Education. New York and London: Longman.

Ohmae, Kenichi. (1993). Dunia Tanpa Batas. Alih Bahasa Budiyanto. Jakarta: Binarupa Aksara.

Ohmae, K. (2002). Hancurnya Negara-Bangsa : Bangkitnya Negara Kawasan dan Geliat Ekonomi Regional di Dunia tak Berbatas. Penerjemah Ruslani. Yogyakarta: Qalam.

Parekh, Bhikhu. (2005). Unity and Diversity in Multicultural Societies. Geneva: International Institute for Labour Studies.


(3)

Patrick, J.J. & Leming, R.S. (2001). Principles and Practices of Democracy in the EDUCATION of Social Studies Teachers. Bloomingtoon: The ERIC Clearinghouse.

Pocock J. G. A. (1995). “The Ideal of Citizenship Since Classical Time”. Queen’s Quarterly, Vol. 99, No. 1, 33-35.

Poespowardojo, S. (1999). Menuju Integrasi Bangsa Indonesia Masa Depan. Jakarta: LP3ES.

Renan, Ernest. (1990). “What Is A Nation ?” dalam Nation and Narration. Diedit oleh Homi Bhabha, London: Routledge.

Reissman, R. (1994). “The Evaluating Multicultural Classroom”. ERIC Reproduction Service Number ED379225.

Saifuddin, A.F. (2004). “Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia”. Kompas, 21 Januari 2006.

Sapriya. (2006). “Warganegara dan Teori Kewarganegaraan”. Dalam Budimansyah, Dasim dan Syaifullah Syam (Ed). Pendidikan Nilai Moral dalam Dimensi Pendidikan Kewarganegaraan: Menyambut 70 Tahun Prof. Drs. H. A. Kosasih Djahiri. Bandung: Lab. PKn FPIPS UPI.

______. (2006). Perspektif Pemikiran Pakar Tentang Pendidikan Kewarganegaraan dalam Pembangunan Karakter Bangsa (Sebuah Kajian Konseptual-Filosofis PKn dalam Konteks Pendidikan IPS). Disertasi SPs UPI: tidak diterbitkan.

Saunders, M. (1982) Multicultural Teaching: Aguide for the classroom, London: McGraw-Hill Company.

Simatupang, Maurits. (2002). Budaya Indonesia yang Supraetnis. Jakarta: Sinar Sinanti.

Simbolon, Parakitri. T. (2000). “Indonesia Memasuki Milenium Ketiga”, dalam 1000 Tahun Nusantara. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Simpson, J.A. & Weiner, E.S.C (Eds). (1989). The Oxford English Dictionary (2nd ed., vol. 3). New York: Oxford University Press.

Somantri, N. (1976). Metode Pengajaran Civics. Bandung: IKIP Bandung.

_____. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya.


(4)

Soyomukti, Nurani. (2008). Soekarno dan Nasakom. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Strauss, A. & Corbin, J. (2007). Dasar-dasar Penelitian Kualitatif: Tatalangkah dan Teknik-teknik Teoritisasi Data. Terjemahan oleh Muhammad Shodiq dan Imam Muttaqien dari judul Basics of Qualitative Research: Grounded Theory Procedures and Techniques. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sudradjat, Edi. (1998). Indonesia Memasuki Millenium III. Surabaya: Pusat Studi Indonesia.

Sujatmiko, Iwan, G. (1999) “Integrasi dan Disintegrasi Nasional” dalam Harian Umum Kompas, 20 Desember 1999.

Sukanta. (1976). Nasionalisme. Bandung: Terate.

Sumantri, Endang. (2008). Seabad Kebangkitan Nasional Revitalisasi dan Reaktualisasi Kebangkitan Nasional Menuju Indonesia Baru yang Adil dan Sejahtera: Upaya Membangkitkan Nasionalisme Melalui Pendidikan. Jakarta: CV. Yasindo Multi Aspek

Supriadi, Dedi. (2001). Konseling Lintas Budaya: Isu-isu dan Relevansinya di Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Bimbingan dan Konseling UPI, Bandung.

Supardan, Dadang. (2002). “Keberhasilan Kebijakan Multikulturalisme Kanada dan Tantangannya: Studi Hak Azasi Manusia dalam Perspektif Global”, Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial (JPIS), Bandung: FPIPS UPI.

Supardan, D. (2004). Pembelajaran Sejarah Berbasis Pendekatan Multikultural dan Perspektif Sejarah Lokal, Nasional, Global, untuk Integrasi Bangsa (Studi Kuasi Eksperimental Terhadap Siswa Sekolah Menengan Umum di Kota Bandung). Disertasi PPS UPI: tidak diterbitkan.

______. (2007). “Pendidikan Multibudaya”. dalam Ali, Mohammad dan rekan. (2007). Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Pedagogia Press.

______. (2008). “Peluang Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultur: Perspektif Pendidikan Kritis”. Alumni, Vol 1 No. 2, Mei-Agustus 2008, 128-151.

______. (2008). Menyikap Kembali Makna Kebangkitan Nasional. Dalam Sumantri, Endang. (2008). Seabad Kebangkitan Nasional Revitalisasi dan Reaktualisasi Kebangkitan Nasional Menuju Indonesia Baru yang Adil dan Sejahtera. Jakarta: CV. Yasindo Multi Aspek


(5)

Suparlan, P. (2001). “Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia”. Jurnal Antropologi Indonesia 66, 2001. ______. (2003) “Bhineka Tunggal Ika: Keanekaragaman Sukubangsa atau

Kebudayaan”, Jurnal Antropologi Indonesia, Tahun XXVII, No.72. ______. (2004). ”Masyarakat Majemuk, Masyarakat Multiultural, dan Minoritas:

Memperjuangakan Hak-hak Minoritas”. Makalah disampaikan dalam Workshop Yayasan Interseksi, Hak-hak Minoritas dalam Landscape Multikultural, Mungkinkah di Indonesia?, Wisma PKBI, 10 Agustus 2004. ______. (2005). Sukubangsa dan Hubungan Antar Sukubangsa. Jakarta: Yayasan

Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.

Tilaar, H.A.R. (2004). Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo. ______. (2007). “Meng-Indonesia: Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia.

Jakarta: Rineka Cipta.

Triantoro, Tweki. dan Suwardiman (2002) “Potret Konflik di Indonesia” dalam Indonesia dalam Krisis 1997-2002, Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Turner, B.S. (Eds). (2006). The Cambridge Dictionary of Sociology. United

Kingdom: Cambridge University Press.

______. (2006). “Citizenship and the Crisis of Multiculturalism”. Citizenship Studies, Vol. 10, No. 5, 607–618, November 2006.

Vandenburg. W. (1985). Minds and Cultures. Toronto: Little Brown and Company, Limited.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Vandenburg. W. (1985). Minds and Cultures. Toronto: Little Brown and Company, Limited.

Wahab, A. Azis, (2006). “Pengembangan Konsep dan Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan Baru Indonesia bagi Terbinanya Warga Negara Multidimensional Indonesia” dalam Pendidikan Nilai Moral dalam Dimensi Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan FPIPS UPI.


(6)

Wahab, A.A. (2007). “Pendidikan Kewarganegaraan”. dalam Ali, Mohammad dan rekan. (2007). Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Pedagogia Press. Winataputra, U.S. (2001). Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Wahana

Sistemik Pendidikan Demokrasi: Suatu Kajian Konseptual Dalam Konteks Pendidikan IPS. Disertasi PPS UPI: tidak diterbitkan.

______. (2004). Pendidikan Kewarganegaraan dalam Perspektif Pencerdasan Kehidupan Bangsa. Disampaikan pada Temu Sambut Guru Besar FKIP UT. Jakarta: FKIP UT.

______ & Budimansyah, D. (2007). Civic Education: Konteks, Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas. Bandung: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan SPs UPI.

Wiriaatmadja, Rochiati. (2002). Pendidikan Sejarah di Indonesia: Perspektif Lokal, Nasional, dan Global. Bandung: Historia Utama Press.

Yaqin, Ainul. (2005). Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media.

Yin, Robert K. (2008). Studi Kasus Desain dan Metode. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.